Anda di halaman 1dari 7

REKLAMASI TELUK JAKARTA MENURUT PANDANGAN

ISLAM
1.1 Pengertian Reklamasi

Reklamasi kawasan perairan merupakan upaya pembentukan suatu kawasan daratan baru
baik di wilayah pesisir pantai ataupun di tengah lautan. Tujuan utama reklamasi ini adalah
untuk menjadikan kawasan berair yang rusak atau belum termanfaatkan menjadi suatu
kawasan baru yang lebih baik dan bermanfaat untuk berbagai keperluan ekonomi maupun
untuk tujuan strategis lain. Kawasan daratan baru tersebut dapat dimanfaatkan untuk
kawasan permukiman, perindustrian, bisnis dan pertokoan, pelabuhan udara, perkotaan,
pertanian, jalur transportasi alternatif, reservoir air tawar di pinggir pantai, kawasan
pengelolaan limbah dan lingkungan terpadu, dan sebagai tanggul perlindungan daratan lama
dari ancaman abrasi serta untuk menjadi suatu kawasan wisata terpadu.

Biasanya kegiatan reklamasi ini dilakukan oleh suatu otoritas (negara, kota besar,
pengelola kawasan) yang memiliki laju pertumbuhan tinggi dan kebutuhan lahannya
meningkat pesat, tetapi mengalami kendala keterbatasan atau ketersediaan ruang dan lahan
untuk mendukung laju pertumbuhan yang ada, sehingga diperlukan untuk mengembangkan
suatu wilayah daratan baru.

Dalam konteks pengembangan wilayah, reklamasi kawasan pantai ini diharapkan akan
dapat meningkatkan daya tampung dan daya dukungan lingkungan (environmental carrying
capacity) secara keseluruhan bagi kawasan tersebut. Reklamasi dilakukan dalam rangka
meningkatkan manfaat sumberdaya lahan yang ditinjau dari sudut lingkungan dan social
ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase (UU 27, 2007). Hal ini
umumnya terjadi karena semakin tingginya tingkat populasi manusia, khususnya di kawasan
pesisir, sehingga perlu dicari solusinya.

Sedangkan menurut Max Wagiu (2011) tujuan dari program reklamasi yaitu:

1. Untuk mendapatkan kembali tanah yang hilang akibat gelombang laut.

2. Untuk memperoleh tanah baru di kawasan depan garis pantai untuk mendirikan bangunan
yang akan difungsikan sebagai benteng perlindungan garis pantai.

3. Untuk alasan ekonomis, pembangunan atau untuk mendirikan konstruksi bangungan


dalam skala yang lebih besar.

1.2 Pandangan Islam mengenai Reklamasi


Dari uraian diatas dapat dipahami bahwasanya reklamasi itu adalah mengubah kawasan
berair menjadi daratan. Sebagian besar kawasan perairan tersebut yaitu rawa-rawa, danau,
pesisir pantai dan laut. Kawasan ini menjadi penting untuk melihat bagaimana pandangan
islam mengenai reklamasi itu sendiri.
Dalam pandangan Islam, Reklamasi memiliki kesamaan makna dengan istilah Al Islahat
al aradhi al bahriyah atau memperbaiki tanah yang ada di laut. Adapun kitab yang
membahas tentang hal ini adalah kitab Al Kharaj karya Abu Yusuf yang hidup di zaman
khalifah Umar Bin Khattab dan Al Amwal karya Abu Ubaid di zaman Khalifah Harun Ar-
Rasyid dengan menggunakan istilah Ihya al-mawat.
Ihya al-mawat secara etimologi memiliki arti menghidupkan yang mati, namun maksud
sebenarnya adalah menghidupkan tanah yang mati (ihya al-ardh al-mawat). Istilah ini
memiliki perluasan makna, yaitu tak hanya tanah mati berupa hutan belantara saja yang
menjadi objek, namun laut, sungai bahkan kutub sekalipun masuk ke dalamnya. Danau,
kawasan pesisir, dan laut merupakan harta milik umum seluruh rakyat secara berserikat.
Harta milik umum itu dalam ketentuan syariah tidak boleh dikuasai atau dikuasakan kepada
individu, kelompok individu atau korporasi. Menurut syariah, negara dengan pengaturan
tertentu harus memberikan kemungkinan kepada seluruh rakyat untuk bisa memanfaatkan
atau mendapatkan manfaat dari harta milik umum. Negara juga harus mengelola langsung
harta milik umum dan hasil pengelolaan itu seluruhnya dikembalikan kepada rakyat baik
secara langsung atau dalam bentuk berbagai pelayanan.
Sementara itu kawasan rawa-rawa (bath`ih), menurut syariah merupakan bagian dari
kepemilikan negara. Dalam hal ini, pengelolaannya diserahkan kepada khalifah sesuai
ijtihad dalam pandangannya yang disitu ada kemaslahatan bagi kaum Muslim. Terhadap
milik negara memang khalifah yakni negara boleh memberikannya kepada individu rakyat.
Hal itu berdasarkan riwayat dari Muhammad bin Ubaid ats-Tsaqafi, ia berkata: seorang
laki-laki penduduk Bashrah dipanggil Nafi Abu Abdillah meminta kepada Umar bin al-
Khathab tanah di Bashrah yang bukan termasuk tanah kharaj dan tidak menyebabkan dharar
bagi seorangpun dari kaum Muslim untuk dia jadikan tempat menambatkan kuda. Maka
Umar menulis kepada Abu Musa al-Asyari: Jika memang seperti yang dia katakan, maka
berikan kepadanya.
Abu Ubaid juga meriwayatkan bahwa Utsman bin Affan memberi Utsman bin Abiy al-
Ash ats-Tsaqafi tanah di Bashrah, berupa tanah berair atau rawa lalu Ustman bin Abiy al-
Ash mengeluarkannya (mengeringkan) dan menghidupkan tanah itu.
Dari situ, negara boleh saja memberikan tanah rawa atau semacamnya kepada individu,
kelompok individu atau korporasi. Individu, kelompok individu atau korporasi yang diberi
tanah rawa itu bisa saja llau mereklamasinya dan menggunakannya atau mengelola dan
mentasharrufnya sesuka dia. Hanya saja dalam memberikan tanah rawa atau semacamnya itu
negara tetap harus memperhatikan banyak ketentuan syariah lainnya. Diantaranya adalah
negara harus memperhatikan keseimbangan ekonomi dan pemerataan kekayaan diantara
rakyat (lihat QS al-Hasyr: 7). Negara juga harus memperhatikan kemaslahatan dari berbagai
aspek termasuk kemaslahatan keselamatan lingkungan.
Adapun reklamasi kawasan pesisir, laut dan perairan yang termasuk milik umum, maka
jika reklamasi itu dilakukan oleh individu, kelompok individu atau korporasi untuk
kepentingan individu, kelompok individu atau korporasi itu sendiri maka dalam Islam
dilarang. Sebab harta milik umum haram dikuasai, dikuasakan atau diberikan konsesinya
kepada individu, kelompok individu atau korporasi.
Adapun jika dilakukan sendiri oleh negara untuk kepentingan tertentu diantara
kepentingan negara dan kemaslahatan masyarakat maka reklamasi untuk semacam itu secara
syariy dimungkinkan. Hal itu karena secara syariy negara memiliki wewenang untuk
memproteksi sesuatu dari harta milik umum untuk tujuan tertentu. Ibnu Abbas
meriwayatkan dari ash-Shaab bin Jatsamah, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:

Tidak ada wewenang memproteksi kecuali untuk Allah dan Rasul-Nya (HR Abu
Dawud)

Yakni untuk negara. Diriwayatkan pula dari Nafi dari Ibnu Umar ra:

Nabi saw memproteksi Naqi tempat yang sudah dikenal di Madinah- untuk kuda-
kuda kaum Muslim (HR Abu Ubaid)

Abu Bakar juga memproteksi az-Zabadzah untuk unta zakat. Ia mengangkat maulanya
yakni Abu Salamah untuk mengurusinya. Umar memproteksi asy-Syarf dan az-Zabadzah
dan mengangkat maulanya yang dipanggil Hunay untuk mengurusnya.

Harta milik umum yang diproteksi untuk tujuan atau kepentingan tertentu itu
tidak boleh diubah menjadi milik individu, tetapi statusnya tetap milik umum. Dari sini
maka negara boleh memproteksi sebagian kawasan pesisir atau laut untuk keperluan
pelabuhan, konservasi, pasar umum, fasilitas publik, pertahanan, benteng dan sebagainya.
Termasuk di dalamnya, negara boleh mereklamas kawasan pesisir atau laut untuk tujuan
atau keperluan tertentu yang untuk itu ditetapkan kebijakan proteksi atas sebagian harta
milik umum itu.

Dalam melakukan itu, negara tetap harus memperhatikan ketentuan-ketentuan


syariah lainnya. Semisal, reklamasi itu tidak boleh membahayakan baik secara fisik,
lingkungan maupun sosial. Itu artinya, kajian semacam kajian amdal juga hendaknya
dilakukan dengan seksama dan dijadikan pertimbangan untuk melakukan reklamasi atau
tidak. Hal itu berdasarkan hadits Rasul saw:

Tidak ada dharar (bahaya) dan tidak ada membahayakan memudharatkan- (baik diri
sendiri maupun oang lain). (HR Ibn Majah, Ahmad, ad-Daraquthni)

Asy-Syawkani di dalam Nayl al-Awthr setelah memaparkan hadits tersebut


mengatakan, hadits ini di dalamnya terdapat dalil pengharaman adh-dharar apapun
sifatnya, tanpa ada perbedaan apakah terhadap tetangga atau yang lain, sehingga adh-dharar
dalam bentuk apapun itu tidak boleh kecuali dengan dalil yang mengkhususkan keumuman
ini.
Dengan demikian, reklamasi kawasan pesisir atau laut jika dilakukan oleh individu,
kelompok individu atau korporasi untuk kepentingan individu, kelompok individu atau
korporasi itu sendiri maka haram dilakukan. Negara haram memberikan kuasa, memberikan
konsesi atau memberian izin kepada individu, kelompok individu atau korporasi untuk
melakukan itu.
Adapun reklamasi atas kawasan pesisir atau laut atau kawasan perairan milik umum
oleh negara untuk tujuan atau keperluan tertentu yang termasuk kepentingan negara dan atau
kepentingan atau kemaslahatan rakyat maka reklamasi itu boleh dilakukan. Namun dalam
melakukan itu tetap negara harus memperhatikan ketentuan-ketentuan syariah terkait,
termasuk tidak boleh membahayakan.
Adapun reklamasi kawasan perairan milik negara sepert kawasan rawa-rawa jelas boleh
dilakukan oleh negara secaa langsung. Laha hasil reklamasi bisa dibagikan yakni diberikan
oleh negara diantara rakyat. Hal itu seperti yang dilakukan pada masa Umar bin al-Khathab
dengan mengeringkan daerah rawa-rawa di Irak lalu dibagikan kepada rakyat yang bisa
menghidupkannya.
Sedangkan reklamasi oleh individu, kelompok individu atau korporasi maka hanya
boleh dilakukan setelah kawsan perairan milik negara itu diberikan oleh negara kepada
individu tersebut. Hal itu seperti yang dilakukan oleh Ustman bin Abiy al-Ash ats-Tsaqafi
setelah ia diberi tanah berair di Bashrah oleh Utsman bin Affan.

1.3 Reklamasi Teluk Jakarta


Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui kriteria Reklamasi menurut islam yang sesuai
syaria itu yang seperti apa. Jika dilihat dari segi tujuannya, Reklamasi Teluk Jakarta itu
bertujuan untuk mewadahi para investor yang hendak menanamkan modal mereka di bisnis
properti yang ada di reklamasi tersebut.
Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin yang tujuannya adalah mencapai
maslahat masyarakat secara luas. Mengapa Rasulullah membolehkan Ihya al-mawat?
Karena di sana terdapat tujuan untuk kemaslahatan.
Masalah sekarang adalah, apakah reklamasi ini bertujuan untuk kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat sekitar atau sebaliknya. Jika segolongan orang beralasan bahwa
reklamasi ini penting dilaksanakan karena mendatangkan banyak manfaat di antaranya
Jakarta memiliki daratan yang sedikit, reklamasi akan meningkatkan pajak dan
perekonomian. Namun kita pun harus memperhatikan dampak negatif yang ditimbulkan di
antaranya masyarakat nelayan yang akan kehilangan mata pencaharian dan tempat
tinggalnya, merusak biota laut dan lain sebagainya.
Pasalnya proses reklamasi ini menuai penolakan dari masyarakat sekitar walaupun
mereka sudah diberikan sebagian haknya melalui pemberian tempat tinggal dan iming-iming
mata pencaharian baru, namun masyarakat tetap melakukan aksi penolakan. Artinya
masyarakat tidak setuju adanya reklamasi ini, padahal Rasulullah bersabda:
Said bin zaid RA berkata: Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa yang
merampas sejengkal tanah dibumi ini dengan cara aniaya, Allah akan mengalungkan tanah
yang dirampasnya itu ke lehernya di hari kiamat, dan ketujuh petala bumi (H.R. Bukhari
dan Muslim)
Dalam ushul fiqh, dikenal kaidah Adhdararu yuzalu yang artinya kerusakan harus
dihilangkan dan kaidah lain adhdharar ala dhirar yang maknanya
kemudharatan/kerusakan tidak boleh dihilangkan dengan melahirkan kemudharatan yang
lain.
Pemerintah harus menimbang mudharat bagi siapa yang lebih besar yang akan
ditimbulkan dalam reklamasi ini. Bukan hanya mementingkan sebagian golongan dengan
merampas hak milik warga penduduk asli dan kemudian mempersilahkan tamu asing masuk
untuk menjadi tuan rumah baru.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa reklamasi sebanyak 17 pulau buatan di
teluk Jakarta atau kawasan pesisir Jakarta jelas tidak boleh, karena tujuannya sudah jelas
untuk kepentingan individu dan korporasi. dengan tetap melanjutkan reklamasi tersebut
pemerintah sudah melanggar hukum islam, dan lama kelamaan ideologi sekuler akan terus
merajalela di Negara kita yang berujung ke kejatuhan Negara kita
Dari uraian yang telah dibahas sebelumnya dapat disimpulkan beberapa aturan atau hukum
islam mengenai reklamasi :
Reklamasi kawasan pesisir atau laut jika dilakukan oleh individu, kelompok individu
atau korporasi untuk kepentingan individu, kelompok individu atau korporasi itu sendiri
maka haram dilakukan. Negara haram memberikan kuasa, memberikan konsesi atau
memberian izin kepada individu, kelompok individu atau korporasi untuk melakukan itu.
Reklamasi atas kawasan pesisir atau laut atau kawasan perairan milik umum oleh negara
untuk tujuan atau keperluan tertentu yang termasuk kepentingan negara dan atau
kepentingan atau kemaslahatan rakyat maka reklamasi itu boleh dilakukan. Namun dalam
melakukan itu tetap negara harus memperhatikan ketentuan-ketentuan syariah terkait,
termasuk tidak boleh membahayakan.
Reklamasi kawasan perairan milik negara sepert kawasan rawa-rawa jelas boleh
dilakukan oleh negara secaa langsung. Laha hasil reklamasi bisa dibagikan yakni diberikan
oleh negara diantara rakyat. Hal itu seperti yang dilakukan pada masa Umar bin al-Khathab
dengan mengeringkan daerah rawa-rawa di Irak lalu dibagikan kepada rakyat yang bisa
menghidupkannya.
Reklamasi oleh individu, kelompok individu atau korporasi maka hanya boleh
dilakukan setelah kawsan perairan milik negara itu diberikan oleh negara kepada individu
tersebut
DAFTAR PUSTAKA
Badan Kerohanian Islam Mahasiswa (2016), Institut Pertanian Bogor Reklamasi
Teluk Jakarta dalam Pandangan Islam diakses melalui
http://bkim.lk.ipb.ac.id/2016/04/26/reklamasi/ pada 11 Desember 2016

Tsaqofah(2016), pandangan islam tentang reklamasi diakses melalui


https://hizbut-tahrir.or.id/2016/04/11/pandangan-islam-tentang-reklamasi/
pada 11 Desember 2016

Sifa, Eka Nurhalimatus(2016), Reklamasi dalam kacamata islam diakses melalui


http://www.dakwatuna.com/2016/04/26/80208/reklamasi-kacamata-
islam/#axzz4SVfD2Uni pada 11 Desember 2016

Anda mungkin juga menyukai