Anda di halaman 1dari 30

CONNECT TO DOWNLOAD

GET DOCX

LAPORAN MENGENAI MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH

DOWNLOAD

LAPORAN MENGENAI MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH

1.

PENGERTIAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAHArends


(Nurhayati Abbas, 2000: 12) menyatakan bahwa model pembelajaran berdasarkan masalah (
problem based-learning
/PBL)adalah model pembelajarandengan pendekatan pembelajaran siswa pada masalah autentik,
sehingga siswa dapatmenyusun pengetahuannya sendiri, menumbuhkembangkan keterampilan
yang lebihtinggi dan inkuiri, memandirikan siswa, dan meningkatkan kepercayaan diri
sendiri.Model ini bercirikan penggunaan masalah kehidupan nyata sebagai sesuatu
danmeningkatkan keterampilan berpikirkritis dan menyelesaikan masalah, sertamendapatkan
pengetahuan konsep-konsep penting.Pendekatan ini mengutamakan proses belajar dimana tugas
guru harus memfokuskandiri untuk membantu siswa mencapai keterampilan mengarahkan diri.
Pembelajaran berdasarkan masalah penggunaannya di dalam tingkat berpikir lebih tinggi, dalams
ituasi berorientasi pada masalah, termasuk bagaimana belajar (Nurhayati Abbas,2000:12).Guru
dalam model pembelajaran berdasarkan masalah berperan sebagai penyajimasalah, penanya,
mengadakan dialog, membantu menemukan masalah dan pemberifasilitas penelitian. Selain itu
guru menyiapkan dukungan dandorongan yang dapatmeningkatkan pertumbuhan inquiri dan
intelektual siswa.Pembelajaran berdasarkanmasalah hanya dapat terjadi jika guru dapat
menciptakan lingkungan kelas yangterbuka dan membimbing pertukaran gagasan.
Pembelajaran berdasarkan masalah
juga dapat meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan aktivitas belajar siswa, baik secara in
dividual maupun secara kelompok. Di sini guru berperan sebagai pemberi rangsangan, pembimbi
ng kegiatan siswa, dan penentun arah belajar siswa
(Nurhayati Abbas, 2000:12).
Hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam pembelajaran berdasarkan masalahadalah
memberikan siswa masalah yang berfungsi sebagai batu loncatan untuk prosesinkuiri dan
penelitian. Di sini, guru mengajukan masalah, membimbing danmemberikan petunjuk minimal
kepada siswa dalam memecahkan masalah.

Pengaturan pembelajaran berdasarkan masalah berkisar pada masalah atau pertanyaanyang


penting bagi siswa maupun masyarakat. Menurut Arends
(Nurhayati Abbas,2000:13)
pertanyaan dan masalah yang diajukan itu haruslah memenuhi kriteriasebagai berikut :1.

Autentik.
Yaitu masalah harus lebih berakar pada kehidupan dunia nyata siswadaripada berakar pada
prinsip-prinsip disiplin ilmu tertentu.2.

Jelas
. Yaitu masalah dirumuskan dengan jelas, dalam arti tidak menimbulkan masalah baru bagi siswa
yang pada akhirnya menyulitkan penyelesaian siswa.3.

Mudah dipahami.
Yaitu masalah yang diberikan hendaknya mudah dipahami siswa.Selain itu, masalah disusun
dan dibuat sesuai dengan tingkat perkembangan siswa.4.

Luas dan sesuai dengan Tujuan Pembelajaran


. Yaitu masalah yang disusun dandirumuskan hendaknya bersifat luas, artinya masalah tersebut
mencakup seluruhmateri pelajaran yang akan diajarkan sesuai dengan waktu, ruang dan sumber
yangtersedia. Selain itu, masalah yang telah disusun tersebut harus didasarkan pada
tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.5.
Bermanfaat.
Yaitu masalah yang disusun dan dirumuskan haruslah bermanfaat,
baik bagi siswa sebagai pemecah masalah maupun guru sebagai pembuat masalah.Masalah yang
bermanfaat adalah masalah yang dapat meningkatkan
kemampuan berpikir dan memecahkan masalah siswa. Serta membangkitkan motivasi belajarsis
wa.
2.

KAREKTERISTIK MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH


Para pengembang pembelajaran berbasis masalah (Ibrahin dan Nur,2004) telahmendeskripsikan
karaketeristik
model pembelajaran berbasis masalah sebagai berikut.1.

Pengajuan pertanyaan atau masalah


. Pembelajaran berbasis masalah dimulaidengan pengajuan pertanyaan atau masalah, bukannya
mengorganisasikan disekitar prinsip-prinsip atau keterampilan-
keterampilan tertentu. Pembelajaran berbasismasalah mengorganisasikan pengajaran di sekitar
pertanyaan atau masalah yangkedua-duanya secara sosial penting dan secara pribadi bermakna
bagi siswa. Merekamengajukan situasi kehidupan nyata autentik untuk menghindari jawaban
sederhana,dan memungkinkan adanya berbagai macam solusi untuk situasi itu.

2.

Berfokus pada keterkaitan antar disiplin.


Meskipun PBL mungkin berpusat padamata pelajaran tertentu. Masalah yang dipilih benar-
benar nyata agar dalam pemecahannya, siswa meninjau masalah itu dari banyak mata
pelajaran.3.

Penyelidikan autentik
. Model pembelajaran berbasis masalah menghendaki siswauntuk melakukan pennyelidikan
autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadapmasalah nyata. Mereka harus menganalsis
dan mendefinisikan masalahmengembangkan hipotesis dan membuat ramalan, mengumpulkan
dan menganalsisinformasi, melakukan eksperimen (jika diperlukan),
membuat inferensi, danmerumuskan kesimpulan4.

Menghasilkan produk/karya dan memamerkannya


. PBL menuntut siswa untukmenghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau artefak
dan peragaanyang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka
temukan.Bentuk tersebut dapat berupa laporan, model fisik, video, maupun program
komputer.Karya nyata itu kemudian didemonstrasikan kepada teman-temannya yang laintentang
apa yang telah mereka pelajari dan menyediakan suatu alternatif segarterhadap laporan
tradisional atau makalah.5.

Kerjasama.
Model pembelajaran berbasis masalah dicirikan oleh siswa
yang bekerjasama satu sama lain, paling sering secara berpasangan atau dalam kelompokkecil.
Bekerjasama memberikan motivasi untuk secara berkelanjutan terlibat dalamtugas-tugas
kompleks dan memperbanyak peluang untuk berbagi inkuiri dan dialogdan untuk
mengembangkan keterampilan sosial dan keterampilan berpikir.
3.

TUJUAN DAN MANFAAT MODEL PEMBELAJARAN BERBASISMASALAH


Pembelajaran berbasis masalah tidak dirancang untuk membantu guru memberikaninformasi
sebanyak-banyaknya kepada siswa. Pembelajaran berbasis masalah antaralain bertujuan untuk
membantu siswa mengembangkan keterampilan berpikir danketerampilan pemecahan masalah
(Ismail, 2002: 2). Pendekatan
pembelajaran berbasis masalah adalah konsep pembelajaran yang membantu guru menciptakanli
ngkungan pembelajaran yang dimulai dengan masalah yang penting dan relevan(bersangkut-
paut) bagi siswa, dan memungkinkan siswa memperoleh pengalaman
belajar yang lebih realistik (nyata). Pemecahan masalah memegang peranan penting baik dalam
pelajaran sains maupun dalam banyak disiplin ilmu lainnya, terutama agar pembelajaran
berjalan dengan fleksibel. Kalau seorang peserta didik dihadapkan padasuatu masalah pada
akhirnya bukan hanya sekedar memecahkan masalah, tetapi juga belajar sesuatu yang
baru.Manfaat lain dari pembelajaran berbasis masalah adalah membantu siswamengembangkan
keterampilan berpikir dan keterampilan memecahkan masalah.Dengan pembelajaran berbasis
masalah ini siswa berusaha berpikir kritis dan mampumengembangkan kemampuan analisisnya
serta menjadi pembelajar yang mandiri.Pembelajaran berbasis masalah memberikan dorongan
kepada peserta didik untuktidak hanya sekedar berpikir sesuai yang bersifat konkret tetapi lebih
dari itu berpikirterhadap ide-ide yang abstrak dan kompleks.
3. KELEBIHAN DAN KELEMAHAN MODEL PEMBELAJARAN
BERBASISMASALAH
Selain manfaatnya, pembelajaran berbasis masalah juga memiliki kelebihan dankekurangan.
Kelebihan PBM sebagai suatu model pembelajaran adalah :1.Realistis dengan kehidupan
siswa.2.Konsep sesuai dengan kebutuhan siswa.3.Memupuk sifat inquiri siswa.4.Retensi konsep
jadi kuat.5.Memupuk kemampuan
problem solving.
Dari kelebihan tersebut dapat dipahami bahwa pembelajaran berbasis masalahmembantu peserta
didik mengembangkan kemampuan berpikir, pemecahan masalahdan keterampilan
intelektualnya. Para peserta didik belajar dengan keterlibatanlangsung dalam pengalaman nyata
atau simulasi serta menjadi pebelajar yang otonomdan mandiri.Selain kelebihan yang telah
dkemukakan tersebut pembelajaran berbasis masalah jugamemiliki beberapa kelemahan, yaitu
:1.Membutuhkan persiapan pembelajaran (alat, problem, konsep) yang kompleks.2.Sulitnya
mencari problem yang relevan.

3.Sering terjadi
miss-
konsepsi.4.Memerlukan waktu yang cukup lama dalam proses penyelidikan.Guru adalah
pendidik yang membelajarkan siswa, maka guru harus
melakukan pengorganisasian dalam belajar, menyajikan bahan belajar dengan pendekatan pembe
lajaran tertentu dan melakukan evaluasi hasil belajar, guru professional selalu berusaha
mendorong siswa agar berhasil dalam belajar.Kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam
model pembelajaran berbasis masalahini bukan berarti PBL merupakan model pembelajaran
yang kurang efektif untukdeterapkan dalam proses pembelajaran, akan tetapi kekurangan-
kekurangan dalam penerapan model pembelajaran berbasis masalah yang dikemukakan di atas,
menuntutguru sebagai pendidik harus kreatif dalam meminimalisir serta berusaha mencarisolusi
untuk mengatasi kekurangan-kekurangan tersebut.
4.

TAHAP-TAHAP MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH


Menurut Arends (Nurhayati Abbas, 2000:4), penerapan model pembelajaran berbasis masalah
terdiri dari lima tahap. Kelima tahap itu adalah(1) mengorientasikansiswa pada masalah;(2)
mengorganisasikan siswa untuk belajar;(3) memandumenyelidiki secara mandiri atau
kelompok;(4) mengembangkan dan menyajikan hasilkerja; dan(5) menganalisis dan
mengevaluasi hasil pemecahan masalah.Kelima tahap tersebut akan dijelaskan pada tabel berikut
ini:
Tahapan

Kegiatan guru

Tahap 1 :
Orientasi siswa terhadapmasalah
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran,menjelaskan perangkat yang dibutuhkan,memotivasi
siswa agar terlibat padaaktivitas pemecahan masalah yangdipilihnya.

Tahap 2 :
Mengorganisasi siswauntuk belajar
Guru membantu siswa mendefinisikandan mengorganisasikan tugas belajaryang berhubungan
dengan masalahtersebut.

Tahap 3 :Guru mendorong siswa untukmengumpulkan informasi yang sesuai


Model-Model Pembelajaran
Posted on April 22, 2008 | 219 Komentar

Metode debat merupakan salah satu metode pembelajaran yang sangat penting untuk
meningkatkan kemampuan akademik siswa. Materi ajar dipilih dan disusun menjadi paket pro
dan kontra. Siswa dibagi ke dalam beberapa kelompok dan setiap kelompok terdiri dari empat
orang. Di dalam kelompoknya, siswa (dua orang mengambil posisi pro dan dua orang lainnya
dalam posisi kontra) melakukan perdebatan tentang topik yang ditugaskan. Laporan masing-
masing kelompok yang menyangkut kedua posisi pro dan kontra diberikan kepada guru.

Selanjutnya guru dapat mengevaluasi setiap siswa tentang penguasaan materi yang meliputi
kedua posisi tersebut dan mengevaluasi seberapa efektif siswa terlibat dalam prosedur debat.
Pada dasarnya, agar semua model berhasil seperti yang diharapkan pembelajaran kooperatif,
setiap model harus melibatkan materi ajar yang memungkinkan siswa saling membantu dan
mendukung ketika mereka belajar materi dan bekerja saling tergantung (interdependen) untuk
menyelesaikan tugas. Ketrampilan sosial yang dibutuhkan dalam usaha berkolaborasi harus
dipandang penting dalam keberhasilan menyelesaikan tugas kelompok. Ketrampilan ini dapat
diajarkan kepada siswa dan peran siswa dapat ditentukan untuk memfasilitasi proses kelompok.
Peran tersebut mungkin bermacam-macam menurut tugas, misalnya, peran pencatat (recorder),
pembuat kesimpulan (summarizer), pengatur materi (material manager), atau fasilitator dan
peran guru bisa sebagai pemonitor proses belajar.

METODE ROLE PLAYING


Metode Role Playing adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui
pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa. Pengembangan imajinasi dan penghayatan
dilakukan siswa dengan memerankannya sebagai tokoh hidup atau benda mati. Permainan ini
pada umumnya dilakukan lebih dari satu orang, hal itu bergantung kepada apa yang
diperankan. Kelebihan metode Role Playing:

Melibatkan seluruh siswa dapat berpartisipasi mempunyai kesempatan untuk memajukan


kemampuannya dalam bekerjasama.

1. Siswa bebas mengambil keputusan dan berekspresi secara utuh.


2. Permainan merupakan penemuan yang mudah dan dapat digunakan dalam situasi dan
waktu yang berbeda.
3. Guru dapat mengevaluasi pemahaman tiap siswa melalui pengamatan pada waktu
melakukan permainan.
4. Permainan merupakan pengalaman belajar yang menyenangkan bagi anak.
METODE PEMECAHAN MASALAH (PROBLEM SOLVING)
Metode pemecahan masalah (problem solving) adalah penggunaan metode dalam kegiatan
pembelajaran dengan jalan melatih siswa menghadapi berbagai masalah baik itu masalah pribadi
atau perorangan maupun masalah kelompok untuk dipecahkan sendiri atau secara bersama-sama.
Orientasi pembelajarannya adalah investigasi dan penemuan yang pada dasarnya adalah
pemecahan masalah.
Adapun keunggulan metode problem solving sebagai berikut:
1. Melatih siswa untuk mendesain suatu penemuan.
2. Berpikir dan bertindak kreatif.
3. Memecahkan masalah yang dihadapi secara realistis
4. Mengidentifikasi dan melakukan penyelidikan.
5. Menafsirkan dan mengevaluasi hasil pengamatan.
6. Merangsang perkembangan kemajuan berfikir siswa untuk menyelesaikan masalah yang
dihadapi dengan tepat.
7. Dapat membuat pendidikan sekolah lebih relevan dengan kehidupan, khususnya dunia
kerja.
Kelemahan metode problem solving sebagai berikut:
1. Beberapa pokok bahasan sangat sulit untuk menerapkan metode ini. Misal terbatasnya
alat-alat laboratorium menyulitkan siswa untuk melihat dan mengamati serta akhirnya
dapat menyimpulkan kejadian atau konsep tersebut.
2. Memerlukan alokasi waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan metode pembelajaran
yang lain.
PEMBELAJARAN BERDASARKAN MASALAH
Problem Based Instruction (PBI) memusatkan pada masalah kehidupannya yang bermakna bagi
siswa, peran guru menyajikan masalah, mengajukan pertanyaan dan memfasilitasi penyelidikan
dan dialog.
Langkah-langkah:
1. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran. Menjelaskan logistik yang dibutuhkan.
Memotivasi siswa terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah yang dipilih.
2. Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang
berhubungan dengan masalah tersebut (menetapkan topik, tugas, jadwal, dll.)
3. Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan
eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah, pengumpulan data,
hipotesis, pemecahan masalah.
4. Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti
laporan dan membantu mereka berbagi tugas dengan temannya.
5. Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan
mereka dan proses-proses yang mereka gunakan.
Kelebihan:
1. Siswa dilibatkan pada kegiatan belajar sehingga pengetahuannya benar-benar diserapnya
dengan baik.
2. Dilatih untuk dapat bekerjasama dengan siswa lain.
3. Dapat memperoleh dari berbagai sumber.
Kekurangan:
1. Untuk siswa yang malas tujuan dari metode tersebut tidak dapat tercapai.
2. Membutuhkan banyak waktu dan dana.
3. Tidak semua mata pelajaran dapat diterapkan dengan metode ini
COOPERATIVE SCRIPT
Skrip kooperatif adalah metode belajar dimana siswa bekerja berpasangan dan secara lisan
mengikhtisarkan bagian-bagian dari materi yang dipelajari.
Langkah-langkah:
1. Guru membagi siswa untuk berpasangan.
2. Guru membagikan wacana / materi tiap siswa untuk dibaca dan membuat ringkasan.
3. Guru dan siswa menetapkan siapa yang pertama berperan sebagai pembicara dan siapa
yang berperan sebagai pendengar.
4. Pembicara membacakan ringkasannya selengkap mungkin, dengan memasukkan ide-ide
pokok dalam ringkasannya. Sementara pendengar menyimak / mengoreksi / menunjukkan
ide-ide pokok yang kurang lengkap dan membantu mengingat / menghapal ide-ide pokok
dengan menghubungkan materi sebelumnya atau dengan materi lainnya.
5. Bertukar peran, semula sebagai pembicara ditukar menjadi pendengar dan sebaliknya,
serta lakukan seperti di atas.
6. Kesimpulan guru.
7. Penutup.
Kelebihan:
Melatih pendengaran, ketelitian / kecermatan.
Setiap siswa mendapat peran.
Melatih mengungkapkan kesalahan orang lain dengan lisan.
Kekurangan:
Hanya digunakan untuk mata pelajaran tertentu
Hanya dilakukan dua orang (tidak melibatkan seluruh kelas sehingga koreksi hanya
sebatas pada dua orang tersebut).
PICTURE AND PICTURE
Picture and Picture adalah suatu metode belajar yang menggunakan gambar dan dipasangkan /
diurutkan menjadi urutan logis.
Langkah-langkah:
1. Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai.
2. Menyajikan materi sebagai pengantar.
3. Guru menunjukkan / memperlihatkan gambar-gambar yang berkaitan dengan materi.
4. Guru menunjuk / memanggil siswa secara bergantian memasang / mengurutkan gambar-
gambar menjadi urutan yang logis.
5. Guru menanyakan alas an / dasar pemikiran urutan gambar tersebut.
6. Dari alasan / urutan gambar tersebut guru memulai menanamkan konsep / materi sesuai
dengan kompetensi yang ingin dicapai.
7. Kesimpulan / rangkuman.
Kebaikan:
1. Guru lebih mengetahui kemampuan masing-masing siswa.
2. Melatih berpikir logis dan sistematis.
Kekurangan:Memakan banyak waktu. Banyak siswa yang pasif.
NUMBERED HEADS TOGETHER
Numbered Heads Together adalah suatu metode belajar dimana setiap siswa diberi nomor
kemudian dibuat suatu kelompok kemudian secara acak guru memanggil nomor dari siswa.
Langkah-langkah:
1. Siswa dibagi dalam kelompok, setiap siswa dalam setiap kelompok mendapat nomor.
2. Guru memberikan tugas dan masing-masing kelompok mengerjakannya.
3. Kelompok mendiskusikan jawaban yang benar dan memastikan tiap anggota kelompok
dapat mengerjakannya.
4. Guru memanggil salah satu nomor siswa dengan nomor yang dipanggil melaporkan hasil
kerjasama mereka.
5. Tanggapan dari teman yang lain, kemudian guru menunjuk nomor yang lain.
6. Kesimpulan.
Kelebihan:
Setiap siswa menjadi siap semua.
Dapat melakukan diskusi dengan sungguh-sungguh.
Siswa yang pandai dapat mengajari siswa yang kurang pandai.
Kelemahan:
Kemungkinan nomor yang dipanggil, dipanggil lagi oleh guru.
Tidak semua anggota kelompok dipanggil oleh guru
METODE INVESTIGASI KELOMPOK (GROUP INVESTIGATION)
Metode investigasi kelompok sering dipandang sebagai metode yang paling kompleks dan paling
sulit untuk dilaksanakan dalam pembelajaran kooperatif. Metode ini melibatkan siswa sejak
perencanaan, baik dalam menentukan topik maupun cara untuk mempelajarinya melalui
investigasi. Metode ini menuntut para siswa untuk memiliki kemampuan yang baik dalam
berkomunikasi maupun dalam ketrampilan proses kelompok (group process skills). Para guru
yang menggunakan metode investigasi kelompok umumnya membagi kelas menjadi beberapa
kelompok yang beranggotakan 5 hingga 6 siswa dengan karakteristik yang heterogen. Pembagian
kelompok dapat juga didasarkan atas kesenangan berteman atau kesamaan minat terhadap suatu
topik tertentu. Para siswa memilih topik yang ingin dipelajari, mengikuti investigasi mendalam
terhadap berbagai subtopik yang telah dipilih, kemudian menyiapkan dan menyajikan suatu
laporan di depan kelas secara keseluruhan. Adapun deskripsi mengenai langkah-langkah metode
investigasi kelompok dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Seleksi topik
Parasiswa memilih berbagai subtopik dalam suatu wilayah masalah umum yang biasanya
digambarkan lebih dahulu oleh guru. Para siswa selanjutnya diorganisasikan menjadi kelompok-
kelompok yang berorientasi pada tugas (task oriented groups) yang beranggotakan 2 hingga 6
orang. Komposisi kelompok heterogen baik dalam jenis kelamin, etnik maupun kemampuan
akademik.
b. Merencanakan kerjasama
Parasiswa beserta guru merencanakan berbagai prosedur belajar khusus, tugas dan tujuan umum
yang konsisten dengan berbagai topik dan subtopik yang telah dipilih dari langkah a) di atas.
c. Implementasi
Parasiswa melaksanakan rencana yang telah dirumuskan pada langkah b). Pembelajaran harus
melibatkan berbagai aktivitas dan ketrampilan dengan variasi yang luas dan mendorong para
siswa untuk menggunakan berbagai sumber baik yang terdapat di dalam maupun di luar sekolah.
Guru secara terus-menerus mengikuti kemajuan tiap kelompok dan memberikan bantuan jika
diperlukan.
d. Analisis dan sintesis
Parasiswa menganalisis dan mensintesis berbagai informasi yang diperoleh pada langkah c) dan
merencanakan agar dapat diringkaskan dalam suatu penyajian yang menarik di depan kelas.
e. Penyajian hasil akhir
Semua kelompok menyajikan suatu presentasi yang menarik dari berbagai topik yang telah
dipelajari agar semua siswa dalam kelas saling terlibat dan mencapai suatu perspektif yang luas
mengenai topik tersebut. Presentasi kelompok dikoordinir oleh guru.
f. Evaluasi
Guru beserta siswa melakukan evaluasi mengenai kontribusi tiap kelompok terhadap pekerjaan
kelas sebagai suatu keseluruhan. Evaluasi dapat mencakup tiap siswa secara individu atau
kelompok, atau keduanya.
METODE JIGSAW
Pada dasarnya, dalam model ini guru membagi satuan informasi yang besar menjadi komponen-
komponen lebih kecil. Selanjutnya guru membagi siswa ke dalam kelompok belajar kooperatif
yang terdiri dari empat orang siswa sehingga setiap anggota bertanggungjawab terhadap
penguasaan setiap komponen/subtopik yang ditugaskan guru dengan sebaik-baiknya. Siswa dari
masing-masing kelompok yang bertanggungjawab terhadap subtopik yang sama membentuk
kelompok lagi yang terdiri dari yang terdiri dari dua atau tiga orang.
Siswa-siswa ini bekerja sama untuk menyelesaikan tugas kooperatifnya dalam: a) belajar dan
menjadi ahli dalam subtopik bagiannya; b) merencanakan bagaimana mengajarkan subtopik
bagiannya kepada anggota kelompoknya semula. Setelah itu siswa tersebut kembali lagi ke
kelompok masing-masing sebagai ahli dalam subtopiknya dan mengajarkan informasi penting
dalam subtopik tersebut kepada temannya. Ahli dalam subtopik lainnya juga bertindak serupa.
Sehingga seluruh siswa bertanggung jawab untuk menunjukkan penguasaannya terhadap seluruh
materi yang ditugaskan oleh guru. Dengan demikian, setiap siswa dalam kelompok harus
menguasai topik secara keseluruhan.
METODE TEAM GAMES TOURNAMENT (TGT)
Pembelajaran kooperatif model TGT adalah salah satu tipe atau model pembelajaran kooperatif
yang mudah diterapkan, melibatkan aktivitas seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan status,
melibatkan peran siswa sebagai tutor sebaya dan mengandung unsur permainan dan
reinforcement.
Aktivitas belajar dengan permainan yang dirancang dalam pembelajaran kooperatif model TGT
memungkinkan siswa dapat belajar lebih rileks disamping menumbuhkan tanggung jawab,
kerjasama, persaingan sehat dan keterlibatan belajar.
Ada5 komponen utama dalam komponen utama dalam TGT yaitu:
1. Penyajian kelas
Pada awal pembelajaran guru menyampaikan materi dalam penyajian kelas, biasanya dilakukan
dengan pengajaran langsung atau dengan ceramah, diskusi yang dipimpin guru. Pada saat
penyajian kelas ini siswa harus benar-benar memperhatikan dan memahami materi yang
disampaikan guru, karena akan membantu siswa bekerja lebih baik pada saat kerja kelompok dan
pada saat game karena skor game akan menentukan skor kelompok.
2. Kelompok (team)
Kelompok biasanya terdiri dari 4 sampai 5 orang siswa yang anggotanya heterogen dilihat dari
prestasi akademik, jenis kelamin dan ras atau etnik. Fungsi kelompok adalah untuk lebih
mendalami materi bersama teman kelompoknya dan lebih khusus untuk mempersiapkan anggota
kelompok agar bekerja dengan baik dan optimal pada saat game.
3. Game
Game terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk menguji pengetahuan yang
didapat siswa dari penyajian kelas dan belajar kelompok. Kebanyakan game terdiri dari
pertanyaan-pertanyaan sederhana bernomor. Siswa memilih kartu bernomor dan mencoba
menjawab pertanyaan yang sesuai dengan nomor itu. Siswa yang menjawab benar pertanyaan itu
akan mendapat skor. Skor ini yang nantinya dikumpulkan siswa untuk turnamen mingguan.
4. Turnamen
Biasanya turnamen dilakukan pada akhir minggu atau pada setiap unit setelah guru melakukan
presentasi kelas dan kelompok sudah mengerjakan lembar kerja.Turnamen pertama guru
membagi siswa ke dalam beberapa meja turnamen. Tiga siswa tertinggi prestasinya
dikelompokkan pada meja I, tiga siswa selanjutnya pada meja II dan seterusnya.
5. Team recognize (penghargaan kelompok)
Guru kemudian mengumumkan kelompok yang menang, masing-masing team akan mendapat
sertifikat atau hadiah apabila rata-rata skor memenuhi kriteria yang ditentukan. Team mendapat
julukan Super Team jika rata-rata skor 45 atau lebih, Great Team apabila rata-rata mencapai
40-45 dan Good Team apabila rata-ratanya 30-40

MODEL STUDENT TEAMS ACHIEVEMENT DIVISIONS (STAD)


Siswa dikelompokkan secara heterogen kemudian siswa yang pandai menjelaskan anggota lain
sampai mengerti.
Langkah-langkah:
1. Membentuk kelompok yang anggotanya 4 orang secara heterogen (campuran menurut
prestasi, jenis kelamin, suku, dll.).
2. Guru menyajikan pelajaran.
3. Guru memberi tugas kepada kelompok untuk dikerjakan oleh anggota kelompok. Anggota
yang tahu menjelaskan kepada anggota lainnya sampai semua anggota dalam kelompok itu
mengerti.
4. Guru memberi kuis / pertanyaan kepada seluruh siswa. Pada saat menjawab kuis tidak
boleh saling membantu.
5. Memberi evaluasi.
6. Penutup.
Kelebihan:
1. Seluruh siswa menjadi lebih siap.
2. Melatih kerjasama dengan baik.
Kekurangan:
1. Anggota kelompok semua mengalami kesulitan.
2. Membedakan siswa.
MODEL EXAMPLES NON EXAMPLES
Examples Non Examples adalah metode belajar yang menggunakan contoh-contoh. Contoh-
contoh dapat dari kasus / gambar yang relevan dengan KD.
Langkah-langkah:
1. Guru mempersiapkan gambar-gambar sesuai dengan tujuan pembelajaran.
2. Guru menempelkan gambar di papan atau ditayangkan lewat OHP.
3. Guru memberi petunjuk dan memberi kesempatan kepada siswa untuk memperhatikan /
menganalisa gambar.
4. Melalui diskusi kelompok 2-3 orang siswa, hasil diskusi dari analisa gambar tersebut
dicatat pada kertas.
5. Tiap kelompok diberi kesempatan membacakan hasil diskusinya.
6. Mulai dari komentar / hasil diskusi siswa, guru mulai menjelaskan materi sesuai tujuan
yang ingin dicapai.
7. KKesimpulan.
Kebaikan:
1. Siswa lebih kritis dalam menganalisa gambar.
2. Siswa mengetahui aplikasi dari materi berupa contoh gambar.
3. Siswa diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya.
Kekurangan:
1. Tidak semua materi dapat disajikan dalam bentuk gambar.
2. Memakan waktu yang lama.
MODEL LESSON STUDY
Lesson Study adalah suatu metode yang dikembankan di Jepang yang dalam bahasa
Jepangnyadisebut Jugyokenkyuu. Istilah lesson study sendiri diciptakan oleh Makoto Yoshida.
Lesson Study merupakan suatu proses dalam mengembangkan profesionalitas guru-guru di
Jepang dengan jalan menyelidiki/ menguji praktik mengajar mereka agar menjadi lebih efektif.
Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut:
1. Sejumlah guru bekerjasama dalam suatu kelompok. Kerjasama ini meliputi:
a. Perencanaan.
b. Praktek mengajar.
c. Observasi.
d. Refleksi/ kritikan terhadap pembelajaran.
2. Salah satu guru dalam kelompok tersebut melakukan tahap perencanaan yaitu membuat
rencana pembelajaran yang matang dilengkapi dengan dasar-dasar teori yang menunjang.
3. Guru yang telah membuat rencana pembelajaran pada (2) kemudian mengajar di kelas
sesungguhnya. Berarti tahap praktek mengajar terlaksana.
4. Guru-guru lain dalam kelompok tersebut mengamati proses pembelajaran sambil
mencocokkan rencana pembelajaran yang telah dibuat. Berarti tahap observasi terlalui.
5. Semua guru dalam kelompok termasuk guru yang telah mengajar kemudian bersama-sama
mendiskusikan pengamatan mereka terhadap pembelajaran yang telah berlangsung. Tahap
ini merupakan tahap refleksi. Dalam tahap ini juga didiskusikan langkah-langkah perbaikan
untuk pembelajaran berikutnya.
6. Hasil pada (5) selanjutnya diimplementasikan pada kelas/ pembelajaran berikutnya dan
seterusnya kembali ke (2).
Adapun kelebihan metode lesson study sebagai berikut:
Dapat diterapkan di setiap bidang mulai seni, bahasa, sampai matematika dan olahraga dan
pada setiap tingkatan kelas.
Dapat dilaksanakan antar/ lintas sekolah.
http://gurupkn.wordpress.com/category/pembelajaran/model-model/page/3/

MODEL PEMBELAJARAN ARIAS


Abstrak. Model pembelajaran ARIAS dikembangkan sebagai salah satu alternatif yang dapat
digunakan oleh guru sebagai dasar melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan baik. Model
pembelajaran ARIAS berisi lima komponen yang merupakan satu kesatuan yang diperlukan
dalam kegiatan pembelajaran yaitu assurance, relevance, interest, assessment, dan satisfaction
yang dikembangkan berdasarkan teori-teori belajar.
Model ini sudah dicobakan di dua sekolah yang berbeda yaitu salah satu SD negeri di Kota
Palembang (percobaan pertama) dan satu SD negeri di Sekayu, Kabupaten Musi Banyu Asin
(percobaan kedua). Hasil percobaan di lapangan menunjukkan bahwa model pembelajaran
ARIAS memberi pengaruh yang positif terhadap motivasi berprestasi dan hasil belajar siswa.
Berdasarkan hasil percobaan tersebut model pembelajaran ARIAS dapat digunakan oleh para
guru sebagai dasar melaksanakan kegiatan pembelajaran dalam usaha meningkatkan motivasi
berprestasi dan hasil belajar siswa.
Kata kunci: motivasi berprestasi, hasil belajar siswa, ARIAS, kegiatan pembelajaran
1. Pendahuluan
Salah satu masalah dalam pembelajaran di sekolah adalah rendahnya hasil belajar siswa. Suatu
tes terhadap sejumlah siswa SD dari berbagai kabupaten dan propinsi menunjukkan hasil belajar
siswa sangat rendah (Lastri 1993:12). Nilai Ebtanas siswa SD dalam kurun waktu lima tahun
terakhir (1993/1994 sampai dengan 1997/1998) menunjukkan hasil belajar yang kurang
menggembirakan (Depdikbud, 1998).
Hasil belajar dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor dari dalam (internal) maupun faktor
dari luar (eksternal). Menurut Suryabrata (1982: 27) yang termasuk faktor internal adalah faktor
fisiologis dan psikologis (misalnya kecerdasan motivasi berprestasi dan kemampuan kognitif),
sedangkan yang termasuk faktor eksternal adalah faktor lingkungan dan instrumental (misalnya
guru, kurikulum, dan model pembelajaran). Bloom (1982: 11) mengemukakan tiga faktor utama
yang mempengaruhi hasil belajar, yaitu kemampuan kognitif, motivasi berprestasi dan kualitas
pembelajaran. Kualitas pembelajaran adalah kualitas kegiatan pembelajaran yang dilakukan dan
ini menyangkut model pembelajaran yang digunakan.
Sering ditemukan di lapangan bahwa guru menguasai materi suatu subjek dengan baik tetapi
tidak dapat melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan baik. Hal itu terjadi karena kegiatan
tersebut tidak didasarkan pada model pembelajaran tertentu sehingga hasil belajar yang diperoleh
siswa rendah. Timbul pertanyaan apakah mungkin dikembangkan suatu model pembelajaran
yang sederhana, sistematik, bermakna dan dapat digunakan oleh para guru sebagai dasar untuk
melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan baik sehingga dapat membantu meningkatkan
motivasi berprestasi dan hasil belajar. Berkenaan dengan hal itu, maka dengan memperhatikan
berbagai konsep dan teori belajar dikembangkanlah suatu model pembelajaran yang disebut
dengan model pembelajaran ARIAS. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh model
pembelajaran ARIAS terhadap motivasi berprestasi dan hasil belajar siswa, telah dicobakan pada
sejumlah siswa di dua sekolah yang berbeda. Hasil percobaan di lapangan menunjukkan bahwa
model pembelajaran ARIAS memberi pengaruh yang positif terhadap motivasi berprestasi dan
hasil belajar siswa. Oleh karena itu, model pembelajaran ARIAS ini dapat digunakan oleh para
guru sebagai dasar melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan baik, dan sebagai suatu
alternatif dalam usaha meningkatkan motivasi berprestasi dan hasil belajar siswa. Tujuan
percobaan lapangan ini untuk mengetahui apakah ada pengaruh model pembelajaran ARIAS
terhadap motivasi berprestasi dan hasil belajar.
2. Kajian Teori dan Pembahasan
2.1 Model Pembelajaran ARIAS
Model pembelajaran ARIAS merupakan modifikasi dari model ARCS. Model ARCS (Attention,
Relevance, Confidence, Satisfaction), dikembangkan oleh Keller dan Kopp (1987: 2-9) sebagai
jawaban pertanyaan bagaimana merancang pembelajaran yang dapat mempengaruhi motivasi
berprestasi dan hasil belajar. Model pembelajaran ini dikembangkan berdasarkan teori nilai
harapan (expectancy value theory) yang mengandung dua komponen yaitu nilai (value) dari
tujuan yang akan dicapai dan harapan (expectancy) agar berhasil mencapai tujuan itu. Dari dua
komponen tersebut oleh Keller dikembangkan menjadi empat komponen. Keempat komponen
model pembelajaran itu adalah attention, relevance, confidence dan satisfaction dengan akronim
ARCS (Keller dan Kopp, 1987: 289-319).
Model pembelajaran ini menarik karena dikembangkan atas dasar teori-teori belajar dan
pengalaman nyata para instruktur (Bohlin, 1987: 11-14). Namun demikian, pada model
pembelajaran ini tidak ada evaluasi (assessment), padahal evaluasi merupakan komponen yang
tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan pembelajaran. Evaluasi yang dilaksanakan tidak hanya
pada akhir kegiatan pembelajaran tetapi perlu dilaksanakan selama proses kegiatan berlangsung.
Evaluasi dilaksanakan untuk mengetahui sampai sejauh mana kemajuan yang dicapai atau hasil
belajar yang diperoleh siswa (DeCecco, 1968: 610). Evaluasi yang dilaksanakan selama proses
pembelajaran menurut Saunders et al. seperti yang dikutip Beard dan Senior (1980: 72) dapat
mempengaruhi hasil belajar siswa. Mengingat pentingnya evaluasi, maka model pembelajaran ini
dimodifikasi dengan menambahkan komponen evaluasi pada model pembelajaran tersebut.
Dengan modifikasi tersebut, model pembelajaran yang digunakan mengandung lima komponen
yaitu: attention (minat/perhatian); relevance (relevansi); confidence (percaya/yakin); satisfaction
(kepuasan/bangga), dan assessment (evaluasi). Modifikasi juga dilakukan dengan penggantian
nama confidence menjadi assurance, dan attention menjadi interest. Penggantian nama
confidence (percaya diri) menjadi assurance, karena kata assurance sinonim dengan kata self-
confidence (Morris, 1981: 80). Dalam kegiatan pembelajaran guru tidak hanya percaya bahwa
siswa akan mampu dan berhasil, melainkan juga sangat penting menanamkan rasa percaya diri
siswa bahwa mereka merasa mampu dan dapat berhasil. Demikian juga penggantian kata
attention menjadi interest, karena pada kata interest (minat) sudah terkandung pengertian
attention (perhatian). Dengan kata interest tidak hanya sekedar menarik minat/perhatian siswa
pada awal kegiatan melainkan tetap memelihara minat/perhatian tersebut selama kegiatan
pembelajaran berlangsung. Untuk memperoleh akronim yang lebih baik dan lebih bermakna
maka urutannya pun dimodifikasi menjadi assurance, relevance, interest, assessment dan
satisfaction. Makna dari modifikasi ini adalah usaha pertama dalam kegiatan pembelajaran untuk
menanamkan rasa yakin/percaya pada siswa. Kegiatan pembelajaran ada relevansinya dengan
kehidupan siswa, berusaha menarik dan memelihara minat/perhatian siswa. Kemudian diadakan
evaluasi dan menumbuhkan rasa bangga pada siswa dengan memberikan penguatan
(reinforcement). Dengan mengambil huruf awal dari masing-masing komponen menghasilkan
kata ARIAS sebagai akronim. Oleh karena itu, model pembelajaran yang sudah dimodifikasi ini
disebut model pembelajaran ARIAS.
2.2 Komponen Model Pembelajaran ARIAS
Seperti yang telah dikemukakan model pembelajaran ARIAS terdiri dari lima komponen
(assurance, relevance, interest, assessment, dan satisfaction) yang disusun berdasarkan teori
belajar. Kelima komponen tersebut merupakan satu kesatuan yang diperlukan dalam kegiatan
pembelajaran. Deskripsi singkat masing-masing komponen dan beberapa contoh yang dapat
dilakukan untuk membangkitkan dan meningkatkannya kegiatan pembelajaran adalah sebagai
berikut.
Komponen pertama model pembelajaran ARIAS adalah assurance (percaya diri), yaitu
berhubungan dengan sikap percaya, yakin akan berhasil atau yang berhubungan dengan harapan
untuk berhasil (Keller, 1987: 2-9). Menurut Bandura seperti dikutip oleh Gagne dan Driscoll
(1988: 70) seseorang yang memiliki sikap percaya diri tinggi cenderung akan berhasil bagaimana
pun kemampuan yang ia miliki. Sikap di mana seseorang merasa yakin, percaya dapat berhasil
mencapai sesuatu akan mempengaruhi mereka bertingkah laku untuk mencapai keberhasilan
tersebut. Sikap ini mempengaruhi kinerja aktual seseorang, sehingga perbedaan dalam sikap ini
menimbulkan perbedaan dalam kinerja. Sikap percaya, yakin atau harapan akan berhasil
mendorong individu bertingkah laku untuk mencapai suatu keberhasilan (Petri, 1986: 218).
Siswa yang memiliki sikap percaya diri memiliki penilaian positif tentang dirinya cenderung
menampilkan prestasi yang baik secara terus menerus (Prayitno, 1989: 42). Sikap percaya diri,
yakin akan berhasil ini perlu ditanamkan kepada siswa untuk mendorong mereka agar berusaha
dengan maksimal guna mencapai keberhasilan yang optimal. Dengan sikap yakin, penuh percaya
diri dan merasa mampu dapat melakukan sesuatu dengan berhasil, siswa terdorong untuk
melakukan sesuatu kegiatan dengan sebaik-baiknya sehingga dapat mencapai hasil yang lebih
baik dari sebelumnya atau dapat melebihi orang lain. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk
mempengaruhi sikap percaya diri adalah:
Membantu siswa menyadari kekuatan dan kelemahan diri serta menanamkan pada siswa
gambaran diri positif terhadap diri sendiri. Menghadirkan seseorang yang terkenal dalam suatu
bidang sebagai pembicara, memperlihatkan video tapes atau potret seseorang yang telah berhasil
(sebagai model), misalnya merupakan salah satu cara menanamkan gambaran positif terhadap
diri sendiri dan kepada siswa. Menurut Martin dan Briggs (1986: 427-433) penggunaan model
seseorang yang berhasil dapat mengubah sikap dan tingkah laku individu mendapat dukungan
luas dari para ahli. Menggunakan seseorang sebagai model untuk menanamkan sikap percaya
diri menurut Bandura seperti dikutip Gagne dan Briggs (1979: 88) sudah dilakukan secara luas di
sekolah-sekolah.
Menggunakan suatu patokan, standar yang memungkinkan siswa dapat mencapai keberhasilan
(misalnya dengan mengatakan bahwa kamu tentu dapat menjawab pertanyaan di bawah ini tanpa
melihat buku).
Memberi tugas yang sukar tetapi cukup realistis untuk diselesaikan/sesuai dengan kemampuan
siswa (misalnya memberi tugas kepada siswa dimulai dari yang mudah berangsur sampai ke
tugas yang sukar). Menyajikan materi secara bertahap sesuai dengan urutan dan tingkat
kesukarannya menurut Keller dan Dodge seperti dikutip Reigeluth dan Curtis dalam Gagne
(1987: 175-202) merupakan salah satu usaha menanamkan rasa percaya diri pada siswa.
Memberi kesempatan kepada siswa secara bertahap mandiri dalam belajar dan melatih suatu
keterampilan.
Komponen kedua model pembelajaran ARIAS, relevance, yaitu berhubungan dengan kehidupan
siswa baik berupa pengalaman sekarang atau yang telah dimiliki maupun yang berhubungan
dengan kebutuhan karir sekarang atau yang akan datang (Keller, 1987: 2-9). Siswa merasa
kegiatan pembelajaran yang mereka ikuti memiliki nilai, bermanfaat dan berguna bagi kehidupan
mereka. Siswa akan terdorong mempelajari sesuatu kalau apa yang akan dipelajari ada
relevansinya dengan kehidupan mereka, dan memiliki tujuan yang jelas. Sesuatu yang memiliki
arah tujuan, dan sasaran yang jelas serta ada manfaat dan relevan dengan kehidupan akan
mendorong individu untuk mencapai tujuan tersebut. Dengan tujuan yang jelas mereka akan
mengetahui kemampuan apa yang akan dimiliki dan pengalaman apa yang akan didapat. Mereka
juga akan mengetahui kesenjangan antara kemampuan yang telah dimiliki dengan kemampuan
baru itu sehingga kesenjangan tadi dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan sama sekali (Gagne
dan Driscoll, 1988: 140).
Dalam kegiatan pembelajaran, para guru perlu memperhatikan unsur relevansi ini. Beberapa cara
yang dapat digunakan untuk meningkatkan relevansi dalam pembelajaran adalah:
Mengemukakan tujuan sasaran yang akan dicapai. Tujuan yang jelas akan memberikan
harapan yang jelas (konkrit) pada siswa dan mendorong mereka untuk mencapai tujuan tersebut
(DeCecco,1968: 162). Hal ini akan mempengaruhi hasil belajar mereka.
Mengemukakan manfaat pelajaran bagi kehidupan siswa baik untuk masa sekarang dan/atau
untuk berbagai aktivitas di masa mendatang.
Menggunakan bahasa yang jelas atau contoh-contoh yang ada hubungannya dengan
pengalaman nyata atau nilai- nilai yang dimiliki siswa. Bahasa yang jelas yaitu bahasa yang
dimengerti oleh siswa. Pengalaman nyata atau pengalaman yang langsung dialami siswa dapat
menjembataninya ke hal-hal baru. Pengalaman selain memberi keasyikan bagi siswa, juga
diperlukan secara esensial sebagai jembatan mengarah kepada titik tolak yang sama dalam
melibatkan siswa secara mental, emosional, sosial dan fisik, sekaligus merupakan usaha melihat
lingkup permasalahan yang sedang dibicarakan (Semiawan, 1991). (4) Menggunakan berbagai
alternatif strategi dan media pembelajaran yang cocok untuk pencapaian tujuan. Dengan
demikian dimungkinkan menggunakan bermacam-macam strategi dan/atau media pembelajaran
pada setiap kegiatan pembelajaran.
Komponen ketiga model pembelajaran ARIAS, interest, adalah yang berhubungan dengan
minat/perhatian siswa. Menurut Woodruff seperti dikutip oleh Callahan (1966: 23) bahwa
sesungguhnya belajar tidak terjadi tanpa ada minat/perhatian. Keller seperti dikutip Reigeluth
(1987: 383-430) menyatakan bahwa dalam kegiatan pembelajaran minat/perhatian tidak hanya
harus dibangkitkan melainkan juga harus dipelihara selama kegiatan pembelajaran berlangsung.
Oleh karena itu, guru harus memperhatikan berbagai bentuk dan memfokuskan pada
minat/perhatian dalam kegiatan pembelajaran. Herndon (1987:11-14) menunjukkan bahwa
adanya minat/perhatian siswa terhadap tugas yang diberikan dapat mendorong siswa melanjutkan
tugasnya. Siswa akan kembali mengerjakan sesuatu yang menarik sesuai dengan minat/perhatian
mereka. Membangkitkan dan memelihara minat/perhatian merupakan usaha menumbuhkan
keingintahuan siswa yang diperlukan dalam kegiatan pembelajaran.
Minat/perhatian merupakan alat yang sangat berguna dalam usaha mempengaruhi hasil belajar
siswa. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk membangkitkan dan menjaga minat/perhatian
siswa antara lain adalah:
Menggunakan cerita, analogi, sesuatu yang baru, menampilkan sesuatu yang lain/aneh yang
berbeda dari biasa dalam pembelajaran.
Memberi kesempatan kepada siswa untuk berpartisipasi secara aktif dalam pembelajaran,
misalnya para siswa diajak diskusi untuk memilih topik yang akan dibicarakan, mengajukan
pertanyaan atau mengemukakan masalah yang perlu dipecahkan.
Mengadakan variasi dalam kegiatan pembelajaran misalnya menurut Lesser seperti dikutip
Gagne dan Driscoll (1988: 69) variasi dari serius ke humor, dari cepat ke lambat, dari suara keras
ke suara yang sedang, dan mengubah gaya mengajar.
Mengadakan komunikasi nonverbal dalam kegiatan pembelajaran seperti demonstrasi dan
simulasi yang menurut Gagne dan Briggs (1979: 157) dapat dilakukan untuk menarik
minat/perhatian siswa.
Komponen keempat model pembelajaran ARIAS adalah assessment, yaitu yang berhubungan
dengan evaluasi terhadap siswa. Evaluasi merupakan suatu bagian pokok dalam pembelajaran
yang memberikan keuntungan bagi guru dan murid (Lefrancois, 1982: 336). Bagi guru menurut
Deale seperti dikutip Lefrancois (1982: 336) evaluasi merupakan alat untuk mengetahui apakah
yang telah diajarkan sudah dipahami oleh siswa; untuk memonitor kemajuan siswa sebagai
individu maupun sebagai kelompok; untuk merekam apa yang telah siswa capai, dan untuk
membantu siswa dalam belajar. Bagi siswa, evaluasi merupakan umpan balik tentang kelebihan
dan kelemahan yang dimiliki, dapat mendorong belajar lebih baik dan meningkatkan motivasi
berprestasi (Hopkins dan Antes, 1990:31). Evaluasi terhadap siswa dilakukan untuk mengetahui
sampai sejauh mana kemajuan yang telah mereka capai. Apakah siswa telah memiliki
kemampuan seperti yang dinyatakan dalam tujuan pembelajaran (Gagne dan Briggs, 1979:157).
Evaluasi tidak hanya dilakukan oleh guru tetapi juga oleh siswa untuk mengevaluasi diri mereka
sendiri (self assessment) atau evaluasi diri. Evaluasi diri dilakukan oleh siswa terhadap diri
mereka sendiri, maupun terhadap teman mereka. Hal ini akan mendorong siswa untuk berusaha
lebih baik lagi dari sebelumnya agar mencapai hasil yang maksimal. Mereka akan merasa malu
kalau kelemahan dan kekurangan yang dimiliki diketahui oleh teman mereka sendiri. Evaluasi
terhadap diri sendiri merupakan evaluasi yang mendukung proses belajar mengajar serta
membantu siswa meningkatkan keberhasilannya (Soekamto, 1994). Hal ini sejalan dengan yang
dikemukakan Martin dan Briggs seperti dikutip Bohlin (1987: 11-14) bahwa evaluasi diri secara
luas sangat membantu dalam pengembangan belajar atas inisiatif sendiri. Dengan demikian,
evaluasi diri dapat mendorong siswa untuk meningkatkan apa yang ingin mereka capai. Ini juga
sesuai dengan apa yang dikemukakan Morton dan Macbeth seperti dikutip Beard dan Senior
(1980: 76) bahwa evaluasi diri dapat mempengaruhi hasil belajar siswa. Oleh karena itu, untuk
mempengaruhi hasil belajar siswa evaluasi perlu dilaksanakan dalam kegiatan pembelajaran.
Beberapa cara yang dapat digunakan untuk melaksanakan evaluasi antara lain adalah:
Mengadakan evaluasi dan memberi umpan balik terhadap kinerja siswa.
Memberikan evaluasi yang obyektif dan adil serta segera menginformasikan hasil evaluasi
kepada siswa.
Memberi kesempatan kepada siswa mengadakan evaluasi terhadap diri sendiri.
Memberi kesempatan kepada siswa mengadakan evaluasi terhadap teman.
Komponen kelima model pembelajaran ARIAS adalah satisfaction yaitu yang berhubungan
dengan rasa bangga, puas atas hasil yang dicapai. Dalam teori belajar satisfaction adalah
reinforcement (penguatan). Siswa yang telah berhasil mengerjakan atau mencapai sesuatu
merasa bangga/puas atas keberhasilan tersebut. Keberhasilan dan kebanggaan itu menjadi
penguat bagi siswa tersebut untuk mencapai keberhasilan berikutnya (Gagne dan Driscoll, 1988:
70). Reinforcement atau penguatan yang dapat memberikan rasa bangga dan puas pada siswa
adalah penting dan perlu dalam kegiatan pembelajaran (Hilgard dan Bower, 1975:561). Menurut
Keller berdasarkan teori kebanggaan, rasa puas dapat timbul dari dalam diri individu sendiri
yang disebut kebanggaan intrinsik di mana individu merasa puas dan bangga telah berhasil
mengerjakan, mencapai atau mendapat sesuatu. Kebanggaan dan rasa puas ini juga dapat timbul
karena pengaruh dari luar individu, yaitu dari orang lain atau lingkungan yang disebut
kebanggaan ekstrinsik (Keller dan Kopp, 1987: 2-9). Seseorang merasa bangga dan puas karena
apa yang dikerjakan dan dihasilkan mendapat penghargaan baik bersifat verbal maupun
nonverbal dari orang lain atau lingkungan. Memberikan penghargaan (reward) menurut
Thorndike seperti dikutip oleh Gagne dan Briggs (1979: merupakan suatu penguatan
(reinforcement) dalam kegiatan pembelajaran. Dengan demikian, memberikan penghargaan
merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk mempengaruhi hasil belajar siswa
(Hilgard dan Bower, 1975: 561). Untuk itu, rasa bangga dan puas perlu ditanamkan dan dijaga
dalam diri siswa. Beberapa cara yang dapat dilakukan antara lain :
Memberi penguatan (reinforcement), penghargaan yang pantas baik secara verbal maupun non-
verbal kepada siswa yang telah menampilkan keberhasilannya. Ucapan guru : Bagus, kamu
telah mengerjakannya dengan baik sekali!. Menganggukkan kepala sambil tersenyum sebagai
tanda setuju atas jawaban siswa terhadap suatu pertanyaan, merupakan suatu bentuk penguatan
bagi siswa yang telah berhasil melakukan suatu kegiatan. Ucapan yang tulus dan/atau senyuman
guru yang simpatik menimbulkan rasa bangga pada siswa dan ini akan mendorongnya untuk
melakukan kegiatan lebih baik lagi, dan memperoleh hasil yang lebih baik dari sebelumnya.
Memberi kesempatan kepada siswa untuk menerapkan pengetahuan/keterampilan yang baru
diperoleh dalam situasi nyata atau simulasi.
Memperlihatkan perhatian yang besar kepada siswa, sehingga mereka merasa dikenal dan
dihargai oleh para guru.
Memberi kesempatan kepada siswa untuk membantu teman mereka yang mengalami
kesulitan/memerlukan bantuan.
2.3 Penggunaan Model Pembelajaran ARIAS
Penggunaan model pembelajaran ARIAS perlu dilakukan sejak awal, sebelum guru melakukan
kegiatan pembelajaran di kelas. Model pembelajaran ini digunakan sejak guru atau perancang
merancang kegiatan pembelajaran dalam bentuk satuan pelajaran misalnya. Satuan pelajaran
sebagai pegangan (pedoman) guru kelas dan satuan pelajaran sebagai bahan/materi bagi siswa.
Satuan pelajaran sebagai pegangan bagi guru disusun sedemikian rupa, sehingga satuan pelajaran
tersebut sudah mengandung komponen-komponen ARIAS. Artinya, dalam satuan pelajaran itu
sudah tergambarkan usaha/kegiatan yang akan dilakukan untuk menanamkan rasa percaya diri
pada siswa, mengadakan kegiatan yang relevan, membangkitkan minat/perhatian siswa,
melakukan evaluasi dan menumbuhkan rasa dihargai/bangga pada siswa. Guru atau pengembang
sudah merancang urutan semua kegiatan yang akan dilakukan, strategi atau metode pembelajaran
yang akan digunakan, media pembelajaran apa yang akan dipakai, perlengkapan apa yang
dibutuhkan, dan bagaimana cara penilaian akan dilaksanakan. Meskipun demikian pelaksanaan
kegiatan pembelajaran disesuaikan dengan situasi, kondisi dan lingkungan siswa. Demikian juga
halnya dengan satuan pelajaran sebagai bahan/materi untuk siswa. Bahan/materi tersebut harus
disusun berdasarkan model pembelajaran ARIAS. Bahasa, kosa kata, kalimat, gambar atau
ilustrasi, pada bahan/materi dapat menumbuhkan rasa percaya diri pada siswa, bahwa mereka
mampu, dan apa yang dipelajari ada relevansi dengan kehidupan mereka. Bentuk, susunan dan
isi bahan/materi dapat membangkitkan minat/perhatian siswa, memberi kesempatan kepada
siswa untuk mengadakan evaluasi diri dan siswa merasa dihargai yang dapat menimbulkan rasa
bangga pada mereka. Guru dan/atau pengembang agar menggunakan bahasa yang mudah
dipahami dan dimengerti, kata-kata yang jelas dan kalimat yang sederhana tidak berbelit-belit
sehingga maksudnya dapat dengan mudah ditangkap dan dicerna siswa. Bahan/materi agar
dilengkapi dengan gambar yang jelas dan menarik dalam jumlah yang cukup. Gambar dapat
menimbulkan berbagai macam khayalan/fantasi dan dapat membantu siswa lebih mudah
memahami bahan/materi yang sedang dipelajari.
Siswa dapat membayangkan/mengkhayalkan apa saja, bahkan dapat membayangkan dirinya
sebagai apa saja (McClelland, 1987: 29). Bahan/materi disusun sesuai urutan dan tahap
kesukarannya perlu dibuat sedemikian rupa sehingga dapat menimbulkan keingintahuan dan
memungkinkan siswa dapat mengadakan evaluasi sendiri.
3. Hasil Percobaan di Lapangan
Model pembelajaran ARIAS telah dicobakan pada sejumlah siswa di dua sekolah yang berbeda.
Pertama model ini dicobakan kepada sejumlah siswa kelas V dari sebuah sekolah dasar (SD)
Negeri di Kota Palembang selama satu caturwulan yaitu catur wulan III tahun ajaran 1995/1996.
Sekolah ini diambil sebagai sampel secara acak sederhana dari sejumlah SD negeri setara di Kota
Palembang yang memiliki kelas V paralel. Dari keseluruhan siswa SD ini diambil 60 orang siswa
kelas V sebagai sampel yang dikelompokkan ke dalam empat kelompok, di mana masing-masing
kelompok berjumlah 15 orang siswa. Sampel siswa ini juga diambil secara acak sederhana.
Percobaan menggunakan metode eksperimen dengan rancangan faktorial 2 x 2. Untuk
memperoleh data yang diperlukan digunakan instrumen tes hasil belajar dan kuesioner yang telah
diuji validitas dan reliabilitasnya. Data yang diperoleh dianalisis dengan ANAVA—2 jalur
dengan uji F pada taraf signifikansi a = 0,05.
Percobaan kedua juga menggunakan metode eksperimen dengan rancangan 2 x 2 dilaksanakan di
SD yang berbeda, yaitu sebuah SD negeri di Sekayu, Kabupaten Musi Banyu Asin. Lama
percobaan selama satu caturwulan yaitu catur wulan II tahun ajaran 1996/1997. Jumlah sampel
sebanyak 80 orang siswa yang dikelompokkan ke dalam empat kelompok di mana masing-
masing kelompok berjumlah 20 orang siswa. Baik sampel SD maupun sampel siswa diambil
secara acak sederhana. Untuk memperoleh data yang diperlukan digunakan tes motivasi
berprestasi. Data yang diperoleh juga dianalisis dengan ANAVA—2 jalur pada taraf
signifikansi a = 0,05. Seperti halnya pada percobaan pertama, pada percobaan kedua ini juga
dilakukan uji persyaratan analisis yaitu uji Lilliefors untuk normalitas dan uji Bartlett untuk
homogenitas data.
Apakah motivasi berprestasi dan hasil belajar siswa yang mengikuti model pembelajaran ARIAS
lebih tinggi daripada mereka yang mengikuti model pembelajaran non-ARIAS. Untuk itu baik
pada percobaan pertama maupun pada percobaan kedua, siswa dikelompokkan ke dalam
kelompok kontrol dan eksperimen. Kegiatan pembelajaran pada kelompok eksperimen
dilaksanakan berdasarkan model pembelajaran ARIAS. Satuan pelajaran yang disusun
berdasarkan model pembelajaran ARIAS disusun/dikembangkan oleh penulis. Pada kelompok
kontrol kegiatan pembelajaran dilaksanakan berdasarkan model pembelajaran non-ARIAS,
dengan satuan pelajaran disusun oleh guru kelas bersangkutan. Pada kedua percobaan ini
dilakukan pengontrolan validitas internal dan eksternal. Pengontrolan validitas internal adalah:
(1) Menyetarakan setiap kelompok pada awal percobaan dengan menganalisis skor tes awal
setiap kelompok untuk menghindari efek pemilihan subjek yang berbeda;
(2) Menggunakan instrumen yang sama untuk tes akhir dan tes awal guna menghindari efek
perbedaan instrumen pengukur;
(3) Mengusahakan agar tidak ada subjek yang mengundurkan diri selama penelitian berlangsung
untuk menghindari efek kehilangan subjek dalam percobaan;
(4) Memberikan perlakuan yang relatif singkat, untuk menghindari efek pematangan dan efek tes
awal. Pengontrolan validitas eksternal adalah:
1. Penentuan kelompok kontrol, kelompok eksperimen dan pemilihan guru yang memiliki
kualifikasi setara ditetapkan secara acak;
2. Suasana belajar, situasi kelas, dan kondisi setiap kelompok semua sama seperti hari-hari
belajar biasa, kecuali penggunaan model pembelajaran ARIAS pada kelompok eksperimen,
untuk menghindari efek lingkungan yang dapat menyebabkan reaksi yang berlebihan dari siswa;
3. Selama percobaan siswa tidak diberitahu bahwa sedang ada penelitian untuk menghindari efek
Howthorne dan John Henry.
Hasil ANAVA menunjukkan bahwa pada percobaan pertama Fo=10,74 jauh lebih besar dari
Ft=4,02 pada taraf signifikansi a = 0,05, dan perbedaan rerata skor antara kedua kelompok
XA=78,80 > Xn-A=75,93 (Sopah, 1999: 120 121). Hasil ini menunjukkan bahwa hasil belajar
siswa yang mengikuti model pembelajaran ARIAS lebih tinggi daripada mereka yang mengikuti
model pembelajaran non-ARIAS. Pada percobaan kedua Fo=8,44 lebih besar dari Ft=3,96 pada
taraf signifikansi a = 0,05, dan perbedaan rerata skor antara kedua kelompok adalah XA=18,55 >
Xn-A=15,98 (Sopah,1998: 99-100). Hasil ini menunjukkan bahwa motivasi berprestasi siswa
yang mengikuti model pembelajaran ARIAS lebih tinggi daripada mereka yang mengikuti model
pembelajaran non-ARIAS.
Hasil kedua percobaan menunjukkan bahwa ada pengaruh model pembelajaran ARIAS terhadap
motivasi berprestasi dan hasil belajar. Motivasi berprestasi dan hasil belajar siswa yang
mengikuti model pembelajaran ARIAS lebih tinggi daripada mereka yang mengikuti model
pembelajaran non-ARIAS.
4. Penutup
Dari hasil kedua percobaan lapangan tersebut dapat dikatakan bahwa model pembelajaran
ARIAS dapat digunakan oleh guru sebagai suatu alternatif dalam usaha meningkatkan motivasi
berprestasi dan hasil belajar. Meskipun percobaan lapangan ini menunjukkan hasil positif namun
kedua percobaan ini memiliki beberapa keterbatasan, yaitu:
Dari hasil kedua percobaan lapangan tersebut dapat dikatakan bahwa model pembelajaran dapat
digunakan oleh guru sebagai suatu alternatif dalam usaha meningkatkan motivasi berprestasi dan
hasil belajar. Meskipun percobaan lapangan ini menunjukkan hasil positif namun kedua
percobaan ini memiliki beberapa keterbatasan, yaitu:
Percobaan ini dilakukan dengan mengambil sampel salah satu SD negeri di Kota Palembang
(percobaan pertama) dan satu SD negeri di Sekayu, Kabupaten Musi Banyu Asin (percobaan
kedua). Walaupun sampel ini diambil secara acak, namun jumlahnya sangat terbatas, sehingga
hasilnya belum tentu dapat digeneralisasikan ke wilayah yang lebih luas. Untuk itu, perlu
penelitian sejenis lainnya dengan sebaran dan wilayah sampel yang lebih luas. Dengan dukungan
hasil penelitian sejenis ini maka diharapkan dapat merupakan bahan pertimbangan penggunaan
model pembelajaran ARIAS di Sekolah Dasar.
Waktu yang digunakan untuk percobaan ini juga terbatas. Percobaan hanya berlangsung
selama satu catur wulan. Karena waktunya terbatas, maka bahan atau materi yang diberikan juga
terbatas, belum begitu banyak. Meskipun dalam percobaan ini telah dilakukan pengendalian
secara cermat, namun karena terbatasnya waktu dan bahan yang diberikan kemungkinan adanya
pengaruh variabel lain yang tidak terkendali dapat terjadi. Untuk itu, perlu adanya penelitian
lanjutan yang waktunya lebih lama, bahan/materi yang diberikan lebih banyak, sehingga dapat
lebih mencerminkan bahwa model pembelajaran ARIAS dapat mempengaruhi hasil belajar siswa
atau tidak.
Bidang studi yang digunakan terbatas pada satu bidang studi bahkan satu subbidang studi.
Hasil baik yang diperoleh dalam subbidang studi ini belum tentu memberikan hasil yang sama
pada bidang studi lain. Karena itu juga perlu adanya penelitian sejenis lainnya pada berbagai
bidang studi, sehingga dapat mencerminkan besarnya pengaruh model pembelajaran ARIAS
terhadap hasil belajar siswa.
Dalam percobaan ini satuan pelajaran yang disusun menurut model pembelajaran ARIAS, baik
untuk pegangan guru maupun sebagai bahan/materi bagi murid disusun oleh penulis. Satuan
pelajaran menurut model pembelajaran ARIAS ini dicobakan dan ternyata hasilnya baik. Hasil
baik ini mungkin perlu didukung oleh penelitian sejenis lainnya di mana satuan pelajaran
menurut model pembelajaran ARIAS disusun oleh guru bersangkutan. Dengan demikian akan
terlihat apakah memang satuan pelajaran menurut model pembelajaran ARIAS yang disusun
oleh guru dengan berbagai macam keterbatasannya juga akan mencapai hasil yang lebih baik.
Pustaka Acuan :
Beard, Ruth M. dan Senior, Isabel J. 1980. Motivating students. London: Routledge and Kegan
Paul Ltd.
Bloom, Benjamin S.1982. Human characteristics and school learning. New York: McGraw-Hill
Book Company.
Bohlin, Roy M. 1987. Motivation in instructional design: Comparison of an American and a
Soviet model, Journal of Instructional Development vol. 10 (2), 11-14.
Callahan, Sterling G. 1966. Successful teaching in secondary schools. Chicago: Scott, Foreman
and Company.
Davies, Ivor K. 1981. Instructional technique. New York: McGraw Hill Book Company.
DeCecco, John P. 1968. The psychology of learning and instructions: Educational psychology.
New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1998. Laporan EBTANAS SD. Palembang:
Depdikbud Kodya Palembang.
Dick, Walter dan Reiser, Robert A. 1989. Planning effective instruction. Boston: Allyn and
Bacon.
Gagne, Robert M, dan Briggs, Leslie J. 1979. Principles of instructional design. New York: Holt,
Rinehart and Winston.
Gagne, Robert M. dan Driscoll, Marcy P. 1988. Essentials of learning for instruction. Englewood
Cliffs, NJ.: Prentice-Hall, Inc.
Hendorn, James N. 1987. Learner interests, achievement, and continuing motivation in
instruction, Journal of Instructional Development, Vol. 10 (3), 11-14.
Hilgard, Ernest R. dan Bower, Gordon H. 1975. Theories of learning. Englewood Cliffs, NJ:
Prentice Hall, Inc.
Hopkins, Charles D. dan Antes, Richard L. 1990. Classroom measurement and evaluation.
Itasca, Illinois: F.E. Peacock Publisher, Inc.
Keller, John M. 1983. Motivational design instruction dalam Charles M Reigeluth (ed.),
Instructional design theories and models, 383-430. Hillsdale, NJ.: Lawrence Erlbaum Associates,
Publishers.
________ 1987. Development and use of ARCS model of instructional design, Journal of
Instructional Development, Vol. 10 (3), 2-9.
Keller, John M. dan Thomas W. Kopp. 1987. An application of the ARCS model of motivational
design, dalam Charles M. Reigeluth (ed), Instructional theories in action, 289-319. Hillsdale, NJ:
Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.
Lastri, M.T.F. 1993. Kemampuan murid SD memprihatinkan, Kompas, 14 Juli, 12.
Lefrancois, Guy R. 1982. Psychology for teaching. Belmont, CA: Wadsworth Publishing
Company.
McClelland, David C. 1987. Memacu masyarakat berprestasi. Terjemahan Siswo Suyanto dan
W.W. Bakowatun. Jakarta: CV. Intermedia.
Morris, William (ed) 1981. The American heritage dictionary of English language. Boston:
Houghton Miflin Company. Petri, Herbert L. 1986. Motivation: Theory and research. Belmont,
CA: Wadsworth Publishing Company.
Prayitno, Elida 1989. Motivasi dalam belajar. Jakarta: PPPLPTK.
Reigeluth, Charles M. dan Curtis Ruth V. 1987. Learning situations and instructinal models,
dalam Robert M. Gagne (ed.), Instructional technology foundations, 175-206. Hillsdale, NJ:
Lawrence Erlbaum Associates, Publishers. Semiawan, Conny R. 1991.
Strategi pembelajaran yang efektif dan efisien dalam Conny R. Semiawan dan Soedijarto (ed.),
Mencari strategi pengembangan pendidikan nasional menjelang abad XXI, 165-175. Jakarta:
Grasindo. Soekamto, Toeti 1994. Evaluasi diri demi peningkatan mutu pendidikan. Pidato
pengukuhan guru besar tetap Fakultas Pendidikan Teknologi dan Kejuruan, Institut Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Jakarta, 30 Juli.
Sopah, Djamaah 1998. Studi tentang model peningkatan motivasi berprestasi siswa, Laporan
penelitian. Palembang: Lembaga Penelitian Universitas Sriwijaya.
________ 1999. Pengaruh model pembelajaran ARIAS dan motivasi berprestasi terhadap hasil
belajar siswa, Disertasi. Jakarta: PPS-IKIP Jakarta.
Suryabrata, Sumadi 1982. Psikologi pendidikan: Materi pendidikan program bimbingan
konseling di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Depdikbud.
RIWAYAT HIDUP
Djamaah Sopah, lahir di Penggage, 14 April 1944. Menyelesaikan Sarjana Muda Pendidikan dari
IKIP Bandung Cabang Palembang tahun 1967 dan Sarjana Pendidikan jurusan Pendidikan
Umum di FKIP Unversitas Sriwijaya tahun 1974. Pada tahun 1982 mengikuti pendidikan
Pascasarjana di University of Kentucky, USA, dan memperoleh gelar Master of Science in
Education dalam bidang Curriculum & Instruction tahun 1984. Pada tahun 1985 mendapat ijazah
Akta Mengajar V dari Universitas Terbuka.Tahun 1999 memperoleh gelar Doktor dalam bidang
Teknologi Pendidikan dari IKIP Jakarta.
Dari tahun 1962 sampai tahun 1974 pernah menjadi guru dan Kepala SD, guru SMP, guru SPSA,
serta guru dan Kepala SPG. Sejak tahun 1974 sampai sekarang menjadi dosen pada FIP/FKIP
Universitas Sriwijaya. Di samping itu pernah menjadi Koordinator Instructional Improvement
Network-WUAE, BKS/B-USAID 1985-1990. Instruktur pada penataran Pengembangan
Pembelajaran di berbagai Perguruan Tinggi Negeri di Wilayah Indonesia Bagian Barat dan
berbagai PTS di KOPERTIS Wilayah II (1984-1990). Pada tahun 1987 diundang sebagai
instruktur pada the WUAE-BKS/B Training Institute University of Kentucky, USA.
Artikel ilmiah yang pernah ditulis antara lain: Komunikasi antara Orangtua dan Anak disajikan
pada Diskusi Panel ISWI Palembang, 1990. Transparansi OHP sebagai Media Instruksional
(Suara Guru No. 5 Th. XLVI/1997). Motivasi Berprestasi, Perhatian Orangtua dan Hasil
Belajar (Forum Kependidikan No. 2 Th. XIII/1996). Sedangkan seminar/workshop
internasional yang pernah diikuti antara lain Mid-Winter Community Seminar (Tuskeege, USA,
1982).
The International Development Training Workshop (Lexington, USA, 1983).
Sumber: Pusat Statistik Pendidikan, Balitbang Depdiknas
http://gurupkn.wordpress.com/2007/12/22/model-pembelajaran-arias/

Modelmodel evaluasi hasil belajar PIPS (membahas pengertian validitas kurikulum


(curriculum validity) serta perannya terhadap evaluasi hasil belajar; pendekatan dan alat
dalam evaluasi hasil belajar PIPS)
TIU:Mata kuliah ini bertujuan agar mahasiswa S-1 Pendidikan Sejarah memiliki pengetahuan,
wawasan, pengalaman dan ketrampilan dalam:
a. pengertian IPS, Ilmu Sosial, social studies
b. landasan filosofis, akademik dan edukatif PIPS
c. tradisi social studies dan PIPS
d. teori dan pengembangan tujuan PIPS
e. teori, prosedur, dan model pengembangan materi kurikulum PIPS
f. teori, pendekatan, dan model pengembangan proses belajar PIPS
g. teori tentang hasil belajar PIPS
h. modelmodel evaluasi PIPS
TIK:- Alokasi:16 kali pertemuan Sumber:Andersen,C., P.G. Avery, P.V. Pederson, E.S. Smith,
J.L. Sullivan (1997). Divergent perspectives on citizenship education: A Q-method study and
survey of social studies teachers. American Educational Research Journal, 34, 2.

Brophy,J. dan J. Alleman (1996). Powerful social studies for elementary students. Forth Worth:
Harcourt Brace College Publisher

Gregg,S.M. dan G. Leinhardt,. (1994). Mapping out geography: an example of epistemology and
education. Review of Educational Research, 62, 2.

Hasan,S.H. (1996). Pendidikan Ilmu Sosial. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Hess, F.M. (1999). Bringing the Social Sciences Alive: 10 Simulations for History, Economics,
Government, and Geography. Boston: Allyn and Bacon.
Hursh,D.W. dan E.W. Ross (2000). Democratic Social Education: Social Studies for Social
Change. New York: Palmer Press.

Lindquist,T. (1995). Seeing the whole through social studies. London: Heinemann

NCSS (1994). Curriculum standards for social studies: expectations of excellence.


Washington,D.C.: NCSS

Nebraska, Stateboard of Education (1998). Nebraska Social Studies/History Standards: Grades


K-12. [Online]. Tersedia:http://www.nde.state.ne.us/SS/SocSStnd.html. (25 Mei 2001).
National Center for History in the Schools (1996). National standards for history. Los Angeles,
CA: National Center for History in the Schools

Savage,T.V. dan D.G. Armstrong (1996). Effective teaching in elementary social studies.
Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall.

Shaver, J.P. (1991). Handbook of research on social studies teaching and learning. A project of
the National Council for the Social Studies. New York: Macmillan Publishing Company.

Semb,G.B. dan J.A. Ellis (1994). Knowledge taught in school: what is remembered? Review of
Educational Research, 64, 2.

Stahl,R.J. (ed)(1994). Cooperative learning in social studies: a handbook for teachers. Menlo
Park, California: Addison-Wesley Publishing Company.

Thornton,S.J. (1994). The social studies near centurys end: reconsidering patterns of curriculum
and instruction, dalam Review of Research in Education, 20.

Wilson,S.M. dan Wineburg,S.S. (1993). Wrinkles in time and place: using performance
assessments to understand the knowledge of history teachers. American Educational Research
Journal, 30, 4.

Jurnals
Social Studies
Review of Educational Research

Anda mungkin juga menyukai