PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Sepsis adalah suatu sindroma klinik yang terjadi karena adanya respon tubuh
yang berlebihan terhadap rangsangan produk mikroorganisme (Guntur, 2008).
Sepsis masih menjadi penyebab utama kematian di sejumlah Intensive Care Unit
(ICU). Selama Januari 2006-Disember 2007 di bagian PICU/NICU Rumah Sakit
Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta, terdapat angka kejadian sepsis 33,5%
dengan tingkat mortalitas sebesar 50,2% (Pudjiastuti, 2008).
Sepsis merupakan proses infeksi dan inflamasi yang kompleks. Hal tersebut
dapat ditandai dengan menurunnya kadar limfosit dalam sirkulasi sistemik sebagai
respon terhadap faktor-faktor proinflamasi. Overproduksi sitokin inflamasi akan
menyebabkan aktivasi respon sistemik terutama pada paru-paru, hati, ginjal, usus,
dan organ lainnya sehingga dapat terjadi apoptosis, nekrosis jaringan, Multi Organ
Dysfunction (MOD), syok septik, serta kematian.
Perkembangan terapi sepsis dengan obat-obatan akan berdampak secara
mendasar pada morbiditas dan mortalitas sepsis. Konsep modulasi respon inflamasi
sistemik menuju sepsis berat menyebabkan banyak obat-obatan antiinflamasi
digunakan dalam uji coba klinis. Berdasarkan hasil penelitian tahap Randomized
Control Trials (RCTs), berbagai intervensi antilipopolisakarida (anti-endotoksin),
anti-CD14, anti-LBP, anti-TNF, interleukin-1-receptor antagonist, ibuprofen,
kortikosteroid dosis tinggi, bradikinin antagonist, platelet-activating factor acetyl
hydrolase, elastase inhibitor, nitric oxide synthase inhibitor tidak memperlihatkan
perbaikan kelangsungan hidup penderita sepsis (Russel, 2006; Guntur, 2008)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. Definisi
Dua konferensi besar telah mendefinisikan sepsis, pertama tahun 1992
mengajukan konsep Systeminc Inflammatory Response Syndrome (SIRS),
mengenali perubahan patofisiologi yang terjadi tanpa adanya kultur darah positif.
Sepsis adalah suatu sindroma klinik yang terjadi oleh karena adanya respon tubuh
yang berlebihan terhadap rangsangan produk mikroorganisme. Ditandai dengan
panas, takikardia, takipnea, hipotensi dan disfungsi organ berhubungan dengan
gangguan sirkulasi darah.
Kriteria untuk Sindrom Respons Inflamasi Sistemik (SIRS), diadaptasi dari
konferensi konsensus American College of Chest Physicians/Society of Critical
Care Medicine :
- Hyperthermia/hypothermia (>38C; <35,6C)
- Tachypneu (respiratory rate >20/menit) atau PCO2 <32 mmHg atau
membutuhkan ventilasi mekanik
- Tachycardia (pulse >100/menit)
- Leukosit >12.000/mm3 ATAU <4000/mm3 atau >10% bentuk cell imature
- Suspected infection
Biomarker sepsis (CCM 2003) adalah prokalsitonin (PcT); Creactive Protein
(CrP).
Derajat Sepsis
1. Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), ditandai dengan 2 (dua)
gejala sebagai berikut:
a. Hyperthermia/hypothermia (>38,3C; <35,6C)
b. Tachypneu (resp >20/menit)
c. Tachycardia (pulse >100/menit)
d. Leukocytosis >12.000/mm atau Leukopenia <4.000/mm
e. 10% >cell imature
2. Sepsis : Infeksi disertai SIRS
3. Sepsis Berat : Sepsis yang disertai MODS/MOF, hipotensi, oligouri bahkan
anuria.
4. Sepsis dengan hipotensi : Sepsis dengan hipotensi (tekanan sistolik <90 mmHg
atau penurunan tekanan sistolik >40 mmHg).
5. Syok septik
Syok septik adalah subset dari sepsis berat, yang didefinisikan sebagai
hipotensi yang diinduksi sepsis dan menetap kendati telah mendapat resusitasi
cairan, dan disertai hipoperfusi jaringan (Guntur, 2008).
3. Epidemiologi
Dalam kurun waktu 23 tahun yang lalu bakterimia karena infeksi bakteri gram
negatif di AS yaitu antara 100.000-300.000 kasus pertahun, tetapi sekarang insiden
ini meningkat antara 300.000-500.000 kasus pertahun (Bone 1987, Root 1991).
Shock akibat sepsis terjadi karena adanya respon sistemik pada infeksi yang serius.
Walaupun insiden shock sepsis ini tak diketahui namun dalam beberapa tahun
terakhir ini cukup tinggi Hal ini disebabkan cukup banyak faktor predisposisi untuk
terjadinya sepsis antara lain diabetes melitus, sirosis hati, alkoholisme, leukemia,
limfoma, keganasan, obat sitotoksis dan imunosupresan, nutrisi parenteral dan
sonde, infeksi traktus urinarius dan gastrointestinal. Di AS syok sepsis adalah
penyebab kematian yang sering di ruang ICU.
4. Etiologi
Infeksi dapat disebabkan oleh virus, bakteri, fungi atau riketsia. Respon
sistemik dapat disebabkan oleh mikroorganisme penyebab yang beredar dalam
darah atau hanya disebabkan produk toksik dari mikroorganisme atau produk reaksi
radang yang berasal dari infeksi lokal (anonim, 2008).
Umumnya disebabkan kuman gram negatif. Insidensnya meningkat, antara lain
karena pemberian antibiotik yang berlebihan, meningkatnya penggunaan obat
sitotoksik dan imunosupresif, meningkatnya frekuensi penggunaan alat-alat
invasive seperti kateter intravaskuler, meningkatnya jumlah penyakit rentan infeksi
yang dapat hidup lama, serta meningkatnya infeksi yang disebabkan organisme
yang resisten terhadap antibiotik (Anonim, 2001).
5. Patofisologi
Baik bakteri gram positif maupun gram negatif dapat menimbulkan sepsis. Pada
bakteri gram negatif yang berperan adalah lipopolisakarida (LPS). Suatu protein di
dalam plasma, dikenal dengan LBP (Lipopolysacharide binding protein) yang
disintesis oleh hepatosit, diketahui berperan penting dalam metabolisme LPS. LPS
masuk ke dalam sirkulasi, sebagian akan diikat oleh faktor inhibitor dalam serum
seperti lipoprotein, kilomikron sehingga LPS akan dimetabolisme. Sebagian LPS
akan berikatan dengan LBP sehingga mempercepat ikatan dengan CD14. Kompleks
CD14-LPS menyebabkan transduksi sinyal intraseluler melalui nuklear factor
kappaB (NFkB), tyrosin kinase(TK), protein kinase C (PKC), suatu faktor
transkripsi yang menyebabkan diproduksinya RNA sitokin oleh sel. Kompleks
LPS-CD14 terlarut juga akan menyebabkan aktivasi intrasel melalui toll like
receptor-2 (TLR2) (Widodo, 2004).
Pada bakteri gram positif, komponen dinding sel bakteri berupa Lipoteichoic
acid (LTA) dan peptidoglikan (PG) merupakan induktor sitokin. Bakteri gram
positif menyebabkan sepsis melalui 2 mekanisme: eksotoksin sebagai superantigen
dan komponen dinding sel yang menstimulasi imun. Superantigen berikatan dengan
molekul MHC kelas II dari antigen presenting cells dan V-chains dari reseptor sel
T, kemudian akan mengaktivasi sel T dalam jumlah besar untuk memproduksi
sitokin proinflamasi yang berlebih (Calandra, 2003).
6. Gejala Klinik
1) Fase dini: terjadi deplesi volume, selaput lendir kering, kulit lembab dan
kering.
2) Post resusitasi cairan: gambaran klinis syok hiperdinamik: takikardia, nadi
keras dengan tekanan nadi melebar, precordium hiperdinamik pada palpasi,
dan ekstremitas hangat.
3) Disertai tanda-tanda sepsis.
4) Tanda hipoperfusi: takipnea, oliguria, sianosis, mottling, iskemia jari,
perubahan status mental.
Bila ada pasien dengan gejala klinis berupa panas tinggi, menggigil, tampak
toksik, takikardia, takipneu, kesadaran menurun dan oliguria harus dicurigai
terjadinya sepsis (tersangka sepsis).
Pada keadaan sepsis gejala yang nampak adalah gambaran klinis keadaan
tersangka sepsis disertai hasil pemeriksaan penunjang berupa lekositosis atau
lekopenia, trombositopenis, granulosit toksik, hitung jenis bergeser ke kiri, CRP
(+), LED meningkat dan hasil biakan kuman penyebab dapat (+) atau (-).
Kedaan syok sepsis ditandai dengan gambaran klinis sepsis disertai tanda-tanda
syok (nadi cepat dan lemah, ekstremitas pucat dan dingin, penurunan produksi urin,
dan penurunan tekanan darah).
Gejala syok sepsis yang mengalami hipovolemia sukar dibedakan dengan syok
hipovolemia (takikardia, vasokonstriksi perifer, produksi urin < 0,5 cc/kgBB/jam,
tekanan darah sistolik turun dan menyempitnya tekanan nadi). Pasien-pasien sepsis
dengan volume intravaskuler normal atau hampir normal, mempunyai gejala
takikardia, kulit hangat, tekanan sistolik hampir normal, dan tekanan nadi yang
melebar. (anonim, 2008)
Perubahan hemodinamik
Tanda karakteristik sepsis berat dan syok-septik pada awal adalah hipovolemia,
baik relatif (oleh karena venus pooling) maupun absolut (oleh karena transudasi
cairan). Kejadian ini mengakibatkan status hipodinamik, yaitu curah jantung
rendah, sehingga apabila volume intravaskule adekuat, curah jantung akan
meningkat. Pada sepsis berat kemampuan kontraksi otot jantung melemah,
mengakibatkan fungsi jantung intrinsik (sistolik dan diastolik) terganggu.
Meskipun curah jantung meningkat (terlebih karena takikardia daripada
peningkatan volume sekuncup), tetapi aliran darah perifer tetap berkurang. Status
hemodinamika pada sepsis berat dan syok septik yang dulu dikira hiperdinamik
(vasodilatasi dan meningkatnya aliran darah), pada stadium lanjut kenyataannya
lebih mirip status hipodinamik (vasokonstriksi dan aliran darah berkurang).
Tanda karakterisik lain pada sepsis berat dan syok septik adalah gangguan
ekstraksi oksigen perifer. Hal ini disebabkan karena menurunnya aliran darah
perifer, sehingga kemampuan untuk meningkatkan ekstraksi oksigen perifer
terganggu, akibatnya VO2 (pengambilan oksigen dari mikrosirkulasi) berkurang.
Kerusakan ini pada syok septic dipercaya sebagai penyebab utama terjadinya
gangguan oksigenasi jaringan.
Karakteristik lain sepsis berat dan syok septik adalah terjadinya
hiperlaktataemia, mungkin hal ini karena terganggunya metabolisme piruvat, bukan
karena dys-oxia jaringan (produksi energi dalam keterbatasan oksigen) (Guntur,
2008).
Multiple Organ Failure
DIC FDP 1:40 atau D-dimers 2,0 dengan
rendahnya
platelet
Memanjangnya waktu:
- protrombin
- partial thromboplastin
- Perdarahan
Penatalaksanaan
Untuk penanganan dan pengobatan sepsis dan syok sepsis diperlukan tindakan
yang agresif terhadap penyebab infeksi, hemodinamik, fungsi respirasi. Untuk
memperbaiki perfusi dan oksigenasi organ vital. Jika perlu dipasang CVP untuk
mengukur secara akurat volume cairan, cardiac output, dan resistensi perifer
sehingga dapat dimonitor pemberian cairan dan tekanan darah (Root, 1991).
Perbaikan sepsis tergantung pada seberapa berat penyakit penyebab. Pasien
yang dapat imunosupresan, perbaikan baru terlihat bila dosis imunosypresan
diturunkan atau dihentikan. Pada pasen dengan netropeni atau disfungsi netropil
mungkin memerlukan transfusi granulosit. Perlu juga diperhatikan adalah
penggantian kateter intra vena, kateter Folley. Sedangkan untuk fungsi respirasi
perlu dimonitor saturasi oksigen arteri tetap 95% dan jika terjadi respiratory failure
perlu dipasang intubasi.
Untuk pengobatan shock sepsis perlu diperhatikan obat yang esensial
(hemodinamik, antibiotik, vasopressor), kontroversial (kortikosteroid, heparin dan
opiat antagonis), masa mendatang (antibodi monoklonal).
Perbaikan hemodinamik.
Banyak pasen shock sepsis terjadi penurunan volume intravaskuler, sebagai
respon pertama harus diberikan cairan jika terjadi penurunan tekanan darah. Cairan
koloid maupun kristaloid dapat diberikan. Jika disertai anemia berat perlu transfusi
darah dan CVP dipelihara antara 10-12 mmHg.
Untuk mencapai cairan yang adekuat pemberian pertama 1 L-1,5 L dalam waktu
1-2 jam. Jika tekanan darah tidak membaik dengan pemberian cairan maka perlu
dipertimbangkan pemberian vasopressor seperti dopamin dengan dosis 5-10
ug/kgBB/menit
Dopamin diberikan bila sudah tercapai target terapi cairan, yaitu MAP 60mmHg
atau tekanan sistolik 90-110 mmHg. Dosis awal adalah 2-5 mg/Kg BB/menit. Bila
dosis ini gagal meningkatkan MAP sesuai target, maka dosis dapat di tingkatkan
sampai 20 g/ KgBB/menit. Bila masih gagal, dosis dopamine dikembalikan pada
2-5 mg/Kg BB/menit, tetapi di kombinasi dengan levarterenol (noreepinefrin).
Bila kombinasi kedua vasokonstriktor masih gagal, berarti prognosisnya buruk
sekali. Dapat juga diganti dengan vasokonstriktor lain (fenilefrin atau epinefrin)
(Mansjoer, 2001).
Pemakaian Antibiotik
Setelah diagnosa sepsis ditegakkan, antibiotik harus segera diberikan, dimana
sebelumnya harus dilakukan kultur darah, cairan tubuh, dan eksudat. Pemberian
antibiotik tak perlu menunggu hasil kultur. Untuk pemilihan antibiotik diperhatikan
dari mana kuman masuk dan dimana lokasi infeksi, dan diberikan terapi kombinasi
untuk gram positif dan gram negatif.