Anda di halaman 1dari 16

Sisi Gelap Opioid Dalam Manajemen Nyeri: Ilmu Dasar Dalam Menjelaskan

Pengamatan Klinis

Cyril Rivat, Jane Ballantyne

Abstrak

Pengenalan: Dalam dua dekade terakhir, opioid telah semakin banyak digunakan untuk
pengobatan nyeri persisten, dan dosis yang digunakan cenderung meningkat. Saat ilmu dasar
menjelaskan mekanisme rasa nyeri dan analgesia, hubungan antara nyeri sentral dan cara
kerja opioid menjadi lebih jelas.

Objektif: Kami bertujuan untuk meneliti literatur yang telah dipublikasikan mengenai ilmu
dasar yang menjelaskan cara kerja opioid pronosiseptif, dan menerapkan pengetahuan ini
pada pengamatan klinis.

Metode: Kami meninjau literatur mengenai cara kerja opioid pronosiseptif, baik dalam studi
praklinis maupun klinis.

Hasil: lmu dasar memberikan alasan untuk pengamatan klinis bahwa opioid kadang
meningkatkan nyeri daripada menurunkannya. Sensitisasi sentral (hiperalgesia) mendasari
kronifikasi nyeri, namun juga dapat disebabkan karena dosis tinggi dan potensi tinggi opioid.
Banyak mekanisme yang sama menjelaskan baik nyeri sentral maupun hiperalgesia opioid.

Konklusi: Mekanisme dasar yang baru terungkap menunjukkan kemungkinan untuk


pengembangan obat dan terapi obat baru yang dapat mengubah sensitisasi nyeri melalui
mekanisme opioid endogen dan eksogen. Perubahan terbaru dalam praktik seperti pengenalan
efek titrasi-sehingga-berefek opioid telah menunjukkan dosis opioid yang lebih tinggi dalam
praktik klinis dibanding sebelumnya. Pengetahuan ilmu dasar baru mengisyaratkan bahwa
praktik pemberian dosis baru ini mungkin perlu dikaji ulang. Ketika nyeri memburuk pada
pasien yang menggunakan opioid, dapatkah kita yakin bahwa ini bukan karena opioid, dan
bisakah kita mengubah efek negatif dari opioid ini melalui strategi dosis yang berbeda atau
intervensi obat baru?

Kata kunci: Opioid, hiperalgesia, sensitisasi sentral, kronifikasi nyeri


1. Pengenalan

Obat opioid telah digunakan untuk menghilangkan nyeri selama ribuan tahun, dengan
mengetahui bahwa obat ini juga sangat adiktif. Sampai batas ketersediaannya, opioid
digunakan secara terapeutik selama berabad-abad dengan sedikit pemahaman mengapa
ekstrak berharga dari opium ini memiliki efek mendalam pada manusia. Tapi di abad ke-
20, perubahan besar terjadi baik dalam penggunaan klinis opioid dan dalam pemahaman
ilmiah mengapa opioid menghasilkan nyeri dan kecanduan. Peristiwa parallel telah
terjadi. Sebagian berkaitan dengan ketersediaan opium, turunan dan sintetisnya yang jauh
lebih besar, opioid diberikan lebih banyak dan dosis yang lebih tinggi untuk penanganan
nyeri daripada sebelumnya. Pada saat yang sama, mekanisme nyeri dan analgesia, terkait
opioid maupun tidak, diperhatikan pada tingkat yang semakin mikroskopis, yang
berpuncak pada pemahaman terkini tentang peran penting sistem opioid endogen pada
nyeri dan analgesia, dan bagian yang dimainkan oleh sistem ini dalam kelangsungan
hidup dan perkembangan evolusi spesies dan bahkan dalam polimorfisme yang muncul
pada individu.

Mari kita pertimbangkan apa yang terjadi secara klinis dengan opioid di abad ke-20.
Peubahan besar dalam preskripsi opioid klinis yang telah terjadi selama abad ini karena
kekhawatiran akan nyeri yang tidak perlu akibat underuse, bertentangan dengan
ketakutan akan kecanduan karena overuse, telah banyak ditulis dan tidak akan dijelaskan
di sini. Relevansi yang lebih besar dalam konteks artikel ini adalah perubahan dalam
praktik klinis yang menyebabkan orang menggunakan opioid dosis tinggi yang diberikan
secara kontinyu selama periode waktu yang lama. Formulasi opioid menjadi sediaan kerja
panjang, gagasan untuk memberi opioid kontinyu, prinsip titrasi-sehingga-berefek dengan
dosis eskalasi tanpa batas, dan konsep nyeri breakthrough, semuanya berkontribusi pada
hal ini. Hal ini sangat berbeda dengan penggunaan sebelumnya dimana opioid umumnya
diberikan pada apa yang sekarang dianggap rendah dosisnya, dan kemungkinan besar
diberikan sesekali, sesuai kebutuhan, dan bukan kontinyu.

Apa yang muncul dari "percobaan" klinis ini adalah bahwa dosis yang lebih tinggi dan
penggunaan opioid kontinyu yang lama meningkatkan risiko efek samping bagi individu,
termasuk overdosis dan kematian, jatuh dan fraktur, kecelakaan lalu lintas, endokrinopati,
konstipasi kronis, penurunan resistensi penyakit, sindrom abstinensi neonatal pada anak,
dan toleransi refrakter saat merawat nyeri akut atau nyeri pada akhir hayat. Ini juga
meningkatkan risiko efek samping (termasuk kematian) pada masyarakat yang timbul
dari kecanduan sebagian individu yang diberi resep opioid untuk rasa nyeri, dan orang di
sekitar mereka yang mendapatkan resep opioid melalui pencurian. Namun, selain efek
samping yang tidak terbantahkan ini, kita harus bertanya apakah prinsip baru pemberian
resep opioid benar-benar memperbaiki analgesia, terutama untuk mereka yang mencari
bantuan dari nyeri kronis yang persisten. Kami memiliki bukti bahwa neuroadaptasi
mengganggu kemampuan opioid untuk memberikan analgesia jangka panjang, terutama
jika opioid diberikan secara kontinyu yang sebenarnya dapat menghasilkan efek yang
berlawanan, seperti meningkatkan nyeri yang ada atau memfasilitasi perkembangan nyeri
kronis. Kami memiliki bukti klinis bahwa pengurangan dosis atau penghentian opioid
melalui penurunan dosis secara bertahap sering memperbaiki analgesia. Kami memiliki
bukti awal bahwa sebagian besar dari mereka yang saat ini dirawat lama dengan
pemberian opioid tidak memenuhi tujuan pengobatan untuk menghilangkan nyeri atau
fungsi, dan mereka yang mengkonsumsi opioid dosis rendah sampai sedang secara
intermitten mendapat keuntungan sama seperti pengguna opioid dosis tinggi dengan
bahaya yang lebih sedikit. Ini semua adalah indikator klinis yang menyarankan agar
prinsip baru preskripsi opioid - penggunaan kontinyu, titrasi-sehingga-berefek, dan
konsep breakthrough - perlu dipertimbangkan kembali. Dan apa cara yang lebih baik
untuk memulai daripada dengan ilmu di balik adaptasi yang tampaknya mengganggu
kemampuan opioid untuk memberikan analgesia jangka panjang yang efektif?

2. Toleransi dan hiperalgesia: adaptasi neurobiologis terhadap analgesia opioid

Penggunaan opioid analgesik poten seperti morfin dimotivasi oleh efek penghambatan
pada transmisi nyeri. Reseptor opioid adalah kelompok superfamili reseptor pasangan G-
protein kinase (G protein-coupled receptor,GPCR) yang ditandai dengan adanya tujuh
daerah transmembran. Reseptor opioid termasuk dalam Gi/o kelas GPCR. Biasanya efek
penghambatan utama opioid pada transmisi nyeri disebabkan oleh stimulasi reseptor -
opioid (MOP) yang mengakibatkan penghambatan adenil siklase dan kanal ion. Saat
diaktifkan, MOP menghasilkan hiperpolarisasi neuron yang mengurangi transmisi
informasi nosiseptif melalui aktivasi komponen protein mitogen kinase. (mitogen
activated protein kinase, MAP).
Toleransi ditandai dengan penurunan respons terhadap morfin secara progresif yang dapat
diatasi dengan meningkatkan dosis, sedangkan hiperalgesia adalah proses sensitisasi
dimana opioid, secara paradoks, menyebabkan hipersensitivitas nyeri. Kedua mekanisme
tersebut menyebabkan penurunan efek analgesik opioid. Fenomena adaptif ini telah
dipelajari selama beberapa dekade dengan wawasan penting yang diperoleh dari
eksperimen, biasanya farmakologis dan dapat dijelaskan oleh dua proses biologis yang
berbeda. Proses adaptasi dalam sistem menunjukkan bahwa pemberian obat memberi
reaksi berlawanan dalam sistem yang sama dimana obat tersebut menghasilkan tindakan
utama. Respons adaptif bertindak untuk menetralkan efek obat secara progresif dan
dicontohkan oleh mekanisme desensitisasi reseptor opioid (lihat di bawah) dan disebut
sebagai toleransi. Kemajuan konseptual lain pada penurunan efek analgesik opioid adalah
hubungan antara hipersensitivitas nyeri paradoks yang dihasilkan oleh pemberian opioid
akut atau kronis dan perkembangan resistensi terhadap efek analgesik. Hiperalgesia telah
terbukti terjadi setelah pemberian agonis MOP poten kerja pendek seperti fentanil,
remifentanil, buprenorfin, maupun agonis MOP kerja lama seperti morfin. Menariknya
tramadolyang merupakan MOR agonis ringan juga menghasilkan hipersensitivitas nyeri,
menunjukkan bahwa respons adaptif yang bermanifestasi sebagai hiperalgesia merupakan
ciri umum pada MOP agonis. Pada penelitian hewan, hipersensitivitas nyeri akibat opioid
dapat diamati setelah pemberian opioid dosis tinggi dan/atau pemberian opiod secara
kronis namun juga setelah dosis ultra-rendah (sekitar 1-10 mg/kgBB in vivo) yang
menunjukkan sifat rangsangan reseptor opioid. Hiperalgesia dimediasi oleh aktivasi
proses pronosiseptif spesifik yang juga menyebabkan berlebihnya hiperalgesia akibat
cedera. Menariknya, penelitian eksperimental melaporkan bahwa pencegahan
hipersensitivitas nyeri akibat opioid mampu mengembalikan efek analgesik opioid.
Dengan demikian, pengamatan ini sangat mendukung fakta bahwa penurunan efek
analgesik tidak hanya disebabkan oleh perubahan pada tingkat reseptor opioid (toleransi)
tetapi juga dapat dikaitkan dengan aktivasi sistem pronosiseptif yang dipicu oleh opioid
yang melawan efek analgesik opioid. Seperti yang dinyatakan oleh C'el`erier dkk pada
tahun 1999, efek murni dari opioid seperti morfin mungkin karena keseimbangan aktivasi
sistem penghambatan nyeri yang dominan namun efek ini sebagian akan terbongkar oleh
aktivasi sistem rangsangan nyeri secara bersamaan. Banyak fitur hiperalgesia akibat
opioid dapat dilihat dalam bentuk respons adaptif yang dimaksudkan untuk
menormalisasi aktivitas dengan melibatkan mekanisme yang berlawanan atau kompensasi
atau jalur sinyal untuk mengurangi respons opioid. Fenomena ini mengacu pada teori
proses berlawanan. Mengingat kejadian seluler multipel yang terlibat dalam respons
adaptif yang dihasilkan oleh paparan opioid, penting untuk dicatat bahwa kebanyakan
dari hal ini juga umum terjadi pada mereka yang terlibat dalam pengembangan dan
pemeliharaan nyeri kronis. Hal ini menunjukkan bahwa kerentanan nyeri dapat difasilitasi
pada pasien yang menggunakan opioid dan bahwa sayangnya nyeri akibat opioid dapat
bertahan bahkan setelah penghentian pemberian opioid. Itu berarti opioid dapat
berpartisipasi dalam fasilitasi transisi dari nyeri akut ke kronis.

2.1 Mekanisme toleransi dan hiperalgesia akibat opioid

Seperti disebutkan di atas, konsep yang berbeda telah diusulkan untuk menjelaskan
perkembangan toleransi. Pertama, berkaitan dengan proses adaptasi dalam sistem,
perubahan jumlah reseptor, protein pensinyalan, dan kadar fosforilasi reseptor opioid
adalah bagian dari perubahan yang mencerminkan perubahan adaptif seluler terhadap
paparan opioid. Aktivasi MOP (dan opioid reseptor [DOP]) memulai serangkaian
kejadian (fosforilasi, endositosis reseptor, penyortiran intraselular, dan daur ulang) yang
menyebabkan desensitisasi dan resensitisasi yang merupakan proses peraturan penting
yang mengendalikan respons sinyal dan respon seluler. Dalam proses ini, pertukaran
reseptor merupakan aspek penting dari regulasi opioid melalui keterlibatan dinamin dan
Beta-arrestin. Desensitansi reseptor opioid dapat terjadi melalui fosforilasi oleh reseptor
pasangan G-protein kinase dan seterusnya pengikatan arestin. Fosforilasi residu spesifik
melalui aktivasi ERK1/2 yang meningkat (kinase pengatur sinyal ekstraselular), reseptor
pasangan G-protein kinase di domain intraselular MOP diterima secara luas sebelum dan
mungkin menyebabkan desensitisasi. Fenomena ini telah dijelaskan dalam tinjauan baru
dan tidak akan dibahas di sini. Selain itu, desensitisasi reseptor opioid terjadi setelah
interaksi dengan GPCR lain yang disebut heterodimerisasi atau saat ligan mengikat
GPCR spesifik, menyebabkan inaktivasi / desensitisasi GPCR berbeda, tidak terkait, dan
tidak distimulasi melalui sinyal intraselular. Proses ini disebut desensitisasi heterolog.

Sehubungan dengan mekanisme yang terlibat dalam hiperalgesia akibat opioid, sebagai
contoh adaptasi sistem, beberapa ulasan komprehensif telah merangkum perubahan
seluler dan molekuler yang mendukung efek opioid. Temuan baru yang penting baru-baru
ini memberikan bukti tambahan tentang sensitivitas nyeri akibat opioid. Reseptor N-
methyl-D-aspartate (NMDA) telah lama terlibat dalam pengembangan toleransi analgesik
opioid dan hiperalgesia akibat opioid terutama melalui potensiasi reseptor NMDA
presinaptik. Kepentingan neurotransmisi NMDA pada toleransi akibat opioid dan
hiperalgesia baru-baru ini ditekankan oleh pengamatan baru. Pemetaan genetik komputasi
berbasis genome haplotipe menyeluruh dirancang untuk mengidentifikasi gen yang
terlibat dalam hiperalgesia akibat opioid yang digunakan. Gen Mpdz merupakan kandidat
untuk menjelaskan perbedaan antara strain tikus bawaan dalam mengembangkan
hipersensitivitas nyeri setelah paparan morfin jangka pendek. Gen Mpdz dan protein
terkait domain Multi-PDZ 1 (MUPP1) ditunjukkan terlibat dalam fungsi sinaptik yang
bergantung pada NMDA. Secara khusus, protein domain Multi-PDZ 1 dikaitkan dengan
protein kinase II Ca21/kalmodulin dan SynGAP merupakan kompleks sinaptik yang
mengatur aktivitas p38 MAP kinase dan sinapsis tergantung potensiasi reseptor asam
NMDA -amino-3-hydroxy-5-methyl-4- isoxazolepropionik. Data ini mendukung
laporan sebelumnya yang menunjukkan bahwa agonis MOP, remifentanil menghasilkan
potensiasi jangka panjang di sumsum tulang belakang setelah penghentian pemberian
opioid. Secara keseluruhan, ini menunjukkan bahwa opioid dapat memfasilitasi "memori
nyeri tulang belakang" dan dapat memfasilitasi perubahan jangka panjang dalam jalur
pengolahan nyeri. Keterlibatan reseptor NMDA pada hiperalgesia akibat opioid, jalur
pensinyalan MAP kinase tulang belakang, termasuk kinase pengatur sinyal ekstraselular
dan protein kinase II tergantung kalmodulin telah terlibat dalam mediasi fenomena ini.
MAP kinase telah terbukti bertanggung jawab untuk ekspresi potensial reseptor transien
vanilloid 1 pada saraf skiatik, ganglia akar dorsal,dan sumsum tulang belakang setelah
pemberian morfin berulang. Blokade aktivasi transien vanilloid 1 atau reseptor MAP
kinase mengurangi toleransi analgesik dan hipersensitivitas nyeri panas. Jalur pensinyalan
tambahan telah terlibat dalam hiperalgesia akibat opioid. Baru-baru ini, target mamalia
dari rapamycin (mamalia target of rapamycin, mTOR), protein kinase mTOR serin-
theorinin telah terbukti meningkat pada neuron dorsal horn setelah pemberian morfin
intratekal berulang kali. mTOR berkontribusi terhadap pengembangan toleransi morfin
dan hiperalgesia melalui jalur fosfinoosit 3-kinase/ jalur Akt pada neuron dorsal horn
sejak blokade mTOR mengurangi fenomena tersebut. Dengan demikian, sumsum tulang
belakang tampak penting pada berbagai mekanisme dan jalur sinyal yang mendukung
hipersensitivitas nyeri setelah pemberian opioid kronis (Gambar 1).
Gambar 1: Gambaran umum tentang sensitisasi nyeri akibat opioid. Perubahan perifer dapat terjadi
pada neuron aferen primer melalui peningkatan ekspresi pada potensial reseptor transient vanilloid 1
dan aktivitas protein kinase-A (PKA) dan regulasi IL-1 pada sel satelit yang menghasilkan pelepasan
yang meningkat, pada dorsal horn dari sumsum tulang belakang, peptida eksitasi seperti zat P (SP) dan
peptida terkait gen kalsitonin (CGRP) dan glutamat. Selain itu, pada sumsum tulang belakang, interaksi
yang kompleks antara neuron dan sel glial dapat terjadi. Neuron tersensitasi oleh target mamalia
melalui mekanisme tergantung rapamycin (mTOR) setelah pemberian opioid. Sel glial yang diaktivasi
melalui kerja langsung (TLR4) dan / atau tindakan tidak langsung opioid dapat menghasilkan
pelepasan kemokin, sitokin, dan faktor neurotropik dari otak (Brainderived neurotrophic factor,
BDNF) yang mensensitasi neuron sehingga terjadi overaktivitas pada jalur nyeri asending. Aktivasi
jalur nyeri desenden setelah pemberian opioid melalui peningkatan cholecystokinin (CCK) ke medula
ventromedial rostral (RVM), memudahkan pelepasan rangsangan peptida pada sumsum tulang
belakang yang berkontribusi pada pemeliharaan sensitisasi nyeri jangka panjang setelah paparan opioid
jangka pendek.

Namun, perkembangan hipersensitivitas nyeri paradoks setelah pemberian opioid juga


terkait dengan aktivasi jalur nosiseptif desenden yang berasal dari medula
ventromedial rostral melalui aktivitas cholecystokinin (CCK) endogen yang
ditingkatkan, dan dapat meningkatkan upregulasi dinorfin tulang belakang dan
meningkatkan pelepasan neurotransmitter aferen primer (seperti gen kalsitonin terkait
peptida; Gambar 1). Menariknya, dinorfin tulang belakang telah ditunjukkan untuk
diregulasi oleh mekanisme epigenetik selama paparan morfin. Memang, telah
ditunjukkan bahwa peningkatan dosis morfin subkutan menginduksi peningkatan
ekspresi aceH3K9 di sumsum tulang belakang yang mengatur ekspresi Pro-dinorfin
dan BDNF. Selain itu, injeksi inhibitor Histerine acetyltransferase intraperitoneal
yang kontinyu mengurangi toleransi morfin dan hipersensitivitas nyeri, sedangkan
injeksi inhibitor histon deacetilase menghasilkan efek sebaliknya yaitu perpanjangan
hiperalgesia morfin dan toleransi. Apakah perubahan epigenetik diinduksi setelah
pemberian opioid akut masih harus diteliti, terutama dalam konteks cedera jaringan,
namun data ini sangat mendukung perubahan neuron jangka panjang yang disebabkan
oleh paparan opioid.

2.2 Status neuroinflamasi akibat opioid

Bukti melimpah menunjukkan bahwa opioid juga dapat menghasilkan respons


neuroinflammasi pada sistem saraf perifer dan pusat. Sinyal mikroglia-ke-neuron
diketahui memainkan peran utama dalam toleransi akibat opioid dan hiperalgesia.
Implikasi sel mikroglial dalam sensitisasi nyeri cukup kompleks. Sel glia telah
terbukti berkontribusi pada hiperalgesia posterior akibat pelepasan sitokin
proinflamasi dan kemokin. Untuk mendukung proses inflamasi yang diaktifkan
setelah pemberian opioid, pemberian inhibitor metabolik glial, antagonis reseptor atau
penghambat sitokin, mengurangi perkembangan toleransi morfin. Misalnya,
interleukin-1 (IL-1) meningkat setelah pemberian morfin intratekal dan blokade
reseptor IL-1 tulang belakang efektif dalam mengurangi pengembangan toleransi
terhadap analgesia morfin dan hiperalgesia dan allodinia yang diamati setelah
pemberian morfin berulang. Pada tingkat sel, pemberian morfin akut dan kronis
menghasilkan ekspresi protein IL-1 yang lebih baik dari sel satelit di ganglia akar
dorsal melalui aktivasi MMP9. Penelitian lebih lanjut baru-baru ini dilakukan untuk
menjelaskan peran aktivasi glial akibat opioid dalam modulasi efek opioid. Stimulasi
microglia melalui P2X4 lebih spesifik lagi terkait dengan hiperalgesia akibat morfin
dibanding toleransi yang menunjukkan mekanisme yang berbeda antara dua fenomena
ini. Meskipun, toleransi dan hiperalgesia dapat memiliki beberapa mekanisme yang
sama, penyelidikan tambahan harus dilakukan di masa depan untuk mengkonfirmasi
data yang diperoleh dari Ferrini dkk. Selain itu, telah ditunjukkan bahwa mikroglia
spesifik subtipe dari kanal Ca2+ - K+ teraktivasi (BK) bertanggung jawab atas
pembentukan hiperalgesia yang diinduksi morfin dan toleransi terhadap efek
analgesiknya. Oposisi analgesia oleh sitokin proinflamasi berlangsung cepat, terjadi
65 menit setelah pemberian opioid intratekal menunjukkan cara kerja opioid
nonklasik pada produksi sitokin proinflamasi. Ligan opioid seperti morfin telah
ditunjukkan untuk secara langsung mengikat penanda pengaktif mikroglial, jumlah
reseptor imun bawaan seperti toll like receptor 4 (TLR4) yang mengakibatkan
penurunan antinoksi morfin dan hiperalgesia. Efek seperti itu telah dilaporkan di
kedua sumsum tulang belakang dan periaqueductal gray (PAG). Stimulasi TLR4 oleh
opioid mengaktifkan jalur metabolisme seramide pada sel glial tulang belakang. Hal
itu akan menyebabkan aktivasi spetosin 1 fosfat kinase yang bertanggung jawab atas
peningkatan produksi TNF, IL1- dan IL-6 dan dapat mewakili salah satu
mekanisme dimana opioid menginduksi overekpresi sitokin yang cepat. Salah satu
kaskade yang paling menonjol dilaporkan yang diaktifkan oleh paparan opioid adalah
jalur MAP kinase yang merupakan kumpulan protein kinase serin / thionin spesifik.
Tiga kinase utama dari sistem respons ini adalah p38, c-Jun N-terminal kinase (JNK),
dan kinase pengatur sinyal ekstraselular, fosforilasi yang menghasilkan kompleks
pensinyalan fungsional aktif. Misalnya, morfin menghasilkan fosforilasi p38 dalam
mikroglia. Secara keseluruhan, kontribusi sitokin proinflamasi pada hipersensitivitas
nyeri menunjukkan adanya partisipasi molekul ini sebagai sistem antiopioid yang
melawan analgesia opioid. Pengamatan ini menunjukkan implikasi sitokin sebagai
sistem heterolog dalam modulasi analgesia opioid, sesuai dengan teori proses sistem
adaptasi. Dari catatan, astrosit tulang belakang juga telah terlibat dalam
pengembangan hiperalgesia akibat opioid melalui keterlibatan jalur c-Jun N-terminal
kinase dan IL-1. Secara keseluruhan, pengamatan ini sangat mendukung aktivasi
gliosis setelah paparan opioid jangka pendek.

Kemajuan terbaru menunjukkan pentingnya kemokin dalam modulasi efek analgesik


opioid. Kemokin merupakan keluarga dari protein kecil yang disekresikan yang pada
awalnya digambarkan sebagai molekul chemoattractive untuk limfosit. Namun, selain
peran klasik mereka dalam reaksi kekebalan/inflamasi, beberapa kemokin juga
terdeteksi pada kondisi istirahat oleh neuron dan sel glial yang menghasilkan aktivitas
glial dan neuromodulator. Kemokin juga dimodifikasi oleh paparan morfin dalam
sistem saraf pusat. Sitokin dan kemokin diketahui memainkan peran penting dalam
adaptasi fungsional setelah paparan opioid. Pernyataan ini muncul dari berbagai
pengamatan. Penelitian oleh tim Watkins pertama-tama menunjukkan bahwa kemokin
CX3CR1/fraktalkin menentang analgesia morfin. Modulasi analgesik morfin oleh
CX2CR1/fraksin juga terjadi pada PAG. Salah satu kemokin ini, stromal derived
factor 1 (SDF-1), juga disebut CXCL12 adalah anggota keluarga kemokin CXC dan
berikatan dengan dua reseptor: GPCR (CXC motif) reseptor 4 (CXCR4), (juga
diidentifikasi sebagai koreseptor untuk virus tropis human immunodefisiensi sel T - 1)
dan reseptor CXCR7. Desensitisasi heterolog MOP dan DOP telah didokumentasikan
setelah stimulasi CXCR4. Misalnya, aktivasi reseptor CXCR4 di PAG, dengan
pengobatan lokal sebelumnya dengan CXCL12 secara nyata mengurangi efek
antinosiseptif dari agonis opioid yang diinjeksi di tempat yang sama. Sistem CXCL12
/ CXCR4 juga telah terlibat dalam hipersensitivitas taktil induksi morfin kronis.
Partisipasi sistem CXCL12 / CXCR4 tulang belakang dalam toleransi morfin juga
telah dibuktikan. Injeksi intratekal CXCL12 mengurangi efek analgesik morfin.
Secara keseluruhan, ini menunjukkan bahwa kemokin spinal CXCL12 dapat
berkontribusi pada pengembangan toleransi opioid melalui di dalam dan di antara
adaptasi.

3. Kronisasi nyeri yang dihasilkan oleh opioid: konsep sensitisasi nyeri laten
3.1 Unmasking sensitisasi nyeri persisten akibat opioid

Beberapa bukti baru-baru ini menunjukkan bahwa paparan opioid dapat menyebabkan
aktivasi sistem pronosiseptif relatif lama yang menyebabkan kronifikasi nyeri.
Pertama, telah diamati bahwa setelah peradangan kaki belakang, hewan
mengembangkan respons hiperalgesik yang meningkat terhadap induksi peradangan
kedua 7 hari kemudian. Respons berlebihan terjadi sekiranya fentanil diberikan selama
episode pertama peradangan jaringan yang menunjukkan bahwa baik peradangan dan
opioid dapat memfasilitasi sensitisasi rasa sakit, membuat hewan rentan terhadap rasa
sakit di masa depan setidaknya selama satu minggu. Efek serupa diamati pada model
hewan dengan nyeri postoperatif. Kedua, dalam paradigma eksperimental yang
berbeda namun sangat menarik, hipersensitifitas nosiseptif semakin menghilang
selama 12 hari setelah penghentian pemberian opioid berulang. Namun, pemberian
nalokson menyebabkan penurunan dramatis pada ambang nosisieptif (mempercepat
hiperalgesia) ketika diberikan 8 minggu setelah pemberian opioid. Namun,
hiperalgesia yang dipresipitasi oleh nalokson tidak diamati pada tikus yang tidak
pernah mendapatkan opioid. Hal ini menunjukkan bahwa setelah mendapat opioid,
hewan mengembangkan aktivasi sistem pronosiseptif yang berlangsung setidaknya 8
minggu setelah mendapat opioid meskipun peningkatan pronosiseptif ini menjadi
ditutupi oleh sistem antinosiseptif yang dimediasi oleh opioid endogen hanya dalam
beberapa hari. Hiperalgesia kemudian dapat terlihat saat sistem antinosiseptif yang
dimediasi opioid endogen ini dihambat oleh nalokson. Secara keseluruhan semua hasil
ini menunjukkan bahwa resolusi hiperalgesia akibat opioid bukan karena kerusakan
sistem pronosiseptif yang cepat, sehingga menyebabkan kembalinya respons nosiseptif
yang normal (keadaan homeostatik) namun lebih disebabkan oleh kontra adaptasi
sistem penghambatan yang bergantung pada pelepasan opioid endogen. Fenomena ini
mengarah pada pembentukan keadaan baru, yang telah disebut sebagai alostasis (yang
berarti "menjaga stabilitas [atau homeostasis] melalui perubahan" dan yang bergantung
pada keseimbangan tingkat tinggi antara dua sistem nosiseptif yang berlawanan ini,
Gambar 2). Telah diusulkan bahwa keadaan alostatik ini mungkin merupakan keadaan
kerentanan rasa sakit. Untuk menggambarkan keadaan ini, telah ditunjukkan bahwa
pemberian heroin dosis kecil (0,2 mg/kgBB), yang tidak efektif dalam menginduksi
hiperalgesia pada tikus normal, memicu hiperalgesia substansial jangka panjang
setelah diberikan beberapa hari setelah paparan opioid. Efek serupa diperoleh saat
pemberian spinal BDNF dosis rendah atau dinorfin berikan setelah hiperalgesia akibat
opioid menghilang, menandakan bahwa opioid menghasilkan keadaan umum
sensitisasi nyeri. Selain itu, stres, yang diketahui dapat menyebabkan analgesia pada
tikus normal menghasilkan hiperalgesia pada tikus yang sebelumnya diobati dengan
opioid. Karena hiperalgesia oleh stres seperti yang diamati pada hewan yang kembali
pada sensitivitas nyeri basal; Fenomena ini disebut "sensitisasi nyeri laten." Yang
penting, fenomena semacam itu dapat diamati hingga 119 hari setelah mendapat opioid
/ mengalami cedera. Nyeri jangka panjanga akibat opioid dapat meningkatkan respons
nyeri setelah berbagai cedera jaringan seperti peradangan pankreas, radang
tenggorokan, luka insisi, atau cedera syaraf.

Gambar 2: Hipotesis tentang transisi dari akut ke kronis dengan bantuan administrasi opioid. Cedera
jaringan akut atau cedera saraf menghasilkan peningkatan aktivitas pada sistem fasilitasi nyeri yang
dapat ditingkatkan dengan pengobatan dosis opioid tinggi. Setelah remisi dan penghentian pemberian
opioid, peningkatan inhibisi nyeri endogen melalui reseptor opioid dan reseptor adrenergik 2A
menekan aktivitas konstitutif hiperalgesia yang berkelanjutan dan mungkin bergantung pada perubahan
epigenetik pada ekspresi gen BDNF dan proDyn, neuron aferen primer protein kinase-A dan
peningkatan ekspresi sitokin pro-inflammasi IL-1. Hal ini menyebabkan perkembangan sensitisasi
nyeri laten yang mungkin terkait dengan nyeri jangka panjang yang dapat memfasilitasi pembentukan
nyeri kronis.

Penting diketahui bahwa perkembangan sensitisasi nyeri telah dilaporkan dalam


sebuah penelitian relawan awal manusia. Pemberian naloxone 2 mg/kgBB
menghasilkan penurunan ambang nyeri 7 hari setelah luka panas ringan seperti pada
ambang nyeri panas dan hiperalgesia sekunder. Reaksi Naloxone nampaknya beragam
antara relawan manusia yang menyarankan variasi interindividual dalam
pengembangan sensitisasi nyeri laten. Untuk menantang pengamatan ini, paradigma
klinis ini harus diuji lebih lanjut. Menarik untuk mengidentifikasi penanda kerentanan
terhadap nyeri kronis untuk mencegah transisi dari nyeri akut ke nyeri kronis,
terutama dalam konteks nyeri pasca operasi. Secara keseluruhan, peneilitian ini
menunjukkan bahwa paparan opioid boleh mensensitisasi individu terhadap rasa nyeri
berbeda dan stimulus tidak nyeri sehingga opioid merupakan factor kritikal dalam
transisi dari myeri akut ke nyeri kronik sebagai bukti pasca operasi. Pengamatan ini
menimbulkan pertanyaan mengenai dukungan neurobiologis dari neuroplastisitas
akibat opioid.

3.2 Adaptasi perubahan jangka panjang akibat paparan opioid

Sehubungan dengan mekanisme yang mendukung sensitisasi nyeri jangka panjang


akibat opioid, beberapa laporan baru-baru ini telah dipublikasikan dan patut mendapat
perhatian. Pertama, aktivitas pronosiseptif akibat opioid dapat berlangsung lama
setelah penghentian pemberian opioid. Sebagai contoh, Loram dkk menunjukkan
bahwa dua hari setelah penghentian pemberian opioid, peningkatan mRNA IL-1
dapat diamati pada sumsum tulang belakang dan inti trigeminal caudalis yang
menunjukkan bahwa mekanisme inflamasi berkelanjutan mungkin bertanggung jawab
atas kronifikasi nyeri akibat opioid. Pengamatan ini harus dikaitkan dengan sebuah
laporan baru-baru ini yang menunjukkan bahwa pemberian opioid jangka pendek (5
hari) memperpanjang hipersensitivitas nyeri akibat cedera saraf selama beberapa
minggu. Pengamatan ini sesuai dengan gagasan bahwa opioid menghasilkan perubahan
sensitivitas proses nyeri jangka panjang yang memfasilitasi inisiasi dan/atau
pemeliharaan keadaan nyeri kronis. Mekanisme utama yang mendukung fenomena
semacam itu nampaknya independen terhadap reseptor opioid, yang melibatkan
reseptor mirip NOD, protein 3 inflammasome, sebuah kompleks protein yang
mengaktifkan TLR4, reseptor P2X7, caspase-1, atau IL-1 di dorsal spinal microglial.
Data ini mendukung peran penting mikroglia tidak hanya pada hiperalgesia dan
toleransi akibat opioid tetapi juga sensitisasi nyeri jangka panjang yang diamati setelah
paparan singkat terhadap opioid.

Mekanisme lain telah diusulkan untuk menjelaskan sensitivitas nyeri persisten akibat
opioid. Seperti disebutkan di atas, opioid dapat memicu mekanisme epigenetik yang
menghasilkan hiperalgesia dan toleransi. Oleh karena epigenetik mencakup proses
yang mengendalikan ekspresi gen jangka panjang, seseorang dapat berspekulasi bahwa
sensitivitas nyeri laten akibat opioid didukung oleh modifikasi histon, sintesis DNA
dan/atau miRNA. Di samping itu, telah dilaporkan bahwa asetilasi histon dapat
menyebabkan hipersensitivitas akibat nyeri insisi secara berlebihan akibat paparan
morfin melalui perubahan ekspresi gen BDNF dan prodinorfin di sumsum tulang
belakang. Mekanisme epigenetik ini mungkin memiliki minat tertentu untuk
menjelaskan secara parsial sensitisasi nyeri laten yang dihasilkan oleh opioid melalui
perubahan jangka panjang pada fungsi neuron setelah paparan opioid. Akhirnya,
rangsangan berulang MOP menghasilkan sensitisasi nosiseptor jangka panjang melalui
mekanisme spesifik yang berbeda dengan stimulus inflamasi. Jalur pensinyalan
spesifik yang melibatkan protein kinase-A telah terbukti mendukung hiperalgesia
jangka panjang setelah injeksi prostaglandin E2 (PGE2) pada hewan yang diobati
dengan DAMGO. Laporan ini menunjukkan bentuk baru priming hiperalgesik yang
dapat memfasilitasi transisi dari nyeri akut ke nyeri kronis. Hal menunjukkan bahwa
opioid dapat bertindak juga pada nosiseptor aferen primer yang menginduksi efek
priming dan membuat hewan tersensitisasi terhadap stimulus nyeri selanjutnya.
Akhirnya, konsep sensitisasi nyeri laten setelah nyeri inflamasi juga telah diteliti.
Baru-baru ini diperlihatkan bahwa efek konstitutif reseptor adenilat siklase 1 dan
MOP, DOP, reseptor kappa-opioid, dan reseptor 2A adrenergik terlibat dalam
penekanan kontinyu hipersensitivitas nyeri setelah peradangan akut. Pertanyaannya
tetap mengenai implikasi spesifik dari mekanisme seluler tersebut pada sensitivitas
nyeri laten yang disebabkan oleh paparan opioid. Karakterisasi yang lebih baik dari
penanda neurobiologis sensitivitas nyeri laten akibat opioid harus dipertimbangkan di
masa depan untuk memperbaiki penggunaan opioid untuk penanganan nyeri termasuk
membatasi resiko kronifikasi nyeri (Gambar 2).

4. Implikasi klinis terhadap neuroadaptasi akibat opioid

Perubahan preskripsi opioid yang terjadi selama beberapa dekade terakhir terjadi
bukan karena pemahaman kita yang lebih besar tentang mekanisme dasar nyeri dan
analgesia. Perubahan preskripsi opioid dimulai pada tahun 1980an ketika spesialis
perawatan paliatif mendekati industri farmasi dan meminta mereka untuk merumuskan
ulang morfin menjadi kerja panjang sehingga pasien kanker memiliki kontrol nyeri
yang lebih baik dengan puncak yang lebih sedikit dan melewati pada tingkat analgesik
mereka. Reformulasi beberapa opioid lainnya dengan cepat diikuti. Spesialis
perawatan paliatif juga mempromosikan gagasan bahwa opioid harus diberikan secara
berkala bukan sesuai permintaan, peningkatan dosis dengan tujuan mengurangi nyeri
sebanyak mungkin. Prinsip titrasi-sehingga-berefek dimana dosis opioid akan
meningkat untuk melawan dan tidak hanya meningkatkan rasa sakit, tapi juga
meningkatkan toleransi telah diajukan. Satu perubahan yang relevan, yaitu pengenalan
konsep breakthrough nyeri. Ketika telah jelas bahwa tidak ada dosis ideal opioid kerja
panjang yang mencakup semua kemungkinan dan mengkompensasi perubahan tingkat
nyeri yang terjadi seiring perubahan faktor emosional dan fisik, diusulkan bahwa
opioid kerja pendek harus diberikan sebagai tambahan pada kerja panjang, dan
diberikan saat nyeri muncul melalui rejimen analgesik dasar. Sebelum munculnya
opioid kerja panjang, tidak perlu adanya konsep breakthrough nyeri, karena cara
standar untuk meresepkan sesuai kebutuhan. Prinsip-prinsip yang dipromosikan oleh
spesialis perawatan paliatif segera diperluas untuk pengobatan nyeri kronis. Jauh lebih
banyak populasi diobati dengan opioid dengan jangka waktu yang lebih lama. Sejalan
dengan kemajuan spesialis perawatan paliatif dari prinsip titrasi-sehingga-berefek dan
konsep nyeri breakthrough, dosis yang digunakan lebih tinggi dari sebelumnya.

Meskipun mekanisme toleransi opioid dan hiperalgesia mulai dijelaskan di


laboratorium seawal tahun 1980an, dokter tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Bagaimanapun, opioid telah berhasil digunakan untuk pengobatan nyeri selama ribuan
tahun: pastinya efek antinosiseptif opioid umumnya mengesampingkan efek
pronosiseptif opioid, dan toleransi tersebut dapat diatasi dengan meningatkan dosis.
Awalnya, penggunaan kontinyu, titrasi-sehingga-berefek, dan konsep breakthrough
sepertinya menjadi jawabannya. Sampai tahun 1990an, saat berada di ruang klinis,
kita mulai melihat bahwa dalam kondisi tertentu, opioid tampaknya membuat nyeri
menjadi lebih buruk daripada membaik. Hal ini terutama berlaku saat opioid
digunakan dengan dosis tinggi atau dengan opioid poten. Diumpan dengan fakta
bahwa setiap peningkatan dosis tampaknya mampu memulihkan analgesia, dosis
dinaikkan dan diturunkan, dan ketakutan bahwa dosis semacam itu sebenarnya bisa
memperparah nyeri, atau menghasilkan adaptasi yang membahayakan kemampuan
opioid untuk menghilangkan nyeri, sebagian besar tidak diindahkan.

Kemajuan terkini di laboratorium telah membawa kita ke titik di mana efek


pronosiseptif opioid dan kepentingan klinisnya tidak dapat disangkal. Ini tidak bisa
lagi dilihat sebagai perubahan yang akan kembali normal segera setelah pengobatan
opioid dihentikan: penelitian pada hewan dan manusia menunjukkan bahwa banyak
perubahan memiliki efek yang berkepanjangan. Mekanisme umum yang berkontribusi
pada hiperalgesia akibat opioid dan kronifikasi nyeri, seperti aktivasi reseptor NMDA,
berarti bahwa tidak selalu mungkin untuk menentukan apakah peningkatan nyeri
berkaitan dengan nyeri itu sendiri atau dapat terjadi akibat pemberian opioid secara
kontinyu. Atau apakah penghentian terapi opioid atau bentuk rescue apa pun akan
memperbaiki rasa nyeri. Proses seluler seperti pertukaran reseptor, sinyal intraselular,
neurotransmisi NMDA atau perubahan epigenetik, neuroinflamasi akibat opioid atau
sensitisasi nyeri laten, toleransi akibat opioid dan hiperalgesia harus dilihat sebagai
fenomena berpotensi ireversibel sehingga harus dilakukan pemeriksaan ulang dosis
pemberian opioid saat ini. Paling tidak, kita tahu bahwa prinsip pemberian resep yang
lebih baru cenderung mendorong pemakaian dosis lebih tinggi, dimana ilmu sekarang
menunjukkan perubahan dalam proses penyembuhan yang dapat mengkompromi
kemampuan opioid sebagai penghilang nyeri, dan bahkan dapat memperburuk nyeri
dan/atau memfasilitasi perkembangan nyeri kronis.

Pemahaman baru mengenai mekanisme opioid yang diberikan oleh ilmu dasar dapat
menyebabkan perkembangan terapi obat baru yang dengan merencanakan perubahan
epigenetik, proses seluler, neuroinflamasi dan adaptasi akibat opioid lainnya, dapat
membantu mengurangi nyeri bertambah parah, mengurangi toleransi terhadap
analgesik opioid, atau kedua-duanya. Studi klinis yang dirancang dengan baik
diperlukan untuk mendefinisikan secara jelas hiperalgesia dan toleransi akibat opioid
pada manusia, dan untuk sepenuhnya memahami peran strategi dosis dalam
memproduksi neuroadaptasi yang tidak diinginkan sehingga mengganggu kemampuan
opioid untuk memberikan analgesia yang berkepanjangan. Namun, apa yang telah
dilakukan oleh ilmu dasar adalah memaksa kita untuk mempertanyakan apakah praktik
baru seperti penggunaan kontinyu dan peningkatan dosis tanpa batas, terkadang dapat
membuat nyeri menjadi lebih buruk daripada lebih baik.

Anda mungkin juga menyukai