Gagal napas merupakan suatu sindrom yang terjadi akibat ketidakmampuan sistem
pulmoner untuk mencukupi kebutuhan metabolisme (eliminasi CO2 dan oksigenasi
darah). Sistem pernapasan gagal untuk mempertahankan suatu keadaan pertukaran udara
antara atmosfer dengan sel-sel tubuh yang sesuai dengan kebutuhan normal.
Gagal napas terjadi bila: 1). PO2 arterial (PaO2) < 60 mmHg, atau 2). PCO2 arterial
(PaCO2) > 45 mmHg (ada yang mengatakan PaCO2 > 50 mmHg), kecuali jika
peningkatan PCO2 merupakan kompensasi dari alkalosis metabolic.
PaO2 < 60 mmHg, yang berarti ada gagal napas hipoksemia, berlaku bila bernapas
pada udara ruangan biasa (fraksi O2 inspirasi [F1O2] = 0,21), maupun saat mendapat
bantuan oksigen.
PCO2 > 45 mmHg yang berarti gagal napas hiperkapnia, kecuali ada keadaan asidosis
metabolic. Tubuh pasien yang asidosis metabolic secara fisiologis akan menurunkan
PaCO2 sebagai kompensasi terhadap PH darah yang rendah. Tetapi jika ditemukan PaCO2
meningkat secara tidak normal, meskipun masih dibawah 45 mmHg pada keadaan
asidosis metabolic, hal ini dianggap sebagai gagal napas tipe hiperkapnia.
Gagal napas dapat diklasifikasikan menjadi gagal napas hiperkapnia dan gagal napas
hipoksemia. Berdasarkan waktunya dapat dibagi menjadi gagal napas akut dan gagal
napas kronik. Gagal napas akut berkembang dalam waktu menit sampai jam, PH darah
kurang dari 7,3. Gagal napas kronik berkembang dalam beberapa hari atau lebih lama,
terdapat waktu untuk ginjal mengkompensasi dan meningkatkan konsentrasi bikarbonat,
oleh karena itu biasanya PH hanya menurun sedikit.
Mekanisme hipoksemia
Mekanisme fisiologi hipoksemia dibagi dalam dua golongan utama, yaitu 1)
berkurangnya PO2 alveolar dan 2) meningkatnya pengaruh campuran darah vena
(venous admixture). Jika darah vena yang bersaturasi rendah kembali ke paru, dan
tidak mendapatkan oksigen selama perjalanan di pembuluh darah paru, maka
darah yang keluar di arteri akan memiliki kandungan oksigen dan tekanan parsial
oksigen yang sama dengan darah vena sistemik. PO2 darah vena sistemik (PVO2)
menentukan batas bawah PaO2. Bila semua darah vena yang bersaturasi rendah
melalui sirkulasi paru dan mencapai keseimbangan dengan gas di rongga alveolar,
maka PO2 = PAO2. Maka PO2 alveolar (PAO2) menentukan batas atas PO2 arteri.
Semua nilai PO2 berada diantara PVO2 dan PAO2.
Hipoksemia arteri selalu merupakan akibat penurunan PO2 alveolar, atau
peningkatan jumlah darah vena bersaturasi rendah yang bercampur dengan darah
kapiler pulmonal (campuran vena).
Penurunan PO2Alveolar
Tekanan total di ruang alveolar ialah jumlah dari PO2, PCO2, PH2O, dan PN2.
Bila PH2O dan PN2 tidak berubah bermakna, setiap peningkatan pada PACO2
akan menyebabkan penurunan PaO2. Hipoventilasi alveolar menyebabkan
penurunan PAO2, yang menimbulkan penurunan PaO2 bila darah arteri dalam
keseimbangan dengan gas di ruang alveolus. Persamaan gas alveolar, bila
disederhanakan menunjukkan hubungan antara PO2 dan PCO2 alveolar:
PAO2 = FiO2 x PB - PACO2
R
FiO2 adalah fraksi oksigen dari udara inspirasi. PB ialah tekanan barometric,
dan R ialah rasio pertukaran udara pernapasan, menunjukkan rasio steady-state
CO2 memasuki dan O2 meninggalkan ruang alveolar. Dalam praktek, PCO2 arteri
digunakan sebagai nilai perkiraan PCO2 alveolar (PaCO2). PAO2 berkurang bila
PACO2 meningkat. Jadi, hipoventilasi alveolar menyebabkan hipoksemia
(berkurangnya PaO2).
Persamaan gas alveolar juga mengindikasikan bahwa hipoksemia akan terjadi
jika tekanan barometric total berkurang, seperti pada ketinggian, atau bila FiO2
rendah (seperti saat seseorang menghisap campuran gas dimana sebagian oksigen
digantikan gas lain). Hal ini juga akibat penurunan PO2. Pada hipoksemia, yang
terjadi hanya karena penurunan PaO2. Perbedaan PO2 alveolar - arteri adalah
normal pada hipoksemia karena hipoventilasi.
Gambaran Klinis
Manifestasi gagal napas hipoksemik merupakan kombinasi dari gambaran
hipoksemia arterial dan hipoksemia jaringan. Hipoksemia arterial meningkatkan
ventilasi melalui stimulus kemoreseptor glomus karotikus, diikuti dispnea,
takipnea, hiperpnea, dan biasanya hiperventilasi. Derajat respon ventilasi
tergantung kemampuan mendeteksi hipoksemia dan kemampuan sistem
pernapasan untuk merespon. Pada pasien yang fungsi glomus karotikusnya
terganggu maka tidak ada respon ventilasi terhadap hipoksemia. Mungkin
didapatkan sianosis, terutama di ekstremitas distal, tetapi juga didapatkan pada
daerah sentral di sekitar membrane mukosa dan bibir. Derajat sianosis tergantung
pada konsentrasi hemoglobin dan keadaan perfusi pasien.
Manifestasi lain dari hipoksemia adalah akibat pasokan oksigen ke jaringan
yang tidak mencukupi atau hipoksia. Hipoksia menyebabkan pergeseran
metabolisme ke arah anaerobik disertai pembentukan asam laktat. Peningkatan
kadar asam laktat di darah selanjutnya akan merangsang ventilasi. Hipoksia dini
yang ringan dapat menyebabkan gangguan mental, terutama untuk pekerjaan
kompleks dan berpikir abstrak. Hipoksia yang lebih berat dapat menyebabkan
perubahan status mental yang lebih lanjut, seperti somnolen, koma, kejang dan
kerusakan otak hipoksik permanen. Aktivitas sistem saraf simpatis meningkat.
Sehingga menyebabkan terjadinya takikardi, diaphoresis dan vasokonstriksi
sistemik, diikuti hipertensi. Hipoksia yang lebih berat lagi, dapat menyebabkan
bradikardia, vasodilatasi, dan hipotensi, serta menimbulkan iskemia miokard,
infark, aritmia dan gagal jantung.
Manifestasi gagal napas hipoksemik akan lebih buruk jika ada gangguan
hantaran oksigen ke jaringan (tissue oxygen delivery). Pasien dengan curah
jantung yang berkurang, anemia, atau kelainan sirkulasi dapat diramalkan akan
mengalami hipoksia jaringan global dan regional pada hipoksemia yang lebih
dini. Misalnya pada pasien syok hipovolemik yang menunjukkan tanda-tanda
asidosis laktat pada hipoksemia arterial ringan.
Gambaran Klinis
Hiperkapnia akut terutama berpengaruh pada sistem saraf pusat. Peningkatan
PaCO2 merupakan penekanan sistem saraf pusat, mekanismenya terutama melalui
turunnya PH cairan cerebrospinal yang terjadi karena peningkatan akut PaCO2.
Karena CO2 berdifusi secara bebas dan cepat ke dalam cairan serebrospinal, PH
turun secara cepat dan hebat karena hiperkapnia akut.
Peningkatan PaCO2 pada penyakit kronik berlangsung lama sehingga
bikarbonat serum dan cairan serebrospinal meningkat sebagai kompensasi
terhadap asidosis respiratorik kronik. Kadar PH yang rendah lebih berkorelasi
dengan perubahan status mental dan perubahan klinis lain daripada nilai PaCO2
mutlak.
Gejala hiperkapnia dapat tumpang tindih dengan gejala hipoksemia.
Hiperkapnia menstimulasi ventilasi pada orang normal, pasien dengan
hiperkapnia mungkin memiliki ventilasi semenit yang meningkat atau menurun,
tergantung pada penyakit dasar yang menyebabkan gagal napas. Jadi, dispnea,
takipnea, hiperpnea, bradipnea, dan hipopnea dapat berhubungan dengan gagal
napas hiperkapnea.
Pasien dengan gagal napas hiperkapnea akut harus diperiksa untuk
menentukan mekanisme. Diagnosis banding utama ialah gagal napas hiperkapnea
karena penyakit paru versus penyakit nonparu. Pasien dengan penyakit paru
seringkali menunjukkan hipoksemia yang tidak sesuai dengan derajad
hiperkapnia. Hal ini dapat dinilai menggunakan perbedaan PO2 alveolar-arterial.
Tetapi pasien dengan masalah nonparu dapat pula mempunyai hipoksemia
sekunder sebagai efek kelemahan neuromuscular (sebagai contoh) yang
mengakibatkan atelektasis atau pneumonia aspirasi. Kelainan pada paru
berhubungan dengan peningkatan VD/VT dan karenanya sering menunjukkan
peningkatan VE dan frekuensi pernapasan. Tetapi pasien yang mengalami
kelumpuhan otot pernapasan sering ditemui takipneu. Efek dari hiperkapnea dan
hipoksemia dapat menyamarkan gangguan neurologis, pengobatan berlebih
dengan sedative, mixedema, atau trauma kepala.