Anda di halaman 1dari 17

BASIC EMERGENCY NURSING

PENANGANAN PADA PERFORASI SALURAN CERNA PADA BAYI


DAN ANAK SERTA PRANG DEWASA

Nama Kelompok 10 :

1. Juni Antonius Damanik


2. Dedek Riahna Purba
3. Yenni Kristiwati Saragih

Dosen Pembimbing :

Paska R. Situmorang, SST.,M.Biomed

Rusmauli Lumban Gaol,S.Kep.,Ns.,M.Kep

STIKes Santa Elisabeth Medan

T.A 2016/2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...........................................................................................


DAFTAR ISI ..........................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang..............................................................................................
1.2 Tujuan Umum................................................................................................
1.3 Tujuan Khusus...............................................................................................

BAB II TINJAUAN TEORITIS.........................................................................

2.1 Definisi ............................................................................................................


2.2 Anatomi dan fisiologi .....................................................................................
2.3 Etiologi trauma abdomen ................................................................................
2.4 Gejala klinik ....................................................................................................
2.5 Pemeriksaan fisik ............................................................................................
2.6 Pemeriksaan Penunjang ..................................................................................
2.7 Prinsip penanganan perforasi ..........................................................................

BAB III PENUTUP...............................................................................................

3.1 Kesimpulan......................................................................................................

DAFTARPUSTAKA...........................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keperawatan Gawat Darurat (Emergency Nursing) merupakan pelayanan
keperawatan yang komprehensif diberikan kepada pasien dengan injury akut atau
sakit yang mengancam kehidupan.

Perforasi gastrointestinal merupakan suatu bentuk penetrasi yang komplek


dari dinding lambung, usus halus, usus besar akibat dari bocornya isi dari usus ke
dalam rongga perut. Perforasi dari usus mengakibatkan secara potensial untuk
terjadinya kontaminasi bakteri dalam rongga perut ( keadaan ini dikenal dengan
istilah peritonitis). Perforasi lambung berkembang menjadi suatu peritonitis kimia
yang disebabkan karena kebocoran asam lambung kedlam rongga perut. Perforasi
dalam bentuk apapun yang mengenai saluran cerna merupakan suatu kasus
kegawatan bedah.

Pada anak-anak cedera yang mengenai usus halus akibat dari trauma
tumpul perut sangat jarang dengan insidensinya 1-7 %. Sejak 30 tahun yang lalu
perforasi pada ulkus peptikum merupakn penyebab yang tersering. Perforasi ulkus
duodenum insidensinya 2-3 kali lebih banyak daripada perforasi ulkus gaster.
Hampir 1/3 dari perforasi lambung disebabkan oleh keganasan pada lambung.
Sekitar 10-15 % penderita dengan divertikulitis akut dapat berkembang menjadi
perforasi bebas. Pada pasien yang lebih tua appendicitis acuta mempunyai angka
kematian sebanyak 35 % dan angka kesakitan 50 %.
Faktor-faktor utama yang berperan terhadap angka kesakitan dan
kematian pada pasien-pasien tersebut adalah kondisi medis yang berat yang
menyertai appedndicitis tersebut. Perforasi pada saluran cerna sering disebabkan
oleh penyakit-penyakit seperti ulkus gaster, appendicitis, keganasan pada saluran
cerna, divertikulitis, sindroma arteri mesenterika superior, trauma.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1 Pengertian
Perforasi gastrointestinal merupakan suatu bentuk penetrasi yang komplek
dari dinding lambung, usus halus, usus besar akibat dari bocornya isi dari usus ke
dalam rongga perut. Perforasi intestinal merupakan suatu keadaan kegawatan
dalam bidang bedah dimana terjadinya ruptur dinding intestinal.

Perforasi intestinal dapat dibagi menjadi:


1. Perforasi non trauma, misalnya pada ulkus peptik, tifoid dan apendisitis.
2. Perforasi oleh trauma (tajam dan tumpul).

Pada orang dewasa perforasi ulkus peptik merupakan penyebab kesakitan


dan kematian umum selama sekitar 30 tahun yang lalu. Sedangkan perforasi ulkus
duodenum terjadi 2-3 kali lipat dari perforasi ulkus gaster, sepertiga dari perforasi
ulkus gaster mengarah ke carcinoma. Perforasi usus karena demam typhoid
merupakan komplikasi yang serius dan menjadi perhatian bagi ahli bedah
diseluruh dunia, hal ini dikarenakan demam typhoid masih merupakan masalah
kesehatan umum pada Negara-negara berkembang, di Nigeria 9,2% dari pasien
typhoid berkembang menjadi perforasi. Appendisitis adalah penyakit yang jarang
mereda dengan spontan, tidak dapat diramalkan dan mempunyai kecenderungan
menjadi progresif dan mengalami perforasi. Apabila diagnosis dari appendicitis
terlambat bisa menyebabkan komplikasi yaitu perforasi, pada suatu penelitian di
Belanda ditemukan pada pasien dengan appendicitis yang didiagnosis terlambat
mengalami perforasi sebanyak 71%5. pada anak-anak dibawah 2 tahun
appendicitis terdiagnosis setelah terjadinya perforasi.
Perforasi intestinal dapat terjadi karena trauma abdomen, hal ini
dikarenakan meningkatkatnya kecelakaan lalu lintas dan tindakan kekerasan,
frekuensi trauma perut pun meningkat. Perut merupakan bagian yang sering
terkena trauma. Luka pada isi rongga perut dapat terjadi dengan atau tanpa
tembusnya dinding perut. Penatalaksanaan trauma perut sampai sekarang masih
merupakan bahan diskusi dalam ilmu bedah, dari tindakan yang konservatif
sampai tindakan yang radikal. Pada anak-anak perforasi intestinal sebanyak 5-
14% disebabkan oleh trauma tumpul karena kecelakaan sepeda . Diagnosis
kadang terlambat dikarenakan biasanya tidak berhubungan dengan kehilangan
darah banyak. Selain hal-hal tersebut banyak penyakit-penyakit yang
menyebabkan komplikasi perforasi, diantaranya: intusepsi, toksik megakolon,
enterocolitis necrotizing, anomaly anorektal, obstruksi usus, dan lain sebagainya.
Perforasi intestinal terjadi ketika dinding gaster, usus kecil dan usus besar
menjadi berlubang sehingga menyebabkan isinya masuk kedalam cavitas
abdomen, Perforasi intestinal merupakan suatu keadaan kegawatan.

2.2 Anatomi dan fisiologi


1. GASTER (LAMBUNG).
Merupakan bagian dan saluran yang dapat mengembang paling banyak
terutama di daerah epigaster, lambung terdiri dari bagian atas fundus uteri
berhubungan dengan osofagus melalui orifisium pilorik, terletak di bawah
diafragma di. depan pankreas dan limpa, menempel di sebelah kiri fundus uteri.
Bagian lambung terdiri dari:
a. Fundus ventrikuli, bagian yang menonjol ke atas terletak sebelah kiri
osteum kardium dan biasa nya penuh berisi gas.
b. Korpus ventrikuli, setinggi osteum kardiun, suatu lekukan pada bagian
bawah kurvatura minor.
c. Antrum pilorus, bagian lambung berbentuk tabung mempunyai otot yang
tebal membentuk spinter pilorus.
d. Kurvatura minor, terdapat sebelah kanan lambung terbentang dari osteum
kardiak sampai ke pilorus.
e. Kurvatura mayor, lebih panjang dari kurvatura minor terbentang dari sisi
kiri osteum kardiakum melalui fundus ventrikuli menuju ke kanan sampai
ke pilorus inferior. Ligamentum gastro lienalis terbentang dari bagian atas
kurvatura mayor sampai ke limpa.
f. Osteum kardiakum, merupakan tempat dimana osofagus bagian abdomen
Fungsi lambung. terdiri dari:
1. Menampung makanan, menghancurkan dan menghaluskan makanan oleh
peristaltik lambung dan getah lambung.
2. Getah cerna lambung yang dihasilkan;
3. Pepsin fungsinya, memecah putih telur menjadi asam amino (albumin dan
pepton).
4. Asam garam (HCl) fungsinya; Mengasamkan makanan, sebagai anti septik
dan desinfektan, dan membuat suasana asam pada pepsinogen sehingga
menjadi pepsin.
5. Renin fungsinya, sebagai ragi yang membekukan susu dan membentuk
kasein dari kasinogen (kasinogen dan protein susu).
6. Lapisan lambung. Jumlahnya sedikit memecah lemak menjadi asam lemak
yang merangsang sekresi getah lambung. Ekresi getah lambung mulai
terjadi pada awal orang makan. bila melihat makanan dan mencium bau
makanan maka sekresi lambung akan terangsang. Rasa makanan
merangsang sekresi lambung karena kerja saraf sehingga menimbulkan
rangsangan kimiawi yang nienyebabkan dinding lambung melepaskan
hormon yang disebut sekresi getah lambung. Getah lambung dihalangi o
leh sistem saraf simpatis yang dapat terjadi pada waktu gangguan emosi
seperti marah dan rasa takut.

2. USUS HALUS / INTESTINUM MINOR


Intestinum minor adalah bagian dari Sistem Pencernaan Makanan yang
berpangkal pada pilorus dan berakhir pada seikum panjangnya sekitar 6 m,
merupakan saluran paling panjang tempat proses pencernaan dan absorpsi hasil
pencernaan yang terdiri dari:
Lapisan usus halus; mukosa (sebelah dalam). Lapisan melingkar ( M.
sirkuler), lapisan otot memanjang (M. longitudinal) dan lapisan serosa (sebelah
luar) Duodenum. Disebut juga usus 12 jari, panjangnya sekitar 25cm berbentuk
sepatu kuda melengkung kekiri, pada lengkungan ini terdapat pankreas. Dan
bagian kanan duodenum ini terdapat selaput lendir yang membukit disebut Papila
vateri. Pada papila vateri ini bermuara saluran empedu (duktus koledokus) dan
saluran pankreas (duktus wirsungi / duktus pankreatikus).
Empedu dibuat di hati, untuk dikeluarkan ke duodenum melalui duktus
koledokus yang fungsinya mengemulsikan lemak dengan bantuan lipase. Pankreas
juga menghasilkan amylase, yang berfungsi mencerna hidrat arang
menjadidisakarida, dan tripsin yang berfungsi mencerna protein menjadi asam
amino atau albumin dan polipeptika. Dinding duodenum mempunyai lapisan
mukosa yang banyak mengandung kelenjar, yang disebut kelenjar-kelenjar
brunner, berfungsi untuk memproduksi getah intestinum. Jejunum dan Ileum,
mempunyai panjang sekitar 6 m. Dua per lima bagian atas adalah jejunum dengan
panjang sekitar 2-3 m, dan ileum dengan panjang sekitar 4-5 m. Lekukan jejunum
dan ileum melekat pada dinding abdomen posterior dengan perantaraan lipatan
peritoneum yang berbentuk kipas dikenal sebagai mesenterium. Akar
mesenterium memungkinkan keluar masuknya cabang-cabang arteri dan vena
mesentrika superior, pembuluh limfe dan saraf ke ruang antara 2 lapisan
peritoneum yang membentuk mesenterium. Sambungan antara jejunum dan ileum
tidak mempunyai batas yang tegas. Ujung bawah ileum berhubungan dengan
seikum dengan perantaraan lubang yang bernama orifisium ileoselkalis. Orifisium
ini diperkuat oleh spinter ileoselkalis dan pada bagian ini terdapat katup valvula
seikalis atau valvula baukini, berfungsi untuk mencegah cairan dalam kolom
assendens tidak masuk kembali kedalam ileum. Mukosa usus halus.
Permukaan epitel yang sangat luas melalui lipatan mukosa dan mikrovili
memudahkan pencernaan dan absorpsi, lipatan ini dibentuk oleh mukosa dan sub
mukosa yang dapat memperbesar permukaan usus. Pada penampang melintang
vili dilapisi oleh epitel dan kripta yang menghasilkanbermacam-macam hormon
jaringan dan enzim yang memegang peranan aktif dalam pencernaan.Absorpsi
makanan yang sudah dicernakan seluruhnya berlangsung di dalam usus halus
melalui 2 (dua) saluran yaitu pembuluh kapiler dalam darah dan saluran limfe di
sebelah dalam permukaan vili usus. Sebuh vilus berisi lakteal, pembuluh darah
epitelium dan jaringan otot yang di ikat bersama oleh jaringan limfoid seluruhnya
diliputi membran dasar dan ditutupi oleh epitelium.
Fungsi usus halus, terdiri dari;
a. Menerima zat-zat rnakanan yang sudab dicerna untuk diserap melalui
kapiler-kapiler darah dan saluran-saluran limfe.
b. Menyerap protein dalam bentuk asam amino.
c. Karbohidrat diserap dalam bentuk emulsi, lemak.

Di dalam usus halus terdapat kelenjar yang menghasilkan getah usus yang
menyempurnakan makanan;
1. Enterokinase, mengaktifkan enzim proteolitik.
2. Eripsin, menyempurnakan pencernaan protein menjadi asam amino.
a. Laktase mengubah laktase menjadi monosakarida.
b. Maltosa mengubah maitosa menjadi monosakarida.
c. Sukrosa mengubah sukrosa menjadi monosakarida.

3. USUS BESAR / INTESTINUM MAYOR.


Panjangnya . l m,lebarnya 5 - 6cm.
Lapisan-lapisan usus besar dari dalam ke luar :
a. Selaput lendir.
b. Lapisan otot melingkar.
c. Laplsan otot memanjang.
d. Jaringan ikat.

Fungsi usus besar, terdiri dari:


a. Menyerap air dan makanan.
b. Tempat tinggal baktert koli.
c. Tempat feses.

2.3 Etiologi Trauma abdomen


1. Trauma abdomen
a. Trauma tembus yaitu trauma abdomen dengan penetrasi ke dalam
rongga peritoneum, dapat disebabkan oleh luka tusuk atau luka tembak.
Di RSCM trauma tembus mencapai 65%.
b. Trauma tumpul yaitu trauma abdomen tanpa penetrasi ke dalam rongga
peritoneum, dapat diakibatkan oleh pukulan, benturan, ledakan,
deselarasi, kompresi, atau sabuk pengaman. Lebih dari 50% disebabkan
oleh kecelakaan lalu lintas.
2. Aspirin, NSAID, dan steroid
Penggunaan aspirin merupakan factor resiko mayor kompikasi saluran
gastrointestinal atas. Penggunaan steroid pada terapi lymphoma
menyebabkan perforasi intestinal spontan. Perforasi intestinal ini terutama
terdapat pada pasien orang tua.
3. Faktor predisposisi: ulkus peptic, appendicitis akut, diverticulitis akut, dan
inflamasi divertikulum meckel.
4. Appendisitis akut. Perforasi terjadi pada bayi dan pada usia lanjut, selama
periode itu angka mortalitasnya paling tinggi. Kondisi ini masih
merupakan salah satu penyebab umum perforasi pada orang tua dengan
prognosis yang jelek.
5. Cedera usus yang berhubungan dengan endoskopi: cedera dapat terjadi
dengan ERCP dan kolonoskopi.
6. Komplikasi laparoskopi. Faktor predisposisi terhadap kondisi ini adalah
:obesitas, hamil, inflamasi usus akut atau kronis dan obstruksi usus.
7. Infeksi bakteri (misalnya typhoid) dapat mengakibatkan kompilikasi
perforasi intestinal pada 5% pasien.
8. Penyakit inflamasi usus
9. Sekunder akibat ischemia intestinal
10. Benda asing

2.4. Gejala klinik


Nyeri perut hebat yang makin meningkat dengan adanya pergerakan
diertai nausea, vomitus, pada keadaan lanjut disertai demam dan mengigil.
Perforasi gaster akan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang
mengalami perforasi akan tampak kesakitan hebat, seperti ditikam di perut. Nyeri
ini timbul mendadak, terutama dirasakan di daerah epigastrium karena rangsang
peritoneum oleh asam lambung, empedu dan/atau enzim pankreas. Cairan
lambung akan mengalir ke kelok parakolika kanan, menimbulkan nyeri perut
kanan bawah, kemudian menyebar ke seluruh perut menimbulkan nyeri seluruh
perut. Pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, fase ini disebut fase
peritonitis kimia. Adanya nyeri di bahu menunjukkan adanya rangsangan
peritoneum di permukaan bawah diafragma. Reaksi peritoneum berupa
pengenceran zat asam yang merangsang itu akan mengurangi keluhan untuk
sementara sampai kemudian terjadi peritonitis bakteria.
Rangsangan peritoneum menimbulkan nyeri tekan dan defans muskuler. Pekak
hati bisa hilang karena adanya udara bebas di bawah diafragma. Peristaltis usus
menurun sampai menghilang akibat kelumpuhan sementara usus. Bila telah terjadi
peritonitis bakteria, suhu badan penderita akan naik dan terjadi takikardia,
hipotensi, dan penderita tampak letargik karena syok toksik.
Rangsangan peritoneum menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang
menyebabkan pergeseran peritoneum dengan peritoneum. Nyeri subjektif
dirasakan waktu penderita bergerak, seperti berjalan, bernapas, menggerakkan
badan, batuk, dan mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri ketika digerakkan seperti
pada saat palpasi, tekanan dilepaskan, colok dubur, tes psoas, dan tes obturator.

2.5 Pemeriksaan fisik


Pemeriksaan pada area perut: periksa apakah ada tanda-tanda eksternal
seperti luka, abrasi, dan atau ekimosis. Amati pasien: lihat pola pernafasan dan
pergerakan perut saat bernafas, periksa adanya distensi dan perubahan warna kulit
abdomen. Pada perforasi ulkus peptikum pasien tidak mau bergerak, biasanya
dengan posisi flexi pada lutut, dan abdomen seperti papan.
Palapasi dengan halus, perhatikan ada tidaknya massa atau nyeri tekan.
Bila ditemukan tachycardi, febris, dan nyeri tekan seluruh abdomen
mengindikasikan suatu peritonitis. rasa kembung dan konsistens sperti adonan roti
mengindikasikan perdarahan intra abdominal. Nyeri perkusi mengindikasikan
adanya peradangan peritoneum.
Pada auskultasi : bila tidak ditemukan bising usus mengindikasikan suatu
peritonitis difusa. Pemeriksaan rektal dan bimanual vagina dan pelvis :
pemeriksaan ini dapat membantu menilai kondisi seperti appendicitis acuta,
abscess tuba ovarian yang ruptur dan divertikulitis acuta yang perforasi.

2.6 Pemeriksaan Penunjang


Sejalan dengan penemuan klinis, metode tambahan yang dapat dilakukan
adalah : foto polos abdomen pada posisi berdiri, ultrasonografi dengan vesika
urinaria penuh, CT-scan murni dan CT-scan dengan kontras. Jika temuan foto
Rontgen dan ultrasonografi tidak jelas, sebaiknya jangan ragu untuk
menggunakan CT-scan, dengan pertimbangan metode ini dapat mendeteksi cairan
dan jumlah udara yang sangat sedikit sekali pun yang tidak terdeteksi oleh metode
yang disebutkan sebelumnya.

1. Radiologi
Perforasi gastrointestinal adalah penyebab umum dari akut abdomen. Isi
yang keluar dari perforasi dapat mengandung udara, cairan lambung dan
duodenum, empedu, makanan, dan bakteri. Udara bebas atau pneumoperitoneum
terbentuk jika udara keluar dari sistem gastrointestinal. Hal ini terjadi setelah
perforasi lambung, bagian oral duodenum, dan usus besar. Pada kasus perforasi
usus kecil, yang dalam keadaan normal tidak mengandung udara, jumlah udara
yang sangat kecil dilepaskan. Udara bebas terjadi di rongga peritoneum 20 menit
setelah perforasi.
Manfaat penemuan dini dan pasti dari perforasi gaster sangat penting,
karena keadaan ini biasanya memerlukan intervensi bedah. Radiologis memiliki
peran nyata dalam menolong ahli bedah dalam memilih prosedur diagnostik dan
untuk memutuskan apakah pasien perlu dioperasi. Deteksi pneumoperitoneum
minimal pada pasien dengan nyeri akut abdomen karena perforasi gaster adalah
tugas diagnostik yang paling penting dalam status kegawatdaruratan abdomen.
Seorang dokter yang berpengalaman, dengan menggunakan teknik radiologi,
dapat mendeteksi jumlah udara sebanyak 1 ml. dalam melakukannya, ia
menggunakan teknik foto abdomen klasik dalam posisi berdiri dan posisi lateral
decubitus kiri.
Untuk melihat udara bebas dan membuat interpretasi radiologi dapat
dipercaya, kualitas film pajanan dan posisi yang benar sangat penting. Setiap
pasien harus mengambil posisi adekuat 10 menit sebelum pengambilan foto,
maka, pada saat pengambilan udara bebas dapat mencapai titik tertinggi di
abdomen. Banyak peneliti menunjukkan kehadiran udara bebas dapat terlihat pada
75-80% kasus. Udara bebas tampak pada posisi berdiri atau posisi decubitus
lateral kiri.
Pada kasus perforasi karena trauma, perforasi dapat tersembunyi dan tertutup oleh
kondisi bedah patologis lain. Posisi supine menunjukkan pneumoperitoneum pada
hanya 56% kasus. Sekitar 50% pasien menunjukkan kumpulan udara di abdomen
atas kanan, lainnya adalah subhepatika atau di ruang hepatorenal. Di sini dapat
terlihat gambaran oval kecil atau linear. Gambaran udara bentuk segitiga kecil
juga dapat tampak di antara lekukan usus. Meskipun, paling sering terlihat dalam
bentuk seperti kubah atau bentuk bulan setengah di bawah diafragma pada posisi
berdiri. Football sign menggambarkan adanya udara bebas di atas kumpulan
cairan di bagian tengah abdomen.

2. Ultrasonografi
Ultrasonografi adalah metode awal untuk kebanyakan kondisi akut
abdomen. Pemeriksaan ini berguna untuk mendeteksi cairan bebas dengan
berbagai densitas, yang pada kasus ini adalah sangat tidak homogen karena
terdapat kandungan lambung. Pemeriksaan ini khususnya berharga untuk
mendeteksi cairan bebas di pelvik kecil menggunakan teknik kandung kemih
penuh. Kebanyakan, ultrasonografi tidak dapat mendeteksi udara bebas.

3. CT scan
CT scan abdomen adalah metode yang jauh lebih sensitif untuk
mendeteksi udara setelah perforasi, bahkan jika udara tampak seperti gelembung
dan saat pada foto rontgen murni dinyatakan negatif. Oleh karena itu, CT scan
sangat efisien untuk deteksi dini perforasi gaster. Ketika melakukan pemeriksaan,
kita perlu menyetel jendelanya agar dapat membedakan antara lemak dengan
udara, karena keduanya tampak sebagai area hipodens dengan densitas negatif.
Jendela untuk parenkim paru adalah yang terbaik untuk mengatasi masalah ini.
Saat CT scan dilakukan dalam posisi supine, gelembung udara pada CT scan
terutama berlokasi di depan bagian abdomen. Kita dapat melihat gelembung udara
bergerak jika pasien setelah itu mengambil posisi decubitus kiri. CT scan juga
jauh lebih baik dalam mendeteksi kumpulan cairan di bursa omentalis dan
retroperitoneal. Walaupun sensitivitasnya tinggi, CT scan tidak selalu diperlukan
berkaitan dengan biaya yang tinggi dan efek radiasinya.
Jika kita menduga seseorang mengalami perforasi, dan udara bebas tidak
terlihat pada scan murni klasik, kita dapat menggunakan substansi kontras
nonionik untuk membuktikan keraguan kita. Salah satu caranya adalah dengan
menggunakan udara melalui pipa nasogastrik 10 menit sebelum scanning. Cara
kedua adalah dengan memberikan kontras yang dapat larut secara oral minimal
250 ml 5 menit sebelum scanning, yang membantu untuk menunjukkan kontras
tapi bukan udara. Komponen barium tidak dapat diberikan pada keadaan ini
karena mereka dapat menyebabkan pembentukkan granuloma dan adesi
peritoneum. Beberapa penulis menyatakan bahwa CT scan dapat memberi
ketepatan sampai 95%.

2.7. Prinsip penanganan perforasi


Intervensi bedah hampir selalu dibutuhkan dalam bentuk laparotomy
explorasi dan penutupan perforasi dengan pencucian pada rongga peritoneum
(evacuasi medis). Terapi konservatif di indikasikan pada kasus pasien yang non
toxic dan s ecara klinis keadaan umumnya stabil dan biasanya diberikan cairan
intravena, antibiotik, aspirasi NGT, dan dipuasakan pasiennya Antibiotik
spektrum luas harus dimulai dini. Terapi utama perforasi adalah dengan
pembedahan yang meliputi reseksi usus yang rusak, lalu diversi dan akhirnya
reanastomosis

Secara umum prinsip penanganan perforasi adalah:


1. Terapi utama perforasi adalah pembedahan. Untuk perawatan medis darurat
mencakup:
a. Pemasangan pipa lambung untuk dekompresi dan pengisapan cairan
lambung, mencegah kontaminasi lebih lanjut rongga peritoneum oleh
cairan lambung
b. Akses intravena dan terapi cairan kristaloid pada pasien dengan dehidrasi
dan septicemia
c. Tidak memberikan apapun lewat mulut
d. Pemberian antibiotic intravena pada pasien dengan gejala septicemia.
Antibiotik mencakup organisme aerob dan anaerob. Tujuan dari terapi
antibiotic adalah membasmi infeksi dan meminimalisir komplikasi post
operasi
e. Akan tetapi jika gejala dan tanda-tanda peritonitis general tidak ada, terapi
non operative dapat dilakukan dengan antibiotic terhadap bakteri gram
negative dan positif.
2. Terapi pembedahan: Tujuan dari terapi pembedahan adalah
a. Memperbaiki masalah dasar anatomi
b. Memperbaiki penyebab peritonitis
c. Mengeluarkan benda asing dikavitas peritoneum yang menghambat sel
darah putih dan memacu pertumbuhan bakteri. (feses, makanan, empedu,
sekresi gastic atau intestinal, darah)
3. Tindakan preoperatif
a. Mengkoreksi keseimbangan cairan dan elektrolit. Pergantian cairan
ekstraselular dengan pemberian Hartman solution atau cairan yang
komposisinya sama dengan plasma
b. Monitor tekanan vena sentral penting pada pasien kritis dan orang tua
yang mempunyai gangguan kardiovaskular yang dapat kambuh dengan
kehilangan banyak cairan
c. Pemberian antibiotik sistemik
d. Nasogastric suscion untuk mengosongkan pencernaan dan mengurangi
resiko muntah
e. Kateterisasi urin untuk menilai aliran urin dan pergantian cairan
f. Pemberian analgesik
4. Tindakan intraoperatif
Management operative tergantung penyebab perforasi. Melakukan operasi
mendesak pada pasien yang tidak respon dengan resulsitasi atau stabilisasi dan
pemeliharaan urin adekuat. Semua materi nekrosis dan cairan kontaminasi
disingkirkan dan diberikan antibiotik. Dekompresi distensi dengan tuba
nasogastric
5. Tindakan post operasi
a. Terapi intravena untuk memelihara volume intravaskular dan hidrasi
pasien . Memonitor dengan tekanan CVP dan urin
b. Drainase nasogastric sampai dengan drainase menjadi minimal
c. Antibiotika
d. Jika tidak ada perkembangan kondisi pasien 2-3 hari setelah operasi,
pertimbangkan hal-hal berikut:
1. Komplikasi terjadi
2. Super infeksi terjadi pada tempat baru
3. Dosis antibiotika tidak adekuat
4. Antibiotik tidak berspektrum luas tidak mencakup organisme gram
negatif
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perforasi gastrointestinal merupakan suatu bentuk penetrasi yang komplek
dari dinding lambung, usus halus, usus besar akibat dari bocornya isi dari usus ke
dalam rongga perut. Perforasi dari usus mengakibatkan secara potensial untuk
terjadinya kontaminasi bakteri dalam rongga perut ( keadaan ini dikenal dengan
istilah peritonitis). Perforasi pada saluran cerna sering disebabkan oleh penyakit-
penyakit seperti ulkus gaster, appendicitis, keganasan pada saluran cerna,
divertikulitis, sindroma arteri mesenterika superior, trauma. Penatalaksaan
tergantung penyakit yang mendasarinya. Intervensi bedah hampir selalu
dibutuhkan dalam bentuk laparotomy explorasi dan penutupan perforasi dengan
pencucian pada rongga peritoneum (evacuasi medis). Terapi konservatif di
indikasikan pada kasus pasien yang non toxic dan secara klinis keadaan umumnya
stabil dan biasanya diberikan cairan intravena, antibiotik, aspirasi NGT, dan
dipuasakan pasiennya
DAFTAR PUSTAKA

Pitono Soeparto, Reza Ranuh, 2011. Kegawatdaruratan Gastrointestinal. In M.


Juffrie, Sri Supar Yati Soenarto, Hanifah Oswari, Sjamsul Arief, Ina Rosalina,
Nenny Sri Mulyani. Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi Jilid 1. Badan
Penerbit IDAI 2011,
Pieter, John, editor : Sjamsuhidajat R. dan De JongBuku Ajar Ilmu Bedah, Edisi
2, EGC : Jakarta, 2004..
http://med.unhas.ac.id/kedokteran/wp-content/uploads/2016/10/Perforasi-GI.pdf (
diakses pada tanggal 9 maret 2017 )

Anda mungkin juga menyukai