Anda di halaman 1dari 55

Studi komparasi warisan anak luar kawin menurut hukum Islam dan hukum

perdata

Penulisan Hukum
(SKRIPSI)

Disusun dan Diajukan untuk


Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh
Muh Rasyid Ridha
E.0005224

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2009
BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masyarakat sebagai suatu kumpulan orang yang mempunyai sifat dan watak
masing-masing yang berbeda, membutuhkan hukum yang mengatur kehidupannya
agar berjalan tertib dan lancar, selain itu untuk menyelesaikan masalah-masalah yang
timbul dalam kehidupan masyarakat tersebut. Oleh karena itu dibentuklah berbagai
peraturan hukum yang mengatur berbagai hal yang terjadi sepanjang kehidupan
manusia yaitu sejak lahir hingga kemudian kematian merenggutnya. Mengenai hal ini
secara eksplisit terdapat dalam penjelasan UUD 1945 tentang sistem pemerintahan
negara butir 1. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum. Hal ini berarti
bahwa segala sesuatu harus berdasarkan pada hukum yang berlaku di negara RI.

Tuhan menciptakan manusia ini saling berpasang-pasangan dengan tujuan agar


manusia itu sendiri merasa tenteram dan nyaman serta untuk mendapatkan keturunan
demi kelangsungan hidupnya. Untuk mencapai tujuan tersebut manusia membentuk
sebuah lembaga perkawinan. Di Indonesia sendiri perkawinan adalah sesuatu hal
yang sakral dan agung. Dengan adanya perkawinan tersebut maka diharapkan dapat
membentuk sebuah keluarga yang sejahtera, karena di dalam keluarga dapat
menciptakan generasi yang sehat lahir dan bathin. Generasi yang sehat itu nantinya
akan dapat menciptakan sumber daya manusia yang tangguh dan handal sehingga
dapat memajukan kehidupan bangsa Indonesia. Oleh karena itu perlu adanya
perlindungan hukum bagi kesejahteraan dan kelangsungan hidup keluarga serta
peraturan hukum yang tegas tentang perkawinan.

Perkawinan merupakan usaha untuk menjaga kelangsungan hidup manusia dan


melindungi nasab. Namun terkadang perlindungan tersebut seringkali ternoda dengan
adanya suatu perzinaan atau hubungan diluar nikah. Seringkali hubungan tersebut
menghasilkan suatu keturunan yang tidak sah yang tentunya keturunan yang dari
hasil perzinaan tersebut mempunyai kedudukan dalam hukum yang berbeda pula
dengan kedudukan terhadap anak sah. Oleh karena itu anak luar kawin sebagai hasil
dari suatu perzinaan yang dilakukan oleh kedua orangtuanya tidak akan mendapat
haknya sebagimana hak yang didapat oleh anak sah terutama dalam hal kewarisan,
anak luar kawin tidak akan bisa mendapatkan warisan dari orangtua biologisnya
sebelum ada pengakuan dari orangtua biologisnya. Padahal anak luar kawin tersebut
bukan menjadi keinginannya untuk dilahirkan dari hasil perbuatan zina. Padahal
menurut Islam anak yang dilahirkan itu dalam keadaan suci walaupun berasal dari
perbuatan zina, hanya perbuatan yang dilakukan oleh orangtuanyalah yang haram.
Sebenarnya undang-undang telah memberikan suatu perlindungan mengenai anak
luar kawin tersebut terutama dalam hal pewarisan.

Dengan perkembangan jaman yang sangat cepat ternyata mempunyai pengaruh


terhadap pergaulan para muda-mudi yang saat ini mempunyai pergaulan yang luas
dan cenderung bebas. Pergaulan-pergaulan tersebut sering kali membawa pada hal-
hal yang negatif yang tidak sesuai dengan norma orang timur. Norma-norma agama
dan hukum sudah tidak ditaati lagi, bahkan tidak jarang ada yang melahirkan anak
yang disebabkan karena hubungan yang terlalu bebas diantara muda-mudi tersebut.

Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum di bidang Perdata secara
keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris
sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia
pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Akibat hukum
yang dilanjutnya timbul dengan terjadinya peristiwa hukum kematian seseorang
diantaranya ialah masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia itu (Erman Suparman, 2005:
9).

Hukum waris Indonesia masih bersifat plutralistik artinya belum ada kesatuan
(kodifikasi) hukum waris yang dapat diterapkan secara menyeluruh terhadap
masyarakat Indonesia. Hukum waris di Indonesia saat ini berlaku tiga sistem hukum
waris yakni hukum waris Islam, hukum waris Perdata, hukum waris Adat. Sehingga
dengan masih berlakunya tiga sistem hukum kewarisan tersebut diatas maka setiap
penduduk Indonesia menggunakan aturan hukum yang berbeda-beda dalam
menentukan pembagian warisan tergantung dari hukum yang dianutnya sendiri-
sendiri (Wirjono Prodjodikoro, 1983: 18). Sedangkan menurut pendapat R. Subekti
yang dikutip dari buku karangan Surani Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah bahwa
hukum waris Indonesia masih beraneka ragam disamping hukum waris menurut adat,
berlaku hukum waris menurut agama Islam dan hukum waris menurut Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (Surani Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, 2005:2).

Dari ketiga sistem hukum yang mengatur tentang waris tersebut tentunya
mempunyai sumber hukum yang berbeda antar satu dengan yang lain. Waris Islam
yang berasal dari hukum Islam tentunya mempunyai sumber hukum pokok yang
sama dengan sumber hukum Islam itu sendiri sehingga hukum waris Islam sendiri
bersumber dari Al-Qur`an, Hadits dan Ijtihad. Sedangkan dalam hukum Perdata
bersumber dari Kitap Undang-Undang Hukum Perdata.

Dari ketiga sistem hukum warisan tersebut diatas maka hanya hukum waris
Islam dan hukum waris Perdatalah yang sudah mengatur secara terperinci mengenai
bagian-bagian yang diterima oleh setiap ahli waris. Hal ini dapat kita lihat dalam
terdapatnya aturan yang mengatur secara jelas dan terperinci yang mengatur tentang
warisan, dalam hukum Perdata hukum kewarisan diatur dalam buku ke II Kitap
Undang-Undang Hukum Perdata sedangkan dalam hukum Islam Al-Qur`an pun telah
mengaturnya yakni dalam Surat An Nisa` dari ayat 1, 7, 8, 9, 10, 11, 12 serta dalam
surat Al-Anfal ayat 75. Sedangkan dalam hukum waris adat karena merupakan bagian
dari hukum adat yang mana hukum adat yang terdapat di Indonesia saling berbeda-
beda antara satu dengan yang lain maka pengaturan terhadap pembagian warisan pun
juga berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain yang didasarkan pada sistem
kekeluargaan yang dianut apakah menggunakan sistem patrilineal, sistem matrilineal,
ataupun menggunakan sistem parental. Maka sistem hukum waris Islam dan sistem
waris Perdatalah yang dapat digunakan sebagai acuan perbandingan hukum
kewarisan.

Dalam sistem kewarisan di Indonesia anak mempunyai kedudukan yang


diutamakan dibandingkan ahli waris yang lain baik itu menurut sistem hukum Islam,
Perdata ataupun hukum adat oleh karena mereka pada hakekatnya merupakan satu-
satunya golongan ahli waris, artinya lain-lain sanak keluarga tidak menjadi ahli waris
apabila si pewaris meninggalkan anak (Wirjono Prodjodikoro, 1983: 33). Namun
dalam hal suatu warisan dapat terjadi konflik apabila terdapat anak luar kawin yang
dapat menjadi ahli waris. Hal ini dapat menjadi konflik mengingat bahwa anak luar
kawin tersebut juga merupakan anak biologis dari orangtuanya walaupun anak luar
kawin tersebut dihasilkan saat keduanya tidak sedang terikat secara sah menurut
hukum perkawinan yang berlaku. Anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah
adalah bukan anak yang sah, sehingga membawa konsekuensi dalam bidang
perwarisan. Sebab anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan Perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Mengingat antara anak sah dan tidak sah (anak luar kawin) yang menjadi
perbedaan adalah mengenai konsekuensinya terhadap hukum yang berhubungan
antara orangtua dengan anaknya. Bukan dalam hak-hak sipil (untuk hak-hak sipilnya,
tetap bisa di dapat apabila, ibu bisa mendapatkan akta kelahiran sianak walaupun di
luar nikah, terhadap si anak dari Dinas Kependudukan dan catatan Sipil setempat).
Ketidakjelasan status si anak luar kawin di muka hukum, mengakibatkan hubungan
antara ayah dan anak tidak kuat, sehingga bisa saja, suatu waktu ayahnya menyangkal
bahwa anak tersebut adalah anak kandungnya. Oleh karena itu sudah menjadi hak
bagi si anak luar kawin untuk menuntut hak dalam mendapatkan warisan dari
orangtua biologisnya.
Dalam hukum waris Islam dan hukum waris Perdata telah diatur mengenai
warisan bagi anak luar kawin secara berbeda-beda sesuai dengan prinsip-prinsip yang
diatur oleh hukum waris Islam dan hukum waris Perdata yang tentunya bersendikan
terhadap keadilan. Oleh karena itu untuk memberikan gambaran terhadap keadilan
terhadap pembagian warisan terhadap anak luar kawin maka perlulah diadakan
penelitian mengenai hal tersebut.

Sehubungan dengan uraian diatas, penulis tertarik melakukan penelitian dalam


rangka penulisan hukum dengan judul “STUDI KOMPARASI WARISAN ANAK
LUAR KAWIN MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERDATA”

B. Perumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang masalah yang dikemukakan diatas, penulis


merumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kedudukan anak luar kawin di dalam hukum waris Islam dan
hukum waris Perdata?

2. Bagaimanakah pembagian warisan anak luar kawin menurut hukum Islam dan
hukum Perdata?

3. Bagaimanakah penggantian tempat warisan terhadap anak luar kawin dalam


Hukum Islam dan Hukum Perdata?

C. Tujuan Penelitian

Suatu penelitian harus mempunyai tujuan yang jelas, sehingga dengan adanya
tujuan tersebut dapat dicapai solusi atas masalah yang dihadapi, maupun untuk
memenuhi kebutuhan perseorangan. Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka
penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut :
1. Tujuan Objektif

a. Untuk mengetahui kedudukan anak luar kawin di dalam hukum waris Islam
dan hukum waris Perdata.

b. Untuk mengetahui pembagian warisan anak luar kawin menurut hukum waris
Islam dan hukum waris Perdata.

c. Untuk Mengetahui penggantian tempat warisan terhadap anak luar kawin


dalam hukum Islam dan hukum Perdata

2. Tujuan Subjektif

a. Untuk mengetahui dan memperluas pengetahuan, pengalaman serta


pemahaman penulis tentang warisan anak luar kawin menurut hukum Islam
waris dan hukum waris Perdata

b. Untuk memperoleh data sebagai bahan utama penyusunan penulisan hukum


guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan di
bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

D. Manfaat Penelitian

Nilai suatu penelitian ditentukan oleh besarnya manfaat yang dapat diambil dari
penelitian tersebut. Adapun manfaat yang diharapkan penulis dari penelitian ini
antara lain :

1. Manfaat Teoritis

a. Memberikan sumbangan pengetahuan dan pemikiran yang bermanfaat bagi


pengembangan ilmu hukum khususnya dalam bidang hukum waris Islam dan
hukum waris Perdata
b. Memberikan wawasan dan pengetahuan tentang warisan anak luar kawin
menurut hukum waris Islam dan hukum waris Perdata

2. Manfaat Praktis

a. Memberi jawaban terhadap permasalahan yang akan diteliti

b. Hasil penulisan ini diharapkan dapat membantu dan memberi masukan serta
tambahan pengetahuan bagi para pihak yang terkait dengan masalah yang
diteliti sehingga tidak ada keraguan lagi mengenai aspek hukumnya, baik dari
hukum Perdata maupun hukum Islam.

E. Metode Penelitian

Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep


baru sebagai perspektif dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi (Peter Mahmud,
2006: 35).

Metode merupakan cara yang utama yang digunakan untuk mencapai suatu
tujuan, untuk mencapai tingkat ketelitian, jumlah dan jenis yang dihadapi. Akan
tetapi dengan mengadakan klasifikasi yang berdasarkan pada pengalaman, dapat
ditentukan teratur dan terpikirkannya alur yang runtut dan baik untuk mencapai suatu
maksud.

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang penulis pergunakan dalam penyusunan penulisan


hukum ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan,
yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau
data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan
bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji,
kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang
diteliti.

Hal ini sesuai dengan pandangan Soerjono Soekanto bahwa penelitian


hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder
belaka, dapat dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum
kepustakaan. Penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut mencakup
(Soerjono Soekanto 2007:13-14):

a. Penelitian terhadap asas-asas hukum

b. Penelitian terhadap sistematik hukum

c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal

d. Perbandingan hukum

e. Sejarah hukum.

Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini termasuk ke dalam tipe


penelitian perbandingan hukum, yaitu perbandingan waris anak luar kawin
menurut hukum Islam dan hukum Perdata. Kedua jenis hukum ini
diperbandingkan karena berasal dari dua rumpun sistem hukum yang berbeda.

2. Sifat Penelitian

Menurut Holland dalam buku Penelitian Hukum karangan Peter Mahmud


Marzuki ruang lingkup perbandingan hukum terbatas pada penyelidikan secara
deskriptif (Peter Mahmud Marzuki: 2006: 132):

Sedangkan menurut Soerjono Soekanto yang dimaksud dengan penelitian


deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang
seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejala-gejala lainnya. Maksud
dari penelitian deskriptif adalah untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat
membantu dalam memperkuat teori-teori lama di dalam kerangka menyusun
teori-teori baru (Soerjono Soekanto: 2006:10).

Merujuk pada hal tersebut maka penelitian ini termasuk kedalam penelitian
normatif yang bersifat deskriptif karena menggambarkan secara detail tentang
pengaturan warisan bagi anak luar kawin menurut hukum Islam dan hukum
Perdata.

3. Jenis Data

Jenis data yang digunakan adalah data sekunder berupa dokumen publik
dan catatan-catatan resmi (public documents and official records), yaitu
dokumen peraturan perundangan yang berkaitan dengan warisan terhadap anak
luar kawin. Disamping jenis data yang berupa undang-undang negara maupun
peraturan pemerintah, penulis juga memperoleh data dari beberapa jurnal, buku-
buku referensi, internet dan media massa yang mengulas tentang warisan anak
luar kawin.

4. Pendekatan Penelitian

Dalam hal ini pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan


perbadingan yang dilakukan dengan membandingkan sistem hukum Islam dan
Perdata dalam hal pengaturan warisan bagi anak luar kawin. Menurut Gutteridge
yang dikutip dari buku karangan Peter Mahmud Marzuki “perbandingan hukum
merupakan suatu metode studi dan penelitian hukum”( Peter Mahmud Marzuki:
2006, 132).
5. Sumber Data

Sumber data merupakan tempat dimana dan kemana data dari suatu
penelitian dapat diperoleh. Sumber data dalam penelitian ini adalah sumber data
sekunder yang berupa dokumen publik dan catatan-catatan resmi (public
documents and official records). Dalam bukunya Soejono Soekanto bahwa
sumber hukum sekender dalam bidang hukum dibagi menjadi tiga yakni:

a. Bahan hukum Primer adalah sumber hukum yang mengikat yang terdiri dari:

1) Norma atau kaidah dasar yaitu pembukaan Undang-Undang Dasar 1945

2) Peraturan dasar yaitu batang tubuh UUD 1945 dan ketetapan MPR

3) Peraturan perundang-undangan

a) Undang-undang dan peraturan yang setaraf

b) Peraturan pemerintah dan pearturan yang setaraf

c) Keputusan presiden dan peraturan yang setaraf

d) Keputusan menteri dan peraturan yang setaraf

e) Peraturan-peraturan daerah

4) Bahan hukum tidak terkodifikasi

5) Yurisprudensi

6) Traktat

7) Bahan hukum dari zaman kolonial yang sampai sekarang masing


digunakan yakni KUHPerdata
b. Bahan hukum sekender merupakan bahan hukum yang memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer:

1) Rancangan peraturan perundang-undangan

2) Hasil karya ilmiah para sarjana

3) Hasil penelitian

c. Bahan hukum tersier merupakan bahan hukum yang memberikan petunjuk


maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekender, misalnya
kamus, ensiklopedia hukum, bahan dari internet, dan lain-lain.

Sedangkan sumber hukum Islam dengan mengacu pada pendapat dari Soerjono
Soekanto dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Bahan hukum Primer bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari:

1) Al-Qur`an

Adalah sumber hukum Islam yang utama. Didalamnya termuat aturan-


aturan hukum dasar yang masih harus dikembangkan dan diteliti lagi. Al-
Qur`an sebagi sumber hukum utama bagi umat Islam terdiri dari 30 juz,
114 surat, dan 6666 ayat

2) Al-Hadits

Al-hadits merupakan sumber hukum paling utama kedua setelah Al-


Qur`an, didalam As-Sunnah terdapat hal-hal yang belum diatur dalam Al-
Qur`an.

3) Kompilasi Hukum Islam


b. Bahan hukum sekender

Merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum


primer. Dalam hukum Islam hal ini dapat dicontohkan yakni pendapat para
sahabat dan ulama, mazhab-mazhab, serta hasil penelitian

c. Bahan hukum tersier

Merupakan bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan


terhadap bahan hukum primer dan sekender, misalnya kamus, ensiklopedia
hukum, bahan dari internet, dan lain-lain.

6. Teknik Pengumpulan Data

Kegiatan pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan cara


pengumpulan (dokumentasi) data sekunder berupa peraturan perundangan,
artikel maupun dokumen lain yang dibutuhkan untuk kemudian dikategorisasi
menurut pengelompokan yang tepat. Dalam penelitian ini penulis menggunakan
teknik studi pustaka untuk mengumpulkan dan menyusun data yang diperlukan.

7. Teknik Analisis Data

Penulis akan menggunakan teknik analisis isi (content analysis) yaitu suatu
teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru
(replicable) dan sahih data dengan memperhatikan konteksnya. Analisis ini
mencakup prosedur-prosedur khusus untuk pemprosesan data ilmiah (bahan
hukum). Menurut Ole R. Holsti sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto,
content analysis sebuah teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi
dengan mengidentifikasi secara sistematik dan obyektif karakteristik-
karakteristik khusus ke dalam sebuah teknik (Oleh R. Holsti dalam Soerjono
Soekanto, 2006: 22).
Dalam penulisan hukum ini penulis berusaha untuk mendiskripsikan isi
dari peraturan, mengidentifikasikan, dan mengkompilasikan data-data terkait
dengan warisan anak luar kawin dalam hukum Islam dan hukum Perdata yang
disesuaikan dengan alur pikiran sehingga dapat ditemukan suatu hubungan yang
mengarah pada pembahasan yang dapat menghasikan kesimpulan.

F. Sistematika Penelitian

Untuk memberi gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika penulisan


hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum, maka sistematika
penulisan hukum ini terdiri dari empat bab yang tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub
bab untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini.

Sistematika penulisan hukum tersebut sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini berisi kerangka teori yang terdiri dari tinjauan tentang hukum,
tinjauan tentang hukum Islam, dan tinjauan tentang hukum perdata, serta berisi
kerangka pemikiran penulis mengenai permasalahan yang diangkat dalam penulisan
hukum ini.

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini penulis akan membahas dan menjawab permasalahan yang telah
ditentukan sebelumnya yakni mengenai bagaimanakah kedudukan anak luar kawin di
dalam hukum waris Islam dan hukum waris Perdata serta bagaimanakah pembagian
warisan anak luar kawin menurut hukum Islam dan hukum Perdata. Dan bagaimana
penggantian tempat warisan terhadap anak luar kawin dalam hukum Islam dan hukum
Perdata.

BAB IV PENUTUP

Dalam bab ini berisi simpulan dari jawaban permasalahan yang menjadi obyek
penelitian dan saran-saran.

DAFTAR PUSTAKA
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

F. Kerangka Teori

1. Tinjauan Tentang Hukum

a. Pengertian Hukum

Manusia secara kodratnya selalu membutuhkan manusia lain untuk bisa


terus hidup dengan alasan tersebut Aristoteles menyatakan manusia itu adalah
Zoon Politicon. Dalam melakukan hubungan dengan manusia lain tersebut
maka manusia perlu adanya suatu aturan yang mengatur terhadap hubungan
tersebut yang memberikan kepada manusia bagaimana ia harus bertindak dan
bertingkah laku didalam masyarakat. Maka dari itu dibentuklah norma hukum
yang mengatur tentang perilaku manusia dalam hubungan masyarakat. Hukum
merupakan salah satu norma dari ke empat norma yang lain paling ditaati oleh
masyarakat, mengingat hanya norma hukumlah yang mempunyai daya paksa
yang dapat diberlakukan secara riil kepada masyarakat.

Banyak pendapat dari ahli hukum yang memberikan pengertian tentang


hukum diantaranya:

Plato memberikan pengertian hukum sebagai sistem peraturan-


peraturan yang teratur yang tersusun baik yang mengikat masyarakat.
Menurut Aristoteles hukum hanya sebagai kumpulan peraturan yang
tidak hanya mengikat masyarakat tapi juga hakim. M.H. Tirtaamidjata
hukum adalah semua aturan yang harus diturut dalam tingkah laku dan
tindakan dalam pergaulan hidup dengan anacaman mesti mengganti
kerugian bila melanggar itu yang akan membahayakan diri sendiri, atau
harta,umpamanya orang akan kehilangan kemerdekaanya, didenda, atau
sebagainya (Ishaq: 2008, 2-3).
Mengenai tujuan hukum dalam rangka mengatur kehidupan masyarakat
yakni hukum secara garis besar ada tiga teori yang dapat menjelaskan tentang
tujuan hukum (Ishaq: 2008, 8-9):

1) Teori Etis

Teori beranggapan hukum ditempatkan pada perwujudan keadilan yang


semaksimal mungkin dalam tata tertip masyarakat, dalam arti kata hukum
semata-mata hanya bertujuan keadilan. Keadilan berarti pemeliharaan tata
hukum positif melalui penerapannya yang betul-betul sesuai dengan jiwa
dari tata hukum tersebut.

2) Teori Utilitis

Tujuan hukum adalah memberikan kebahagiaan yang sebesar-besarnya


bagi kepada manusia. Hal ini dilatarbelakangi karena hukum barulah sesuai
dengan daya guna atau bermanfaat apabila telah memberikan kebahagian
tanpa harus mempedulikan keadilan.

3) Teori gabungan

Teori tujuan hukum ini merupakan gabungan dari teori utilitis dan teori etis
sehingga hukum bertujuan untuk memberikan kebahagiaan yang disertai
dengan keadilan.

Hukum bekerja dengan cara membatasi tingkah laku manusia, maka dari
itu untuk menjalankannya diperlukan fungsi dari hukum itu sendiri, yakni
(Ishaq: 2008, 11):

1) Memberikan pedoman atau pengarahan pada warga masyarakat untuk


berperilaku;
2) Pengawasan atau pengendalian sosial;

3) Rekayasa sosial;

4) Penyelesaian sengketa.

b. Hukum dan keadilan

Keadilan dalam hukum secara harfiahnya mempunyai makna yang


sempit yakni apa yang sesuai dengan hukum dianggap adil sedang yang
melanggar hukum dianggap tidak adil. Jika terjadi pelanggaran hukum, maka
harus dilakukan pengadilan untuk memulihkan keadilan. Dalam hal terjadinya
pelanggaran pidana atau yang dalam bahasa sehari-hari disebut kejahatan
maka harus dilakukan pengadilan yang akan melakukan pemulihan keadilan
dengan menjatuhkan hukuman kepada orang yang melakukan pelanggaran
pidana atau kejahatan tersebut (Wahyu Kuncoro,
http://advokatku.blogspot.com/2006/11/memaknai-keadilan-dalam-
hukum_07.html, diakses tanggal 2 februari 2009, 07.30 WIB). Setiap norma
hukum sudah dengan sendirinya mengandung ketentuan tentang hak-hak dan
kewajiban-kewajiban para subyek hukum dalam lalu lintas hukum. Norma-
norma hukum yang bersifat dasar, tentulah berisi rumusan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang juga dasar dan mendasar. Karena itu, secara
akademis, sebenarnya persoalan hak dan kewajiban asasi manusia memang
menyangkut konsepsi yang niscaya ada dalam keseimbangan konsep hukum
dan keadilan.

2. Tinjauan Tentang Hukum Islam

a Tinjauan hukum Islam

1) Ruang Lingkup Hukum Islam


Islam merupakan ajaran Allah SWT yang mengatur seluruh bidang
kehidupan manusia yang disampaikan melalui Nabi Muhammad SAW.
Salah satu bidang yang diatur adalah hukum. Hukum Islam mempunyai
karakteristik yang berbeda dengan hukum-hukum lain yang ada di dalam
masyarakat. Menurut pendapat Abu Ishaq as Satibi yang dikutip dari buku
karangan M. Daud Ali tujuan hukum Islam adalah memelihara agama,
jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dengan terpeliharanya kelima tujuan
tersebut, manusia akan mencapai kebahagiaan hidup dunia akhirat (M.
Daud Ali, 1998:192). Membicarakan tentang hukum Islam, tidak terlepas
dari beberapa hal diantaranya pembahasan mengenai sumber hukum
Islam, asas-asas, lingkup masalah atau pembidangan dalam hukum Islam.

a) Sumber Hukum Islam

Validitas yang khas dari hukum Islam adalah bahwa ia menjadi


manifestasi kehendak Tuhan, yang pada waktu tertentu dalam sejarah,
mengungkapkannya kepada umat manusia melalui Nabi Muhammad
SAW karena itu, hukum Islam tidak menyandarkan diri pada otoritas
pembuat hukum duniawi manapun. Sumber hukum Islam disamping
Al-Qur’an adalah ketetapan-ketetapan Nabi SAW yang merefleksikan
penerapan aturan-aturan, prinsip-prinsip dan perintah-perintah yang
sudah dikemukakan dalam Al-Qur’an.

Sumber Hukum Islam adalah asal (tempat pengambilan) hukum


Islam. Mengenai sumber hukum Islam, ada beberapa pendapat
dikalangan para ulama. Menurut Muaz bin Jabal sumber hukum Islam
ada tiga yaitu Al Qur’an, As Sunnah atau Al Hadits, dan akal pikiran
manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad (Ar Ra’yu).
Sedangkan menurut Imam Syafi’i dalam kitab Al Risalah, sumber
hukum Islam ada empat yaitu Al Qur’an, As Sunnah atau Hadits,
Ijma’, dan Qiyas. Dari dua pendapat mengenai sumber hukum Islam
dapat disimpulkan bahwa sumber hukum Islam adalah Al Qur’an, As
Sunnah atau Hadits dan akal pikiran (Ar Ra’yu) manusia yang
memenuhi syarat untuk melakukan ijtihad (M. Daud Ali, 2002:71-75).

(1) Al Qur’an

Al Qur’an adalah sumber hukum Islam yang pertama dan utama.


pada garis besarnya Al Qur’an menjelaskan berbagai aspek
kehidupan manusia, baik behubungan manusia dengan Tuhannya
atau hubungan manusia dengan manusia atau dengan makhluk
tuhan yang lain. Soal-soal pengaturan tersebut berkenaan dengan
akidah, syariah, ibadah, muamalah, akhlak, kisah-kisah umat
terdahulu, berita tentang zaman yang akan datang, prinsip-prinsip
ilmu pengetahuan, dan lain-lain.

(2) As Sunnah atau Al Hadits

As Sunnah atau Al Hadits adalah sumber hukum Islam yang kedua


setelah Al Qur’an, yaitu berupa perkataan (sunnah qauliyah),
perbuatan (sunnah fi’liyah), dan sikap diam atau ketetapan (sunnah
taqririyah) Rasulullah.

(3) Akal pikiran (Ra’yu)

Sumber hukum Islam yang ketiga adalah akal pikiran manusia


yang memenuhi syarat untuk berusaha, berikhtiar dengan seluruh
kemampuan yang ada untuk memahami kaidah-kaidah hukum
yang fundamental yang terdapat dalam Al Qur’an, kaidah-kaidah
hukum yang bersifat umum yang terdapat dalam Sunnah Nabi dan
merumuskannya menjadi garis-garis hukum yang dapat diterapkan
pada suatu kasus tertentu (M Daud Ali, 1998:101). Akal adalah
kunci untuk memahami agama, ajaran dan hukum Islam karena itu,
akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad yang
menjadi sumber hukum Islam yang ketiga, atau dalam kepustakaan
disebut Ar Ra’yu atau ijtihad. Adapun metode atau cara untuk
melakukan ijtihad antara lain: (M. Daud Ali, 1998:108-111):

(a) Ijma’ (konsensus) yaitu persetujuan atau kesesuaian pendapat


para ahli mengenai suatu masalah pada suatu tempat di suatu
masa atau dapat dikatakan juga sebagai persetujuan atau
kesesuaian pendapat di suatu tempat mengenai tafsiran ayat-
ayat (hukum) tertentu dalam Al-Qur’an;

(b) Qiyas (deduksi analogi) artinya penalaran secara analogis,


dengan menggunakan analogi-analogi masa lalu dan
keputusan-keputusan yang dihasilkannya menjadi preseden
dari setiap situasi baru, atau juga diartikan dengan
menyamakan hukum suatu hal yang tidak terdapat
ketentuannya di dalam Al Qur’an dan Sunnah atau Hadits
dengan hal lain yang hukumnya disebut dalam Al Qur’an dan
Sunnah karena persamaan illat (penyebab atau alasan). Dalam
aplikasi qiyas meliputi perbandingan antara dua hal dengan
maksud menilai suatu hal dari sudut pandang hal lainnya;

(c) Isti’dal yaitu menarik kesimpulan dari dua hal yang berlainan,
misalnya menarik kesimpulan dari adat istiadat dan hukum
agama yang diwahyukan sebelum Islam;

(d) Al masalih mursalah yaitu cara menemukan hukum tentang


suatu hal yang tidak terdapat ketentuannya dalam Al Qur’an
maupun Sunnah berdasarkan pertimbangan kemaslahatan atau
kepentingan umum;

(e) Istihsan yaitu cara menentukan hukum dengan jalan


menyimpang dari ketentuan yang sudah ada demi keadilan dan
kepentingan sosial;

(f) Istihsab yaitu menetapkan hukum tentang suatu hal menurut


keadaan yang terjadi sebelumnya sampai ada dalil yang
mengubahnya;

(g) Urf atau adat istiadat yang tidak bertentangan dengan hukum
Islam dapat dikukuhkan dan berlaku bagi masyarakat yang
bersangkutan.

b) Asas-Asas Hukum Islam

Konsep hukum antara hukum dalam Islam berbeda dengan


hukum lainnya. Sehingga ada aspek-aspek dan asas-asas yang harus
dipenuhi yang menjadikan ciri khasnya. Apabila kata asas
dihubungkan dengan hukum, maka yang dimaknai asas adalah
kebenaran yang digunakan sebagai tumpuan berpikir dan alasan
pendapat terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hukum. Dalam
garis besar mengenai asas hukum Islam dapat dibagi menjadi tiga
yaitu (M. Daud Ali, 1998:115-116):

(1) Asas-asas umum

Asas umum adalah asas yang meliputi semua bidang dan segala
lapangan hukum Islam yaitu keadilan, kepastian hukum, dan
kemanfaatan.
(2) Asas-asas dalam lapangan hukum pidana

Asas-asas dalam lapangan hukum pidana Islam antara lain


legalitas, larangan memindahkan kesalahan pada orang lain, dan
praduga tidak bersalah.

(3) Asas-asas dalam lapangan hukum perdata

Asas-asas dalam lapangan hukum perdata Islam antara lain


kebolehan atau mubah, kemaslahatan, kebebasan dan
kesukarelaan, menolak mudharat dan mengambil manfaat,
kebajikan, kekeluargaan, adil dan berimbang, mendahulukan
kewajiban daripada hak, larangan merugikan diri sendiri dan orang
lain, kemampuan berbuat, kebebasan berusaha, mendapatkan hak
karena usaha dan jasa, perlindungan hak, hak milik berfungsi
sosial, beritikad baik, risiko dibebankan pada benda atau harta,
tidak pada tenaga atau pekerja, mengatur sebagai petunjuk, dan
perjanjian tertulis atau diucapkan di depan saksi.

c) Lingkup Masalah Hukum Islam

Dari segi materi lingkup masalah, hukum Islam mencakup


hukum ibadah dan hukum muamalat. Hukum Ibadah mengatur
hubungan manusia dengan Allah SWT, hukum ini tidak terdapat pada
hukum positif yang lain. Sedangkan hukum muamalah yaitu yang
mengatur hubungan manusia dengan manusia, benda dan alam
semesta mencakup bidang tentang hukum keluarga, pidana, acara,
ketatanegaraan, hubungan antar negara, serta ekonomi dan
perdagangan.
Waris dalam Islam di kenal dengan Fardh secara syar'ie adalah bagian
yang telah ditentukan bagi ahli waris. Dalam Islam kedudukan ilmu waris
sangatlah tinggi oleh karena terdapat Hadits Nabi SAW Dari Ibnu Mas'ud, dia
berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW (Sayyid Sabiq, 1986: 2):

Pelajarilah Al-Qur'an dan ajarkanlah kepada manusia. Pelajarilah


Faroidh dan ajarkanlah kepada manusia. Karena aku adalah orang yang
akan mati, sedang ilmupun akan diangkat. Hampir saja dua orang
berselisih tentang pembagian warisan dan masalahnya tidak menemukan
seorang yang memberitahukannya kepada keduanya.

1) Dasar atau sumber hukum waris Islam

Seperti halnya dalam hukum Islam sumber waris Islam juga


bersumber pada Al Qur’an, As Sunnah atau Hadits dan akal pikiran (Ar
Ra’yu) manusia yang memenuhi syarat untuk melakukan ijtihad. Adapun
sumber waris Islam adalah (Ahmad Azhar, 1999: 11)::

a) Al Qur’an

Sebagai sumber hukum waris yang utama ada beberapa ayat-ayat Al-
Qur`an yang mengatur tentang pembagian warisan terdapat dalam
Surat An Nisa` dari ayat 1, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 176 serta dalam surat
Al-Anfal ayat 75 yang dalam ayat-ayat tersebut disebutkan secara
terperinci mengenai bagian yang diterima dari ahli waris.

b) Sunnah Muhammad Rasulullah S.A.W

Walaupun dalam Al-Qur`an telah disebutkan mengenai bagian-bagian


ahli waris secara lengkap namun dalam Sunnah Rasul SAW juga
disebutkan tentang bagian-bagian ahli waris diantaranya hadits riwayat
Bukhari dan Muslim “mengajarkan bahwa ahli waris laki-laki yang
lebih dekat kepada pewaris lebih berhak atas sisa warisan yang setelah
diambil bagian ahli waris yang mempunyai bagian-bagian tertentu”.

c) Ijtihad

Dalam hal-hal tertentu terdapat suatu masalah dalam waris yang tidak
terperincikan dalam Al Qur’an dan As Sunnah atau Hadits maka dari
itu sudah menjadi tugas manusia untuk menggunakan akal pikirannya
untuk berijtihad. Contoh ijtihad dalam waris adalah mengenai bagian
dari seorang banci, harta warisan yang tidak habis terbagi lalu kepada
siapa sisa tersebut diberikan.

2) Asas kewarisan Islam

Sebagai hukum yang bersumber dari Al Qur’an, As Sunnah atau


Hadits hukum kewarisan Islam mengandung asas yang berlaku dalam
waris Islam tersebut. Asas hukum waris Islam sendiri berkaitan dengan
sifat peralihan harta kepada ahli waris, cara pemilikan harta oleh
penerima, kadar jumlah harta yang diterima dan waktu peralihan harta
warisan tersebut. Kelima asas tersebut adalah (Amir Syarifuddin, 2004:
16):

a) Asas Ijbari

Penggunaan akan asas ini mengadung pengertian bahwa peralihan


harta dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya
berlaku dengan sendirinya menurut ketentuan Allah SWT tanpa
tergantung pada kehendak dari pewarisan atau permintaan dari ahli
warisnya. Dengan asas ini pewaris sebelum ia meninggal ia tidak
dapat menolak, peralihan harta tersebut apapun kemauan dari pewaris
terhadap harta tersebut maka kemauannya dibatasi oleh ketentuan
Allah SWT;

b) Asas Bilateral

Mengandung pengertian bahwa harta warisan beralih kepada atau


melalui dua arah, hal ini berarti bahwa setiap orang menerima hak
kewarisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu pihak kerabat
keturunan laki-laki dan pihak kerabat perempuan. Yang menjadi dasar
asas bilateral ini adalah firman Allah SWT dalam surat An- Nisa` ayat
7, 11, 12, 176;

c) Asas Individu

Hukum Islam mengajarkan asas kewarisan secara individual, dengan


arti bahwa harta warisan dapat dibagi untuk dimiliki secara
perseorangan. Masing-masing ahli waris menerima bagiannya secara
tersendiri tanpa harus terikat dengan ahli waris lain. Menghilangkan
bentuk individualnya dengan jalan mencampuradukan harta warisan
tanpa perhitungan dan dengan sengaja menjadikan hak kewarisan itu
bersifat kolektif maka hal ini berarti telah menyalahi ketentuan-
ketentuan yang terdapat di dalam Al-Qur`an dan pelakunya terkena
sanksi yakni dosa besar;

d) Asas Keadilan Berimbang

Dalam kewarisan hukum Islam asas keadilan berimbang ini dapat


terlihat dalam pewarisan Islam perbedaan gender tidak menentukan
hak kewarisan dalam Islam. Ditinjau dari segi jumlah bagian yang
diperoleh saat menerima hak, memang tidak terdapat kesamaan hal itu
menurut Islam bukan tidak adil melainkan dalam Islam keadilan tidak
hanya diukur berdasarkan jumlah yang didapat saat menerima warisan
melainkan juga dikaitkan kepada penggunaan dan kebutuhan. Secara
umum laki-laki lebih membutuhkan banyak materi dari pada
perempuan hal ini dikarenakan pria memikul kewajiban ganda yaitu
untuk dirinya sendiri beserta keluarganya;

e) Asas Semata Akibat Kematian

Hal ini mengandung pengertian bahwa dalam hukum Islam hanya


mengenal pewarisan yang didasarkan pada akibat kematian atau dalam
hukum Perdata disebut sebagai pewarisan ab intestato dan dalam Islam
tidak dikenal pewarisan karena wasiat yang dilakukan oleh pewaris
sebelum meninggal. Karena dalam Islam wasiat merupakan lembaga
yang berdiri sendiri dan terpisah dengan waris.

3) Syarat dan sebab mendapat warisan

Dalam Islam syarat waris haruslah dipenuhi untuk dapat


dilaksanakannya suatu pewarisan. Syarat-syarat waris juga ada tiga:

a) Pertama: Meninggalnya pewaris yang dimaksud dengan meninggalnya


pewaris baik secara hakiki ataupun secara hukum ialah bahwa
seseorang telah meninggal dan diketahui oleh seluruh ahli warisnya
atau sebagian dari mereka, atau vonis yang ditetapkan hakim terhadap
seseorang yang tidak diketahui lagi keberadaannya;

b) Kedua: Masih hidupnya para ahli waris maksudnya, pemindahan hak


kepemilikan dari pewaris harus kepada ahli waris yang secara syariat
benar-benar masih hidup, sebab orang yang sudah mati tidak memiliki
hak untuk mewarisi;
c) Ketiga: Diketahuinya posisi para ahli waris Dalam hal ini posisi para
ahli waris hendaklah diketahui secara pasti, misalnya suami, istri,
kerabat, dan sebagainya. Sehingga pembagi mengetahui dengan pasti
jumlah bagian yang harus diberikan kepada masing-masing ahli waris.
Sebab dalam hukum waris perbedaan jauh-dekatnya kekerabatan akan
membedakan jumlah yang diterima.

selain adanya syarat ada pula sebab seseorang mendapatkan warisan. Dan
empat sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan hak waris:

a) Kerabat hakiki (yang ada ikatan nasab), seperti kedua orangtua, anak,
saudara, paman, dan seterusnya;

b) Pernikahan, yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar'i) antara


seorang laki-laki dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi
hubungan intim (bersanggama) antar keduanya. Adapun pernikahan
yang batil atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan
hak waris;

c) Al-Wala, yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Yang menjadi


penyebab adalah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan
seseorang. Orang yang membebaskan budak berarti telah
mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia.
Karena itu Allah SWT menganugerahkan kepadanya hak mewarisi
terhadap budak yang dibebaskan, bila budak itu tidak memiliki ahli
waris yang hakiki, baik adanya kekerabatan (nasab) ataupun karena
adanya tali pernikahan;

d) Tujuan Islam, yaitu dengan menampung harta warisan yang tidak


terdapat ahli warisnya di Baitul Mal yang akan digunakan untuk
kesejahteraan umat.
Sebelum harta peninggalan tersebut dibagikan kepada ahli waris
sehingga akan menjadi miliknya terlebih dahulu harus dilaksanakan hak-
hak yang menyangkut harta pewarisan tersebut baik si pewaris
mempunyai hutang ataupun sebab lain. Hak-hak yang berhubungan
dengan harta peninggalan itu ada empat. Keempatnya tidak sama
kedudukannya, sebagiannya ada yang lebih kuat dari yang lain sehingga ia
didahulukan atas yang lain untuk dikeluarkan dari peninggalan. Hak-hak
tersebut menurut tertib berikut (Ahmad Azhar, 1999: 11):

a) Biaya mengkafani dan memperlengkapinya menurut cara yang telah


diatur dalam masalah jenazah;

b) Melunasi hutangnya. mendahulukan hutang kepada Allah SWT seperti


zakat dan kifarat, atas hutang kepada manusia. Dengan diwasiatkannya
hutang, maka hutang itu menjadi seperti wasiat kepada orang lain yang
dikeluarkan oleh ahli waris atau pemelihara dari sepertiga yang tersisa
setelah perawatan mayat dan hutang kepada manusia. Ini bila dia
mempunyai ahli waris;

c) Pelaksanaan wasiat dari sepertiga sisa harta semuanya sesudah hutang


dibayar;

d) Pembagian sisa harta di antara para ahli waris.

4) Penggolongan Ahli Waris

Ahli waris menurut haknya dalam hukum Islam dapat dibagi menjadi tiga
golongan yakni:
a) Ahli waris Dzawil Furudl

Yang dimaksud dengan Ahli waris Dzawil Furudl “Yaitu ahli waris
yang sudah ditentukan di dalam Al-Qur’an ataupun Sunnah Nabi
SAW, keistimewaan dari Ahli waris dzawil furudl bagian mereka akan
selalu tetap dan tidak akan berubah-ubah. Bagian tertentu yang telah
diatur tersebut ialah 2/3, ½, 1/3, ¼, 1/6, dan 1/8. Adapun yang
termasuk kedalam Ahli waris dzawil furudl adalah:

(1) Suami

(2) Istri

(3) Ayah

(4) Ibu

(5) Anak perempuan

(6) Cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki

(7) Saudara perempuan kandung

(8) Saudara perempuan seayah

(9) Saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu

(10) Kakek

(11) Nenek

b) Ahli waris `ashabah

Mereka yang mendapatkan sisa sesudah Ashhaabul Furuudh


mengambil bagian-bagian yang ditentukan bagi mereka. Apabila tidak
ada sisa sedikitpun dari mereka (ashhaabul furuudh), maka mereka
('ashobah) tidak mendapatkan apa-apa, `ashobah di bagi menjadi tiga
yakni:

(1) `Ashabah binafsihi yaitu `ashabah-`ashabah yang berhak


mendapat semua harta atau semua sisa, yang urutannya adalah:
Anak laki-laki; Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan terus ke
bawah asal saja pertaliannya masih terus laki-laki; Ayah; Kakek
dari pihak ayah dan terus ke atas asal saja pertaliannya belum
putus dari pihak ayah; Saudara laki-laki sekandung; Saudara laki-
laki seayah; Anak saudara laki-laki sekandung; Anak saudara laki-
laki seayah; paman yang sekandung dengan ayah; Paman yang
seayah dengan ayah; Anak laki-laki paman yang sekandung
dengan ayah; Anak laki-laki paman yang seayah dengan ayah.

(2) `Ashabah bilghairi yaitu `ashabah dengan sebab ditarik oleh orang
lain, yakni seorang wanita yang menjadi `ashabah karena ditarik
oleh seorang laki-laki, mereka yang termasuk dalam `ashabah
bilghairi ada empat wanita yang fardh mereka ½ bila tunggal dan
2/3 bila lebih dari satu orang, meraka adalah anak perempuan
kandung, cucu perempuan pacer laki-laki, saudari sekandung,
saudari tunggal ayah. Apabila salah satu perempuan-perempuan
yang tersebut bersama-sama dengan seorang mu`ashshibnya-
binnafsinya yang sama derajadnya dan kekuatan kekerabatannya,
ia menjadi `Ashabah bilghairi. Ia bersama-sama dengan
mu`ashshibnya menerima sisa harta peninggalan dari ashhabul-
furudh atau seluruh harta peninggalan bila tidak ada ashhabul-
furudh dengan ketentuan orang yang laki-laki mendapat dua kali
lipat bagian dari orang perempuuan
(3) Ashabah ma’al ghairi yaitu `ashabah yang berkedudukan menjadi
waris `ashobah karena bersama-sama dengan waris lain, seperti
saudara perempuan kandung atau seayah menjadi waris `ashabah
karena bersama-sama dengan anak perempuan. 'Ashabah ma'al
ghair ini khusus bagi para saudara kandung perempuan maupun
saudara perempuan seayah apabila mewarisi bersamaan dengan
anak perempuan yang tidak mempunyai saudara laki-laki. Jadi,
saudara kandung perempuan ataupun saudara perempuan seayah
bila berbarengan dengan anak perempuan atau cucu perempuan
keturunan anak laki-laki dan seterusnya akan menjadi 'ashabah.

c) Ahli waris dzawil arham

Yakni ahli waris yang mempunyai hubungan famili dengan pewaris


tetapi tidak termasuk kedalam golongan waris dzawil furudl dan
`ashabah, yang termasuk kedalam golongan ini antara lain: cucu laki-
laki atau perempuan anak-anak dari anak perempuan, kemenakan,
paman seibu, paman, kakek, nenek buyut.

Walaupun seorang yang berkedudukan sebagai ahli waris namun ada


kalanya ia dapat kehilangan haknya sebagai ahli waris dikarenakan tidak patut
dan tidak berhak mendapat bagian waris dari pewaris. Hal tersebut bisa
ditentukan karena beberapa penyebab, yaitu:

1) Ahli waris yang membunuh pewaris, tidak berhak mendapat warisan dari
keluarga yang dibunuhnya;

2) Orang yang berbeda agama atau orang yang murtad tidak berhak
mendapat warisan dari keluarganya yang beragama Islam, demikian pula
sebaliknya;
3) Menjadi budak orang lain, budak itu dianggap tidak memiliki sesuatu oleh
karenanya tidak boleh mewaris.

Orang-orang yang tergolong dalam kriteria ahli waris seperti yang


disebutkan di atas, apabila ternyata telah berpura-pura dan menguasai
sebagian atau seluruh harta peninggalan pewaris, maka dia berkewajiban
mengembalikan seluruh harta yang dikuasainya.

Dalam hal apabila tidak terdapat ahli waris yang akan mewaris terhadap
harta warisan entah itu meminggal dunia lebih dahulu sebelum pewaris, maka
harta tersebut akan beralih ke Baitul Mal yakni perbendaharaan negara tempat
menampung harta benda kepentingan umum yang akan dibelanjakan untuk
kepentingan umum.

Didalam hukum waris Islam anak dalam mewaris mempunyai


kedudukan yang paling utama diantara golongan ahli waris yang lain. Anak
dalam Islam dapat dibagi menjadi dua golongan yakni anak syar`iy dan
thabi`iy. Dinamakan syar`iy karena agama telah menetapkan adanya
hubungan nasab antara orang tua laki-laki dan perempuan melalui
perkawinan, sedangkan yang dinamakan dengan anak thabi`iy adalah secara
hukum dianggap tidak memiliki nasab dengan orang tua laki-lakinya karena
anak tersebut lahir tidak dalam perkawinan yang sah.

Seorang anak dapat dikatakan sebagai anak anak syar`iy yaitu:

1) Anak tersebut adalah anak yang dilahirkan oleh suami istri dari
perkawinan yang sah. Sehingga anak yang dilahirkan tersebut sah secara
undang-undang dan agama karena dilahirkan dari perkawinan yang sah
menurut agama dan undang-undang. Dalam hal ini mengandung dua
kemungkinan yang pertama yaitu anak yang lahir setelah terjadi akad nikah
yang sah dan kemudian dalam perkawinan tersebut atau selam perkawinan
tersebut sang istri hamil dari hasil hubungan dengan suaminya lalu anak
tersebut lahir. Kemungkinan yang kedua adalah Anak yang lahir sebagai
akibat dari perkawinan yang sah. Contoh, istri hamil dan kemudian suami
meninggal. Anak yang dikandung istri adalah anak sah sebagai akaibat
dari adanya perkawian yang sah

2) Anak tersebut adalah anak yang merupakan hasil pembuahan suami-istri


yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut. Dengan adanya
teknologi seperti jaman sekarang yang serba maju hal tersebut dapat
dilakukan dengan bayi tabung.

Sedangkan anak yang disebut sebagai anak thabi`iy adalah anak luar
kawin yang dianggap sebagai anak zina dari orang tuanya. Sehingga ada dua
kelompok anak luar kawin dalam hukum Islam yakni anak zina dan anak li'an.
Dengan mana kedua anak tersebut tidak bisa dinasabkan kepada ayahnya tapi
hanya kepada ibunya.

Dalam hal anak thabi`iy mereka tidak bisa mewaris terhadap ayah
kandungnya, hal ini dikarenakan anak thabi`iy hanya bisa dinasabkan kepada
jalur ibunya.

3. Tinjauan Hukum Perdata

a Ruang lingkup hukum Perdata

Hukum Perdata mempunyai pengertian yakni segala peraturan hukum


yang mengatur hubungan hukum antara orang satu dan yang lain. Sedangkan
yang dimaksud dengan Hukum Perdata Indonesia adalah hukum Perdata yang
berlaku bagi seluruh wilayah di Indonesia. Hukum Perdata yang berlaku di
Indonesia adalah hukum Perdata barat (Belanda) yang pada awalnya berinduk
pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda
atau dikenal dengan burgerlijk wetboek dan biasa disingkat dengan B.W.
Sebagian materi B.W sudah dicabut berlakunya & sudah diganti dengan
Undang-Undang Republik Indonesia misalnya mengenai Undang-Undang
Perkawinan, Undang-Undang Hak Tanggungan, Undang-Undang Kepailitan.

Setelah Indonesia merdeka berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan


UUD 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Hindia Belanda tetap
dinyatakan berlaku sebelum digantikan dengan Undang-Undang baru
berdasarkan Undang-Undang Dasar ini. BW Hindia Belanda disebut juga
Kitab Undang-Undang Hukun Perdata Indonesia sebagai induk hukum
Perdata Indonesia. Sehingga dengan berlakunya Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata di Indonesia ini yang mana dalam Undang-Undang Dasar
1945 tidak dikenal adanya suatu pembagian penduduk berdasarkan golongan-
golongan melainkan hanya mengenal warga negara dan bukan warga negara
berarti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat diterapkan bagi semua
masyarakat Indonesia tanpa harus membedakan apakah itu dari golongan
timur asing, golongan pribumi, ataupun golongan eropa. Hal ini sangat
berbeda dengan penerapan Kitab Undang-Undang hukum Perdata pada saat
jaman penjajahan.

Dalam hukum Perdata terbagi kedalam 4 buku yang terdiri dari:

1) Buku I tentang Orang; mengatur tentang hukum perseorangan dan hukum


keluarga, yaitu hukum yang mengatur status serta hak dan kewajiban yang
dimiliki oleh subyek hukum. Antara lain ketentuan mengenai timbulnya
hak keperdataan seseorang, kelahiran, kedewasaan, perkawinan, keluarga,
perceraian dan hilangnya hak keperdataan. Khusus untuk bagian
perkawinan, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak
berlaku dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan;
2) Buku II tentang Kebendaan; mengatur tentang hukum benda, yaitu hukum
yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki subyek hukum yang
berkaitan dengan benda, antara lain hak-hak kebendaan, waris, dan
penjaminan. Yang dimaksud dengan benda meliputi benda berwujud yang
tidak bergerak (misalnya tanah, bangunan dan kapal dengan berat
tertentu); benda berwujud yang bergerak, yaitu benda berwujud lainnya
selain yang dianggap sebagai benda berwujud tidak bergerak; dan benda
tidak berwujud (misalnya hak tagih atau piutang). Khusus untuk bagian
tanah, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku
dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Pokok-Pokok Agraria. Begitu pula bagian mengenai penjaminan dengan
hipotik, telah dinyatakan tidak berlaku dengan diundangkannya Undang-
Undang tentang hak tanggungan;

3) Buku III tentang Perikatan; mengatur tentang hukum perikatan atau


kadang disebut juga perjanjian (walaupun istilah ini sesunguhnya
mempunyai makna yang berbeda), yaitu hukum yang mengatur tentang
hak dan kewajiban antara subyek hukum di bidang perikatan, antara lain
tentang jenis-jenis perikatan (yang terdiri dari perikatan yang timbul dari
(ditetapkan) Undang-Undang dan perikatan yang timbul dari adanya
perjanjian), syarat-syarat dan tata cara pembuatan suatu perjanjian.
Khusus untuk bidang perdagangan, Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang (KUHD) juga dipakai sebagai acuan. Isi KUHD berkaitan erat
dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya Buku III. Bisa
dikatakan Kitap Undang-Undang Hukum Dagang adalah bagian khusus
dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

4) Buku IV tentang Daluarsa dan Pembuktian; mengatur hak dan kewajiban


subyek hukum (khususnya batas atau tenggat waktu) dalam
mempergunakan hak-haknya dalam hukum Perdata dan hal-hal yang
berkaitan dengan pembuktian.

Didalam pembagian Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menurut buku


diatas telah disebutan bahwa waris termasuk kedalam buku II.

Hukum waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Hukum waris menurut konsepsi hukum Perdata barat bersumber pada


BW, merupakan bagian dari hukum harta kekayaan. Oleh karena itu, hanyalah
hak dan kewajiban yang berwujud harta kekayaan yang merupakan warisan
dan yang akan diwariskan. Sedangkan Hak dan kewajiban dalam hukum
publik, hak dan kewajiban yang timbul dari kesusilaan dan kesopanan tidak
akan diwariskan, demikian pula halnya dengan hak dan kewajiban yang
timbul dari hubungan hukum keluarga, ini juga tidak dapat diwariskan.
Kiranya akan lebih jelas apabila kita memperhatikan rumusan hukum waris
yang diberikan oleh Pitlo yang dikutip dari buku Erman Suparman dibawah
ini, rumusan tersebut menggambarkan bahwa hukum waris merupakan bagian
dari kenyataan, yaitu (Erman Suparman, 2005: 13):

Hukum waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur hukum


mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai
pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari
pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam
hubungan antar mereka dengan mereka, maupun dalam hubungan antara
mereka dengan pihak ketiga.

Hukum waris Perdata di Indonesia pada umumnya digunakan oleh


orang non muslim dan keturunan timur asing. Menurut Pitlo yang dikutip dari
buku Abdulkadir Muhammad pengaturan hukum waris Perdata mengandung
dua sisi dimana satu sisi termasuk dalam hukum benda dan yang lain
termasuk kedalam hukum keluarga. Masuknya hukum waris dalam hukum
benda didasarkan pada pemikiran bahwa ahli waris mempunyai hak waris, hak
mana tidak dipunyai oleh pewaris. Pewaris hanya mempunyai hak milik atas
bendanya. Menurut Pasal 833 KUHPerdata ahli waris dengan sendirinya
memperoleh segala barang, hak, dan piutang dari pewaris. Ahli waris dapat
menggugat siapa saja yang melanggar hak warisnya (Pasal 834 KUHPerdata).
Jadi hak waris itu adalah hak yang berdiri sendiri. Padahal menurut Pitlo
didasarkan pada Pasal 1100 KUHPerdata harta warisan itu terdiri dari
kekayaan yang dikurangi dengan hutang dan beban lainnya (Abdulkadir
Muhammad, 2000: 268).

Berbicara mengenai hukum waris barat yang dimaksud adalah


sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) yang menganut sistem individual, dimana harta peninggalan
pewaris yang telah wafat diadakan pembagian. Didalam hukum waris terdapat
unsur waris yakni:

1) Pewaris, yakni orang yang meninggal dunia, dan ahli warisnya berhak
untuk mewarisi harta peninggalannya;

2) Ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau menerima
harta peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab)
atau ikatan pernikahan, atau lainnya;

3) Harta warisan, yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang


ditinggalkan pewaris, baik berupa uang, tanah, dan sebagainya.

Didalam buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 830 telah


ditetapkan bahwa pewarisan hanya berlangsung karena kematian. Hal ini
berarti syarat kematian sebagai syarat yang harus dipenuhi supaya terjadi
pewarisan anatara ahli waris dengan pewaris. Sedangkan bagi ahli waris untuk
dapat harta warisan dari pewaris maka ahli waris tersebut haruslah masih
hidup pada saat pewaris tersebut meninggal dunia.
1) Cara mewaris menurut hukum Perdata

Dalam hukum Perdata dikenal adanya dua cara untuk seseorang bisa
mendapatkan warisan dari seorang pewaris:

a) Mewaris menurut ketentuan Undang-Undang

Mewaris menurut ketentuan Undang-Undang dinamakan


mewaris menurut undang-undang/ab intestato. Berdasarkan Pasal 832
KUHPerdata maka yang berhak menerima bagian warisan berdasarkan
Undang-Undang adalah para keluarga sedarah, baik sah ataupun diluar
kawin dan suami atau istri yang hidup terlama. Pewarisan ab intestato
ini dikenal dengan dua cara mewaris:

(1) Mewaris karena haknya atau kedudukannya

Merupakan para ahli waris yang terpanggil untuk mewaris


karena kedudukannya sendiri berdasarkan hubungan darah dengan
si pewaris. Mereka mewaris kepala demi kepala maksudnya adalah
mereka menerima dengan hak yang sama hal ini sebagaimana
diatur dalam Pasal 852 ayat 2 KUHPerdata.

Contoh: D, E, F mewaris dari A maka D, E, F akan menerima


harta warisan yang sama yakni 1/3. D, E, F inilah yang disebut
mewaris karena haknya atau kedudukannya.

(2) Mewaris karena penggantian tempat

Dalam Pasal 841 KUHPerdata menyebutkan bahwa


pergantian memberi hak kepada pihak yang mengganti untuk
bertindak sebagai pengganti dalam derajat dan dalam segala hak
orang yang diganti. Sebagai contoh Z adalah pewaris dengan ahli
waris D, E, F dan A, B adalah anak dari D. Tapi karena terjadi
suatu hal yang menyebabkan kematian dari D sebelum Z
meninggal dunia maka yang dapat menggantikan D adalah anak-
anaknya yakni A dan B yang mendapatkan warisan sebesar 1/3.
Maka A dan B tersebut adalah ahli waris karena menggantikan
tempat yakni D. Ada tiga bentuk mewaris karena penggantian
tempat yaitu:

(a) Penggantian yang terjadi dalam garis lurus ke bawah yang sah,
berlangsung terus tanpa akhir. Penggantian itu diizinkan dalam
segala hal, baik bila anak-anak dan orang yang meninggal
menjadi ahli waris bersama-sama dengan keturunan-keturunan
dan anak yang meninggal lebih dahulu, maupun bila semua
keturunan mereka mewaris bersama-sama, seorang dengan
yang lain dalam pertalian keluarga yang berbeda-beda
derajatnya. Penggantian tempat ini diatur dalam Pasal 842
KUHPerdata;

(b) Dalam garis ke samping, penggantian diperkenankan demi


keuntungan semua anak dan keturunan saudara laki-laki dan
perempuan orang yang meninggal, baik jika mereka menjadi
ahli waris bersama-sama dengan paman-paman atau bibi-bibi
mereka, maupun jika warisan itu, setelah meninggalnya semua
saudara yang meninggal, harus dibagi di antara semua
keturunan mereka, yang satu sama larnnya bertalian keluarga
dalam derajat yang tidak sama. Penggantian tempat ini diatur
dalam Pasal 844 KUHPerdata;

(c) Penggantian juga diperkenankan dalam pewarisan dalam garis


ke samping, bila di samping orang yang terdekat dalam
hubungan darah dengan orang yang meninggal, masih ada anak
atau keturunan saudara laki-laki atau perempuan dan mereka
yang tersebut pertama. Penggantian tempat ini diatur dalam
Pasal 845 KUHPerdata.

b) Mewaris berdasarkan testament

Berbeda dengan hukum Islam yang menempatkan wasiat sebagai


hukum yang berdiri sendiri, dalam hukum Perdata testament
merupakan bagian dari hukum waris. Suatu wasiat adalah suatu
pernyataan dari orang tentang apa yang dikehendakinya setelah
meninggal. Pada dasarnya perjanjian seperti ini hanya keluar dari satu
pihak saja dan setiap waktu dapat ditarik kembali oleh pembuatnya.
Dalam Pasal 874 KUHPerdata yang menerangkan arti wasiat dalam
testament juga sudah mengandung syarat bahwa isi dari pernyataan
tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Sebagaimana telah
diterangkan suatu testament dapat dapat setiap waktu dicabut/ditarik
kembali, hal ini dapat dilakukan dengan dua cara yakni secara diam-
diam yang mana dalam hal ini membuat testament baru yang memuat
pesanan-pesanan yang bertentang dengan testament yang lama serta
cara yang kedua yakni secara terang-terangan yakni terjadi dengan
dibuatnya testament yang baru dimana diterangkan secara tegas bahwa
testament yang dahulu telah dicabut kembali.

Ketetapan dengan surat wasiat dalam Pasal 876 KUHPerdata


terdiri dari dua macam cara yaitu (Ali Afandi, 1986: 16):

(1) Erfstelling yaitu memberikan wasiat dengan tidak ditentukan


bendannya secara tertentu. Erfstelling diatur didalam Pasal 954
KUperdata, dimana dalam pasal tersebut memberikan pengertian
tentang Erfstelling adalah suatu ketetapan kehendak terakhir
pada mana si pewaris memberikan harta kekayaan yang akan
ditinggalkan setelah ia meninggal kepada seseorang ataupun
beberapa orang, baaik untuk seluruhnya ataupun bagian
seimbang;

(2) Legaat yaitu memberikan wasiat yang bendanya dapat


ditentukan. Legaat ini terdapat dalam Pasal 957 KUHPerdata
yang mengatakan bahwa hibah wasiat adalah suatu penetapan
khusus, dengan mana si pewaris memberikan suatu atau
beberapa barang tertentu kepada sesorang atau beberapa orang
atau memberikan barangnya dari jenis tertentu.

Dengan demikian wasiat itu merupakan kehendak terakhir dari


seseorang yang setiap saat bisa dicabut kembali. Namun dalam
pembuatan wasiat ada dua hal yang perlu diperhatikan yang pertama
yaitu pada Pasal 897 KUHPerdata anak-anak di bawah umur yang
belum mencapai umur delapan belas tahun penuh, tidak diperkenankan
membuat surat wasiat. Dan Pasal 888 KUHPerdata Dalam semua surat
wasiat, persyaratan yang tidak dapat dimengerti atau tidak mungkin
dijalankan, atau bertentangan dengan undang-undang dan kesusilaan,
dianggap tidak tertulis. Jadi dalam dua kasus diatas baik pengangkatan
sebagai ahli waris maupun ketentuam pemberian hibah harus dimuat
didalam surat wasiat

2) Golongan ahli waris

Dalam hukum Perdata Undang-Undang tidak membedakan ahli


waris laki-laki dan perempuan, juga tidak membedakan urutan kelahiran,
hanya ada ketentuan bahwa ahli waris golongan pertama jika masih ada
maka akan menutup hak anggota keluarga lainnya dalam dalam garis lurus
ke atas maupun ke samping. Terdapat empat golongan yang berhak untuk
menerima warisan:

a) Golongan pertama terdiri dari keluarga dalam garis lurus ke bawah,


meliputi anak-anak beserta keturunan hal ini berdasarkan pada Pasal
852 KUHPerdata yang berbunyi:

Anak-anak atau keturunan-keturunan, sekalipun dilahirkan dan


berbagai perkawinan, mewarisi harta peninggalan para orangtua
mereka, kakek dan nenek mereka, atau keluarga-keluarga
sedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus ke atas, atas, tanpa
membedakan jenis kelamin atau kelahiran yang lebih dulu.

Mereka mewarisi bagian-bagian yang sama besarnya kepala


demi kepala, bila dengan yang meninggal mereka semua
bertalian keluarga dalam derajat pertama dan masing-masing
berhak karena dirinya sendiri; mereka mewarisi pancang demi
pancang, bila mereka semua atas sebagian mewarisi sebagai
pengganti.

Maksud dari Pasal tersebut adalah anak tidak bisa mewaris


bersama dengan keturunannya, karena hanya bisa dilakukan dengan
penggantian tempat. Yang dimaksud sebagai anak didalam Pasal 852
KUHPerdata adalah anak yang sah yang dihasilkan dari perkawinan
yang sah. Anak-anak mewaris kepala demi kepala maksudnya adalah
bagian antara anak-anak tersebut adalah sama besarnya. Anak-anak
mewaris dalam derajad pertama artinya mereka mewaris kepala demi
kepala. Artinya adalah bagian yang mereka terima mempunyai besaran
yang sama.

Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata anak dalam


mewaris mempunyai kedudukan yang paling utama diantara golongan
ahli waris yang lain. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
anak dapat digolongkan menjadi 2 golongan yaitu:

(1) Anak sah yakni anak yang dilahirkan berdasarkan perkawinan


yang sah menurut undang-undang. Hal ini sejalan dengan bunyi
Pasal 250 KUHPerdata. Anak sah dalam Pasal 250 KUHPerdata
ini adalah anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang
perkawinan dan sampai perkawinan tersebut putus. Adapun
putusnya perkawinan disebabkan sebab yaitu karena perceraian,
baik itu cerai mati maupun cerai hidup (Pasal 199 KUHPerdata),

(2) Anak tidak sah yakni anak uang dilahirkan tidak didasarkan pada
perkawinan yang sah. Dalam hal anak tidak sah ini banyak yang
menyebut sebagai anak luar kawin dalam arti luas. Anak tidak sah
ini masih dibagi lagi menjadi tiga kelompok yakni:

(a) anak yang pada waktu lahirnya orangtuanya tidak kawin secara
syah serta tidak kawin pula dengan orang lain/ sedang tidak
ada hubungan perkawinan. Anak semacam ini disebut dengan
natuurlijk kind (anak alami). Terdapat dalam Pasal 280
KUHPerdata;

(b) anak yang pada waktu lahirnya orangtuanya atau salah satu
dari orangtuanya terikat dalam ikatan perkawinan dengan
orang lain. Anak semacam ini disebut dengan overspeleg kind
(anak zina), apabila seorang perempuan mengadakan hubungan
dengan selain suaminya dan anak hasil hubungan tersebut lahir
sepanjang perkawinan dengann suaminya akan tetapi suaminya
bisa membuktikan bahwa anak tersebut bukanlah anaknya,
maka anak tersebut tetap merupakan anak zina. Hal ini diatur
dalam Pasal 283 KUHPerdata;

(c) anak yang pada waktu lahirnya orangtuanya tidak boleh kawin,
sebab pertalian darahnya melarangnya kawin. Anak semacam
ini disebut blodsceneg (anak sumbang). Hal ini diatur dalam
Pasal 283 KUHPerdata. Undang-undang melarang perkawinan
antara mereka yang mempunyai kedekatan hubungan darah;

Dari kedua golongan anak berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum


Perdata tersebut diatas hanya anak sahlah yang bisa menjadi ahli waris
dari orangtuanya. Sedangkan untuk anak tidak sah mereka tidak bisa
mewaris. Akan tetapi berdasarkan Pasal 272 KUHPerdata dapat
diketahui bahwa dalam hukum Perdata terdapat anak yang dapat
dilakukan pengakuan dan dapat disahkan yakni natuurlijk kind, dan
juga terdapat anak-anak yang tidak dapat dilakukan pengakuan
terhadapnya yakni overspeleg kind dan blodsceneg. Dengan adanya
pengakuan tersebut timbullah hubungan keperdataan antara anak luar
kawin dan orangtua yang mengakuinya sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 280 KUHPerdata. Dengan adanya hubungan keperdataan
tersebut maka membawa akibat salah satunya adalah hubungan
kewarisan. Jadi dapat disimpulkan bahwa anak tidak sah baru bisa
mewaris setelah mendapat pengakuan dari orangtua yang mengakui,
dan hanya anak tidak sah yang diatur dalam Pasal 280 KUHPerdata
yakni anak luar kawin atau anak alami yang bisa diakui dan kemudian
disahkan.

Dalam hukum Perdata anak luar kawin dapat memporoleh


warisan dengan semua golongan waris yang terdapat dalam hukum
Perdata yakni Golongan I, Golongan II, Golongan III, Golongan IV.
Dasar pengaturan warisan terhadap anak luar kawin berada pada Pasal
863 KUHPerdata.

(1) Anak Luar Kawin Mewaris Bersama Golongan I

Anak luar kawin dapat mewaris dengan golongan satu yang terdiri
dari anak sah beserta keturunannya dan janda (janda yang
dimaksud disini adalah suami/istri pewaris). Hak waris yang
diterima oleh anak luar kawin adalah 1/3 dari hak yang mereka
sedianya terima, seandainya ia adalah anak sah.

(2) Anak Luar Kawin Mewaris Bersama Golongan II

Dalam hal anak luar kawin mewaris dengan golongan II besar


warisan yang diterima adalah ½ dari warisan yang ditinggalkan
oleh pewaris.

(3) Anak Luar Kawin Mewaris Bersama Golongan III

Sama dengan mewaris bersama golongan ke II besar warisan dari


anak luar kawin yang mendapat warisan adalah ½ dari harta yang
ditinggalkan oleh pewaris

(4) Anak Luar Kawin Mewaris Bersama Golongan IV

Dalam hal anak luar kawin mewaris dengan golongan IV maka


warisan yang diterimanya adalah ¾ dari harta warisan pewaris.

Seperti telah disebutkan diatas hanya anak luar kawin yang


diakui yang dapat mewaris terhadap harta orangtua yang
mengakuinya, akan tetapi dalam Pasal 285 KUHPerdata disebutkan
bahwa pengakuan oleh suami atau istri terhadap anak yang dibenihkan
dengan orang lain daripada suami atau istrinya yang dilakukan
sepanjang perkawinan tidak boleh merugikan terhadap suami atau istri
maupun anak yang dilahirkan dari perkawinan mereka. Hal ini berarti
pengakuan dapat dilakukan sepanjang perkawinan oleh suami attau
istri yang mengakui, namun apabila pengakuan sepanjang perkawinan
tersebut membawa kerugian terhadap suami atau istri dan anak-anak
yang lahir selama perkawinan tersebut maka pengakuan tersebut tidak
boleh dilakukan. Sehingga walaupun anak luar kawin tersebut telah
ditentukan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat
dilakukan pengakuan sehingga dia mempunyai hubungan Perdata
dengan orang yang mengakuinya terutama dalam bidang waris tapi
apabila pengakuan tersebut dilakukan sepanjang perkawinan dan dari
adanya pengakuan tersebut menimbulkan kerugian terhadap suami
atau istri dan anak-anak yang lahir selama perkawinan maka anak luar
kawin tersebut tidak bisa mendapat pengakuan dan tidak bisa
mendapat warisan.

Pada tahun 1936 janda yang ditinggalkan atau yang hidup paling
lama diakui sebagai ahli waris. Bagian yang akan mereka dapatkan
adalah sama yakni dibagi rata diantara para ahli waris golongan
pertama hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 852a KUHPerdata.
Dalam Pasal tersebut ditentukan bahwa bagian darimsuami atau istri
yang hidup terlama adalah sama dengan bagian anak. Ketentuan yang
mempersamakan bagian janda dengan anak hanya berlaku dalam
pewarisan karena kematian;

b) Golongan kedua yang terdiri dari keluarga dalam garis lurus ke atas,
meliputi orangtua dan saudara, baik laki-laki maupun perempuan, serta
keturunan mereka. Golongan II ini baru menerima warisan apabila
tidak terdapat golongan I.

Dasar pengaturan dari ahli waris golongan II ini Pasal 854


KUHPerdata yang menyebutkan:

bila seseorang meninggal dunia tanpa meninggalkan keturunan


dan suami atau isteri, maka bapaknya atau ibunya yang masih
hidup masing-masing mendapat sepertiga bagian dan harta
peninggalannya, bila yang mati itu hanya meninggalkan satu
orang saudara laki-laki atau perempuan yang mendapat sisa yang
sepertiga bagian. Bapak dan ibunya masing-masing mewarisi
seperempat bagian, bila yang mati meninggalkan lebih banyak
saudara laki-laki atau perempuan, dan dalam hal itu mereka yang
tersebut terakhir mendapat sisanya yang dua perempat bagian.

Bagian yang mereka terima Menurut ketentuan Kitab Undang-Undang


Hukum Perdata baik ayah, ibu maupun saudara-saudara pewaris
masing-masing mendapat bagian akan tetapi bagian ayah dan ibu
senantiasa diistimewakan karena mereka tidak boleh kurang dari ¼
bagian dari seluruh harta warisan yang sama. Namun jika ibu atau
ayah salah seorang sudah meninggal dunia, yang hidup paling lama
akan memperoleh bagian sebagai berikut:

½ (setengah) bagian dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris


bersama dengan seorang saudaranya, baik laki-laki maupun
perempuan adalah sama saja; 1/3 bagian dari seluruh harta warisan,
jika ia mewaris bersama-sama dengan dua orang saudara pewaris; ¼
(seperempat) bagian dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris
bersama-sama dengan tiga orang atau lebih saudara pewaris;

c) Golongan ketiga meliputi sekalian keluarga sedarah dalam garis ayah


dan dalam garis ibu. Dalam hal terjadi pewarisan yang ahli warisnya
adalah golongan tiga maka warisan tersebut haruslah dibuka terlebih
dahulu kemudian dibagi dua (kloving). Selanjutnya setengah harta
warisan yang satu merupakan bagian sanak keluarga dari pancer ayah
pewaris, dan bagian yang setengah harta warisannya lagi merupakan
bagian sanak keluarga dari pancer ibu pewaris. Pembagian warisan
untuk golongan tiga ini diatur dalam Pasal 853 KUHPerdata, selain
terdapat dalam Pasal tersebut pengaturan lebih lanjut juga terdapat
dalam Pasal 861 KUHPerdata;

d) Golongan keempat, meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping


dan sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam yang diatur dalam
Pasal 858 KUHPerdata. Dalam Pasal ini menyatakan bahwa apabila
tidak ada saudara laki-laki dan perempuan dan juga tidak ada keluarga
sedarah yang masih hidup dalam satu garis lurus keatas maka separuh
harta peninggalan menjadi bagian dari keluarga sedarah dalam garis
keatas yang masih hidup, sedangkan yang separo lagi menjadi bagian
keluarga sedarah garis kesamping dari garis ke atas lainnya kecuali
terdapat hal-hal yang tercamtung dalam Pasal 858 KUHPerdata yaitu:

(1) Bila tidak ada saudara laki-laki dan perempuan dan juga tidak ada
keluarga sedarah yang masih hidup dalam salah satu garis ke atas;

(2) Bila tidak ada saudara laki-laki dan perempuan dan keluarga
sedarah yang masih hidup dalam kedua garis ke atas;

(3) Harta warisan dibagi dua, yaitu ½ bagan menjadi bagian keluarga
sedarah lurus keatas yang masih hidup dan ½ sisanya menjadi
bagian keluarga sedarah lurus keatas yang masih hidup yang masih
hidup (kloving).
3) Bagian Legitieme Portie

Pada dasarnya orang mempunyai kebebasan untuk mengatur


mengenai apa yang akan terjadi dengan harta kekayaannya setelah ia
meninggal dunia. Seorang pewaris mempunyai kebebasan untuk mencabut
hak waris dari para ahli warisnya, karena meskipun ada ketentuan-
ketentuan di dalam undang-undang yang menetukan siapa-siapa saja yang
berhak untuk menjadi ahliwaris dari harta peninggalannya beserta bagian-
bagian yang telah ditentukan. Akan tetapi ketentuan-ketentuan tentang
pembagian-pembagian itu bersifat hukum pengatur dan hukum pemaksa.

Di dalam hukum Perdata dikenal adanya legitieme portie yang


merupakan bagian mutlak yang menjadi hak ahli waris menurut garis
vertikal yang tidak dapat diganggu gugat. Terhadap bagian mana pewaris
tidak diperbolehkan menguranginya dengan suatu pemberian dengan surat
wasiat. Hal ini berdasarkan pada Pasal 913 KUHPerdata. Maksud dari
adanya legitieme portie adalah untuk melindungi hak para ahli waris dari
perbuatan pewaris yang tidak bertanggungjawab. Yang berhak atas bagian
legitieme portie adalah:

a) Bila pewaris hanya meninggalkan satu orang anak sah dalam garis ke
bawah, maka legitieme portie itu terdiri dan seperdua dan harta
peninggalan yang sedianya akan diterima anak itu pada pewarisan
karena kematian. Bila yang meninggal meninggalkan dua orang anak,
maka legitieme portie untuk tiap-tiap anak adalah dua pertiga bagian
dan apa yang sedianya akan diterima tiap anak pada pewarisan karena
kematian. Dalam hal orang yang meninggal dunia meninggalkan tiga
orang anak atau lebih, maka legitieme portie itu tiga perempat bagian
dan apa yang sedianya akan diterima tiap anak pada pewarisan karena
kematian. Dasarnya adalah Pasal 914 KUHPerdata;
b) Dalam garis ke atas legitieme portie itu selalu sebesar separuh dan apa
yang menurut Undang-Undang menjadi bagian tiap-tiap keluarga
sedarah dalam garis itu pada pewarisan karena kematian. Dasarnya
adalah Pasal 915 KUHPerdata;

c) Legitieme portie dari anak yang lahir di luar perkawinan tetapi telah
diakui, ialah seperdua dari bagian yang oleh Undang-Undang sedianya
diberikan kepada anak diluar kawin itu pada pewarisan karena
kematian. Dasarnya adalah Pasal 916 KUHPerdata;

4) Asas Kebebesan Ahli Waris Untuk Menentukan Sikap

Selama ahli waris mempergunakan haknya untuk berfikir guna


menentukan sikap tersebut, ia tidak dapat dipaksa untuk memenuhi
kewajiban sebagai ahli waris sampai jangka waktu itu berakhir selama
empat bulan (Pasal 1024 KUHPerdata). Setelah jangka waktu yang
ditetapkan Undang-Undang berakhir, seorang ahli waris dapat memilih
antara tiga kemungkinan, yaitu:

a) Menerima secara penuh;

Ahli waris atau para ahli waris yang menerima warisan secara penuh,
baik secara diam-diam maupun secara tegas bertanggung jawab
sepenuhnya atas segala kewajiban yang melekat pada harta warisan.
Artinya, ahli waris harus menanggung segala macam hutang-hutang
pewaris. Penerimaan warisan secara penuh yang dilakukan dengan
tegas yaitu melalui akta otentik atau akta di bawah tangan, sedangkan
penerimaan secara penuh yang dilakukan diam-diam, biasanya dengan
cara mengambil tindakan tertentu yang menggambarkan adanya
penerimaan secara penuh.
b) Menerima warisan secara beneficiaire;

Menerima warisan secara beneficiaire merupakan pewaris menerima


warisan dengan syarat. Cara ini merupakan suatu jalan tengah antara
menerima ataupun menolak. Akibat dari ahli waris yang menerima
warisan secara beneficiaire adalah:

(1) Seluruh warisan terpisah dari harta kekayaan pribadi ahli waris;

(2) Ahli waris tidak perlu menanggung pembayaran hutang hutang


pewaris dengan kekayaan sendiri sebab pelunasan hutang-hutang
pewaris hanya dilakukan menurut kekuatan harta warisan yang
ada;

(3) Tidak terjadi percampuran harta kekayaan antara harta kekayaan


ahli waris dengan harta warisan;

(4) Jika hutang-hutang pewaris telah dilunasi semuanya dan masih ada
sisa peninggalan, maka sisa itulah yang merupakan bagian ahli
waris;

Akibat terpenting dari menerima warisan secara beneficiaire adalah


bahwa kewajiban si waris untuk melunasi hutang-hutangnya dan
beban-beban lainnya dibatasi sedemikian rupa bahwa pelunasan itu
hanyalah dilakukan menurut kekuatan warisan, sehingga si waris itu
tidak usah menanggung pembayaran hutang-hutang itu dengan
kekayaan sendiri. Akta otentik atau akta di bawah tangan, sedangkan
penerimaan secara penuh yang dilakukan diam-diam, biasanya dengan
cara mengambil tindakan tertentu yang menggambarkan adanya
penerimaan secara penuh.
c) Menolak warisan

Ahli waris yang menolak warisan dianggap tidak pernah menjadi


ahli waris (Pasal 1058 KUHPerdata), karena jika ia meninggal lebih
dahulu dari pewaris ia tidak dapat digantikan kedudukannya oleh
anak-anaknya yang masih hidup. Menolak warisan harus dilakukan
dengan suatu pernyataan kepada panitera pengadilan negeri wilayah
hukum tempat warisan terbuka. Penolakan warisan dihitung dan
berlaku surut, yaitu sejak meninggalnya pewaris.
2. Kerangka teori

Hukum

Waris

Hukum Islam Hukum Perdata

Ahli waris Ahli waris

Anak luar kawin Anak luar kawin

Ketentuan Ketentuan
Pembagian Pembagian
Warisan Warisan

Bagian Yang Bagian Yang


diterima diterima

Persamaan
Perbedaan
Keadilan
Penjelasan:

Suatu negara membutuhkan adanya hukum untuk mengatur


masyarakatnya. Dalam hal ini hukum yang mengatur masyarakat tersebut
tidak hanya hukum yang bersifat publik artinya yang mengatur hubungan
antara satu orang dengan orang yang lain, tapi juga yang bersifat privat. Waris
merupakan salah satu lingkup hukum privat, dalam hukum Perdata termasuk
kedalam hukum benda. Ahli waris yang mempunyai kedudukan lebih utama
adalah anak baik itu dalam hukum Perdata maupun dalam hukum Islam.
Apabila dalam mewaris tersebut terdapat anak yang mewaris berasal dari
hubungan yang menurut hukum sah tentu hal tersebut tidak akan menjadi
masalah, tapi apabila terdapat anak yang lahir dari hubungan yang tidak sah
menurut hukum maka hal tersebut tentunya yang akan menjadi masalah.

Oleh karena itu perlu ditinjau bagaimana kedudukan dan pengaturan


anak luar kawin dalam mewaris apakah sudah memenuhi unsur keadilan bagi
anak tersebut.

Anda mungkin juga menyukai