Anda di halaman 1dari 56

MAKALAH SISTEM ENDOKRIN

Fasilitator :
Ns. Christina Yuliastuti, M.Kep

PRODI S1 KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH
SURABAYA
2016/2017
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN CHOLELITIASIS
(BATU EMPEDU)

Nama Kelompok :

1. Difta Nadila S (151.0010)


2. Dwi Rizqi Putri (151.0011)
3. Qiftia Fatmatuz (151.0042)
4. Ratna Sari H (151.0044)
5. Ririn Prastia A (151.0045)
6. Riska Utama (151.0047)

PRODI S1 KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH
SURABAYA
2016/2017
KATA PENGANTAR

Segala Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan

hidayahNya pada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang

berjudul AsuhanKeperawatan Pada Pasien Cholelitiasis dapat selesai sesuai

waktu yang ditentukan.

Makalah ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas mata

system endokrin. Makalah ini disusun dengan memanfaatkan berbagai literature

serta mendapatkan banyak pengarahan dan bantuan dari berbagai pihak, penulis

menyadari tentang segala keterbatasan kemampuan dan pemanfaatan literatur,

sehingga makalah ini dibuat dengan sangat sederhana baik dari sistematika

maupun isinya jauh dari sempurna.

Dalam kesempatan kali ini, perkenankanlah penulis menyampaikan rasa

terimakasih, rasa hormat dan penghargaan kepada :

1. Kolonel Laut (K/W) Wiwiek Liestyaningrum, M.Kep. selaku Ketua Stikes

Hang Tuah Surabaya yang telah memberikan kesempatan kami untuk

menempuh Pendidikan di STIKES Hang Tuah Surabaya.

2. Ns.Christina Yuliastuti, M.Kes. selaku Penanggung Jawab Mata Kuliah

Sistem Endokrin STIKES Hang Tuah Surabaya.

3. Ns.Christina Yuliastuti, M.Kes. selaku Dosen Pengajar Mata Kuliah Sistem

Endokrin.

4. Teman-teman dan semua pihak yang telah memberikan kelancaran dalam

penyusunan makalah ini yang tidak dapat penulis sebut satu persatu.

i
Semoga budi baik yang telah diberikan kepada penulis mendapatkan balasan

rahmat dari Allah Yang Maha Pemurah. Akhirnya penulis berharap bahwa

makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin Ya Rabbal Alamin.

Surabaya, 11 April 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................................. iii
BAB 1. PENDAHULUAN ............................................................................ 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 2
1.3 Tujuan ....................................................................................................... 2
1.3.1 Tujuan Umum ........................................................................................ 2
1.3.2 Tujuan Khusus ....................................................................................... 2
1.4 Manfaat ..................................................................................................... 3

BAB 2. LAPORAN PENDAHULUAN ........................................................ 3


2.1 Anatomi Fisiologi Cholelitiasis ................................................................. 4
2.2 Konsep Medis ............................................................................................ 5
2.2.1 Definisi ................................................................................................... 5
2.2.2 Etiologi ................................................................................................... 6
2.2.3 Klasifikasi ............................................................................................... 7
2.2.4 Manifestasi .............................................................................................. 9
2.2.5 Patofisiologis ........................................................................................... 10
2.2.6 Pemeriksaan diagnostik........................................................................... 12
2.2.7 Penatalaksanaan ...................................................................................... 14
2.2.8 Komplikasi .............................................................................................. 19
2.2.9 Prognosis ................................................................................................. 20
2.2.10 WOC Cholelitiasis ................................................................................ 21
2.3 Asuhan Keperawatan Sesuai Teori ............................................................ 22

BAB 3. TINJAUAN KASUS ......................................................................... 34


3.1 Kasus Semu ............................................................................................... 34
3.2 Aplikasi .................................................................................................... 35
3.2.1 Pengkajian .............................................................................................. 35
3.2.2 Diagnosa ................................................................................................. 43
3.2.3 Intervensi ................................................................................................ 45
3.2.4 Implementasi .......................................................................................... 46
3.2.5 Evaluasi .................................................................................................. 48

BAB 4. PENUTUP ......................................................................................... 50


4.1 Kesimpulan ............................................................................................... 50
4.2 Saran .......................................................................................................... 50

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit batu empedu sudah merupakan masalah kesehatan yang penting di

negara barat sedangkan di Indonesia baru mendapatkan perhatian di klinis,

sementara publikasi penelitian batu empedu masih terbatas. Sekitar 5,5 juta

penderita batu empedu ada di Inggris dan 50.000 kolesistektomi dilakukan setiap

tahunnya. Kasus batu empedu sering ditemukan di Amerika, yaitu pada 10 sampai

20% penduduk dewasa. Setiap tahun beberapa ratus ribu penderita ini menjalani

pembedahan. Dua per tiga dari batu empedu adalah asimptomatis dimana pasien

tidak mempunyai keluhan dan yang berkembang menjadi nyeri kolik tahunan

hanya 1-4%. Sementara pasien dengan gejala simtomatik batu empedu

mengalami komplikasi 12% dan 50% mengalami nyeri kolik pada episode

selanjutnya.

Risiko penderita batu empedu untuk mengalami gejala dan komplikasi relatif

kecil. Walaupun demikian, sekali batu empedu menimbulkan masalah serangan

nyeri kolik yang spesifik maka resiko untuk mengalami masalah dan penyulit

akan terus meningkat. Insiden batu kandung empedu di Indonesia belum diketahui

dengan pasti, karena belum ada penelitian. Banyak penderita batu kandung

empedu tanpa gejala dan ditemukan secara kebetulan pada waktu dilakukan foto

polos abdomen, USG, atau saat operasi untuk tujuan yang lain .

Batu empedu umumnya ditemukan di dalam kandung empedu, tetapi batu

tersebut dapat bermigrasi melalui duktus sistikus ke dalam saluran empedu

menjadi batu saluran empedu dan disebut sebagai batu saluran empedu sekunder.

1
Pada beberapa keadaan, batu saluran empedu dapat terbentuk primer di dalam

saluran empedu intra-atau ekstra-hepatik tanpa melibatkan kandung empedu.

Batu saluran empedu primer lebih banyak ditemukan pada pasien di wilayah Asia

dibandingkan dengan pasien di negara Barat. Perjalanan batu saluran empedu

sekunder belum jelas benar, tetapi komplikasi akan lebih sering dan berat

dibandingkan batu kandung empedu asimtomatik. Pada sekitar 80% dari kasus,

kolesterol merupakan komponen terbesar dari batu empedu. Biasanya batu - batu

ini juga mengandung kalsium karbonat, fosfat atau bilirubinat, tetapi jarang batu-

batu ini murni dari satu komponen saja.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana konsep kolelitiasis?

2. Bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan kolelitiasis?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

1. Menjelaskan konsep kolelitiasis.

2. Menjelaskan asuhan keperawatan pada klien dengan kolelitiasis.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Menjelaskan anatomi dan fisiologi kandung empedu.

2. Menjelaskan definisi kolelitiasis.

3. Menjelaskan klasifikasi batu empedu.

4. Menjelaskan etiologi kolelitiasis.

5. Menjelaskan manifestasi klinis kolelitiasis.

6. Menjelaskan patofisiologi kolelitiasis.

7. Menjelaskan pemeriksaan diagnostic kolelitiasis.

2
8. Menjelaskan penatalaksanaan kolelitiasis.

9. Menjelaskan komplikasi kolelitiasis.

10. Menjelaskan prognosis kolelitiasis.

11. Menjelaskan WOC kolelitiasis.

12. Menjelaskan asuhan keperawatan pada klien dengan kolelitiasis.

1.4 Manfaat

Menambah pengetahuan mahasiswa tentang konsep teori dan asuhan

keperawatan pada klien dengan kolelitiasis.

3
BAB 2

LAPORAN PENDAHULUAN

2.1 Anatomi dan Fisiologis

Kandung empedu merupakan kantong berbentuk seperti buah alpukat yang

terletak tepat dibawah lobus kanan hati. Empedu yang disekresi secara terus

menerus oleh hati masuk ke saluran empedu yang kecil di dalam hati. Saluran

empedu yang kecil-kecil tersebut bersatu membentuk dua saluran yang lebih besar

yang keluar dari permukaan bawah hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri,

yang akan bersatu membentuk duktus hepatikus komunis. Duktus hepatikus

komunis bergabung dengan duktus sistikus membentuk duktus koledokus. Pada

banyak orang, duktus koledokus bersatu dengan duktus pankreatikus membentuk

ampula Vateri sebelum bermuara ke usus halus. Bagian terminal dari kedua

saluran dan ampla dikelilingi oleh serabut otot sirkular, dikenal sebagai sfingter

Oddi.

Fungsi utama kandung empedu adalah menyimpan dan memekatkan empedu.

Kandung empedu mampu menyimpan sekitar 45 ml empedu yang dihasilkan hati.

Empedu yang dihasilkan hati tidak langsung masuk ke duodenum, akan tetapi

setelah melewati duktus hepatikus, empedu masuk ke duktus sistikus dan

disimpan di kandung empedu. Pembuluh limfe dan pembuluh darah

mengabsorbsi air dan garam-garam anorganik dalam kandung empedu sehingga

cairan empedu dalam kandung empedu akan lebih pekat 10 kali lipat daripada

cairan empedu hati. Secara berkala kandung empedu akan mengosongkan isinya

ke dalam duodenum melalui kontraksi simultan lapisan ototnya dan relaksasi

sfingter Oddi. Rangsang normal kontraksi dan pengosongan kandung empedu

4
adalah masuknya kimus asam dalam duodenum. Adanya lemak dalam makanan

merupakan rangsangan terkuat untuk menimbulkan kontraksi. Hormone CCK

juga memperantarai kontraksi.

Dua penyakit saluran empedu yang paling sering frekuensinya adalah

pembentukan batu (kolelitiasis) dan radang kronik penyertanya (kolesistitis). Dua

keadaan ini biasa timbul sendiri-sendiri, atau timbul bersamaan. (Sjamsuhidajat R,

2005)

2.2 Konsep Medis

2.2.1 Definisi
Kolelitiasis disebut juga batu empedu, gallstones, biliary calculus. Istilah

kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu.

Batu kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk

suatu material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung empedu. Batu Empedu

adalah timbunan kristal di dalam kandung empedu atau di dalam saluran empedu.

Batu yang ditemukan di dalam kandung empedu disebut kolelitiasis, sedangkan

batu di dalam saluran empedu disebut koledokolitiasis (Nucleus Precise

Newsletter, edisi 72, 2011).

Kolelitiasis adalah material atau kristal tidak berbentuk yang terbentuk

dalam kandung empedu. Komposisi dari kolelitiasis adalah campuran dari

kolesterol, pigmen empedu, kalsium dan matriks inorganik. Lebih dari 70% batu

saluran empedu adalah tipe batu pigmen, 15-20% tipe batu kolesterol dan sisanya

dengan komposisi yang tidak diketahui. Di negara-negara Barat, komponen utama

5
dari batu empedu adalah kolesterol, sehingga sebagian batu empedu mengandung

kolesterol lebih dari 80% (Majalah Kedokteran Indonesia, volum 57, 2007).

2.2.2 Etiologi

Empedu normal terdiri dari 70% garam empedu (terutama kolik dan asam

chenodeoxycholic), 22% fosfolipid (lesitin), 4% kolesterol, 3% protein dan 0,3%

bilirubin. Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna namun

yang paling penting adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh

perubahan susunan empedu, stasis empedu dan infeksi kandung empedu.

Sementara itu, komponen utama dari batu empedu adalah kolesterol yang

biasanya tetap berbentuk cairan. Jika cairan empedu menjadi jenuh karena

kolesterol, maka kolesterol bisa menjadi tidak larut dan membentuk endapan di

luar empedu.

Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini.

Namun, semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar

kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain :

1. Wanita (beresiko dua jadi lebih besar dibanding laki-laki)

2. Usia lebih dari 40 tahun.

3. Kegemukan (obesitas).

4. Faktor keturunan

5. Aktivitas fisik

6. Kehamilan (resiko meningkat pada kehamilan)

7. Hiperlipidemia

8. Diet tinggi lemak dan rendah serat

6
9. Pengosongan lambung yang memanjang

10. Nutrisi intravena jangka lama

11. Dismotilitas kandung empedu

12. Obat-obatan antihiperlipedmia (clofibrate)

13. Penyakit lain (seperti Fibrosis sistik, Diabetes mellitus, sirosis hati,

pankreatitis dan kanker kandung empedu) dan penyakit ileus

(kekurangan garam empedu)

14. Ras/etnik (Insidensinya tinggi pada Indian Amerika, diikuti oleh kulit

putih, baru orang Afrika).

2.2.3 Klasifikasi

Menurut Lesmana L, 2000 dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I

gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu di golongkankan

atas 3 (tiga) golongan:

1. Batu kolesterol

Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari

70% kolesterol. Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang

mengandung > 50% kolesterol). Untuk terbentuknya batu kolesterol

diperlukan 3 faktor utama :

a. Supersaturasi kolesterol

b. Hipomotilitas kandung empedu

c. Nukleasi/ pembentukan nidus cepat.

7
2. Batu pigmen

Batu pigmen merupakan 10% dari total jenis baru empedu yang

mengandung <20% kolesterol. Jenisnya antara lain:

a. Batu pigmen kalsium bilirubinat (pigmen coklat)

Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan

mengandung kalsium-bilirubinat sebagai komponen utama. Batu

pigmen cokelat terbentuk akibat adanya faktor stasis dan infeksi saluran

empedu. Stasis dapat disebabkan oleh adanya disfungsi sfingter Oddi,

striktur, operasi bilier, dan infeksi parasit. Bila terjadi infeksi saluran

empedu, khususnya E. Coli, kadar enzim B-glukoronidase yang berasal

dari bakteri akan dihidrolisasi menjadi bilirubin bebas dan asam

glukoronat. Kalsium mengikat bilirubin menjadi kalsium bilirubinat

yang tidak larut. Dari penelitian yang dilakukan didapatkan adanya

hubungan erat antara infeksi bakteri dan terbentuknya batu pigmen

cokelat. Umumnya batu pigmen cokelat ini terbentuk di saluran empedu

dalam empedu yang terinfeksi.

b. Batu pigmen hitam.

Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti

bubuk dan kaya akan sisa zat hitam yang tak terekstraksi. Batu pigmen

hitam adalah tipe batu yang banyak ditemukan pada pasien dengan

hemolisis kronik atau sirosis hati. Batu pigmen hitam ini terutama

terdiri dari derivat polymerized bilirubin. Potogenesis terbentuknya batu

8
ini belum jelas. Umumnya batu pigmen hitam terbentuk dalam kandung

empedu dengan empedu yang steril.

3. Batu campuran

Batu campuran antara kolesterol dan pigmen dimana mengandung 20-

50% kolesterol.

2.2.4 Manifestasi Klinis

Gejala klinik kolelitiasis bervariasi dari tanpa gejala hingga munculnya

gejala. Lebih dari 80% batu kandung empedu memperlihatkan gejala

asimptomatik. Gejala klinik yang timbul pada orang dewasa biasanya dijumpai

gejala dispepsia non spesifik, intoleransi makanan yang mengandung lemak, nyeri

epigastrium yang tidak jelas, tidak nyaman pada perut kanan atas. Gejala ini tidak

spesifik karena bisa terjadi pada orang dewasa dengan atau tanpa kolelitiasis.

Pada anak-anak, gejala klinis yang sering ditemui adalah adanya nyeri bilier

dan obstructive jaundice. Nyeri bilier yang khas pada penderita ini adalah kolik

bilier yang ditandai oleh gejala nyeri yang berat dalam waktu lebih dari 15 menit

sampai 5 jam. Lokasi nyeri di epigastrium, perut kanan atas menyebar sampai ke

punggung. Nyeri sering terjadi pada malam hari, kekambuhannya dalam waktu

yang tidak beraturan. Nyeri perut kanan atas yang berulang merupakan gambaran

penting adanya kolelitiasis. Umumnya nyeri terlokalisir di perut kanan atas,

namun nyeri mungkin juga terlokalisir di epigastrium. Nyeri pada kolelitiasis ini

biasanya menyebar ke bahu atas. Mekanisme nyeri diduga berhubungan dengan

adanya obstruksi dari duktus. Tekanan pada kandung empedu bertambah sebagai

9
usaha untuk melawan obstruksi, sehingga pada saat serangan, perut kanan atas

atau epigastrium biasanya dalam keadaan tegang.

Studi yang dilakukan oleh Kumar et al didapatkan gejala nyeri perut kanan

atas yang berulang dengan atau tanpa mual dan muntah mencapai 75% dari gejala

klinik yang timbul, sisanya meliputi nyeri perut kanan atas yang akut, jaundice,

failure to thrive, keluhan perut yang tidak nyaman. Hanya 10% dijumpai dengan

gejala asimptomatik. Mual dan muntah juga umum terjadi. Demam umum terjadi

pada anak dengan umur kurang dari 15 tahun. Nyeri episodik terjadi secara tidak

teratur dan beratnya serangan sangat bervariasi. Pada pemeriksaan fisik mungkin

tidak dijumpai kelainan. Pada sepertiga pasien terjadi inflamasi mendahului

nekrosis, kemudian diikuti perforasi atau empiema pada kandung empedu.

Lewatnya batu pada kandung empedu menyebabkan obstruksi kandung

empedu, kolangitis duktus dan pankreatitis. Manifestasi pertama gejala kolelitiasis

sering berupa kolesistitis akut dengan gejala demam, nyeri perut kanan atas yang

dapat menyebar sampai ke skapula dan sering disertai teraba masa pada lokasi

nyeri tersebut. Pada pemeriksaan fisik dijumpai nyeri tekan pada perut kanan atas

yang dapat menyebar sampai daerah epigastrium. Tanda khas (Murphys sign)

berupa napas yang terhenti sejenak akibat rasa nyeri yang timbul ketika dilakukan

palpasi dalam di daerah subkosta kanan.

2.2.5 Patofisiologi

Pembentukan batu empedu dibagi menjadi tiga tahap:

1. Pembentukan empedu yang supersaturasi

10
2. Nukleasi atau pembentukan inti batu, dan

3. Berkembang karena bertambahnya pengendapan.

Kelarutan kolesterol merupakan masalah yang terpenting dalam

pembentukan semua batu, kecuali batu pigmen. Supersaturasi empedu dengan

kolesterol terjadi bila perbandingan asam empedu dan fosfolipid (terutama lesitin)

dengan kolesterol turun di bawah harga tertentu. Secara normal kolesterol tidak

larut dalam media yang mengandung air. Empedu dipertahankan dalam bentuk

cair oleh pembentukan koloid yang mempunyai inti sentral kolesterol, dikelilingi

oleh mantel yang hidrofilik dari garam empedu dan lesitin. Jadi sekresi kolesterol

yang berlebihan, atau kadar asam empedu rendah, atau terjadi sekresi lesitin,

merupakan keadaan yang litogenik.

Pembentukan batu dimulai hanya bila terdapat suatu nidus atau inti

pengendapan kolesterol. Pada tingkat supersaturasi kolesterol, kristal kolesterol

keluar dari larutan membentuk suatu nidus, dan membentuk suatu pengendapan.

Pada tingkat saturasi yang lebih rendah, mungkin bakteri, fragmen parasit, epitel

sel yang lepas, atau partikel debris yang lain diperlukan untuk dipakai sebagai

benih pengkristalan. (Schwartz S 2000).

Batu pigmen terdiri dari garam kalsium dan salah satu dari keempat anion

ini : bilirubinat, karbonat, fosfat dan asam lemak. Pigmen (bilirubin) pada kondisi

normal akan terkonjugasi dalam empedu. Bilirubin terkonjugasi karena adanya

enzim glokuronil tranferase bila bilirubin tak terkonjugasi diakibatkan karena

kurang atau tidak adanya enzim glokuronil tranferase tersebut yang akan

mengakibatkan presipitasi/pengendapan dari bilirubin tersebut. Ini disebabkan

11
karena bilirubin tak terkonjugasi tidak larut dalam air tapi larut dalam

lemak.sehingga lama kelamaan terjadi pengendapan bilirubin tak terkonjugasi

yang bisa menyebabkan batu empedu tapi ini jarang terjadi.

Pigmen (bilirubin) tak terkonjugasi dalam empedu

Akibat berkurang atau tidak adanya enzim glokuronil tranferase

Presipitasi / pengendapan

Berbentuk batu empedu

Batu tersebut tidak dapat dilarutkan dan harus dikeluarkan dengan jalan operasi

2.2.6 Pemeriksaan Diagnostik

1. Radiologi

Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai

prosedur diagnostik pilihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan

cepat dan akurat, dan dapat digunakan pada penderita disfungsi hati dan

ikterus. Disamping itu, pemeriksaan USG tidak membuat pasien terpajan

radiasi inisasi. Prosedur ini akan memberikan hasil yang paling akurat jika

12
pasien sudah berpuasa pada malam harinya sehingga kandung empedunya

berada dalam keadan distensi. Penggunaan ultra sound berdasarkan pada

gelombang suara yang dipantulkan kembali. Pemeriksan USG dapat

mendeteksi kalkuli dalam kandung empedu atau duktus koleduktus yang

mengalami dilatasi.

2. Radiografi: Kolesistografi

Kolesistografi digunakan bila USG tidak tersedia atau bila hasil USG

meragukan. Kolangiografi oral dapat dilakukan untuk mendeteksi batu

empedu dan mengkaji kemampuan kandung empedu untuk melakukan

pengisian, memekatkan isinya, berkontraksi serta mengosongkan isinya.

Oral kolesistografi tidak digunakan bila pasien jaundice karena liver tidak

dapat menghantarkan media kontras ke kandung empedu yang mengalami

obstruksi. (Smeltzer dan Bare, 2002).

3. Sonogram

Sonogram dapat mendeteksi batu dan menentukan apakah dinding

kandung empedu telah menebal. (Williams 2003)

4. ERCP (Endoscopic Retrograde Colangiopancreatografi)

Pemeriksaan ini memungkinkan visualisasi struktur secara langsung

yang hanya dapat dilihat pada saat laparatomi. Pemeriksaan ini meliputi

insersi endoskop serat optik yang fleksibel ke dalam esofagus hingga

mencapai duodenum pars desendens. Sebuah kanula dimasukan ke dalam

13
duktus koleduktus serta duktus pankreatikus, kemudian bahan kontras

disuntikan ke dalam duktus tersebut untuk menentukan keberadaan batu di

duktus dan memungkinkan visualisassi serta evaluasi percabangan bilier.

(Smeltzer,SC dan Bare,BG 2002).

5. Pemeriksaan Laboratorium

a. Kenaikan serum kolesterol

b. Kenaikan fosfolipid

c. Penurunan ester kolesterol

d. Kenaikan protrombin serum time

e. Kenaikan bilirubin total, transaminase (Normal < 0,4 mg/dl)

f. Penurunan urobilirubin

g. Peningkatan sel darah putih: 12.000 - 15.000/iu (Normal : 5000 -

10.000/iu)

h. Peningkatan serum amilase, bila pankreas terlibat atau bila ada batu

di duktus utama (Normal: 17 - 115 unit/100ml).

2.2.7 Penatalaksanaan

Penanganan kolelitiasis dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan bedah

dan non bedah. Ada juga yang membagi berdasarkan ada tidaknya gejala yang

menyertai kolelitiasis, yaitu penatalaksanaan pada kolelitiasis simptomatik dan

kolelitiasis yang asimptomatik.

1. Penatalaksanaan Bedah

a. Kolesistektomi terbuka

14
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien

denga kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang

dapat terjadi adalah cedera duktus biliaris yang terjadi pada 0,2%

pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini kurang

dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah

kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.

b. Kolesistektomi laparaskopi

Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990

dan sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara

laparoskopi. 80-90% batu empedu di Inggris dibuang dengan cara ini

karena memperkecil resiko kematian dibanding operasi normal (0,1-

0,5% untuk operasi normal) dengan mengurangi komplikasi pada

jantung dan paru. Kandung empedu diangkat melalui selang yang

dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding perut.

Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa

adanya kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman,

banyak ahli bedah mulai melakukan prosedur ini pada pasien dengan

kolesistitis akut dan pasien dengan batu duktus koledokus. Secara

teoritis keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur konvensional

adalah dapat mengurangi perawatan di rumah sakit dan biaya yang

dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali bekerja, nyeri menurun dan

perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah keamanan

dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi seperti

15
cedera duktus biliaris yang mungkin dapat terjadi lebih sering selama

kolesistektomi laparoskopi.

2. Penatalaksanaan Non Bedah

a. Penatalaksanaan Pendukung dan Diet

Kurang lebih 80% dari pasien-pasien inflamasi akut kandung

empedu sembuh dengan istirahat, cairan infus, penghisapan nasogastrik,

analgesik dan antibiotik. Intervensi bedah harus ditunda sampai gejala

akut mereda dan evalusi yang lengkap dapat dilaksanakan, kecuali jika

kondisi pasien memburuk (Smeltzer,SC dan Bare,BG 2002).

Manajemen terapi :

1) Diet rendah lemak, tinggi kalori, tinggi protein

2) Pemasangan pipa lambung bila terjadi distensi perut.

3) Observasi keadaan umum dan pemeriksaan vital sign

4) Dipasang infus program cairan elektrolit dan glukosa untuk

mengatasi syok.

5) Pemberian antibiotik sistemik dan vitamin K (anti koagulopati)

b. Disolusi Medis

Oral Dissolution Therapy adalah cara penghancuran batu dengan

pemberian obat-obatan oral. Ursodeoxycholic acid lebih dipilih dalam

pengobatan daripada chenodeoxycholic karena efek samping yang lebih

16
banyak pada penggunaan chenodeoxycholic seperti terjadinya diare,

peningkatan aminotransfrase dan hiperkolesterolemia sedang

Pemberian obat-obatan ini dapat menghancurkan batu pada 60%

pasien dengan kolelitiasis, terutama batu yang kecil. Angka

kekambuhan mencapai lebih kurang 10%, terjadi dalam 3-5 tahun

setelah terapi. Disolusi medis sebelumnya harus memenuhi kriteria

terapi nonoperatif diantaranya batu kolesterol diameternya < 20 mm,

batu kurang dari 4 batu, fungsi kandung empedu baik dan duktus sistik

paten. Pada anak-anak terapi ini tidak dianjurkan, kecuali pada anak-

anak dengan risiko tinggi untuk menjalani operasi.

c. Disolusi Kontak

Terapi contact dissolution adalah suatu cara untuk menghancurkan

batu kolesterol dengan memasukan suatu cairan pelarut ke dalam

kandung empedu melalui kateter perkutaneus melalui hepar atau

alternatif lain melalui kateter nasobilier. Larutan yang dipakai adalah

methyl terbutyl eter. Larutan ini dimasukkan dengan suatu alat khusus

ke dalam kandung empedu dan biasanya mampu menghancurkan batu

kandung empedu dalam 24 jam.

Kelemahan teknik ini hanya mampu digunakan untuk kasus dengan

batu yang kolesterol yang radiolusen. Larutan yang digunakan dapat

menyebabkan iritasi mukosa, sedasi ringan dan adanya kekambuhan

terbentuknya kembali batu kandung empedu.

17
d. Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)

Prosedur non invasive ini menggunakan gelombang kejut berulang

(Repeated Shock Wave) yang diarahkan pada batu empedu didalam

kandung empedu atau duktus koledokus dengan maksud memecah batu

tersebut menjadi beberapa sejumlah fragmen. (Smeltzer,SC dan

Bare,BG 2002).

ESWL sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu.

Analisis biaya-manfaat pada saat ini memperlihatkan bahwa prosedur

ini hanya terbatas pada pasien yang telah benar-benar dipertimbangkan

untuk menjalani terapi ini.

e. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)

Pada ERCP, suatu endoskop dimasukkan melalui mulut,

kerongkongan, lambung dan ke dalam usus halus. Zat kontras

radioopak masuk ke dalam saluran empedu melalui sebuah selang di

dalam sfingter oddi. Pada sfingterotomi, otot sfingter dibuka agak lebar

sehingga batu empedu yang menyumbat saluran akan berpindah ke usus

halus. ERCP dan sfingterotomi telah berhasil dilakukan pada 90%

kasus. Kurang dari 4 dari setiap 1.000 penderita yang meninggal dan 3-

7% mengalami komplikasi, sehingga prosedur ini lebih aman

dibandingkan pembedahan perut. ERCP saja biasanya efektif dilakukan

pada penderita batu saluran empedu yang lebih tua, yang kandung

empedunya telah diangkat.

18
2.2.8 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita kolelitiasis :

1. Asimtomatik

2. Obstruksi duktus sistikus

3. Kolik bilier

4. Kolesistitis akut

5. Perikolesistitis

6. Peradangan pankreas (pankreatitis)

7. Perforasi

8. Kolesistitis kronis

9. Hidrop kandung empedu

10. Empiema kandung empedu

11. Fistel kolesistoenterik

12. Batu empedu sekunder (Pada 2-6% penderita, saluran menciut kembali

dan batu empedu muncul lagi)

13. Ileus batu empedu (gallstone ileus)

Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan

menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada dalam

kandung empedu terdorong dan dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat

menetap ataupun dapat terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus sistikus secara

menetap maka mungkin akan dapat terjadi mukokel, bila terjadi infeksi maka

mukokel dapat menjadi suatu empiema, biasanya kandung empedu dikelilingi dan

ditutupi oleh alat-alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga membentuk suatu

19
fistel kolesistoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat juga berakibat

terjadinya kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat mengakibatkan nekrosis

sebagian dinding (dapat ditutupi alat sekiatrnya) dan dapat membentuk suatu fistel

kolesistoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi kandung empedu yang berakibat

terjadinya peritonitis generalisata.

Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat

kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus

koledokus kemudian menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik.

Batu yang menyumbat di duktus koledokus juga berakibat terjadinya ikterus

obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis.

Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui

terbentuknya fistel kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat

menyumbat pada bagian tersempit saluran cerna (ileum terminal) dan

menimbulkan ileus obstruksi.

2.2.9 Prognosis

Untuk penderita dengan ukuran batu yang kecil, pemeriksaan serial USG

diperlukan untuk mengetahui perkembangan dari batu tersebut. Batu bisa

menghilang secara spontan. Untuk batu besar masih merupakan masalah, karena

merupakan risiko terbentuknya karsinoma kandung empedu (ukuran lebih dari 2

cm). Karena risiko tersebut, dianjurkan untuk mengambil batu tersebut. Pada anak

yang menderita penyakit hemolitik, pembentukan batu pigmen akan semakin

memburuk dengan bertambahnya umur penderita, dianjurkan untuk melakukan

kolesistektomi.

20
2.2.10 WOC Cholelitiasis

Cedera tulang belakang, puasa Kehamilan multipel Anemia hemolitik Bakteri (kolangitis
berkepanjangan, atau pemberian diet sirosis hepatis kolesistitis)
nutrisi total parenteral (TPN, Total
parental nutrition), dan penurunan Peningkatan kadar Penurunan
Bilirubin tak
berat badan yang behubungan dengan progesterone pembentukan misel
terkonjugasi
kalori dan pembatasan lemak
(misalnya diet, vagotomi, dan operasi Statis biller Kalsium palmitat
bypass lambung) ) Kalsium bilirubinat dan strearat
Penurunan
Penyakit Crohn Reseksi usus
garam empedu
Obesitas resistensi insulin, Batu pigmen
diabetes mellitus tipe II,
Batu kolesterol
hipertensi, dan hiperlipidemia

Peningkatan sekresi kolesterol batu empedu

Ikterus
Oklusi dan
obstruksi dari batu
Obstruksi duktus sistikus
Intervensi bedah, atau duktus biliaris
Intervensi litotripsi
Intervensi endoskopik Pola napas tidak efektif
Tekanan di duktus biliaris akan
Respons meningkat dan peningkatan
preoperatif Pasca operatif local saraf kontraksi peristaltik

Nyeri
Respons psikologis Port de antree Gangguan Respons
misinterpretasi perawatan pasabedah gastrointestinal sistematik
dan penatalaksanaan Kerusakan
pengobatan jaringan Mual, muntah Peningkatan
Resiko infeksi
pascabedah anoreksia suhu tubuh

Kecemasan Kelelahan, malaise,


pemakaian energy Intake nutrisi
pemenuhan
berlebihan pasca-nyeri dan cairan tidak Hipertermi
informasi
adekuat

Intoleransi aktivitas Ketidakseimbangan Penurunan Resiko


nutrisi kurang dari cairan ketidakseimbangan
kebutuhan tubuh cairan dan elektrolit

21
2.3 Asuhan Keperawatan Sesuai Teori
2.3.1 Pengkajian

a. Pengumpulan Data

Pada tahap ini merupakan kegiatan dalam menghimpun informasi dari

pasien yang meliputi unsure bio-psiko-spiritual yang komprehensif secara

lengkap dan relevan unuk mengenal pasien agar member arah kepada

indakan keperawatan.

1. Identitas

Nama psien, nama panggilan, jenis kelamin perempuan lebih

cenderung terkena cholelitiasis daripada laki-laki, agama, suku bangsa,

status, pendidikan, pekerjaan, bahasa yang digunakan. Umur insiden

cholelitiasis lebih sering terjadi setelah berusia 15 tahun.

2. Riwayat kesehatan

a. Keluhan utama

Pasien dengan post op cholelitiasis biasanya mengeluh nyeri

perut bagian sebelah kanan.

b. Riwayat penyakit sekarang

Kondisi nyeri ( P: biasanya nyeri bertambah ketika ada

penekanan pada abdomen, Q: seperti nyeri tusuk, R: abdomen

kuadran kann tas, S: tergantung respon pasien (0-10), T: biasanya

nyeri terjadi malam hari dengan waktu 30-60 menit, disertai riwayat

keluhan demam sampai menggigil dan disertai gangguan

gastrointestinal seperti sakit perut, mual dan muntah.

22
c. Riwayat penyait dahulu

Biasanya ada faktor predisposisi penyebav cholelitiasis. Perawat

mengkaji adanya kondisi obesitas, penyakit DM, hipertensi, dan

hiperlepidemia berhubungan dengan peningkatan sekresi kosterol

dan merupakan factor resiko utama pengembangan batu empedu.

d. Riwayat penyakit keluarga

Cholelitiasis memperlihatkan variasi genetic. Perwat perlu

mengkaji kondisi sakit dari generasi terdahulu. Karena beberapa

pasien cederung memiliki kondisi penyakit herediter.

e. Genogram

Genogram adalah suatu alat bantu berupa peta skemadari sisilah

keluarga pasien yang berguna bagi pemberi layanan kesehatan untuk

segera mendpatkan informasi tentang nama anggota keluarga psien,

kualitas hubungan antar anggota keluarga dan mencakup

biopsikososial pohon keluarga serta mencatat tentang iklus

kehidupan keluarga, riwayat sakit di dalam keluarga serta hubungan

antar anggota keluarga.

f. Riwayat alergi

Sehubungan dengan pasien cholelitiasis, perawat perlu mengkaji

adakah psien memiliki riwayat alergi makanan, maupun obat-obatan.

Sehingga perawat bisa mengetahui tindak lanjut dari penatlaksanaan

yang akan dilakukan.

23
3. Pemeriksaan fisik

Keadaan umum : baik

Kesadaran : composmentis

a. Vital sign

Tekanan darah : biasanya pasien cholelitiasis sebelumnya

menderita hipertensi menderita hipertensi ( > 140/90 mmHg )

Nadi : biasanya nadi pasien cholelitiasis tinggi 100 x/menit

Respirator : RR tinggi ( > 24 x/menit )

Suhu : karena adanya respon inflamasi suhu badan pasien tinggi

( >37,5c )

b. Kepala

Mata : kojungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (+/+)

Hidung : nafas cuping hidung (-), polip (-), perdarahan (-),

lender (-), sumbatan (-)

Mulut : mukosa kering, sianosis

c. Leher

Tampal simetris, pembesaran kelenjar tiroid (-)

d. Thorax

Inspeksi : retraksi (-), deformitas (-)

Palpasi : gerak nafas simetris

Perkusi : sonor

Auskultasi : bising (-)

e. Abdomen

Inspeksi : datar

24
Auskultasi : peristatik (+)

Perkusi : timpani kembung

Palpasi : nyeri tekan (+) region kuadran kanan atas

f. Ekstremitas

Superior : gerak aktif (+/+), gerak pasif (+/+), akral dingin,

turgor menurun

4. Pemeriksaan penunjang

Pada pengkajian pemeriksaan penunjang dengan cholelitiasis,

didapatkan batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya

menunjukkan kelainan pada pemeriksaan penenjang. Apabila dalam

pemeriksaan terjadi peradangan akut, dapat terjadi lekositos. Apabila

terjadi sindrom mirrizi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum

akibat penekanan duktus koledokus oleh batu. Kadar bilirubin serum

yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu didalam duktus koledokus.

Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amylase serum

biasanya meningkat sedang setiap kali terjadi serangan akut.

5. Penatalaksanaan

Tata laksana yang sesuai cholelitiasis bergantung pada gejalanya.

Jika bau empedu teridentifikasi sebagai temuan yang tidak disengaja dan

pasien asimtomatik, tidak perlu evaluasi atau rujukan lanjuan. Karena

tingkat perkembangan gejala yang rendah, kolesistektomi profilatik

jarang diindikasikan. Tata laksana kolik bilier harus meliputi hidrasi,

analgesic dan antimetik. Jika pasien dapat dibuat nyaman dan tampak

sehat, pemeriksaan yang luas tidak diperlukan. Ultrasonografi dan follow

25
up secara rawat jalan tepat dilakukan. Jika pasin tidak dapat dibuat

nyaman atau tidak dapat memaskkan cairan oral akibat mual atau

muntah, pasien perlu dirawat dirumah sakit. Pada pasien yang tampak

sakit tata laksana harus meliputi pemeriksaan laboratorium, pemriksaan

pencitraan yang sesuai dan pertimbangan untuk mendapatkan konsultasi

bedah atau gastroenterology dini. Jika pasien demam dan dicurigai

mengalami cholelitiasis akut, maka kultur darah dan antibiotic

diindikasikan. Terapi harus ditujuan langsung untuk mengatasi pathogen

bilier yang khas, termasuk bakteri gram-negatif enteric, spesiesgram-

positif dan bakteri anaerob pada orang usia lanjut (Ali,2009)

b. Analisa Data

Dari hasil pengkajian kemudian data tersebut dikelompokkan lalu

dianalisa sehingga dapat di taerik kesimpulan masalah yang timbul dan

untuk selanjutnya dapat dirumuskan diagnose keperawatan (Wang,2009)

c. Diagnosa Keperawatan

1. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan memulai

penghisapan gaster berlebihan, muntah, distensi, dan hipermotolitas

gaster.

2. Defisiensi pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan pengobatan

berhubungan dengan kurang kemampuan untuk mengingat, salah

interprestasi, tidak mengenalsumber informasi.

26
3. Nyeri akuta berhubungan dengan agen cedera biologis : obstruksi

atau spasme duktus, proses inflamasi, iskemia jaringan atau nekrosis

(kematian jaringan) .

4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan

dengan anoreksia,muntah dan gangguan pencernaan .

5. Resiko infeksi berhubungan dengan adanya port de antree luka pasca

bedah

6. Kecemasan berhubungan dengan prognosis penyakit,rencana

pembedahan

d. Perencanaan

1. Diagnosa Keperawatan 1

Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan

melalui penghisapan gaster berlebihan, muntah, distensi dan

hipermotilitas gaster.

Tujuan : pasien tidak ada tanda-tanda dehidrasi dan kebutuhan cairan

terpenuhi.

Kriteria hasil : pasien mempertahankan asupan cairan yang adekuat,

pasien menyatakan pemahaman tentang perlunya mempertahankan

asupan cairan yang adekuat, tidak ada tanda-tanda dehidrasi.

Intervensi :

1) pantau turgor kulit setiap giliran jaga dan catat penurunannya

R/ turgor kulit kering merupakan suatu tanda dehidrasi

27
2) periksa membran mukosa mulut setiap kali jika terjadi resiko

R/ membrane mukosa mulut yang kering dapat mengindikasikan

resiko defisit volume cairan

3) berikan dan pantau cairan parental sesuai anjuran

R/ untuk mengembalikan kehilangan cairan

2. Diagnosa Keperawatan 2

Defisiensi pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan pengobatan

berhubungan dengan kurang kemampuan untuk mengingat, salah

interprestasi, tidak mengenal sumber informasi.

Tujuan : diharapkan paasien memahami dan mengerti tentang informasi

diagnose yang dialami.

Kriteria Hasil : Pasien menyatakan atau mendemonstrasikan pemahaman

tentang apa yang telah diajarkan, pasien menyusun tujuan pembelajaran

yang relistis, pasien mengkomunikasikan semua keperluan yang

diketahui.

Intervensi :

1) Tumbuhkan sikap saling percaya dan perhatian untuk

meningkatkan pembelajaran.

R/ untuk meningkatkan pembelajaran dan tingkat pertumbuhan

pasien.

2) Pilih strategi pembelajaran (diskusi, demonstrasi, bermain peran)

untuk pembelajaran secara individual

R/ meningkat kefektifan pengajaran

28
3) Masukkan keterampilan yang dipelajari pasien ke dalam rutinitas

selama hospitalisasi.

R/ tindakan ini memungkinkan pasien mempraktikkan

ketrampilan baru dan dapat menerima umpan balik.

3. Diagnosa Keperawatan 3

Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis : obstruksi atau

spasme duktus, proses inflamasi, iskemia jaringan atau nekrosis

(kematian jaringan)

Tujuan : nyeri berkurang dalam waktu kurang 24 jam .

Kriteria hasil : pasien menyatkan nyeri berkurang, tidak takut melakukan

mobilisasi, pasien dapat beristirahat dengan cukup, skala nyeri sedang.

Intervensi :

1) Beri penjelasan pada pasien tentang sebab dan akibat nyeri.

R/ penjelasan yang benar membuat pasien mengerti sehingga

dapat diajak bekerja sama.

2) Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi

R/ dapat mengurangi ketegangan atauu mengalihkan perhatian

pasien agar dapat mengurangi rasa nyeri.

3) Bantu pasien menentukan posisi yang nyaman bagi pasien

R/ penderita sendiri yang merasakan posisi yang lebih nyaman

sehingga mengurangi rasa nyeri

29
4. Diagnosa Keperawatan 4

Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan

dengan anoreksia, muntah dan gangguan pencernaan.

Tujuan : di harapkan kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi dalam waktu 24

jam.

Kriteria hasil : pasien mampu menghabiskan makanan, terdapat minat

terhadap makanan, berat badan 20 % lebih di bawa berat berat badan

ideal untuk tinggi badan dan kerangka tubuh.

Intervensi :

1. Observasi dan catat asupan nutrisi pasien

R/ untuk mengkaji zat gizi yang dikonsumsi oleh pasien

2. Anjurkan pasien untuk makan sedikit tapi sering

R/ untuk meningkatkan energy pasien

3. Beri edukasi tentang pentingnya diit yang diberikan.

R/ agar pasien mematuhi diit yang diberikan.

5. Diagnose keperawatan 5

Resiko infeksi berhubungan dengan adanya port de entre luka pasca

bedah.

Tujuan : tidak terdapat infeksi pada perfusi jaringn dan tidak terjadi

adanya resiko pendarahan.

Kriteria Hasil : luka pasca bedah tertutup dengan kasa, wajah tampak

segar.

30
Intervensi :

1. Kaji ulang identitas pasien dan pemeriksaan diagnostik. Memeriksa

kembli riwayat kesehatan, hasil pemeriksaan fisik, dan berbagai

hasil pemeriksaan.

R/ mengkaji kembali riwayat kesehatan untuk mengetahui faktor

mempunyai risiko penurunan imunitas seperti pasien yang

memiliki riwayat hipertensi dan diabetes militus. Hasil

pemeriksaan darah albumin yang menentukan aktivitas agen-agen

obat dan pertumbuhan jaringan luka. Berbagai protease yang

masih bluk dilepas akan memberikan akses pajanan yang

terkontaminasi.

2. Lakukan penutupan luka pasca pembedahan

R/ penutupan luka bertujuan menurunkan resiko infeks. Perawat

memasang spons dan plester adhesive yang menutup seluruh luka

pasca bedah.

6. Diangosa Keperawatan 6

Kecemasan berhubungan dengan prognosis penyakit, rencana

pembedahan.

Tujuan : pasien dn kellluarga tidak lagi cemas dan mengerti tentang

prognosis penyakit yang di derita.

Kriteria Hasil : pasien mengatakan kecemasan berkurang, mengenal

perasaannnya dapat megidentifikasi penyebab atau faktor yang

mempengaruhinya, kooperati terhadap tindakan, dan wajah rileks.

31
Inervensi :

1. Bantu pasien mengekspresikan perasaan marah, kehilangan, dan

takut.

R/ cemas berkelanjutan memberikan dampak serangan jantung

selanjutnya

2. Beri kesempatan kepada pasien untuk mengungkapkan

ansietasnya.

R/ dapat menghilangkan ketegangan terhadap kekhawatiran yang

tidak diekpresikan.

3. Kolaborasi dalam pemberian anticemas sesuai indikasi,

contohnya diazepam.

R/ meningkatkan relaksasi dan menurunkan kecemasan.

e. Pelaksanaan

Pelaksanaan rencana keperawatan adalah kegiatan atau tindakan yang

diberikan kepada pasien sesuai dengan rencana keperawatan yang telah

ditetapkan tergantung pada situasi dan kondisi pasien.

1. Ajarkan pasien tentang manajemen nyeri, terapi diet, perawatan luka

insisi, pembatasan aktivitas dan perawatan kesehatan tindak lanjut.

2. Ingatkan pasien untuk minum obat-obatan harian yang diperlukan

untuk proses penyembuhan.

3. Beri tahu pasien untuk melakukan diet rendah lemak an menghindari

makanan berlemak tinggi seperti susu, gorengan, alpukat, mentega

dan coklat.

32
4. Ajarkan pasien cara perawatan di rumah dan semua hal yang

diperlukan untuk perawatan rumah.

5. Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga tentang potensi

terjadinya sindrom setelah kolesistektomi. Berikan instruksi,

termasuk perawatan lanjutan, tanda-tanda dan kekurangan gizi,

infeksi, dan perawatan selanjutnya (Wang, 2009)

f. Evaluasi

Hasil yang diharapkan meliputi bahwa pasien :

1. Menyatakan bahwa rasa sakit berkurang dan hilang, tidak

menunjukkan manifestasi dari infeksi seperti demam atau

peningkatan nyeri, tidak menunjukkan manifest.

2. Perubahan perfusi jaringan.

3. Evaluasi yang diharapkan adalah pasien sembuh tanpa kesulitan

dalam waktu sekitar 3 sampai 5 hari setelah operasi (lebih pendek

dari operasi laparaskopi)

33
BAB 3

TINJAUAN KASUS

3.1 Kasus Semu

Pasien Ny.K, 35 than di rawat di Paviliun II tanggal 12 Oktober 2012

dengan Cholelitiasis (batu empedu) padaduktus billiaris. Pasien akan menjalani

operasi pengangkatan batu empedu pada 13 Oktober 2012. Pasien merasa cemas

akan dioperasi, dan sering bertanya bagaimana operasinya, dan pasien mengeluh

Nyeri tekan pada kuadran kanan atas sampai menjalar ke punggung, Nyeri seperti

ditusuk-tusuk, Hilang timbul kurang lebih 3 menit,dengan skala 4 (1-10). Saat

pengkajian di dapatkan pasien gelisah, takut, dan tidak tenang, kadang menangis.

Tanda-Tanda Vital didapatkan TD. 130/80 mmHg, N.100x/menit, RR.24 x/menit,

S. 37C.

34
3.2 Aplikasi

3.2.1 Pengkajian

ASUHAN KEPERAWATAN

NY.K DENGAN DIAGNOSA KOLELITIASIS DI PAVILIUN II,

RSAL DR. RAMELAN SURABAYA

A. Pengkajian Keperawatan Medikal Bedah

Waktu pengkajian : 13 Okt 2012 Waktu MRS : 12 Okt 2012

Ruang/ kelas : PAV II No RM : 123456

Diagnosa Medis : Kolelitiasis

1. Identitas

Nama : Ny K Suku Bangsa : Jawa

Jenis Kelamin : perempuan Pendidikan : SMA

Umur : 35 Thn Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Agama : Islam Pgg jwb : Achmad Rudiono S.

Status : Menikah

Alamat : Jalan Kutisari Selatan No.43

2. Riwayat Kesehatan

a. Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien mengeluh badan lemah, mual, nafsu makan menurun,

beraktivitas sebentar cepat lelah sejak tanggal 7 Oktober 2012

b. Riwayat Penyakit Dahulu :

35
Pasien mempunyai riwayat penyakit Hipertensi

c. Riwayat Kesehatan Keluarga:

Orang tua dari Ny. K tidak memiliki riwayat penyakit keluarga

d. Genogram

62

= tinggal serumah
= laki-laki

= perempuan = pasien

= meninggal

e. Riwayat alergi:

Pasien juga tidak memiliki riwayat alergi obat, makanan, binatang.

f. Riwayat psikososial dan spiritual

Orang terdekat Ny. K adalah suami dan ketiga anaknya. Pola interaksi

komunikasi pasien dengan keluarga baik karena adanya saling

keterbukaan antara pasien dan keluarganya. Pengambilan keputusan

dalam keluarga adalah suami Ny.K, pasien aktif mengikuti kegiatan

36
masyarakat seperti mengikuti arisan,pengajian,dll. Masalah yang

mempengaruhi pasien adalah nyeri epigastrium, badan lemah, mual

dan cepat lelah saat beraktivitas, hal yang dipikirkan pasien saat ini

adalah sembuh dan ingin segera pulang agar dapat kembali beraktivitas

seperti semula. Perubahan yang terjadi setelah pasien sakit adalah berat

badan menurun.

g. Pola kebiasaan sehari-hari

1) Pola nutrisi

Frekuensi makan pasien sebelum adalah 3x kali sehari. Pasien

mengatakan sebelum sakit nafsu makannya normal,makan 3x

sehari. Jenis makanan yang dikonsumsi pasien selama di rumah

adalah ikan, sayur, nasi, tahu, tempe, susu, dan sesekali daging.

Pasien tidak memiliki pantangan terhadap makanan. Kebiasaan

yang biasa dilakukan pasien sebelum makan adalah cuci tangan

dan berdoa. Berat badan 60 kg.

2) Pola eliminasi

a) BAK

Pasien mengatakan sebelum dirawat pasien buang air kecil

4-5 kali sehari, warna kuning bening, bau amoniak, dan

tidak ada keluhan dalam BAK.

b) BAB

Pasien mengatakan sebelum dirawat pasien BAB satu kali

sehari dengan waktu yang tidak tentu, warna kuning

37
kecoklatan dengan bau khas, konsistensi setengah padat dan

tidak ada keluhan dalam BAB.

3) Pola personal hygiene

Pasien mengatakan mandi 2 kali sehari pagi dan sore, oral

hygiene 2 kali sehari pagi dan sore, cuci rambut 3 kali

seminggu.

4) Pola istirahan dan tidur

Pasien tidur selama 9 jam dalam sehari.

5) Pola aktivitas dan latihan

Pasien berolahraga seminggu sekali dengan senam pagi bersama

keluarganya..

6) Pola kebiasaan yang mempengaruhi kesehatan

Tidak ada polakebiasaan pasien yang mempengaruhi

kesehatannya.

h. Pola kebiasaan di rumah sakit

1) Pola nutrisi

Pasien makan 2 kali sehari porsi, diit nasi TKTP, berat badan

52 kg, tinggi badan 160 cm. Pasien mengatakan nafsu makan

berkurang disebabkan rasa nyeri pada kuadran atas, mual dan

muntah.

2) Pola eliminasi

a) BAK

Setelah dirawat pasien buang air kecil 3kali sehari, warna

kuning pekat dan tidak ada keluhan dalam BAK.

38
b) BAB

Pasien BAB 1x dalam sehari, warna kuning kecoklatan, bau

khas, konsistensi lembek, tidak ada keluhan, tidak

menggunkan obat laxative.

3) Pola personal hygiene

Selama dirumah sakit pasien membersihkan badan 1x24 jam

yang dilakukan oleh keluarganya, oral hygiene 1x 24 jam pada

pagi hari.

4) Pola istirahat tidur

Pasien tidur 6 jam dalam sehari

5) Pola aktivitas dan latihan

Selama dirawat pasien tidak dapat beaktivitas dan berolah raga.

3. Observasi dan Pemeriksaan Fisik

a. Pemeriksaan fisik umum

Tanda-Tanda vital: TD : 130/80 mmHg, Nadi : 100x/menit, RR :

24x/menit, Suhu : 370C, Berat badan sebelum dirawat 60 kg dan

setelah dirawat 59 kg. Tinggi badan 160 cm. Keadaan umum badan

lemas, kesadaran komposmentis.

b. System penglihatan

Posisi mata pasien simetris dengan keadaan kelopak mata dan

pergerakan kelopak mata normal. Konjungtiva anemis, kornea normal,

sclera an ikterik, pupil bulat isokor, otot-otot mata tidak ada kelainan

39
dengan penglihatan baik dan tidak menggunakan alat bantu

penglihatan.

c. System pendengaran

Daun telinga normal, tidak ada serumen, tidak ada cairan dari telinga,

tidak ada perasaan penuh di telinga, tidak ada tinnitus, fungsi

pendengaran normal, gangguan keseimbangan tidak ada, dan tidak

menggunakan alat bantu.

d. System wicara

System wicara pasien dalam keadaan normal.

e. System pernapasan

Jalan napas bersih, pasien sedikit sesak karena kecemasannya akan

operasi, tidak menggunakan otot bantu napas, frekuensi 24 x/mnt

dengan irama teratur, jenis napas spontan, tanpa batuk dan sputum dan

tidak menggunakan alat bantu napas.

f. System kardiovaskuler

1) Sirkulasi perifer

Nadi 100 x/mnt dengan irama teratur dan denyutan yang kuat,

tekanan darah 130/80 mmHg, tidak ada distensi vena jugularis

kanan maupun kiri, temperature kulit hangat dengan suhu 370C,

pengisian kapiler 3 dtk dan tidak terdapat edema.

2) Sirkulasi jantung

Kecepatan denyut apical 100 x/mnt dengan irama teratur dan

nyeri dada.

40
g. System hematologic

mengeluh lemas dan terlihat pucat.

h. System saraf pusat

Pasien mengatakan tidak sakit pada daerah kepala, tingkat kesadaran

compos mentis dengan GCS 15.

i. System pencernaan

Keadaan mulutnya: lidah terlihat kotor, muntah 2x/hari jumlahnya

sekitar 300ml, mengalami penurunan nafsu makan, tidak ada nyeri

didaerah perut, bising usus 16x/menit, tidak ada diare, warna feses

kuning kecoklatan, konsistensi feses setengah padat, tidak ada

pembesaran hepar.

j. System endokrin

Pada system ini tidak terjadi pembesaran tiroid, napas tidak berbau

keton, tetapi poliuri dan polidipsi.

k. System integumen

System integumen, turgor kulit kurang elastis, warna kulit pucat, kulit

kering, temperatur kulit hangat, tidak ada kelainan kulit, keadaan

rambut hitam berkilau, teksturnya baik.

l. System muskuloskeletal

System muskuloskeletal tidak ada kesulitan dalam pergerakan, tidak

terdapat sakit pada tulang, sendi, kulit, tidak ada fraktur, tidak ada

kelainan bentuk tulang, keadaan tonus otot baik.

41
4. Pemeriksaan Penunjang

Hasil laboratorium 12 Oktober 2012

1. Leukosit : 12.000 - 15.000 /iu (N : 5000 - 10.000 iu).

2. Bilirubin : meningkat ringan, (N : < 0,4 mg/dl).

3. Amilase serum meningkat.( N: 17 - 115 unit/100ml).

4. Protrombin menurun, bila aliran dari empedu intestin menurun

karena obstruksi sehingga menyebabkan penurunan absorbsi vitamin

K.(cara Kapilar : 2 - 6 mnt).

5. USG : menunjukkan adanya bendungan /hambatan

6. PTC (perkutaneus transhepatik cholengiografi): Pemberian cairan

kontras untuk menentukan adanya batu dan cairan pankreas.

7. Cholecystogram (untuk Cholesistitis kronik) : menunjukkan adanya

batu di sistim billiar.

8. CT Scan : menunjukkan gellbalder pada cysti, dilatasi pada saluran

empedu, obstruksi/obstruksi joundice.

9. Foto Abdomen :Gambaran radiopaque (perkapuran ) galstones,

pengapuran pada saluran atau pembesaran pada gallblader.

42
3.2.2 Diagnosa

No Data Etiologi Problem


1 DS. Proses Penyakit Nyeri Akut
Pasien mengatakan
Nyeri tekan pada
kuadran kanan atas
sampai menjalar ke
punggung, Nyeri
seperti ditusuk-tusuk,
Hilang timbul kurang
lebih 3 menit,dengan
skala 4 (1-10)

DO.
- Pasien tampak
memegang bagian
yang nyeri
- Pasien tampak
menagis

2 DS: Prosedur Pembedahan Ansietas


Pasien sering
bertanya bagaimana
operasinya

DO:
- Pasien merasa
cemas
- Pasien tampak
gelisah
- Pasien tampak takut

43
- Pasien tampak tidak
tenang
- Pasien tampak
menangis

TTV:
TD: 130/80 mmHg
N: 100 x/menit
RR: 24 x/menit
S: 37C

Prioritas Masalah

NO. MASALAH KEPERAWATAN


1. Nyeri akut b/d proses penyakit
2. Ansietas b/d prosedur pembedahan

44
3.2.3 Intervensi

NO.
KRITERIA HASIL INTERVENSI RASIONAL
DX
1. Setelah dilakukan tindakan asuhan 1. Pantau keadaan dan skala nyeri pasien. R/ memantau skala nyeri pasien
keperawatan 1x24 jam dihrapkan
nyeri pasien berkurang, dengan 2. Lakukan kompres air hangat R/ untuk mengurangi rasa nyeri pada
Kriteria Hasil: kuadran atas tubuh pasien
1. Pasien dapat menyesuaikan
nyeri dengan lingkungan 3. anjurkan kepada keluarga pasien untuk R/ untuk menurunkan ketergantngan
sekitarnya membantu pasien dalam mendapatkan posisi atau spasme otot dan untuk
2. Pasien mengungkapkan yang nyaman, dan gunakan bantal untuk mendistribusikan kembali tekanan
perasaan nyaman. menyokong daerah yang sakit pada bagian tubuh.
3. Pasien menjelaskan intervensi
yang tepat untuk mengurangi 4. kolaborasi dengan tim medis lainnya dalam R/ cara lain untuk mengurangi nyeri
nyeri pemberian obat pengurang nyeri (analgesik) bila teknik pengendalian nyeri tidak
berhasil.
2. Setelah dilakukan tindakan asuhan 1. Observasi Tanda-Tanda Vital R/ untuk memantau keadaan pasien
keperawatan 3x24 jam diharapkan
pasien tidak cemas akan operasinya, 2. Berikan penjelasan yang benar pada pasien R/ untuk menghindari terlalu
dengan Kriteria Hasil: tentang semua tindakan. banyaknya informasi dari orang lain.
1. Pasien tidak merasa takut,
tidak gelisah.
2. TTV dalam batas normal 3. Dukung anggota keluarga untuk mengatasi R/ menurunkan ansietas keluarga dan
TD= 120/80 mmHg perilaku kecemasan. pasien.
N=60-100 x/menit
RR= 16-24 x/menit 4. Kolaborasi dengan dokter pemberian obat R/ membantu pasien rileks selama
S=36,5-37,5C ansietas

45
3.2.4 Implementasi

WAKTU
NO. IMPLEMENTASI PARAF
(TGL,JAM)
DX
1 Selasa, 13
Oktober 2012

08.00 1. Observasi keadaan pasien.


P= Kolelitiasis
Q= Nyeri seperti ditusuk-tusuk
R= Nyeri tekn pada kuadran kanan
atas samar menjalar ke
punggung
S= 4 (1-10)
09.00 T= Hilang timbul kurang lebih 3
10.00 menit
11.00 2. Memberikan terapi injeksi
ceftriaxone 1 gr
12.00 3. Mengganti cairan infuse Ns
13.00 4. Menganjurkan pasien untuk
mengurangi nyeri dengan cara
mengalihkan perhatian, berbicara,
dll.
5. Mengajarkan teknik distraksi dan
relaksasi
6. Observasi TTV
TD: 130/80 mmHg
N: 100 x/menit
RR: 24 x/menit
S: 37C
7. Mengkaji kembali tentang masalah
nyeri yang dirasakan pasien.
2 Selasa, 13
Oktober 2012

47
08.00 1. Observasi TTV
TD: 130/80 mmHg
N: 100 x/menit
RR: 24 x/menit
10.00 S: 37C
\ 2. Mengajarkan pasien untuk
12.00 rileks dan berdoa menurut
keyakinannya.
3. Memberikan penjelasan dan
pendekatan cara mengatasi
perilaku kecemasan pada pasien

48
3.2.5 Evaluasi

NO. WAKTU CATATAN PERKEMBANGAN


DX (TANGGAL,JAM) (SOAP)
1. Selasa, 13 Oktober
2012

S: Pasien mengatakan masih nyeri


14.00
O: Keadaan umum baik
GCS= 4,5,6
Skala nyeri: 4 (dari 1-10)
TD: 130/80 mmHg
N: 100 x/menit
RR: 24 x/menit
S: 37C
A: Masalah nyeri teratasi sebagian
P: Intervensi dilanjutkan
1. Observasi Tanda-Tanda Vital

2. Berikan penjelasan yang benar pada


pasien tentang semua tindakan.

3. Dukung anggota keluarga untuk


mengatasi perilaku kecemasan.

4. Kolaborasi dengan dokter pemberian


obat

2. Selasa, 13 Oktober S: pasien mengatakan cemas jika penyakitnya


2012
tidak sembuh dan bertambah parah
O: keadaan umum baik
pasien terlihat gelisah
Akral dingin
TD: 130/80 mmHg
N: 100 x/menit
RR: 24 x/menit
S: 37C
A: Masalah ansietas teratasi sebagian

49
P: Intervensi dilanjutkan
1. Pantau keadaan dan skala nyeri pasien.
2. Lakukan kompres air hangat
3. anjurkan kepada keluarga pasien untuk
membantu pasien dalam mendapatkan
posisi yang nyaman, dan gunakan bantal
untuk menyokong daerah yang sakit.
4. kolaborasi dengan tim medis lainnya
dalam pemberian obat pengurang nyeri
(analgesik)
1. Selasa, 14 Oktober S: pasien mengatakan nyeri sudah berkurang
2012 O: keadaan umum mulai membaik
GCS= 4,5,6
Skala nyeri 2 (1-10)
TD: 130/80 mmHg
N: 90 x/menit
RR: 22 x/menit
S: 36,5C
A: masalah nyeri teratasi
P: intervensi dihentikan

2. Selasa, 14 Oktober S: pasien mengatakan tidak cemas dan sudah


2012 mengerti tentang proses penyakit yang
dialami.
O: pasien tampak semangat dan ceria lagi
A: Masalah ansietas teratasi
P: intervensi dihentikan

50
BAB 4

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Kolelitiasis/koledokolitiasis merupakan adanya batu di kandung empedu,

atau pada saluran kandung empedu yang pada umumnya komposisi utamanya

adalah kolesterol. Batu kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsure

yang membentuk suatu material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung

empedu. Penyebab terjadinya kolelitiasis/batu empedu belum diketahui secara

pasti. Penatalaksanaan dari kolelitiasis ini dapat dilakukan dengan pembedahan

maupun non pembedahan serta menjalani diet rendah lemak, tinggi protein, dan

tinggi kalori agar tidak terbentuk batu empedu di dalam kandung empedu. Oleh

karena itu, asuhan keperawatan yang baik diperlukan dalam penatalaksanaan

kolelitiasis ini sehingga dapat membantu klien untuk dapat memaksimalkan

fungsi hidupnya kembali serta dapat memandirikan klien untuk memenuhi

kebutuhan dasar manusia.

4.2 Saran

Setelah penulisan makalah ini, kami mengharapkan masyarakat pada

umumnya dan mahasiswa keperawatan pada khususnya mengetahui lebih dalam

tentang penyakit kolelitiasis. Kepada para perawat, kami sarankan untuk lebih

aktif dalam memberikan penyuluhan untuk mengurangi angka kesakitan penyakit

kolelitiasis. Dengan tindakan preventif yang dapat dilakukan bersama oleh semua

pihak, maka komplikasi dari kolelitiasis akan berkurang.

51
DAFTAR PUSTAKA

Muttaqin, Arif dan Sari, Kumala. 2011. Gangguan Gastrointestinal. Jakarta:


Salemba Medika

Nucleus Precise Newsletter. (2011). Batu Empedu. Jakarta : PT.Nucleus Precise

Dr.H.Y.Kuncara.2009. Aplikasi klinis patofisiologi: Pemeriksaan dan manajemen,


edisi 2. Jakarta: Buku kedokteran EGC

Sjamsuhidajat R, de Jong W. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. 570-579.


Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Anonim, 2017, Asuhan Keperawatan pada kolelitiasis, diakses pada tanggal 7


April 2017 pukul 18.00 WIB

<http://keperawatankita.wordpress.com/2009/02/11/kolelitiasis-definisi-serta-
askepnya/>

Anda mungkin juga menyukai