Problem-problem Kekinian
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1 Istilah verbum dei, penulis dapatkan dari buku karya Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi
Sejarah al-Qur’an, Yogyakarta : Forum Kajian Agama dan Budaya, 2001.
1
َـب ِت ْبيَانًا ِل ُك ِل َش ْىءٍ َو َهدَى َو َرحْ َمةً َوبُ ْش َرى ِل ْل ُم ْس ِل ِمين
َ َون ََّز ْلنَا َعلَيْكَ ْال ِكت
“Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah Kitab (Al Quran) kepada
mereka yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami; menjadi
petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Q.S.Al-A’raf 52)
2
manusia dewasa ini. Dalam makalah ini, penulis berusaha membahas hal tersebut,
walaupun tidak mendalam karena keterbatasan keilmuan penulis.
1.3. Tujuan
Adapun tujuan penyusunan makalah ini adalah :
1.4. Metode
Metode penulisan yang digunakan adalah dengan metode kepustakaan
yakni mencari bahan dari buku (literatur). Selanjutnya, buah pikiran yang
didapatkan dituangkan di dalam makalah ini secara ringkas.
2. PEMBAHASAN
2.1 Kehadiran dan Posisi Al-Qur’an
Kondisi bangsa Arab sebelum kedatangan Islam kacau balau, baik dari
segi pemerintahan, maupun sosial-budaya dan moralitas. Salah satu contoh adalah
3
kekacauan dari segi pemerintahan, misalnya, ada banyak qabilah (suku/ etnis)
yang tidak bersatu padu. Pada akhirnya, Qabilah yang terbesar dan terkuatlah
yang akan menguasai qabilah yang lebih kecil sekaligus pemegang tampuk
kekuasaan tertinggi di daerah Arab.
Kerusakan moral masyarakat Arab dikenal dengan istilah jahiliyah. Hal itu
diindikasikan dengan kemusyrikan dan penyimpangan nilai-nilai moralitas.
Misalnya, free sex (seks bebas), kekejaman rumah tangga (termasuk penganiyan
terhadap budak), pembunuhan dengan sebab yang sepele, pencurian, mabuk-
mabukan dsb.
Dengan kehadiran Al-Quran di muka bumi, hal itu merupakan pusaka
berharga yang mampu membenahi kejahiliyahan, terutama masyarakat Arab. Jika
kita mengamati secara seksama, justru salah satu kemukzijatan Al-Quran adalah
keterkaitan pesan-pesan teks dalam memproduksi hukum baru untuk
menyelesaikan persoalan di masyarakat. Di mana pun dan kapan pun. Al-Quran
adalah kitab yang dapat menyesuaikan, yang dijadikan untuk memecahkan suatu
masalah.
Jadi, Al-Quran merupakan petunjuk bagi kehidupan manusia, sebagaimana
Allah SWT mengenalkan Al-Quran kepada manusia sebagai petunjuk bagi orang–
orang yang bertaqwa. Sebagaimana tersirat dalam ayat al-Qur’an :
“Apakah belum tiba waktunya bagi orang yang beriman, untuk tunduk hati
mereka mengingat Allah dan mengingat kebenaran apa yang diturunkan-Nya (al-
Qur'an) dan janganlah mereka seperti ahli kitab sebelum mereka, telah lama
mereka berpisah dari ajaran Nabinya, sehingga hati mereka menjadi kasar (tidak
tembus cahaya kebenaran), dan kebanyakan mereka menjadi orang fasik.” (QS
Al-Hadid: 16).
Sebagai pedoman hidup umat Islam, Al-Quran akan selalu menjawabnya.
Kemampuannya menjawab berbagai persoalan memang harus didukung dengan
ilmu-ilmu lainnya (‘ulumul-quran) sebagai alat untuk menafsirkannya. Jadi,
jelaslah bahwa kedinamisan Al-Quran adalah salah satu bukti keunggulannya atau
mukjizat tak terhingga.
4
Al-Quran sebagai mukjizat tidak akan bisa dikalahkan oleh kitab mana
pun.Sebagaimana termaktub dalam QS Thaha: 1-8, yakni :
“Kami bukan menurunkan al-Qur'an kepadamu untuk menyusahkan dirimu.
Melainkan menjadi peringatan bagi orang yang takut Tuhannya. Dia turun dari
dzat yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi Ar-Rahman (Allah) itu
bersemayam di atas singgasana 'arsy. Kepunyaan-Nya segala apa yang ada di
antara keduanya, dan apa-apa yang ada di bawah petala (lapisan) bumi. Jika
engkau keraskan perkataan, Dia mengetahui apa yang dirahasiakan dan apa
yang lebih tersembunyi. Allah, tidak ada tuhan kecuali Dia. Bagi-Nya ada
beberapa nama yang indah.”
Jadi, Al-Quran merupakan pedoman hidup umat Islam sepanjang zaman,
pusaka tersakti yang dimiliki kaum Muslimin. Di dalamnya ada semangat hidup
yang terus mengarungi ruang dan waktu. Maka berpegang teguhlah kepada kitab
Allah yang mulia, agar hidupmu sejalan dengan Islam sampai pada tujuan akhir,
yakni bahagia dunia dan akhirat.
Menurut para ahli filsafat, kata ilmu sebagai gambaran sesuatu yang
terdapat dalam akal.
Menurut Abu Musa Al-Asy’ari, ilmu ialah sifat yang mewajibkan
pemiliknya mampu membedakan dengan panca indranya.
5
Menurut Imam Ghazali, secara umum arti ilmu dalam istilah syara’ adalah
ma’rifat Allah terhadap tanda-tanda kekuasaan, perbuatan, hamba-hamba
dan makhluk-Nya.
Menurut Muhammad Abdul ‘Adzhim, ilmu menurut istilah adalah
ma’lumat-ma’lumat yang dirumuskan dalam satu kesatuan judul atau
tujuan.
6
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kata “Al-
Qur’an” adalah firman Allah yang bersifat mu’jizat yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW dengan perantara malaikat Jibril yang tertulis dalam mushaf-
mushaf yang dinukil kepada kita secara mutawatir, membacanya bernilai ibadah,
yang diawali dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa ulumul qur’an adalah ilmu yang
membahas hal-hal yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari aspek
keberadaanya sebagai Al-Qur’an maupun aspek pemahaman kandunganya sebagai
pedoman dan petunjuk bagi manusia atau ilmu-ilmu yang berhubungan dengan
berbagai aspek yang terkait dengan keperluan, membahas al-Qur’an.
7
Sebagai ilmu yang terdiri dari berbagai cabang dan macamnya, ulumul
Qur’an tidak lahir sekaligus. Ulumul Qur’an menjelma menjadi suatu disiplin
ilmu melalui proses pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan kebutuhan
dan kesempatan untuk membenahi Al-Qur’an dari segi keberadaanya dan segi
pemahamanya. Di masa Rasul SAW dan para sahabat, ulumul Qur’an belum
dikenal sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri dan tertulis. Para sahabat adalah
orang-orang Arab asli yang dapat merasakan struktur bahasa Arab yang tinggi dan
memahami apa yang diturunkan kepada Rasul, dan bila menemukan kesulitan
dalam memahami ayat-ayat tertentu, mereka dapat menanyakan langsung kepada
Rasul SAW.
8
pengarang kitab Mawaqi’ Al-ulum min Mawaqi’ al-Nujum dipandang Assuyuthi
sebagai ulama yang mempelopori penyusunan Ulumul Qur’an yang lengkap.
Sebab, dalam kitabnya tercakup 50 macam ilmu Al-Qur’an. Jalaluddin al-
Syuyuthi (991 H) menulis kitab Al-Tahhir fi Ulum al-Tafsir. Penulisan kitab ini
selesai pada tahun 873 H. kitab ini memuat 102 macam ilmu-ilmu Al-Qur’an.
Karena itu, menurut sebagian ulama, kitab ini dipandang sebagai kitab Ulumul
Qur’an paling lengkap.namun, Al-Syuyuthi belum merasa puas dengan karya
monumental ini sehingga ia menyusun lagi kitab Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an.
Didalamnya dibahas 80 macam ilmu-ilmu Al-Qur’an secara padat dan sistematis.
Menurut Al-Zarqani, kitab ini merupakan pegangan bagi para peneliti dan penulis
dalam ilmu ini. Sampai saat ini bersamaan dengan masa kebangkitan modern
dalam perkembangan ilmu-ilmu agama, para ulama masih memperhatikan akan
ilmu Qur’an ini. Sehingga tokoh-tokoh ahli Qur’an masih banyak hingga saat ini
di seluruh dunia.
Secara garis besar, Ulumul Qur’an terbagi menjadi 2 pokok bahasan, yaitu
:
Segala macam pembahasan Ulumul Qur’an itu kembali pada beberapa pokok
pembahasan saja, seperti :
1. Nuzul
9
Pembahasan ini menyangkut dengan ayat-ayat yang menunjukkan tempat
dan waktu turunnya ayat AlQur’an, misalnya : Makkiyah, Madaniyah,
Hadhariyah, Safariyah, Nahariyah, Lailiyah, Syita’iyah, Shaifiyah, Firasyiyah dan
meliputi hal-hal yang menyangkut asbabun nuzul dan sebagainya.
2. Sanad
3. Ada’ Al-Qira’ah
4. Lafadz
5. Makna
10
Ilmu-ilmu al-Qur’an (‘Ulum al-Qur’an) merupakan sebuah rumpun ilmu-
ilmu yang terkait dengan usaha kaum Muslim untuk memahami pesan-pesan
Tuhan yang termaktub dalam Kitab Suci al-Qur’an. Di samping menjadi sumber
utama segala corak pemikiran Islam, al-Qur’an juga telah mendorong kaum
Muslim untuk menelaah dan mengembangkan metodologi bagaimana memahami
dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana yang dititahkan Allah dan
diajarkan oleh Nabi Muhammad. Dilihat dari perspektif filsafat Ilmu,
pengembangan metodologi merupakan sebuah bentuk pertanggungjawaban ilmiah
dalam suatu disiplin ilmu; dan tradisi ini cukup kuat dalam ilmu tafsir dan ta’wil
al-Qur’an.2
2 Husain Heriyanto, Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam, hlm. 46. Bandung :
Mizan, 2011, Selanjutnya, disebut sebagai Husain Heriyanto, Menggali Nalar Saintifik Peradaban
Islam.
11
2.3. Relevansi Al-Qur’an dalam Penyelesaian Problem-
problem Kekinian
12
spontanitasnya atas realitas historis yang tidak bisa langsung diambil sebagai
problem solving atas masalah-masalah kekinian. Tetapi bagian-bagian itu harus
direkonstruksi kembali dengan mempertautkan antara satu dengan yang lain, lalu
diambil inti syar’inya (hikmah at-tasyri’) sebagai pedoman normatif (idea moral),
dan idea moral al-Qur’an kemudian dikontektualisasikan untuk menjawab
problem-problem kekinian.
Al-Qur’an sebagai sumber utama hukum Islam tidak berdiri sendiri dalam
memecahkan persoalan-persoalan kehidupan. Al-Sunnah dan Ijtihad adalah
rujukan yang siap menyokong Al-Qur’an dalam menentukan hukum. Kedudukan
Al-Sunnah dan Ijtihad adalah berada di bawah Al-Qur’an dalam tugasnya sebagai
acuan rujukan hukum. Seperti dinyatakan oleh M Quraish Shihab bahwa al-
Qur’an memuat jawaban atas masalah yang terjadi saat diturunkan di negeri Arab.
Namun, meski telah berusia seribu empat ratus tahun lebih, Al-Quran masih bisa
dijadikan panduan untuk menjawab persoalan-persoalan kekinian.
13
dan intelektual. Dalam dimensi spiritual, ‘membaca’ al-Qur’an sudah merupakan
ibadah karena berkomunikasi dengan Allah. Sementara itu, ‘membaca’ juga
merupakan aktivitas penting dalam dunia keilmuan.
Dari pemaparan di atas mengindikasikan bahwa perintah membaca al-
Qur’an sebagai ibadah sesungguhnya adalah sebuah dorongan religius kepada
kaum Muslim untuk mengaktifkan pendayagunaan akal pikiran guna memahami
dan menggali teks-teks al-Qur’an.3 Atas dasar itulah, perkembangan ilmu
pengetahuan di dunia Islam sangat pesat.
Selain itu, penggalian terhadap kandungan ayat suci al-Qur’an dapat
menyelesaikan problem-problem kekinian karena di dalam al-Qur’an mencakup
seluruh pembahasan, baik duniawi maupun ukhrawi. Menurut Allamah
Thabathaba’i, penulis kitab Tafsir al-Mizan, al-Qur’an mengajak kita untuk
mempelajari ilmu-ilmu kealaman, matematika, filsafat, sastra dan semua ilmu
pengetahuan yang dapat dicapai oleh pemikiran manusia. Al-Qur’an menyeru kita
untuk mempelajari ilmu-ilmu tersebut sebagai jalan untuk mengetahui al-Haqq
dan Realitas, serta sebagai cermin untuk mengetahui alam, di sampung juga
adanya manfaat praktis dari ilmu-ilmu itu untuk kesejahteraan umat manusia.4
Filsuf Muhammad Iqbal menjelaskan mengapa al-Qur’an memberi
inspirasi sarjana Muslim awal untuk mengembangkan pelbagai disiplin ilmu.
Iqbal menyatakan bahwa nilai-nilai al-Qur’an berkarakter dinamis, konkret, nyata
yang mendorong kaum Muslim melakukan eksperimen dan berpikir induktif. Hal
itulah yang membedakan sarjana Muslim dengan sarjana Yunani sedemikian rupa,
sehingga tradisi keilmuan yang mereka warisi dari peradaban-peradaban
sebelumnya (Yunani, Mesir, Persia, India dan Cina) dikembangkan dengan spirit
dan paradigma ilmu yang berbeda.5
14
3. PENUTUP
Korelasi antara wahyu dan akal bagaikan mata kunci yang membuka hijab
formalism dan irasionalisme untuk menyelesaikan permasalahan dalam era
modern ini. Pada konteks kekinian, manusia harus berpikir secara holistic,
sistemik, dan refleksif untuk memahami realitas, sehingga bisa menyelesaikan
problem yang ada. Terlebih lagi di era modernisasi ini, manusia modern
mengalami kehampaan spiritual, krisis makna, dan legitimasi hidup, dan
keterasingan (alienasi) terhadap dirinya sendiri. Oleh karena itu, manusia modern
---yang mengagungkan akal--- harus menilik kandungan di dalam al-Qur’an agar
melihat permasalahan secara bijak.
15
DAFTAR PUSTAKA
Nata, Abuddin. Al-Qur’an dan Hadits. Jakarta : Raja Grafindo Persada. 1992.
16