GET DOCX
DOWNLOAD
1.
Autentik.
Yaitu masalah harus lebih berakar pada kehidupan dunia nyata siswadaripada berakar pada
prinsip-prinsip disiplin ilmu tertentu.2.
Jelas
. Yaitu masalah dirumuskan dengan jelas, dalam arti tidak menimbulkan masalah baru bagi siswa
yang pada akhirnya menyulitkan penyelesaian siswa.3.
Mudah dipahami.
Yaitu masalah yang diberikan hendaknya mudah dipahami siswa.Selain itu, masalah disusun
dan dibuat sesuai dengan tingkat perkembangan siswa.4.
2.
Penyelidikan autentik
. Model pembelajaran berbasis masalah menghendaki siswauntuk melakukan pennyelidikan
autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadapmasalah nyata. Mereka harus menganalsis
dan mendefinisikan masalahmengembangkan hipotesis dan membuat ramalan, mengumpulkan
dan menganalsisinformasi, melakukan eksperimen (jika diperlukan),
membuat inferensi, danmerumuskan kesimpulan4.
Kerjasama.
Model pembelajaran berbasis masalah dicirikan oleh siswa
yang bekerjasama satu sama lain, paling sering secara berpasangan atau dalam kelompokkecil.
Bekerjasama memberikan motivasi untuk secara berkelanjutan terlibat dalamtugas-tugas
kompleks dan memperbanyak peluang untuk berbagi inkuiri dan dialogdan untuk
mengembangkan keterampilan sosial dan keterampilan berpikir.
3.
3.Sering terjadi
miss-
konsepsi.4.Memerlukan waktu yang cukup lama dalam proses penyelidikan.Guru adalah
pendidik yang membelajarkan siswa, maka guru harus
melakukan pengorganisasian dalam belajar, menyajikan bahan belajar dengan pendekatan pembe
lajaran tertentu dan melakukan evaluasi hasil belajar, guru professional selalu berusaha
mendorong siswa agar berhasil dalam belajar.Kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam
model pembelajaran berbasis masalahini bukan berarti PBL merupakan model pembelajaran
yang kurang efektif untukdeterapkan dalam proses pembelajaran, akan tetapi kekurangan-
kekurangan dalam penerapan model pembelajaran berbasis masalah yang dikemukakan di atas,
menuntutguru sebagai pendidik harus kreatif dalam meminimalisir serta berusaha mencarisolusi
untuk mengatasi kekurangan-kekurangan tersebut.
4.
Kegiatan guru
Tahap 1 :
Orientasi siswa terhadapmasalah
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran,menjelaskan perangkat yang dibutuhkan,memotivasi
siswa agar terlibat padaaktivitas pemecahan masalah yangdipilihnya.
Tahap 2 :
Mengorganisasi siswauntuk belajar
Guru membantu siswa mendefinisikandan mengorganisasikan tugas belajaryang berhubungan
dengan masalahtersebut.
Metode debat merupakan salah satu metode pembelajaran yang sangat penting untuk
meningkatkan kemampuan akademik siswa. Materi ajar dipilih dan disusun menjadi paket pro
dan kontra. Siswa dibagi ke dalam beberapa kelompok dan setiap kelompok terdiri dari empat
orang. Di dalam kelompoknya, siswa (dua orang mengambil posisi pro dan dua orang lainnya
dalam posisi kontra) melakukan perdebatan tentang topik yang ditugaskan. Laporan masing-
masing kelompok yang menyangkut kedua posisi pro dan kontra diberikan kepada guru.
Selanjutnya guru dapat mengevaluasi setiap siswa tentang penguasaan materi yang meliputi
kedua posisi tersebut dan mengevaluasi seberapa efektif siswa terlibat dalam prosedur debat.
Pada dasarnya, agar semua model berhasil seperti yang diharapkan pembelajaran kooperatif,
setiap model harus melibatkan materi ajar yang memungkinkan siswa saling membantu dan
mendukung ketika mereka belajar materi dan bekerja saling tergantung (interdependen) untuk
menyelesaikan tugas. Ketrampilan sosial yang dibutuhkan dalam usaha berkolaborasi harus
dipandang penting dalam keberhasilan menyelesaikan tugas kelompok. Ketrampilan ini dapat
diajarkan kepada siswa dan peran siswa dapat ditentukan untuk memfasilitasi proses kelompok.
Peran tersebut mungkin bermacam-macam menurut tugas, misalnya, peran pencatat (recorder),
pembuat kesimpulan (summarizer), pengatur materi (material manager), atau fasilitator dan
peran guru bisa sebagai pemonitor proses belajar.
Brophy,J. dan J. Alleman (1996). Powerful social studies for elementary students. Forth Worth:
Harcourt Brace College Publisher
Gregg,S.M. dan G. Leinhardt,. (1994). Mapping out geography: an example of epistemology and
education. Review of Educational Research, 62, 2.
Hasan,S.H. (1996). Pendidikan Ilmu Sosial. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Hess, F.M. (1999). Bringing the Social Sciences Alive: 10 Simulations for History, Economics,
Government, and Geography. Boston: Allyn and Bacon.
Hursh,D.W. dan E.W. Ross (2000). Democratic Social Education: Social Studies for Social
Change. New York: Palmer Press.
Lindquist,T. (1995). Seeing the whole through social studies. London: Heinemann
Savage,T.V. dan D.G. Armstrong (1996). Effective teaching in elementary social studies.
Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall.
Shaver, J.P. (1991). Handbook of research on social studies teaching and learning. A project of
the National Council for the Social Studies. New York: Macmillan Publishing Company.
Semb,G.B. dan J.A. Ellis (1994). Knowledge taught in school: what is remembered? Review of
Educational Research, 64, 2.
Stahl,R.J. (ed)(1994). Cooperative learning in social studies: a handbook for teachers. Menlo
Park, California: Addison-Wesley Publishing Company.
Thornton,S.J. (1994). The social studies near centurys end: reconsidering patterns of curriculum
and instruction, dalam Review of Research in Education, 20.
Wilson,S.M. dan Wineburg,S.S. (1993). Wrinkles in time and place: using performance
assessments to understand the knowledge of history teachers. American Educational Research
Journal, 30, 4.
Jurnals
Social Studies
Review of Educational Research