Anda di halaman 1dari 29

Asuhan Keperawatan Gangguan Muskuloskeletal Pada

Lansia
Ostioporosis

Disusun Oleh:
Kelompok 2
1. Nurmalasari
2. Ira Astuti
3. Yulputrisna
4. Arif Roni
Kelas: Kelas 3a

Stikes Widya Nusantara Palu

S1 Keperawatan

2017
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap syukur Alhamdulillah atas kehadirat Allah SWT yang


telah memberi rahmat dan karunia-Nya, sehingga dapat menyelesaikan tugas
makalah Asuhan Keperawatan Gangguan Muskuloskeletal Pada Lansia
Demikian kelompok berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
teman-teman yang lain serta dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
kelompok menyadari bahwa makalah yang kelompok selesaikan ini masih banyak
sekali kekurangannya sehingga kelompok masih memerlukan kritik dan saran
yang membangun guna untuk memperbaiki makalah selanjutnya. Akhir kata,
kelompok ucapkan terima kasih.

Palu, Desember 2017

Kelompok 2
Daftar isi

Kata Pengantar ................................................................................................................

Daftar Isi..........................................................................................................................

Bab I pendahuluan

A. Latar belakang .................................................................................................


B. Tujuan .............................................................................................................

Bab II Konsep Teori

A. Definisi ...........................................................................................................
B. Etiologi ...........................................................................................................
C. Patofisiologi .....................................................................................................
D. Manifestasi Klinis ...........................................................................................
E. Pencegahan ......................................................................................................
F. Pemeriksaan Penunjang ...................................................................................
G. Penatalaksanaan ...............................................................................................
H. Komplikasi ..................................................................................................................

Bab III Asuhan keperawatan

A. Pengkajian .........................................................................................................
B. Diagnosa ...........................................................................................................
C. Intervensi Keperawatan ....................................................................................

Bab III Penutup

A. Kesimpulan .........................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dengan bertambahnya usia harapan hidup orang Indonesia, jumlah


lanjut usia (lansia) di Indonesia akan bertambah banyak pula. Dengan
demikian, masalah penyakit akibat penuaan akan semakin banyak kita hadapi.
Salah satu penyakit yang harus kita antisipasi adalah penyakit osteoporosis
dan patah tulang. Pada situasi mendatang, akan terjadi perubahan demografis
yang akan meningkatkan populasi lanjut usia dan meningkatkan terjadinya
patah tulang karena osteoporosis. Kelainan ini 2-4 kali lebih sering terjadi
pada wanita dibanding pria. Dari seluruh klien, satu di antara tiga wanita yang
berusia di atas 60 tahun dan satu di antara enam pria yang berusia di atas 75
tahun akan mengalami patah tulang akibat kelainan ini. (Arif, 2008)

Penyakit osteoporosis lebih banyak menyerang wanita, pria tetap


memiliki risiko terkena penyakit osteoporosis. Sama seperti pada wanita,
penyakit osteoporosis pada pria juga dipengaruhi estrogen. Bedanya laki-laki
tidak mengalami menopause, sehingga osteoporosis datang lebih lambat.
Jumlah usia lanjut di Indonesia diperkirakan akan naim 414% dalam kurun
waktu 1990-2025, sedangkan perempuan menopause yang tahun 2000
diperhitungkan 15,5 juta akan naik menjadi 24 juta pada tahun 2015.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari Osteoporosis?
2. Bagaimana proses pembentukan tulang?
3. Bagaimana klasifikasi dari Osteoporosis?
4. Bagaimana etiologi dari Osteoporosis?
5. Bagaimana patofisiologi dari Osteoporosis?
6. Bagaimana manifestasi klinis dari Osteoporosis?
7. Bagaimana cara pencegahan osteoporosis?
8. Apa saja pemeriksaan diagnostic yang dapat dilakukan pada pasien
dengan Osteoporosis?
9. Bagaimana penatalaksanaan dari Osteoporosis?
10. Apa saja komplikasi dari Osteoporosis?
11. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan Osteoporosis?
BAB II

KONSEP TEORI

A. Pengertian
Osteoporosis adalah suatu keadaan penyakit yang ditandai dengan
rendahnya massa tulang dan memburuknya mikrostruktural jaringan
tulang, menyebabkan kerapuhan tulang sehingga meningkatkan risiko
terjadinya fraktur. Keadaan tersebut tidak memberikan keluhan klinis,
kecuali apabila telah terjadi fraktur. Pada osteoporosis, terjadi penurunan
kualitas tulang dan kuantitas kepadatan tulang, padahal keduanya sangat
menentukan kekuatan tulang sehingga penderita osteoporosis mudah
mengalami patah tulang atau fraktur (Helmi, 2012).
Osteoporosis (pengeroposan tulang) merupakan gangguan
metabolik tulang dengan meningkatkan kecepatan resorpsi tulang tetapi
kecepatan pembentukannya berjalan lambat sehingga terjadi kehilangan
massa tulang. Tulang yang terkena gangguan ini akan kehilangan garam-
garan kalsium serta fosfat dan menjadi porous, rapuh serta secara
abnormal rentan terhadap fraktur (Kowalak, 2011).

B. Etiologi
1. Wanita
Osteoporosis lebih banyak terjadi pada wanita. Hal ini disebabkan
pengaruh hormon estrogen yang mulai menurun kadarnya dalam
tubuh sejak usia 35 tahun. Selain itu, wanita pun mengalami
menopause yang dapat terjadi pada usia 45 tahun.
2. Usia
Seiring dengan pertambahan usia, fungsi organ tubuh justru menurun.
Pada usia 75-85 tahun, wanita memiliki risiko dua kali lipat
dibandingkan pria dalam mengalami kehilangan tulang trabekular
karena proses penuaan, penyerapan kalsium menurun dan fungsi
hormon paratiroid meningkat.
3. Ras/Suku
Ras juga membuat perbedaan dimana ras kulit putih atau keturunan asia
memiliki risiko terbesar. Hal ini disebabkan secara umum konsumsi
kalsium wanita asia rendah. Salah satu alasannya adalah sekitar 90%
intoleransi laktosa dan menghindari produk dari hewan. Pria dan
wanita kulit hitam dan hispanik memiliki risiko yang signifikan
meskipun rendah.
4. Keturunan Penderita Osteoporosis
Jika ada anggota keluarga yang menderita osteoporosis, maka berhati-
hatilah. Osteoporosis menyerang penderita dengan karakteristik tulang
tertentu. Seperti kesamaan perawakan dan bentuk tulang tubuh. Itu
artinya dalam garis keluarga pasti punya struktur genetik tulang yang
sama.
5. Gaya Hidup Kurang Baik
a. Konsumsi daging merah dan minuman bersoda, karena keduanya
mengandung fosfor yang merangsang pembentukan horman
parathyroid, penyebab pelepasan kalsium dari dalam darah.
b. Minuman berkafein dan beralkohol.
Minuman berkafein seperti kopi dan alkohol juga dapat
menimbulkan tulang keropos, rapuh dan rusak. Hal ini dipertegas
oleh Dr.Robert Heany dan Dr. Karen Rafferty dari creighton
University Osteoporosis Research Centre di Nebraska yang
menemukan hubungan antara minuman berkafein dengan
keroposnya tulang. Hasilnya adalah bahwa air seni peminum kafein
lebih banyak mengandung kalsium, dan kalsium itu berasal dari
proses pembentukan tulang. Selain itu kafein dan alkohol bersifat
toksin yang menghambat proses pembentukan massa tulang
(osteoblas).
c. Malas Olahraga
Mereka yang malas bergerak atau olahraga akan terhambat proses
osteoblasnya (proses pembentukan massa tulang). Selain itu
kepadatan massa tulang akan berkurang. Semakin banyak gerak dan
olahraga maka otot akan memacu tulang untuk membentuk massa.
d. Merokok
Ternyata rokok dapat meningkatkan risiko penyakit osteoporosis.
Perokok sangat rentan terkena osteoporosis, karena zat nikotin di
dalamnya mempercepat penyerapan tulang. Selain penyerapan
tulang, nikotin juga membuat kadar dan aktivitas hormon estrogen
dalam tubuh berkurang sehingga susunan-susunan sel tulang tidak
kuat dalam menghadapi proses pelapukan. Disamping itu, rokok
juga membuat penghisapnya bisa mengalami hipertensi, penyakit
jantung, dan tersumbatnya aliran darah ke seluruh tubuh. Kalau
darah sudah tersumbat, maka proses pembentukan tulang sulit
terjadi. Jadi, nikotin jelas menyebabkan osteoporosis baik secara
langsung tidak langsung. Saat masih berusia muda, efek nikotin
pada tulang memang tidak akan terasa karena proses pembentuk
tulang masih terus terjadi. Namun, saat melewati umur 35, efek
rokok pada tulang akan mulai terasa, karena proses pembentukan
pada umur tersebut sudah berhenti.
e. Kurang Kalsium
Jika kalsium tubuh kurang maka tubuh akan mengeluarkan hormon
yang akan mengambil kalsium dari bagian tubuh lain, termasuk
yang ada di tulang.
6. Mengkonsumsi Obat
Obat kortikosteroid yang sering digunakan sebagai anti peradangan pada
penyakit asma dan alergi ternyata menyebabkan risiko penyakit
osteoporosis. Jika sering dikonsumsi dalam jumlah tinggi akan
mengurangi massa tulang. Sebab, kortikosteroid menghambat proses
osteoblas. Selain itu, obat heparin dan anti kejang juga menyebabkan
penyakit osteoporosis. Konsultasikan ke dokter sebelum mengkonsumsi
obat jenis ini agar dosisnya tepat dan tidak merugikan tulang.
C. Patofisiologi
Genetik, nutrisi, gaya hidup, (misal merokok, konsumsi kafein,
dan alkohol), dan aktivitas memegaruhi puncak masa tulang. Kehilangan
massa tulang mulai terjadi setelah tercapainya puncak massa tulang. Pada
pria massa tulang lebih besar dan tidak mengalami perubahan hormonal
mendadak. Sedangkan pada perempuan, hilangnya estrogen pada saat
menopouse dan pada ooforektomi mengakibatkan percepatan resorpsi
tulang dan berlangsung terus selama tahun-tahun pasca menopause.
Diet kalsium dan vitamin D yang sesuai harus mencukupi untuk
mempertahankan remodelling tulang dan fungsi tubuh. Asupan kalsium dan
vitamin D yang tidak mencukupi selama bertahun-tahun mengakibatkan
pengurangan massa tulang dan pertumbuhan osteoporosis. Asupan harian
kalsium yang dianjurkan (RDA: recommended daily allowance)
meningkat pada usia 11-24 tahun (adolesen dan dewasa muda) hingga
1200 mg per hari, untuk memaksimalkan puncak massa tulang. RDA
untuk orang dewasa tetap 800 mg, tetapi pada perempuan pasca
menopause 1000-1500 mg/hari. Sedangkan pada lansia di anjurkan
mengonsumsi kalsium dalam jumlah tidak terbatas, karena
penyerapan kalsium kurang efisien dan cepat diekskresikan melalui
ginjal (Smeltzer, 2002).
Demikian pula, bahan katabolik endrogen (diproduksi oleh
tubuh) dan eksogen dapat menyebabkan osteoporosis. Penggunaan
kortikosteroid yang lama, sindrom chusing, hipertiroidisme, dan
hiperparatiroidisme menyebabkan kehilangan tulang. Obat-obatan seperti
isoniazid, heparin, tetrasiklin, antasida yang mengandung aluminium,
furosemid, antikolvulsan, kortikosteroid, dan suplemen
tiroidmemengaruhi penggunaan tubuh dan metabolisme kalsium.
Imobilitas juga memegaruhi terjadinya osteoporosis. Ketika
diimobilisasi dengan gips, paralisis atau inaktivitas umum, tulang akan
diresorpsi lebih cepat dari pembentukannya sehingga terjadi
osteoporosis.
D. Manifestasi klinik
1. Patah tulang
2. Punggung yang semakin membungkuk
3. Penurunan tinggi badan
4. Postur tubuh kelihatan memendek akibat dari Deformitas vertebra
thorakalis
5. Nyeri punggung
6. Nyeri tulang akut. Nyeri terutama terasa pada tulang belakang, nyeri
dapat dengan atau tanpa fraktur yang nyata dan nyeri timbul mendadak
7. Nyeri berkurang pada saat beristirahat di tempat tidur
8. Nyeri ringan pada saat bangun tidur dan akan bertambah bila
melakukan aktivitas
9. Deformitas tulang. Dapat terjadi fraktur traumatic pada vertebra dan
menyebabkan kifosis angular yang menyebabkan medulla spinalis
tertekan sehingga dapat terjadi paraparesis.
10. Gambaran klinis sebelum patah tulang, klien (terutama wanita tua)
biasanya datang dengan nyeri tulang belakang, bungkuk dan sudah
menopause sedangkan gambaran klinis setelah terjadi patah tulang,
klien biasanya datang dengan keluhan punggung terasa sangat nyeri
(nyeri punggung akut), sakit pada pangkal paha, atau bengkak pada
pergelangan tangan setelah jatuh.

E. Pencegahan
a. Pencegahan primer :
Hindari faktor risiko yang dapat dicegah seperti :
1. Konsumsi cukup kalsium (banyak terkandung dalam susu, keju,
sayuran hijau, jeruk, sitrun, yoghurt, kerang)
2. Konsultasikan ke dokter tentang kemungkinan perlunya
mengkonsumsi metabolit aktif vitamin D3, terapi pengganti
hormone estrogen, dll. Juga tentang penggunaan segala obat
dalam waktu lama
3. Berhenti merokok dan mengkonsumsi alkohol
4. Hidup aktif dan latihan jasmani secara rutin, missal jalan sehat,
senam pencegahan osteoporosis. Program latihan sebaiknya
dimonitor berdasarkan panduan dari dokter.
5. Lakukan pemeriksaan untuk mengetahui osteoporosis secara dini
b. Pencegahan sekunder : ika telah dinyatakan osteoporosis, maka perlu
berkonsultasi pda dokter tentang obat-obatan yang diperlukan,
petunjuk latihan fisik tertentu, cara mencegah terjadinya komplikasi
patah tulang, dll.
c. Pencegahan tersier : pasien yang telah mengalami komplikasi
osteoporosis seperti patah tulang, perlu mobilisasi sedini mungkin
secara bertahap. Dokter akan memberikan obat, terapi latihan maupun
ortose sesuai dengan kondisi.

F. Pemeriksaan penunjang
1. Radiologis.
Gejala radiologis yang khas adalah densitas atau massa tulang
yang menurun yang dapat dilihat pada vetebra spinalis. Dinding dekat
korpus vetebra biasanya merupaka lokasi yang paling berat.
Penipisan korteks dan hilangnya trabekula transversal merupakan
kelainan yang sering ditemukan. Lemahnya
korpusvertebraemenyebabkan penonjolan yang menggelembung dari
nucleus pulposus kedalam ruang intervetebral dan menyebabkan
deformitas bikonkaf.
2. CT scan
CT scan dapat mengukur densitas tulang secara kuantitatif yang
mempunyai nilai penting dalam diagnostik dan terapi follow up.

Mineral vetebra diatas 110mg/cm3biasanya tidak menimbulkan


fraktur vetebra atau penonjolan, sedangkan mineral vetebra di bawah

65 mg/cm3ada pada hampir semua klien yang mengalami fraktur.


3. Pemeriksaan laboratorium
a. Kadar Ca, P, dan fosfatase alkali tidak menunjukan kelainan yang
nyata.
b. Kadar HPT (pada pascamenepause kadar HPT meningkat) dan
Ct (terapi estrogen merangsang pembentukan Ct).
c. Kadar 1,25-(OH)2-D3 dan absorpsi Ca menurun.
d. Ekskresi fosfat dan hidroksiprolin terganggu sehingga meningkat
kadarnya

G. Penatalaksanaan
Tujuan utama dari program pengobatan adalah untuk
menghilangkan nyeri dan peradangan, mempertahankan fungsi sendi dan
kemampuan maksimal dari klien, serta mencegah atau memperbaiki
deformitas yang terjadi pada sendi.
Pengobatan harus di berikan secara paripurna, karena penyakit sulit
sembuh. Oleh karena itu,pengobatan dapat dimulai secara lebih dini.
Langkah pertama dari program penatalaksanaan osteoatritis adalah
memberikan pendidikan kesehatan yang cukup tentang penyakit kepada
klien, kelurganya, dan siapa saja yang berhubungan dengan klien.
Pendidikan kesehatan yang diberikan meliputi pengertian tentang
patofisiologi penyakit, penyebab dan prognosis penyakit, semua
komponen program penatalaksanaan termasuk regimen obat yang
kompleks, sumber- sumber bantuan untuk mengatasi penyakit, dan
metode-metode yang efektif tentang penatalaksanaan yang diberikan oleh
tim kesehatan.

H. Komplikasi Osteoporosis
Komplikasi osteoporosis yang mungkin meliputi (Kowalak, 2011):
1. Fraktur spontan ketika tulang kehilangan densitasnya dan menjadi
rapuh serta lemah.
2. Syok, perdarahan, atau emboli lemak (komplikasi fraktur yang fatal).
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Riwayat kesehatan
Anamnesa memegang peranan penting pada evaluasi klien osteoporosis.
Kadang-kadang keluhan utama mengarahkan ke diagnosis (mis, fraktur kolum
femoris pada osteoporosis). Faktor lain yang diperhatikan adalah usia, jenis
kelamin, ras, status haid, fraktur pada trauma minimal, imobilitasi lama,
penurunan tinggi badan pada orang tua, kurangnya paparan sinar matahari,
asupan kalsium, fosfat, dan vitamin D, latihan yang teratur dan bersifat weight
bearing.
Obat-obatan yang di minum jangka panjang harus diperhatikan, seperti
kortikosteroid, hormon tiroid, anti-konvulsan, antasid yang mengandung
aluminium, natrium fluorida, dan etidronat bifosfonat, alkohol, dan merokok
merupakan faktor risiko terjadinya osteoporosis.
Penyakit lain yang harus ditanyakan dan berhubungan dengan
osteoporosis adalah penyakit ginjal, saluran cerna, hati, endokrin, dan insufisiensi
pankreas. Riwayat haid, usia menarke dan menopause, penggunaan obat
kontrasepsi juga diperhatikan. Riwayat keluarga dengan osteoporosis juga harus
diperhatikan karena ada beberapa penyakit tulang metabolik yang bersifat
herediter.
2. Pengkajian psikolososial
Gambaran klinis klien osteoporosis adalahh wanita pascamenopause dengan
keluhan nyeri punggung yang merupakan faktor predisposisi adanya fraktur
multiple karena trauma. Perawat perlu mengkaji konsep diri klien terutama
citra diri, khususnya pada klien kifosis berat. Klien mungkin membatasi interaksi
sosial karena perubahan yang tampak atau keterbatasan fisik, tidak mampu
duduk di kursi, dan lain-lain. Perubahan seksual dapat terjadi karena harga diri
rendah atau tidak nyaman selama posisi interkoitus. Osteoporosis dapat
menyebabkan fraktur berulang sehingga perawat perlu mengkaji perasaan
cemas dan takut pada klien.
3. Pola aktifitas sehari-hari
Pola aktivitas dan latihan biasanya berhubungan dengan olahraga,
pengisian waktu luang dan rekreasi, berpakaian, mandi, makan, dan toilet.
Olahraga dapat membentuk pribadi yang baik dan individu akan merasa lebih
baik.
Selain itu, olahraga dapat mempertahankan tonus otot dan gerakan
sendi. Lansia memerlukan aktivitas yang adekuat untuk mempertahankan fungsi
tubuh. Aktivitas tubuhmemerlukan interaksi yang kompleks antara saraf dan
muskulokoletal. Beberapa perubahan yang terjadi sehubungan dengan
menurunnya gerak persendian adalah agility (kemampuan gerak cepat dan
lancar) menurun, stamina menurun, koordinasi menurun, dan dexterity
(kemampuan memanipulasi keterampilan motorik halus) menurun.
4. Pemeriksaan fisik
a. B1 (Breathing)
Inspeksi : ditemukan ketidaksimetrisan rongga dada dan tulang belakang,
Palpasi : taktil fremitus seimbang kanan dan kiri.
Perkusi: cuaca resonan pada seluruh lapang paru.
Auskultasi : pada kasus lanjut usia, biasanya disapatkan suara ronki.
b. B2 (Blood)
Pengisian kapiler kurang dari 1 detik, sering terjadi keringat dingin dan
pusing. Adanya pulsus perifer memberi makna terjadi gangguan pembuluh
darah atau edema yang berkaitan dengan efek obat.
c. B3 (Brain)
Kesadaran biasanya kompos mentis. Pada kasus yang lebih parah, klien
dapat mengeluh pusing dan gelisah.
Kepal dan wajah: ada sianosis.
Mata: sklera biasanya tidak ikterik,konjungtiva tidak anemis.
Leher: biasanya JVP dalam batas normal.
Nyeri punggung yang disertai pembatasan pergerakan spinal yang disadari
dan halus merupakan indikasi adanya satu fraktur atau lebih, fraktur
kompresi vetebra.
d. B4 (Bladder)
Produksi urine biasanya dalam batas normal dan tidak ada keluhan pada
sistem perkemihan.
e. B5 (Bowel)
Untuk kasus osteoporosis, tidak ada gangguan eliminasi, namun perlu juga
dikaji frekuensi, konsistensi, warna, serta bau fases.
f. B6 (Bone)
Pada inspeksi dan palpasi daerah kolumna vetebralis, klien osteoporosis
sering menunjukkan kifosis atau gibbus (dowagers hump) dan penurunan
tinggi badan dan berat badan. Ada perubahan gaya berjalan, deformitas
tulang, leg-lenghtinequality, dan nyeri spinal. Lokasi fraktur yang sering
terjadi adalah antara vetebra torakalis 8 dan lumbalis 3.
B. Diagnosa keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan agen cedera biologis
2. Hambatan Mobilitas Fisik berhubungan dengan Penurunan kekuatan otot
3. Defisit perawatan diri
4. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
5. Resiko cedera berhubungan dengan ganguan sensasi
No Diagnosa Keperawatan Noc Nic

1 Nyeri berhubungan Tujuan Pain Management


dengan agen cedera 1. Kontrol nyeri 1. Lakukan pengkajian
biologis 2. Tingkat nyeri nyeri secara
komprehensif termasuk
Kriteria Hasil: lokasi, karakteristik,
Setelah dilakukan durasi, frekuensi, kualitas
tindakan keperawatan dan faktor presipitasi
3x24 jam diharapkan 2. Observasi reaksi
Pasien mampu untuk: nonverbal dari
1. Menunjukkan ketidaknyamanan
kontrol nyeri Gunakan teknik
dengan indikator komunikasi terapeutik
: untuk mengetahui
Mengenali faktor pengalaman nyeri pasien
penyebab 3. Kaji kultur yang
Mengenali onset mempengaruhi respon
(lamanya sakit) nyeri
Menggunakan 4. Kaji tipe dan
metode sumber nyeri
pencegahan untuk menentukan
Menggunakan intervensi
metode 5. Ajarkan tentang teknik non
nonanalgetik farmakologi
untuk 6. Berikan analgetik untuk
mengurangi mengurangi nyeri
nyeri 7. Evaluasi keefektifan
Menggunakan analgetikkontrol nyerikebutuhan
sesuai
Mengenali gejala- 8. Kolaborasikan jika ada
gejala nyeri keluhan dan tindakan
Mencatat nyeri tidak berhasil
pengalaman
nyeri
sebelumnya Administrasi Analgesik
Melaporkan 1. Tentukan lokasi,
nyeri sudah karakteristik, kualitas,
terkontrol dan derajat nyeri
2. Menunjukkan sebelum pemberian
Tingkat nyeri dengan obat
indikator: 2. Cek instruksi dokter
Melaporkan tentang jenis obat,
adanya nyeri, dosis, dan frekuensi
frekuensi nyeri 3. Cek riwayat alergi
dan panjangnya 4. Pilih analgesik yang
episode nyeri, diperlukan atau
ekspresi nyeri kombinasi dari
pada wajah analgesik ketika
Kurangnya pemberian lebih dari
istirahat satu
Ketegangan otot 5. Tentukan pilihan
analgesik tergantung
tipe dan beratnya nyeri
6. Tentukan analgesik
pilihan, rute
pemberian, dan dosis
optimal
7. Berikan analgesik tepat
waktu terutama saat
nyeri hebat
8. Evaluasi efektivitas
analgesik, tanda dan
gejala (efek samping)
No Diagnosa Noc Nic
Keperawatan

2 Hambatan Tujuan Tirah baring


Mobilitas Fisik 1. Ambulasi 1. Sediakan tempat tidur
berhubungan 2. Posisi badan : yang terapeutik untuk
dengan Penurunan kekuatanInisiatif
otot Sendiri klien
3. Mobilitas 2. Lakukan
pencegahan terjadinya
Kriteria Hasil: footdroop/kaki jatuh
Setelah dilakukan 3. Kontrol kondisi kulit
tindakan keperawatan 4. Anjurkan melakukan
3x24 jam diharapkan Aktifitas pasif/ aktif
Pasien mampu untuk: sebagai peningkatan dari

1. Menunjukkan latihan

Ambulasi
dengan Pengaturan Energi
indikator : 1. Tentukan batasan fisik

Berjalan dengan pasien

langkah efektif 2. Tentukan apa dan berapa

Berjalan dengan banyak aktifitas yang

langkah lambat dibutuhkan untuk

Berjalan dengan membangun kesabaran

langkah sedang 3. Amati pemberian nutrisi

Berjalan dengan untuk membuktikan

cepat sumber energi yang

Berjalan dengan adekuat

langkah naik 4. Amati lokasi dan tempat

Berjalan dengan ketidaknyamanan/ nyeri

langkah turun selama beraktifitas

Berjalan dengan 5. Kurangi ketidaknyaman

jarak jauh fisik yang bisa dikaitkan

2. Menunjukkan Posisi dengan fungsi kognitif

Badan: Inisiatif dan pengamatan dalam

Sendiri dengan pengaturan aktifitas.

indikator:
Terlentang ke Terapi: Ambulasi
duduk 1. Monitoring vital sign
Duduk ke telentang sebelum/sesudah latihan
Duduk ke berdiri dan lihat respon pasien
Berdiri ke duduk saat latihan
Melengkungkan 2. Kaji kemampuan pasien
punggung dalam mobilisasi
3. Menunjukkan 3. Dampingi dan Bantu
Mobilitas dengan pasien saat mobilisasi
indikator: dan bantu penuhi
Keseimbangan kebutuhan ADLs pasien.
Posisi tubuh 4. Berikan alat Bantu jika
Pergerakan otot dan klien memerlukan.
sendi 5. Latih pasien dalam
Berjalan pemenuhan kebutuhan
ADLs secara mandiri
sesuai kemampuan
6. Ajarkan pasien atau
tenaga kesehatan lain
tentang teknik ambulasi
7. Ajarkan pasien
bagaimana merubah
posisi dan berikan
bantuan jika diperlukan

Terapi: Mobilitas
1. Tentukan keterbatasan
dalam melakukan
gerakan
2. Kolaborasi dengan ahli
terapi fisik dalam
melakukan program
latihan
3. Tentukan tingkat
motivasi pasien untuk
mempertahankan
atau megambalikan
mobilitas sendi dan otot
4. Dukung pasien dan
keluarga untuk
memandang
keterbatasan dengan
realitas
5. Pantau lokasi dan
ketidaknyamanan
selama latihan
6. Berikan analgesic
sebelum memulai
latihan fisik
7. Pantau pasien terhadap
trauma selama latihan
8. Letakkan pasien pada
posisi terapeutik
9. Atur posisi pasien
dengan kesejajaran
tubuh yang benar
10. Ubah posisi pasien
yang imobilisasi
minimal setiap 2 jam,
berdasarkan jadwal
spesefik
11. Dukung latihan ROM
aktif datau pasif jika
perlu

Peningkatan Latihan
1. Yakinkan kesehatan
pasien mengenai
latihan fisik
2. Anjurkan perasaan
verbal tentang latihan
atau kebutuhan untuk
latihan
3. Libatkan keluarga
pasien dalam
perencanaan dan
perawatan program
latihan
4. Ajarkan pasien
mengenai jenis
latihan yang tepat
untuk tingkat
kesehatan, dalam
berkolaborasi dengan
dokter dan atau
latihan psikologis
Beritahukan pasien tentang
frekuensi keinginan, lama, dan
intensitas program latihan
No Diagnosa Noc Nic

Keperawata

3 Defisit Perawatan Tujuan Bantuan Perawatan Diri


diri 1. Perawatan Diri: 1. Pantau kebersihan
Aktivitas Sehari- kuku, sesuai
Hari kemampuan perawatan
diri pasien.
Kriteria Hasil 2. Dukung kemandirian
Setelah dilakukan dalam melakukan
tindakan keperawatan mandi dan higiene oral,
3x24 jam diharapkan bantu pasien hanya jika
Pasien mampu untuk: diperlukan.
1. Menunjukkan 3. Dukung pasien untuk
perawatan diri : mengatur langkahnya
aktivitas kehidupan sendiri selama
sehari-hari, dengan perawatan diri.
indikator : 4. Libatkan keluarga dalam
Mengungkapkan pemberian asuhan.
secara verbal 5. Akomodasi pilihan dan
kepuasan tentang kebutuhan klaen
kebersihan tubuh seoptimal mungkin,
dan higiene oral. (misalnya mandi
Mempertahankan rendam vs shower,
mobilitas yang waktu mandi DLL).
diperlukan untuk 6. Berikan bantuan
ke kamar mandi sampai pasien benar-
dan menyediakan benar mampu
perlengkapan melakukan perawatan
mandi. diri.
Mampu Letakkan sabun,
menghidupkan handuk, deodoran,pancaran dan suhu ai
dan mengatur
Membersihkan alat cukur, dan
dan mengeringkan peralatan lain yang
tubuh. dibutuhkan disamping
Melakukan tempat tidur atau
perawatan mulut. dikamar mandi.
8. Fasilitas pasien menyikat
gigi, jika perlu.
9. Ajarkan pasien /
keluarga penggunaan
metode alternatig untuk
mandi dan higiene
oral.
10. Tawarkan pengobatan
nyeri sebelum mandi.
11. Gunakan ahli fisioterapi
dan terapi okupasi
sebagai sumber-sumber
dalam merencanakan
tindakan perawatan
pasien (misalnya,
menyediakan
perlengkapan adaptif
No Diagnosa Noc Nic
Keperawatan

4 Ansietas Anxiety level Anxiety reduction


berhubungan Sosial anxiety 1. Identifikasi tingkat kecemasan.
dengan perubahan level 2. ajarkan pasien teknik relaksasi.
status kesehatan kriteria hasil: 3. Beri edukasi pasien untuk
1. Klien mampu menurunkan rasa cemas/takut.
untuk 4. Dengarkan dengan penuh
mengidentifik perhatian.
asi dan 5. Libatkan keluarga untuk
mengungkapk mendampingi pasien.
an gejala
cemas.
2. Mengidentifik
asi,mengungk
apkan dan
menunjukan
teknik untuk
mengontrol
cemas.
3. Postur tubuh,
ekspresi
wajah, bahasa
tubuh dan
tingkat
aktivitas
menunjukkan
berkurangnya
kecemasan
No Diagnosa Keperawatan Noc Nic

5 Risiko cedera Risk kontrol Manajemen Lingkungan


berhubungan gangguan Kriteria hasil: 1. ciptakan lingkungan
sensasi 1. Klien terbebas dari yang aman bagi pasien
cedera 2. identifilasi kebutuhan
2. Klien mampu rasa aman bagi pasien
menjelaskan cara berdasarkan tingkat
mencegah cedera fungsi fisik dan kognitif
3. Klien dapat dan riwayat perilaku
menjelaskan faktor masa lalu
resiko dari 3. jauhkan lingkungan
lingkungan/ yang mengancam
perilaku personal 4. jauhkan objek yang
4. Mampu berbahaya dari
memodifikasi gaya lingkungan
hidup untuk Mencegah Jatuh :
mencegah cidera 1. Kaji penyebab defisit
5. Mampu mengenali fisik pasien
perubahan status 2. Kaji karakteristik
kesehatan. lingkungan yang
menyebabkan jatuh
3. Monitor gaya jalan
pasien, keseimbangan,
tingkat kelelahan
4. Berikan penerangan
yang cukup
5. Pasang siderail tempat
tidur
BAB VI
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tidak hanya terkena pada lanjut usia/orang tua saja, namun usia
pramenopause rentan sekali terkena osteoporosis oleh karena beberapa faktor salah
satu faktor terkuat yaitu genetik karena sel-sel dalam tubuh manusia hampir sama
dengan sel tubuh induknya/kedua orang tua.
Osteoporosis identik dengan lansia sehingga penanganan yang mudah dan
terjangkau dapat dilakukan orang tua yaitu senam osteoporosis. Osteoporosis adalah
penyakit dengan sifat-sifat khas berupa massa tulang yang rendah, disertai
perubahan mikroarsitektur tulang, dan penurunan kualitas jaringan tulang, yang
pada akhirnya menimbulkan akibat meningkatnya kerapuhan tulang dengan risiko
terjadinya patah tulang.
DAFTAR PUSTAKA

Muttaqin, Arif (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta: EGC.

Helmi, Zairin. 2012. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jarkarta: Salemba Medika IPB.

Kowalak, Jennifer. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC

Smeltzer, S.C & Bare, B.G, 2002, Buku Ajar Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2, Alih
Bahasa Kuncara, H.Y, dkk, EGC, Jakarta.

Nanda. (2015). Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10 editor T
Heather Herdman, Shigemi Kamitsuru. Jakarta: EGC.

Nuratif A, H & Kusuma H. 2016. Asuhan Keperawatan Praktis Berdasarkan Penerapan


Diagnosa Nanda, NIC NOC dalam berbagai kasus. Yogjakarta: Medi Action

Anda mungkin juga menyukai