Pada bulan Desember tahun 1997, di Kyoto, Jepang diadakan Konferensi ke-3
Perubahan Iklim oleh The United Nation Framework Cooperation on Climate Change
(UNFCCC). Dalam konferensi tersebut disepakati adanya program Clean Development
Mecanism atau CDM dalam rangka menghadapi fenomena pemanasan bumi atau pemanasan
global (global warming). Selanjutnya kesepakatan ini disebut Protokol Kyoko, yang intinya
semua negara maju akan mengurangi tingkat emisi gas buangan atau gas yang menimbulkan
gas-gas rumah kaca (green house gases), antara lain CO2, CH4, HFCS, minimal 5,5% dari
emisi tahun 1990. Sampai dengan tahun 2001 dari 84 negara yang telah menandatangani
Protokol Kyoko tersebut baru 33 negara yang telah meratifikasinya.
Meskipun Indonesia bukan negara maju, dan belum diwajibkan untuk meratifikasi
Protokol Kyoko tersebut, namun seyogyanya sudah mulai menyiapkan perangkat hukumnya.
Sebab Indonesia terdiri dari banyak pulau dan mempunyai banyak hutan, yang rentan
terhadap dampak pemanasan bumi ini. Alangkah baiknya kalau Inpres No. 10 tahun 2005
yang baru dikeluarkan oleh Presiden tentang Hemat Energi ini ditingkatkan menjadi
Peraturan Pemerintah atau undang-undang Konsiderans produk hukum itu pun tidak hanya
semata-mata faktor ekonomi, tetapi juga karena pertimbangan faktor lingkungan hidup yang
bersih atau bebas emisi gas rumah kaca.
Kita sebagai warga negara Indonesia dapat berpartisipasi dalam menyelamatkan bumi
kita dengan mengurangi konsumsi BPO di rumah kita sendiri, antara lain dengan membeli
lemari es atau AC yang tidak menggunakan gas CFC. Di samping itu, kita dapat juga
menghindari kosmetik, parfum, obat nyamuk yang menggunakan CFC. Hal ini dapat
diketahui pada label produk-produk tersebut yang menuliskan kata NON CFC di
kemasannya.