Anda di halaman 1dari 11

PRINSIP CABOTAGE DALAM INDUSTRI PENERBANGAN

INDONESIA DI ERA ASIAN SINGLE AVIATION MARKET 2015

Adi Kusumaningrum

Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang


(adi.kusumaningrum@gmail.com)

Abstract

ASEAN Single Aviation Market 2015, is a policy that has been agreed by all ASEAN member countries.
This agreement called ASEAN Multilateral Agreement on Air Services (ASEAN MAAS) and was signed
on May 20, 2009 in Manila, Philippines. Despite the many advantages and potential benefits from the
open sky policy, the government should be aware of the threat in the ASEAN aviation market, such as the
market share of domestic flights among domestic and foreign airline in this region. Futhermore, control
foreign investment in the field of air transport in Indonesia is weak, thus opening the possibility of
smuggling investment law through the establishment of an Indonesian legal entity. Cabotage principle
objective is maintaining and protecting the political and economic interests of the country. Application
of the principle of cabotage could be operationally flexible, as long as the country's strategic interests
is maintained and protected. Aviation services in Indonesia is currently considered to have violated the
principle of cabotage.
Keyword: cabotage, aviation, market, ASEAN

Abstrak

Pasar tunggal penerbangan ASEAN (ASEAN Single Aviation Market) pada tahun 2015, merupakan kebi-
jakan yang telah disepakati oleh seluruh negara anggota ASEAN yang tertuang dalam ASEAN Multilat-
eral Agreement on Air Services (ASEAN MAAS) dan telah ditandatangani pada tanggal 20 Mei 2009
di Manila, Filipina. Dalam menghadapi ASEAN Single Aviation Market 2015, selain memperhatikan
potensi keuntungan yang dapat diperoleh dari kebijakan open sky tersebut, pemerintah harus mewaspadai
peluang ancaman perebutan pangsa pasar penerbangan di wilayah ASEAN juga pangsa pasar pener-
bangan domestik. alah satu faktor yang dapat mengancam Indonesia adalah lemahnya pengawasan
(direct or indirect) investment bidang angkutan udara, sehingga kemungkinan terjadi penyelundupan
hukum investasi, yang akhirnya pasar nasional dikuasai asing melalui badan hukum Indonesia yang
dibentuknya (cabotage terselubung). Prinsip cabotage diterapkan secara umum di seluruh dunia dengan
tujuan menjaga dan melindungi kepentingan politik dan ekonomi negara yang bersangkutan. Penerapan
prinsip cabotage secara operasional bisa bersifat fleksibel, selama kepentingan strategis negara tersebut
tetap terjaga dan terlindungi. Pelayanan penerbangan di Indonesia saat ini dianggap sudah melanggar
prinsip cabotage.
Kata Kunci: cabotage, penerbangan, pasar, ASEAN

Latar Belakang seluruh wilayah ruang udaranya. Hal tersebut


Pada tahun 2015 seluruh negara-negara yang dalam rangka mewujudkan pasar tunggal pener-
tergabung dalam ASEAN1 diharapkan telah memi- bangan ASEAN (ASEAN Single Aviation Market)
liki bandar udara internasional dan membuka pada tahun 2015. Kebijakan regional tersebut

1 ASEAN terdiri dari 10 negara antara lain Brunei Darussalam, Indonesia, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Philipina, Singapura,
Thailand, dan Vietnam.

1
2 ARENA HUKUM Volume 6, Nomor 1, April 2012, Halaman 1-74
telah disepakati oleh seluruh negara anggota
ASEAN yang tertuang dalam ASEAN Multilateral Policy pada tahun 2015. Implementasi ASEAN
Agreement on Air Services (ASEAN MAAS) dan open sky ini dilakukan secara bertahap yang
telah ditandatangani pada tanggal 20 Mei 2009 di tahapan-tahapannya ditentukan dalam protokol-
Manila, Filipina. protokol yang terdapat dalam ASEAN MAAS.
Kesepakatan Multilateral ASEAN di bidang Kebijakan langit terbuka ini telah diatur pula
pelayanan udara tersebut dilandasi oleh lahirnya dalam Pasal 90 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
Deklarasi ASEAN (Bali Concord II) pada KTT 2009 tentang Penerbangan yang menetapkan
ASEAN ke-9 bulan Oktober tahun 2003 di Bali, bahwa pembukaan pasar angkutan udara menuju
Indonesia. Deklarasi tersebut menghasilkan suatu ruang udara terbuka tanpa batasan hak angkut
sasaran ekonomi regional dengan membentuk udara (open sky) dari dan ke Indonesia untuk
Komunitas ASEAN 2015 yang berlandaskan perusahaan angkutan udara niaga asing dilak-
3 pilar yakni Komunitas Keamanan ASEAN sanakan secara bertahap berdasarkan perjanjian
(ASEAN Security Community), Komunitas bilateral atau multilateral serta harus dibuat sesuai
Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Commu- dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
nity), dan Komunitas Sosial-Budaya ASEAN dan mempertimbangkan kepentingan nasional
(ASEAN Socio-Cultural Community). Dan dalam berdasarkan prinsip keadilan (fairness) dan timbal
Komunitas Ekonomi ASEAN salah satu tujuannya balik (resiprocity).
adalah Air Travel Integration atau integrasi dalam Indonesia adalah negara kepulauan yang
bidang pelayanan udara. Kemudian hal tersebut terdiri atas berbagai gugusan pulau3. Selain itu,
juga ditegaskan dalam ASEAN Framework Agree- jumlah penduduk Indonesia juga sangat besar4.
ment for The Integration of Priority Sectors Dua faktor tersebut adalah hal dasar yang menjan-
(AFAIPS) yang juga telah disepakati pada KTT jikan prospek bisnis penerbangan di Indonesia ke
ASEAN ke-10 tanggal 29 November 2004 di depan. Dengan jumlah penduduk yang besar dan
Vientine, Laos yang merupakan suatu kesepak- letak geografis yang terpisah antara kepulauan,
atan kerangka kerja Negara-negara ASEAN untuk maka potensi dari bisnis penerbangan masih
mengintegrasikan beberapa sektor yang dipriori- terbuka lebar tidak saja untuk industri dalam tapi
taskan atau dianggap penting. Dan jasa angkutan juga luar negeri. Disamping itu, Indonesia yang
udara merupakan salah satu dari 11 sektor-sektor memiliki 27 (dua puluh tujuh) bandara interna-
prioritas yang ada.2 Indonesia sendiri telah sional5, yang memberikan peluang besar bagi
mengesahkan AFAIPS melalui Peraturan Presiden negara ASEAN lain untuk meraup keuntungan
Nomor 25 Tahun 2009. melalui kebijakan ASEAN open sky. Apabila
ASEAN MAAS secara umum mengatur dibandingkan dengan Singapura yang hanya
mengenai liberalisasi di bidang jasa angkutan punya 1 (satu) bandara dan Malaysia yang punya
udara khususnya jasa angkutan udara penumpang 6 (enam) bandara, maka komposisi yang dimiliki
yang diwujudkan dalam bentuk ASEAN Open Sky Indonesia jelas tidak sebanding dengan kedua
negara tersebut6.
2 Sektor-sektor prioritas yang akan diintegrasikan adalah produk berbasis agro, angkutan udara, otomotif, e-ASEAN, elektronik, perikanan,
kesehatan, produk berbasis karet, tekstil dan pakaian, pariwisata, dan produk berbasis kayu.
3 Indonesia merupakan negara kepulauan yang berbentuk republik, terletak di kawasan Asia Tenggara. Indonesia memiliki lebih kurang
17.000 buah pulau dengan luas daratan 1.922.570 km2 dan luas perairan 3.257.483 km2 Berdasarkan posisi geografisnya, negara Indone-
sia memiliki batas-batas: Utara - Negara Malaysia, Singapura, Filipina, Laut Cina Selatan. Selatan - Negara Australia, Samudera Hindia.
Barat - Samudera Hindia. Timur - Negara Papua Nugini, Timor Leste, Samudera Pasifik.
4 Indonesia mempunyai 230 juta penduduk. Dari jumlah sebanyak itu baru 68 juta yang tercatat menjadi penumpang penerbangan udara
domestik dan internasional sepanjang 2011, atau hanya 17 juta orang yang murni melakukan penerbangan. Berdasarkan studi yang
dilakukan Ketua Forum Penerbangan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Suharto, rata-rata terbang satu orang dalam 1 tahun
sebanyak empat kali. Jadi, kalau tercatat jumlah penumpang udara 2011 sebanyak 68 juta, domestik dan internasional, berarti yang
murni terbang adalah 17 juta, atau hanya 7% dari total penduduk Indonesia. Pada Januari 2012, Badan Pusat Statistik mencatat jumlah
penumpang pesawat udara domestik mencapai 4,38 juta dan internasional 930.700 orang. Indonesia Air Asia, maskapai yang menempati
posisi tertinggi untuk perolehan penumpang internasional sepanjang 2011 yakni 3,39 juta penumpang dan pangsa pasar 41,56%, akan
menambah armada sebanyak lima unit pada tahun ini, dari posisi saat ini mengoperasikan 21 pesawat.
5 Bandara-bandara internasional Indonesia tersebut terletak di kota Sabang, Banda Aceh, Medan, Pekan Baru, Batam, Tanjung Pinang,
Padang, Palembang, Jakarta, Bandung, Yogjakarta, Solo, Surabaya, Denpasar, Pontianak, Balikpapan, Tarakan, Makassar, Manado, Mata-
ram, Kupang, Ambon, Biak, Jayapura dan Merauke.
6 Kementerian Perhubungan membuka peluang bagi maskapai asing (di Asia Tenggara) bebas untuk melakukan penerbangan ke lima ban-
dara di Indonesia. Kelima bandara tersebut yaitu Bandara Soekarno-Hatta (Jakarta), Bandara Kuala Namu (Medan),Bandara Ngurah Rai
(Denpasar), Bandara Juanda (Surabaya), dan Bandara Sultan Hasanuddin (Makasar). Padahal, negara Asia Tenggara lain seperti Malaysia
dan Singapura masing-masing hanya memberikan satu pilihan bandara untuk dikunjungi maskapai penerbangan nasional
Adi Kusumaningrum, Prinsip Cabotage dalam Industri Penerbangan Indonesia... 3

Untuk itu, dalam menghadapi ASEAN Tabel 1: perolehan jumlah penumpang


Single Aviation Market 2015, selain memperha- penerbangan domestik 2011
tikan potensi keuntungan yang dapat diperoleh Pangsa
dengan kebijakan open sky ini, pemerintah harus No Maskapai Penumpang
Pasar(%)
mewaspadai peluang ancaman perebutan pangsa 1 Lion Air 24,97 (juta) 41,59
pasar penerbangan di wilayah ASEAN juga pangsa
Garuda Indo-
pasar penerbangan domestik. Salah satu ancaman 2 18,70 (juta) 22,82
nesia
perebutan pangsa pasar penerbangan Indonesia
3 Sriwijaya Air 7,38 (juta) 12,30
adalah deregulasi terhadap penerapan prinsip
cabotage. Lemahnya pengawasan (direct or indi- 4 Batavia Air 6,75 (juta) 11,25
rect) investment bidang angkutan udara, sehingga 5 Merpati 2,18 (juta) 3,64
membuka peluang terjadi penyelundupan hukum 6 Wings Air 1,98 (juta) 3,32
investasi, yang akhirnya pasar nasional dikuasai Indonesia Air
7 1,30 (juta) 2,18
asing melalui badan hukum Indonesia yang diben- Asia
tuknya (cabotage terselubung). Di Indonesia ini Trigana Air
8 727.857 1,21
Service
hampir semua penerbangan logistik itu dikendal-
Kalstar Avia-
ikan oleh swasta atau penerbangan asing. Pelayanan 9
tion
579.196 0,96
penerbangan di Indonesia tersebut dianggap sudah
Travel Express
melanggar prinsip cabotage. Saat ini, maskapai 10 316.000 0,55
Air
penerbangan Asing dan Swasta dapat melayani
Total 60.039.293
penerbangan rute Penang (Malaysia) - Denpasar
(Indonesia) - Makasar (Indonesia)7. Komisi VI Sumber: Kementerian Perhubungan, Maret 2012.
DPR RI meminta pemerintah menerapkan kebi-
Tabel 2: perolehan jumah penumpang
jakan prinsip cabotage (kebijakan menggunakan
penerbangan internasional 2011
bendera Indonesia pada armada yang beroperasi
di Indonesia) pada transportasi udara8. Komisi Pangsa
No Maskapai Penumpang
Pasar(%)
VI DPR RI menyatakan bahwa Indonesia belum Indonesia Air
1 3,39 (juta) 41,56
siap open sky, apalagi agresi maskapai asing yang Asia
bertransformasi memakai nama Indonesia sangat Garuda Indo-
2 3,10 (juta) 38,03
nesia
gencar. Dari segi kebijakan, Indonesia dinilai
3 Lion Airlines 962.608 11,90
terlalu membebaskan rute penerbangan, maskapai
asing yang masuk ke Indonesia pun hanya kelas 4 Batavia Air 292.260 3,59
penerbangan murah (low cost carrier/LCC), bukan 5 Sriwijaya Air 183.800 2,23
penerbangan kelas premium. Akibatnya, secara 6 Wings Air 138.414 1,76
ekonomis, penumpang Indonesia lebih memilih Merpati
7 86.104 1,06
layanan penerbangan murah maskapai asing. Nusantara
Berikut tabel perolehan jumlah penumpang pener- Kalstar Avia-
8 0
tion
bangan domestik 2011 (tabel 1) dan penerbangan
Total 8.152.133
internasional 2011 (tabel 2).
Sumber: Kementerian Perhubungan, Maret 2012.

7 Penerbangan RI Diminta Terapkan Asas Cabotage, http://www.inilah.com/read/detail/1646272/penerbangan. diakses pada tanggal 20


Maret 2012.
8 Kebijakan Open Sky di Indonesia, DPR minta pemerintah buat cabotage versi udara untuk tangkis open sky, http://nasional.kontan.co.id/
news/dpr-minta-pemerintah-buat-cabotage-versi-udara-untuk-tangkis-open-sky-1/2011/06/27. diakses pada tanggal 20 Maret 2012.
4 ARENA HUKUM Volume 6, Nomor 1, April 2012, Halaman 1-74

Dari table 1 dan 2 tersebut diatas, dapat tersebut mengatur tentang status hukum perairan
diketahui bahwa Lion Air mendapatkan pangsa kepulauan, ruang udara diatas perairan kepulauan
pasar tertinggi untuk penumpang penerbangan dan dasar laut serta tanah dibawahnya. Indonesia
domestic yakni 41,59%. Adapun Indonesia Air sebagai Negara kepulauan, maka kedaulatannya
Asia, yang sahamnya dimiliki maskapai pener- meliputi ruang udara diatas perairan kepulauan.
bangan Malaysia, menempati posisi tertinggi Selanjutnya dalam UU RI Nomor 1 Tahun 2009
untuk perolehan penumpang internasional sepan- tentang Penerbangan, Pasal 6 ditegaskan bahwa:
jang 2011 yakni 3,39 juta penumpang dan pangsa Dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara
pasar 41,56%. atas wilayah udara Negara Kesatuan Republik
Indonesia, pemerintah melaksanakan wewenang
dan tanggung jawab pengaturan ruang udara
Prinsip Kedaulatan Penuh Dan Ekslusif Di untuk kepentingan penerbangan, perekonomian
Ruang Udara nasional, pertahanan dan keamanan negara, sosial
Kedaulatan Negara Indonesia atas wilayah budaya, serta lingkungan udara.
udaranya ditegaskan dalam Pasal 5 Undang- Pasal 6 tersebut dilatarbelakangi oleh suatu
Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Pener- pemikiran bahwa wilayah udara yang berupa
bangan yang menyebutkan bahwa: Negara ruang di atas wilayah daratan dan perairan RI
Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh merupakan kekayaan nasional sehingga harus
dan eksklusif atas wilayah Republik Indonesia. dimanfaatkan bagi sebesar-besar kepentingan
Dalam penjelasan pasal tersebut dijelaskan bahwa rakyat, bangsa, dan negara. Pasal 6 tersebut diatas,
sebagai negara berdaulat, Republik Indonesia dijelaskan lebih lanjut oleh Pasal 7 ayat (1) yang
memiliki kedaulatan penuh dan utuh di wilayah menetapkan bahwa: Dalam rangka melaksanakan
udara Republik Indonesia, sesuai dengan keten- tanggungjawab sebagaimana pasal 6, pemerintah
tuan Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 tentang menetapkan kawasan udara terlarang dan terbatas.
Penerbangan Sipil Internasional9. Ketentuan Dalam penjelasan pasal 7 (1) tersebut diatas
Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 ini memberikan dijelaskan bahwa kewenangan menetapkan
beberapa konsekuensi kedaulatan diudara bagi kawasan udara terlarang dan terbatas merupakan
Negara kolong, diantaranya adalah: cabotage kewenangan dari setiap negara berdaulat untuk
(pasal 7), kewenangan menetapkan daerah terla- mengatur penggunaan wilayah udaranya, dalam
rang (pasal 8), penetapan bandar udara yang rangka keselamatan masyarakat luas, keselamatan
boleh didarati oleh penerbangan internasional penerbangan, perekonomian nasional, lingkungan
(pasal 9), regulasi navigasi penerbangan (pasal hidup, serta pertahanan dan keamanan. Kemudian
10), lalu lintas udara (pasal 11), dan ijin masuk yang dimaksud dengan kawasan udara terlarang
Negara anggota (pasal 12). Prinsip kedaulatan atas (prohibited area) adalah kawasan udara dengan
wilayah udara secara penuh dan utuh tersebut juga pembatasan yang bersifat permanen dan meny-
diakui dalam Asean Multilateral Agreement on Air eluruh bagi semua pesawat udara. Pembatasan
Services dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1) yang hanya dapat ditetapkan di dalam wilayah udara
menyatakan bahwa negara-negara peserta agree- Indonesia, sebagai contoh instalasi nuklir atau
ment telah meratifikasi Konvensi Chicago 1994 istana Presiden. Kawasan udara terbatas (restricted
dan konvensi tersebut masih berlaku secara efektif area) adalah kawasan udara dengan pembatasan
bagi mereka. bersifat tidak tetap dan hanya dapat digunakan
Kedaulatan diruang udara Indonesia sebagai untuk operasi penerbangan tertentu (pesawat udara
Negara kepulauan ditegaskan dalam Pasal 49 ayat TNI). Pada waktu tidak digunakan (tidak aktif),
2 Konvensi Hukum Laut Internasional Tahun 1982 kawasan ini dapat digunakan untuk penerbangan
yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang sipil. Pembatasan dapat berupa pembatasan
Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan United ketinggian dan hanya dapat ditetapkan di dalam
Nations Convention on the Law of the Sea. Pasal wilayah udara Indonesia, misalnya instalasi atau
kawasan militer.

9 The Contracting Parties recognize that every sovereign state has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory.
Adi Kusumaningrum, Prinsip Cabotage dalam Industri Penerbangan Indonesia... 5

Dengan adanya kedaulatan yang mutlak dan Chicago 1944 dijelaskan bahwa penerbangan
penuh atas ruang udaranya, maka negara tersebut internasional tidak berjadwal dapat dilakukan
berhak mengatur dan mengelola ruang udaranya di Negara anggota lainnya, tanpa memperoleh
bebas dari intervensi negara lain.10 Ruang udara izin terlebih dahulu. Sedangkan dalam ayat
nasional mempunyai sifat yang tertutup, hal ini (2) diatur bahwa apabila pesawat terbang
mengingat ruang udara yang merupakan media tersebut membawa penumpang, barang pos
gerak bagi pesawat terbang sangat rawan terutama atau muatan yang dipungut bayaran selain
ditinjau dari sudut kepentingan pertahanan dan daripada penerbangan berjadwal mempu-
keamanan negara dibawahnya. nyai hak untuk menaikkan dan menurunkan
Aplikasi terhadap prinsip kedaulatan negara penumpang dan sebagainya, akan tetapi harus
diudara yang utuh dan mutlak tersebut mengaki- menaati peraturan-peraturan, syarat-syarat
batkan tidak ada pesawat dari negara lain yang atau pembatasan-pembatasan yang ditentukan
memasuki atau melalui wilayah udara negara oleh Negara setempat. Berikut ketentuan dari
lainnya tanpa seizin, persetujuan dari negara
Pasal 5 tersebut:
tersebut berapapun ketinggiannya.11
Each contracting State agrees that all aircraft
Kedaulatan negara di udara meskipun utuh dan
of the other contracting States, being aircraft not
penuh tidak dapat dikatakan sebagai kedaulatan
engaged in scheduled international air services
yang absolut atau bebas dari segala aturan hukum
shall have the right, subject to the observance of
yang memaksa (legibus soluta) berdasarkan
the terms of this Convention, to make flights into or
Hukum Internasional. Dalam prakteknya tunduk
in transit non-stop across its territory and to make
tidak hanya terhadap kewajiban yang telah diten-
stops for non-traffic purposes without the neces-
tukan didalam perjanjian internasional, tetapi
sity of obtaining prior permission, and subject to
juga tunduk terhadap aturan-aturan umum yang
the right of the State flown over to require landing.
diterima sebagai hukum kebiasaan.
Each contracting State nevertheless reserves the
Sifat kedaulatan utuh dan penuh dari negara
right, for reasons of safety of flight, to require
diruang udara nasionalnya sangat berbeda dengan
aircraft desiring to proceed over regions which
sifat kedaulatan negara dilaut wilayah. Karena
are inaccessible or without adequate air naviga-
sifatnya yang demikian itu maka ruang udara
tion facilities to follow prescribed routes, or to
nasional tidak dikenal hak lintas dari pihak asing
obtain special permission for such flights.
seperti terdapat di laut teritorial.12 Hal ini berarti
Such aircraft, if engaged in the carriage of
pada dasarnya wilayah udara suatu negara tertutup
passengers, cargo, or mail for remuneration or
bagi pesawat-pesawat negara lain. Penggunaan dan
hire on other than scheduled international air
kontrol atas wilayah udaranya tersebut menjadi
services, shall also, subject to the provisions
hak yang utuh dan penuh dari negara kolongnya,
of Article 7, have the privilege of taking on or
kondisi ini diperlukan untuk mencegah terjadinya
discharging passengers, cargo, or mail, subject to
pelanggaran wilayah udara yaitu suatu keadaan,
the right of any State where such embarkation or
dimana pesawat terbang suatu negara sipil atau
discharge takes place to impose such regulations,
militer memasuki wilayah udara negara lain tanpa
conditions or limitations as it may consider desir-
ijin sebelumnya dari negara yang memasukinya.13
able.
Sepanjang menyangkut hak penerbangan
Hak lintas diatur pula dalam pasal 6 yang
(traffic right), Konvensi Chicago 1944 membe- mengatur penerbangan berjadwal (schedule flight)
dakan antara penerbangan internasional tidak dan merupakan pembatasan terhadap kedaulatan
berjadwal (non schedule flight) dengan pener- negara atas ruang udara diatasnya, yang berbunyi
bangan internasional berjadwal (schedule sebagai berikut :
flight). Dalam pasal 5 ayat (1) Konvensi

10 Ketentuan mengenai kedaulatan juga diatur dalam Pasal 2 Ayat (2) Konvensi Hukum Laut PBB 1982 yang telah diratifikasi Indonesia
dengan Undang-Undang RI Nomor 17 tahun 1985, menentukan bahwa kedaulatan negara meliputi ruang udara di atas laut teritorial serta
dasar laut dan tanah di wilayahnya.
11 Bin Cheng The Law of International Air Transport, London: The London Institute of World Affairs, 1962, hlm. 122.
12 R.R Churchill dan A. V. Lowe, The Law of The Sea, third Edition, Manchester: Manchester University Press, 1999, 76.
13 T. May Rudy, Hukum Internasional 2, Bandung: PT Refika Aditama, 2002, 32.
6 ARENA HUKUM Volume 6, Nomor 1, April 2012, Halaman 1-74

No scheduled international air service may be 7 Konvensi Chicago 1944 yang berbunyi:
operated over or into the territory of a contracting Each contracting State shall have the right
State, except with the special permission or other to refuse permission to the aircraft of other
authorization of that State, and in accordance with contracting States to take on in its territory
the terms of such permission or authorization. passengers, mail and cargo carried for remunera-
Pada prinsipnya, pasal 6 menetapkan bahwa tion or hire and destined for another point within
pesawat asing yang melakukan penerbangan its territory. Each contracting State undertakes
harus meminta izin terlebih dahulu kepada Negara not to enter into any arrangements which specifi-
kolong atau Negara mana tempat ia terbang. Hal cally grant any such privilege on an exclusive
ini dapat dipahami bahwa apabila ada pener- basis to any other State or an airline of any other
bangan berjadwal tentu memungkinkan terjadinya State, and not to obtain any such exclusive privi-
persaingan dengan penerbangan nasional. Untuk lege from any other State.
mencegah hal ini diperlukan adanya persetujuan Dalam pasal tersebut ditetapkan bahwa
lebih dahulu. setiap Negara peserta mempunyai hak untuk
Pembahasan menolak memberikan izin kepada suatu pesawat
udara milik Negara peserta lain, yang bermaksud
CABOTAGE SEBAGAI KONSEKUENSI mengambil penumpang, pos dan cargo, dengan
KEDAULATAN NEGARA DI RUANG mendapatkan bayaran atau sewa, dari satu tempat
UDARA ke tempat lain di dalam wilayahnya. Pasal tersebut
melarang setiap Negara peserta untuk memberikan
Pengaturan Prinsip Cabotage dalam Convensi
Chicago 1944 dan UU RI Nomor 1 Tahun 2009 secara khusus suatu privilege (cabotage) eksklusif
tentang Penerbangan. kepada Negara peserta lain atau suatu perusahaan
penerbangan milik Negara lain, dan menerima
Usaha pemanfaatan ruang udara memang suatu privilege (cabotage) eksklusif semacam
mewajibkan Indonesia untuk mengembangkan itu dari Negara lain. Prinsip cabotage ini tidak
kekuatan Negara di ruang udara dengan semak- dapat dilepaskan dari prinsip bahwa suatu Negara
simal mungkin sehingga efektif dan dapat dian- mempunyai hak penuh atas wilayah di udara di
dalkan. Angkutan udara adalah salah satu faktor atasnya, seperti tercantum dalam pasal 1 konvensi
penting dari kekuatan Negara di ruang udara yang Chicago 1944.
tidak hanya berfungsi sebagai sarana komersial Cabotage dalam hukum udara juga dikenal
semata, tetapi juga sebagai sarana untuk memper- sebagai the eight freedom, suatu hak yang
satukan bangsa dalam pengertian politis, sarana dapat diperjanjikan atas kehendak Negara-negara
untuk membantu kelancaran efektifitas pemer- peserta, yaitu hak untuk mengangkut traffic dari
intahan dan sarana untuk mendorong lajunya satu tempat ke tempat lain di dalam wilayah satu
pembangunan. Pembangunan jalur komunikasi Negara15. Sebagai contohnya adalah pengang-
yang seluas mungkin antar Kepulauan Nusan- kutan penumpang, barang, dan pos secara
tara.14 komersial dari Singapura, Jakarta, Denpasar dan
Untuk dapat mewujudkan fungsi ini maka salah Melbourne, maka porsi cabotage adalah ruas
satu asas penting dalam hukum udara, khususnya Jakarta-Denpasar. Ruas tersebut merupakan hak
angkutan udara adalah konsep cabotage. Konsep penerbangan nasional16.
cabotage dalam hukum udara berasal dari penger- Prinsip cabotage berturut-turut diatur dalam
tian yang sama yang tumbuh dalam hukum laut. undang-undang penerbangan Indonesia. Di dalam
Konsep ini sebagai salah satu bentuk manifestasi UU No. 15 Tahun 1992, Pasal 13 ayat (1) keten-
kedaulatan negara di udara secara penuh dan utuh tuan ini menyatakan bahwa pesawat udara yang
serta pemanfaatannya bagi sebesar-besar kepen- dapat digunakan di wilayah RI hanya pesawat
tingan rakyat, bangsa, dan negara. Dalam hukum udara Indonesia. Ayat (2) dan (3) pasal ini juga
udara prinsip cabotage telah diterima dalam pasal mengatur bahwa penggunaan pesawat udara sipil

14 Mieke Komar Kantaatmadja, Berbagai Masalah Hukum Udara dan Angkasa, CV Karya Remadja, Bandung, 1984. Hlm 3.
15 Ibid. Hlm 5.
16 K. Martono, Kamus Hukum dan Regulasi Penerbangan, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007. Hlm. 420.
Adi Kusumaningrum, Prinsip Cabotage dalam Industri Penerbangan Indonesia... 7

asing oleh perusahaan angkutan udara asing dari sahaan penerbangan asing yang diberi izin atas
dan ke atau melalui wilayah RI untuk kegiatan dasar suatu perjanjian bilateral atau dengan suatu
angkutan udara berjadwal luar negeri, hanya izin khusus dari pemerintah Indonesia (lazimnya
dapat dilakukan berdasarkan perjanjian bilateral untuk penerbangan tidak berjadwal).
atau multilateral, sedangkan yang tidak berjadwal Dalam UURI Nomor 1 Tahun 2009 sebagai
harus mendapatkan izin khusus. Prinsip cabotage pengganti UU RI Nomor 15 Tahun 1992 tentang
secara jelas diatur dalam Pasal 36 ayat (1) UU No. Penerbangan, prinsip cabotage diatur dalam Pasal
15 Tahun 1992. Menurut pasal ini angkutan udara 84 yang menetapkan bahwa Angkutan udara
niaga yang melayani angkutan udara didalam niaga dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh
negeri hanya dapat diusahakan oleh badan hukum badan usaha angkutan udara nasional yang telah
Indonesia baik badan usaha milik Negara (BUMN), mendapat izin usaha angkutan udara niaga. Lebih
badan usaha milik swasta (BUMS) maupun lanjut prinsip ini ditegaskan dalam Pasal 85 yang
koperasi yang telah mendapat izin dari Menteri mengatur bahwa angkutan udara niaga berjadwal
Perhubungan. Pasal ini diperjelas dengan Pasal dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh badan
16 PP Nomor 40 tahun 1995 yang menentukan usaha angkutan udara niaga nasional baik milik
bahwa kegiatan usaha angkutan udara niaga17 baik BUMN, BUMD maupun BUMS berbentuk perse-
berjadwal maupun tidak berjadwal dapat dila- roan terbatas (PT) yang telah mendapat ijin usaha
kukan oleh: 1). Badan Usaha Milik Negara; 2). angkutan udara niaga berjadwal. Berikut Pasal 85
Badan Usaha Milik Swasta yang berbentuk badan selengkapnya:
hukum; atau 3). Koperasi, dan Pasal 12 Keputusan
Angkutan udara niaga berjadwal dalam
Menteri Perhubungan (Kepmenhub) Nomor 81
negeri hanya dapat dilakukan oleh badan
Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Angkutan
usaha angkutan udara nasional yang telah
Udara.
mendapat izin usaha angkutan udara niaga
Sebelumnya, asas cabotage tidak diatur
berjadwal.
dengan jelas dalam Undang-Undang Penerbangan
Nomor 83 Tahun 1958. Dalam pasal 2 Undang- Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal
Undang Penerbangan Nomor 83 Tahun 1958 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
dinyatakan: .dilarang melakukan penerbangan keadaan tertentu dan bersifat sementara
selain dengan pesawat udara yang mempunyai dapat melakukan kegiatan angkutan udara
kebangsaan Indonesia Pasal ini jelas meru- niaga tidak berjadwal setelah mendapat
pakan suatu ketentuan yang mendasari prinsip persetujuan dari Menteri.
bahwa Indonesia mempunyai complete and Kegiatan angkutan udara niaga tidak
exclusive souvereignty, yakni kedaulatan penuh berjadwal yang bersifat sementara
dan eksklusif dalam wilayah udaranya. Dikaitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
dengan Pasal 8 undang-undang yang sama yang dilakukan atas inisiatif instansi Pemer-
berisi ketetapan bahwa angkutan udara dengan intah dan/atau atas permintaan badan usaha
dengan memungut bayaran yang diselenggarakan angkutan udara niaga nasional.
di dalam wilayah Indonesia harus dengan konsesi
Menteri Perhubungan, Pasal 11 ayat (1), tentang Kegiatan angkutan udara niaga tidak
pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara dan berjadwal yang dilaksanakan oleh badan
Pasal 12 ayat (1) tentang larangan untuk pendaf- usaha angkutan udara niaga berjadwal
taran bagi pesawat udara milik bangsa asing di sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
Indonesia, terlihat bahwa angkutan cabotage di menyebabkan terganggunya pelayanan pada
Indonesia, yakni pesawat udara yang dimiliki rute yang menjadi tanggung jawabnya dan
oleh orang Indonesia atau badan hukum Indo- pada rute yang masih dilayani oleh badan
nesia. Pesawat udara asing dilarang digunakan usaha angkutan udara niaga berjadwal
di wilayah udara Indonesia terkecuali oleh peru- lainnya.

17 Pasal 8 PP Nomor 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara berbunyi: Kegiatan angkutan udara terdiri atas Angkutan udara niaga; dan
Angkutan udara bukan niaga. Angkutan udara niaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, meliputi: Angkutan udara niaga
berjadwal; dan Angkutan udara niaga tidak berjadwal.
8 ARENA HUKUM Volume 6, Nomor 1, April 2012, Halaman 1-74

Dalam rangka kebijakan liberalisasi, pertu- secara bertahap sesuai dengan ketentuan dalam
karan hak-hak terbang18 (traffic right) secara protokol-protokol yang ada dalam kedua ASEAN
multilateral dilakukan sejalan dengan konsep Multilateral Agreement tersebut sampai dengan
perdagangan bebas dunia yang terangkum dalam tahun 2015. Hal ini sesuai dengan kebijakan
skema GATT (General Agreement on Trade and angkutan udara luar negeri Indonesia yang mene-
Tariff), dimana salah satu prinsipnya adalah the tapkan bahwa open sky dilakukan secara selektif
Most-Favor Nation Treatment atau asas resipros- dan bertahap dengan memperhatikan kemampuan
itas. Menurut H.K. Martono, kedepan pertukaran perusahaan penerbangan nasional.20
hak kebebasan udara ini akan berbentuk avia- Mengenai kekebasan di udara yang diperjan-
tion union of state. Artinya hak-hak penerbangan jikan dalam ASEAN MAAS diatur dalam Pasal 2
akan dilakukan secara multilateral termasuk ayat (1) yang menentukan bahwa setiap negara
freedom ke delapan (cabotage). Sebagaimana peserta haruslah mengakui hak-hak berikut ini
prinsip the Most-Favor Nation Treatment atau dalam melaksanakan transportasi udara internasi-
asas resiprositas diatas, apabila Indonesia tidak onal :
melepaskan prinsip cabotage, Negara lain pun hak penerbangan melintasi teritorial suatu
juga akan melakukan hal yang sama. Contohnya: negara tanpa landing;
apabila dunia penerbangan Eropa menjadi avia- hak melakukan penghentian di teritorial suatu
tion union of state, Garuda Indonesia tidak dapat negara bukan untuk tujuan traffic;
melakukan penerbangan dari Roma, di Italia ke hak khusus yang dikecualikan dalam kesepak-
Schippol di Belanda, karena rute tersebut meru- atan ini.
pakan cabotage Negara uni19. Seperti yang telah dejelaskan sebelumnya
Dalam menyikapi perkembangan dunia bahwa dalam ASEAN Multilateral Agreement on
penerbangan kedepan, hendaknya Indonesia Air Services hanya memperjanjikan kebebasan
harus cukup berhati-hati, utamanya dalam rangka hak angkut ke-3, ke-4 dan ke-5. Liberalisasi hak
melindungi kepentingan nasional. Dengan kondisi angkut ke-3, ke-4 dan ke-5 dilakukan secara
penerbangan Indonesia saat ini, nampaknya tidak bertahap sesuai dengan ketentuan dalam protokol-
perlu bergegas mengikuti konsep liberalisasi secara protokol yang ada dalam kedua ASEAN Multi-
utuh. Hal tersebut akan memberikan kondisi yang lateral Agreement tersebut sampai dengan tahun
lebih buruk ditengah ketidakmampuan perusa- 2015.
haan penerbangan nasional untuk bersaing dengan Annex II dalam ASEAN Multilateral Agree-
perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia. ment on Air Services tentang Implementing
Protocol menetapkan bahwa negara ASEAN
Pengaturan Prinsip Cabotage dalam ASEAN terikat pula kepada protokol-protokol yang
Multilateral Agreement on Air Services (ASEAN menjadi bagian integral dari kesepakatan ASEAN
MAAS) Multilateral Agreement on Air Services. Protokol-
ASEAN Open Sky Policy yang diatur dalam protokol tersebut adalah :
ASEAN Multilateral Agreement on Air Services Protocol 1 Unlimited Third and Fourth
(ASEAN MAAS), menentukan bahwa the eight Freedom Traffics Within ASEAN Sub-region:
freedom tidak dipertukarkan dan hanya menu- Protokol ini memberikan kebebasan hak angkut
karkan hak angkut ke-3, ke-4, dan ke-5. Liber- ke-3 dan ke-4 di antara negara dalam ASEAN
alisasi hak angkut ke-3, ke-4 dan ke-5 dilakukan Sub-Region.

18 Sebenarnya secara teoritis terdapat delapan (eigth freedom of the air) kebebasan udara. Akan tetapi pada prakteknya hanya terdapat lima
hak kebebasan udara (the five freedom in the air), yakni: The previlege to fly across its territory without landing; The previlege to land
for non-traffic pusposes; The previlege to put down passengers, mail or cargo taken on in the territory of the state whose nationality the
aircraft possesses; The previlege to take on passengers, mail or cargo destined for the territory of the state whose nationality the aircraft
possesses; The previlege to take on passengers, mail or cargo destined for the territory of any other contracting state and the previlege to
put down passengers, mail and cargo coming fram any such territory.
19 H.K. Martono, Hukum Angkutan Udara: Berdasarkan UU RI Tahun 2009 tentang Penerbangan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010.
Hlm. 52.
20 Adi Kusumaningrum, Pengaturan Pengamanan Sektor Angkutan Udara Indonesia Dalam Menghadapi ASEAN Single Aviation Market
2015, Tesis tidak diterbitkan, Malang, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2006, hlm 142
Adi Kusumaningrum, Prinsip Cabotage dalam Industri Penerbangan Indonesia... 9

Protocol 2 Unlimited Fifth Freedom Traffic another Contracting Party, passangers, baggage,
Rights Within ASEAN Sub-Region: Protokol ini cargo, or mail carried for remuneration and
memberikan kebebasan hak angkut ke-5 di antara destined for another point in the territory of that
negara dalam ASEAN Sub-Region . other Contracting Party.
Protocol 3 Unlimited Third and Fourth Pasal tersebut menetapkan bahwa tidak ada
Freedom Traffic Rights Between ASEAN Sub- ketentuan dalam ASEAN Multilateral Agreement
Regions: Protokol ini memberikan kebebasan hak on Air Services yang bisa diinterpretasikan sebagai
angkut ke-3 dan ke-4 di antara negara ASEAN ketentuan yang memberi hak bagi setiap pesawat
yang berbeda Sub-Region. udara milik negara peserta untuk mengangkut
Protocol 4 Unlimited Fifth Freedom Traffic penumpang, bagasi, barang ataupun pos dengan
Rights Between ASEAN Sub-Regions: Protokol ini mendapatkan bayaran dan dengan tujuan dari
memberikan kebebasan hak angkut ke-5 di antara suatu tempat ke tempat lainnya di dalam wilayah
negara ASEAN yang berbeda Sub-Region. teritorial negara peserta lainnya.
Protocol 5 Unlimited Third and Fourth Hak cabotage merupakan hak penuh masing-
Freedom Traffic Rights Between ASEAN Capital masing perusahaan penerbangan. Suatu negara
Cities: Protokol ini memberikan kebebasan hak bebas untuk menetapkan larangan traffic cabotage
angkut ke-3 dan ke-4 di antara ibu kota negara- dalam wilayahnya bagi perusahaan penerbangan
negara ASEAN. asing. Sampai dengan saat ini, meskipun liberal-
Protocol 6 Unlimited Fifth Freedom Traffic isasi jasa angkutan udara banyak dijajaki negara-
Rights Between ASEAN Capital Cities: Protokol negara di dunia untuk segera dilakukan, menurut
ini memberikan kebebasan hak angkut ke-5 di penulis hak ini masih akan tetap dipertahankan
antara ibu kota negara-negara ASEAN. oleh masing-masing negara di dunia. Amerika
Sedangkan dalam Annex II yang terdapat Serikat dalam Federal Aviation Act 1958 Section
pada ASEAN Multilateral Agreement on the Full 1108 (b) dengan tegas melarang angkutan cabo-
Liberalisation of Passanger Air Services terdapat tage oleh suatu pengangkutan asing. Apabila suatu
2 (dua) protokol tambahan yang mengatur pesawat udara asing sedang melakukan continuous
petahapan pelaksanaan liberalisasi angkutan udara voyage, maka mengangkut dan menurunkan traffic
penumpang yakni : pada dua titik (tempat) di dalam wilayah Amerika
Protokol 1 Unlimited Third and Fourth (foreign transfer traffic) diartikan sebagai cabo-
Freedom Traffic Rights Between Any ASEAN tage yang tidak dapat diizinkan.
Cities: di dalam protokol ini memberikan kebe-
basan hak angkut ke-3 dan ke-4 di antara setiap Pengaturan Pendaftaran Pesawat dan Investasi
kota di ASEAN. di Bidang Angkutan Udara
Protokol 2 Unlimited Fifth Freedom Traffic Sebagaimana diuraukan, prinsip cabotage
Rights Between Any ASEAN Cities: di dalam prot- merupakan hak prerogatif/istimewa Negara
okol ini memberikan kebebasan hak angkut ke-5 berdaulat yang diakui didalam Pasal 7 Konvensi
di antara setiap kota di ASEAN. Chicago 1944. Menurut pasal ini setiap Negara
Prinsip kedaulatan atas wilayah udara secara berhak menolak pemberian izin pesawat udara
penuh dan utuh ini juga diakui dalam Asean asing yang melakukan angkutan penumpang,
Multilateral Agreement on Air Services dengan barang, dan pos secara komersial dalam negeri.
ketentuan Pasal 1 ayat (1) yang menyatakan Hak angkutan udara niaga dalam negeri diberikan
bahwa negara-negara peserta agreement telah kepada perusahaan penerbangan nasional, dan
meratifikasi Konvensi Chicago 1994 dan konvensi tidak akan diberikan kepada perusahaan asing
tersebut masih berlaku secara efektif bagi mereka. mana pun, kecuali atas pertimbangan untuk
Prinsip cabotage ditegaskan dalam pasal 2 kepentingan nasional Negara yang bersangkutan.
ayat (3) ASEAN Multilateral Agreement on Air Kebijakan open sky yang akan membentuk
Services (ASEAN MAAS) yang berbunyi : ASEAN Single Aviation Market 2015, tantangan
Nothing in this Agreement shall be deemed to bagi industry angkutan udara di Indonesia cukup
confer on the airline or airlines of one Contracting tinggi. Seiring dengan berkembangnya Low Cost
Party the right to take on board, in the territory of Carrier/LCC pada angkutan udara, Indonesia
10 ARENA HUKUM Volume 6, Nomor 1, April 2012, Halaman 1-74

dibanjiri investasi dari maskapai-maskapai asing, dimiliki oleh instansi pemerintah atau pemer-
diantaranya adalah Air Asia (Malaysia) dan Silkair intah daerah, dan pesawat udara tersebut tidak
(Singapura). Kedua investasi asing tersebut juga dipergunakan untuk misi penegakan hukum; atau
membuka rute-rute dalam negeri. Tidak saja Indo- dimiliki oleh warga negara asing atau badan
nesia Air Asia, silkair baru-baru ini juga mempu- hukum asing yang pesawat udaranya dikuasai oleh
nyai rute dalam negeri, seperti: rute penerbangan badan hukum Indonesia berdasarkan suatu perjan-
yang biasanya direct Singapura-Denpasar (Bali), jian yang tunduk pada hukum yang disepakati para
dirubah menjadi Denpasar-Singapura melalui pihak untuk kegiatan penyimpanan, penyewaan,
Bandara Internasional Lombok.21 dan/atau perdagangan pesawat udara.
Kedua investasi asing angkutan udara tersebut Sedangkan untuk masalah komposisi kemi-
diatas dimungkinkan dengan adanya pengaturan likan modal diatur dalam Pasal 108 UURI Nomor
dibidang investasi melalui Undang-Undang 1 Tahun 2009, yang selengkapnya berbunyi:
Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Kegiatan angkutan udara niaga sebagaimana
Mengacu pada ketentuan Pasal 1 ayat (3) yang dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) huruf a
terdapat dalam UU Penanaman Modal No. 25 dilakukan oleh badan usaha di bidang angkutan
Tahun 2007, maka yang disebut sebagai Pena- udara niaga nasional.
naman Modal Asing, harus memenuhi beberapa Badan usaha angkutan udara niaga nasional
unsur berikut: sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seluruh
Merupakan kegiatan menanam modal, atau sebagian besar modalnya, harus dimiliki oleh
Untuk melakukan usaha di wilayah negara badan hukum Indonesia atau warga negara Indo-
Republik Indonesia, nesia.
Dilakukan oleh penanam modal asing, Dalam hal modal badan usaha angkutan
Menggunakan modal asing sepenuhnya udara niaga nasional yang dimiliki oleh badan
maupun yang berpatungan dengan penanam hukum Indonesia atau warga negara Indonesia
modal dalam negeri. sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibagi-bagi,
Di Indonesia dalam rangka memberikan salah satu pemegang modal nasional harus tetap
perlindungan hukum penanaman modal asing lebih besar dari pemegang modal asing (single
wajib berbentuk perseroan terbatas (PT) majority).
berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan Ketentuan dalam Pasal 108 tersebut diatas
di wilayah negera RI (pasal 5 ayat 2, UU No.25 mengatur tentang adanya kewajiban single
tahun 2007). Dengan kata lain penanaman modal majority atas kepemilikan modal oleh badan
asing tidak di izinkan melakukan usaha sebelum hukum atau warga Negara Indonesia. Sesuai
terbentuknya badan hukum Indonesia. Demikian dengan ketentuan penanaman modal asing di
halnya dengan penanaman modal asing dibidang Indonesia, 51 % saham harus dimiliki oleh badan
angkutan udara juga harus berbentuk badan hukum atau warga Negara Indonesia. Ketentuan
hukum Indonesia. Selanjutnya dalam Pasal 25 ini juga mengatur tentang kewajiban menyetor
UURI Nomor 1 Tahun 2009 ditentukan bahwa: modal, namun demikian tidak ditentukan prosen-
Pesawat udara sipil yang dapat didaftarkan tase modal yang harus disetorkan.
di Indonesia harus memenuhi ketentuan sebagai Meskipun demikian, lemahnya pengawasan
berikut: (direct or indirect) investment bidang angkutan
tidak terdaftar di negara lain; dan dimiliki oleh udara, akan memberikan kemungkinan terjadi
warga negara Indonesia atau dimiliki oleh badan penyelundupan hukum investasi, yang akhirnya
hukum Indonesia; pasar nasional tetap saja akan dikuasai asing
dimiliki oleh warga negara asing atau badan melalui badan hukum Indonesia yang dibentuknya
hukum asing dan dioperasikan oleh warga negara (cabotage terselubung). Bagaimanapun keikut-
Indonesia atau badan hukum Indonesia untuk sertaan PMA ini merupakan masalah tersendiri
jangka waktu pemakaiannya minimal 2 (dua) bagi penegakkan prinsip cabotage, karena dalam
tahun secara terus-menerus berdasarkan suatu kenyataannya tidak tertutup kemungkinan di atas
perjanjian; kertas sahamnya memang 51 % Indonesia dan 49

21 http://edukasi.kompas.com/read/2011/11/24/16344968/Silk.Air.Tambah.Penerbangan.Rute.Singapura-Lombok
Adi Kusumaningrum, Prinsip Cabotage dalam Industri Penerbangan Indonesia... 11

% asing, tetapi yang berkuasa dalam menentukan bangan. Meskipun demikian, pengawasan dalam
kebijakantetap saja perusahaan yang minoritas penerapan hukumnya harus dilakukan secara
(asing). Baik secara filosofis maupun historis, ketat, jangan sampai status badan hukum Indo-
prinsip cabotage diterapkan secara umum di nesia hanya merupakan suatu kepentingan terse-
seluruh dunia dengan tujuan menjaga dan melind- lubung saja sedangkan seluruh kebijakan diambil
ungi kepentingan politik dan ekonomi negara oleh bangsa asing yang menguasai perusahaan
yang bersangkutan. Penerapan prinsip cabotage tersebut. Penegakkan hukum investasi juga diper-
secara operasional bisa bersifat fleksibel, selama lukan agar status badan hukum Indonesia tidak
kepentingan strategis negara tersebut tetap terjaga hanya digunakan untuk mengambil pangsa pasar
dan terlindungi. industri angkutan udara Indonesia yang sangat
potensial. Dalam memberikan perlindungan
Kesimpulan terhadap kepentingan nasional Indonesia terhadap
dunia penerbangan/angkutan udara, utamanya
Secara normatif peraturan perundang-
penegakkan prinsip cabotage, hendaknya pemer-
undangan di Indonesia telah mengatur prinsip
intah dalam memberikan ijin harus benar-benar
cabotage, baik dalam UU RI Nomor 1 Tahun 2009
sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pemberian
tentang Penerbangan maupun dalam Undang-
ijin suatu maskapai penerbangan tersebut yang
Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Pena-
juga berhubungan dengan kebijakan penetapan
naman Modal. Kedua undang-undang tersebut
layanan rute penerbangan antar wilayah dari satu
mengatur adanya kewajiban single majority atas
daerah ke daerah lain dalam wilayah negara Indo-
kepemilikan modal oleh badan hukum atau warga
nesia harus didasarkan pada kesejahteraan bagi
Negara Indonesia, termasuk dalam industry pener-
masyarakat Indonesia pada umumnya.
Daftar Pustaka
Peraturan Perundangan-Undangan
Cheng, Bin, 1962, The Law of International Air Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Transport, London: The London Institute Penerbangan
of World Affairs. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Churchill, R.R., dan Lowe, A.V., The Law of The Penanaman Modal International Air
Sea, third Edition, Manchester: Manchester Transport Agreement, Chicago 1944
University Press. ASEAN Multilateral Agreement on Air
Komar Kantaatmadja,Mieke, 1984, Berbagai Services (ASEAN MAAS)
Masalah Hukum Udara dan Angkasa, CV
Karya Remadja, Bandung. Internet
Martono, K., 2007, Kamus Hukum dan Regulasi Penerbangan RI Diminta Terapkan Asas
Penerbangan, PT RajaGrafindo Persada, Cabotage, http://www.inilah.com/read/
Jakarta. detail/1646272/penerbangan-ri-diminta-
Martono, H.K., 2010, Hukum Angkutan Udara: terapkan-asas-cabotage.
Berdasarkan UU RI Tahun 2009 tentang Kebijakan Open Sky di Indonesia, DPR minta
Penerbangan, PT. RajaGrafindo Persada, pemerintah buat cabotage versi udara
Jakarta. untuk tangkis open sky, http://nasional.
Rudy, T. May, 2002, Hukum Internasional 2, kontan.co.id/news/dpr-minta-pemerintah-
Bandung: PT Refika Aditama. buat-cabotage-versi-udara-untuk-tangkis-
Karya Ilmiah open-sky-1/2011/06/27.
http://edukasi.kompas.com/
Adi Kusumaningrum, 2006, Pengaturan Penga- read/2011/11/24/16344968/Silk.Air.
manan Sektor Angkutan Udara Indonesia Tambah.Penerbangan.Rute.Singapura-
Dalam Menghadapi ASEAN Single Avia- Lombok
tion Market 2015, Tesis tidak diterbitkan,
Malang, Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya.

Anda mungkin juga menyukai