perdata
Penulisan Hukum
(SKRIPSI)
Oleh
Muh Rasyid Ridha
E.0005224
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2009
BAB I. PENDAHULUAN
Masyarakat sebagai suatu kumpulan orang yang mempunyai sifat dan watak
masing-masing yang berbeda, membutuhkan hukum yang mengatur kehidupannya
agar berjalan tertib dan lancar, selain itu untuk menyelesaikan masalah-masalah yang
timbul dalam kehidupan masyarakat tersebut. Oleh karena itu dibentuklah berbagai
peraturan hukum yang mengatur berbagai hal yang terjadi sepanjang kehidupan
manusia yaitu sejak lahir hingga kemudian kematian merenggutnya. Mengenai hal ini
secara eksplisit terdapat dalam penjelasan UUD 1945 tentang sistem pemerintahan
negara butir 1. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum. Hal ini berarti
bahwa segala sesuatu harus berdasarkan pada hukum yang berlaku di negara RI.
Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum di bidang Perdata secara
keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris
sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia
pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Akibat hukum
yang dilanjutnya timbul dengan terjadinya peristiwa hukum kematian seseorang
diantaranya ialah masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia itu (Erman Suparman, 2005:
9).
Hukum waris Indonesia masih bersifat plutralistik artinya belum ada kesatuan
(kodifikasi) hukum waris yang dapat diterapkan secara menyeluruh terhadap
masyarakat Indonesia. Hukum waris di Indonesia saat ini berlaku tiga sistem hukum
waris yakni hukum waris Islam, hukum waris Perdata, hukum waris Adat. Sehingga
dengan masih berlakunya tiga sistem hukum kewarisan tersebut diatas maka setiap
penduduk Indonesia menggunakan aturan hukum yang berbeda-beda dalam
menentukan pembagian warisan tergantung dari hukum yang dianutnya sendiri-
sendiri (Wirjono Prodjodikoro, 1983: 18). Sedangkan menurut pendapat R. Subekti
yang dikutip dari buku karangan Surani Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah bahwa
hukum waris Indonesia masih beraneka ragam disamping hukum waris menurut adat,
berlaku hukum waris menurut agama Islam dan hukum waris menurut Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (Surani Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, 2005:2).
Dari ketiga sistem hukum yang mengatur tentang waris tersebut tentunya
mempunyai sumber hukum yang berbeda antar satu dengan yang lain. Waris Islam
yang berasal dari hukum Islam tentunya mempunyai sumber hukum pokok yang
sama dengan sumber hukum Islam itu sendiri sehingga hukum waris Islam sendiri
bersumber dari Al-Qur`an, Hadits dan Ijtihad. Sedangkan dalam hukum Perdata
bersumber dari Kitap Undang-Undang Hukum Perdata.
Dari ketiga sistem hukum warisan tersebut diatas maka hanya hukum waris
Islam dan hukum waris Perdatalah yang sudah mengatur secara terperinci mengenai
bagian-bagian yang diterima oleh setiap ahli waris. Hal ini dapat kita lihat dalam
terdapatnya aturan yang mengatur secara jelas dan terperinci yang mengatur tentang
warisan, dalam hukum Perdata hukum kewarisan diatur dalam buku ke II Kitap
Undang-Undang Hukum Perdata sedangkan dalam hukum Islam Al-Qur`an pun telah
mengaturnya yakni dalam Surat An Nisa` dari ayat 1, 7, 8, 9, 10, 11, 12 serta dalam
surat Al-Anfal ayat 75. Sedangkan dalam hukum waris adat karena merupakan bagian
dari hukum adat yang mana hukum adat yang terdapat di Indonesia saling berbeda-
beda antara satu dengan yang lain maka pengaturan terhadap pembagian warisan pun
juga berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain yang didasarkan pada sistem
kekeluargaan yang dianut apakah menggunakan sistem patrilineal, sistem matrilineal,
ataupun menggunakan sistem parental. Maka sistem hukum waris Islam dan sistem
waris Perdatalah yang dapat digunakan sebagai acuan perbandingan hukum
kewarisan.
Mengingat antara anak sah dan tidak sah (anak luar kawin) yang menjadi
perbedaan adalah mengenai konsekuensinya terhadap hukum yang berhubungan
antara orangtua dengan anaknya. Bukan dalam hak-hak sipil (untuk hak-hak sipilnya,
tetap bisa di dapat apabila, ibu bisa mendapatkan akta kelahiran sianak walaupun di
luar nikah, terhadap si anak dari Dinas Kependudukan dan catatan Sipil setempat).
Ketidakjelasan status si anak luar kawin di muka hukum, mengakibatkan hubungan
antara ayah dan anak tidak kuat, sehingga bisa saja, suatu waktu ayahnya menyangkal
bahwa anak tersebut adalah anak kandungnya. Oleh karena itu sudah menjadi hak
bagi si anak luar kawin untuk menuntut hak dalam mendapatkan warisan dari
orangtua biologisnya.
Dalam hukum waris Islam dan hukum waris Perdata telah diatur mengenai
warisan bagi anak luar kawin secara berbeda-beda sesuai dengan prinsip-prinsip yang
diatur oleh hukum waris Islam dan hukum waris Perdata yang tentunya bersendikan
terhadap keadilan. Oleh karena itu untuk memberikan gambaran terhadap keadilan
terhadap pembagian warisan terhadap anak luar kawin maka perlulah diadakan
penelitian mengenai hal tersebut.
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimanakah kedudukan anak luar kawin di dalam hukum waris Islam dan
hukum waris Perdata?
2. Bagaimanakah pembagian warisan anak luar kawin menurut hukum Islam dan
hukum Perdata?
C. Tujuan Penelitian
Suatu penelitian harus mempunyai tujuan yang jelas, sehingga dengan adanya
tujuan tersebut dapat dicapai solusi atas masalah yang dihadapi, maupun untuk
memenuhi kebutuhan perseorangan. Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka
penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut :
1. Tujuan Objektif
a. Untuk mengetahui kedudukan anak luar kawin di dalam hukum waris Islam
dan hukum waris Perdata.
b. Untuk mengetahui pembagian warisan anak luar kawin menurut hukum waris
Islam dan hukum waris Perdata.
2. Tujuan Subjektif
D. Manfaat Penelitian
Nilai suatu penelitian ditentukan oleh besarnya manfaat yang dapat diambil dari
penelitian tersebut. Adapun manfaat yang diharapkan penulis dari penelitian ini
antara lain :
1. Manfaat Teoritis
2. Manfaat Praktis
b. Hasil penulisan ini diharapkan dapat membantu dan memberi masukan serta
tambahan pengetahuan bagi para pihak yang terkait dengan masalah yang
diteliti sehingga tidak ada keraguan lagi mengenai aspek hukumnya, baik dari
hukum Perdata maupun hukum Islam.
E. Metode Penelitian
Metode merupakan cara yang utama yang digunakan untuk mencapai suatu
tujuan, untuk mencapai tingkat ketelitian, jumlah dan jenis yang dihadapi. Akan
tetapi dengan mengadakan klasifikasi yang berdasarkan pada pengalaman, dapat
ditentukan teratur dan terpikirkannya alur yang runtut dan baik untuk mencapai suatu
maksud.
1. Jenis Penelitian
d. Perbandingan hukum
e. Sejarah hukum.
2. Sifat Penelitian
Merujuk pada hal tersebut maka penelitian ini termasuk kedalam penelitian
normatif yang bersifat deskriptif karena menggambarkan secara detail tentang
pengaturan warisan bagi anak luar kawin menurut hukum Islam dan hukum
Perdata.
3. Jenis Data
Jenis data yang digunakan adalah data sekunder berupa dokumen publik
dan catatan-catatan resmi (public documents and official records), yaitu
dokumen peraturan perundangan yang berkaitan dengan warisan terhadap anak
luar kawin. Disamping jenis data yang berupa undang-undang negara maupun
peraturan pemerintah, penulis juga memperoleh data dari beberapa jurnal, buku-
buku referensi, internet dan media massa yang mengulas tentang warisan anak
luar kawin.
4. Pendekatan Penelitian
Sumber data merupakan tempat dimana dan kemana data dari suatu
penelitian dapat diperoleh. Sumber data dalam penelitian ini adalah sumber data
sekunder yang berupa dokumen publik dan catatan-catatan resmi (public
documents and official records). Dalam bukunya Soejono Soekanto bahwa
sumber hukum sekender dalam bidang hukum dibagi menjadi tiga yakni:
a. Bahan hukum Primer adalah sumber hukum yang mengikat yang terdiri dari:
2) Peraturan dasar yaitu batang tubuh UUD 1945 dan ketetapan MPR
3) Peraturan perundang-undangan
e) Peraturan-peraturan daerah
5) Yurisprudensi
6) Traktat
3) Hasil penelitian
Sedangkan sumber hukum Islam dengan mengacu pada pendapat dari Soerjono
Soekanto dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Bahan hukum Primer bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari:
1) Al-Qur`an
2) Al-Hadits
Penulis akan menggunakan teknik analisis isi (content analysis) yaitu suatu
teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru
(replicable) dan sahih data dengan memperhatikan konteksnya. Analisis ini
mencakup prosedur-prosedur khusus untuk pemprosesan data ilmiah (bahan
hukum). Menurut Ole R. Holsti sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto,
content analysis sebuah teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi
dengan mengidentifikasi secara sistematik dan obyektif karakteristik-
karakteristik khusus ke dalam sebuah teknik (Oleh R. Holsti dalam Soerjono
Soekanto, 2006: 22).
Dalam penulisan hukum ini penulis berusaha untuk mendiskripsikan isi
dari peraturan, mengidentifikasikan, dan mengkompilasikan data-data terkait
dengan warisan anak luar kawin dalam hukum Islam dan hukum Perdata yang
disesuaikan dengan alur pikiran sehingga dapat ditemukan suatu hubungan yang
mengarah pada pembahasan yang dapat menghasikan kesimpulan.
F. Sistematika Penelitian
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian.
Dalam bab ini berisi kerangka teori yang terdiri dari tinjauan tentang hukum,
tinjauan tentang hukum Islam, dan tinjauan tentang hukum perdata, serta berisi
kerangka pemikiran penulis mengenai permasalahan yang diangkat dalam penulisan
hukum ini.
Dalam bab ini penulis akan membahas dan menjawab permasalahan yang telah
ditentukan sebelumnya yakni mengenai bagaimanakah kedudukan anak luar kawin di
dalam hukum waris Islam dan hukum waris Perdata serta bagaimanakah pembagian
warisan anak luar kawin menurut hukum Islam dan hukum Perdata. Dan bagaimana
penggantian tempat warisan terhadap anak luar kawin dalam hukum Islam dan hukum
Perdata.
BAB IV PENUTUP
Dalam bab ini berisi simpulan dari jawaban permasalahan yang menjadi obyek
penelitian dan saran-saran.
DAFTAR PUSTAKA
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
F. Kerangka Teori
a. Pengertian Hukum
1) Teori Etis
2) Teori Utilitis
3) Teori gabungan
Teori tujuan hukum ini merupakan gabungan dari teori utilitis dan teori etis
sehingga hukum bertujuan untuk memberikan kebahagiaan yang disertai
dengan keadilan.
Hukum bekerja dengan cara membatasi tingkah laku manusia, maka dari
itu untuk menjalankannya diperlukan fungsi dari hukum itu sendiri, yakni
(Ishaq: 2008, 11):
3) Rekayasa sosial;
4) Penyelesaian sengketa.
(1) Al Qur’an
(c) Isti’dal yaitu menarik kesimpulan dari dua hal yang berlainan,
misalnya menarik kesimpulan dari adat istiadat dan hukum
agama yang diwahyukan sebelum Islam;
(g) Urf atau adat istiadat yang tidak bertentangan dengan hukum
Islam dapat dikukuhkan dan berlaku bagi masyarakat yang
bersangkutan.
Asas umum adalah asas yang meliputi semua bidang dan segala
lapangan hukum Islam yaitu keadilan, kepastian hukum, dan
kemanfaatan.
(2) Asas-asas dalam lapangan hukum pidana
a) Al Qur’an
Sebagai sumber hukum waris yang utama ada beberapa ayat-ayat Al-
Qur`an yang mengatur tentang pembagian warisan terdapat dalam
Surat An Nisa` dari ayat 1, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 176 serta dalam surat
Al-Anfal ayat 75 yang dalam ayat-ayat tersebut disebutkan secara
terperinci mengenai bagian yang diterima dari ahli waris.
c) Ijtihad
Dalam hal-hal tertentu terdapat suatu masalah dalam waris yang tidak
terperincikan dalam Al Qur’an dan As Sunnah atau Hadits maka dari
itu sudah menjadi tugas manusia untuk menggunakan akal pikirannya
untuk berijtihad. Contoh ijtihad dalam waris adalah mengenai bagian
dari seorang banci, harta warisan yang tidak habis terbagi lalu kepada
siapa sisa tersebut diberikan.
a) Asas Ijbari
b) Asas Bilateral
c) Asas Individu
selain adanya syarat ada pula sebab seseorang mendapatkan warisan. Dan
empat sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan hak waris:
a) Kerabat hakiki (yang ada ikatan nasab), seperti kedua orangtua, anak,
saudara, paman, dan seterusnya;
Ahli waris menurut haknya dalam hukum Islam dapat dibagi menjadi tiga
golongan yakni:
a) Ahli waris Dzawil Furudl
Yang dimaksud dengan Ahli waris Dzawil Furudl “Yaitu ahli waris
yang sudah ditentukan di dalam Al-Qur’an ataupun Sunnah Nabi
SAW, keistimewaan dari Ahli waris dzawil furudl bagian mereka akan
selalu tetap dan tidak akan berubah-ubah. Bagian tertentu yang telah
diatur tersebut ialah 2/3, ½, 1/3, ¼, 1/6, dan 1/8. Adapun yang
termasuk kedalam Ahli waris dzawil furudl adalah:
(1) Suami
(2) Istri
(3) Ayah
(4) Ibu
(10) Kakek
(11) Nenek
(2) `Ashabah bilghairi yaitu `ashabah dengan sebab ditarik oleh orang
lain, yakni seorang wanita yang menjadi `ashabah karena ditarik
oleh seorang laki-laki, mereka yang termasuk dalam `ashabah
bilghairi ada empat wanita yang fardh mereka ½ bila tunggal dan
2/3 bila lebih dari satu orang, meraka adalah anak perempuan
kandung, cucu perempuan pacer laki-laki, saudari sekandung,
saudari tunggal ayah. Apabila salah satu perempuan-perempuan
yang tersebut bersama-sama dengan seorang mu`ashshibnya-
binnafsinya yang sama derajadnya dan kekuatan kekerabatannya,
ia menjadi `Ashabah bilghairi. Ia bersama-sama dengan
mu`ashshibnya menerima sisa harta peninggalan dari ashhabul-
furudh atau seluruh harta peninggalan bila tidak ada ashhabul-
furudh dengan ketentuan orang yang laki-laki mendapat dua kali
lipat bagian dari orang perempuuan
(3) Ashabah ma’al ghairi yaitu `ashabah yang berkedudukan menjadi
waris `ashobah karena bersama-sama dengan waris lain, seperti
saudara perempuan kandung atau seayah menjadi waris `ashabah
karena bersama-sama dengan anak perempuan. 'Ashabah ma'al
ghair ini khusus bagi para saudara kandung perempuan maupun
saudara perempuan seayah apabila mewarisi bersamaan dengan
anak perempuan yang tidak mempunyai saudara laki-laki. Jadi,
saudara kandung perempuan ataupun saudara perempuan seayah
bila berbarengan dengan anak perempuan atau cucu perempuan
keturunan anak laki-laki dan seterusnya akan menjadi 'ashabah.
1) Ahli waris yang membunuh pewaris, tidak berhak mendapat warisan dari
keluarga yang dibunuhnya;
2) Orang yang berbeda agama atau orang yang murtad tidak berhak
mendapat warisan dari keluarganya yang beragama Islam, demikian pula
sebaliknya;
3) Menjadi budak orang lain, budak itu dianggap tidak memiliki sesuatu oleh
karenanya tidak boleh mewaris.
Dalam hal apabila tidak terdapat ahli waris yang akan mewaris terhadap
harta warisan entah itu meminggal dunia lebih dahulu sebelum pewaris, maka
harta tersebut akan beralih ke Baitul Mal yakni perbendaharaan negara tempat
menampung harta benda kepentingan umum yang akan dibelanjakan untuk
kepentingan umum.
1) Anak tersebut adalah anak yang dilahirkan oleh suami istri dari
perkawinan yang sah. Sehingga anak yang dilahirkan tersebut sah secara
undang-undang dan agama karena dilahirkan dari perkawinan yang sah
menurut agama dan undang-undang. Dalam hal ini mengandung dua
kemungkinan yang pertama yaitu anak yang lahir setelah terjadi akad nikah
yang sah dan kemudian dalam perkawinan tersebut atau selam perkawinan
tersebut sang istri hamil dari hasil hubungan dengan suaminya lalu anak
tersebut lahir. Kemungkinan yang kedua adalah Anak yang lahir sebagai
akibat dari perkawinan yang sah. Contoh, istri hamil dan kemudian suami
meninggal. Anak yang dikandung istri adalah anak sah sebagai akaibat
dari adanya perkawian yang sah
Sedangkan anak yang disebut sebagai anak thabi`iy adalah anak luar
kawin yang dianggap sebagai anak zina dari orang tuanya. Sehingga ada dua
kelompok anak luar kawin dalam hukum Islam yakni anak zina dan anak li'an.
Dengan mana kedua anak tersebut tidak bisa dinasabkan kepada ayahnya tapi
hanya kepada ibunya.
Dalam hal anak thabi`iy mereka tidak bisa mewaris terhadap ayah
kandungnya, hal ini dikarenakan anak thabi`iy hanya bisa dinasabkan kepada
jalur ibunya.
1) Pewaris, yakni orang yang meninggal dunia, dan ahli warisnya berhak
untuk mewarisi harta peninggalannya;
2) Ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau menerima
harta peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab)
atau ikatan pernikahan, atau lainnya;
Dalam hukum Perdata dikenal adanya dua cara untuk seseorang bisa
mendapatkan warisan dari seorang pewaris:
(a) Penggantian yang terjadi dalam garis lurus ke bawah yang sah,
berlangsung terus tanpa akhir. Penggantian itu diizinkan dalam
segala hal, baik bila anak-anak dan orang yang meninggal
menjadi ahli waris bersama-sama dengan keturunan-keturunan
dan anak yang meninggal lebih dahulu, maupun bila semua
keturunan mereka mewaris bersama-sama, seorang dengan
yang lain dalam pertalian keluarga yang berbeda-beda
derajatnya. Penggantian tempat ini diatur dalam Pasal 842
KUHPerdata;
(2) Anak tidak sah yakni anak uang dilahirkan tidak didasarkan pada
perkawinan yang sah. Dalam hal anak tidak sah ini banyak yang
menyebut sebagai anak luar kawin dalam arti luas. Anak tidak sah
ini masih dibagi lagi menjadi tiga kelompok yakni:
(a) anak yang pada waktu lahirnya orangtuanya tidak kawin secara
syah serta tidak kawin pula dengan orang lain/ sedang tidak
ada hubungan perkawinan. Anak semacam ini disebut dengan
natuurlijk kind (anak alami). Terdapat dalam Pasal 280
KUHPerdata;
(b) anak yang pada waktu lahirnya orangtuanya atau salah satu
dari orangtuanya terikat dalam ikatan perkawinan dengan
orang lain. Anak semacam ini disebut dengan overspeleg kind
(anak zina), apabila seorang perempuan mengadakan hubungan
dengan selain suaminya dan anak hasil hubungan tersebut lahir
sepanjang perkawinan dengann suaminya akan tetapi suaminya
bisa membuktikan bahwa anak tersebut bukanlah anaknya,
maka anak tersebut tetap merupakan anak zina. Hal ini diatur
dalam Pasal 283 KUHPerdata;
(c) anak yang pada waktu lahirnya orangtuanya tidak boleh kawin,
sebab pertalian darahnya melarangnya kawin. Anak semacam
ini disebut blodsceneg (anak sumbang). Hal ini diatur dalam
Pasal 283 KUHPerdata. Undang-undang melarang perkawinan
antara mereka yang mempunyai kedekatan hubungan darah;
Anak luar kawin dapat mewaris dengan golongan satu yang terdiri
dari anak sah beserta keturunannya dan janda (janda yang
dimaksud disini adalah suami/istri pewaris). Hak waris yang
diterima oleh anak luar kawin adalah 1/3 dari hak yang mereka
sedianya terima, seandainya ia adalah anak sah.
Pada tahun 1936 janda yang ditinggalkan atau yang hidup paling
lama diakui sebagai ahli waris. Bagian yang akan mereka dapatkan
adalah sama yakni dibagi rata diantara para ahli waris golongan
pertama hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 852a KUHPerdata.
Dalam Pasal tersebut ditentukan bahwa bagian darimsuami atau istri
yang hidup terlama adalah sama dengan bagian anak. Ketentuan yang
mempersamakan bagian janda dengan anak hanya berlaku dalam
pewarisan karena kematian;
b) Golongan kedua yang terdiri dari keluarga dalam garis lurus ke atas,
meliputi orangtua dan saudara, baik laki-laki maupun perempuan, serta
keturunan mereka. Golongan II ini baru menerima warisan apabila
tidak terdapat golongan I.
(1) Bila tidak ada saudara laki-laki dan perempuan dan juga tidak ada
keluarga sedarah yang masih hidup dalam salah satu garis ke atas;
(2) Bila tidak ada saudara laki-laki dan perempuan dan keluarga
sedarah yang masih hidup dalam kedua garis ke atas;
(3) Harta warisan dibagi dua, yaitu ½ bagan menjadi bagian keluarga
sedarah lurus keatas yang masih hidup dan ½ sisanya menjadi
bagian keluarga sedarah lurus keatas yang masih hidup yang masih
hidup (kloving).
3) Bagian Legitieme Portie
a) Bila pewaris hanya meninggalkan satu orang anak sah dalam garis ke
bawah, maka legitieme portie itu terdiri dan seperdua dan harta
peninggalan yang sedianya akan diterima anak itu pada pewarisan
karena kematian. Bila yang meninggal meninggalkan dua orang anak,
maka legitieme portie untuk tiap-tiap anak adalah dua pertiga bagian
dan apa yang sedianya akan diterima tiap anak pada pewarisan karena
kematian. Dalam hal orang yang meninggal dunia meninggalkan tiga
orang anak atau lebih, maka legitieme portie itu tiga perempat bagian
dan apa yang sedianya akan diterima tiap anak pada pewarisan karena
kematian. Dasarnya adalah Pasal 914 KUHPerdata;
b) Dalam garis ke atas legitieme portie itu selalu sebesar separuh dan apa
yang menurut Undang-Undang menjadi bagian tiap-tiap keluarga
sedarah dalam garis itu pada pewarisan karena kematian. Dasarnya
adalah Pasal 915 KUHPerdata;
c) Legitieme portie dari anak yang lahir di luar perkawinan tetapi telah
diakui, ialah seperdua dari bagian yang oleh Undang-Undang sedianya
diberikan kepada anak diluar kawin itu pada pewarisan karena
kematian. Dasarnya adalah Pasal 916 KUHPerdata;
Ahli waris atau para ahli waris yang menerima warisan secara penuh,
baik secara diam-diam maupun secara tegas bertanggung jawab
sepenuhnya atas segala kewajiban yang melekat pada harta warisan.
Artinya, ahli waris harus menanggung segala macam hutang-hutang
pewaris. Penerimaan warisan secara penuh yang dilakukan dengan
tegas yaitu melalui akta otentik atau akta di bawah tangan, sedangkan
penerimaan secara penuh yang dilakukan diam-diam, biasanya dengan
cara mengambil tindakan tertentu yang menggambarkan adanya
penerimaan secara penuh.
b) Menerima warisan secara beneficiaire;
(1) Seluruh warisan terpisah dari harta kekayaan pribadi ahli waris;
(4) Jika hutang-hutang pewaris telah dilunasi semuanya dan masih ada
sisa peninggalan, maka sisa itulah yang merupakan bagian ahli
waris;
Hukum
Waris
Ketentuan Ketentuan
Pembagian Pembagian
Warisan Warisan
Persamaan
Perbedaan
Keadilan
Penjelasan: