Suatu informed consent baru sah diberikan oleh pasien jika memenuhi minimal 3
(tiga) unsure sebagai berikut : Keterbukaan informasi yang cukup diberikan oleh
dokter Kompetensi pasien dalam memberikan persetujuan Kesukarelaan (tanpa
paksaan atau tekanan) dalam memberikan persetujuan.
Di Indonesia perkembangan informed consent secara yuridis formal, ditandai
dengan munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang informed
consent melalui SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988.
Kemudian dipertegas lagi dengan PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang
Persetujuan Tindakan Medik atau Informed Consent. Hal ini tidak berarti para
dokter dan tenaga kesehatan di Indonesia tidak mengenal dan melaksanakan
informed consent karena jauh sebelum itu telah ada kebiasaan pada pelaksanaan
operatif, dokter selalu meminta persetujuan tertulis dari pihak pasien atau keluarganya
sebelum tindakan operasi itu dilakukan.
Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan medis
(pasien) kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk melakukan
tindakan medis dapat dibedakan menjadi tiga bentuk.
1. Bentuk-Bentuk Persetujua
a. Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang
mengandung resiko besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No.
585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat (1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88
butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang mengandung resiko cukup besar,
mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah sebelumnya pihak pasien
memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis serta resiko
yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent);
b. Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-
invasif dan tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien;
c. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien
yang akan disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan
lengannya sebagai tanda menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap
dirinya.
2. Tujuan Pelaksanaan Informed Consent
Dalam hubungan antara pelaksana (dokter) dengan pengguna jasa tindakan medis
(pasien), maka pelaksanaan informed consent, bertujuan : Melindungi pengguna
jasa tindakan medis (pasien) secara hukum dari segala tindakan medis yang dilakukan
tanpa sepengetahuannya, maupun tindakan pelaksana jasa tindakan medis yang
sewenang-wenang, tindakan malpraktek yang bertentangan dengan hak asasi pasien
dan standar profesi medis, serta penyalahgunaan alat canggih yang memerlukan biaya
tinggi atau over utilization yang sebenarnya tidak perlu dan tidak ada alasan
medisnya;
Memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana tindakan medis dari tuntutan-
tuntutan pihak pasien yang tidak wajar, serta akibat tindakan medis yang tak terduga
dan bersifat negatif, misalnya terhadap risk of treatment yang tak mungkin
dihindarkan walaupun dokter telah bertindak hati-hati dan teliti serta sesuai dengan
standar profesi medik. Sepanjang hal itu terjadi dalam batas-batas tertentu, maka tidak
dapat dipersalahkan, kecuali jika melakukan kesalahan besar karena kelalaian
(negligence) atau karena ketidaktahuan (ignorancy) yang sebenarnya tidak akan
dilakukan demikian oleh teman sejawat lainnya.
Perlunya dimintakan informed consent dari pasien karena informed consent
mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut :
1. Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia.
2. Promosi terhadap hak untuk menentukan nasibnya sendiri
3. Untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien
4. Menghindari penipuan dan misleading oleh dokter
5. Mendorong diambil keputusan yang lebih rasional
6. Mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan
7. Sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan kesehatan.
Pada prinsipnya iformed consent diberikan di setiap pengobatan oleh dokter.
1. Euthanasia Pasif
Euthanasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segalatindakan atau
pengobatan yang perlu untuk mempertahankan jidupmanusia. Dengan kata lain,
euthanasia pasif merupakan tindakan tidak memberikan pengobatan lagi kepada
pasien terminal untuk mengakhirihidupnya. Tindakan pada euthanasia pasif ini
dilakukan secara sengajadengan tidak lagi memberikan bantuan medis yang dapat
memperpanjanghidup pasien, seperti tidak memberikan alat-alat bantu hidup atau
obat-obat penahan rasa sakit, dan sebagainya.Penyalahgunaan euthanasia pasif bias
dilakukan oleh tenaga mediamaupun keluarga pasien sendiri.
Keluarga pasien bias saja menghendakikematian anggota keluarga mereka dengan
berbagai alasan, misalnya untuk mengurangi penderitaan pasien itu sendiri atau
karena sudah tidak mampumembayar biaya pengobatan.
2. Euthanasia Aktif atau Euthanasia Agresif
Euthanasia aktif atau euthanasia agresif adalah perbuatan yangdilakukan secara medik
melalui intervensi aktif oleh seorang dokter dengantujuan untuk mengakhiri hidup
manusia. Dengan kata lain, Euthanasia agresif atau euthanasia aktif adalah suatu
tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain untuk
mempersingkat atau mengakhiri hidup si pasien.
Euthanasia aktif menjabarkan kasus ketikasuatu tindakan dilakukan dengan tujuan
untuk menimbulkan kematian.Misalnya dengan memberikan obat-obatan yang
mematikan kedalam tubuh pasien (suntik mati). Euthanasia aktif ini dapat pula
dibedakan atas :
a. Euthanasia aktif langsung (direct)
Euthanasia ektif langsung adalah dilakukannnya tindakan medic secaraterarah yang
diperhitungkan akan mengakhiri hidup pasien, ataumemperpendek hidup pasien. Jenis
euthanasia ini juga dikenal sebagai mercy killing.
b. Euthanasia aktif tidak langsung (indirect)
Euthanasia aktif tidak lamgsung adalah saat dokter atau tenagakesehatan melakukan
tindakan medis untuk meringankan penderitaan pasien, namun mengetahui adanya
risiko tersebut dapatmemperpendek atau mengakhiri hidup pasien.
3. Euthanasia Non Agresif
Euthanasia non agresif atau disebut juga autoeuthanasia termasuk euthanasia negative
dimana seorang pasien menolak secara tegas dandengan sadar untuk menerima
perawatan medis dan pasien tersebutmengetahui bahwa penolakannya tersebut akan
memperpendek ataumenakhiri hidupnya
Ditinjau dari permintaan atau pemberian izin, euthanasia dibedakan atas :
1. Euthanasia diluar Kemauan Pasien
Suatu tindakan euthanasiayang bertentangan dengan keinginan si pasien untuk tetap
hidup.Tindakan seperti ini dapat disamakan dengan pembunuhan.
2. Euthanasia Voluntir atau Euthanasia Sukarela atau Atas Permintaan Pasien
Euthanasia yang dilakukan atas permintaan atau persetujan pasien itu sendiri secara
sadar dan diminta berulang-ulang.
3. Euthanasia Involuntir atau Euthanasia Tidak Sukarela atau Tidak Atas Permintaan
Pasien
Euthanasia yang dilakukan pada pasien yangsudah tidak sadar, biasanya keluarga
pasien yang meminta. ni terjadiketika individu tidak mampu untuk menyetujui karena
faktor umur,ketidak mampuan fisik dan mental. Sebagai contoh dari kasus iniadalah
menghentikan bantuan makanan dan minuman untuk pasienyang berada di dalam
keadaan vegetatif (koma). Euthanasia iniseringkali menjadi bahan perdebatan dan
dianggap sebagai suatutindakan yang keliru oleh siapapun juga. Hal ini terjadi
apabilaseseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu
keputusan, misalnya hanya seorang wali dari pasien dan mengaku memiliki hak untuk
mengambil keputusan bagi pasientersebut.
c. Konsep Tentang kematian
Secara umum, kematian adalah suatu topik yang sangat ditakuti oleh publik. Hal
demikian tidak terjadi di dalam dunia kedokteran atau kesehatan.Dalam konteks
kesehatan modern, kematian tidaklah selalu menjadi sesuatuyang datang secara tiba-
tiba. Kematian dapat dilegalisir menjadi sesuatu yang definit dan dapat dipastikan
tanggal kejadiannya.
Euthanasia memungkinkanhal tersebut terjadi.Perkembangan euthanasia tidak terlepas
dari perkembangan konsep tentangkematian. Usaha manusia untuk memperpanjang
kehidupan dan menghindarikematian dengan mempergunakan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologidalam bidang kedokteran telah membawa masalah baru
dalam euthanasia,terutama berkenaan dengan penentuan kapan seseorang dinyatakan
telah mati.Beberapa konsep tentang mati yang dikenal adalah :
1. Mati sebagai berhentinya darah mengalir
2. Mati sebagai saat terlepasnya nyawa dari tubuh
3. Hilangnya kemampuan tubuh secara permanen
4. Hilangnya manusia secara permanen untuk kembali sadar dan
melakukaninteraksi social.
Konsep mati dari berhentinya darah mengalir seperti dianut selama ini
danyang juga diatur dalam PP. 18 Tahun 1981 menyatakan bahwa mati adalah
berhentinya fungsi jantung paru, tidak bisa dipergunakan lagi Karena teknologi
resusitasi telah memungkinkan jantung dan paru yang semua terhenti, kinidapat
dipacu untuk berdenyut kembali dan paru dapat dipompa untuk berkembang kempis
kembali.
Konsep mati terlepasnya roh dari tubuh sering menimbulkan keraguankarena
misalnya pada tindakan resusitasi yang berhasil, keadaan demikianmenimbulkan
kesan seakan-akan nyawa dapat ditarik kembali.Mengenai konsep mati, dari
hilangnya kembali kemampuan tubuh secara permanen untuk menjalankan fungsinya
secara terpadu, juga dipertanyakankarena organ berfungsi sendiri-sendiri tanpa
terkendali karena otak telah mati.Untuk kepentingan transplantasi konsep ini
menguntungkan, tetapi secara moraltidak dapat diterima karena kenyataannya organ-
organ masih berfungsimeskipun tidak terpadu lagi.Bila dibandingkan dengan manusia
sebagai makhluk social, yaitu individuyang mempunyai kepribadian, menyadari
kehidupannya, kekhususanya,lemampuannya mengingat, menentukan sikap, dan
mengambil keputusan,mengajukan alasan yang masuk akal, mampu berbuat,
menikmati, mengalamikecemasan, dan sebagainya, kemampuan untuk melakukan
interaksi socialtersebut makin banyak dipergunakan.Pusat pengendali ini terletak
dalam batang otak. Oleh karena itu, jika batang otak telah mati (brain stem death)
dapat diyakini bahwa manusia itusecara fisik dan social telah mati. Dalam keadaan
demikian kalangan medissering menempuh pilihan tidak meneruskan resusitasi
(DNR, do notresuscitation).
Penentuan saat mati ini juga dibahas dan ditetapkan dalam World
MedicalAsembly tahun 1968 yang dikenal dengan deklarasi Sydney. Disini
dinyatakan bahwa penentuan saat kematian di kebanyakan Negara merupakan
tanggung jawab sah dokter. Dokter dapat menentukan seseorang sudah mati
denganmenggunakan kriteria yang lazim tanpa bantuan alat-alat khusus, yang
telahdiketahui oleh semua dokter.Hal penting dalam penentuan saat mati disini adalah
proses kematiantersebut sudah tidak dapat dibalikkan lagi (irreversible), meski
menggunakanteknik penghidupan kembali apapun. Walaupun sampai sekarang tidak
ada alatyang sungguh-sungguh memuaskan dapat digunakan untuk penentuan saat
matiini, alat elektroensefalograf dapat diandalkan untuk maksud tersebut.Jika
penentuan saat mati berhubungan dengan kepentingan transplantasiorgan, keputusan
saat mati harus dilakukan oleh dua orang dokter atau lebih,dan dokter yang
menentukan saat mati itu tidak boleh ada kaitannya langsungdengan pelaksanaan
transplantasi tersebut.
d. Aturan Hukum Mengenai Euthanasia
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur seseorang dapat dipidana atau
dihukum jika ia menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja ataupun karena
kurang hati-hati. Ketentuan pelanggaran pidanayang berkaitan langsung dengan
euthanasia aktif terdapat pada pasal
Pasal 344 KUHP
Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang
disebutnya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh,dihukum penjara selama-lamanya dua
belas tahun.
Ketentuan ini harus diingat kalangan kedokteran sebab walaupunterdapat beberapa alasan
kuat untuk membantu pasien atau keluarga pasienmengakhiri hidup atau memperpendek
hidup pasien, ancaman hukuman iniharus dihadapinya.Untuk jenis euthanasia aktif maupun
pasif tanpa permintaan, beberapa pasal ini perlu diketahui oleh dokter.
Pasal 338 KUHP
Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, diukur karena maker mati,
dengan penjara selama-lamanya lima belas tahun.
Pasal 340 KUHP
Barang siapa dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulumenghilangkan jiwa orang lain,
dihukum, karena pembunuhandirencanakan (moord), dengan hukuman mati atau penjara
selama-lamanya seumur hidup atay penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.
Pasal 359 KUHP
Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang, dihukum penjara selama-
lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satutahun.
Selanjutnya, dibawah ini dikemukakan sebuah ketentuan hukum yang mengingatkan
kalangan kesehata nuntuk berhati-hati menghadapi kasus euthanasia:
Pasal 345 KUHP
Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain untuk membunuhdiri, menolongnya
dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri, dihukum penjara
selama-lamanya empat tahun. Pasal ini mengingatkan dokter untuk, jangankan melakukan
euthanasia, menolong atau memberi harapan kearah perbuatan itu sajapun sudah mendapat
ancaman pidana.