Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di Indonesia kanker nasofaring (bagian atas faring atau tenggorokan)


merupakan kanker terganas nomor 4 setelah kanker rahim, payudara dan kulit.
Sayangnya, banyak orang yang tidak menyadari gejala kanker ini, karena gejalanya
hanya seperti gejala flu biasa. Kanker nasofaring banyak dijumpai pada orang-orang
ras mongoloid, yaitu penduduk Cina bagian selatan, Hong Kong, Thailand, Malaysia
dan Indonesia juga di daerah India. Ras kulit putih jarang ditemui terkena kanker jenis
ini. Selain itu kanker nasofaring juga merupakan jenis kanker yang diturunkan secara
genetik.

Kanker nasofaring atau dikenal juga dengan kanker THT adalah penyakit yang
disebabkan oleh sel ganas (kanker) dan terbentuk dalam jaringan nasofaring, yaitu
bagian atas faring atau tenggorokan. Kanker ini paling sering terjadi di bagian THT,
kepala serta leher. Sampai saat ini belum jelas bagaimana mulai tumbuhnya kanker
nasofaring. Namun penyebaran kanker ini dapat berkembang ke bagian mata, telinga,
kelenjar leher, dan otak. Sebaiknya yang beresiko tinggi terkena kanker nasofaring
rajin memeriksakan diri ke dokter, terutama dokter THT. Risiko tinggi ini biasanya
dimiliki oleh laki-laki atau adanya keluarga yang menderita kanker ini.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimanakah asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan Ca Nasofaring?

1.3 Tujuan

1. Tujuan Umum

Memahami asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan ca


nasofaring
2. Tujuan Khusus

a. Memahami definisi Ca nasofaring.


b. Mengetahui penyebab dari Ca nasofaring.
c. Mengetahui manifestasi klinis dari Ca nasofaring
d. Mengetahui proses terjadinya Ca nasofaring.
e. Mengetahui pemeriksaan diagnostik pada Ca nasofaring.
f. Mengetahui penatalaksaan Ca nasofaring
g. Mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan Ca nasofaring

1.4 Manfaat

1. Mahasiswa mampu memahami konsep dan asuhan keperawatan pada klien


dengan gangguan ca Nasofaring sehingga menunjang pembelajaran mata
kuliah persepsi sensori.
2. Mahasiswa mampu mengetahui asuhan keperawatan yang benar sehingga
dapat menjadi bekal dalam persiapan praktik di rumah sakit.
BAB II

PEMBAHASAN

LAPORAN PENDAHULUAN CA NASOFARING

2.1 Definisi

Kanker nasofarig adalah suatu masa dalam nasofaring dan seringkali tenang
sampai masa ini mencapai ukuran yang cukup mengganggu struktur sekitarnya.
(Boies, 1997: 323 ).

Kanker nasofaring merupakan karsinoma sel skamosa yang mula-mula terlihat


sebagai masa yang berulserasi dan emgerosi kanker nasofaring, menginvasi ke daerah
tengkorak dan bermetastase ke nodus limfatikus dalam satadium dini. Sehingga sering
terlihat sebagai benjolan metastasis di leher atau sebagai paralisis saraf otak tersendiri
(dr. Petrus Andrianto, 1998: 372).

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang tumbuh di daerah


nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller dan atap nasofaring. Karsinoma
nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak
ditemukan di Indonesia. (Efiaty & Nurbaiti, 2001)

2.2 Anatomi Fisiologi

Nasofaring letaknya tertinggi di antara bagian-bagian lain dari faring, tepatnya


di sebelah do sal dari cavum nasi dan dihubungkan dengan cavum nasi oleh koane.
Nasofaring tidak bergerak, berfungsi dalam proses pernafasan dan ikut menentukan
kualitas suara yang dihasilkan oleh laring. Nasofaring merupakan rongga yang
mempunyai batas-batas sebagai berikut :
1. Atas : Basis kranii.
2. Bawah : Palatum mole
3. Belakang : Vertebra servikalis
4. Depan : Koane
5. Lateral : Ostium tubae Eustachii, torus tubarius, fossa rosenmuler
(resesus faringeus).
Pada atap dan dinding belakang Nasofaring terdapat adenoid atau tonsila
faringika.

2.3 Etiologi

Insidens karsinoma nasofaring yang tinggi ini dihubungkan dengan kebiasaan


makan, lingkungan dan virus Epstein-Barr (Sjamsuhidajat, 1997). Selain itu faktor
geografis, rasial, jenis kelamin, genetik, pekerjaan, kebiasaan hidup, kebudayaan,
sosial ekonomi, infeksi kuman atau parasit juga sangat mempengaruhi kemungkinan
timbulnya tumor ini. Tetapi sudah hampir dapat dipastikan bahwa penyebab
karsinoma nasofaring adalah virus Epstein-barr, karena pada semua pasien nasofaring
didapatkan titer anti-virus EEB yang cukup tinggi (Efiaty & Nurbaiti, 2001).

1. Kerentanan Genetik

Walaupun Ca Nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi


kerentanan terhadap Ca Nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu
relatif menonjol dan memiliki fenomena agrregasi familial. Analisis
korelasi menunjukkan gan HLA ( Human luekocyte antigen ) dan gen
pengode enzim sitokrom p4502E ( CYP2E1) kemungkinan adalah gen
kerentanan terhadap Ca Nasofaring, mereka berkaitan dengan timbulnya
sebagian besar Ca Nasofaring . Penelitian menunjukkan bahwa kromosom
pasien Ca Nasofaring menunjukkan ketidakstabilan , sehingga lebih rentan
terhadap serangan berbagai faktor berbahaya dari lingkungan dan timbul
penyakit.
2. Virus EB

Metode imunologi membuktikan virus EB membawa antigen yang


spesifik seperti antigen kapsid virus ( VCA ), antigen membran ( MA ),
antigen dini ( EA ), antigen nuklir ( EBNA ) , dll. Virus EB memiliki
kaitan erat dengan Ca Nasofaring , alasannya adalah :

a. Di dalam serum pasien Ca Nasofaring ditemukan antibodi terkait


virus EB ( termasuk VCA-IgA, EA-IgA, EBNA, dll ) , dengan
frekuensi positif maupun rata-rata titer geometriknya jelas lebih
tinggi dibandingkan orang normal dan penderita jenis kanker lain,
dan titernya berkaitan positif dengan beban tumor . Selain itu titer
antibodi dapat menurun secara bertahap sesuai pulihnya kondisi
pasien dan kembali meningkat bila penyakitnya rekuren atau
memburuk.
b. Di dalam sel Ca Nasofaring dapat dideteksi zat petanda virus EB
seperti DNA virus dan EBNA.
c. Epitel nasofaring di luar tubuh bila diinfeksi dengan galur sel
mengandung virus EB, ditemukan epitel yang terinfeksi tersebut
tumbuh lebih cepat , gambaran pembelahan inti juga banyak.
d. Dilaporkan virus EB di bawah pengaruh zat karsinogen tertentu
dapat menimbulkan karsinoma tak berdiferensiasi pada jaringan
mukosa nasofaring fetus manusia.
3. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan juga berperan penting. Penelitian akhir-akhir ini
menemukan zat berikut berkaitan dengan timbulnya Ca Nasofaring :
a. Hidrokarbon aromatik, pada keluarga di area insiden tinggi kanker
nasofaring , kandungan 3,4- benzpiren dalam tiap gram debu asap
mencapai 16,83 ug, jelas lebih tinggi dari keluarga di area insiden
rendah.
b. Unsur renik : nikel sulfat dapat memacu efek karsinognesis pada
proses timbulnya kanker nasofaring.
c. Golongan nitrosamin : banyak terdapat pada pengawet ikan asin.
Terkait dengan kebiasaan makan ikan asin waktu kecil, di dalam
air seninya terdeteksi nitrosamin volatil yang berefek mutagenik.

Kaitan Virus Epstein Barr dengan ikan asin dikatakan sebagai penyebab utama
timbulnya penyakit ini. Virus ini dapat masuk dalam tubuh dan tetap tinggal disana
tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam jangka waktu yang lama.
Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu mediator kebiasaan untuk
mengkonsumsi ikan asin secara terus menerus mulai dari masa kanak-kanak,
merupakan mediator utama yang dapat mengaktifkan virus ini sehingga menimbulkan
Ca Nasofaring. Mediator yang berpengaruh untuk timbulnya Ca Nasofaring :
1. Ikan asin, makanan yang diawetkan dan nitrosamine.
2. Keadaan social ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup.
3. Sering kontak dengan Zat karsinogen ( benzopyrenen, benzoantrance, gas
kimia, asap industri, asap kayu, beberapa ekstrak tumbuhan).
4. Ras dan keturunan (Malaysia, Indonesia)
5. Radang kronis nasofaring
6. Profil HLA

2.4 Patofisiologi

Terbukti juga infeksi virus Epstein-Barr dapat menyebabkan karsinoma


nasofaring. Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya keberadaan protein-
protein laten pada penderita karsinoma nasofaring. Pada penderita ini sel yang
terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan protein tertentu yang berfungsi untuk proses
proliferasi dan mempertahankan kelangsungan virus di dalam sel host. Protein laten
ini dapat dipakai sebagai petanda (marker) dalam mendiagnosa karsinoma nasofaring,
yaitu EBNA-1 dan LMP-1, LMP- 2A dan LMP-2B. Hal ini dibuktikan dengan
ditemukannya pada 50% serum penderita karsinoma nasofaring LMP-1 sedangkan
EBNA-1 dijumpai di dalam serum semua pasien karsinoma nasofaring.
Selain itu, dibuktikan oleh hasil penelitian Khrisna dkk (2004) dalam
Rusdiana (2006) terhadap suku Indian asli bahwa EBV DNA di dalam serum
penderita karsinoma nasofaring dapat dipakai sebagai biomarker pada karsinoma
nasofaring primer.
Hubungan antara karsinoma nasofaring dan infeksi virus Epstein-Barr juga
dinyatakan oleh berbagai peneliti dari bagian yang berbeda di dunia ini . Pada pasien
karsinoma nasofaring dijumpai peninggian titer antibodi anti EBV (EBNA-1) di
dalam serum plasma. EBNA-1 adalah protein nuklear yang berperan dalam
mempertahankan genom virus. Huang dalam penelitiannya, mengemukakan
keberadaan EBV DNA dan EBNA di dalam sel penderita karsinoma nasofaring.
Terdapat 5 stadium pada karsinoma nasofaring yaitu:
1. Stadium 0: sel-sel kanker masih berada dalam batas nasopharing, biasa
disebut nasopharynx in situ
2. Stadium 1: Sel kanker menyebar di bagian nasopharing
3. Stadium 2: Sel kanker sudah menyebar pada lebih dari nasopharing ke
rongga hidung. Atau dapat pula sudah menyebar di kelenjar getah bening
pada salah satu sisi leher.
4. Stadium 3: Kanker ini sudah menyerang pada kelenjar getah bening di
semua sisi leher
5. Stadium 4: kanker ini sudah menyebar di saraf dan tulang sekitar wajah.

Konsumsi ikan asin yang berlebih serta pemaparan zat-zat karsinogen dapat
mengaktifkan Virus Epstein Barr ( EBV). Ini akan menyebabkan terjadinya stimulasi
pembelahan sel abnormal yang tidak terkontrol, sehingga terjadi differensiasi dan
proliferasi protein laten (EBNA-1). Hal inilah yang memicu pertumbuhan sel kanker
pada nasofaring, dalam hal ini terutama pada fossa Rossenmuller.

2.5 Klasifikasi
Menurut Histopatologi :
1. Well differentiated epidermoid carcinoma.
a. Keratinizing
b. Non Keratinizing.
2. Undiffeentiated epidermoid carcinoma = anaplastic carcinoma
a. Transitional
b. Lymphoepithelioma.
3. Adenocystic carcinoma
Menurut bentuk dan cara tumbuh

1. Ulseratif
2. Eksofilik : Tumbuh keluar seperti polip.
3. Endofilik : Tumbuh di bawah mukosa, agar sedikit lebih tinggi dari
jaringan sekitar (creeping tumor)

Klasifikasi Histopatologi menurut WHO (1982)

1. Tipe WHO 1
a. Karsinoma sel skuamosa (KSS)
b. Deferensiasi baik sampai sedang.
c. Sering eksofilik (tumbuh dipermukaan).
2. Tipe WHO 2
a. Karsinoma non keratinisasi (KNK).
b. Paling banyak pariasinya.
c. Menyerupai karsinoma transisional
3. Tipe WHO 3
a. Karsinoma tanpa diferensiasi (KTD).
b. Seperti antara lain limfoepitelioma, Karsinoma anaplastik, Clear Cell
Carsinoma, varian sel spindel.
c. Lebih radiosensitif, prognosis lebih baik.

Klasifikasi TNM

Menurut UICC (1987) pembagian TNM adalah sebagai berikut :


a. T1 = Tumor terbatas pada satu sisi nasofaring
b. T2 = Tumor terdapat lebih dari satu bagian nasofaring.
c. T3 = Tumor menyebar ke rongga hidung atau orofaring.
d. T4 = Tumor menyebar ke endokranium atau mengenai syaraf otak.
e. N1 = Metastasis ke kelenjar getah bening pada sisi yang sama, mobil, soliter
dan berukuran kurang/sama dengan 3 cm.
f. N2 = Metastasis pada satu kelenjar pada sisi yang sama dengan ukuran lebih
dari 3 cm tetapi kurang dari 6 cm, atau multipel dengan ukuran besar kurang
dari 6 cm, atau bilateral/kontralateral dengan ukuran terbesar kurang dari 6
cm.
g. N3 = Metastasis ke kelenjar getah bening ukuran lebih besar dari 6 cm.
h. M0 = Tidak ada metastasis jauh.
i. M1 = Didapatkan metastasis jauh.

Lokasi :
1. Fossa Rosenmulleri.
2. Sekitar tuba Eustachius.
3. Dinding belakang nasofaring.
4. Atap nasofaring.

2.6 Manifestasi Klinik

Gejala karsinoma nasofaring dapat dikelompokkan menjadi 4 bagian, yaitu antara


lain:

1. Gejala nasofaring

Adanya epistaksis ringan atau sumbatan hidung.Terkadang gejala


belum ada tapi tumor sudah tumbuh karena tumor masih terdapat dibawah
mukosa (creeping tumor)
2. Gangguan pada telinga
Merupakan gejala dini karena tempat asal tumor dekat muara tuba
Eustachius (fosa Rosenmuller). Gangguan dapat berupa tinitus, tuli, rasa tidak
nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia)
3. Gangguan mata dan syaraf
Karena dekat dengan rongga tengkorak maka terjadi penjalaran melalui
foramen laserum yang akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI sehingga
dijumpai diplopia, juling, eksoftalmus dan saraf ke V berupa gangguan
motorik dan sensorik. Karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX,
X, XI dan XII jika penjalaran melalui foramen jugulare yang sering disebut
sindrom Jackson. Jika seluruh saraf otak terkena disebut sindrom unialteral.
Prognosis jelek bila sudah disertai destruksi tulang tengkorak.
4. Metastasis ke kelenjar leher
Yaitu dalam bentuk benjolan medial terhadap muskulus
sternokleidomastoid yang akhirnya membentuk massa besar hingga kulit
mengkilat. Hal inilah yang mendorong pasien untuk berobat. Suatu kelainan
nasofaring yang disebut lesi hiperplastik nasofaring atau LHN telah diteliti
dicina yaitu 3 bentuk yang mencurigakan pada nasofaring seperti pembesaran
adenoid pada orang dewasa, pembesaran nodul dan mukositis berat pada
daerah nasofaring. Kelainan ini bila diikuti bertahun tahun akan menjadi
karsinoma nasofaring.
2.7 Pemeriksaan Penunjang
1. Nasofaringoskopi
a. Rinoskopi posterior dengan atau tanpa kateter
b. Biopsi multiple
c. Radiologi :Thorak PA, Foto tengkorak, Tomografi, CT Scan, Bone
scantigraphy (bila dicurigai metastase tulang)
d. Pemeriksaan Neuro-oftalmologi : untuk mengetahui perluasan tumor
kejaringan sekitar yang menyebabkan penekanan atau infiltrasi kesaraf
otak, manifestasi tergantung dari saraf yang dikenai.
2. Dapat dilakukan pemeriksaan diantaranya yaitu :
a. Foto tengkorak, yaitu foto bagian/ potongan anteriposterior, lateral,
dan waters menunjukkan massa jaringan lunak didaerah nasofaring
b. Foto dasar tengkorak dapat terlihat destruksi atau erosi tulang didaerah
fosa serebri media.
c. CT scan daerah kepala dan leher terlihat adanya massa dengan terlihat
adanya kesuraman. CT scan dengan kontras menunjukkan massa yang
besar mengisi sisi posterior dari rongga hidung dan nasofaring dengan
perluasan ke sisi kiri dalam daerah nasofaring.
d. Biopsi dari hidung dan mulut. Biopsi sedapat mungkin diarahkan pada
tumor/ daerah yang dicurigai. Biopsi minimal dilakukan pada dua
tempat (kiri dan kanan), melalui rinoskopi anterior, bila perlu dengan
bantuan cermin melalui rinoskopi posterior. Bila perlu Biopsi dapat
diulang sampai tiga kali. Bila tiga kali Biopsi hasil negatif, sedang
secara klinis mencurigakan dengan karsinoma nasofaring, biopsi dapat
diulang dengan anestesi umum. Biopsi melalui nasofaringoskopi
dilakukan bila klien trismus atau keadaan umum kurang baik. Biopsi
kelenjar getah bening leher dengan aspirasi jarum halus dilakukan bila
terjadi keraguan apakah kelenjar tersebut suatu metastasis.
e. Pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narkosis.
3. Pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan darah tepi, fungsi hati, ginjal untuk
melihat/mendeteksi metastasis.
4. Pemeriksaan Serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk mengetahui
infeksi virus E-B.

2.8 Penatalaksanaan
1. Radioterapi :

Sebelumnya persiapan pasien dengan oral hygiene, dan apabila


infeksi/kerusakan gigi harus diobati terlebih dahulu. Dosis yang diberikan 200
rad/hari sampai 6000-6600 rad untuk tumor primer, sedangkan kelenjar leher
yang membesar diberi 6000 rad. Jika tidak ada pembesaran kelenjar diberikan
juga radiasi efektif sebesar 4000 rad. Ini dapat diberikan pada keadaan
kambuh atau pada metastasis tulang yang belum menimbulkan keadaan fraktur
patologik. Radiasi dapat menyembuhkan lesi, dan mengurangi rasa nyeri.

2. Kemoterapi :

Sebagai terapi tambahan dan diberikan pada stadium lanjut. Biasanya


dapat digabungkan dengan radiasi dengan urutan kemoterapi-radiasi-
kemoterapi. Kemoterapi yang dipakai yaitu Methotrexate (50 mg IV hari 1 dan
8); Vincristin (2 mg IV hari1); Platamin (100 mg IV hari 1);
Cyclophosphamide (2 x 50 mg oral, hari 1 s/d 10); Bleomycin (15 mg IV hari
8). Pada kemoterapi harus dilakukan kontrol terhadap efek samping fingsi
hemopoitik, fungsi ginjal dan lain-lain.

3. Operasi :

Tindakan operasi berupa diseksi leher radikal, dilakukan jika masih


ada sisa kelenjar pasca radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar, dengan
syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih.
2.9 Pencegahan

Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal didearah dengan


resiko tinggi. Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah dengan resiko tinggi
ketempat lainnya. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara
memasak makanan untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang
berbahaya, penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan
keadaan sosial/ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan-
kemungkinan faktor penyebab. Melakukan tes serologik lgA-anti VCA dan lgA anti
EA secara massal dimsa yang akan datang bermanfaat dalam menemukan karsinoma
nasofaring secara lebih dini.
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN TEORI

CA NASOFARING

3.1 Pengkajian
1. Wawancara

Menurut Sjamsuhidajat (1998), Mansjoer (1999), Iskandar (1989),


informasi yang perlu didapatkan pada wawancara adalah sebagai berikut :

a. Menanyakan kepada pasien mengenai gejala-gejala yaitu pada


telinga (sumbatan muara tuba dan otitis media) atau adanya
gangguan pendengaran. Selain itu, tanyakan pada pasien mengenai
gejala hidung seperti epistaksis dan sumbatan hidung.
b. Menanyakan kepada pasien apakah mempunyai riwayat kanker,
kebiasaan makan makanan yang asin-asin, mengenai keadaan
sosial ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup.
Apakah pasien sering kontak dengan zat karsinogen, juga adanya
radang kronis.
2. Identitas
a. Identitas klien yang meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku
bangsa, status marital, pendidikan, pekerjaan, tanggal masuk RS,
tanggal pengkajian, No Medrec, diagnosis dan alamat.
b. Identitas penanggung jawab yang meliputi : nama, umur, jenis
kelamin, pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan klien dan alamat.
3. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama
Biasanya didapatkan adanya keluhan suara agak serak,
kemampuan menelan terjadi penurunan dan terasa sakit waktu
menelan atau nyeri dan rasa terbakar dalam tenggorok.
b. Riwayat kesehatan sekarang
Merupakan informasi sejak timbulnya keluhan sampai klien
dirawat di RS. Menggambarkan keluhan utama klien, kaji tentang
proses perjalanan penyakit sampai timbulnya keluhan, faktor apa
saja memperberat dan meringankan keluhan dan bagaimana cara
klien menggambarkan apa yang dirasakan, daerah terasanya
keluhan, semua dijabarkan dalam bentuk PQRST.
c. Riwayat kesehatan dahulu
Kaji tentang penyakit yang pernah dialami klien
sebelumnya yang ada hubungannya dengan penyakit keturunan dan
kebiasaan atau gaya hidup.
d. Riwayat kesehatan keluarga
Kaji apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit
yang sama dengan klien atau adanya penyakit keturunan, bila ada
cantumkan genogram.

4. Dasar Data Pengkajian Pasien


a. Aktivitas/istirahat

Gejala : kelemahan dan/atau keletihan, perubahan pada pola


istirahat dan jam kebiasaan tidur pada malam hari, adanya faktor-
faktor yang mempengaruhi tidur misal nyeri, ansietas, berkeringat
malam.

b. Neurosensori

Gejala : gangguan pendengaran dan penghidu, adanya


pusing, sinkope.

c. Nyeri / kenyamanan

Gejala : nyeri terjadi pada bagian nasofaring, terasa


panas.

d. Pernapasan

Gejala : Adanya asap pabrik atau industri. Tanda : pada


pemeriksaan penunjang dapat terlihat adanya sumbatan seperti
massa.

e. Makanan /cairan

Gejala : anoreksia, mual/muntah. Tanda : perubahan


pada kelembaban/turgor kulit.
5. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi : Pada bagian leher terdapat benjolan, terlihat pada
benjolan warna kulit mengkilat.
b. Palpasi : Pasien saat dipalpasi adanya massa yang besar, selain itu
terasa nyeri apabila ditekan.
c. Pemeriksaan THT:
1) Otoskopi : Liang telinga, membran timpani.
2) Rinoskopia anterior :
a) Pada tumor endofilik tak jelas kelainan di rongga
hidung, mungkin hanya banyak sekret.
b) Pada tumor eksofilik, tampak tumor di bagian belakang
rongga hidung, tertutup sekret mukopurulen, fenomena
palatum mole negatif.

3. Rinoskopia posterior :
Pada tumor indofilik tak terlihat masa, mukosa nasofaring tampak agak
menonjol, tak rata dan paskularisasi meningkat.
Pada tumor eksofilik tampak masa kemerahan.
4. Faringoskopi dan laringoskopi : Kadang faring menyempit karena penebalan jaringan
retrofaring; reflek muntah dapat menghilang.
5. X foto : tengkorak lateral, dasar tengkorak, CT Scan

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Nyeri akut b/d agen injuri fisik (pembedahan).


2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d ketidakmampuan pemasukan
nutrisi..

3. Risiko infeksi b/d tindakan infasive, imunitas tubuh menurun

C. INTERVENSI
No Diagnosa Tujuan Intervensi
1 Nyeri akut Setelah dilakukan askep Manajemen nyeri :
selama 3 x 24 jam tingkat
1. Lakukan pegkajian nyeri secara
kenyamanan klien komprehensif termasuk lokasi,
meningkat, dan dibuktikan karakteristik, durasi, frekuensi,
dengan level nyeri: klien kualitas dan faktor presipitasi.
dapat melaporkan nyeri Rasional : Nyeri merupakan
pada petugas,
frekuensi pengalaman subyektif dan harus
nyeri, ekspresi wajah, dan dijelaskan oleh pasien,
menyatakan kenyamanan mengidentifikasi nyeri untuk
fisik dan psikologis, TD memilih intervensi yang tepat.
120/80 mmHg, N: 60-100
x/mnt, RR: 16-20x/mnt 2. Anjurkan untuk beristirahat dalam
Control nyeri dibuktikan ruangan yang tenang.
dengan klien melaporkan Rasional : Menurunkan stimulasi
gejala nyeri dan control yang berlebihan yang dapat
nyeri. mengurangi sakit kepala.
3.Berikan kompres dingin pada
bagian yang nyeri.
Rasional : Meningkatkan rasa
nyaman dengan menurunkan
vasodilatasi.

3. Ajarkan teknik relaksasi dengan


distraksi dan napas dalam.
Rasional : Membantu
mengendalikan nyeri dan
mengalihkan perhatian dari rasa
nyeri.
4. Kolaborasi medis, berikan
analgesik untuk mengurangi nyeri.
Rasional : Analgesik mampu
menekan saraf nyeri.
2 Ketidakseimbangan Setelah dilakukan askep Manajemen Nutrisi
nutrisi kurang dari
selama 324 jam klien 1. kaji pola makan klien
kebutuhan tubuh
menunjukan status nutrisi Rasional : Mengidentifikasi
adekuat dibuktikan dengan defisiensi nutrisi.
BB stabil tidak terjadi mal
2. Identifikasi pasien yang
nutrisi, tingkat energi mengalami mual/muntah yang
adekuat, masukan nutrisi diantisipasi.
adekuat Rasional : Mual/muntah
psikogenik terjadi sebelum
kemoterapi muali secara umum
tidak berespons terhadap obat
antiemetik.
3. Kolaborasi medis dengan
pemberian aniemetik pada jadwal
reguler sebelum atau selama dan
setelah pemberian agen
antineoplastik dengan sesuai.
Rasional : Mual/muntah paling
menurunkan kemampuan dan efek
samping psikologis kemoterapi
yang menimbulkan stress.
4. Sajikan makanan selagi hangat.
Rasional : Dengan sajian makanan
hangat lebih mengurangi mual.
5. Dorong pasien untuk makan
sedikit tapi sering.
Rasional : Kebutuhan sehari-hari
dapat terpenuhi dengan baik.
3 Risiko infeksi Setelah dilakukan askep Konrol infeksi :
selama 3 x 24 jam tidak1. Kaji adanya tanda-tanda infeksi.
terdapat faktor risiko Rasional : Untuk memudahkan
infeksi pada klien memberikan intervensi kepada
dibuktikan dengan status pasien.
imune klien adekuat: bebas2. Monitor tanda-tanda vital.
dari gejala infeksi, angka Rasional : Merupakan tanda
lekosit normal (4-11.000 ) adanya infeksi apabila terjadi
peradangan.
3. Kolaborasi medis dengan
pemberian antibiotik.
Rasional : Antibiotik dapat
mencegah sekaligus membunuh
kuman penyakit untuk berkembang
biak

D. IMPLEMENTASI
Implementasi / pelaksanaan pada klien dengan gangguan THT : kanker Nasofaring +
Post Tracheostomy dilaksanakan sesuai dengan perencanaan perawatan yang meliputi
tindakan-tindakan yang telah direncanakan oleh perawat maupun hasil kolaborasi dengan tim
kesehatan lainnya serta memperhatikan kondisi dan keadaan klien.
E. EVALUASI
Evaluasi dilakukan setelah diberikan tindakan perawatan dengan melihat respon klien,
mengacu pada kriteria evaluasi, tahap ini merupakan proses yang menentukan sejauah mana
tujuan telah tercapai.

DAFTAR PUSTAKA

Brunner, Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol.3. EGC.
Jakarta

Guyton, Athur C, 1997, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran , Edisi 9, EGC, Jakarta
Iskandar.N, 1989, Tumor Telinga-Hidung-Tenggorokan, Diagnosis dan
Penatalaksanaan, Fakultas Kedokteran Umum, Universitas Indonesia, Jakarta

NANDA International, 2001, Nursing Diagnosis Classification 2005 2006, USA

Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. EGC.
Jakarta.

Doenges, M. G. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3 EGC. Jakarta.

Sjamsuhidajat & Wim De Jong. (1997). Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC : Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai