Anda di halaman 1dari 10

TUGAS KEGAWATDARURATAN DALAM KEBIDANAN

ANALISIS JURNAL INTERNASIONAL DISTOSIA BAHU DAN


PERDARAHAN PASCAPERSALINAN

Obstetric Emergencies Shoulder Dystocia And Postpartum Hemorrhage

Dosen Pengampuh : Fitria Siswi Utami, S.Si.T.,MNS

Disusun Oleh:
Zuriatun Hasanah
1710104288

PROGRAM STUDI BIDAN PENDIDIK JENJANG DIV


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS AISYIYAH
YOGYAKARTA
2017/2018
Obstetric Emergencies Shoulder Dystocia And Postpartum Hemorrhage
(Kegawatdaruratan kebidanan tentang Distosia Bahu dan Perdarahan
Pascapersalinan)

A. Distosia Bahu
1. Definisi
According to the American College of Obstetricians and
Gynecologists (ACOG) menyatakan distosia bahu adalah
ketidakmampuan melahirkan bahu setelah kepala dilahirkan pada
persalinan normal. Kondisi ini merupakan kegawatdaruratan
obstetri karena bayi dapat meninggal jika tidak segera
dilahirkan. Definisinya subyektif, suatu keadaan diperlukannya
tambahan manuver obstetrik oleh karena dengan tarikan biasa
kearah belakang pada kepala bayi tidak berhasil untuk melahirkan
bayi. Definisi obyektif distosia bahu adalah jarak waktu
antara lahirnya kepala dengan lahirnya badan bayi lebih dari
60 detik.
2. Diagnosis
Distosia bahu dapat dikenali apabila didapatkan adanya:
a. Kepala bayi sudah lahir, tetapi bahu tertahan dan tidak
dapat dilahirkan
b. Kepala bayi sudah lahir, tetapi tetap menekan vulva
dengan kencang atau bahkan tertarik kembali ( turtle
sign)
c. Dagu tertarik dan menekan perineum
d. Traksi pada kepala tidak berhasil melahirkan bahu yang
tetap tertahan di kranial simfisis pubis
3. Faktor Risiko Distosia Bahu
Bayi cukup bulan pada umumnya memiliki ukuran bahu
yang lebih lebar dari kepalanya, sehingga mempunyai risiko terjadi
distosia bahu. Risiko akan meningkat dengan bertambahnya perbedaan
anatara ukuran badan dan bahu dengan ukuran kepalanya. Pada bayi
makrosomia, perbedaan ukuran tersebut lebih besar dibanding bayi
tanpa makrosomia, sehingga bayi makrosomia lebih berisiko.
Dengan demikian, kewaspadaan terhadap terjadinya distosia bahu
diperlukan pada setiap pertolongan persalinan dan semakin penting
bila terdapat faktor- faktor yang meningkatkan risiko makrosomia
seperti diabetes, obesity, prolonged pregnancy, excessive fetal
size or maternal weight gain. Selain itu faktor risiko
terjadinya distosia adalah riwayat distosia sebelumnya, diabetes
pregestational atau gestasional, multiparitas, induksi
persalinan, kala I dan kala II persalinan memanjang, dan
persalinan pervaginam yang di tolong.
Terlepas dari beberapa faktor risiko yang diketahui
ini, perlu dicatat bahwa sebagian besar distosia bahu secara
umum, tidak dapat diprediksi, dan tidak dapat dipungkiri. Gross dan
rekannya melaporkan sebuah model matematis yang menunjukkan
bahwa hanya 16% dari semua distosia bahu dengan trauma neonatal
bersamaan bisa diprediksi. Meskipun ini beberapa faktor risiko
yang di ketahui perlu dicatat bahwa sebagian distosia bahu jarang
tak terduga.
4. Pencegahan
Belum ada cara untuk memastikan akan terjadinya
distosia bahu pada suatu persalinan. Meskipun sebagian besar
distosia bahu dapat di tolong tanpa morbiditas, tetapi
apabila menjadi komplikasi dapat menimbulkan kekecewaan dan
berpotensi terjadi tuntutan terhadap penolong persalinannya.
Untuk itu perlu mengetahui faktor- faktor terjadinya distosia
bahu dan mengkomunikasikan akibat yang akan terjadi pada
ibu serta keluarganya. Upaya pencegahan distosia bahu dan cidera
yang dapat ditimbulkannya dapat dilakukan dengan cara:
a. Menawarkan pada ibu dan keluarga untuk dilakukan bedah
sesar pada persalinan vaginal berisiko tinggi seperti
janin besar > 5 kg, janin besar > 4.5 kg dengan ibu
diabetes, janin besar > 4 kg dengan riwayat distosia bahu
sebelumnya, kala II yang memanjang dengan janin besar.
b. Identifikasi dan mengobati diabetes pada ibu
c. Selalu siap bila sewaktu- waktu terjadi
d. Kenali adanya distosia seawal mungkin. Upaya mengejan,
menekan suprapubis atau fundus, dan traksi berpotensi
meningkatkan risiko cidera pada janin.
e. Perhatikan waktu dan segera meminta tolong begitu
distosia diketahui. Bantuan diperlukan untuk membantu
posisi McRobert, pertolongan persalinan, resusitasi bayi,
dan tindakan anestesi (bila perlu).
5. Penatalaksanaan
Langkah pertama menurut RCOG, adalah untuk minta
bantuan tambahan Tim pendukung mungkin termasuk perawat
tambahan, bidan, dokter kandungan, subspesial obat maternal-
janin, tim resusitasi neonatal, dan ahli anestesi. Ketika
asisten tambahan tiba, mereka harus diberi tahu dengan jelas
bahwa ini adalah situasi distosia bahu.
a. Lakukan manuver McRobert. Dalam posisi ibu berbaring
terlentang, mintalah ia untuk menekuk kedua tungkainya dan
mendekatkan lututnya sejauh mungkin ke arah dadanya.
b. Mintalah bantuan asisten untuk melakukan tekanan secara
simultan kearah lateral bawah pada daerah suprasimpisis
untuk membantu persalinan bahu.
c. Jika bahu masih belum dapat dilahirkan. Lakukan episiotomi
untuk memberi ruang yang cukup untuk memudahkan
manuver internal.
d. Melakukan penekanan disisi posterior pada bahu posterior
untuk mengadduksikan bahu dan mengecilkan diameter
bahu. Rotasikan bahu kediameter roblik untuk
membebaskan distosia bahu. Jika diperlukan lakukan pula
penekanan pada sisi posterior bahu anterior dan
rotasikan bahu ke diameter oblik
e. Jika bahu masih belum dapat dilahirkan masukkan tangan
kedalam vagina, kemudian temukan humerus dari lengan
posterior lalu sembari menjaga lengan tetap fleksi
pada siku, pindahkan lengan kearah dada. Raih
pergelangan tangan bayi dan tarik lurus kearah vagina.
Manuver ini memberi ruang pada bahu anterior agar
dapat melewati bawah simfisis pubis.
f. Jika semua tindakan diatas tidak dapat melahirkan bahu,
terdapat manuver- manuver laing yang dapat dilakukan,
misalnya klediotomi, simfisiotomi, metode sling
atau manuver zavanelli. Namun manuver- manuver ini
hanya boleh dilakukan oleh tenaga yang terlatih dan ahli.
Beberapa cara dalam mengatasi distosia bahu yaitu
dengan manajeman ALARMER dan 4P antara lain:
a. Ask for help / Meminta bantuan
Diperlukan penolong tambahan untuk melakukan manuver
McRoberts dan penekanan suprapubik. Menyiapkan penolong
untuk resusitasi neonatus.
b. Lift hyperflexed (McRoberts maneuvre)
Disiapkan masing-masing satu penolong di setiap sisi
kaki ibu untuk membantu hyperfleksi kaki dan sekaligus
mengabduksi panggul Memposisikan sakrum ibu lurus
terhadap lumbal.
c. Anterior shoulder disimpaction (suprapubic pressure)
Bahu bayi yang terjepit didorong menjauh dari midline ibu,
ditekan pada atas simfisis pubis ibu (Massanti maneuver).
Tekanan suprapubik ini dilakukan untuk mendorong bahu
posterior bayi agar dapat dikeluarkan dari jalan lahir
dengan mendorong bahu depan kearah dada dan menghasilkan
diameter terkecil (Rubin maneuver)
d. Rotation of the posterior shoulder (Woods screw maneuver)
Digunakan 2 jari untuk menekan sisi anterior bahu dan
memutarnya hingga 1800 atau oblique, dapat diulang jika
diperlukan.
e. Manual removal of the posterior arm (Schwartz maneuver)
Ditentukan siku lengan posterior bayi, difleksikan dengan
tekanan pada fossa antecubital sehingga tangan bayi dapat
dipegang. Tangan tersebut kemudian ditarik hingga
melewati dada bayi sehingga keseluruhan lengan dapat
dilahirkan.
f. Episiotomy
Prosedur ini secara tidak langsung membantu penanganan
distosia bahu,dengan memungkinkan penolong untuk
meletakkan tangan penolong ke dalam vagina untuk
melakukan manuver lainnya.
g. Roll over onto all fours
Langkah ini memungkinkan posisi bayi bisa bergeser dan
terjadi disimpaksi bahu anterior. Hal ini juga memungkinkan
akses yang lebih mudah untuk memutar bahu posterior
atau bahkan melahirkannya langsung.
Jika manuver tersebut tidak ada yang berhasil, bisa
disarankan untuk mematahkan klavikula bayi, simpisiotomi,
manuver Zavanelli. Bila distosia bahu telah berhasil
ditangani, maka dilakukan: penilaian bayi untuk mengetahui
adanya trauma, analisa gas darah tali pusat, penilaian ibu
untuk tears pada saluran genital, manajemen aktif kala III
untuk mencegah perdarahan postpartum, mencatat manuver yang
telah dilakukan, dan menjelaskan semua langkah yang telah
dilakukan kepada ibu dan keluarg yang mungkin ada pada saat
dilakukan penanganan.
Dalam pertolongan persalinan dengan distosia bahu ada 4 P
yang perlu di hindari:
a. Panic
b. Pulling (menarik kepala)
c. Pushing (mendorong pada fundus)
d. Pivoting (memutar kepala secara tajam dengan koksigis
sebagai tumpuan)
6. Komplikasi
Komplikasi distosia bahu pada janin adalah fraktur
tulang (klavikula dan humerus), cidera pleksus brakhialis, dan
hipoksia yang menyebabkan kerusakan permanen di otak. Dislokasi
tulang servikalis yang fatal juga dapat terjadi akibat melakukan
tarikan dan putaran pada kepala dan leher. Fraktur tulang
pada umumnya dapat sembuh sempurna tanpa sekuele, apabila
didiagnosis dan dan diterapi dengan memadai. Cedera pleksus
brakhialis dapat membaik dengan berjalannya waktu. Pada ibu
komplikasi yang dapat terjadi adalah perdarahan akibat laserasi
jalan lahir, episiotomi, ataupun atonia uteri.

B. Perdarahan Pascapersalinan
1. Definisi
Perdarahan pascapersalinan adalah perdarahan yang
masif yang berasal dari tempat implantasi plasenta, robekan
pada jalan lahir, dan jaringan sekitarnya dan merupakan
salah satu penyebab kematian ibu. Perdarahan pascapersalinan
primer terjadi dalam 24 jam pertama setelah persalinan,
sementara perdarahan pascapersalinan sekunder adalah
perdarahan pervaginam yang lebih banyak dari normal antara
24 jam hingga 12 minggu setelah persalinan. Diagnosis dari
perdarahan pascapersalinan apabila perdarahan 500 ml
setelah bayi lahir atau berpotensi mempengaruhi hemodinamik
ibu.
2. Faktor Predisposisi
a. Kelainan implantasi dan pembekuan plasenta: plasenta
previa, solutio plasenta, plasenta
akreta/inkreta/perkreta, kehamilan ektopik, mola
hidatidosa.
b. Trauma pada saat kehamilan dan persalinan: episiotomi,
persalinan pervaginam dengan isntrumen forsep, bekas
seksio sesar atau histerektomi.
c. Volume darah ibu yang kurang terutama pada ibu dengan
berat badan kurang, preeklamsia/eklamsia, sepsis atau
gagal ginjal,
d. Gangguan koagulasi
e. Pada atonia uteri, penyebabnya antara lain uterus
overdistensi (makrosomia, kehamilan kembar, hidramnion,
atau bekuan darah), induksi persalinan, persalinan lama,
persalinan terlalu cepat, dan riwayat atonia uteri
sebelumnya.
3. Penatalaksanaan
Pada penatalaksanaan perdarahan dilakukan sesuai dengan
penyebab perdarahan, namun untuk penatalaksanaan awal antara
lain:
a. Meminta tolong tim untuk melakukan tatalaksana secara
simultan
b. Nilai sirkulasi, jalan nafas, dan pernafasan pasien
c. Bila terjadi syok lakukan penanganan syok
d. Memberikan oksigen
e. Memasang infus dengan carian kristaloid
f. Jika fasilitas tersedia, lakukan pengambilan sampel
darah
g. Lakukan observasi (Tekanan darah, nadi, suhu, pernafasan
ibu, kontraksi uterus, nyeri tekan, tinggi fundus uteri,
cek jumlah perdarahan, dan pengeluaran urin)
C. Rekomendasi
Distosia bahu dan perdarahan pascapersalinan
merupakan dua yang paling umum keadaan darurat yang dihadapi
dalam praktik klinis kebidanan, keduanya membutuhkan
penatalaksanaan segera dan manajemen untuk menghindari
morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Meskipun pasti
risiko distosia bahu dan perdarahan pascapersalinan ada,
banyak kasus terjadi pada tidak adanya faktor-faktor ini
identifikasi dini, komunikasi, dan ketepatan dengan pilihan
pengelolaan untuk kedua kondisi tersebut dapat secara
signifikan meminimalkan morbiditas terkait dengan komplikasi
ini.
Dalam artikel review tentang definisi dan kejadian
distosia bahu di antara 28 publikasi dengan lebih dari 16
juta kelahiran total, presentasi distosia bahu adalah 0,4%.
Sejak tahun 2000, dari semua kelahiran, tingkat distosia
bahu mendekati 1.4% jika publikasi bergantung pada
International Classification of Diseases (ICD). Perdarahan
pascapersalinan terjadi pada sekitar 4% sampai 6% dari semua
kehamilan. Royal College of Obstetricians and Gynecologists
(RCOG) memperkirakan 3 dari 1000 mengalami pendarahan parah,
yang didefinisikan sebagai penerimaan transfusi darah,
histerektomi atau perbaikan bedah rahim. Pendarahan
pascapersalinan, sejauh ini penyebab paling umum adalah
atonia uteri atau ketidakmampuan uterus berkontraksi secara
efektif, yang menyumbang lebih dari 80% kasus. Penyebab umum
lainnya termasuk jaringan plasenta yang tertahan, trauma
vagina atau serviks, dan diketahui atau berkembangnya
koagulopati.
Dalam kasus distosia bahu dan perdarahan
pascapersalinan, bidan harus mampu meningkatkan kemampuan
dalam skreening kehamilan untuk mengetahui lebih awal
kemungkinan terjadinya distosia bahu yang nantinya akan
menjadi faktor predisposisi terjadinya perdarahan
pascapersalinan. Dengan pemeriksaan rutin di bidan dan
melakukan pemeriksaan USG dengan dokter spesialis obstetri
dan ginekologi, terutama pada wanita yang memilki kehamilan
dengan riwayat distosia bahu sebelumnya atau penyulit
lainnya, untuk mengurangi insidens perdarahan
pascapersalinan pendekatan yang berbeda dapat diterapkan,
bergantung pada lingkungan dan ketersediaan dari pendamping
persalinan yang terlatih dan persediaan yang ada. Manajemen
aktif dari kala tiga persalinan (AMTSL) dengan seluruh
pendamping persalinan terlatih. Komponen yang biasa terdapat
pada AMTSL termasuk pemasukan oxytosin atau obat uterotonik
lainnya dalam 1 menit setelah persalinan, traksi tali pusat
terkendali, pemijatan uterus setelah pengeluaran plasenta.
AMTSL merupakan salah satu cara yang efektif dan sederhana
serta masih diterapkan sampai sekarang untuk pencegahan
perdarahan pascapersalinan. Semakin tingginya angka kematian
ibu dengan salah satu penyebabnya adalah perdarahan,
diharapkan tenaga kesehatan mampu mengembangankan lagi ilmu-
ilmu kesehatan.

DAFTAR PUSTAKA
Dahlke, Joshua D. Bhalwal, Asha. Chauhan, Suneet P. 2017. Obstetric Emergencies
Shoulder Dystocia And Postpartum Hemorrhage.Obstetrics and Gynecology
Clinics of North America, Volume 44, Issue 2, June 2017, Pages 231-
243[diakses tanggal 15 Oktober 2017 pukul 20.45 WIB dalam Elsevier]

Medical Mini Notes Production. 2014. Obstetric Make It Easy with Medical Mini
Notes. Jakarta: Medical Mini Notes Production

Prawirohadjo, Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta: yayasan Bina Pustaka


Sarwono Prawirohadjo

Anda mungkin juga menyukai