Anda di halaman 1dari 4

Skenario 3

Klasifikasi istilah diare : Pengertian diare menurut WHO (1999) secara klinis didefinisikan sebagai
bertambahnya defekasi (buang air besar) lebih dari biasanya/lebih dari tiga kali sehari, disertai dengan
perubahan konsisten tinja (menjadi cair) dengan atau tanpa darah. Secara klinik dibedakan tiga
macam sindroma diare yaitu diare cair akut, disentri, dan diare persisten. Sedangkan menurut
menurut Depkes RI (2005), diare adalah suatu penyakit dengan tanda-tanda adanya perubahan
bentuk dan konsistensi dari tinja, yang melembek sampai mencair dan bertambahnya frekuensi buang
air besar biasanya tiga kali atau lebih dalam sehari .
Diare akut diberi batasan sebagai meningkatnya kekerapan, bertambah cairan, atau bertambah
banyaknya tinja yang dikeluarkan, akan tetapi hal itu sangat relatif terhadap kebiasaan yang ada pada
penderita dan berlangsung tidak lebih dari satu minggu. Apabila diare berlangsung antara satu sampai
dua minggu maka dikatakan diare yang berkepanjangan (Soegijanto, 2002).
Beberapa perilaku yang dapat meningkatkan risiko terjadinya diare pada balita, yaitu ( Depkes RI,
2007):
- Tidak memberikan ASI secara penuh 4-6 bulan pertama pada kehidupan. Pada balita yang tidak
diberi ASI resiko menderita diare lebih besar daripada balita yang diberi ASI penuh, dan
kemungkinan menderita dehidrasi berat lebih besar.
- Menggunakan botol susu, penggunaan botol ini memudahkan pencemaran oleh kuman karena
botol susah dibersihkan. Penggunaan botol yang tidak bersih atau sudah dipakai selama
berjam-jam dibiarkan dilingkungan yang panas, sering menyebabkan infeksi usus yang parah
karena botol dapat tercemar oleh kuman-kuman/bakteri penyebab diare. Sehingga balita
yang menggunakan botol tersebut beresiko terinfeksi diare
- Menyimpan makanan masak pada suhu kamar, bila makanan disimpan beberapa jam pada suhu
kamar, makanan akan tercermar dan kuman akan berkembang biak.
- Menggunakan air minum yang tercemar.
- Tidak mencuci tangan sesudah buang air besar dan sesudah membuang tinja anak atau sebelum
makan dan menyuapi anak
- Tidak membuang tinja dengan benar, seringnya beranggapan bahwa tinja tidak berbahaya,
padahal sesungguhnya mengandung virus atau bakteri dalam jumlah besar. Selain itu tinja
binatang juga dapat menyebabkan infeksi pada manusia.

Secara klinis penyebab diare dapat dikelompokkan dalam golongan enam besar, tetapi yang sering
ditemukan di lapangan adalah diare yang disebabkan infeksi dan keracunan. Penyebab diare secara
lengkap adalah sebagai berikut:
-Infeksi yang dapat disebabkan: a) bakteri, misal: Shigella, Salmonela, E. Coli, golongan vibrio,
bacillus cereus, Clostridium perfringens, Staphyiccoccus aureus, Campylobacter dan
aeromonas; b) virus misal: Rotavirus, Norwalk dan norwalk like agen dan adenovirus; c)
parasit, misal: cacing perut, Ascaris, Trichiuris, Strongyloides, Blastsistis huminis, protozoa,
Entamoeba histolitica, Giardia labila, Belantudium coli dan Crypto
-Alergi
-Malabsorbsi
-Keracunan yang dapat disebabkan; a) keracunan bahan kimiawi dan b) keracunan oleh bahan
ang dikandung dan diproduksi: jasat renik, ikan, buah-buahan dan sayur-sayuran
-Imunodefisiensi
-Sebab-sebab lain (Widaya, 2004).

Departemen Kesehatan RI (2000), mengklasifikasikan jenis diare menjadi empat kelompok yaitu:
• Diare akut: yaitu diare yang berlangsung kurang dari empat belas hari (umumnya kurang dari
tujuh hari),
• Disentri; yaitu diare yang disertai darah dalam tinjanya
• Diare persisten; yaitu diare yang berlangsung lebih dari empat belas hari secara terus menerus
• Diare dengan masalah lain; anak yang menderita diare (diare akut dan persisten) mungkin juga
disertai penyakit lain seperti demam, gangguan gizi atau penyakit lainnya.
Diare akut dapat mengakibatkan:
1 Kehilangan air dan elektrolit serta gangguan asam basa yang menyebabkan dehidrasi, asidosis
metabolik dan hipokalemia
2 Gangguan sirkulasi darah, dapat berupa renjatan hipovolemik sebagai akibat diare dengan atau
tanpa disertai muntah
3 Gangguan gizi yang terjadi akibat keluarnya cairan berlebihan karena diare dan muntah (Soegijanto,
2002).
Diare mengakibatkan terjadinya:
1 Kehilangan air dan elektrolit serta gangguan asam basa yang menyebabkan dehidrasi, dan asidosis
metabolik.
2 Gangguan sirkulasi darah dapat berupa renjatan hipovolemik atau prarenjatan sebagai akibat diare
dengan atau tanpa disertai dengan muntah, perpusi jaringan berkurang sehingga hipoksia dan
asidosismetabolik bertambah berat, kesadaran menurun dan bila tak cepat diobati penderita
dapat meninggal.

LO
Syarat system rujukan : menurut PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : TAHUN 2011
TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM RUJUKAN PELAYANAN KESEHATAN PROVINSI JAWA
BARAT BAB VI SYARAT RUJUKAN Pasal 6
(1) Rujukan harus dibuat oleh orang yang mempunyai kompetensi dan wewenang untuk merujuk,
mengetahui kompetensi sasaran/tujuan rujukan dan mengetahui kondisi serta kebutuhan
objek yang dirujuk.
(2) Rujukan dan rujukan balik mengacu pada standar rujukan pelayanan medis Daerah
(3) Agar rujukan dapat diselenggarakan tepat dan memadai, maka suatu rujukan hendaknya
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Adanya unit yang mempunyai tanggungjawab dalam rujukan, baik yang merujuk atau yang
menerima rujukan.
b. Adanya Tenaga kesehatan yang kompeten dan mempunyai kewenangan melaksanakan
pelayanan medis dan rujukan medis yang dibutuhkan.
c. Adanya pencatatan/kartu/dokumen tertentu berupa :
 Formulir rujukan dan rujukan balik sesuai contoh.
 Kartu Jamkesmas, Jamkesda dan kartu Assuransi lain.
 Pencatatan dan dokumen hasil pemeriksaan penunjang
d. Adanya pengertian timbal balik antara pengirim dan penerima rujukan.
e. Adanya pengertian petugas tentang sistem rujukan.
f. Rujukan dapat bersifat horizontal dan vertikal, dengan prinsip mengirim ke arah fasilitas
pelayanan kesehatan yang lebih mampu dan lengkap.
(4) Untuk menjamin keadaan umum pasien agar tetap dalam kondisi stabil selama perjalanan
menuju ketempat rujukan, maka :
a. sarana transportasi yang digunakan harus dilengkapi alat resusitasi, cairan infus, oksigen
dan dapat menjamin pasien sampai ke tempat rujukan tepat waktu;
b. pasien didampingi oleh tenaga kesehatan yang mahir tindakan kegawat daruratan;
c. sarana transportasi/petugas kesehatan pendamping memiliki sistem komunikasi;
(5) Rujukan pasien/specimen ke fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih tinggi dan atau lengkap
hanya dapat dilakukan apabila :
a. dari hasil pemeriksaan medis, sudah terindikasi bahwa keadaan pasien tidak dapat diatasi;
b. pasien memerlukan pelayanan medis spesialis dan atau subspesialis yang tidak tersedia di
fasilitas pelayanan semula;
c. pasien memerlukan pelayanan penunjang medis yang lebih lengkap yang tidak tersedia di
fasilitas pelayanan semula;
d. pasien atau keluarganya menyadari bahwa rujukan dilaksanakan karena alasan medis;
e. rujukan dilaksanakan ke fasilitas pelayanan kesehatan terdekat yang diketahui mempunyai
tenaga dan sarana yang dibutuhkan menurut kebutuhan medis atau penunjang medis
sesuai dengan rujukan kewilayahan;
f. rujukan tanpa alasan medis dapat dilakukan apabila suatu rumah sakit kelebihan pasien (
jumlah tempat tidur tidak mencukupi);
g. rujukan sebagaimana dimaksud huruf f dirujuk ke rumah sakit yang setara atau sesuai
dengan jaringan pelayanannya;
h. khusus untuk pasien Jamkesda dan pemegang Assuransi Kesehatan lainnya, harus ada
kejelasan tentang pembiayaan rujukan dan pembiayaan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Tujuan Rujukan
i. khusus untuk pasien Jamkesda hanya dapat dirujuk ke rumah sakit yang setara yaitu ke
PPK1 atau PPK 2 lainnya yang mengadakan kerjasama dengan Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat;
(6) Fasilitas Pelayanan Kesehatan/tenaga kesehatan dilarang merujuk dan menentukan tujuan
rujukan atas dasar kompensasi/imbalan dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan.

Scenario 4

PROSES YUDICIAL REVIEW – MK


 PENGAJUAN PERMOHONAN
 PENDAFTARAN DAN PENJADWALAN SIDANG
 ALAT BUKTI
 PEMERIKASAAN PENDAHULUAN
 PEMERIKSAAN PERSIDANGAN
 PUTUSAN
YUDICIAL REVIEW
 DASAR HUKUM 24C AYAT (1) UUD 1945 JO PASAL 10 UNDANG – UNDANG NO 24 TAHUN
2003 TTG MAHKAMAH KONSTITUSI
 PASAL : 37 (2), PASAL 75(1), PASAL 76 HURUF a, PASAL 79 HURUF c UU N0 29 TH 2004 TTG
PRAKTIK KEDOKTERAN
ALASAN DIAJUKAN PERMOHONAN
 Pasal 37 (2) UUPK tentang pembatasan 3 (tiga) tempat praktik :
 Dalam konsideran maupun penjelasan serta batang tubuh tidak ada legal rationing
 Kebijakan distribusi pelayanan kesehatan dengan rasio dokter yang ada impossible
 Merugikan hak-hak konstitusi Pemohon sebagai dokter di dalam mengamalkan
sumpah dokter karena dilema serving patien or obey the law
 Pasal 75 (1), Pasal 76; Pasal 79 huruf a dan Pasal 79 huruf c materi muatannya telah
melakukan kriminalisasi atas tindakan dokter yang berpraktik kedokteran namun tidak
dilengkapi STR, SIP dan tidak memasang papan nama, serta tidak menambah ilmu
pengetahuan dengan ancaman pidana yang cukum berat dan denda yang kelewat mahal
 Menolak kriminalisasi praktik kedokteran yang tidak mengantongi STR dan/atau SIP
sebagaimana diatur dalam Pasal 75(1), 76, 79 huruf c dengan alasan tidak memenuhi unsur –
unsur perbuatan pidana .
 Ketentuan Sanksi berupa pidana penjara atau pidana denda sebagaimana diatur oleh Pasal
75(1), 76, 79 huruf a dan c sangat keberatan karena perbuatan tersebut merupakan
pelanggaran administratif dan sanksi oleh profesi saja.
 Pencantuman sanski pidana dalam perspektif hukum pidana yang humanistis dan terkait
erat dengan kode etik, adalah tidak tepat dan tidak proporsional. Pendapat Prof Muladi dan
Prof Barda Nawawi Arif dalam buku Bunga Rampai Hukum Pidana Hal 73 antara lain
menegaskan : penerapan hukum pidana harus rasional, menjaga keselarasan antara social
defence, prosedural fairness and substantive justice, prevention without punisment ….
KETERANGAN PEMERINTAH
 Legal Standing Pemohon --- > Kepentingan Pemohon dan kewenangan konstitusionalnya
yang dirugikat
 Pembatasan tiga tempat praktik tidak bertentangan dengan UUD 45, sebaliknya untuk
melindungi Pasien dan dokter dilindungi dalam menjalankan tugas dan fungsinya sehingga
dapat menjalankan fungsinya secara optimal dan akan mencegah atau menekan sekecil
mungkin adanya kesalahan atau ketidaksengajaan membuat terjadinya malpraktik atau
pelanggaran disiplin (tuchrecht) dan pelanggaran etika
 Tujuan UUPK adalah untuk memberikan kepastian hukum (rechtszekerheid) dengan
demikian UUPK merupakan “keluarga” HAN, sehingga tidak lepas dari prinsip dan asas-asas
HAN termasuk pemberian sanksi pidana
 Dalam rangka law enforcement pembentuk UU dalam mencantumkan ketentuan pidana
bagi yang melakukan pelanggaran (Pasal 14 jo Lamp C3 UU No 10/2004) para dokter yang
“dengan sengaja” melakukan :
 Praktik kedokteran tanpa memiliki STR(75(1);
 Praktik kedokteran tanpa memiliki SIP(76);
 Dengan sengaja tidak memasang papan nama (79(a);
 Dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban dalam Pasal 51 a, b, c, d, dan atau
e(Pasal 79a)
Dengan penerapan sanksi pidana tersebut kepastian hukum (rechtszekerheid) dan perlindungan
masyarakat dapat terwujud.
 Kewenangan “kriminalisasi” (istilah yang dipakai para pemohon) merupakan kewenangan
pembentuk UU yang menuangkan dalam UU tertentu. Ketentuan Pidana Pasal 75 sampai
dengan Pasal 80 jika dilihat dengan lamanya sanksi 3 sampai 5 tahun, menunjukan bahwa
pelanggaran terhadap UU a qua adalah perbuatan tindak pinada (misdrijven), bukan
perbuatan pelanggaran(overtredingen). Menurut W.F. Prinss dalam “Het Belangstingrect in
Indonesia”, letak hukum administrasi Negara(HAN) terdapat diantara Hukum Pidana dan
Perdata, dan hampir seluruh peraturan berdasarkan HAN diakhiri dengan ancaman pidana
(in cauda venenum)
KEPUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
 NOMOR 4/PUU-V/2007 PERIHAL PENGUJIAN UU NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG
PRAKTIK KEDOKTERAN TERHADAP UUD NEGARA RI TAHUN 1945
 PEMOHON:
 Dr ANNY ISFANDYARIE SARWONO,Sp.An, dkk
 TANGGAL 19 JUNI 2007
PUTUSAN
 MENGABULKAN:
 PASAL 75 AYAT (1) DAN PASAL 76 SEPANJANG MENGENAI “PENJARA PALING LAMA
3(TIGA) TAHUN ATAU”
 PASAL 79 SEPANJANG MENGENAI “KURUNGAN PALING LAMA 1(SATU) TAHUN
ATAU”
 PASAL 79 HURUF C SEPANJANG MENGENAI KATA-KATA “ATAU HURUF e”
TIDAK MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM MENGIKAT.

Anda mungkin juga menyukai