Anda di halaman 1dari 10

Nama Peserta: dr.

Nama Wahana: RSUD


Topik: Snake Bite
Tanggal (Kasus): 17 Juni 2016
Nama Pasien: Ny. T No RM: 51-64-49
Tanggal Presentasi: Nama Pendamping: dr
Tempat Presentasi: Komite Medik
Obyektif Presentasi:
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi:
Ny. T, 29 tahun, datang ke IGD RSU dengan keluhan pinggang kanan dipatok ular 30
menit SMRS saat pasien sedang tidur di gubuk pinggir sawah. Pasien tidak melihat dengan
jelas ular yang menggigit, hanya melihat bahwa ular hitam dan besar. Saat ini keluhan
hanya nyeri pada daerah yang dipatok oleh ular. Pasien belum mendapatkan pertolongan
pertama langsung ke IGD.
Tujuan: Mengetahui pendedakatan dan tatalaksana kasus snake bite
Bahan Bahasan: Tinjauan Pustaka Riset Kasus Audit
Cara Membahas: Diskusi Presentasi dan Diskusi Email Pos
Data Pasien Nama: Ny. T No Registrasi: 51-64-49
Nama Klinik: IGD Telepon: Terdaftar sejak: 17 Juni 2016
Data Utama dan Bahan Diskusi
1. Diagnosis/Gambaran Klinis
Snake bite
2. Riwayat Pengobatan
Pasien belum berobat sebelumnya dan langsung dibawa ke IGD.
3. Riwayat Kesehatan / Penyakit
Ny. T, 29 tahun, datang ke IGD RSU dengan keluhan pinggang kanan dipatok ular 30
menit SMRS saat pasien sedang tidur di gubuk pinggir sawah. Pasien tidak melihat dengan
jelas ular yang menggigit, hanya melihat bahwa ular hitam dan besar. Saat ini keluhan
hanya nyeri pada daerah yang dipatok oleh ular. Pasien belum mendapatkan pertolongan
pertama langsung ke IGD. Riwayat penyakit dahulu dan riwayat alergi obat-obatan

1
disangkal oleh pasien.
4. Riwayat Keluarga
Riwayat penyakit dalam keluarga disangkal oleh pasien.
Daftar Pustaka
1. Daley, B. J., 2006. Snake Bite. Department of Surgery, Division of Trauma and Critical
Care, University of Tennessee School of Medicine.
2. De Jong W., 1998. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC: Jakarta.
3. Depkes, 2001. Penatalaksanaan Gigitan Ular Berbisa: Pedoman Penatalaksanaan
Keracunan untuk Rumah Sakit. Dalam SIKer, Dirjen POM Depkes RI.
4. Sudoyo, A.W., 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
5. Warrell, D.A., 1999. Guidelines for the Clinical Management of Snake Bite in the South-
East Asia Region. World Health Organization. Regional Centre for Tropical Medicine,
Faculty of Tropical Medicine, Mahidol University, Thailand.
6. Warrell,D.A., 2005. Treatment of Bites by Adders and Exotic Venomous Snakes. BMJ
2005; 331:1244-12.
7. Suteparuk, S. Bites and Stings in Thailand. Divison of Toxicology Chulalongkorn
University.
Hasil Pembelajaran
1. Pendekatan pada kasus snake bite
2. Penatalaksanaan kasus snake bite

2
1. Subjektif
Ny. T, 29 tahun, datang ke IGD RSUdengan keluhan pinggang kanan dipatok ular 30 menit
SMRS saat pasien sedang tidur di gubuk pinggir sawah. Pasien tidak melihat dengan jelas
ular yang menggigit, hanya melihat bahwa ular hitam dan besar. Saat ini keluhan hanya
nyeri pada daerah yang dipatok oleh ular. Pasien belum mendapatkan pertolongan pertama
langsung ke IGD. Riwayat penyakit dahulu dan riwayat alergi obat-obatan disangkal oleh
pasien.
2. Objektif
Hasil pemeriksaan fisik didapatkan:
Tanda-tanda Vital :
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis (GCS 15)
Tekanan Darah : 130/90 mmHg
Nadi : 94 kali/menit
Pernapasan : 20 kali/menit
Suhu : 36.3oC
Status Generalis :
Kepala : Deformitas (-), normosefali
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil bulat, isokor
(3mm/3mm), refleks cahaya +/+
THT : Tidak ada kelainan
Leher : Tidak ada kelainan
Thorax : Pergerakan dada simetris
Paru : Sonor +/+, bunyi napas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
Jantung : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Supel, nyeri tekan (-), timpani, bising usus (+) normal
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 3 detik, edema (-)
Status Lokalis ad regio pinggang kanan: Terdapat vulnus puctum sebanyak dua buah
dengan ukuran diameter kurang lebih 0.5 cm tertutup oleh krusta berwarna merah
kehitaman, daerah sekitar luka berwarna kehitaman.

Hasil pemeriksaan EKG didapatkan dalam batas normal yaitu sinus rhythm dengan heart
rate 100 x/menit.

3
Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan:
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hematologi
Hemoglobin 15,8 P: 13-16, W: 12-14 g/dL
Hematokrit 45 P: 40-48, W: 37-43 Vol%
Leukosit 7.000 5-10 ribu/uL
Trombosit 202.000 150-400 ribu/uL
Kimia Darah
GDS 95 < 110 mg/dL
Ureum 23 15-50 mg/dL
Kreatinin 0,9 < 1,4 mg/dL
Natrium 145 136-146 mmol/L
Kalium 3,8 3,5-5,0 mmol/L
Chlorida 110 94-111 mmol/L
3. Assessment
Pada pasien ini ditegakkan diagnosis snake bite.

Gigitan ular berbahaya jika ularnya tergolong jenis berbisa. Sebenarnya dari kira-kira
ratusan jenis ular yang diketahui hanya sedikit sekali yang berbisa, dan dari golongan ini
hanya beberapa yang berbahaya bagi manusia. Di seluruh dunia dikenal lebih dari 2000
spesies ular, namun jenis yang berbisa hanya sekitar 250 spesies. Berdasarkan morfologi
gigi taringnya, ular dapat diklasifikasikan ke dalam 4 familli utama yaitu:
1. Famili Elapidae misalnya ular weling, ular welang, ular sendok, ular anang dan ular
cabai
2. Familli Crotalidae/ Viperidae, misalnya ular tanah, ular hijau dan ular bandotan
puspo
3. Familli Hydrophidae, misalnya ular laut
4. Familli Colubridae, misalnya ular pohon

Untuk menduga jenis ular yang mengigit adalah ular berbisa atau tidak dapat dipakai
rambu-rambu yang bertolak dari bentuk kepala ular dan luka bekas gigitan sebagai berikut.
Ciri-ciri ular tidak berbisa ialah sebagai berikut:
1. Bentuk kepala segi empat panjang
2. Gigi taring kecil

4
3. Bekas gigitan, luka halus berbentuk lengkung
Sedangkan ciri-ciri ular berbisa ialah sebagai berikut:
1. Kepala segi tiga
2. Dua gigi taring besar di rahang atas
3. Dua luka gigitan utama akibat gigi taring

Jenis ular berbisa berdasarkan dampak yang ditimbulkannya yang banyak dijumpai di
Indonesia adalah jenis ular:
1. Hematotoksik, seperti Trimeresurus albolais (ular hijau), Ankistrodon rhodostoma
(ular tanah), aktivitas hemoragik pada bisa ular Viperidae menyebabkan perdarahan
spontan dan kerusakan endotel (racun prokoagulan memicu kaskade pembekuan)
2. Neurotoksik, Bungarus fasciatus (ular welang), Naya sputatrix (ular sendok), ular
kobra, ular laut. Neurotoksin pascasinaps seperti -bungarotoxin dan cobrotoxin
terikat pada reseptor asetilkolin pada motor end-plate sedangkan neurotoxin
prasinaps seperti -bungarotoxin, crotoxin, taipoxin dan notexin merupakan
fosfolipase-A2 yang mencegah pelepasan asetilkolin pada neuromuscular junction.
Beberapa spesies Viperidae hydrophiidae memproduksi rabdomiolisin sistemik
sementara spesies yang lain menimbulkan mionekrosis pada tempat gigitan.

Racun/bisa diproduksi dan disimpan pada sepasang kelenjar di bawah mata. Racun ini
disimpan di bawah gigi taring pada rahang atas. Rahang dapat bertambah sampai 20 mm
pada ular berbisa yang besar. Dosis racun pergigitan bergantung pada waktu yang terlewati
setelah gigitan yang terakhir, derajat ancaman, dan ukuran mangsa. Respon lubang hidung
untuk pancaran panas dari mangsa memungkinkan ular untuk mengubah-ubah jumlah racun
yang dikeluarkan. Racun kebanyakan berupa air. Protein enzim pada racun mempunyai
sifat merusak. Protease, collagenase, dan hidrolase ester arginin telah teridentifikasi pada
racun ular berbisa. Neurotoksin terdapat pada sebagian besar racun ular berbisa. Diketahui
beberapa enzim diantaranya adalah (1) hialuronidase, bagian dari racun diamana merusak
jaringan subkutan dengan menghancurkan mukopolisakarida; (2) fosfolipase A2
memainkan peran penting pada hemolisis sekunder untuk efek eritrolisis pada membran sel
darah merah dan menyebabkan nekrosis otot; dan (3) enzim trombogenik menyebabkan
pembentukan clot fibrin, yang akan mengaktivasi plasmin dan menghasilkan koagulopati
yang merupakan konsekuensi hemoragik.

5
Racun yang merusak jaringan menyebabkan nekrosis jaringan yang luas dan hemolisis.
Gejala dan tanda yang menonjol berupa nyeri hebat dan tidak sebanding dengan besar luka,
edema, eritema, petekia, ekimosis, bula, dan tanda nekrosis jaringan. Dapat terjadi
perdarahan di peritoneum atau perikardium, edema paru, dan syok berat karena efek racun
langsung pada otot jantung. Ular berbisa yang terkenal adalah ular tanah, bandotan puspa,
ular hijau, dan ular laut. Ular berbisa lain adalah ular kobra dan ular welang yang biasanya
bersifat neurotoksik. Gejala dan tanda yang timbul karena bisa jenis ini adalah rasa
kesemutan, lemas, mual, salivasi, dan muntah. Pada pemeriksaan ditemukan ptosis, refleks
abnormal, dan sesak napas sampai akhirnya terjadi henti nafas akibat kelumpuhan otot
pernafasan. Ular kobra dapat juga menyemprotkan bisanya yang kalau mengenai mata
dapat menyebabkan kebutaan sementara. Diagnosis gigitan ular berbisa tergantung pada
keadaan bekas gigitan atau luka yang terjadi dan memberikan gejala lokal dan sistemik
sebagai berikut:
1. Gejala lokal: edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (dalam 30 menit-24
jam)
2. Gejala sistemik: hipotensi, kelemahan otot, berkeringat, mengigil, mual,
hipersalivasi, muntah, nyeri kepala, dan pandangan kabur
3. Gejala khusus gigitan ular berbisa:
a. Hematotoksik: perdarahan di tempat gigitan, paru, jantung, ginjal,
peritoneum, otak, gusi, hematemesis dan melena, perdarahan kulit
(petekie/ekimosis), hemoptoe, hematuri, koagulasi intravaskular diseminata
(KID)
b. Neurotoksik: hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis pernapasan, ptosis
oftalmoplegi, paralisis otot laring, reflek abdominal, kejang dan koma
c. Kardiotoksik: hipotensi, henti jantung, koma
d. Sindrom kompartemen: edema tungkai dengan tanda-tanda 5P (pain, pallor,
paresthesia, paralysis, pulselesness)

Kepada setiap kasus gigitan ular perlu dilakukan hal sebagai berikut:
- Anamnesis lengkap: identitas, waktu dan tempat kejadian, jenis dan ukuran ular,
riwayat penyakit sebelumnya
- Pemeriksaan fisik: status umum dan lokal serta perkembangannya setiap 12 jam
- Pemeriksaan darah: hemoglobin, leukosit, trombosit, kreatinin, ureum, elektrolit,
waktu perdarahan, waktu pembekuan, waktu protombin, fibrinogen, APTT, D-

6
dimer, uji faal hepar, golongan darah, dan uji cocok silang
- Pemeriksaan urin: hematuria, glikosuria, proteinuria (mioglobulinuria)
- EKG
- Foto thoraks

Tujuan penatalaksanaan pada kasus gigitan ular berbisa adalah:


1. Menghalangi/ memperlambat absorbsi bisa ular
2. Menetralkan bisa ular yang sudah masuk ke dalam sirkulasi darah
3. Mengatasi efek lokal dan sistemik

Usahakan membuang bisa sebanyak mungkin dengan menoreh lubang bekas masuknya
taring ular sepanjang dan sedalam 0.5 cm, kemudian dilakukan penghisapan mekanis. Bila
tidak tersedia alatnya, darah dapat diisap dengan mulut asal mukosa mulut utuh dan tak ada
luka. Bisa yang tertelan akan dinetralkan oleh cairan pencernaan. Selain itu dapat juga
dilakukan eksisi jaringan berbentuk elips karena ada dua bekas tusukan gigi taring, dengan
jarak 0.5 cm dari lubang gigitan, sampai kedalaman fasia otot.

Usaha menghambat absorbsi dapat dilakukan dengan memasang tourniket beberapa


centimeter di proksimal gigitan atau di proksimal pembengkakan yang terlihat, dengan
tekanan yang cukup untuk menghambat aliran vena tapi lebih rendah dari tekanan arteri.
Tekanan dipertahankan dua jam. Penderita diistirahatkan supaya aliran darah terpacu.
Dalam 12 jam pertama masih ada pengaruh bila bagian yang tergigit direndam dalam air es
atau didinginkan dengan es.

Untuk menetralisir bisa ular dilakukan penyuntikan serum bisa ular intravena atau intra
arteri yang memvaskularisasi daerah yang bersangkutan. Serum polivalen ini dibuat dari
darah kuda yang disuntik dengan sedikit bisa ular yang hidup di daerah setempat. Dalam
keadaan darurat tidak perlu dilakukan uji sensitivitas lebih dahulu karena bahanya bisa
lebih besar dari pada bahaya syok anafilaksis.

Pengobatan suportif terdiri dari infus NaCl, plasma atau darah, dan pemberian vasopresor
untuk menanggulangi syok. Mungkin perlu diberikan fibrinogen untuk memperbaiki
kerusakan sistem pembekuan. Dianjurkan juga pemberian kortikosteroid. Bila terjadi
kelumpuhan pernapasan dilakukan intubasi, dilanjutkan dengan memasang respirator untuk

7
ventilasi. Diberikan juga antibiotik spektrum luas dan vaksinasi tetanus. Bila terjadi
pembengkakan hebat, biasanya perlu dilakukan fasiotomi untuk mencegah sindrom
kompartemen. Bila perlu, dilakukan upaya untuk mengatasi faal ginjal. Nekrotomi
dikerjakan bila telah tampak jelas batas kematian jaringan, kemudian dilanjutkan dengan
cangkok kulit.

Bila ragu ragu mengenai jenis ularnya, sebaiknya penderita diamati selama 48 jam karena
kadang efek keracunan bisa timbul lambat. Gigitan ular tak berbisa tidak memerlukan
pertolongan khusus, kecuali pencagahan infeksi.

Berikut ialah pedoman tatalaksana kasus gigitan ular berbisa:


1. Sebelum penderita dibawa ke pusat pengobatan:
a. Penderita diistirahatkan dalam posisi horizontal terhadap luka gigitan
b. Penderita dilarang berjalan dan dilarang minum minuman yang mengandung
alkohol
c. Apabila gejala timbul secara cepat sementara belum tersedia antibisa, ikat
daerah proksimal dan distal dari gigitan. Kegiatan mengikat ini kurang
berguna jika dilakukan lebih dari 30 menit pasca gigitan. Tujuan ikatan
adalah untuk menahan aliran limfe, bukan menahan aliran vena atau ateri.
2. Setelah penderita tiba di pusat pengobatan diberikan terapi suportif sebagai berikut:
a. Penatalaksanaan jalan napas
b. Penatalaksanaan sirkulasi: beri infus cairan kristaloid
c. Beri pertolongan pertama pada luka gigitan: verban ketat dan luas diatas
luka, imobilisasi (dengan bidai)
d. Ambil 5-10 ml darah untuk pemeriksaan laboratorium darah
e. Hapus tempat gigitan dengan venom detection
f. Berikan SABU (Serum Anti Bisa Ular merupakan serum kuda yang
dilemahan) 2 vial masing-masing 5 ml intravena dalam 500 ml NaCl 0,9%
atau dextrose 5% dengan kecapatan 40-80 tetes/menit. Maksimal 100 ml (20
vial). Infiltrasi lokal pada luka tidak dianjurkan. Indikasi SABU lokal adalah
adanya gejala venerasi sistemik dan edema hebat pada bagian luka. Monitor
keseimbangan cairan dan elektrolit dan ulangi pemeriksaan darah 3 jam
setelah pemberian SABU:
Jika koagulopati tidak membaik (fibrinogen tidak meningkat, waktu

8
pembekuan darah tetap memanjang), ulangi pemberian SABU.
Ulangi pemeriksaan darah pada 1 dan 3 jam berikutnya.
Jika koagulopati membaik (fibrinogen meningkat, waktu pembekuan
menurun) maka monitor ketat kerusakan dan ulangi pemeriksaan
darah untuk memonitor perbaikannya. Monitor dilanjutkan 2x24 jam
untuk mendeteksi kemungkinan koagulopati berulang.
g. Berikan terapi suportif lainnya sesuai dengan keadaan pasien:
Gangguan koagulopati berat: berikan plasma fresh-frozen
Perdarahan: beri tranfusi darah segar atau komponen darah,
fibrinogen, vitamin K, tranfusi trombosit
Hipotensi: beri infus cairan kristaloid
Rabdomiolisis: beri cairan dan natrium bikarbonat
Sindrom kompartemen: lakukan fasiotomi
Gangguan neurologik: beri neostigmin (asetilkolinesterase), diawali
dengan sulfas atropin
h. Berikan tetanus profilaksis bila dibutuhkan
i. Untuk mengurangi rasa nyeri berikan aspirin atau kodein, hindari
penggunaan obat-obatan narkotik depresan
j. Berikan antibiotika spektrum luas untuk terapi profilaksis

4. Plan

Penatalaksanaan awal di IGD:


Penilaian ABC
IVFD RL 500 cc dalam 12 jam
Pemeriksaan laboratorium darah Hema I, GDS, elektrolit, Ur/Cr
Pemeriksaan EKG
Wound toilet dan debridemen luka
Injeksi dexamethasone 1 ampul IV
Injeksi ranitidin 1 ampul IV
Injeksi ketorolac 1 ampul IV
Konsultasi ke spesialis bedah umum

9
Penatalaksanaan dari dokter bedah:
Injeksi SABU ampul intralesi
Drip IV SABU ampul dalam RL 500 cc habis dalam 3 jam
IVFD RL:D5% = 2:1 dalam 24 jam
Injeksi ceftriaxone 2 x 1 gram
Injeksi ketorolac 3 x 1 ampul
Injeksi dexamethasone 3 x 1 ampul
Rawat inap untuk observasi

10

Anda mungkin juga menyukai