Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Sepsis adalah suatu sindroma klinik yang terjadi karena adanya respon tubuh
yang berlebihan terhadap rangsangan produk mikroorganisme (Guntur, 2008).
Sepsis masih menjadi penyebab utama kematian di sejumlah Intensive Care Unit
(ICU). Selama Januari 2006-Disember 2007 di bagian PICU/NICU Rumah Sakit
Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta, terdapat angka kejadian sepsis 33,5%
dengan tingkat mortalitas sebesar 50,2% (Pudjiastuti, 2008).
Sepsis merupakan proses infeksi dan inflamasi yang kompleks. Hal tersebut
dapat ditandai dengan menurunnya kadar limfosit dalam sirkulasi sistemik sebagai
respon terhadap faktor-faktor proinflamasi. Overproduksi sitokin inflamasi akan
menyebabkan aktivasi respon sistemik terutama pada paru-paru, hati, ginjal, usus,
dan organ lainnya sehingga dapat terjadi apoptosis, nekrosis jaringan, Multi Organ
Dysfunction (MOD), syok septik, serta kematian.
Perkembangan terapi sepsis dengan obat-obatan akan berdampak secara
mendasar pada morbiditas dan mortalitas sepsis. Konsep modulasi respon inflamasi
sistemik menuju sepsis berat menyebabkan banyak obat-obatan antiinflamasi
digunakan dalam uji coba klinis. Berdasarkan hasil penelitian tahap Randomized
Control Trials (RCTs), berbagai intervensi antilipopolisakarida (anti-endotoksin),
anti-CD14, anti-LBP, anti-TNF, interleukin-1-receptor antagonist, ibuprofen,
kortikosteroid dosis tinggi, bradikinin antagonist, platelet-activating factor acetyl
hydrolase, elastase inhibitor, nitric oxide synthase inhibitor tidak memperlihatkan
perbaikan kelangsungan hidup penderita sepsis (Russel, 2006; Guntur, 2008)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2. Definisi
Dua konferensi besar telah mendefinisikan sepsis, pertama tahun 1992
mengajukan konsep Systeminc Inflammatory Response Syndrome (SIRS),
mengenali perubahan patofisiologi yang terjadi tanpa adanya kultur darah positif.
Sepsis adalah suatu sindroma klinik yang terjadi oleh karena adanya respon tubuh
yang berlebihan terhadap rangsangan produk mikroorganisme. Ditandai dengan
panas, takikardia, takipnea, hipotensi dan disfungsi organ berhubungan dengan
gangguan sirkulasi darah.
Kriteria untuk Sindrom Respons Inflamasi Sistemik (SIRS), diadaptasi dari
konferensi konsensus American College of Chest Physicians/Society of Critical
Care Medicine :
- Hyperthermia/hypothermia (>38C; <35,6C)
- Tachypneu (respiratory rate >20/menit) atau PCO2 <32 mmHg atau
membutuhkan ventilasi mekanik
- Tachycardia (pulse >100/menit)
- Leukosit >12.000/mm3 ATAU <4000/mm3 atau >10% bentuk cell imature
- Suspected infection
Biomarker sepsis (CCM 2003) adalah prokalsitonin (PcT); Creactive Protein
(CrP).

Derajat Sepsis
1. Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), ditandai dengan 2 (dua)
gejala sebagai berikut:
a. Hyperthermia/hypothermia (>38,3C; <35,6C)
b. Tachypneu (resp >20/menit)
c. Tachycardia (pulse >100/menit)
d. Leukocytosis >12.000/mm atau Leukopenia <4.000/mm
e. 10% >cell imature
2. Sepsis : Infeksi disertai SIRS
3. Sepsis Berat : Sepsis yang disertai MODS/MOF, hipotensi, oligouri bahkan
anuria.
4. Sepsis dengan hipotensi : Sepsis dengan hipotensi (tekanan sistolik <90 mmHg
atau penurunan tekanan sistolik >40 mmHg).

5. Syok septik
Syok septik adalah subset dari sepsis berat, yang didefinisikan sebagai
hipotensi yang diinduksi sepsis dan menetap kendati telah mendapat resusitasi
cairan, dan disertai hipoperfusi jaringan (Guntur, 2008).

Perbedaan Sindroma Sepsis dan Syok Sepsis


Sindroma sepsis Syok Sepsis
Takipneu, respirasi 20x/m Sindroma sepsis ditambah dengan
Takikardi 90x/m gejala:
Hipertermi 38 C Hipotensi 90 mmHg
Hipotermi 35,6 C Tensi menurun sampai 40 mmHg dari
Hipoksemia baseline dalam waktu 1 jam
Peningkatan laktat plasma Membaik dengan pemberian cairan
Oliguria, Urine 0,5 cc/kgBB dalam 1 Dan penyakit shock hipovolemik,
jam infark miokard dan emboli pulmonal
sudah disingkirkan
(Dikutip ari Glauser, 1991)

Tabel 2. Perbedaan sindroma sepsis dan syok sepsis

3. Epidemiologi
Dalam kurun waktu 23 tahun yang lalu bakterimia karena infeksi bakteri gram
negatif di AS yaitu antara 100.000-300.000 kasus pertahun, tetapi sekarang insiden
ini meningkat antara 300.000-500.000 kasus pertahun (Bone 1987, Root 1991).
Shock akibat sepsis terjadi karena adanya respon sistemik pada infeksi yang serius.
Walaupun insiden shock sepsis ini tak diketahui namun dalam beberapa tahun
terakhir ini cukup tinggi Hal ini disebabkan cukup banyak faktor predisposisi untuk
terjadinya sepsis antara lain diabetes melitus, sirosis hati, alkoholisme, leukemia,
limfoma, keganasan, obat sitotoksis dan imunosupresan, nutrisi parenteral dan
sonde, infeksi traktus urinarius dan gastrointestinal. Di AS syok sepsis adalah
penyebab kematian yang sering di ruang ICU.

4. Etiologi
Infeksi dapat disebabkan oleh virus, bakteri, fungi atau riketsia. Respon
sistemik dapat disebabkan oleh mikroorganisme penyebab yang beredar dalam
darah atau hanya disebabkan produk toksik dari mikroorganisme atau produk reaksi
radang yang berasal dari infeksi lokal (anonim, 2008).
Umumnya disebabkan kuman gram negatif. Insidensnya meningkat, antara lain
karena pemberian antibiotik yang berlebihan, meningkatnya penggunaan obat
sitotoksik dan imunosupresif, meningkatnya frekuensi penggunaan alat-alat
invasive seperti kateter intravaskuler, meningkatnya jumlah penyakit rentan infeksi
yang dapat hidup lama, serta meningkatnya infeksi yang disebabkan organisme
yang resisten terhadap antibiotik (Anonim, 2001).

5. Patofisologi
Baik bakteri gram positif maupun gram negatif dapat menimbulkan sepsis. Pada
bakteri gram negatif yang berperan adalah lipopolisakarida (LPS). Suatu protein di
dalam plasma, dikenal dengan LBP (Lipopolysacharide binding protein) yang
disintesis oleh hepatosit, diketahui berperan penting dalam metabolisme LPS. LPS
masuk ke dalam sirkulasi, sebagian akan diikat oleh faktor inhibitor dalam serum
seperti lipoprotein, kilomikron sehingga LPS akan dimetabolisme. Sebagian LPS
akan berikatan dengan LBP sehingga mempercepat ikatan dengan CD14. Kompleks
CD14-LPS menyebabkan transduksi sinyal intraseluler melalui nuklear factor
kappaB (NFkB), tyrosin kinase(TK), protein kinase C (PKC), suatu faktor
transkripsi yang menyebabkan diproduksinya RNA sitokin oleh sel. Kompleks
LPS-CD14 terlarut juga akan menyebabkan aktivasi intrasel melalui toll like
receptor-2 (TLR2) (Widodo, 2004).
Pada bakteri gram positif, komponen dinding sel bakteri berupa Lipoteichoic
acid (LTA) dan peptidoglikan (PG) merupakan induktor sitokin. Bakteri gram
positif menyebabkan sepsis melalui 2 mekanisme: eksotoksin sebagai superantigen
dan komponen dinding sel yang menstimulasi imun. Superantigen berikatan dengan
molekul MHC kelas II dari antigen presenting cells dan V-chains dari reseptor sel
T, kemudian akan mengaktivasi sel T dalam jumlah besar untuk memproduksi
sitokin proinflamasi yang berlebih (Calandra, 2003).

Peran sitokin pada sepsis


Mediator inflamasi merupakan mekanisme pertahanan pejamu terhadap infeksi
dan invasi mikroorganisme. Pada sepsis terjadi pelepasan dan aktivasi mediator
inflamasi yang berlebih, yang mencakup sitokin yang bekerja lokal maupun
sistemik, aktivasi netrofil, monosit, makrofag, sel endotel, trombosit dan sel
lainnya, aktivasi kaskade protein plasma seperti komplemen, pelepasan proteinase
dan mediator lipid, oksigen dan nitrogen radikal. Selain mediator proinflamasi,
dilepaskan juga mediator antiinflamasi seperti sitokin antiinflamasi, reseptor
sitokin terlarut, protein fase akut, inhibitor proteinase dan berbagai hormon
(Widodo, 2004).
Pada sepsis berbagai sitokin ikut berperan dalam proses inflamasi, yang
terpenting adalah TNF-, IL-1, IL-6, IL-8, IL-12 sebagai sitokin proinflamasi dan
IL-10 sebagai antiinflamasi. Pengaruh TNF- dan IL-1 pada endotel menyebabkan
permeabilitas endotel meningkat, ekspresi TF, penurunan regulasi trombomodulin
sehingga meningkatkan efek prokoagulan, ekspresi molekul adhesi (ICAM-1,
ELAM, V-CAM1, PDGF, hematopoetic growth factor, uPA, PAI-1, PGE2 dan
PGI2, pembentukan NO, endothelin-1.1 TNF-, IL-1, IL-6, IL-8 yang merupakan
mediator primer akan merangsang pelepasan mediator sekunder seperti
prostaglandin E2 (PGE2), tromboxan A2 (TXA2), Platelet Activating Factor (PAF),
peptida vasoaktif seperti bradikinin dan angiotensin, intestinal vasoaktif peptida
seperti histamin dan serotonin di samping zat-zat lain yang dilepaskan yang berasal
dari sistem komplemen (Nelwan, 2004).
Awal sepsis dikarakteristikkan dengan peningkatan mediator inflamasi, tetapi
pada sepsis berat pergeseran ke keadaan immunosupresi antiinflamasi (Hotckin,
2003).

Peran komplemen pada sepsis


Fungsi sistem komplemen: melisiskan sel, bakteri dan virus, opsonisasi,
aktivasi respons imun dan inflamasi dan pembersihan kompleks imun dan produk
inflamasi dari sirkulasi. Pada sepsis, aktivasi komplemen terjadi terutama melalui
jalur alternatif, selain jalur klasik. Potongan fragmen pendek dari komplemen yaitu
C3a, C4a dan C5a (anafilatoksin) akan berikatan pada reseptor di sel menimbulkan
respons inflamasi berupa: kemotaksis dan adhesi netrofil, stimulasi pembentukan
radikal oksigen, ekosanoid, PAF, sitokin, peningkatan permeabilitas kapiler dan
ekspresi faktor jaringan (Widodo, 2004).

Peran NO pada sepsis


NO diproduksi terutama oleh sel endotel berperan dalam mengatur tonus
vaskular. Pada sepsis, produksi NO oleh sel endotel meningkat, menyebabkan
gangguan hemodinamik berupa hipotensi. NO diketahui juga berkaitan dengan
reaksi inflamasi karena dapat meningkatkan produksi sitokin proinflamasi, ekspresi
molekul adhesi dan menghambat agregasi trombosit. Peningkatan sintesis NO pada
sepsis berkaitan dengan renjatan septik yang tidak responsif dengan vasopresor
(Widodo, 2004).

Peran netrofil pada sepsis


Pada keadaan infeksi terjadi aktivasi, migrasi dan ekstravasasi netrofil dengan
pengaruh mediator kemotaktik. Pada keadaan sepsis, jumlah netrofil dalam
sirkulasi umumnya meningkat, walaupun pada sepsis berat jumlahnya dapat
menurun. (Widodo, 2004). Netrofil seperti pedang bermata dua pada sepsis.
Walaupun netrofil penting dalam mengeradikasi kuman, namun pelepasan
berlebihan oksidan dan protease oleh netrofil dipercaya bertanggungjawab terhadap
kerusakan organ. (Hotckin, 2003). Terdapat 2 studi klinis yang menyatakan bahwa
menghambat fungsi netrofil untuk mencegah komplikasi sepsis tidak efektif, dan
terapi untuk meningkatkan jumlah dan fungsi netrofil pada pasien dengan sepsis
juga tidak efektif (Hotckin, 2003).
Infeksi sistemik yang terjadi biasanya karena kuman Gram negatif yang
menyebabkan kolaps kardiovaskuler. Endotoksin basil Gram negatif ini
menyebabkan vasodilatasi kapiler dan terbukanya hubungan pintas arteriovena
perifer.
Selain itu, terjadi peningkatan permeabilitas kapiler. Peningkatan kapasitas
vaskuler karena vasodilatasi perifer meyebabkan terjadinya hipovolemia relatif,
sedangkan peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan kehilangan cairan
intravaskular ke interstisial yang terlihatsebagai edema.
Pada syok sepsis hipoksia, sel yang terjadi tidak disebabkan oleh penurunan
perfusi jaringan melainkan karena ketidakmampuan sel untuk menggunakan
oksigen karena toksin kuman (anonim, 2008).
Berlanjutnya proses inflamasi yang maladaptive akan menhyebabkan gangguan
fungsi berbagai organ yang dikenal sebagai disfungsi/gagal organ multiple
(MODS/MOF). Proses MOF merupakan kerusakan (injury) pada tingkat seluler
(termasuk disfungsi endotel), gangguan perfusi ke organ/jaringan sebagai akibat
hipoperfusi, iskemia reperfusi, dan mikrotrombus. Berbagai faktor lain yang ikut
berperan adalah terdapatnya faktor humoral dalam sirkulasi (myocardial depressant
substance), malnutrisi kalori-protein, translokasi toksin bakteri, gangguan pada
eritrosit, dan efek samping dari terapi yang diberikan (Khei Chen, 2006).
Gambar 1. Model untuk disregulasi rekrutmen netrofil terhadap infeksi
bakterial dalam jarungan non-pulmonar pada keadaan normal (kiri) dan pada sepsis
(kanan). Faktor-faktor stimulasi koloni (granulocyte colony stimulating factor G-
CSF dan granulocyte macrophage colony stimulating factor GM-CSF)
menginduksi pelepasan netrofil dari sumsum tulang. Pada keadaan normal,
sejumlah besar netrofil darah tepi memasuki daerah infeksi bakterial dengan
pertama menempel pada sel endotel dan kemudian bermigrasi seiring dengan
gradien faktor-faktor kemotaktik. Faktor-faktor kemotaktik ini dihasilkan pada
lokasi patogen. Netrofil menggunakan TLR 2 atau 4 untuk berinteraksi dengan pola
molekular terkait patogen pada bakteria untuk memfagosit dan mengeliminasi
patogen. Sebaliknya, netrofil pada pasien sepsis mempunyai peningkatan ekspresi
integrin permukaan, yang menyebabkan pengikatan kuat pada sel endotel. Sebagai
akibatnya, netrofil tetap terikat pada sel endotel dan gagal untuk bermigrasi secara
adekuat ke dalam lokasi infeksi bakterial.

Gambar 2. Imbalans antara aktivasi koagulasi dan fibrinolisis serta penurunan


mekanisme antikoagulan dapat dilihat pada gambar di atas.
Mekanisme Kegagalan Organ
Penyebab akhir kematian pada pasien dengan sepsis adalah kegagalan organ
multipel. Terdapat hubungan erat antara derajat keberatan disfungsi organ terhadap
perawatan intensif dan kemungkinan kesintasan serta antara jumlah organ yang
gagal dengan risiko kematian. Mekanisme ini melibatkan deposisi fibrin luas yang
menyebabkan oklusi mikrovaskular, timbulnya eksudat jaringan yang kemudian
menganggu oksigenasi adekuat dan gangguan hemostasis mikrovaskular yang
timbul dari elaborasi zat-zat vasoaktif seperti PAF, histamin dan prostanoid.
Inflitrat selular, terutama netrofil, merusak jaringan secara langsung dengan
melepaskan enzim lisosomal dan radikal-radikal bebas turunan superoksida. TNF-
dan sitokin-sitokin lainnya meningkatkan ekspresi sintase oksida nitrat terinduksi
dan peningkatan produksi oksida nitrat lebih lanjut akan menyebabkan instabilitas
vaskular dan juga berkontribusi terhadap depresi miokardial yang timbul pada
sepsis.

6. Gejala Klinik
1) Fase dini: terjadi deplesi volume, selaput lendir kering, kulit lembab dan
kering.
2) Post resusitasi cairan: gambaran klinis syok hiperdinamik: takikardia, nadi
keras dengan tekanan nadi melebar, precordium hiperdinamik pada palpasi,
dan ekstremitas hangat.
3) Disertai tanda-tanda sepsis.
4) Tanda hipoperfusi: takipnea, oliguria, sianosis, mottling, iskemia jari,
perubahan status mental.

Bila ada pasien dengan gejala klinis berupa panas tinggi, menggigil, tampak
toksik, takikardia, takipneu, kesadaran menurun dan oliguria harus dicurigai
terjadinya sepsis (tersangka sepsis).
Pada keadaan sepsis gejala yang nampak adalah gambaran klinis keadaan
tersangka sepsis disertai hasil pemeriksaan penunjang berupa lekositosis atau
lekopenia, trombositopenis, granulosit toksik, hitung jenis bergeser ke kiri, CRP
(+), LED meningkat dan hasil biakan kuman penyebab dapat (+) atau (-).
Kedaan syok sepsis ditandai dengan gambaran klinis sepsis disertai tanda-tanda
syok (nadi cepat dan lemah, ekstremitas pucat dan dingin, penurunan produksi urin,
dan penurunan tekanan darah).
Gejala syok sepsis yang mengalami hipovolemia sukar dibedakan dengan syok
hipovolemia (takikardia, vasokonstriksi perifer, produksi urin < 0,5 cc/kgBB/jam,
tekanan darah sistolik turun dan menyempitnya tekanan nadi). Pasien-pasien sepsis
dengan volume intravaskuler normal atau hampir normal, mempunyai gejala
takikardia, kulit hangat, tekanan sistolik hampir normal, dan tekanan nadi yang
melebar. (anonim, 2008)

Perubahan hemodinamik
Tanda karakteristik sepsis berat dan syok-septik pada awal adalah hipovolemia,
baik relatif (oleh karena venus pooling) maupun absolut (oleh karena transudasi
cairan). Kejadian ini mengakibatkan status hipodinamik, yaitu curah jantung
rendah, sehingga apabila volume intravaskule adekuat, curah jantung akan
meningkat. Pada sepsis berat kemampuan kontraksi otot jantung melemah,
mengakibatkan fungsi jantung intrinsik (sistolik dan diastolik) terganggu.
Meskipun curah jantung meningkat (terlebih karena takikardia daripada
peningkatan volume sekuncup), tetapi aliran darah perifer tetap berkurang. Status
hemodinamika pada sepsis berat dan syok septik yang dulu dikira hiperdinamik
(vasodilatasi dan meningkatnya aliran darah), pada stadium lanjut kenyataannya
lebih mirip status hipodinamik (vasokonstriksi dan aliran darah berkurang).
Tanda karakterisik lain pada sepsis berat dan syok septik adalah gangguan
ekstraksi oksigen perifer. Hal ini disebabkan karena menurunnya aliran darah
perifer, sehingga kemampuan untuk meningkatkan ekstraksi oksigen perifer
terganggu, akibatnya VO2 (pengambilan oksigen dari mikrosirkulasi) berkurang.
Kerusakan ini pada syok septic dipercaya sebagai penyebab utama terjadinya
gangguan oksigenasi jaringan.
Karakteristik lain sepsis berat dan syok septik adalah terjadinya
hiperlaktataemia, mungkin hal ini karena terganggunya metabolisme piruvat, bukan
karena dys-oxia jaringan (produksi energi dalam keterbatasan oksigen) (Guntur,
2008).
Multiple Organ Failure
DIC FDP 1:40 atau D-dimers 2,0 dengan
rendahnya
platelet
Memanjangnya waktu:
- protrombin
- partial thromboplastin
- Perdarahan

Respirotary Distr.Syndrome Hipoksemia

Acute Renal Failure Kreatinin > 2,0 ug/dl


Na. Urin 40 mmol/L
Kelainan prerenal sudah disingkirkan

Hepatobilier disfunction Bil.>34 umol/L (2,0 mg/dL)


Harga alk. Fosfatase, SGOT, SGPt
dua kali harga
normal

Central Nervous System Disf.. GCS < 15

Penatalaksanaan
Untuk penanganan dan pengobatan sepsis dan syok sepsis diperlukan tindakan
yang agresif terhadap penyebab infeksi, hemodinamik, fungsi respirasi. Untuk
memperbaiki perfusi dan oksigenasi organ vital. Jika perlu dipasang CVP untuk
mengukur secara akurat volume cairan, cardiac output, dan resistensi perifer
sehingga dapat dimonitor pemberian cairan dan tekanan darah (Root, 1991).
Perbaikan sepsis tergantung pada seberapa berat penyakit penyebab. Pasien
yang dapat imunosupresan, perbaikan baru terlihat bila dosis imunosypresan
diturunkan atau dihentikan. Pada pasen dengan netropeni atau disfungsi netropil
mungkin memerlukan transfusi granulosit. Perlu juga diperhatikan adalah
penggantian kateter intra vena, kateter Folley. Sedangkan untuk fungsi respirasi
perlu dimonitor saturasi oksigen arteri tetap 95% dan jika terjadi respiratory failure
perlu dipasang intubasi.
Untuk pengobatan shock sepsis perlu diperhatikan obat yang esensial
(hemodinamik, antibiotik, vasopressor), kontroversial (kortikosteroid, heparin dan
opiat antagonis), masa mendatang (antibodi monoklonal).

Perbaikan hemodinamik.
Banyak pasen shock sepsis terjadi penurunan volume intravaskuler, sebagai
respon pertama harus diberikan cairan jika terjadi penurunan tekanan darah. Cairan
koloid maupun kristaloid dapat diberikan. Jika disertai anemia berat perlu transfusi
darah dan CVP dipelihara antara 10-12 mmHg.
Untuk mencapai cairan yang adekuat pemberian pertama 1 L-1,5 L dalam waktu
1-2 jam. Jika tekanan darah tidak membaik dengan pemberian cairan maka perlu
dipertimbangkan pemberian vasopressor seperti dopamin dengan dosis 5-10
ug/kgBB/menit
Dopamin diberikan bila sudah tercapai target terapi cairan, yaitu MAP 60mmHg
atau tekanan sistolik 90-110 mmHg. Dosis awal adalah 2-5 mg/Kg BB/menit. Bila
dosis ini gagal meningkatkan MAP sesuai target, maka dosis dapat di tingkatkan
sampai 20 g/ KgBB/menit. Bila masih gagal, dosis dopamine dikembalikan pada
2-5 mg/Kg BB/menit, tetapi di kombinasi dengan levarterenol (noreepinefrin).
Bila kombinasi kedua vasokonstriktor masih gagal, berarti prognosisnya buruk
sekali. Dapat juga diganti dengan vasokonstriktor lain (fenilefrin atau epinefrin)
(Mansjoer, 2001).

Pemakaian Antibiotik
Setelah diagnosa sepsis ditegakkan, antibiotik harus segera diberikan, dimana
sebelumnya harus dilakukan kultur darah, cairan tubuh, dan eksudat. Pemberian
antibiotik tak perlu menunggu hasil kultur. Untuk pemilihan antibiotik diperhatikan
dari mana kuman masuk dan dimana lokasi infeksi, dan diberikan terapi kombinasi
untuk gram positif dan gram negatif.

Indikasi terapi kombinasi yaitu:


1. Sebagai terapi pertama sebelum hasil kultur diketahui
2. Pasien yang dapat imunosupresan, khususnya dengan netropeni
3.Dibutuhkan efek sinergi obat untuk kuman yang sangat pathogen
(pseudomonas aureginosa, enterokokus)

Pemberian kortikosteroid pada binatang percobaan yang dibuat sepsis dapat


menurunkan angka mortalitas. Pada suatu studi prospektif pada manusia pemberian
dosis tinggi 30 mg metil prednisolon/kgBB dan diikuti 5 mg/kgBB/jam sampai 9
jam pada ke dua studi ini tidak didapatkan peningkatan angka mortalitas (Root,
1991).
Pada penelitian yang lain juga didapatkan hasil yang sama dan hanya dapat
memperbaiki keadaan shock tetapi tidak memperbaiki angka mortalitas
(Sprung,1984; Bone, 1987; Hinshaw 1987; Cohen, 1991).
Nalokson suatu opiat antagonis diberikan pada binatang percobaan untuk
mencegah syok karena diinduksi oleh endotoksin (Robert 1988; Root, 1991; Bone,
1992). Pada manusia dilakukan suatu studi prospektif dan didapatkan hasil yaitu
naloksan tidak menaikkan tekanan darah tetapi dapat mengurangi penggunaan
vasopressor (Robert, 1988).
DIC asimptomatik tidak membutuhkan terapi spesifik, jika terjadi perdarahan
berat diperlukan penggantian faktor pembekuan dan platelet, penggunaan heparin
dan fibrinolitik lainnya masih kontraversial. Untuk masa mendatang pengobatan
dengan antibodi monoklonal merupakan harapan dan diharapkan dapat
menurunkan biaya pengobatan dan dapat meningkatkan efektifitas. Pada binatang
percobaan pemberian TNF antibodi hanya efektif bila diberikan sebagai profilak.
Suatu studi preklinik dengan antibodi CB0006 dan TNF antibodi lainnya dapat
digunakan sebagai profilak dan mungkin juga dapat digunakan untuk pengobatan
walaupun terapeutic window-nya sempit.
Pemberian HA-1A Human monoclonal antibody sebaiknya dipertimbangkan
pada pasien sepsis yang penyebabnya dicurigai bakteri Gram negative, terutama
pada sumber infeksi saluran cerna dan saluran kemih yang sering disebabkan
kuman Gram negatuf (Mansjoer, 2001).
Memperbaiki asidosis metabolik dengan natrium bikarbonat sampai pH normal
dan memperbaiki gangguan elektrolit dengan pemberian elektrolit (Mansjoer,
2001).
Penelitian baru melibatkan pasien gawat darurat dengan sepsis berat atau syok
sepsis untuk membandingkan resusitasi hemodinamik sampai parameter fisiologik
dengan terapi dini berdasarkan target (EGDT-early goal directed therapy)
menunjukkan adanya reduksi mortalitas yang signifikan secara statistik (16,5%).
EGDT merupakan suatu pendekatan algoritmik untuk optimalisasi (gambar 10)
yang bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan antara sediaan dan kebutuhan
oksigen pada kasus-kasus sepsis berat atau syok sepsis pada 6 jam pertama rawat
gawat darurat. Strategi ini mentargetkan tercapainya hantaran oksigen adekuat
dengan optimalisasi volume intravaskular (preload) dengan pemantauan tekanan
vena sentral (CVP central venous pressure), tekanan darah (afterload) dengan
pemantauan tekanan arterial rerata (mean arterial pressure MAP), kontraktilitas
dengan pemantauan untuk menghindari takikardia dan pemulihan keseimbangan
antara hantaran oksigen sistemik dan kebutuhan oksigen (dipandu dengan
pengukuran SCVO2) untuk mengatasi hipoksia jaringan global. Komponen-
komponen EGDT diturunkan dari rekomendasi yang dibuat oleh Society of Critical
Care Medicine untuk dukungan hemodinamik pada sepsis.
Gambar 3. Algoritma EGDT
Prognosis
Keseluruhan angka kematian pada pasien dengan syok septik menurun dan
sekarang rata-rata 40% (kisaran 10 to 90%, tergantung pada karakteristik pasien).
Hasil yang buruk sering mengikuti kegagalan dalam terapi agresif awal (misalnya,
dalam waktu 6 jam dari diagnosa dicurigai). Setelah laktat asidosis berat dengan
asidosis metabolik decompensated menjadi mapan, terutama dalam hubungannya
dengan kegagalan multiorgan, syok septik cenderung ireversibel dan fatal.

Anda mungkin juga menyukai