Anda di halaman 1dari 12

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada bab ini kami akan menguraikan ide-ide utama yang
dipandang paling berpengaruh dalam cultural studies, antara lain
Marxisme, Kultralisme, Strukturalisme, Pascastrukturalisme, psikoanalisis
dan Subjektivitas.
Era strukturalisme ini muncul setelah era eksistensialisme yang
marak pada perang dunia II. Strukturalisme dianggap menghancurkan
posisi manusia sebagai peran utama dalam memandang dan membentuk
dunia. Beberapa tokoh struktualisme yang terkemuka yaitu Levi Straus,
Jacques Lacan, Louis Altusser, dan sebagainya.

Sementara itu kulturalisme memfokuskan perhatiannya kepada


produksi tanda oleh aktor manusia dalam suatu konteks historis,
struktualisme memandang kebudayaan sebagai struktur dalam bahasa yang
ada diluar kehendak aktor dan menguasai mereka. Maka dari itu
kulturalisme menekankan dalam sejarah, pendekatan kulturalisme lebih
bersifat sinkronis, menganalisis struktur relasi dalam satu kilatan momen
tertentu.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Kulturalisme dan Strukturalisme dalam Cultural Studies?
2. Bagaimana Pascastrukturalisme (dan Pascamodernisme) dalam
Cultural Studies?
3. Bagaimana Psikonalisis dan Subjektivitas dalam Cultural Stdies?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui Kulturalisme dan Strukturalisme dalam Cultural
Studies.
2. Untuk mengetahui Pascastrukturalisme (dan Pascamodernisme) dalam
Cultural Studies.

1
3. Untuk mengetahui Psikonalisis dan Subjektivitas dalam Cultural
Studies

2
BAB II

PEMBAHASAN

ALIRAN PEMIKIRAN DALAM KAJIAN BUDAYA

A. Kulturalisme dan Strukturalisme

Struktualisme adalah apa yang diajarkan oleh struktur yang telah


diciptakan dan digunakan oleh semua masyakarat, strukturalisme berasal dari
bahasa inggris, structuralism, bahasa latin struere (membangun) structura berarti
bentuk bangunan.

Era strukturalisme ini muncul setelah era eksistensialisme yang marak


pada perang dunia 2. Strukturalisme dianggap menghancurkan posisi manusia
sebagai peran utama dalam memandang dan membentuk dunia. Beberapa tokoh
struktualisme yang terkemuka yaitu Levi Straus, Jacques Lacan, Louis Altusser,
dan sebagainya.

Levi Straus berpendapat bahwa struktualisme memberikan dampak baru


dalam memandang fenomena budaya. Levi Straus menggunakan bahasa sebagai
dasar pendapatnya dalam struktualisme. Levi Straus berpendapat bahwa setelah
manusia lahir dia harus menggunakan bahasa yang ada disekitarnya, yang mana
bahasa tersebut sudar terstruktur dan digunakan oleh masyarakat.

Jacques Lacan menyatakan pendapatnya bahwa manusia tidak dikuasai


oleh unsur kesadaran, tetapi oleh unsur ketidak sadaran. Ketidak sadaran
merupakan ilmu yang mendahului manusia dan manusia menyesuaikan diri
dengannya. Jaques Lacan menambahkan bahwa kesadaran manusia tidak di
pandang sebagai pusat manusia yang muntlak

Sedangkan menurut Louis Altusser manusia dalam pandangan das kapital


telah tergeser dari pusatnya, manusia merupakan produk sekaligus sebagai
dikuasai oleh struktur-struktur sosio ekonomi yang berasal dari luar dunia. Jadi
manusia bukan subjek otonom

3
Struktualisme memperluas jangkauannya dari kata-kata sampai pada
bahasa tanda kulturan secara umum sehingga hubungan-hubungan antar manusia,
objek-objek material dan citra-citra kesemuannya dianalisis melalui struktur tanda.
Ciri khas struktualisme levi starus adalah pendekatannya terhadap makan. Dia
menyatakan bahwa yang jadi soal dalam hal makanan bukanlah makanan yang
enak dimakan. Namun, mana yang enak untuk dipikirkan. Artinya, makanan
adalah penanda dari makna-makna simbolis.

Sementara itu kulturalisme memfokuskan perhatiannya kepada produksi


tanda oleh aktor manusia dalam suatu konteks historis, struktualisme memandang
kebudayaan sebagai struktur dalam bahasa yang ada diluar kehendak aktor dan
menguaai mereka. Maka dari itu kulturalisme menekankan dalam sejarah,
pendekatan kulturalisme lebih bersifat sinkronis, menganalisis struktur relasi
dalam satu kilatan momen tertentu.

B. Pascastrukturalisme (dan Pascamodernisme)

Istilah pascastrukturalisme berarti setelah strukturalisme dia


mengandung pengertian kritik maupun penyerapan. Pascastrukturalisme menyerap
berbagai aspek linguistik struktural sambil menjadikannya sebagai kritik yang
dianggap mampu melampaui strukturalisme. Singkatnya, pascastrukturalisme
menolak ide tentang sruktur stabil yang melandasi makna melalui pasangan bener
tetap (hitam-putih, baik-buruk). Malahan makna adalah sesuatu yang tidak stabil,
yang selalu tergelincir dalam prosesnya. Maka tidak dapat dibatasi hanya pada
kata, kalimat atau teks tertentu yang bersifat tunggal, namun ia adalah hasil dari
hubungan antar teks, yang disebut dengan intertekstualitas. Seperti
pendahuluannya, pascastrukturalisme berkarakter anti humanis dalam upayanya
meminggirkan subyek manusia yang terpadu dan koheran sebagai asal-muasal
makna stabil. 1

1
Chris Baher, Cultural Studies, Perum Sidorejo : Kreasi Wacana, hlm. 19

4
Sumber filosofis primer pascastrukturalisme adalah derrida (1976) dan
Foucault (1984d) karena mereka berangkat dari penekanan yang berbeda,
pascastrukturalisme tidak dapat dipandang sebagai karya yang utuh.
1. Derrida : Instabilitas Bahasa

Fokus Darrida adalah pada bahasa dan dekonstruksi immediasi, atau


keindektian antara kata dengan makna. Derrida menerima argumen Saussure
bahwa makna terbentuk oleh hubungan perbedaan antar penanda dari pada oleh
refrensi terhadap dunia objek Independen. Namun, bagi Derrida, konsekuensi dari
permainan penanda adalah bahwa makna tidak pernah mapan. Kata-kata
mengusung banyak makna, termasuk gema atau jejak makna yang lain dari kata
lain pada konteks lain. Misalnya, kalau kita memerhatikan makna atau kata dalam
kamus kita diarahkan pada kata lain dalam suatu proses penangguhan (defferal)
tiada akhir. Makna menggelincirkan serangkaian penanda yang membatalkan
istilah difference, perbedaan dan penangguhan sehingga produksi makna dalam
proses permainan yang melibatkan lebih dari satu (pemain).

2. Foucault dan Praktik Diskursif

Seperti halnya Derrida, Foucault (1972) menentang teori-teori bahasa


kaum strukturalis yang memahami bahasa sebagai sistem yang mengatur dirinya
secara otonom. Dia juga menentang metode interpretatif atau hermaneutik yang
berusaha mengungkap makna-makna yang tersembunyi dalam bahasa. Foucault
pun kemudian memfokuskan perhatian pada deskripsi dan analisis permukaan
wacana dan efeknya terhadap kondisi historis dan material tertentu. Bagi Facault,
diskursus berkaitan dengan bahasa maupun praktik dan mengacu pada produksi
pengetahuan yang tertata melalui bahasa yang memberikan makna pada objek
materi dan praktik sosial.

Antiesensialisme

Barangkali pengaruh pascastrkturalisme yang paling kentara dalam


cultural adalah antiesensialisme. Esensialisme mengasumsikan bahwa kata-kata
memiliki acuan tetap dan kategori sosial mencerminkan identitas esensial yang

5
melandasinya. Berdasarkan pemahaman ini akan ditemukan suatu kebenaran tetap
dan esensial, misalnya berupa feminitas atau identitas kulit hitam. Namun, bagi
pascastrukturalisme tidak mungkin ada kebenaran, subjek atau identitas yang
terdapat diluar bahsa, sebuah bahasa yang tidak memiliki acuan tetap dan dengan
demikian tidak mampu mewakili kebenaran atau identitas yang tetap. Dalam hal
ini, feminitas atau identitas kulit hitam bukan merupakan suatu hal yang universal
dan tetap melainkan hanyalah deskripsi-deskripsi dalam bahasa yang melalui
konvensi sosial berubah menjadi apa yang dihitung atau dianggap sebagai
kebenaran, artinya stabilisasi temporer terhadap makna.

Bagi pascastrukturalisme, seorang individu atau subjek bukanlah entitas


universal yang tetap, namun merupakan efek bahasa yang mengonstruksi saya
dalam tata bahasa. Subjek yang bertutur tergantung pada eksistensi posisi subjek
diskursif yang telah ada seelmnya, ruang hampa atau fungsi dalam diskursus yang
dignakan untuk memahami dunia. Pribadi yang hidup diharuskan memainkan
posisi subjek dalam diskursus agar dapat memahami dunia dan tampak koheren
bagi orang lain.

Antiesensialisme tidak berarti bahwa kita tidak boleh berbicara tentang


kebenaran atau identitas. Tetapi ia berbicaratentang keduanya sebagai hal yang
tidak bersifat univesal namun sebagai produksi kebudayaan dalam konteks
ruangdan waktu tertentu. Subjek yang berbicara tergantung pada eksistensi posisi
diskursif yang telah ada sebelumnya. Kebenaran dipahami sebagai sesuatu yang
dibikin, sedangkan identitas merupakan hasil konstruksi diskursif. Alih-alih
menawarkan kepastian ilmiah ala strukturalisme, pascastrukturalisme justru
menawari kita ironi, suatu kesadaran akan karakter yang terbentuk dan tidak
menentu dari keyakinan dan pemahaman kita yang tak punya landasan universal
yang kokoh.

Pascamodernisme

Meski tidak ada kesepadanan yang tegas antara pascastrukturalisme


dengan pascamodernisme, dan kesamaan awalan post (pasca) dapat menimbulkan

6
pencampuradukan yang tidak diharapkan antara mereka, namun keduanya
memang memiliki pendekatan yang sama terhadap epistimologi, yaitu penolakan
atas kebenaran sebagai objek abadi yang tetap. Penegasan Derrida tentang
ensitabilitas makna dan kesadarn Foucault akan karakter kebenaran yang tidak
menentu secara historis menggema dalam pandangan. Lyiotard (1984) menolak
ide narasi atau kisah agung yang yang dapat memberikan kepada kita pengetahuan
spesifik tentang arah, makna, dan tujuan moral perkembangan manusia, di antara
yang dimaksud Lyotard disni adalah teologi Marxisme, kepastian dalam ilmu dan
moralitas Kristen.

Para penulis pascamodern seperti Lyotard (1984) atau Rorty (1989)


memiliki kesamaan dengan Foucault dalam ide bahwa pengetahuan tidak bersifat
metafisis, transendental atau universal melainkan bersifat spesifik menurut ruang
dan waktu. Bagi pascamodernisme, pengetahuan memiliki karakter yang
perspektival, dan tidak mungkin ada satu pengetahuan menyeluruh yang mampu
menjelaskan karakterobjektif dunia. Sebaliknya, kita memiliki dan memerlukan
berbagai sudut pandang atau kebenran yang kita gunakan untuk menafsirkan
eksistensi manusia yang kompleks dan hiterogen. Jadi, pascamodernisme, dalam
pemahamannya bahwa pengetahuan bersifat spesifik dalam permainan bahasa,
meyakini adanya keragaman, pluralitas dan lokalitas pengetahuan.

Meskipun satu unsur pascamodernisme berhubungan dengan persoalan-


persoalan epiostimologi semacam ini, yaitu pertanyaan soal kebenaran dan
pengetahuan, sekumpulan karya yang juga amat penting terpusat pada perubahan
budaya kehidupan masa kini. Persoalan kondisi dunia yang fragmentaris, ambigu
dan tidak menentu yang ditandai oleh tingginya tingkat refleksivitas dikatakan
sebagai karakteristik budaya pascamodern. Ini berlangsung beriringan dengan
penekanan terhadap ketidakmenetuan, ironi dan kabarnya batas-batas cultural.
Teks dicirikan oleh kesadaran diri, bricolage dan intertekstualitas. Bagi sejumlah
pemikir, kebudayaan pascamodern menjadi indikasi keruntuhan pembedaan
modern antara kenyataan dan simolasi.

7
Pascastrukturalisme dan pascamodernisme adalah pendekatan
antiesensialis yang menekankan peran konstitutif bahasa yang tidak stabil. Mereka
menyatakan bahwa subjektivitas merupakan efek bahasa atau diskursus dan
bahwa subjek mengalami perpecahan kita dapat mengemukakan berbagai posisi
subjek yang ditawarkan kepada kita dalam diskursus ini. Namun, alih-alih
bersandar pada penjelasan yang menekankan penamaan oleh diskurs eksternal,
beberapa penulis menelaah psikonalisis, khususnya pembacaan pascastrukalisme
alis Lacan terhadap Freud, untuk menemukan cara memikirkan pembentukan
subjek internal.

C. Psikonalisis dan subjektivitas

Psikoanalisis merupakan pemikiran yang kontroversial. Bagi para


pendukungnya (chodorow, 1978, 1989; Mitchel, 1974) kekuatannya terletak pada
penolakan atas hakikat subjek dan seksualitas yang besifat tetap. Jadi,
psikoanalisis berkonsentasi pada konstruksi dan pembentukan subjektivitas.
Bukan tentang apa itu subjek, melainkan tentang bagaimana dia sampai kepada
keadaannya yang sekarang. Psikoanalisis meunjukkan bagaimana proses psikisme
lembagakan pemanusiaan anak. Membentuk subjek yang selalu terdengarkan
dalam ranah simbolis Bahasa dan kebudayaan.

1. Diri ala Freud

Menurut Freud (1977), diri terdiri atas ego, atau pikiran rasional sadar,
superego, atau kesadaran sosial, dan ketidak sadaran, yang menjadi sumber dari
penyimpangan beroperasinya pikiran simbolis yang berfungsi dengan logika yang
berlainan dengan rasio.

Dalam teori Freudian, libido atau dorongan seks tidak memiliki tujuan
atau objek yang pasti dan telah ada sebelumnya. Namun, melalui fantasi, segala
objek, termasuk orang atau bagian tubuh, bisa saja menjadi target hasrat.
Akibatnya, sejumlah objek dan praktik seksual yang hampir tak terbatas ada
dalam ranah seksualitas manusia. Namun, karya freud bertujuan

8
mendokumentasikan dan menjelaskan regulasi dan represi atas aneka bentuk sifat
buruk ini melalui pelepasan (atau kegagalan pelepasan) Oedipus complex lewat
hubungan heteroseksual yang normal antar jenis kelamin.

2. Feminisme

Feminisme (bab 8) adalah bidang teori dan politik yang megandung


berbagai perspektif dan preskripsi yang saling bersaing dalam rangka melakukan
tindakan. Namun, secara umum, kita bisa mengatakan feminisme berpendapat
bahwa seks bersifat fundamental dan tidak dapat direduksi menjadi
porosorganisasi sosial, yang pada zamannya, telah menyubordinasikan perempuan
di bawah laki-laki. Jadi, feminism pada intinya menaruh perhatian pada seks
sebagai prinsip pengatur kehidupan sosial dimanarelasi gender sepenuhnya
dipengaruhi oleh relasi kekuasaan. Subordinasi perempuan terbukti ada diberbagai
praktik daninstitusi social, artinya kekuasaan laki-laki dan subordinasi perempuan
bersifat structural. Ini mendorong para feminis untuk mengadopsikon seppatriaki,
dengan makna turunannya berupa keluarga yang dikepalai seorang laki-laki,
penguasa dan superioritas.

Feminisme tersusun dari serangkaian analisis dan strategi aksi, yang


menyebut diri dengan femisime liberal. Feminisme perbedaan atau radikal,
feminism sosialis atau marxis, feminism pascamodern. pascakulturalis dan
feminism kulit hitam. Feminisme liberal menekankan kesetaraan kesempatan bagi
perempuan, memandangnya sebagai suatu hal yang dapat dicapai dalam struktur
luas kerangka kerja ekonomi dan hukum. sebaliknya, feminis sosialis menunjuk
pada kesaling terikatan antara kelas dan gender, termasuk tempat fundamental
ketimpangan gender dan pernganda (kerja domestic dan kerja upahan) perempuan
dalam reproduksi kapitalisme. Berbeda dengan penekanan feminism perbedaan
atau feminism radikal justru menitik beratkan perbedaan mendasar antara laki-laki
dan perempuan yang dipandang merepresentasikan perbedaan kreatif perempuan
dan superioritas nilai-nilai feminim.

3. Ras, Etnisitas Dan Hibriditas

9
Etnisitas adalah konsep kultural yang terpusat pada norma, nilai,
kepercayaan, symbol, cultural dan praktik yang menandai proses pembentukan
batas kultural. Ada dua perhatian utama yang muncul di dalam dan melalui teori
pasca-kolonial (Williams dancrisman, 1993) yaitu dominasi-subordinasi dan
hibriditas-keolisasi (creolization: kawin campur bahasa). Pertanyaan tentang
dominasi dan subordinasi kebanyakan mengemuka secara langsung melalui
control militer colonial dan subordinasi terstruktur terhadap kelompok rasial.

10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kulturalisme memfokuskan perhatiannya kepada produksi tanda
oleh aktor manusia dalam suatu konteks historis, struktualisme
memandang kebudayaan sebagai struktur dalam bahasa yang ada diluar
kehendak aktor dan menguasai mereka. Maka dari itu kulturalisme
menekankan dalam sejarah, pendekatan kulturalisme lebih bersifat
sinkronis, menganalisis struktur relasi dalam satu kilatan momen tertentu.
Istilah pascastrukturalisme berarti setelah strukturalisme dia
mengandung pengertian kritik maupun penyerapan. Pascastrukturalisme
menyerap berbagai aspek linguistik struktural sambil menjadikannya
sebagai kritik yang dianggap mampu melampaui strukturalisme.
Singkatnya, pascastrukturalisme menolak ide tentang sruktur stabil yang
melandasi makna melalui pasangan bener tetap (hitam-putih, baik-buruk).

Pascastrukturalisme dan pascamodernisme adalah pendekatan


antiesensialis yang menekankan peran konstitutif bahasa yang tidak stabil.
Mereka menyatakan bahwa subjektivitas merupakan efek bahasa atau
diskursus dan bahwa subjek mengalami perpecahan kita dapat
mengemukakan berbagai posisi subjek yang ditawarkan kepada kita dalam
diskursus ini. Namun, alih-alih bersandar pada penjelasan yang
menekankan penamaan oleh diskurs eksternal, beberapa penulis
menelaah psikonalisis, khususnya pembacaan pascastrukalisme alis Lacan
terhadap Freud, untuk menemukan cara memikirkan pembentukan subjek
internal.

11
Psikoanalisis merupakan pemikiran yang kontroversial. Bagi para
pendukungnya (chodorow, 1978, 1989; Mitchel, 1974) kekuatannya
terletak pada penolakan atas hakikat subjek dan seksualitas yang besifat
tetap.

12

Anda mungkin juga menyukai