Anda di halaman 1dari 14

OPTIMALISASI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA

KORUPSI SEBAGAI PENEGAKKAN HUKUM DI INDONESIA


Jade Aurora Kencana Putri, Erviana, Ananda Cindy, Silvia Divi, Fikri
Candra Permana, Musa Khonifan, Hafidz Fawaids
j.aurorakencana.jakp@gmail.com
UNIVERSITAS AIRLANGGA

Abstract
The criminal act of corruption in Indonesia is very apprehensive, because there are still many
corruption and nepotism corruption cases in various institutions or government institutions, even
corruption has become commonplace happened in various circles of office. This despicable act is
a violation of social rights and economic rights of the community, so that corruption is classified
as an extra-ordinary crime. Corruptors who are only concerned with interests and override the
interests of the people should be sanctioned as hard as a measure of corruption eradication that is
expected to provide a deterrent effect and prevent potential corruptors. Law enforcement must be
firmly implemented, consistent, fair and can provide legal certainty. Cooperation and government
efforts are required in combating corruption in Indonesia.
Keywords: Corruption, Corruptor, Law Enforcement, Eradication of Corruption.

Abstrak
Tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia sangat memprihatinkan, karena masih banyak
terjadi praktik-praktik korupsi kolusi dan nepotisme di berbagai lembaga atau isntitusi pemerintah,
bahkan korupsi sudah menjadi hal biasa yang terjadi di berbagai kalangan pemangku jabatan.
Perbuatan tercela ini merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi
masyarakat , sehingga tindak pidana korupsi digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra
ordinary crime). Para koruptor yang hanya mementingkan kepentingan dan mengesampingkan
kepentingan rakyat seharusnya diberi sanksi yang seberat-beratnya sebagai langkah pemberantasan
korupsi yang diharapkan dapat memberikan efek jera dan mencegah calon-calon koruptor.
Penegakkan hukum harus dilaksanakan secara tegas, konsisten, berkeadilan serta dapat
memberikan kepastian hukum. Diperlukan kerjasama dan upaya pemerintah dalam memberantas
korupsi yang menjamur di Indonesia.
Kata Kunci: Korupsi, Koruptor, Penegakkan Hukum, Pemberantasan Korupsi.

Pendahuluan
Korupsi sudah menjadi kata yang tidak asing lagi didengar, dilihat, dibaca,
bahkan dalam bentuk tertentu dianggap lazim ketika dilakukan. Praktik
penyuapan terjadi di semua level birokrasi pemerintahan, mulai dari level
terendah hingga level tertinggi. Di level birokrasi terendah dapat terlihat dari
praktik-praktik yang terjadi di kelurahan, misalnya ketika pembuatan surat-surat
resmi, seperti KTP dan sebagainya. Korupsi sangat merugikan bangsa dan dapat
menghambat pembangunan nasional. Tindak pidana korupsi telah dianggap
sebagai extraordinary crime atau kejahatan luar biasa.
Maraknya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan
membuat resah seluruh rakyat. Para wakil-wakil rakyat yang sudah terpilih dan
duduk di bangku pemerintahan seharusnya menyuarakan pendapat rakyat
bukannya menghabiskan uang negara demi kepentingan pribadinya.
Belakangan ini semakin sering terdengar kasus korupsi yang terjadi di
kalangan orang-orang pemangku jabatan pemerintah, banyak sekali walikota
bahkan gubernur yang tertangkap Operasi Tangkap Tangan. Bahkan yang lebih
membuat jengkel seluruh masyarakat adalah kasus korupsi E-KTP yang sampai
dengan saat ini masih panas diperbincangkan.
Rakyat memberikan komentar negatif bahkan mengumpat perilaku pelaku
tindak pidana korupsi, dan yang lebih membuat rakyat marah adalah para
tersangka membuat berbagai drama dan tidak menunjukkan rasa bersalahnya sama
sekali.
Tindak pidana korupsi terjadi berbagai lembaga baik eksekutif, legislatf
maupun yudikatif. Bangsa Indonesia data ini sedang mengalami darurat korupsi,
oleh karena itu upaya pemberantasan tindak pidana korupsi harus dijadikan fokus
utama dalam membangun negara tercinta. Berbagai upaya juga telah dilakukan
untuk mencegah dan memberantas tindakan korupsi yang ada didalam
masyarakat, termasuk didalam lembaga-lembaga peradilan ini. Pemberian sanksi
berupa hukuman yang diatur didalam Undang-Undang diharapkan dapat
mengurangi korupsi.
Pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia telah diatur daalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam undang-undang tersebut
terdapat sanksi pidana yang penerapannya dilakukan secara kumulatif.
Namun sanksi yang sudah ada dalam Undang-undang tidak membuat para
koruptor takut untuk melakukan tindakan tercela itu. Tantangan KPK akan
semakin besar, karena adanya kecenderungan semakin meningkatnya
persekongkokolan kejahata korupsi diantara oknum pemerintahan dan penegak
hukum tidak akan mudah ditengarai sebagai akibat dari model pemilihan umum
dan atau pemilihan pimpinan yang tidak terbebas dari praktek politik uang. Tanpa
dilakukan sinkronisasi dan penataan ulang, baik terkait dengan instrument hukum
maupun konsolidasi dengan institusi penegakan hukumnya terkaita kejahatan
korupsi , tampaknya harapan atas peran KPK dalam melakukan pemberantasan
korupsi di Indonesia tidak akan tercapai secara optimal.
Dalam menegakkan supremasi hukum, menjunjung tingi nilai-nilai etika dan
keadilan agar terwujudnya pembangunan nasional yang berkelanjutan maka upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia harus dioptimalisasi.
Kajian yang dilakukan disini secara khusus memusatkan perhatian pada
pengertian, dampak korupsi, upaya pemerintah dalam memberantas korupsi dan
peran KPK sebagai upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di
Indonesia, yang selanjutnya diharapkan dapat menjawab permasalahan mendasar
dalam tulisan ini, yakni bagaimana optimalisasi pemberantasan tindak pidana
korupsi sebagai penegakkan hukum di Indonesia.

Pengertian Korupsi

Kata korupsi berasal dari bahasa latin corruption atau corruptus , yang
selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal pula dari kata asal
corrumpere, suatu kata dalam Bahasa latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah
turun kebanyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu corruption, corrupt; Belanda,
yaitu corruptive (korruptie), dapat atau patut diduga bahwa istilah korupsi berasal
dari bahasa Belanda dan menjadi bahasa Indonesia, yaitu korupsi, yang
mengandung arti perbuatan korup, penyuapan. (Ermansjah Djaja, 2010 : 23)
Dalam The Lexion Webster Dictionary kata korupsi berarti : kebusukan,
keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral,
penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau
memfitnah. Definisi tentang korupsi dapat dipandang dari berbagai aspek,
bergantung pada disiplin ilmu yang dipergunakan sebagaimana dikemukakan oleh
Benveniste dalam Suyanto, korupsi didefinisikan menjadi 4 (empat) jenis, yaitu
sebagai berikut.
a. Discretionery corruption, ialah korupsi yang dilakukan karena adanya
kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun nampaknya bersifat sah,
bukanlah praktik-praktik yang dapat diterima oleh para anggota organisasi.
b. Illegal corruption, ialah suatu jenis tindakan yang bermaksud mengacaukan
bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan dan regulasi tertentu.
c. Mercenary corruption, ialah jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud untuk
memperoleh keuntungan pribadi, melalui penyalahgunaan wewenang dan
kekuasaan.
d. Ideological corruption, ialah jenis korupsi illegal maupun discretionery yang
dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok. (Ermansjah Djaja, 2010:22)
Bukan hanya di Indonesia saja, tetapi juga dibelahan dunia yang lain tindak
pidana korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih khusus dibandingkan
dengan tindak pidana lainnya.
Secara umum korupsi didefinisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan untuk
kepentingan pribadi. Korupsi dapat terjadi apabila ada monopoli kekuasaan di
tengah ketidakjelasan aturan dan kewenangan, akan tetapi tidak ada mekanisme
akuntabilitas atau pertanggungjawaban kepada publik (Robert, 2002). William
J.Chambliss, mengemukakan bahwa dalam korupsi terlibat banyak pihak yang
disebutnya sebagai cabal atau jejaring korupsi. Ia melihat bahwa korupsi
merupakan bagian integral dari setiap birokrasi yang bertemu dengan kepentingan
segelintir pengusaha, penegak hukum, dan politisi yang sulit dibongkar. Jejaring
korupsi itu melibatkan para elit di pusat kekuasaan: pucuk pimpinan eksekutif, elit
partai politik, petinggi lembaga peradilan dan kalangan bisnis. Korupsi
merupakan bagian dari sistem itu sendiri, oleh karena itu bukan pekerjaan mudah
untuk memberantas korupsi karena aparat penegak hukum sering berada pada
situasi yang dilematis. Korupsi bukanlah kejahatan di luar sistem, oleh karena itu
jejaring korupsi sangat sulit diterobos dari dalam karena kolusi antara pengusaha
dengan politisi dan aparat penegak hukum. Jejaring korupsi juga sulit diterobos
dari luar, karena aparat penegak hukum dapat menyediakan penjahat kelas teri
yang siap dikorbankan untuk melindungi pelaku sesungguhnya yang berada dalam
jejaring tersebut (William, 2002).

Paul Heywood (1977), mendefinisikan korupsi politik dengan penekanan


pada ruang publik sebagai corrupt activities which takeplace either wholly within
the public sphare or at interface between the public and private spare such as
when politicians or functianories use their privileged acces to resources (in
whatever form) illigetimately to benefit themselves or others. Dari batasan
tersebut korupsi politik dibatasi oleh kriteria pelaku, yaitu politisi. Termasuk
kategori politisi adalah pejabat publik, seperti pemimpin birokrasi, pemimpin
peradilan dan komandan polisi. Dengan demikian korupsi di sektor bisnis atau
korupsi keuangan (financial corruption) seperti manipulasi laporan keuangan,
manipulasi audit, tidak termasuk kategori korupsi politik. Kecuali aktivitas
korupsi tersebut melibatkan pejabat publik (Paul, 1977). Syed Husein Alatas
(1987), berdasarkan hasil penelitiannya di Asia, terutama di Malaysia dan
Indonesia mengemukakan tujuh kategori korupsi, yaitu: (1) Korupsi transaktif
yaitu uang yang menunjukkan adanya kesepakatan timbal balik antara pihak yang
memberi dan menerima keuntungan bersama. Kedua pihak samasama aktif dalam
menjalankan perbuatan tersebut; (2) Korupsi pemerasan yaitu jenis korupsi
dimana pihak pemberi dipaksa untuk menyuap demi mencegah kerugian yang
mengancam dirinya, kepentingannya, atau orang-orang dan hal-hal yang
dihargainya. Korupsi yang dilakukan oleh Polisi lalu lintas termasuk jenis korupsi
pemerasan; (3) Korupsi investif yaitu pemberian barang atau jasa tanpa ada
pertalian langsung dengan keuntungan tertentu, selain keuntungan yang
diharapkan akan diperoleh pada masa mendatang. Bentuk korupsi seperti ini
dilakukan oleh yang memberi uang bulanan secara rutin kepada hakim.
Harapannya kelak ketika kasusnya masuk ke pengadilan, hakim yang telah
digajinya langsung menangani perkaranya; (4) Korupsi perkerabatan (nepotisme)
yaitu penunjukan secara tidak sah terhadap teman atau saudara untuk memegang
suatu jabatan, atau tindakan pengutamaan dalam segala bentuk yang bertentangan
dengan norma atau peraturan yang berlaku; (5) Korupsi defensif. Korupsi ini
dilakukan oleh korban korupsi pemerasan. Dengan demikian orang yang diperas
melakukan korupsi untuk menyelamatkan kepentingannya. Korupsi seperti ini
sering dilakukan oleh keluarga terdakwa yang tidak ingin terdakwa ditahan atau
diproses lebih lanjut; (6) Korupsi otogenik yaitu korupsi yang dilakukan oleh
seorang diri karena mempunyai kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari
sesuatu yang diketahuinya sendiri. Panitera pengadilan kerap melakukan korupsi
seperti ini dalam administrasi pendaftaran perkara. Ketidakjelasan tarif
pendaftaran membuatnya leluasa menentukan harga yang harus dibayar oleh
pengacara; (7) Korupsi dukungan yaitu dukungan terhadap korupsi yang ada atau
penciptaan suasana yang kondusif untuk dilakukaknnya korupsi. Korupsi ini
dilakukan oleh elit di lembaga peradilan yang tidak mempunyai kemauan politik
untuk menindak tegas bawahannya (Hussein, 1987). Fatwa Ulama Nahdlatul
Ulama (NU) pada Munas Alim Ulama dari kalangan NU di Asrama Haji Pondok
Gede, Agustus 2002 mengemukakan hal-hal sebagai berikut : (1) Dalam
pandangan syariat, korupsi merupakan penghianatan berat (ghulul) terhadap
amanat rakyat. Dilihat dari cara kerja dan dampaknya, korupsi dapat
dikategorikan sebagai pencurian (sariqah), perampokan (nahb); (2) Pengembalian
uang korupsi tidak menggugurkan hukuman. Karena tuntutan hukuman
merupakan hak Allah, sementara pengembalian uang korupsi ke negara
merupakan hak masyarakat (hak adamiy). Hukuman yang layak untuk koruptor
adalah potong tangan sampai dengan hukuman mati; (3) Money politics sebagai
pemberian (berupa uang atau benda lain) untuk mempengaruhi dan atau
menyelewengkan keputusan yang adil dan obyektif dalam pandangan syariat
merupakan suap (risywah) yang dilaknat Allah, baik yang memberi (rasyi), yang
menerima (murtasyi), maupun yang menjadi perantara (raaisyi) (Gatra, 2002).1

Dampak Korupsi
Korupsi tidak hanya berdampak terhadap satu aspek kehidupan saja.
Korupsi menimbulkan efek domino yang meluas terhadap eksistensi bangsa dan

1
M.Syamsudin, Korupsi dalam Perspektif Budaya Hukum (2007) journal UII, h.185-187
negara. Meluasnya praktik korupsi di suatu negara akan memperburuk kondisi
ekonomi bangsa, misalnya harga barang menjadi mahal dengan kualitas yang
buruk, akses rakyat terhadap pendidikan dan kesehatan menjadi sulit, keamanan
suatu negara terancam, kerusakan lingkungan hidup, dan citra pemerintahan yang
buruk di mata internasional sehingga menggoyahkan sendi-sendi kepercayaan
pemilik modal asing, krisis ekonomi yang berkepanjangan, dan negara pun
menjadi semakin terperosok dalam kemiskinan.2
Di samping kerugian material juga terjadi kerugian yang bersifat
immaterial, yaitu citra dan martabat bangsa kita di dunia internasional. Predikat
kita sebagai negara yang terkorup di kawasan Asia Tenggara merupakan citra
yang sangat memalukan. Tetapi anehnya para pemimpin di negeri ini masih adem
ayem, tebal muka dan tidak memiliki rasa malu sehingga membiarkan praktek
korupsi semakin menjadi-jadi.
Di samping kerugian material dan immaterial, korupsi juga membawa
dampak pada penciptaan ekonomi biaya tinggi. Karena korupsi menyebabkan
inefisiensi dan pemborosan dalam ekonomi. Uang pelicin, sogok/suap, pungutan
dan sejenisnya akan membebani komponen biaya produksi. Pemerintah yang
korup akan membebani sektor swasta dengan urusan-urusan yang luar biasa berat.
Ditunjukan oleh Jeremy Pope (2003) bahwa di Ukraina pada tahun 1994
perusahaan-perusahaan yang disurvai melaporkan bahwa mereka menghabiskan
rata-rata 28 % dari waktu kerja semata-mata untuk berurusan dengan pemerintah
dan pada tahun 1996 meningkat menjadi 37 %. Jika tidak ada langkah-langkah
dan tindakan nyata pemerintah dalam memberantas korupsi, maka upaya
pemerintah untuk menarik investor asing menanamkan investasinya di Indonesia
dengan melakukan kunjungan ke berbagai negara menghabiskan uang miliaran
rupiah hanya akan merupakan tindakan yang merugi.3
Praktek korupsi menyebabkan sumber daya alam di negeri ini semakin
tidak terkendali, eksploitasi secara besar-besaran tanpa memperhitungkan daya
dukung lingkungan menyebabkan merosotnya kondisi lingkungan hidup yang
2
Nur Hidayat, Dampak Masif Korupsi. Jurnal Pendidikan Anti Korupsi FTIP UB. 2013, h.1-20.
3
Bahrin, Dampak Korupsi Terhadap Kehancuran Negara dan Upaya Penanggulangannya.
Jurnal Pasca Sarjana IPB. 2004, h.1-8.
sangat parah bahkan di beberapa tempat sudah melebihi batas sehingga
menyebabkan terjadinya bencana ekologis yang berdampak pada lemahnya
kemampuan warga dalam memenuhi kebutuhan dasar. Eksploitasi tambang, hutan
tanpa prosedur dan proses yang benar banyak di izinkan tanpa melakukan amdal
dan persyaratan lain sebelumnya,semua ini di mungkinkan karena ada uang sogok
dan suap bagi pemberi izin. Hasilnya juga tidak masuk ke kas negara karena
sudah di gunakan untuk membayar "jatah" oknum-oknum pejabat.

Upaya Pemerintah Dalam Menanggulangi Korupsi

Perilaku korupsi akhir-akhir ini makin marak dipublikasikan di media


massa maupun maupun media cetak. Tindak korupsi ini mayoritas dilakukan oleh
para pejabat tinggi negara yang sesungguhnya dipercaya oleh masyarakat luas
untuk memajukan kesejahteraan rakyat sekarang malah merugikan negara. Hal ini
tentu saja sangat memprihatinkan bagi kelangsungan hidup rakyat yang dipimpin
oleh para pejabat yang terbukti melakukan tindak korupsi.

Berbagai model korupsi terjadi dalam semua tingkatan pemerintahan,


tidak hanya di pusat tetapi juga di daerah-daerah. Bahkan, sejak diberlakukannya
otonomi daerah berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah di tahun 2001 telah terjadi kecenderungan korupsi di Pemerintahan
Daerah yang semakin meningkat dengan tajam (Rinaldi, Purnomo, dan
Damayanti, 2007).4

Korupsi di Indonesia sudah ada sejak era order lama. Dan berbagai upaya
dilakukan termasuk upaya pemerintahan dalam memberantas korupsi ini. Upaya
pemerintahan dalam memberantas korupsi saat era orde lama dan orde baru

4
Teguh Kurniawan, Peranan Akuntabilitas Publik dan Partisipasi
Masyarakat dalam Pemberantasan Korupsi di Pemerintahan (2009) 16
Journal UI. [116]
dengan membentuk lembaga-lembaga pelaksana pemberantasan tindak pidana
korupsi. Contoh lembaga yang dibentuk saat orde lama yaitu, Panitia Retooling
Aparatur Negara (PARAN);Operasi Budhi, dan lain-lain. Sedangkan lembaga
yang dibentuk pemerintahan saat orde baru yaitu, Tim Pemberantas Korupsi
(TPK), Komite Empat, dan lain-lain. Pada era reformasi, pemerintah
mengembangkan lagi upayanya dalam menangani korupsi ini. Seperti
mengeluarkan peraturan perundang-undangan antikorupsi, membuat lemabaga
pemberantasan korupsi, dan memasyarakatkan kesadaran anti korupsi.

Partisipasi dan dukungan dari masyarakat sangat dibutuhkan dalam


mengawali upaya-upaya pemerintah melalui KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi) dan aparat hukum lain. KPK yang ditetapkan melalui Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
untuk mengatasi, menanggulangi, dan memberantas korupsi, merupakan komisi
independen yang diharapkan mampu menjadi martil bagi para pelaku tindak
KKN.

Adapun agenda KPK adalah sebagai berikut :

i. Membangun kultur yang mendukung pemberantasan korupsi.


ii. Mendorong pemerintah melakukan reformasi public sector dengan
mewujudkangood governance.
iii. Membangun kepercayaan masyarakat.
iv. Mewujudkan keberhasilan penindakan terhadap pelaku korupsi besar.
v. Memacu aparat hukum lain untuk memberantas korupsi.

Terkait dengan upaya pemberantasan korupsi yang telah dilakukan di


Indonesia, dapat dilihat bahwa upaya yang dilakukan masih cenderung parsial dan
tidak memiliki desain strategi yang jelas sehingga dalam banyak hal tidak mampu
mengurangi secara signifikan tingkat korupsi yang terjadi. Terdapat setidaknya
dua kemungkinan dari gagalnya suatu program anti-korupsi dalam mencapai
tujuannya, yaitu akibat kesalahan dalam mendesain program anti-korupsi yang
tidak mempertimbangkan semua faktor yang berpengaruh serta akibat diagnosa
yang salah terhadap permasalahan korupsi yang dihadapi (Mahmood, 2005).

Robert Klitgaard dan kawan-kawan melalui buku Penuntun


Pemberantasan Korupsi mencoba menunjukkan sejumlah kisah sukses
pemberantasan korupsi di beberapa tempat di berbagai negara seperti Hongkong.
Dari pengalaman mereka ini, ada tiga hal kunci:

Pertama, harus ada pemimpin yang mempunyai keinginan kuat untuk membasmi
korupsi. Kalau tidak ada pemimpin di tingkat nasional, paling tidak pemimpin di
tingkat daerah atau pimpinan suatu departemen pemerintah.

Kedua, pemberantasan korupsi harus dimulai dari apa yang paling mudah
dilakukan bukan apa yang harus diprioritaskan, supaya ada keberhasilan yang bisa
segera diperlihatkan untuk meneguhkan kepercayaan dalam melembagakan
gerakan pemberantasan korupsi yang lebh luas,

Ketiga, perang melawan korupsi harus menjadi bagian dari perbaikan yang lebih
luas, bagian dari upaya untuk membenahi administrasi pemerintah, menjadi alat
untuk meningkatkan mutu pelayanan umum dan untuk meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik.

Dalam hal ini, pemberantasan korupsi tidak menekankan pada upaya


pendekatan hukum, menyeret orang-orang ke meja hijau, lebih banyak dibangun
lembaga kontrol, lebih banyak undang-undang, tetapi lebih menekankan pada
pencegahan dengan fokus pada reformasi sitem yang rentan bagi terjadinya
penyimpangan. 5

Peran KPK Dalam Memberantas Tindak Pidana Korupsi

Kedudukan KPK di dalam ketatanegaraan Indonesia merupakan suatu


Lembaga Negara yang dibuat untuk membantu dalam upaya pemberantasan
korupsi di Indonesia yang semakin merajalela.KPK bukan termasuk dalam

5
Robert Klitgaard,[et.,al.], Penuntun Pemberantasan Korupsi (Yayasan Obor
Indonesia 2002).[xix].
eksekutif/pemerintah,legislative/dewan rakyat, dan yudisial/peradilan.Alasan
KPK tidak termasuk dalam kedudukan tersebut agar KPK bebas dari kepentingan-
kepentingan politis dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. KPK dalam
menjalankan salah satu tugasnya yaitu melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan terhadap tindak pidana korupsi telah menangkap beberapa
tokoh/pejabat dari eksekutif, legislatif maupun yudisial.

Contohnya KPK menangkap Andi Malarangeng bekas Menteri Pemuda


dan Olahraga (eksekutif) yang menjadi terdakwa kasus korupsi proyek
Hambalang yang kemudian di vonis empat tahun penjara oleh Majelis Hakim
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.6

KPK juga menangkap kalangan legislative misalnya Lutfi Hasan yang saat itu
selaku anggota DPR. Mahkamah Agung kemudian menjatuhkan pidana kepada
terdakwa lutfi hasan selama 18 (delapan belas) tahun Denda Rp 1 miliar kalau
tidak dibayar dijatuhi pidana kurungan selama 6 bulan dan Mencabut hak untuk
dipilih dalam jabatan publik.7

Peran KPK tidak hanya menindak koruptor di dalam negeri,tetapi juga


membantu Negara internasional untuk memerangi korupsi.Peran KPK dalam
pemberantasan penuapan pejabat asing atau orang asing dalam bentuk
mengungkapkan kasus yang ada di negaranya.

Memang KPK tidak di desain untuk menegakkan hukum korupsi di semua


lini.Karena itu seharusnya pilihan dalam membidik sebuah kasus korupsi harus
didasarkan pada pertimbangan strateginya.Terutama pada titik di mana kejaksaan
dan kepolisian memiliki hambatan politik untuk menanganinya.Jika KPK
menangani perkara korupsi yang sederajat dengan kualitas perkara milik

6
Anonim, Tempo, Terbukti Korupsi Andi Divonis 4 Tahun Penjara , diakses pada tanggal
23 November 2017.
7
Anonim, News Liputan 6. MA Perberat Vonis LHI : 18 Tahun Penjara dan Hak Politik
dicabut, diakses pada tanggal 23 November 2017.
kejaksaan dan kepolisian,hal ini justru hanya akan menimbulkan naiknya ongkos
dalam memberantas korupsi.

Supaya KPK dapat terfokus pada kasus-kasus korupsi yang memiliki


spectrum politik besar,sekaligus memiliki dampak terhadap perbaikan ekonomi
dan pelayanan public,mekanisme supervise dan koordinasi harus
dioptimalkan.Mengingat banyak kasus korupsi birokratis yang ditangani yang
ditangani kejaksaan dalm kepolisian mengalami kemacetan.KPK harus
mengawasi secara serius proses penegakan hukumnya.Dengan kewenangan itu
diharapkan penanganan kasus-kasus korupsi birokrasi yang selama ini menjadi
tanggung jawab kejaksaan dan kepolisian menjadi lebih efisien dan tidak koruptif.

Selama ini tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat penambahan jumlah


kasus yang ditangani kejaksaan dan kepolisian setelah mekanisme supervisi dan
koordinasi dilakukan KPK.Tapi hal tersebut tidak mengurangi praktek korupsi
dalam penanganan kasus korupsi.Karena itu,untuk mendorong proses penegakan
hukum pada tingkat kejaksaan dan kepolisian ,KPK seharusnya memulai upaya
pemberantasan korupsi dengan melakukan pembersihan pada aparat penegak
hukum.Upaya membersihkan kejaksaan dan kepolisian akan sangat membantu
KPK dalam menangani perkara-perkara korupsi yang sedemikian banyak.

Sayangnya,hingga menjelang berakhirnya masa tugas kepemimpinan KP


periode 2003-2007,belum ada satu aparat penegak hukum yang diproses,kecuali
Suparman selaku penyidik KPK.Mustahil mendorong program pemberantasan
korupsi di kejaksaan dan kepolisian,jika upaya-upaya pembersihan tidak segera
dilakukan.Demikian juga dalam lingkup pengadilan yang seharusnya menjadi
prioritas mengingat semua proses hukum akan bermuara di tangan para hakim.

Untuk kedepannya,pemimpin KPK yang terpilih harus benar-benar


memiliki perspektif yang kuat sehingga dapat melihat secara lebih tajam persoalan
mendasar dari merajalelanya korupsi.

Dalam pelanksanaannya KPK yang memiliki kewenangan penuh untuk


mengungkap dan menyelidiki kasus tindak pidana korupsi.Tidak dapat kita
pungkiri dengan kewenangan tersebut ,KPK menjadi mimpi buruk bagi para
pejabat dan elit politik yang korupsi.Karena KPK dapat menangkap para pelaku
korupsi yang telah di curigai kapanpun dan dimanapun

Kesimpulan
Dari teori yang telah kami sajikan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
Korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaaan)
dan sebagainya untuk keuntungan pribadi atau orang lain serta selalu mengandung
unsur penyelewengan ataudishonest (ketidakjujuran). Korupsi di Indonsia
dimulai sejak era Orde Lama sekitar tahun 1960-an bahkan sangat mungkin pada
tahun-tahun sebelumnya. Korupsi di Indonesia semakin banyak sejak akhir 1997
saat negara mengalami krisis politik, sosial, kepemim-pinan dan kepercayaan
yang pada akhirnya menjadi krisis multidimensi.Rakyat kecil umumnya bersikap
apatis dan acuh tak acuh. Kelompok mahasiswa sering menanggapi permasalahan
korupsi dengan emosi dan demonstrasi. Fenomena umum yang biasanya terjadi di
Indonesia ialah selalu muncul kelompok sosial baru yang ingin berpolitik, namun
sebenarnya banyak di antara mereka yang tidak mampu. Mereka hanya ingin
memuaskan ambisi dan kepentingan pribadinya dengan dalih kepentingan
rakyat. Kemudian peran serta pemerintah dalam pemberantasan korupsi
ditunjukkan dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan aparat hukum
lain. KPK yang ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk mengatasi,
menanggulangi dan memberantas korupsi. Upaya yang dapat ditempuh dalam
memberantas tindak korupsi di Indonesia, antara lain: upaya pencegahan
(preventif), upaya penindakan (kuratif), upaya edukasi masyarakat/mahasiswa dan
upaya edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat).

Daftar Bacaan
Jurnal
Nur Hidayat, Dampak Masif Korupsi (2013) Jurnal Pendidikan Anti Korupsi
FTIP UB.
Bahrin, Dampak Korupsi Terhadap Kehancuran Negara dan Upaya
Penanggulangannya (2004) Jurnal Pasca Sarjana IPB.
Teguh Kurniawan, Peranan Akuntabilitas Publik dan Partisipasi Masyarakat
dalam Pemberantasn Korupsi di Pemerintahan (2009) 16 Journal UI.
Laman
Anonim, MA Perberat Vonis LHI : 18 Tahun Penjara dan Hak Politik Dicabut
(News Liputan 6) accessed 23 November 2017.
Anonim, Terbukti Korupsi Andi Divonis 4 Tahun Penjara (Tempo) accessed 23
November 2017.
Robert Klitgaard, Penuntun Pemberantasan Korupsi di Pemerintahan (Yayasan
Obor Indonesia, 2002) accessed 23 November 2017.

Anda mungkin juga menyukai