Anda di halaman 1dari 7

LAPORAN REFLEKSI KASUS

STASE ILMU KESEHATAN ANAK


RSUD KRT SETJONEGORO WONOSOBO

Nama : Ninin Khoirunnisa AS


NIM/NIPP : 20120310044/20164011037
Waktu Stase : 25 September 2017- 02 Desember 2017

ENSEFALOPATI BILIARIS (KERN ICTERUS)

1. Definisi
Hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin
serum yang menjurus ke arah terjadinya kern ikterus atau ensefalopati
bilirubin bila kadar bilirubin tidak dikendalikan. Hiperbilirubinemia
fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap tergolong non patologis
sehingga disebut Excess Physiological Jaundice. Digolongkan sebagai
hiperbilirubinemia patologis (Non Physiological Jaundice) apabila kadar
serum bilirubin terhadap usia neonatus >95% menurut Normogram
Bhutani.

Gambar 2.1 Kadar serum bilirubin terhadap usia neonatus >95% menurut
Normogram Bhutani, Sumber : http://www.juliathomson.co.uk/guidelines/other-
guidelines/neonatal- jaundice/bhutanis-nomogram.

Ikterus pada bayi atau yang dikenal dengan istilah ikterus


neonatarum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan
ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi
yang berlebih. Pada orang dewasa, ikterus akan tampak apabila serum
bilirubin >2 mg/dl(>17mol/L) sedangkan pada neonatus baru tampak
apabila serum bilirubin >5mg/dl(86mol/L)(Etika et al,2006). Ikterus
lebih mengacu pada gambaran klinis berupa pewaranaan kuning pada
kulit, sedangkan hiperbilirubinemia lebih mengacu pada gambaran kadar
bilirubin serum total. Hiperbilirubinemia akan berpengaruh buruk apabila
bilirubin indirek telah mamasuki sawar otak, sehingga terjadi Ensefalopati
biliaris (kern icterus) yang dpaat mengekibatkan gangguan perkembangan
neurologis dikemudian hari.
Ensefalopati biliaris (kern icterus) adalah sindroma neurologik
yang disebabkan oleh menumpuknya bilirubin indirek/tak terkonjugasi
dalam sel otak. Terdapat beberapa hal yang dapat menyebabkan
meningkatnya kasus ensefalopati biliaris (kern icterus), yaitu:
Para orang tua tidak mengetahui tanda-tanda ikterus sehingga
mereka tidak segera menghubungi dokter.
Banyaknya bayi baru lahir yang segera meninggalkan Rumah Sakit,
padahal kadar bilirubin darah belum mencapai puncaknya (48-72
jam setelah kelahiran), ditambah dengan tidak kontrol kembali dalam
jangka waktu satu minggu kemudian.
Dokter yang hanya mengandalkan penglihatan dalam menilai derajat
kuningnya kulit akibat ikterus yang mana rentan terhadap kesalahan
terutama pada kasus yang berat dan tidak adanya informasi kepada
para orang tua untuk memperhatikan kualitas kuningnya kulit pada
bayi mereka.
Beberapa bayi baru lahir pulang dari Rumah Sakit dalam kondisi
pemeriksaan kadar bilirubin yang belum selesai

2. Klasifikasi
Ikterus neonatorum dibagi menjadi ikterus fisiologis dan patologis.
A. Ikterus Fisiologis
Ikterus pada neonatus tidak selamanya patologis. Ikterus fisiologis
adalah Ikterus yang memiliki karakteristik sebagai berikut (Hanifa,
1987, Ngastiyah, ):
o Timbul pada hari ke2 dan ke-3 dan tampak jelas pada hari ke-5
dan ke-6.
o Kadar Bilirubin Indirek setelah 2 x 24 jam tidak melewati 15
mg% pada neonatus cukup bulan dan 10 mg % per hari pada
kurang bulan.
o Kecepatan peningkatan kadar Bilirubin tak melebihi 5 mg % per
hari.
o Kadar Bilirubin direk kurang dari 1 mg % Ikterus hilang pada
10 hari pertama.
o Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis
tertentu.
B. Ikterus Patologis/Hiperbilirubinemia Adalah suatu keadaan dimana
kadar Bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai yang mempunyai
potensi untuk menimbulkan Kern Ikterus kalau tidak ditanggulangi
dengan baik, atau mempunyai hubungan dengan keadaan yang
patologis.
Karakteristik ikterus patologis (Ngastiyah,1997 ) sebagai berikut :
o Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama kehidupan. Ikterus menetap
sesudah bayi berumur 10 hari ( pada bayi cukup bulan) dan lebih
dari 14 hari pada bayi baru lahir BBLR.
o Konsentrasi bilirubin serum melebihi 10 mg % pada bayi kurang
bulan (BBLR) dan 12,5 mg% pada bayi cukup bulan.
o Bilirubin direk lebih dari 1mg%. - Peningkatan bilirubin 5 mg%
atau lebih dalam 24 jam.
o Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah,
defisiensi enzim G-6-PD, dan sepsis).
C. Ada juga pendapat ahli lain tentang hiperbilirubinemia yaitu Brown
menetapkan Hiperbilirubinemia bila kadar Bilirubin mencapai 12 mg%
pada cukup bulan, dan 15 mg % pada bayi kurang bulan. Utelly
menetapkan 10 mg% dan 15 mg%.

STADIUM KERN IKTERUS


Stadium 1
Refleks moro jelek, hipotoni, letargi, poor feeding, vomitus, high pitched
cry, kejang.
Stadium 2
Opistotonus, panas, rigiditas, occulogyric crises, mata cenderung deviasi
ke atas.
Stadium 3
Spastisitas menurun, pada usia sekitar 1 minggu.
Stadium 4
Gejala sisa lanjut; spastisitas, atetosis, tuli parsial/komplit, retardasi
mental, paralisis bola mata ke atas, displasia mental.

3. Etiologi
Penyebab ensefalopati biliaris (kern icterus) adalah dikarenakan
kadar bilirubin yang sangat tinggi yang dapat mencapai tingkat toksik
sehingga merusak sel-sel otak. Kadar bilirubin yang tinggi merupakan
kelanjutan dari ikterus neonatorum yang disebabkan oleh:

Ikterus fisiologis:
o Peningkatan jumlah bilirubin yang masuk ke dalam sel hepar.
o Defek pengambilan bilirubin plasma.
o Defek konjugasi bilirubin.
o Ekskresi bilirubin menurun.

Ikterus patologis:
o Anemia hemolitik: isoimunisasi, defek eritrosit, penyakit hemolitik
bawaan, sekunder dari infeksi, dan mikroangiopati.
o Ekstravasasi darah: hematoma, ptekie, perdarahan paru, otak,
retroperitoneal dan sefalhematom.
o Polisitemia.
o Sirkulasi enterohepatik berlebihan: obstruksi usus, stenosis pilorus,
ileus mek onium, ileus paralitik, dan penyakit hirschprung.
o Berkurangnya uptake bilirubin oleh hepar: gangguan transportasi
bilirubin, obstruksi aliran empedu.

4. Patogenesis
Patogenesis ensefalopati biliaris (kern icterus) bersifat multi
faktorial dan melibatkan interaksi antara kadar bilirubin yang tidak
terjonjugasi, ikatan albumin dan kadar bilirubin yang tak terikat/bebas,
menembusnya ke sawar darah otak, dan kerentanan neurologik terhadap
jejas. Permeabilitas sawar darah otak dapat dipengaruhi oleh penyakit,
asfiksia, dan maturasi otak.
Pada setiap bayi, nilai persis kadar bilirubin yang dapat bereaksi
indirek atau kadar bilirubin bebas dalam darah yang kalau dilebihi akan
bersifat toksik, tidak dapat diramalkan, tetapi ensefalopati biliaris (kern
icterus) jarang terjadi pada bayi cukup bulan yang sehat dan pada bayi
tanpa adanya hemolisis, yaitu bila kadar serum berada di bawah 25 mg/dL.
Pada bayi yang mendapat ASI, ensefalopati biliaris (kern icterus) dapat
terjadi bila kadar bilirubin melebihi 30 mg/dL, meskipun batasannya luas
yaitu antara 21-50 mg/dL. Onset terjadi dalam minggu pertama kehidupan,
tetapi dapat terjadi terlambat hingga minggu ke-2 bahkan minggu ke-3.
Lamanya waktu pemajanan yang diperlukan untuk menimbulkan pengaruh
toksik juga belum diketahui. Bayi yang kurang matur lebih rentan terhadap
ensefalopati biliaris (kern icterus).
Resiko pengaruh toksik dari meningkatnya kadar bilirubin tak
terkonjugasi dalam serum menjadi bertambah dengan adanya faktor-faktor
yang mengurangi retensi bilirubin dalam sirkulasi, yaitu hipoproteinemia,
perpindahan bilirubin dari tempat ikatannya pada albumin karena ikatan
kompetitif obat-obatan seperti sulfisoksazol dan moksalaktam, asidosis,
kenaikan sekunder asam lemak bebas akibat hipoglikemia, kelaparan, atau
hipotermia) atau oleh faktor-faktor yang meningkatkan permeabilitas
sawar darah otak atau membran sel saraf terhadap bilirubin, atau
kerentanan sel otak terhadap toksisitasnya seperti asfiksia, prematuritas,
hiperosmolalitas, dan infeksi.
Permukaan otak biasanya berwarna kuning pucat. Pada
pemotongan, daerah-daerah tertentu secara khas berwarna kuning akibat
bilirubin tak terkonjugasi, terutama pada korpus subtalamikus,
hipokampus dan daerah olfaktorius yang berdekatan, korpus striata,
talamus, globus palidus, putamen, klivus inferior, nukleus serebelum, dan
nukleus saraf kranial. Daerah yang tak berfigmen juga dapat cedera.
Hilangnya neuron, gliosis reaktif dan atrofi sistem serabut yang terlibat
ditemukan pada penyakit yang lebih lanjut. Pola jejas dihubungkan dengan
perkembangan sistem enzim oksidatif pada berbagai daerah otak dan
bertumpang-tindih dengan yang terdapat pada cedera otak hipoksik. Bukti
yang mendukung hipotesis bahwa bilirubin mengganggu penggunaan
oksigen oleh jaringan otak, mungkin dengan menimbulkan jejas pada
membran sel; jejas hipoksia yang telah terjadi sebelumnya meningkatkan
kerentanan sel otak terhadap jejas. Pewarnaan bilirubin yang jelas tanpa
hiperbilirubinemia atau perubahan mikroskopik yang spesifik ensefalopati
biliaris (kern icterus) mungkin tidak merupakan kesatuan yang sama.

5. Diagnosis
Secara umum, ditandai dengan athetoid cerebral palsy, gangguan
pendengaran hingga ketulian, gangguan penglihatan, dan mental retardasi.
Tanda-tanda dan gejala-gejala ensefalopati biliaris (kern icterus) biasanya
muncul 2-5 hari sesudah lahir pada bayi cukup bulan dan paling lambat
hari ke-7 pada bayi prematur, tetapi hiperbilirubinemia dapat
menyebabkan sindroma setiap saat selama masa neonatus. Tanda-tanda
awal bisa tidak terlihat jelas dan tidak dapat dibedakan dengan sepsis,
asfiksia, hipoglikemia, pendarahan intrakranial dan penyakit sistemik akut
lainnya pada bayi neonatus. Lesu, nafsu makan jelek dan hilangnya refleks
Moro merupakan tanda-tanda awal yang lazim. Selanjutnya, bayi dapat
tampak sangat sakit, tidak berdaya disertai refleks tendo yang menjadi
negatif dan kegawatan pernapasan. Opistotonus, dengan fontanela yang
mencembung, muka dan tungkai berkedut, dan tangisan melengking
bernada tinggi dapat menyertai. Pada kasus yang lanjut terjadi konvulsi
dan spasme, kekakuan pada bayi dengan lengan yang terekstensi dan
berotasi ke dalam serta tangannya menggenggam. Rigaditas jarang terjadi
pada stadium lanjut.
Banyak bayi yang menjelek ke tanda-tanda neurologis berat ini
meninggal; yang bertahan hidup biasanya mengalami cedera berat tetapi
agaknya dapat sembuh dan 2-3 bulan kemudian timbul beberapa kelainan.
Selanjutnya, pada usia 1 tahun opistotonus, rigiditas otot, gerakan yang
tidak teratur dan konvulsi cenderung kambuh. Pada tahun ke-2 opistotonus
dan kejang mereda, tetapi gerakan-gerakan yang tidak teratur dan tidak
disadari, rigiditas otot atau pada beberapa bayi, hipotonia bertambah
secara teratur. Pada umur 3 tahun sering tampak sindrom neurologis yang
lengkap terdiri atas koreotetosis dengan spasme otot involunter, tanda-
tanda ekstrapira-midal, kejang defisiensi mental, wicara disartrik,
kehilangan pendengaran terhadap frekuensi tinggi, strabismus dan gerakan
mata ke atas tidak sempurna. Tanda-tanda piramidal, hipotonia, atau
ataksia terjadi beberapa bayi. Pada bayi yang terkenanya ringan sindrom
ini hanya dapat ditandai melalui inkoordonasi neoromuskular ringan
sampai sedang, ketilian parsial, atau disfungsi otak minimal yang terjadi
sendiri atau bersamaan, masalah ini mungkin tidak tampak sampai anak
masuk sekolah.
6. Pengobatan
- Transfusi Tukar
Jika ada tanda-tanda ensefalopati biliaris (kern icterus), transfusi
tukar merupakan indikasi. Jadi jika ada tanda-tanda ensefalopati biliaris
(kern icterus) selama evaluasi atau pengobatan, pada kadar bilirubin
berapapun, maka transfusi tukar darurat harus dilakukan.
Pengobatan yang diterima secara luas ini (transfusi tukar) harus
diulangi sesering yang diperlukan untuk mempertahankan kadar bilirubin
indirek dalam serum di bawah kadar yang tercatat pada tabel. Ada
berbagai faktor yang dapat mengubah kriteria ini ke arah yang sebaliknya,
namun bergantung pada individu penderita. Munculnya tanda-tanda klinis
yang memberi kesan ensefalopati biliaris (kern icterus) merupakan
indikasi untuk melakukan transfusi tukar pada kadar bilirubin serum
berapapun. Bayi cukup bulan yang sehat dengan ikterus fisiologis atau
akibat ASI, dapat mentoleransi kadar bilirubin sedikit lebih tinggi dari 25
mg/dL tanpa tampak sakit, sedangkan bayi prematur yang sakit dapat
mengalami ikterus pada kadar bilirubin yang sangat rendah. Kadar yang
mendekati perkiraan kritis pada setiap bayi dapat merupakan indikasi
untuk transfusi tukar semasa usia 1 atau 2 hari ketika kenaikan yang lebih
lanjut diantisipasi, tetapi bukan pada hari ke-4 pada bayi cukup bulan atau
pada hari ke-7 pada bayi prematur, ketika penurunan yang terjadi segera
bisa diantisipasi saat mekanisme konjugasi hati menjadi lebih efektif.

7. Referensi

http://www.juliathomson.co.uk/guidelines/other-guidelines/neonatal-
jaundice/bhutanis-nomogram diunduh tanggal 13 November 2017.

Anda mungkin juga menyukai