Anda di halaman 1dari 16

Relevansi Ulumul Qur’an, Al-Qur’an, dan Upaya Penyelesaian

Problem-problem Kekinian

Oleh: Wa Ode Zainab Zilullah Toresano

1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Dewasa ini, bergulir perbincangan hangat mengenai relevansi al-Qur’an


pada tataran scholar dan agamawan. Mereka berbeda pandangan mengenai
‘apakah al-Qur’an masih relevan untuk konteks kekinian atau perlu dilakukan
kontekstualisasi al-Qur’an karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan
zaman’. Hingga kini perdebatan di antara keduanya masih berlanjut. Timbul
pertanyaan besar dari wacana tersebut, apakah al-Qur’an memang masih relevan
dalam era modern dewasa ini? Jika memang relevan, dapatkah al-Qur’an
menyelesaikan problem-problem kekinian?

Al-Qur’an adalah kalam Allah (verbum dei)1 yang menunjukkan mukjizat,


Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya. Kitab suci tersebut sampai kepada
umat manusia dengan cara al-tawâtur (langsung dari Rasul kepada umatnya),
yang kemudian termaktub dalam mushaf. Kandungan pesan Ilahi tersebut
disampaikan Nabi pada permulaan abad ke-7; al-Qur’an telah meletakkan basis
untuk kehidupan individual dan sosial bagi umat Islam dalam segala aspek. Al-
Qur’an merupakan sumber ilmu bagi kaum muslimin yang merupakan dasar-dasar
hukum yang mencakup segala hal, baik aqidah, ibadah, etika, mu’amalah dan
sebagainya. Dengan kata lain, Al-Qur’an adalah sumber ilmu bagi kaum muslimin
yang merupakan dasar-dasar hukum yang mencakup segala hal. Hal itu
sebagaimana termaktub dalam Q.S. An-Nahl : 89 :

1 Istilah verbum dei, penulis dapatkan dari buku karya Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi
Sejarah al-Qur’an, Yogyakarta : Forum Kajian Agama dan Budaya, 2001.

1
‫َـب ِت ْبيَانًا ِل ُك ِل َش ْىءٍ َو َهدَى َو َرحْ َمةً َوبُ ْش َرى ِل ْل ُم ْس ِل ِمين‬
َ ‫َون ََّز ْلنَا َعلَيْكَ ْال ِكت‬

“Kami turunkan kepadamu Al-Kitab untuk menjelaskan segala sesuatu dan


petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.”
(Q.S. An-Nahl : 89).

Apabila kita mempelajari isi Al-Qur’an, maka itu akan menambah


perbendaharaan baru, memperluas pandangan dan pengetahuan, meningkatkan
perspektif baru dan selalu menemui hal-hal yang baru. Lebih jauh lagi, kita akan
lebih yakin akan keunikan isinya yang menunjukkan Maha Besarnya Allah
sebagai penciptanya. Itu sebagaimana termaktub dalam Firman Allah :

َ‫ع َلى ِع ْل ٍم ُهدًى َو َرحْ َمةً ِلقَ ْو ٍم يُؤْ ِمنُون‬ َّ ‫ب َف‬


َ ُ‫ص ْلنَـه‬ ٍ ‫َولَقَ ْد ِجئْنَـ ُه ْم بِ ِكتَـ‬

“Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah Kitab (Al Quran) kepada
mereka yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami; menjadi
petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Q.S.Al-A’raf 52)

Untuk memahami kandungan ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang


segala sesuatu yang berkenaan dengan kehidupan di dunia, maupun akhirat, maka
kita membutuhkan suatu ilmu yang membahas hal itu. Selain memahami bahasa
Arab, untuk memperoleh pemahaman yang mendalam, kita harus mengetahui
keterkaitan ayat yang satu dan lainnya, sebab-sebat turunnya suatu ayat, dan
sebagainya. Pada perkembangan keilmuan Islam, muncul suatu Ilmu sistematis
yang mempelajari bagaimana tata cara menafsirkan Al-Qur’an dan hal-hal yang
berkenaan dengan al-Qur’an, yakni Ulumul Qur’an.
Atas dasar pemaparan di atas, maka untuk menjadikan al-Qur’an relevan
untuk menyelesaikan problem-problem kekinian, maka kita harus mengetahui
kandungan al-Qur’an secara mendalam. Oleh karena itu, mengkaji Ulumul Qur’an
merupakan langkah terbaik yang harus dilakukan. Setelah membedah ‘al-Qur’an’
menggunakan pisau analisa ‘Ulumul Qur’an’, maka kita dapat menempatkan al-
Qur’an sebagai jawaban (solusi) atas permasalahan yang sedang dihadapi umat

2
manusia dewasa ini. Dalam makalah ini, penulis berusaha membahas hal tersebut,
walaupun tidak mendalam karena keterbatasan keilmuan penulis.

1.2. Perumusan Masalah


Sesuai dengan pokok masalah yang dibicarakan tentang, “Relevansi
Ulumul Qur’an, Al-Qur’an dalam Penyelesaian Problem-problem Kekinian”
maka rumusan masalah ini difokuskan pada :

1. Bagaimana kehadiran dan posisi Al-Qur’an?


2. Apa yang dimaksud dengan Ulumul Qur’an dan kaitannya dengan al-
Qur’an?
3. Apa Relevansi Al-Qur’an dalam Penyelesaian Problem-problem
Kekinian?

1.3. Tujuan
Adapun tujuan penyusunan makalah ini adalah :

1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Qur’an (Ujian Komprehensif)


2. Menganalisa relevansi Al-Qur’an dalam upaya menyelesaikan problem-
problem kekinian.

1.4. Metode
Metode penulisan yang digunakan adalah dengan metode kepustakaan
yakni mencari bahan dari buku (literatur). Selanjutnya, buah pikiran yang
didapatkan dituangkan di dalam makalah ini secara ringkas.

2. PEMBAHASAN
2.1 Kehadiran dan Posisi Al-Qur’an
Kondisi bangsa Arab sebelum kedatangan Islam kacau balau, baik dari
segi pemerintahan, maupun sosial-budaya dan moralitas. Salah satu contoh adalah

3
kekacauan dari segi pemerintahan, misalnya, ada banyak qabilah (suku/ etnis)
yang tidak bersatu padu. Pada akhirnya, Qabilah yang terbesar dan terkuatlah
yang akan menguasai qabilah yang lebih kecil sekaligus pemegang tampuk
kekuasaan tertinggi di daerah Arab.
Kerusakan moral masyarakat Arab dikenal dengan istilah jahiliyah. Hal itu
diindikasikan dengan kemusyrikan dan penyimpangan nilai-nilai moralitas.
Misalnya, free sex (seks bebas), kekejaman rumah tangga (termasuk penganiyan
terhadap budak), pembunuhan dengan sebab yang sepele, pencurian, mabuk-
mabukan dsb.
Dengan kehadiran Al-Quran di muka bumi, hal itu merupakan pusaka
berharga yang mampu membenahi kejahiliyahan, terutama masyarakat Arab. Jika
kita mengamati secara seksama, justru salah satu kemukzijatan Al-Quran adalah
keterkaitan pesan-pesan teks dalam memproduksi hukum baru untuk
menyelesaikan persoalan di masyarakat. Di mana pun dan kapan pun. Al-Quran
adalah kitab yang dapat menyesuaikan, yang dijadikan untuk memecahkan suatu
masalah.
Jadi, Al-Quran merupakan petunjuk bagi kehidupan manusia, sebagaimana
Allah SWT mengenalkan Al-Quran kepada manusia sebagai petunjuk bagi orang–
orang yang bertaqwa. Sebagaimana tersirat dalam ayat al-Qur’an :
“Apakah belum tiba waktunya bagi orang yang beriman, untuk tunduk hati
mereka mengingat Allah dan mengingat kebenaran apa yang diturunkan-Nya (al-
Qur'an) dan janganlah mereka seperti ahli kitab sebelum mereka, telah lama
mereka berpisah dari ajaran Nabinya, sehingga hati mereka menjadi kasar (tidak
tembus cahaya kebenaran), dan kebanyakan mereka menjadi orang fasik.” (QS
Al-Hadid: 16).
Sebagai pedoman hidup umat Islam, Al-Quran akan selalu menjawabnya.
Kemampuannya menjawab berbagai persoalan memang harus didukung dengan
ilmu-ilmu lainnya (‘ulumul-quran) sebagai alat untuk menafsirkannya. Jadi,
jelaslah bahwa kedinamisan Al-Quran adalah salah satu bukti keunggulannya atau
mukjizat tak terhingga.

4
Al-Quran sebagai mukjizat tidak akan bisa dikalahkan oleh kitab mana
pun.Sebagaimana termaktub dalam QS Thaha: 1-8, yakni :
“Kami bukan menurunkan al-Qur'an kepadamu untuk menyusahkan dirimu.
Melainkan menjadi peringatan bagi orang yang takut Tuhannya. Dia turun dari
dzat yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi Ar-Rahman (Allah) itu
bersemayam di atas singgasana 'arsy. Kepunyaan-Nya segala apa yang ada di
antara keduanya, dan apa-apa yang ada di bawah petala (lapisan) bumi. Jika
engkau keraskan perkataan, Dia mengetahui apa yang dirahasiakan dan apa
yang lebih tersembunyi. Allah, tidak ada tuhan kecuali Dia. Bagi-Nya ada
beberapa nama yang indah.”
Jadi, Al-Quran merupakan pedoman hidup umat Islam sepanjang zaman,
pusaka tersakti yang dimiliki kaum Muslimin. Di dalamnya ada semangat hidup
yang terus mengarungi ruang dan waktu. Maka berpegang teguhlah kepada kitab
Allah yang mulia, agar hidupmu sejalan dengan Islam sampai pada tujuan akhir,
yakni bahagia dunia dan akhirat.

2.2. Ulumul Qur’an dan Kaitannya dengan al-Qur’an


2.2.1. Pengertian
Secara etimologi, kata Ulumul Qur’an berasal dari bahasa Arab yang
terdiri dari dua kata, yaitu “Ulum” dan “Al-Qur’an”. Kata ulum adalah bentuk
jamak dari kata “ilmu” yang berarti ilmu-ilmu. Kata ulum yang disandarkan pada
kata Al-Qur’an telah memberikan pengertian bahwa ilmu ini merupakan
kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari segi
keberadaanya sebagai Al-Qur’an maupun dari segi pemahaman terhadap petunjuk
yang terkandung di dalamnya. Untuk lebih memahami pengertian ilmu secara
jelas, mari kita simak pendapat-pendapat di bawah ini :

 Menurut para ahli filsafat, kata ilmu sebagai gambaran sesuatu yang
terdapat dalam akal.
 Menurut Abu Musa Al-Asy’ari, ilmu ialah sifat yang mewajibkan
pemiliknya mampu membedakan dengan panca indranya.

5
 Menurut Imam Ghazali, secara umum arti ilmu dalam istilah syara’ adalah
ma’rifat Allah terhadap tanda-tanda kekuasaan, perbuatan, hamba-hamba
dan makhluk-Nya.
 Menurut Muhammad Abdul ‘Adzhim, ilmu menurut istilah adalah
ma’lumat-ma’lumat yang dirumuskan dalam satu kesatuan judul atau
tujuan.

Dari beberapa pengertian di atas, menurut terminologi dapat disimpulkan


bahwa kata “ulum / ilmu” adalah masalah-masalah yang telah dirumuskan dalam
satu disiplin pengetahuan yang terdapat dalam akal pikiran.

Sementara itu, menurut bahasa, kata “Al-Qur’an” merupakan bentuk


mashdar yang maknanya sama dengan kata “qira’ah” yaitu bacaan. Bentuk
mashdar ini berasal dari fi’il madli “qoro’a” yang artinya membaca. Sedangkan
menurut istilah, “Al-Qur’an” adalah firman Allah yang bersifat mu’jizat yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad, yang tertulis dalam mushaf-mushaf, yang
dinukil dengan jalan mutawatir dan yang membacanya merupakan ibadah. Untuk
lebih memahami pengertian Al-Qur’an secara jelas, mari kita simak pendapat-
pendapat di bawah ini :

 Menurut Manna’ Al-Qathkan, Al-Qur’an adalah kitab yang diturunkan


kepada Nabi Muhammad SAW dan orang yang membaca akan
memperoleh pahala.
 Menurut Al-Jurjani, Al-Qur’an adalah wahyu yang diturunkan kepada
Rasulullah yang ditulis dalam mushaf dan diriwayatkan secara mutawatir
(berangsur-angsur).
 Menurut kalangan pakar ushul fiqih, fiqih, dan bahasa Arab, Al-Qur’an
adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, lafadz-lafadznya
mengandung mu’jizat, membacanya bernilai ibadah, diturunkan secara
mutawatir dan ditulis dari surat Al-Fatihah sampai akhir surat yaitu An-
Nas.

6
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kata “Al-
Qur’an” adalah firman Allah yang bersifat mu’jizat yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW dengan perantara malaikat Jibril yang tertulis dalam mushaf-
mushaf yang dinukil kepada kita secara mutawatir, membacanya bernilai ibadah,
yang diawali dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas.

Setelah membahas kata “ulum” dan “Al-Qur’an” yang terdapat dalam


kalimat “Ulumul Qur’an”, perlu kita ketahui bahwa tersusunnya kalimat tersebut
mengisyaratkan bahwa adanya bermacam-macam ilmu pengetahuan yang
berkaitan dengan Al-Qur’an atau pembahasan-pembahasan yang berhubungan
dengan Al-Qur’an, baik dari aspek keberadaannya sebagai Al-Qur’an maupun
aspek pemahaman kandungannya sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa ulumul qur’an adalah ilmu yang
membahas hal-hal yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari aspek
keberadaanya sebagai Al-Qur’an maupun aspek pemahaman kandunganya sebagai
pedoman dan petunjuk bagi manusia atau ilmu-ilmu yang berhubungan dengan
berbagai aspek yang terkait dengan keperluan, membahas al-Qur’an.

Ulumul Qur’an merupakan suatu ilmu yang mempunyai ruang lingkup


pembahasan yang luas. Ulumul Qur’an meliputi semua ilmu yang ada kaitanya
dengan Al-Qur’an, baik berupa ilmu-ilmu agama, seperti ilmu tafsir maupun ilmu-
ilmu bahasa Arab, seperti ilmu balaghah dan ilmu I’rab al-Qur’an. Disamping itu,
masih banyak lagi ilmu-ilmu yang tercakup di dalamnya. Dalam kitab Al- Itqan,
Assyuyuthi menguraikan sebanyak 80 cabang ilmu. Dari tiap-tiap cabang terdapat
beberapa macam cabang ilmu lagi. Kemudian dia mengutip Abu Bakar Ibnu al-
Araby yang mengatakan bahwa ulumul qur’an terdiri dari 77450 ilmu. Hal ini
didasarkan kepada jumlah kata yang terdapat dalam al-qur’an dengan dikalikan
empat. Sebab, setiap kata dalam al-Qur’an mengandung makna Dzohir, batin,
terbatas, dan tidak terbatas.

2.2.2. Sejarah Perkembangan Ulumul Qur’an

7
Sebagai ilmu yang terdiri dari berbagai cabang dan macamnya, ulumul
Qur’an tidak lahir sekaligus. Ulumul Qur’an menjelma menjadi suatu disiplin
ilmu melalui proses pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan kebutuhan
dan kesempatan untuk membenahi Al-Qur’an dari segi keberadaanya dan segi
pemahamanya. Di masa Rasul SAW dan para sahabat, ulumul Qur’an belum
dikenal sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri dan tertulis. Para sahabat adalah
orang-orang Arab asli yang dapat merasakan struktur bahasa Arab yang tinggi dan
memahami apa yang diturunkan kepada Rasul, dan bila menemukan kesulitan
dalam memahami ayat-ayat tertentu, mereka dapat menanyakan langsung kepada
Rasul SAW.

Di zaman Khulafa’u Rasyiddin sampai dinasti umayyah wilayah islam


bertambah luas sehingga terjadi pembauran antara orang Arab dan bangsa-bangsa
yang tidak mengetahui bahasa Arab. Keadaan demikian menimbulkan
kekhawatiran sahabat akan tercemarnya keistimewaan bahasa arab, bahkan
dikhawatirkan tentang baca’an Al-Qur’an yang menjadi sebuah standar bacaan
mereka. Untuk mencegah kekhawatiran itu, disalinlah dari tulisan-tulisan aslinya
sebuah al-qur’an yang disebut mushaf imam. Dan dari salinan inilah suatu dasar
ulumul Qur’an yang disebut Al rasm Al-Utsmani.

Kemudian, Ulumul Qur’an memasuki masa pembukuanya pada abad ke-2


H. Para ulama memberikan prioritas perhatian mereka kepada ilmu tafsir karena
fungsinya sebagai umm al ulum alQur’aniyyah. Para penulis pertama dalam tafsir
adalah Syu’bah ibn al-Hajjaj (160 H), Sufyan Ibn Uyaynah (198 H), dan Wali Ibn
al-Jarrah (197 H). dan pada abad ke-3 muncul tokoh tafsir yang merupakan
mufassir pertama yang membentangkan berbagai pendapat dan mentarjih
sebagianya. Beliau adalah Ibn jarir atThabari (310 H).

Selanjutnya sampai abad ke-13 ulumul Qur’an terus berkembang pesat


dengan lahirnya tokoh-tokoh yang selalu melahirkan buah karyanya untuk terus
melengkapi pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan ilmu tersebut.
Diantara sekian banyak tokoh-tokoh tersebut, Jalaluddin al-bulqini (824 H)

8
pengarang kitab Mawaqi’ Al-ulum min Mawaqi’ al-Nujum dipandang Assuyuthi
sebagai ulama yang mempelopori penyusunan Ulumul Qur’an yang lengkap.
Sebab, dalam kitabnya tercakup 50 macam ilmu Al-Qur’an. Jalaluddin al-
Syuyuthi (991 H) menulis kitab Al-Tahhir fi Ulum al-Tafsir. Penulisan kitab ini
selesai pada tahun 873 H. kitab ini memuat 102 macam ilmu-ilmu Al-Qur’an.
Karena itu, menurut sebagian ulama, kitab ini dipandang sebagai kitab Ulumul
Qur’an paling lengkap.namun, Al-Syuyuthi belum merasa puas dengan karya
monumental ini sehingga ia menyusun lagi kitab Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an.
Didalamnya dibahas 80 macam ilmu-ilmu Al-Qur’an secara padat dan sistematis.
Menurut Al-Zarqani, kitab ini merupakan pegangan bagi para peneliti dan penulis
dalam ilmu ini. Sampai saat ini bersamaan dengan masa kebangkitan modern
dalam perkembangan ilmu-ilmu agama, para ulama masih memperhatikan akan
ilmu Qur’an ini. Sehingga tokoh-tokoh ahli Qur’an masih banyak hingga saat ini
di seluruh dunia.

2.2.3. Ruang Lingkup Pembahasan Ulumul Qur’an

Secara garis besar, Ulumul Qur’an terbagi menjadi 2 pokok bahasan, yaitu
:

1. Ilmu yang berhubungan dengan riwayat semata-mata, seperti ilmu yang


membahas tentang macam-macam bacaan, tempat turun ayat-ayat Al-
Qur’an, waktu-waktu turunnya dan sebab-sebabnya.
2. Ilmu yang berhubungan dengan dirayah, yaitu ilmu yang diperoleh dengan
jalan penelaahan secara mendalam, seperti memahami lafadz yang ghorib
(asing) serta mengetahui makna ayat-ayat yang berhubungan dengan
hukum.

Segala macam pembahasan Ulumul Qur’an itu kembali pada beberapa pokok
pembahasan saja, seperti :

1. Nuzul

9
Pembahasan ini menyangkut dengan ayat-ayat yang menunjukkan tempat
dan waktu turunnya ayat AlQur’an, misalnya : Makkiyah, Madaniyah,
Hadhariyah, Safariyah, Nahariyah, Lailiyah, Syita’iyah, Shaifiyah, Firasyiyah dan
meliputi hal-hal yang menyangkut asbabun nuzul dan sebagainya.

2. Sanad

Pembahasan ini meliputi hal-hal yang menyangkut dengan sanad yang


mutawatir, ahad, syadz, bentuk-bentuk qira’at Nabi, para periwayat dan penghafal
Al-Qur’an dan cara tahammul (penerimaan riwayat).

3. Ada’ Al-Qira’ah

Pembahasan ini menyangkut tentang Waqaf, Ibtida’, Imalah, Mad, Takhfif


hamzah dan Idghom.

4. Lafadz

Pembahasan ini menyangkut tentang Gharib, Mu’rab, Majaz, Musytarak,


Muradif, Isti’arah dan Tasybih.

5. Makna

 Pemabahasan makna Al-Qur’an yang berhubungan dengan hukum, yaitu


ayat yang bermakna ‘Amm dan tetap dalam keumumannya, ‘Amm yang
dimaksudkan khusus, ‘Amm yang dikhususkan oleh sunnah, Nash,
Dzhahir, Mujmal, Mufashal, Manthuq, Mafhum, Mutlaq, Muqayyad,
Muhkam, Mutasyabih, Musykil, Nasikh Mansukh, Muqaddam, Mu’akhar,
Ma’mul pada waktu tertentu dan Ma’mul oleh seorang saja.
 Pembahasan makna Al-Qur’an yang berhubungan dengan lafadz, yaitu
Fashl, Washl, Ijaz, Ithnab, Musawah dan Qashar.
2.2.4. Manfaat Mempelajari Ulumul Qur’an

10
Ilmu-ilmu al-Qur’an (‘Ulum al-Qur’an) merupakan sebuah rumpun ilmu-
ilmu yang terkait dengan usaha kaum Muslim untuk memahami pesan-pesan
Tuhan yang termaktub dalam Kitab Suci al-Qur’an. Di samping menjadi sumber
utama segala corak pemikiran Islam, al-Qur’an juga telah mendorong kaum
Muslim untuk menelaah dan mengembangkan metodologi bagaimana memahami
dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana yang dititahkan Allah dan
diajarkan oleh Nabi Muhammad. Dilihat dari perspektif filsafat Ilmu,
pengembangan metodologi merupakan sebuah bentuk pertanggungjawaban ilmiah
dalam suatu disiplin ilmu; dan tradisi ini cukup kuat dalam ilmu tafsir dan ta’wil
al-Qur’an.2

Adapun manfaat mempelajari Ulumul Qur’an antara lain :

 Mampu menguasai berbagai ilmu pendukung dalam rangka memahami


makna yang terkandung dalam Al-Qur’an.
 Membekali diri dengan persenjataan ilmu pengetahuan yang lengkap
dalam rangka membela Al-Qur’an dari berbagai tuduhan dan fitnah yang
muncul dari pihak lain.
 Seorang penafsir (mufassir) akan lebih mudah dalam mengartikan Al-
Qur’an dan mengimplementasikan dalam kehidupan nyata.
 Membentuk kepribadian muslim yang seimbang.
 Menanamkan iman yang kuat
 Memberi arahan untuk dapat memanfaatkan potensi yang dimiliki dan
sumber-sumber kebaikan yang ada di dunia.
 Menetapkan undang-undang agar setiap muslim mampu memberikan
sumbangsih dan kreatif untuk mencapai kemajuan.
 Membentuk masyarakat muslim yang betul-betul Qur’ani.
 Membimbing umat dalam memerangi kejahiliyahan.

2 Husain Heriyanto, Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam, hlm. 46. Bandung :
Mizan, 2011, Selanjutnya, disebut sebagai Husain Heriyanto, Menggali Nalar Saintifik Peradaban
Islam.

11
2.3. Relevansi Al-Qur’an dalam Penyelesaian Problem-
problem Kekinian

Seiring dengan laju dinamika zaman, Islam telah menunjukkan


perkembangan yang sangat pesat dalam berbagai aspek kehidupan terutama dalam
bidang pengetahuan. Hukum-hukum Islam pun turut andil andil dalam
perkembangan tersebut. Hal ini terlihat dari banyaknya masalah-masalah
kontemporer yang banyak mencuat.

Keseluruhan teks dalam al-Qur’an, sebagaimana juga telah disinggung di


muka, merupakan kesatuan struktural yang bagian-bagiannya saling terkait.
Keseluruhan teks al-Qur’an menghasilkan weltanschauung (pandangan dunia)
yang pasti. Dari sinilah umat Islam dapat memfungsikan al-Qur’an sebagai kitab
petunjuk (hudan) yang betul-betul mencerahkan (enlighten) dan mencerdaskan
(educate). Akan tetapi Fazlur Rahman menengarai adanya kesalahan umum di
kalangan umat Islam dalam memahami pokok-pokok keterpaduan al-Qur’an, dan
kesalahan ini terus dipelihara, sehingga dalam praksisnya umat Islam dengan
kokohnya berpegang pada ayat-ayat secara terpisah-pisah. Fazlur Rahman
mencatat, akibat pendekatan “atomistik” ini adalah, seringkali umat terjebak pada
penetapan hukum yang diambil atau didasarkan dari ayat-ayat yang tidak
dimaksudkan sebagai hukum.
Fazlur Rahman nampaknya dipengaruhi oleh al-Syatubi (w. 1388) seorang
yuris Maliki yang terkenal, dalam bukunya al-muwafiqat, tentang betapa
mendesak dan amsuk akalnya untuk memahami al-Qur’an sebagai suatu ajaran
yang padu dan kohesif.[13] Dari sisi ini, maka yang bernilai mutlak dalam al-
Qur’an adalah “prinsip-prinsip umumnya” (ushul al-kulliyah) bukan bagian-
bagiannya secara ad hoc. Bagian-bagian ad hoc al-Qur’an adalah respon

12
spontanitasnya atas realitas historis yang tidak bisa langsung diambil sebagai
problem solving atas masalah-masalah kekinian. Tetapi bagian-bagian itu harus
direkonstruksi kembali dengan mempertautkan antara satu dengan yang lain, lalu
diambil inti syar’inya (hikmah at-tasyri’) sebagai pedoman normatif (idea moral),
dan idea moral al-Qur’an kemudian dikontektualisasikan untuk menjawab
problem-problem kekinian.

Tentu untuk melakukan pembacaan holistik terhadap al-Qur’an tersebut


membutuhkan metodologi dan pendekatan yang memadai. Metodologi dan
pendekatan yang telah dipakai oleh para mufassir klasik menyisakan masalah
penafsiran, yaitu belum bisa menyuguhkan pemahaman utuh, komprehensif, dan
holistik. ‘Ilm munâsabah sebenarnya memberi langkah strategis untuk melakukan
pembacaan dengan cara baru (al-qira’ah al-muashirah) asalkan metode yang
digunakan untuk melakukan “perajutan” antar surat dan antar ayat adalah tepat.
Untuk itu perlu dipikirkan penggunaan metode dan pendekatan hermeneutika dan
antropologi filologis dalam ‘ilm munâsabah. ‘Ilm Munasabah termasuk dalam
pembahasan Ulumul Qur’an.

Al-Qur’an sebagai sumber utama hukum Islam tidak berdiri sendiri dalam
memecahkan persoalan-persoalan kehidupan. Al-Sunnah dan Ijtihad adalah
rujukan yang siap menyokong Al-Qur’an dalam menentukan hukum. Kedudukan
Al-Sunnah dan Ijtihad adalah berada di bawah Al-Qur’an dalam tugasnya sebagai
acuan rujukan hukum. Seperti dinyatakan oleh M Quraish Shihab bahwa al-
Qur’an memuat jawaban atas masalah yang terjadi saat diturunkan di negeri Arab.
Namun, meski telah berusia seribu empat ratus tahun lebih, Al-Quran masih bisa
dijadikan panduan untuk menjawab persoalan-persoalan kekinian.

Selain dapat menjadi rujukan untuk menyelesaikan problem pada konteks


kekinian, Al-Qur’an juga merupakan sumber inspirasi yang menjadi penggerak
luar biasa bagi para pemikir dan filosof Islam dalam mengembangkan berbagai
ilmu pengetahuan yang mencerahkan peradaban dunia. Wahyu (kalam Ilahi)
diturunkan kepada manusia melalu Nabi Muhammad. Posisi al-Qur’an sebagai
kalam Ilahi yang berbentuk teks memiliki dua dimensi, yakni dimensi spiritual

13
dan intelektual. Dalam dimensi spiritual, ‘membaca’ al-Qur’an sudah merupakan
ibadah karena berkomunikasi dengan Allah. Sementara itu, ‘membaca’ juga
merupakan aktivitas penting dalam dunia keilmuan.
Dari pemaparan di atas mengindikasikan bahwa perintah membaca al-
Qur’an sebagai ibadah sesungguhnya adalah sebuah dorongan religius kepada
kaum Muslim untuk mengaktifkan pendayagunaan akal pikiran guna memahami
dan menggali teks-teks al-Qur’an.3 Atas dasar itulah, perkembangan ilmu
pengetahuan di dunia Islam sangat pesat.
Selain itu, penggalian terhadap kandungan ayat suci al-Qur’an dapat
menyelesaikan problem-problem kekinian karena di dalam al-Qur’an mencakup
seluruh pembahasan, baik duniawi maupun ukhrawi. Menurut Allamah
Thabathaba’i, penulis kitab Tafsir al-Mizan, al-Qur’an mengajak kita untuk
mempelajari ilmu-ilmu kealaman, matematika, filsafat, sastra dan semua ilmu
pengetahuan yang dapat dicapai oleh pemikiran manusia. Al-Qur’an menyeru kita
untuk mempelajari ilmu-ilmu tersebut sebagai jalan untuk mengetahui al-Haqq
dan Realitas, serta sebagai cermin untuk mengetahui alam, di sampung juga
adanya manfaat praktis dari ilmu-ilmu itu untuk kesejahteraan umat manusia.4
Filsuf Muhammad Iqbal menjelaskan mengapa al-Qur’an memberi
inspirasi sarjana Muslim awal untuk mengembangkan pelbagai disiplin ilmu.
Iqbal menyatakan bahwa nilai-nilai al-Qur’an berkarakter dinamis, konkret, nyata
yang mendorong kaum Muslim melakukan eksperimen dan berpikir induktif. Hal
itulah yang membedakan sarjana Muslim dengan sarjana Yunani sedemikian rupa,
sehingga tradisi keilmuan yang mereka warisi dari peradaban-peradaban
sebelumnya (Yunani, Mesir, Persia, India dan Cina) dikembangkan dengan spirit
dan paradigma ilmu yang berbeda.5

3 Husain Heriyanto, Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam, hlm. 38.


4 Husain Heriyanto, Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam, hlm. 39.
5 Husain Heriyanto, Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam, hlm. 40.

14
3. PENUTUP

Al-Qur’an adalah pedoman hidup bagi manusia yang disajikan dengan


status sastra yang tinggi. Kitab suci ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan
manusia semenjak Al-Qur’an diturunkan, terutama terhadap ilmu pengetahuan,
peradaban serta akhlak manusia. Untuk memahami kandungan al-Qur’an,
dibutuhkan Ilmu yang berkenaan dengan al-Qur’an, yakni Ulumul Qur’an.
Ulumul Qur’an adalah kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan dengan Al-
Qur’an yang mempunyai ruang lingkup pembahasan yang luas. Pertumbuhan dan
perkembangan Ulumul Qur’an menjelma menjadi suatu disiplin ilmu melalui
proses secara bertahap dan sesuai dengan kebutuhan dan kesempatan untuk
menyesuaikan Al-Qur’an dari segi keberadaan dan pemahamannya dengan
konteks kekinian.

Untuk menyelesaikan problem-problem pada konteks kekinian, kita


terlebih dahulu memahami al-Qur’an dengan menggundakan kaca mata Ulumul
Qur’an. Setelah itu, kita harus mampu menangkap substansi suatu persoalan yang
sedang dihadapi. Setelah itu kita berupaya untuk mensintesakan antara kandungan
dalam al-Qur’an dan rasio ---yang sesungguhnya sudah selaras--- agar kita bisa
mengasah dan mempertajam penalaran. Sehingga, diharapkan dapat terhindar dari
kejumudan berpikir dalam menginterpretasi al-Qur’an.

Korelasi antara wahyu dan akal bagaikan mata kunci yang membuka hijab
formalism dan irasionalisme untuk menyelesaikan permasalahan dalam era
modern ini. Pada konteks kekinian, manusia harus berpikir secara holistic,
sistemik, dan refleksif untuk memahami realitas, sehingga bisa menyelesaikan
problem yang ada. Terlebih lagi di era modernisasi ini, manusia modern
mengalami kehampaan spiritual, krisis makna, dan legitimasi hidup, dan
keterasingan (alienasi) terhadap dirinya sendiri. Oleh karena itu, manusia modern
---yang mengagungkan akal--- harus menilik kandungan di dalam al-Qur’an agar
melihat permasalahan secara bijak.

15
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihan. Ulumul Qur’an. Bandung : Pustaka Setia. 2006.

Heriyanto, Husain. Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam. Bandung : Mizan,


2011.

Nata, Abuddin. Al-Qur’an dan Hadits. Jakarta : Raja Grafindo Persada. 1992.

Ramli, Abdul Wahid.Ulumul Qur’an. Jakarta : Raja Grafindo Persada. 2002.

Shaleh, K.H. Asbabun Nuzul. Bandung : C.V Diponegoro. 1992.

Zuhdi, Masfuk. Pengantar Ulumul Qur’an. Surabaya : Karya Abditama. 1997.

16

Anda mungkin juga menyukai