Anda di halaman 1dari 4

PENDIDIKAN RELIGIOSITAS

Pembaharuan pendidikan yang bersifat lebih partisipatif dan lebih mengembangkan


citra pendidikan agama sebagai salah satu pendidikan nilai kehidupan, dan bukanlah
pendidikan agama yang sarat dengan beban antara penilaian dan nilai norma sosial yang
membingungkan menjadi bagian pergulatan dewasa ini. Pendidikan agama pun haruslah
menanggung sebuah formasi kepribadian yang berat, namun dengan Pendidikan Religiositas
diharapkan sebuah citra tentang keutuhan pendidikan akan nilai kehidupan yang tidak terukur
secara kuantitatif semata, melainkan menjadi medan atau wahana subyek didik
memperkembangkan rasa kepedulian dan refleksi terhadap kehidupan.
1. Pendidikan Religiositas merupakan suatu pendidikan yang mengajak subyek didik
sampai kepada sikap batin yang mendalam mengenai Tuhan dan keterkaitannya
tentang kehidupan. Pendidikan Religiositas merupakan pendidikan yang bermaksud
mengkontruksi aspek belajar subyek didik untuk sampai kepada nilai-nilai universal
kehidupan. Pendidikan Religiositas juga merupakan pendidikan yang bermaksud
mengajak subyek didik kepada makna kehidupan sebagai salah satu kontruksi di
dalam proses belajar. Kontruksi belajarnya mengangkat keberagaman latar belakang
religi subyek didik untuk dijadikan sebuah dialog nilai kehidupan. Dari dialog nilai
tersebut, latar belakang religi dapat saling memperkaya dan meneguhkan, sehingga
diharapkan dapat terjadi transformasi nilai bagi subyek didik. Kontruksi belajar dalam
keberagaman ini merupakan sesuatu yang diangkat sebagai prosesnya, agar
internalisasi nilai menjadi semakin bersifat membangun nilai-nilai persaudaraan dan
perdamaian.
2. Pendidikan Religiositas sendiri mempergunakan Pendekatan Pedagogi Refleksi (PPR)
sebagai proses pembelajarannya, dimana refleksi siswa menjadi muara yang penting
untuk kompetensi dan evaluasi belajar. Melalui PPR siswa berupaya memberikan
refleksinya dalam penerapan model pendekatan apapun, baik tertulis, dalam bentuk
berbagi pengalaman, pengolahan pengalaman langsung dengan keterlibatan,
pendekatan ekspresi pengungkapan refleksi melalui seni, dan masih banyak hal yang
dapat dimungkinkan.
3. Pendidikan Religiositas menjadi media bagi pengembangan pendidikan nilai yang
lebih progresif. Dalam Pendidikan Religiositas ini, subyek didik diajak sampai kepada
proses eksplorasi yang signifikan dengan pola-pola yang bersifat tidak terbatas pada
ruang lingkup ruang kelas, melainkan dimungkinkan sampai pengalaman subyek
didik untuk mengenal hidupnya yang dengan sosio religius dan sosio kultural yang
konkret dan nyata. Pola pendekatan yang berbagai macam dapat dicoba diterapkan
dalam kesatuan pembelajaran. Pendampingan subyek didik tidak hanya terbatas
kepada aspek pengetahuan, tetapi sampai kepada upaya pemahaman yang bersifat
kenousis (menyapa batin) dan mengembangkan nilai-nilai etis dan moral. Maka dalam
hal ini ruang kelas tidak menjadi satu-satunya ruang belajar, melainkan dimungkinkan
seluas-luasnya menjangkau hidup pengalaman sosio religius subyek didik.
4. Pendidikan Religiositas merupakan upaya pendidikan yang mengangkat formasi
subyek didik kepada inklusifitas antar tradisi religi. Hal itu dimungkinkan karena di
dalam Pendidikan Religiositas ada upaya untuk saling berdialog dan memperkaya
pengalaman sesuai dengan tradisi religi atau agamanya masing-masing. Dialog pun
tidak lah bersifat apologi melainkan menjadi dialog yang saling memperteguh dan
memperkaya untuk memasuki ruang universalitas pandangan. Pendekatan di dalam
dialog melalui Pendidikan Religiositas merupakan dialog yang membawa subyek
didik kepada dialog inter-subyektif, yaitu dialog antar pemahaman, penghayatan dan
pengalaman atau pengamalan dalam keberagaman. Dialog agama yang bersifat inter-
subyektif mengajak subyek didik untuk memahami realitas kemajemukan dan
menjadikannya sebagai being religious. Pendidikan Religiositas mengajak dialog
inter-subyektif tersebut semakin nyata di dalam diri para subyek didik melalui refleksi
dan upaya untuk menindak lajutinya dalam sebuah perumusan aksi baru.
5. Melalui Pendidikan Religiositas ini, kontruksi cara berpikir seorang subyek didik
diajak kepada pemahaman akan pluralitas dan kemanusian yang mendalam. Hal ini
membawa kepada sebuah tretament positif bagi perkembangan kepercayaan
eksistensial subyek didik, bahwa subyek didik dihadapkan pada banyak pilihan dan
kemajemukan autoritas nilai yang harus ia pahami bukan tertutup, melainkan
menyentuh aspeknya yang paling hakiki. Kehakikian nilai yang nantinya dianut oleh
setiap subyek didik memang berjalan bertahap, dan tak pernah instan. Tetapi jika
sesuatu yang hakiki telah mengatasi berbagai pandangan sempit dan diinternalisasi
sebagai ultimate concern, maka nilai tersebut akan dianut oleh subyek didik secara
menetap dan berlangsung sampai kepada perkembangan yang paling akhir. Proses
untuk menemukan ultimate concern pada jenjang perkembangan masa transisi (mis,
remaja) memang membutuhkan perhatian yang mendalam dan sangat krusial. Hal itu
mengingat bahwa pada masa transisi ini seseorang akan dihadapkan pada religious
doubt (keragu-raguan dan kritis untuk mempertanyakan) apa yang ia pakai sebagai
nilai autoritas. Maka ketika Pendidikan Religiositas menjadi treatment pada usia
transisi ini diharapkan akan membawa kepada pemahaman yang lebih dewasa ketika
pemahaman mulai bersifat menetap. Pemahaman itu adalah pemahaman yang utuh
dan dewasa mengenai berbagai nilai-nilai kemanusiaan untuk menjadi nilai yang
paling ultim, sehingga seseorang akan sampai kepada perkembagan kepercayaan
eksistensial yang dewasa.
6. Dalam pengembangan pembelajaran Pendidikan Religiositas, guru diberi kebebasan
dan kreatifitas untuk mempergunakan berbagai pendekatan dalam mengoptimalkan
proses PPR. Pendekatan PPR ini mempunyai tiga komponen pokok yang menjadi jiwa
utama dari seluruh proses pembelajaran, yaitu pengalaman, refleksi dan aksi.
Pendekatan yang digunakan dalam Pendidikan Religiositas ditujukkan untuk
mendukung proses komunikasi iman yang bertitik tolak pada pengalaman hidup dan
iman siswa, bukan indoktrinasi. Komunikasi iman tersebut meliputi pribadi siswa
dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan teks, siswa dengan suasana, dan
siswa dengan Tuhan. Komunikasi ini hendaknya terjadi dalam proses yang terarah dan
berkesinambungan untuk merefleksikan, menginterpretasikan, dan mengaplikasikan
ajaran iman dari agama dan kepercayaannya dalam hidup nyata sehingga semakin
menjadi orang beriman. Agar pendekatan yang dipergunakan mampu mendukung
proses PPR tersebut, maka pendekatannya bersifat: variatif, dinamis (kreatif),
partisipatif menyenangkan dan eksploratif: mencari, mengembangkan, memperkaya
informasi terus-menerus.
7. Pendekatan kontekstual dapat menjadi pendekatan yang memperkaya keseluruhan
proses PPR. Pendekatan kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru
mengkaitkan antara materi yang diajarkan dan dipelajari dengan situasi hidup siswa,
baik lingkungan dimana siswa tinggal, hingga konteks masyarakat yang lebih luas.
Diharapkan, dengan konsep itu, siswa mampu membuat hubungan antara pengetahuan
yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Pada
prinsipnya, pendekatan kontekstual ini mengisyaratkan bahwa pembelajaran
hendaknya memuat berbagai unsur dan kegiatan sebagai berikut:
o Pengetahuan atau konsep yang dipelajari dibangun melalui kegiatan observasi,
bertanya-wawancara, investigasi, menganalisa, kemudian berdasarkan
kegiatan tersebut dibangun sebuah konsep gagasan baru.
o Memperkaya kegiatan tanya-jawab, saling berdiskusi memperdalam
pengetahuan, baik oleh guru, siswa, antar siswa, dengan oranglain atau nara
sumber lain.
o Menyusun dan membangun makna dan pengalaman baru yang didasarkan
pada pengetahuan tertentu sehingga bermakna sesuai dengan pemikiran dan
konteks hidup siswa.
o Membentuk kelompok belajar atau wadah komunitas dimana didalamnya ada
usaha untuk selalu berkomunikasi, berbagi pengalaman dan gagasan.
o Mencari penilaian yang utuh (meliputi proses koginitif, afektif dan
psikomotorik)
o Kegiatan pembelajaran diarahkan agar mampu membawa siswa terinspirasi
sehingga ada keinginan untuk selalu mengembangkannya.
o Di akhir setiap kegiatan pembelajaran, guru mengajak siswa untuk melihat
kembali atau merespon berbagai kejadian, peristiwa, dan pengalaman yang
tujuannya untuk mengidentifikasi hal-hal yang sudah diketahui, dan hal-hal
yang belum diketahui agar mendapatkan pemahaman baru. Hal ini dapat
dilakukan dengan bentuk tanggapan langsung, membuat catatan, jurnal, diary,
kesan, diskusi pendalaman dan bentuk-betuk hasil karya.
o Salah satu model yang dapat digunakan dalam pendekatan kontekstual ini
adalah model Belajar dari Kehidupan. Ada beberapa hal yang dikembangkan,
yaitu:
1) Para siswa diberi tugas untuk membuat observasi pada salah satu realitas sosial di
sekelilingnya. Para siswa diajak mengenal realitas sosial dengan melakukan wawancara
kepada seseorang saksi mata, pelaku, pekerja atau siapa pun yang menjadi subyek realitas
sosial tersebut. Kemudian, secara kelompok mereka mencoba mengalami apa yang
dilakukan oleh para pelaku tersebut dengan membantu apa yang sedang dikerjakan,
misalnya berjualan, berkarya, bekerja, dan lain sebagainya. Proses tersebut terbilang
memerlukan waktu yang cukup, biasanya mereka melakukan observasi ini bisa lebih dari
beberapa pertemuan.
2) Para siswa diminta untuk mendokumentasikan hasil observasi tersebut. Dokumentasi
tersebut dapat berupa foto atau video. Dokumentasi tersebut dapat diolah sesuai dengan
kreatifitas dan pemikiran para siswa. Tentu saja, pendokumentasian melalui video ini
terbilang bukan sesuatu hal yang murah, namun untuk ukuran sekolah di pusat kota dan di
zaman sekarang, hal itu bukan sesuatu yang sulit. Dokumentasi yang diperoleh dapat
menjadi dokumentasi portofolio performance. Dokumentasi ini bersifat: Pertama, sebagai
data yang bersifat visualistik yang mengungkapkan dokumen observasi. Kedua, dengan
data yang berifat visualistik tersebut, maka data dapat didalami, direfleksikan kembali oleh
para pelaku observasi atau oleh kelompok-kelompok lain dengan berbagai pendekatan
apresiatif. Ketiga, dengan kelengkapan pendokumentasian tersebut, maka akan memicu
kerja kelompok secara kreatif, baik segi analisis sosial, refleksi, maupun pengembangan
sense of art.
3) Hasil dokumentasi observasi itu kemudian digunakan untuk kegiatan refleksi dan evaluasi
bersama antara para siswa dan guru. Dalam kegiatan ini, guru dan siswa berproses untuk
merumuskan masalah, menganalisis dan menyajikan hasil dengan bentuk yang beraneka
ragam, serta mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karyanya.
4) Mengadakan pameran foto atau pemutaran hasil video observasi dan menerbitkan (press
release) hasil refleksi ke media massa atau webblog. Hal itu agar hasil dokumentasi
observasi menjadi portofolio performance yang sungguh-sungguh berguna bagi
kepentingan banyak orang dan ada uji mutu (benchmarking) atas hasil pembelajaran.

Anda mungkin juga menyukai