Anda di halaman 1dari 18

Tarian Pewaris Malam

Nyanyian Jangkrik

Tempat lusuh dan bau


Tersembunyi dalam setumpuk rongsokan
Bagimu itu adalah panggung idaman nan megah
Yang tak semua makhluk bisa berdiri bangga di atasnya
Kau mulai senandungkan nyanyian pembuka
Jikalau mereka tahu sebenarnya itu tangisan kehidupan
Hanya saja kau pandai memainkan nada
Bagaikan lagu kerajaan yang menusuk telinga
Walau pendengarmu tak paham makna kisahmu
Mereka hanya peduli dengan suara nyaringmu
Memecah heningnya malam
Berkalut debu dari sang perusak pagi
Mereka akan tertidur saat kau masih menyanyi
Bahkan mereka tak akan peduli dengan lagu penutupmu
Dan esok malam kau mulai lagi dengan lagu pembuka
Pahlawan Kemalaman

Lihatlah para jangkrik menertawaimu


Lagu yang mereka senandungkan untuk mengejekmu
Sudikah kau mendengarkannya?
Atau kau sibuk menjadi pahlawan kemalaman?
Langit begitu indah dihiasi awan dan rembulan
Tak ada bintang-bintang karena mereka tahu kau datang
Harusnya kau ikuti para bintang yang keluar setelah subuh
Dan tenggelam saat menjelang malam
Tenagamu tak akan sia-sia karena mereka membutuhkanmu
Gunakan nurani bukan hanya kekuatan
Agar kau tahu masa yang tepat untuk datang
Sekarang kembalilah pulang
Biarkan mereka terpejam dengan tenang
Sebaiknya kau menjadi pahlawan kepagian
Jangan sampai kalah dengan ayam
Penakluk Sepertiga Malam

Dua pengelana sedang menginap di hotel bambu


Penampilan sederhana gambarkan kekayaan mereka
Entah mereka benar-benar miskin atau sedang menyamar
Tanah yang pernah mereka injak pasti lebih tahu
Hari semakin larut, gelap dan sepi
Terlihat jelas mereka terpejam lebih awal
Tak ada dinding pada kamar termurah itu

Di sepertiga malam mereka sama-sama bangun


Namun lihat yang mereka berdua akan lakukan tak sepadan
Pemuda yang pertama keluar dan kembali bermuka basah
Bersujud sejajar dengan tanah di atas sajadah
Pemuda yang ke dua hanya duduk di depan kotak kaca
Mengamati para pencari nafkah di rerumputan hijau
Keduanya sama-sama khusuk
Tapi hanya satu yang pantas disebut penakluk sepertiga malam
Lilin

Aku adalah lilin


Nyawaku sepanjang tali yang tertanam di tubuhku
Dahulu manusia mencariku saat gelap berdatangan
Namun sekarang aku telah mereka lupakan
Tergantikan bola listrik yang dibuat dari beling
Apakah ini karmaku?

Padahal tubuhku sudah mereka bakar


Dan aku mengalah, diam tak bersuara
Aku hanya bisa menangis
Rasa panas bagaikan mandi lahar Merapi
Dan aku tak punya kaki untuk berlari
Tak punya mulut untuk mengaduh

Dalam sakit aku bangga menjadi berguna


Menjadi penerang dalam kegelapan
Menjaga anak manusia yang asik belajar
Mengubah alasanku meneteskan air mata
Karena aku bahagia masih bisa berguna
Bintang Rindu Rembulan

Goresan pena yang tertulis di atas keyakinan


Setitik asa yang bersahutan dengan hati
Melihat senyum rembulan hilangkan keraguan
Dua langkah kaki ini berjalan di atas ketidakpastian

Katakan pada udara yang bernyanyi di bawah awan


Meski akan lelah untuk menyentuh hangatnya dua tangan
Kerapuhan adalah teman bagi seorang pahlawan
Yang berjuang setiap pagi menafkahi bintang-bintang harapan

Bila matahari terbiasa untuk terbit dan tenggelam


Bila perahu telah berlayar di luasnya lautan
Ingatlah ini sebagai tanda perasaan manusia
Sebuah bintang yang rindu kepada rembulan
Berkaca Pada Ubin

Wujudmu indah berkilauakan cahaya


Pantulkan sempurna kemilau dunia
Namun kau tak ubahnya lantai bata di rumah bambu
Tempatmu sama-sama di bawah
Selalu ditindas dan diinjak-injak
Manusia tak peduli dengan harga mahalmu
Semakin mahal semakin banyak pula yang ingin menginjakmu

Harusnya para manusia sadar


Keindahan dunia hanya sebatas hiasan
Hanya tampak seperti surga bagi si pengejar dunia
Bagi cendikiawan dunia adalah racun
Akan menggerogoti seluruh tubuhmu jika dibiarkan
Membuatmu terombang-ambing tak berujung
Atau terinjak-injak oleh nafsu palsu
Saat itu kau sudah terlempau jauh tersesat
Berharaplah cahaya-Nya melindungimu
Pewaris Malam

Tak ada yang tahu dalamnya lautan


Kecuali mereka yang berani menyelami kehidupan
Tak ada yang tahu panasnya aspal hitam
Kecuali mereka yang teguh berdiri di kakinya sendiri
Tak ada yang tahu beratnya sebuah kain merah putih
Kecuali mereka yang berani mengangkat bambu runcing
Tak ada yang tahu panjangnya lintasan dunia
Kecuali mereka yang tangguh mengayuh demi cita-cita
Tak ada yang tahu manisnya tetesan keringat
Kecuali mereka yang membanting tulang demi keluarga
Tak ada yang tahu rasanya menjadi terkaya di dunia
Kecuali mereka yang bersyukur saat bangun di pagi hari
Tak ada yang tahu maknanya kerinduan
Kecuali mereka yang anaknya merantau keliling dunia

Bertarunglah dengan gagah


Jika kalah maka itu adalah checkpointmu
Jika menang akan ada satu hal yang pantas untuk dirayakan
Api Unggun Surabaya

Langit sore sudah mengakhiri masanya


Bercadarkan awan hitam abu-abu
Melambaikan tangan tak akan kembalikan matahari
Sorak-sorai manusia juga tertindih sunyi
Seakan pasrah dengan garis yang terpahat di tangan
Tak melawan walau kadang jauh dari keadilan
Kisah di ujuang jurang metropolitan

Bila tak percaya, biarkan asap yang bercerita


Biarkan arang yang menjadi pijakan
Biarkan api yang jadi panutan
Asal jangan kau tukarkan hatimu dengan abu
Atau keluargamu dengan debu
Jika kau ingin tetap melihat api unggun Surabaya
Lupakan asal-usulmu
Pergilah berlari sekencang elang menyambar mangsanya
Sampai kau temui istana-istana kecil berpintu seribu
Tempat tinggal pangeran dan sang putrid
Pemimpi Kecil

Aku lahir saat para tamu masih bekuasa


Mereka tak hanya duduk minum teh alam
Bahkan mereka ingin kuasai alam tempat teh itu ditanam
Mereka bilang ingin berdagang
Walau nyatanya tanahku mereka buat gersang
Mereka bilang ingin melindungi
Walau nyatanya tak segan melukai
Pagiku tak ubahnya siksa di mataku
Sedang malam hanya bisu mendengar tangisan

Akulah pemimpi kecil di bawah langit tinggi


Pergi belajar dan menjelajah di samudera ilmu
Punya banyak teman dan beradu pengalaman
Menjadi bintang harapan untuk keluarga
Melampaui penerus tokoh peradaban

Mataku terbuka dan seakan semua sirna


Aku harap tidurku lebih panjang
Cukup panjang sampai para tamu pergi
Pergi sebab bosan menunggu
Atau takut semakin banyak pemimpi kecil di tanah ini
Sekumpulan Kabel Kecil

Tak ada yang hiraukan kau


Bahkan langit biru tak jua berkedip
Namun kau laksana tukang pos idaman
Surat-surat yang kau antar dinanti penunggu jawaban
Berdiri diam menanti surat di depan pintu kayu kecil
Seorang nahkoda pesan yang kadang terabaikan
Itu pun tak jua buat kau gelisan
Tetap lakukan tugas wujud pengabdian abadi
Kau hubungkan pesan-pesan yang terpisah dunia
Berkumpul menjadi satu di ladang pengharapan

Kau ada dan dibutuhkan penjelajah dunia


Mengarungi samudera jalanan penuh himpitan
Tak beda jauh dengan pejalan kaki selat sunda
Tahan banting dan bawa amanah
Setiap detik bagai emas yang berjalan
Jika tak dikejar semakin jauh melangkah
Jika tak dipegang semakin hilang terpencar
Hingga butuh waktu setahun tuk satukan
Kau yang berguna dan terabaikan
Pemimpi Dan Penanya

Penaku tertempel rapat di jari-jemari


Dia menari di atas kertas putih tak ternoda keangkuhan
Tak punya rasa malu untuk mengumbar impiannya
Sang penggerak pena tertarik pada mimpi itu
Semakin lebar dan jauh melangkah
Semakin banyak mimpi yang tertuang
Itu mimpinya
Tak pernah takut hancur oleh tetesan hujan
Bahkan mendung masih menaruh hormat atas keberaniannya

Siapa sangka jika satu-persatu mimpi menjadi terwujud


Dari sebuah coretan menjadi kebanggaan
Dari sebuah khayalan menjadi kenyataan
Kini hujan tak lagi segan
Karena coretan-coretan itu tak akan hilang tersiram hujan
Yang terlihat hanya sebagain kecil dari luasnya impian
Satu pijakan bukan berarti akhir dari segalanya
Bagi pengelana mimpi, perjalanan masih panjang
Dan selama teman penanya menemani
Dunia ini hanya sebuah kertas putih yang masih suci
Bumi Kardus

Kadang manusia sombong akan singasananya


Padahal ia bangun kemegahan itu dengan keringat asinnya
Seberapa hinakah sampai ia tak punya malu padanya
Saat sebuah singasana sudah berdiri megah, ia terpukau
Rasa kagumnya mengalir deras pada aliran darahnya
Memenuhi setiap rongga pikiran dengan kemewahan mata
Esok harinya ia bangun lagi singasana yang lebih mewah
Sampai-sampai lantai dasarnya tembusa pandang
Terbuat dari kaca kualitas semesta
Tinggi sekali hingga menusuk ujung langit
Menjadi bayangan jarum terpanjang di dunia

Aku kasihan padanya


Singasananya megah namun tak serupa dengan hatinya
Masih mending gelandangan yang tak bertuan
Mereka bangun rumah dengan sederhana
Dari pondasi sampai atapnya terbuat dari kardus
Karena mereka sadur, dunia ini mudah lapuk
Sama rapuhnya dengan kardus
Buat apa bermandi keringat dan berminumkan darah
Membangun gubuk setinggi angkasa
Padahal kalian akan ditempatkan di tanah
Pejalan Kaki Selat Sunda

Dua pulau subur saling berhadapan


Tak mampu menjadi satu
Atau bahkan saling berjabat tangan
Kalian tak membutuhkan itu
Kalianlah bukti adanya jembatan dua dunia
Memisahkan dua wilayah yang saling menyatukan
Dan mengalir subur selat di antaranya

Sering para pengelana bersusah payah melewatimu


Bukan untuk unjuk kekuatan
Namun hanya membuktikan jika mereka mampu
Mereka adalah pejalan kaki Selat Sunda
Pengelana bumi Jawa dan Sumatera
Pencari kepuasan dalam berpetualang
Dari matahari terbit sampai tenggelam
Dan mereka akan sampaikan pada langit sore
Biarkan Selat Sunda tetap ada
Menjadi penantang bagi pengelana nusantara
Tambang Biru

Kau tak harus lusuh untuk mendapat rupiah


Bahkan mungkin ketua suku tak terlalu peduli dengan keadaanmu
Karena sainganmu bermodalkan gajah-gajah kuning
Tapi kau, yang kau punya hanya dengkul
Tak patut kau marah jika tak ingin pulang hanya membawa nama
Nyawamu tak berharga bagi mereka
Bahkan mereka lebih memilih nasi bungkus daripada membantu mengais rupiah
Tak patut juga kau meneteskan air mata
Keluargamu di rumah butuh butiran-butiran beras bukan kesedihan
Kapan kau sadar?

Sekaran zaman sudah bergerak cepat


Lebih cepat dari kereta besi di Jepang atau China
Ini adalah rahasia kita berdua, ajakan pengelana pada pribumi
Mari berjualan saja, di sebuah tambang berwarna biru
Tempat banyak orang perjuangkan hidupnya tanpa harus hilang nyawa
Aku tahu kau akan memuntahkan ajakanku
Kau lebih memilih berpakaian lusuh dan mengais rupiah di tanah berduri
Karena cuma itu yang kau mampu
Kau tak malu karena teringat wajah kusam istri dan anakmu
Hingga duri menancap di kakimu
Dan keluargamu hanya mendapat namamu
Kau akan selalu tak mengacuhkan tambang biru
Lukisan Di Ujung

Kanvas tak harus tersusun atas benang-benang


Alampun pantas menjadi pengganti kanvas
Meski dari jauh terlihat bundar
Di sini bumi masih datar tak berujung
Terajut oleh manusia-manusia dan benda tak hidup yang diam
Hanya terlihat sebagai pori-pori kecil dari langit

Kuas digoreskan menari di atas daratan


Memberi warna yang sama pada tiap pori-pori kehidupan
Menjelma menjadi lukisan alam yang bernafas
Goresan demi goresan kekal tak terbantahkan
Kemunafikan tak berlaku lagi tertutup lembaran
Hanya menjadi hiasan terabaikan
Ciptakan lukisan alami penghias daratan
Takut Gelap

Pejamkan mata
Dan lihat seluruh dunia menjadi gelap pekat
Bahkan tak ada lampu yang sudi menyala
Sekeras baja usahamu sia-sia
Yang tampak hanya gelap
Kemana kau akan mencari cahaya?
Mustahil matahari berhasrat datang padamu
Melihatmu pun dia enggan
Kau sudah termakan oleh ulahmu sendiri
Jangan salahkan Tuhan atas setiap kesalahan
Atau hatimu telah hancur dilindas hasutan?

Kau tak lagi bisa bedakan dua rotan


Yang baik dan buruk kau sama ratakan
Tak kau timbang beban pada mereka
Terlalu sibuk dengan dunia yang kau anggap gelap
Memang benar kau terpejam
Namun telingamu selalu terbelalak untuk mendengar
Setiap jeritan dan tangisan bersahutan
Hingga kau berani membuka mata
Singkirkan gelap saat terpejam

Anda mungkin juga menyukai