Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pernikahan merupakan sesuatu yang sakral dalam pandangan islam. Pernikahan juga
merupakan suatu dasar yang penting dalam memelihara kemashlahatan umum. Kalau tidak
ada pernikahan, maka manusia akan memperturutkan hawa nafsunya, yang pada gilirannya
dapat menimbulkan bencana dalam masyarakat.

Pada dasarnya, dua orang (laki-laki dan perempuan) melangsungkan pernikahan dan
membangun rumah tangga dengan tujuan untuk memperoleh kebahagian atau dikenal
dengan istilah membentuk keluarga sakinah, mawaddah, warahma. Akan tetapi, pada
kenyataannya tidak semua rumah tangga yang terbentuk melalui pernikahan dilimpahi
kebahagiaan. Kadang ada saja masalah yang menimbulkan perselisihan yang dapat
berujung pada perceraian.

Islam sebagai agama yang sempurna telah mengatur segala hal tentang kehidupan,
termasuk pernikahan, perceraian (talak), rujuk, iddah, dan sebagainya. Talak dapat
dilaksanakan dalam keadaan yang sangat membutuhkan, dan tidak ada jalan lain untuk
mengadakan perbaikan. Hal ini antara lain dibolehkan apabila suami istri sudah tidak dapat
melakukan kewajiban masing-masing sesuai dengan ketentuan agama, sehingga tujuan
rumah tangga yang pokok yaitu mencapai kehidupan rumah tangga yang tenang dan
bahagia sudah tidak tercapai lagi. Apalagi kalau rumah tangga itu dapat mengakibatkan
penderitaan-penderitaan dan perpecahan antara suami istri tersebut, maka dalam keadaan
demikian perceraian dapat dilaksanakan, yaitu sebagai jalan keluar bagi segala penderitaan
bailk yang menimpa suami atau istri.

Namun demikian, bagi wanita yang dicerai oleh suaminya, baik cerai biasa atau cerai mati
(ditinggal mati), tidakl boleh langsung menikah lagi dengan laki-laki lain, melainkan ia harus
menunggu untuk sementara waktu lebih dahulu. Masa menunggu bagi wanita yang bercerai
itu disebut iddah. Diadakan masa iddah itu dimaksudkan untuk mengetahui apakah selama
masa iddah itu wanita tersebut hamil atau tidak, dan jika ternyata hamil maka anak tersebut
masih sebagai anak dari suami yang pertama. Selain itu, iddah dimaksudkan sebagai masa
untuk ‘berpikir ulang’ bagi suami istri untuk menetukan kelanjutan hubungan mereka. Jika
ternyata dalam masa iddah itu, suami istri menyesali perceraian mereka, mereka bisa rujuk
atau kembali ke ikatan pernikahan mereka yang lama. Aturan-aturan tentang talak dan iddah
telah diatur dengan lengkap dalam agama islam.

1
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa definisi / pengertian talak dan iddah ?

2. Dalil yang digunakan pada pembahasan talak dan iddah ?

3. Apa saja macam – macam talak dan iddah ?

4. Apa tujuan / hikmah talak dan iddah ?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui definisi / pengertian talak dan iddah.

2. Mengetahui dalil – dalil yang digunakan dalam pembahasan talak dan iddah.

3. Mengetahui macam – macam talak dan iddah.

4. Mengetahui tujuan / hikmah talak dan iddah.

1.4 Manfaat

1. Sebagai tugas kelompok dari Dosen Pendidikan Agama.

2. Penulis dapat lebih mengerti pembahasan mengenai Talak dan Iddah.

3. Dapat menambah wawasan bagi pembaca.

4. Berharap dapat memberikan solusi masalah “Talak dan Iddah” bagi membaca
maupun bagi penulis sendiri.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Talaq

Thalaq berasal dari bahasa Arab yang diambil dari kata thalaqa-yuthliqu-thalaqan
yang semakna dengan kata thaliq yang bermakna al irsal atau tarku, yang berarti
melepaskan dan meninggalkan. Jadi Thalaq adalah melepaskan atau mengurai tali
pengikat, baik itu bersifat konkrit seperti tali pengikat kuda maupun bersifat abstrak
seperti tali pengikat pernikahan. Thalaq juga berarti memutuskan atau melepaskan
ikatan pernikahan atas kehendak suami.

Adapun beberapa Pengertian Thalaq Menurut para Ahli antara lain :

1. Menurut Ulama mazhab Hanafi dan Hanbali


Mengatakan bahwa talak adalah pelepasan ikatan perkawinan secara langsung
untuk masa yang akan datang dengan lafal yang khusus.

2. Menurut Mazhab Syafi'i


Mengatakan bahwa talak adalah pelepasan akad nikah dengan lafal talak atau
yang semakna dengan itu.

3. Menurut Ulama Maliki


Mengatakan bahwa talak adalah suatu sifat hukum yang menyebabkan
gugurnya kehalalan hubungan suami istri.

Perbedaan definisi di atas menyebabkan perbedaan akibat hukum bila suami


menjatuhkan talak Raj'i pada istrinya. Menurut Hanafi dan Hanbali, perceraian ini
belum menghapuskan seluruh akibat talak, kecuali iddah istrinya telah habis. Mereka
berpendapat bahwa bila suami jimak dengan istrinya dalam masa iddah, maka
perbuatan itu dapat dikatakan sebagai pertanda rujuknya suami. Ulama Maliki
mengatakan bila perbuatan itu diawali dengan niat, maka berarti rujuk. Ulama syafi'i
mengatakan bahwa suami tidak boleh jimak dengan istrinya yang sedang menjalani
masa iddah, dan perbuatan itu bukanlah pertanda rujuk. karena menurut mereka,
rujuk harus dilakukan dengan perkataan atau pernyataan dari suami secara jelas,
bukan dengan perbuatan.

2.2 Dalil disyari’atkannya talak dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma.

1. Dalil dari Al-Qur’an

‫ان‬
ٍ ‫س‬ ْ َ‫وف أ َ ْو ت‬
َ ‫س ِري ٌح ِب ِإ ْح‬ ٍ ‫ساكٌ ِب َم ْع ُر‬ ْ َ‫ان ف‬
َ ‫إم‬ ِ َ ‫ق َم َّرت‬ َّ ‫ال‬
ُ ‫طال‬
“Thalak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara
yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (Qs. Al Baqarah : 229)

3
2. Dalil dari As-Sunnah
Diantaranya sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar rahiyallahu anhuma
bahwasannya dia menalak istrinya yang sedang haidh. Umar menanyakan hal itu
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda :

“Perintahkan kepadanya agar dia merujuk istrinya, kemudian membiarkan


bersamanya sampai suci, kemudian haid lagi, kemudian suci lagi. Lantas setelah
itu terserah kepadanya, dia bisa mempertahankannya jika mau dan dia bisa
menalaknya (mencraikannya) sebelum menyentuhnya (jima’) jika mau. Itulah
iddah seperti yang diperintahkan oleh Allah agar para istri yang ditalak dapat
langsung menhadapinya (iddah)” (HR. Bukhari dan Muslim).

3. Dalil dari Ijma


Berkata Asy-Syaikh Al-Allamah Shalih Al-Fauzan: “Sungguh telah dihikayatkan
adanya ijma’ atas di syariat-kannya talak (cerai) lebih dari satu ulama.” (Al-
Mulakhos Al-Fiqhiy, hlm 411.

2.3 Pembagian Talaq

1. Dilihat dari segi cara suami menjatuhkan talak pada istrinya, talak dibagi menjadi
dua yaitu:

a. Talaq Sunnah
Talak yang terjadi sesuai dengan syar’i. Yaitu seorang suami menceraikan
istrinya satu kali talak dalam keadaan suci yang mana dia pada saat itu belum
mencampurinya, dan membiarkannya serta tidak mengikuti dengan talak yang
berikutnya sampai habis masa iddahnya. Para ulama sepakat bahwa talak
sunnah jatuh sebagai talak.

Allah Ta’ala berfirman :

َّ ‫ساك ۖ ام َّرتاان‬
‫الط اَلق‬ ‫سان ت ا ْسريح أا ْو ب ام ْعروف فاإ ْم ا‬
‫بإ ْح ا‬
“Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara
yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (QS. Al-Baqarah : 229)

ُّ ‫طلَّ ْقتم إ اذا النَّب‬


‫ي أايُّ اها ياا‬ ‫طلِّقوه َّن النِّ ا‬
‫سا اء ا‬ ‫لع َّدته َّن فا ا‬
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu, maka hendaklah kamu
ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang
wajar).” (QS. Ath-Thalaaq : 1)

4
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menafsirkan ayat ini, yaitu tatkala Ibnu
‘Umar Radhiyallahu anhuma mentalak isterinya yang sedang dalam keadaan
haidh, kemudian ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu menanyakan
tentang hal itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau
bersabda:

ِ ‫س ْكهَا ث ُ َّم فَ ْلي َُر‬


ُ‫اج ْعهَا ُم ْره‬ َ ‫ق شَا َء َوإِنْ بَ ْع ُد أ َ ْم‬
ِ ‫سكَ شَا َء إِنْ ث ُ َّم تَ ْطه َُر ث ُ َّم تَحِ يضَ ث ُ َّم تَ ْطه َُر َحتَّى ِلي ُْم‬ َ َّ‫س أَنْ قَ ْب َل َطل‬
َّ ‫النِِّسَا ُء لَهَا ت ُ َطلَّقَ أَنْ للاُ أ َ َم َر الَّتِي ا ْل ِع َّدةُ فَتِ ْلكَ يَ َم‬.

“Perintahkan agar ia kembali kepadanya, kemudian menahannya hingga masa


suci, lalu masa haidh dan suci lagi. Setelah itu bila ia menghendaki ia boleh
menahannya terus menjadi isterinya atau menceraikannya sebelum
bersetubuh dengannya. Itu adalah masa ‘iddah yang diperintahkan Allah untuk
menceraikan isteri.”

b. Talaq Bid’ah
Yaitu talak yang menyelisihi syari’at, seperti seorang suami mentalak isterinya
dalam keadaan haidh atau dalam masa suci setelah ia mencampurinya, atau
seorang suami melontarkan tiga talak sekaligus dengan satu lafazh atau dalam
satu majelis, seperti perkataan suami, “Engkau saya talak dengan talak tiga”,
atau ucapannya, “Engkau tertalak, engkau tertalak, engkau tertalak.”

Hukum talak semacam ini adalah haram dan orang yang melakukannya
berdosa.

Apabila suami mentalak isterinya dalam keadaan haidh, maka jatuh hukum
talak, jika talak raj’i, maka ia disuruh untuk merujuknya, kemudian menahannya
hingga masa suci, lalu masa haidh dan suci lagi. Setelah itu bila ia
menghendaki ia boleh menahannya terus menjadi isterinya atau
menceraikannya sebelum bersetubuh dengannya, sebagaimana perintah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ibnu ‘Umar.

Adapun dalil jatuhnya hukum talak dalam kasus seperti ini adalah hadits yang
telah diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu ‘Umar,
ia berkata, “Dihukumi atasku satu talak.”

2. Dilihat dari segi boleh tidaknya suami rujuk dengan istrinya, talak dibagi menjadi
empat yaitu:

a. Talaq Roj’i

Talak raj’i adalah mentalak isteri yang sudah dicampuri tanpa adanya tebusan
harta (dari pihak isteri) dan belum didahului dengan talak sebelumnya sama
sekali atau baru didahului dengan talak satu kali.

Allah Ta’ala berfirman:

َّ ‫ساك ۖ ام َّرتاان‬
‫الط اَلق‬ ‫سان ت ا ْسريح أا ْو ب ام ْعروف فاإ ْم ا‬
‫بإ ْح ا‬
5
“Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara
yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (QS. Al-Baqarah : 229)

Seorang wanita yang ditalak raj’i, maka statusnya masih sebagai isteri selama
masih dalam ‘iddahnya dan suami berhak untuk rujuk kapan saja ia
berkehendak selama masih dalam masa ‘iddah, dan tidak disyaratkan
keridhaan isteri atau izin dari walinya. Allah Ta’ala berfirman:

“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali


quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam
rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari Akhirat. Dan suami-
suaminya berhak merujuknya dalam masa menanti itu jika mereka (para
suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (QS. Al-Baqarah:
228)

b. Talaq Ba’in
Talaq yang tidak diperbolehkan untuk melakukan rujuk lagi, kecuali sudah
pernah melakukan pernikahan dengan orang lain. Talaq ba’in dibagi menjadi 2
(dua) yaitu:

 Ba’in Sughro (talaq tebus)


Istri ditalak oleh suami sebelum istri dicampuri atau diapa-apakan, maka
suami diperbolehkan dan berhak untuk mendapatkan 1/2 mahar yang telah
diberikan kepada istri.

 Ba’in Kubro
Jatuhnya talak tiga dari seorang suami kepada seorang istrinya.

c. Talaq Fasakh
Talaq yang diakibatkan karena adanya masalah antara keduanya yang tidak
dapat diselesaikan secara damai dan istri mengadukan pada pengadilan.

d. Talaq Khulu’
Talaq yang dilakukan oleh suami karena kemauan istri dengan jalan memberi
sebuah tebusan.

3. Dilihat dari segi bahasa (lafaz)

a. Talaq Shorih
Talaq yang dilakukan secara terang - terangan.

b. Talaq Kinayah
Talaq dilakukan secara sindiran.

6
4. Dilihat dari segi bentuk kata

a. Munjazah (Langsung)
Yaitu suatu kalimat diniatkan jatuhnya talak oleh orang yang mengatakannya
saat itu juga, seperti jika seorang suami berkata kepada isterinya: Anti Thaaliq
(engkau adalah perempuan yang di talak) talak ini jatuh saat itu juga.

b. Mu’allaq (Menggantung)
Yaitu suatu kalimat talak yang dilontarkan oleh suami kepada isterinya yang
diiringi dengan sya-rat, seperti jika ia berkata kepada isterinya, “Apabila engkau
pergi ke tempat itu, maka engkau tertalak.”

Hukum perkataan yang demikian, jika ia benar-benar menginginkan talak tatkala


syarat tersebut dilakukan, maka hukumnya seperti apa yang ia inginkan. Adapun
jika ia hanya bermaksud untuk memperingatkan isteri agar tidak berbuat
demikian, maka hukumnya adalah hukum sumpah, yang artinya jika syarat yang
disebutkan tidak dilakukan, ia tidak dibebani apa-apa, namun jika sebaliknya,
maka ia harus mem-bayar kafarat karena sumpahnya (ini adalah madzhab Ibnu
Taimiyyah -rahimahullah- sebagaimana disebutkan dalam Majmuu’ al-Fataawaa
(XXXIII/44-46, 58-60, 64-66).

2.4 Hukum Talaq

Berkata Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan: “Adapun hukumnya berbeda-beda sesuai


dengan perbedaan keadaan, terkadang hukumnya mubah, terkadang hukumnya
makruh, terkadang hukumnya mustahab (sunnah), terkadang hukumnya wajib, dan
terkadang hukumnya haram. Hukumnya sesuai dengan hukum yang lima.” (Al-
Mulakhos Al-Fiqhiy, hlm 410).

1. Mubah (Boleh)
Talak yang hukumnya mubah yaitu ketika suami berhajat atau mempunyai
alasan untuk menalak istrinya. Seperti karena suami tidak mencintai istrinya,
atau karena perangai dan kelakuan yang buruk yang ada pada istri sementara
suami tidak sanggup bersabar kemudian menceraikannya. Namun bersabar
lebih baik.

َ َ‫ش ْيئ ًا تَ ْك َر ُهوا أَ ْن فَع‬


‫سى ك َِر ْهت ُ ُمو ُه َّن فَ ِإ ْن‬ َ ‫يرا َخ ْي ًرا فِي ِه للاُ َويَجْ عَ َل‬
ً ِ‫َكث‬
“Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena
mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya
kebaikan yang banyak.” (Qs. An-Nisa’ : 19)

2. Makruh
Talak yang hukumnya makruh yaitu ketika suami menjatuhkan talak tanpa ada
hajat (kebutuhan) yang menuntut terjadinya perceraian. Padahal keadaan rumah
tangganya berjalan dengan baik.

7
3. Mustahab (Sunnah)
Talak yang hukumnya sunnah ketika di jatuhkan oleh suami demi kemaslahatan
istrinya serta mencegah kemudharatan jika tetap bersama dengan dirinya,
meskipun sesungguhnya suaminya masih mencintainya. Seperti sang istri tidak
mencintai suaminya, tidak bisa hidup dengannya dan merasa khawatir tidak bisa
menjalankan tugasnya sebagai seorang istri. Talak yang dilakukan suami pada
keadaan seperti ini terhitung sebagai kebaikan terhadap istri.

Hal ini termasuk dalam keumuman firman Allah subhaanahu wata’ala :

َ ِ‫سن‬
‫ين‬ ِ ‫ب ال ُم ْح‬
ُّ ‫للا يُ ِح‬ ِ ‫َوأَ ْح‬
َ ‫سنُوا ِإ َّن‬
“Dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berbuat baik.” (Qs. Al Baqarah :195)

4. Wajib
Talak yang hukumnya wajib yaitu bagi suami yang meng-ila’ istrinya (bersumpah
tidak akan menggauli istrinya lebih dari 4 bulan ) setelah masa penangguhannya
selama empat bulan telah habis, bilamana ia enggan kembali kepada istrinya.
Hakim berwenang memaksanya untuk menalak istrinya pada keadaan ini atau
hakim yang menjatuhkan thalak tersebut.

Talak hanya jatuh jika di ucapkan. Adapun niat semata dalam hati tanpa di
ucapkan, tidak terhitung talak. Berkata Asy-Syaikh Al-Allamah Shalih Al-Fauzan
hafidzahullah : “Tidak jatuh talak darinya dan tidak juga dari yang mewakilinya
kecuali dengan di ucapkan dengannya, walaupun meniatkan dalam hatinya;
tidak jatuh talak. Sampai lisannya bergerak mengucapkannya.

Berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam:

َ َّ ‫او َز‬
‫َللا إِ َّن‬ َ ُ‫ ت َ ْع َم ْل لَ ْم َما أ َ ْنف‬، ‫أ َ ْو‬
َ ‫س َها بِ ِه َح َّدثَتْ َما أ ُ َّمتِي ع َْن ت َ َج‬
‫تَت َ َكلَّ ْم‬
“Sesunggunya Allah memaafkan dari ummatku apa yang dikatakan (terbesik)
oleh jiwanya selama tidak di lakukan dan di ucapkan.” (HR. Al-Bukhari : 5269
dan Muslim : 127) (Mulakhos Al-Fiqhy : 414).

5. Haram

Talak yang hukumnya haram yaitu ketika di jatuhkan tidak sesuai petunjuk syar’i.
Yaitu suami menjatuhkan talak dalam keadaan yang dilarang dalam agama kita.
dan terjadi pada dua keadaan:

Pertama : Suami menjatuhkan talak ketika istri sedang dalam keadaan haid

Kedua : Suami menjatuhkan talak kepada istri pada saat suci setelah digauli
tanpa diketahui hamil/tidak.

8
2.5 Lafadz – Lafadz talak
Talak bisa jatuh dengan setiap lafadz yang menunjukkan kepadanya yaitu :

1. Lafadz yang sharih

Sharih yaitu suatu kalimat yang langsung dapat difahami tatkala diucapkan dan
tidak mengandung makna lain, seperti, Anti Thaaliq atau Muthallaqah (engkau
adalah wanita yang tertalak). Demikian juga setiap pecahan kata dari lafazh ath-
Thalaq.

Seorang suami yang mengatakan kalimat tersebut kepada isterinya, maka


jatuhlah talak atasnya meskipun dalam keadaan bercanda atau tanpa niat.
Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:

َّ ‫و‬،
‫جد جدُّه َّن ثاَلاث‬، ‫جد اوه ْازله َّن‬: ‫الطَلاق النِّ اكاح‬ ‫الر ْجعاة ا‬
َّ ‫و‬.
‫ا‬
“Tiga hal yang bila dikatakan dengan sungguh-sungguh akan jadi dan bila
dikatakan dengan main-main akan jadi pula, yaitu nikah, talak dan rujuk.”

2. Dengan kinayah (kiasan)

Kinayah, yaitu kata yang mengandung makna talak dan selainnya, seperti
perkataan: Alhiqi bi ahliki (kembalilah kepada keluargamu), dan yang
semisalnya.

Jika suami mengatakan kalimat tersebut tidaklah jatuh talak kecuali jika disertai
dengan niat, artinya jika ia berniat talak, maka jatuhlah talak tersebut dan jika
tidak, maka tidak jatuh talak.

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhu:


َّ‫علَى أ ُ ْدخِ َلتْ لَ َّما ا ْلج َْو ِن ا ْبنَةَ أَن‬
َ ‫سو ِل‬ ِ ‫صلَّى‬
ُ ‫للا َر‬ َ ُ‫علَ ْي ِه للا‬ َ ‫قَالَتْ مِ ْنهَا َو َدنَا َو‬: ُ‫لل أَعُوذ‬
َ ‫سلَّ َم‬ ِ ‫بِأ َ ْهلِكِ اِ ْل َحقِي بِعَظِ ٍيم ع ُْذ‬.
ِ ‫مِ ْنكَ بِا‬، ‫لَهَا فَقَا َل‬: ‫ت لَقَ ْد‬

“Bahwa tatkala puteri al-Jaun dimasukkan ke kamar (pengantin) Rasulullah


Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau mendekatinya, ia berkata, ‘Aku
berlindung kepada Allah darimu.’ Maka beliau bersabda, ‘Sungguh engkau telah
berlindung kepada Yang Mahaagung, kembalilah kepada keluargamu.’”

Dari riwayat Ka’ab bin Malik tatkala ia bersama dua Sahabat yang lain diboikot
oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena tidak mengikuti perang
Tabuk bersama beliau, bahwa Rasulullah mengutus seseorang untuk
mengabarkan:

‫ا ْم َرأَت َكَ ا ْعت َ ِز ِل أَََ ِن‬. ‫فَقَا َل‬: ‫ط ِِّلقُهَا‬


َ ُ ‫قَا َل أ َ ْفعَلُ؟ َماذَا أ َ ْم أ‬: ‫فَقَا َل تَقَ َّربَنَّهَا فَالَ ا ْعت َ ِز ْلهَا بَ ِل‬: ‫إل ْم َرأَتِ ِه‬:
ِ ‫بِأ َ ْهلِكِ اِ ْل َح ِق ْي‬.

9
“Bahwasanya beliau menyuruhmu untuk menjauhi isterimu.” Ka’ab bertanya,
“Aku ceraikan atau apa yang aku lakukan?” Orang itu menjawab, “Jauhi saja dan
jangan sekali-kali kau dekati.” Maka kemudian Ka’ab bin Malik berkata kepada
isterinya, “Kembalilah kepada keluarga-mu.”

2.6 Macam – macam Talak berdasarkan bentuknya


Suatu ikatan perkawinan akan menjadi putus antara lain di sebabkan karena
perceraian. Dalam hukum Islam perceraian terjadi karena Khulu’, zhihar, ila’, dan
li’an. Khulu’ adalah perceraian yang di sertai sejumlah harta sebagai ‘iwadh yang
diberikan oleh isteri kepada suami untuk menebus diri agar terlepas dari ikatan
perkawinan. Dewasa ini sering terjadi seorang wanita sengaja membayar suaminya
agar mau bercerai. Hal ini terjadi lantaran mengejar cita-cita duniawi semata tanpa
memikirkan urusan akhiratnya. Ada beberapa kalimat yang dapat menyebabkan
terjadinya perceraian, yaitu :

1. Zhihar
Zhihar atau zhuhrun yang berarti punggung dalam bahasa Arab. Dalam
kaitannya dengan suami isteri, zihar adalah ucapan suami kepada isterinya yang
berisi menyerupakan punggung isteri dengan punggung ibu dari suami. Dan ini
menjadi sebab mengharamkan menyetubuhi isterinya. Hal ini juga sering kita
alami lantaran sang isteri mirip dengan ibu kita. Tetapi kalau penyebutannya
dalam hal yang ringan hal semacam itu tidak menjadi masalah.

2. Illa’
Illa artinya sumpah, yaitu sumpah suami yang menyebut asma Allah untuk tidak
mendekati isterinya itu. Dan di sini Allah membeikan waktu selama empat bulan.
Jika dalam waktu itu tidak ada perubahan antara keduanya maka suami boleh
menjatuhkan talak. Setiap ada hubungan tidak selamanya akan baik,dan ini
merupakan hal yang sering terjadi dalam ikatan perkawinan. Karena terlalu
emosi kadang-kadang suami bertindak di luar batas sampai-sampai bersumpah
demi Allah tidak akan menyentuh isterinya. Hal semacam ini harus kita hindari
jauh-jauh karena bisa memecah ikatan perkawinan.

3. Li’an
Li’an artinya jauh dan laknat, kutukan. Li’an ialah sumpah yang diucapkan oleh
suami ketika ia menuduh isterinya berbuat zina dengan empat kali kesaksian
bahwa dia adalah orang yang benar dalam tuduhan, kemudian dia bersedia
menerima laknat dari Allah dalam kesaksiannya jika ia berdusta.

4. Khulu’
Khulu adalah talak yang di jatuhkan suami karena mengabulkan permintaan
isterinya dengan cara membayar tebusan dari pihak isteri kepada suami setelah
terjadi khulu’. Antara suami dan isteri berlaku ketentuan-ketentuan sebagai
berikut:
a. Suami boleh menjatuhkan talak kepada isteri, ketika isterinya dalam keadaan
haid atau dalam keadaan suci setelah di campuri.

10
b. Suami tidak dapat merujuk isterinya pada masa iddah dan juga tidak bisa
menambah talak. Jika antara suami dan isteri ingin bersatu kembali harus
dengan akad baru.

5. Fasakh
Fasakh adalah terjadinya talak yang di jatuhkan oleh hakim atas pengaduan
isteri atau suami. Perceraian dalam bentuk fasakh ini dapat terjadi karena
beberapa hal sebagai berikut:
a. Terdapat suatu aib atau cacat pada salah satu pihak.
b. Suami tidak dapat memberi nafkah kepada isterinya.
c. Suami tidak sanggup membayar mahar yang telah disebutkan pada saat akad
nikah.
d. Terjadi penganiayaan yang berat oleh suami kepada isterinya.
e. Suami merasa tertipu karena keadaan isteri tidak sesuai dengan janji yang
telah disepakati.
f. Suami mengumpulkan dua orang isteri yang saling bersaudara.
g. Suami berlaku murtad.
h. Suami hilang atau pergi dan tidak jelas tempatnya atau tidak jelas hidup atau
matinya.

2.7 Syarat – Syarat Talak

1. Orang yang menjatuhkan thalaq itu sudah mukallaf

Sabda rasulullah saw :

Artinya:

“ Dari Ali r.a. dari Nabi SAW beliau bersabda, “Dimaafkan dosa dari tiga orang
yang tidur hingga ia bangun, dari anak kecil hingga ia dewasa, dan dari orang
gila sampai ia kembali sehat."

Tidak sah thalaq seorang suami yang masih kecil, gila, mabuk, dan tidur, baik
talak menggunakan kalimat yang tegas maupun yang bergantung.

2. Thalaq dilakukan atas kemauan sendiri

Hukum thalaq yang dijatuhkan karena dipaksa adalah tidak sah.

Contoh: apabila suami tidak menceraikan istrinya, maka ia akan dibunuh atau
dicelakakan, atau thalaqnya orang yang lupa atau tersalah.

Rasulullah saw bersabda:

‫ان َو َماا ْستَ ْك َر ُه ْوا َعلَ ْي ِه‬ َّ ‫ع ْن أ ُ َّمتِي ْالخ‬


ُ َ‫َطا ُء َوالنِ ْسي‬ َ ‫ُرفِ َع‬
Artinya:

“ Terangkat dari umatku kesalahan, kelupaan, dan dipaksa.”

11
Syarat-syarat orang yang terpaksa adalah sebagai berikut:

a. Orang yang memaksa itu betul-betul dapat melakukan ancaman yang telah
dinyatakannnya.

b. Orang yang dipaksa tidak dapat melawan orang yang memaksa, atau tidak
dapat lari maupun minta pertolongan.

c. Orang yang terpaksa telah yakin bahwa orang yang memaksa pasti
melakukan atau membuktikan ancaman yang sudah dinyatakannya.

d. Orang yang terpaksa tidak bermaksud meniatkan bahwa ia menjatuhkan


thalaqnya.

Rasullah saw bersabda:

Artinya:

“Abu Hurairah mengatakan, “Rasulullah SAW. Bersabda; “ 3 macam yang


kesungguhannya sungguh dan sendau guraunya juga menjadi sungguh yaitu:
Nikah dan Cerai dan kembali kepada istrinya.”

Sebagian ulama Syafi’iyah memisahkan antara ucapan thalaq dari orang yang
terpaksa itu menggunakan niat atau tidak. Kalau waktu mengucapkan thalaq itu
dia meniatkan thalaq, maka jatuh thalaqnya, sebaliknya bila tidak diniatkannya
untuk thalaq, tidak jatuh thalaqnya.

3. Thalaq itu dijatuhkan sesudah nikah yang sah

Perempuan yang dithalaq adalah istrinya atau orang yang secara hukum masih
terikat pernikahan dengannya. Begitu pula bila perempuan itu telah dithalaq oleh
suaminya, namun masih berada dalam masa iddahnya. Dalam keadan begini
hubungan pernikahannya masih dinyatakan masih ada. Oleh karena itu dapat
dithalaq. Perempuan yang tidak pernah dinikahinya, atau pernah dinikahinya
namun telah diceraikannya ; karena wilayahnya atas perempuan itu telah tiada.

Hadits nabi.

Artinya:

“ Jabir ra. Mengatakan, Rasulullah SAW, bersabda: “Tidak ada perceraian


kecuali sesudah nikah, dan tidak dianggap memerdekakan kecuali sesudah
memilikinya.”

2.8 Rukun Thalaq

Rukun thalaq adalah unsur pokok yang harus ada dalam thalaq dan terwujudnya
talak bergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur dimaksud.

12
Rukun thalaq ada empat, sebagai berikut :

1. Suami
Suami adalah yang memiliki hak thalaq dan yang berhak menjatuhkannya, selain
suami tidak berhak menjatuhkannya.

2. Istri
Masing-masing suami hanya berhak menjatuhkan thalaq terhadap istri sendiri.
Tidak dipandang jatuh thalaq yang dijatuhkan terhadap istri orang lain

3. Shighot Thalaq
Shighot thalaq ialah kata-kata yang diucapkan oleh suami terhadap istrinya yang
menunjukkan thalaq, baik itu sharih (jelas) maupun kinayah (sindiran), baik
berupa ucapan atau lisan, tulisan, isyarat bagi suami tuna wicara ataupun dengan
suruhan orang lain.

Jika seseorang berniat menalaq istrinya di dalam hati tanpa diungkapkan atau
semacamnya maka tidak terjadi thalaq menurut umumnya orang-orang berilmu.

Rasulullah SAW bersabda :

‫س َها َمالَ ْم تَ ْع َم ْل أَ ْو تَت َ َكلَّ َم‬ ْ َ‫ع ْن أ ُ َّمتِي َما َح َّدث‬


َ ُ‫ت بِ ِه أَ ْنف‬ َ ‫إِ َّن‬
َ َ‫هللا تَ َج َاوز‬
Artinya:

“Sesungguhnya Allah melewati umatku (tidak ada saksinya) apa yang dikatakan
hati selagi belum dikerjakan atau belum diungkapkan.” (H.R. Al-Bukhori, An-
Nasa’i, dan At-Tirmidzi).

4. Qasdhu (Sengaja)
Artinya bahwa dengan ucapan thalaq itu memang dimaksudkan oleh yang
mengucapkannya untuk thalaq, bukan untuk maksud lain.

Perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai penetapan rukun thalaq

Menurut ulama Hanafiyyah, rukun thalaq itu adalah sebagaimana yang dikemukakan
oleh al-Kasani sebagai berikut:

“Rukun thalaq adalah lafal yang menjadi penunjukan terhadap makna thalaq, baik
secara etimolog iyaitu al-takhliyyah (meninggalkan atau membiarkan), al-irsal
(mengutus) dan raf al-Qayyid (mengangkat ikatan) dalam kategori lafal-lafal lainnya
pada lafal kinayah, atau secara syara’ yang menghilangkan halalnya (“bersenang-
senang” dengan) isteri dalam kedua bentuknya (raj’iy dan ba’in), atau apapun yang
menempati posisi lafal”

13
Berdasarkan keterangan di atas dapat dipahami bahwa rukun thalaq itu dalam
pandangan ulama Hanafiyah hanya satu, yaitu shighah atau lafal yang menunjukkan
pengertian thalaq, baik secara etimologi, syar’iy maupun apa saja yang menempati
posisi lafal-lafal tersebut.

Sedangkan menurut ulama Malikiyah, rukun thalaq itu ada empat, yaitu:

1. Orang yang berkompeten melakukannya. Maksudnya, orang yang menjatuhkan


thalaq itu adalah suami atau wakilnya (kuasa hukumnya) ataupun wali, jika ia
masih kecil.

2. Dilakukan secara sengaja. Maksudnya, orang yang menjatuhkan thalaq itu


sengaja membacakan lafal-lafal yang termasuk kategori lafal sharih atau lafal
kinayah yang jelas.

3. Isteri yang dihalalkan. Maksudnya thalaq yang dijatuhkan itu mesti terhadap isteri
yang telah dimiliki melalui suatu pernikahan yang sah.

4. Adanya lafal, baik bersifat sharih ataupun termasuk kategori lafal kinayah.

Adapun menurut ulama Syafi’iyyah dan Hanabillah, rukun thalaq itu adal lima, yaitu:

1. Orang yang menjatuhkan thalaq. Orang yang menjatuhkan thalaq itu hendaklah
seorang mukallaf. Oleh karena itu, thalaq anak kecil yang belum baligh dan thalaq
orang gila tidak mempunyai kekuatan hukum.

2. Lafal thalaq. Mengenai rukun yang kedua ini, para ulama Syafi’iyyah membaginya
kepada tiga macam, yaitu:

a. Lafal yang diucapkan secara sharih dan kinayah. Di antara yang termasuk lafal
sharih adalah al-sarrah, al-firaq, al-thalaq dan setiap kata yang terambil dari
lafal al-thalaq tersebut. Sedangkan lafal kinayah adalah setiap lafal yang
memiliki beberapa pengertian, seperti seorang suami berkata kepada isterinya:
idzhabi (pergilah kamu) atau ukhruji (keluarlah kamu) dan lafal-lafal lain seperti
itu, sementara suami itu meniatkan menjatuhkan thalaqnya. Jadi menurut
mereka, thalaq yang dijatuhkan oleh seorang suami itu baru terakad apabila di
ucapkan dengan lafal-lafal yang sharih ataupun lafal kinayah dengan
meniatkannyauntuk menjatuhkan thalaq.

b. Apabila lafal thalaq itu tidak diucapkan, baik secara sharih maupun kinayah,
boleh saja melalui isyarat yang dipahami bermakna thalaq, namun menurut
kesepakatan ulama dikalangan Syafi’iyyah, isyarat tersebut baru dinyatakan
sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila dilakukan oleh orang bisu.
Menurut mereka isyarat tersebut juga terbagi kepada sharih dan kinayah.
Isyarat sharih adalah isyarat yang dapat dipahami oleh orang banyak,
sementara isyarat yang termasuk kategori kinayah adalah isyarat yang hanya
dipahami oleh sebagian orang. Penetapan dapatnya isyarat itu menggantikan
kedudukan lafal, sesuai dengan kaidah fiqhiyyah yang berbunyi:

14
ِ َ ‫ان ِلأل‬
َ ‫خرس اْل َم ْع ُه ْودَة اْ ِإلش‬
‫َارة‬ ِ َ‫ان كَا ْلبَي‬
ِ ‫س‬َ ِّ‫ِبال ِل‬
“ Isyarat yang biasanya dapat dipahami sama kedudukannya dengan
penjelasan melalui lisan bagi orang-orang bisu”

c. Thalaq itu juga sudah dianggap memenuhi rukun kedua ini, apabila suami
tersebut menyerahkan (al-fawidh) kepada isterinya untuk menjatuhkan
thalaqnya. Misalanya seorang suami berkata kepada isterinya: Thalliqi nafsak
(thalaqlah dirimu), lalu apabila isterinya itu menjawab: Thallaqtu (aku
thalaqkan), maka thalaq isterinya itu telah jatuh. Sebab dalam kasus seperti itu,
isteri berkedudukan sebagai tamlik (wakil) dalam menjatuhkan thalaq.

Jadi dalam pandangan ulama Syafi’iyyah , lafal atau sighah yang merupakan salah
satu rukun thalaq itu dapat terpenuhi melalui ucapan dengan lafal yang sharih atau
kinayah, isyarat bagi orang yang bisu baik dengan isyarat yang sharih maupun
kinayah, ataupun melalui penyerahan menjatuhkan thalaq yang dikuasakan oleh
seorang suami kepada isterinya.

3. Dilakukan secara sengaja. Maksudnya, lafal thalaq itu sengaja diucapkan. Ulama
Syafi’iyyah mengemukakan bahwa ada lima bentuk yang diragukan cacatnya
kesengajaan, yaitu:

a. Salah ucapan. Misalnya, seorang suami yang isterinya bernama Thariq, lalu ia
memanggilnya dengan ucapan: Ya Thaliq (wahai yang dithalaq). Kemudian
suami tersebut mengatakan bahwa lidahnya terpeleset (salah ucapan) maka
thalaqnya tidak sah. Jadi apabila seorang suami tersalah ucapannya sehingga
kata yang keluar itu adalah kata thalaq atau lafal-lafal yang secara sharih
bermakna thalaq, maka talaknya dianggap tidak sah.

b. Ketidak tahuan. Apabila seorang suami mengatakan: “Hai wanita yang


dithalaq” kepada seorang wanita yang disangkanya isteri orang lain namun
ternyata wanita itu adalah isterinya sendiri, maka menurut pendapat Jumhur
ulama Syafi’iyyah thalaqnya sah. Namun apabila orang ‘ajam (non arab)
mengucapkan lafal thalaq, sementara ia tidak memahami maksudnya maka
thalaq itu tidak sah.

c. Bersenda gurau. Thalaq yang dijatuhkan dalam keadaan bersenda gurau tidak
sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum, sebagaimana ketentuan yang
berlaku pada seluruh bentuk akad lainnya

d. Adanya unsur paksaan. Adanya unsur keterpaksaan dapat menghalangi ke


absahan seluruh bentuk tasharruf kecuali mengislamkan kafir harbidan murtad.
Oleh karena itu, talak yang dijatuhkan oleh seorang suami dalam keadaan
terpaksa tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Namun menurut
pendapat terkuat, unsur paksaan yang menjadikan thalaq itu tidak diakui
keabsahannya hanya unsur paksaan yang termasuk kategori keterpaksaan
absolute seperti ancama bunuh dan lenyapnya harta, bukan keterpaksaan

15
relative seperti dikurung atau tidak diberi makanan. Ketentuan tersebut
berdasarkan kepada Hadits Nabi SAW berikut:

“ Diterima dari Ibnu Abbas r.a dari Nabi SAW bahwa ia bersabda:
Sesungguhnya Allah SWT mengangkatkan dari umatku dari sifat tersalah, lupa
dan apa saja yang dipaksakan kepadanya” (H.R. Ibnu Majah dan al-Hakim)

e. Hilang akal pikiran disebabkan gila dan minum obat. Gilanya seseorang dapat
menghalangi keabsahan dari seluruh bentuk tasharuf. Ketentuan tersebuit
didasarkan kepada hadits Nabi SAW:

“Diterima dari Aisyah r.a., dari Nabi SAW bahwa ia bersabda: Dibebaskan dari
tiga macam orang, yaitu dari orang yang tidur hingga ia bangun, dari anak kecil
hingga dewasa dan dari orang gila hingga ia ingat atau sadar” (H.R. Ahmad
dan al-Arba’ah kecuali al-Tirmidzi. Hadits ini dianggap shahih oleh al-Hakim
dan juga diriwayatkan oleh Ibn Hibban)

4. Wanita yang dihalalkan atau isteri. Apabila seorang suami menyandarkan thalaq
itu kepada bagian dari tubuh isternya, misalnya ia menyandarkan kepada anggota
tubuh tertentu seperti tangan, kepala, limpa atau hati, maka thalaqnya sah.
Namun apabila suami tersebut menyandarkan kepada fadhalat tubuhnya seperti
air liur, air susu atau air mani, maka thalaqnya tidak sah.

5. Menguasai isteri tersebut. Apabila seorang suami berkata kepada seorang wanita
yang bukan isterinya: Anti thalliq (kamu wanita yang dithalaq), maka thalaqnya
tidak sah, namun apabila suami tersebut berkata kepada isterinya atau isterinya
itu masih berada dalam masa ‘iddah talak raj’iy, maka thalaqnyabaru dianggap
sah. Bahkan menurut ulama Syafi’iyyah, apabila seorang suami berkata kepada
wanita yang bukan isterinya: In nakahtuki fa anti thalliq (jika aku menikahimu
maka kamu adalah wanita yang dithalaq), maka nikahnya juga tidak sah. Jadi
menurut mereka, ucapan yang dikaitkan dengan syaratpun juga tidak sah, sebab
ketika ia mengucapkannya, wanita tersebut tidak berada dlam kekuasaannya.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa dalam menetapkan rukun thalaq terjadi
perbedaan pendapat dikalangan ulama. Menurut ulama Hanafiyyah, rukun thalaq itu
hanya satu, yaitu lafal yang menunjukkan makna thalaq, baik secara etimologi dalam
kategori sharih atau kinayah, atau secara syar’i, atau tafwidh (menyerahkan kepada
isteri untuk menjatuhkan thalaqnya). Menurut ulama Malikiyyah ada empat, yaitu
orang yang berkompeten menjatuhkan thalaq, ada kesengajaan menjatuhkan thalaq,
wanita yang dihalalkan dan adanya lafal, baik sharih maupun kinayah. Sedangkan
menurut ulama Syafi’iyyah dan Hanabillah rukun thalaq tersebut ada lima, yaitu
orang yang menjatuhkan thalaq, adanya lafal thalaq, adanya kesengajaan
menjatuhkan thalaq, adanya wanita yang dihalalkan dan menguasai isteri tersebut.

Apabila diperhatikan secara seksama, sebenarnya rukun thalaq yang dikemukakan


oleh ulama Syafi’iyyah dan Hanabillah itu relatif sama substansinya dengan formulasi
rukun thalaq yang dikemukakan oleh ulama Malikiyyah, dimana formulasi menguasai
isteri yang dikemukakan oleh ulama Syafi’iyyah dan Hanabillah telah tercakup

16
kedalam rumusan adanya wanita yang dihalalkan yang dikemukakan ulama
Malikiyyah. Oleh karena itulah, dalam sebagian literature persoalan ini
diklasifikasikan kepada pendapat Hanafiyyah dan non Hanafiyyah.

2.9 Bilangan Thalaq

1. Thalaq Satu
Maksudnya suami baru sekali menjatuhkan talak kepada istrinya dan si suami
masih merujuk bekas istrinya.

2. Thalaq Dua
Maksudnya suami sudah dua kali menjatuhkan talak kepada istrinya, talak ini
masih seperti talak satu, yakni suami masih boleh merujuk bekas istrinya.

3. Thalaq Tiga
Maksudnya suami telah tiga kali menjatuhkan tiga kali talak kepada istrinya. Talak
ini disebut talak ba’in. Talak tiga itu adakalanya suami menjatuhkan talak baru
sekali, tetapi mengatakan “kamu (istri) saya cerai talak tiga. Sekalipun baru sekali
cerai tetapi diucapkan dengan kata-kata tersebut, maka hukumnya sudah talak
tiga. Namun ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa ucapan semacam itu
masih tetap talak satu, namun sebagian ulama Syafi’yah menganggap kalau
diucapkan “ kamu cerai talak tiga” maka tetap hukumnya talak tiga.

Pendapat tentang thalaq tiga


Talak tiga meliputi beberapa cara :

a. Menjatuhkan talak pada masa yang berlai-lainan. Misalnya suami mentalak


istrinya talak satu, pada masa iddah ditalak lagi talak satu, pada msa iddah
kedua ditalak lagi talak satu.

b. Suami mentalk istrinya talak satu, sesudah habis iddahnya dinikahi lagi,
kemudian ditalak lagi, setelah habis iddahnya dinikahi lagi, kemudian ditalak
lagi ketiga kalinya.

c. Suami mentalak istrinya dengan kata “saya talak engkau talak tiga”, denga
ucapan itu jatuhlah sekaligus talak tiga.

2.10 Hikmah Thalaq

Ada banyak hikmah yang dapat dipetik dari dibolehkanya talak dalam sebuah
perkawinan, antara lain sebagai berikut.

17
1. Sebagai jalan keluar darurat dari kemelut rumah tangga yang berkepanjangan
sebagian akibat tidak harmonisnya hubungan antara suami istri.

2. Apabila tidak ada perceraian, akan terjadi beberapa kendala dalam penyelesaian
masalah yang menyangkut hukum, seperti contoh: apabila setelah menikah baru
diketahui bahwa istri/suaminya itu masih mahram (satu darah), atau istri/suaminya
itu seorang musyrik, atau penipu dan sangat membahayakan, atau istri/suaminya
mempunyai perangai yang tidak baik, maka perceraian lebih baik yang harus
terjadi.

3. Perceraian merupakan alat untuk meredam kemarahan dan sikap membenci yang
terdapat pada kedua belah pihak.

4. Perceraian memungkinkan kedua belah pihak akan kembali saling menghormati


dan menghargai satu sama lainnya. Dan akan menyadari bahwa persaudaraan
sesama muslim harus dibina kembali, tanpa harus menyimpan dendam.

5. Sebagai pembuka jalan untuk merintis kembali mencari pasangan baru yang lebih
sesuai setelah mendapat pengalaman dari kegagalan berumah tangga
sebelumnya.

6. Sebagai bukti keluwesan hukum Islam. Islam berbeda dengan hukum agama lain
dan juga Islam memberi hak kebebasan untuk memilih pada umatnya.

7. Sebagai bahan perenungan untuk berbuat lebih baik pada masa yang akan
datang karena dengan adanya perceraian pasangan suami istri dapat belajar
banyak hal.

8. Hak kebebasan memilih benar-benar dihormati dalam Islam. Artinya, ketika


pasangan suami istri sudah tidak merasa cocok lagi satu sama lain jika
dipertahankan akan menyiksa batin, seseorang memiliki hak untuk berpisah
(talak).

2.11 Definisi Iddah

Menurut bahasa, kata iddah berasal dari kata ’adad (bilangan dan ihshaak
(perhitungan)), seorang wanita yang menghitung dan menjumlah hari dan masa
haidh atau masa suci. Menurut istilah, kata iddah ialah sebutan/nama bagi suatu
masa di mana seorang wanita menanti/menangguhkan perkawinan setelah ia
ditinggalkan mati oleh suaminya atau setelah diceraikan baik dengan menunggu
kelahiran bayinya, atau berakhirnya beberapa quru’, atau berakhirnya beberapa
bulan yang sudah ditentukan. Ikatan pernikahan antara suami-istri dinyatakan habis
baik di waktu hidupnya (yakni bercerai) maupun meninggal salah satu diantara
keduanya. Disetiap keadaan ini terdapat kewajiban masa iddah yaitu waktu
terbatas (menunggu untuk menikah lagi) secara syar’i. Didalam masa iddah
terdapat hikmah diantaranya diharamkan merobohkan nilai pernikahan yang telah
sempurna, untuk mengetahui (apakah ada) tanda-tanda kehamilan didalam rahim,

18
agar tidak menyetubuhinya kecuali memisahkan darinya, masa menunggu dan
memutuskan keturunan (dari suami sebelumnya). Hikmah yang lain adalah
memuliakan ikatan pernikahan yang lalu, menghormati hak suami yang telah
bercerai dan menampakkan kepada masyarakat bahwa ia telah bercerai. Masa
iddah sebenarnya sudah dikenal dimasa jahiliyah. Ketika Islam datang, masalah ini
tetap diakui dan dipertahankan. Oleh karena itu para Ulama sepakat bahwa ‘iddah
itu wajib, berdasarkan al-Qur`ân dan Sunnah.

Dalil dari al-Qur`ân yaitu firman Allâh Azza wa Jalla :

‫او ْالم ا‬
ْ َّ‫طلَّقاات ياتا ارب‬
‫صنا ث ا اَلثاةا بأ ا ْنفسه َّن قروء‬
Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru’ (suci)” [Q.S. al-baqarah ayat 228]

2.12 Dalil disyariatkanya Iddah

1. Dalil dari Al – Qur’an

Allah Ta’aala berfirman :

‫طلَّقاات‬ ْ َّ‫قروء ثاَلثاةا بأانفسه َّن ياتا ارب‬


‫صنا اوالم ا‬
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru’ ” (Al-Baqarah :228).

2. Dalil dari sunnah

Dari Miswar bin Makhramah, bahwasannya Subai’ah Al-Aslamiyyah radhiyallahu


‘anha mengalami nifas setelah di tinggal wafat oleh suaminya beberapa hari,
maka dia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk minta ijin
menikah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengijinkannya. Maka
menikahlah dia.” (HR. Bukhari no 5320)

2.13 Macam – macam Iddah

Masa iddah diwajibkan pada semua wanita yang berpisah dari suaminya dengan
sebab talak, khulu’ (gugat cerai), faskh (penggagalan akad pernikahan) atau
ditinggal mati, dengan syarat sang suami telah melakukan hubungan suami istri
dengannya atau telah diberikan kesempatan dan kemampuan yang cukup untuk
melakukannya. Berdasarkan ini, berarti wanita yang dicerai atau ditinggal mati oleh
suaminya sebelum digauli atau belum ada kesempatan untuk itu, maka dia tidak
memiliki masa iddah. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

19
‫ت نَكَحْ ت ُ ُم إِذَا آ َمنُوا الَّ ِذينَ أَيُّهَا يَا‬
ِ ‫سوهُنَّ أ َ ْن قَ ْب ِل ِم ْن َطلَّ ْقت ُ ُموهُنَّ ث ُ َّم ا ْل ُم ْؤ ِمنَا‬
ُّ ‫علَي ِْهنَّ لَ ُك ْم فَ َما ت َ َم‬
َ ‫تَ ْعتَدُّونَهَا ِع َّد ٍة ِم ْن‬

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan


yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya
maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta
menyempurnakannya.” (QS. Al-Ahzâb : 49)

Berdasarkan keterangan di atas dan berdasarkan penyebab perpisahannya,


masalah ‘iddah ini dapat dirinci sebagai berikut :

1. Wanita Yang Ditinggal Mati Oleh Suaminya

Wanita yang ditinggal mati oleh suaminya memiliki dua keadaan :

a. Wanita yang ditinggal mati suaminya ketika sedang hamil


Wanita ini maka masa menunggunya (‘iddah) berakhir setelah ia melahirkan
bayinya, berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla,

‫ض ْعنا أ ا ْن أ ا اجله َّن ْاْل ا ْح امال اوأ ا‬


‫وَلت‬ ‫اح ْملاه َّن يا ا‬
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah
sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath-Thalaq : 4) .

Keumuman ayat ini di kuatkan dengan hadits al-Miswar bin Makhramah


Radhiyallahu anhu yang berbunyi :

َّ‫سبَ ْيعَةَ أَن‬


ُ َ‫سلَمِ َّية‬
ْ َ ‫ستْ ْاْل‬
َ ‫ي َفجَا َءتْ ِبلَيَا ٍل َز ْو ِجهَا َوفَا ِة بَ ْع َد نُ ِف‬
َّ ‫صلَّى النَّ ِب‬ َّ ‫علَ ْي ِه‬
َ ُ‫َللا‬ َ ‫ستَأْذَنَتْهُ َو‬
َ ‫سلَّ َم‬ ْ ‫فَنَ َكحَتْ َلهَا َفأ َ ِذنَ ت َ ْن ِك َح أَ ْن َفا‬

Subai’ah al-Aslamiyah Radhiyallahu anhuma melahirkan dan bernifas setelah


kematian suaminya. Lalu ia, mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
lantas meminta idzin kepada beliau untuk menikah (lagi). Kemudian beliau
mengizinkannya, lalu ia segera menikah (lagi). (HR. Al-Bukhâri no. 5320 dan
Muslim no.1485).

b. Wanita yang ditinggal mati suamainya tetapi tidak hamil


Jika tidak hamil, maka masa ‘iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman pada Surat Al- Baqarah : 234 yang
artinya :
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-
isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat
bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa
bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka
menurut yang patut. Allâh mengetahui apa yang kamu perbuat”

20
2. Wanita Yang Diceraikan
Wanita yang dicerai juga ada dua macam yaitu wanita yang dicerai dengan
thalak raj’i (thalak yang bisa ruju’) dan wanita yang ditalak dengan thalak bâ’in
(thalak tiga)

a. Wanita yang dicerai dengan talak raj’i terbagi menjadi beberapa :

1. Wanita yang masih haidh

Masa ‘iddah wanita jenis ini adalah tiga kali haidh, berdasarkan firman
Allâh Azza wa Jalla :

‫صنا او ْالم ا‬
‫طلَّقاات‬ ْ َّ‫قروء ث ا اَلثاةا بأ ا ْنفسه َّن ياتا ارب‬
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru’ (QS. Al-Baqarah : 228)

Menurut pendapat yang rajih, quru’ artinya haidh, berdasarkan hadits


A’isyah Radhiyallahu anhuma yang berbunyi :

َّ‫ستَحَاضُ كَانَتْ َح ِبيبَةَ أ ُ َّم أَن‬


ْ ُ ‫سأَلَتْ ت‬
َ َ‫ي ف‬
َّ ‫صلَّى النَّ ِب‬ َّ ‫علَ ْي ِه‬
َ ُ‫َللا‬ َ ‫ع أ َ ْن فَأ َ َم َر َها َو‬
َ ‫سلَّ َم‬ َ ‫أ َ ْق َرائِهَا أَيَّا َم الص ََّالةَ ت َ َد‬

Sesungguhnya ummu Habibah pernah mengalami pendarahan


(istihadhah/darah penyakit), lalu dia bertanya kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan Nabi memerintahkannya untuk meninggalkan shalat
pada hari-hari quru’nya (haidhnya). [HR Abu Dâud no. 252 dan
dishahihkan syaikh al-Albani dalam Shahih Abi Dâud]

Oleh karena itu Ibnul Qayyim rahimahullah merajihkan pendapat ini dan
mengatakan, “Lafazh quru’ tidak digunakan dalam syariat kecuali untuk
pengertian haidh dan tidak ada satu pun digunakan untuk pengertian suci
(thuhr), sehingga memahami pengertian quru’ dalam ayat ini dengan
pengertian yang sudah dikenal dalam bahasa syariat lebih baik. Karena
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada orang yang kena darah
istihâdlah :

‫ص اَلة ا ادع ْي‬ ‫أ ا ْق ارائك أاي ا‬


َّ ‫َّام ال‬
“Tinggalkan shalat selama masa-masa haidhmu.“

21
2. Wanita yang tidak haidh, baik karena belum pernah haidh atau sudah
manopause.

Bagi wanita yang seperti ini masa ‘iddahnya adalah tiga bulan, seperti
dijelaskan Allâh Azza wa Jalla dalam firman-Nya:

َّ ‫سنَ َو‬
‫الالئِي‬ ِ ‫سائِ ُك ْم ِم ْن ا ْل َم ِح‬
ْ ِ‫يض ِمنَ يَئ‬ ْ َّ‫ش ُه ٍر ث َ َالثَةُ فَ ِع َّدت ُ ُهن‬
َ ِ‫ارت َ ْبت ُ ْم ِإ ِن ن‬ ْ َ ‫الالئِي أ‬
َّ ‫يَ ِحضْنَ لَ ْم َو‬

Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara


perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya),
maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-
perempuan yang tidak haid. (QS. Ath-Thalaq :4)
3. Wanita Hamil

Wanita yang hamil bila dicerai memiliki masa iddah yang berakhir dengan
melahirkan, berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla :

‫ض ْعنا أ ا ْن أ ا اجله َّن ْاْل ا ْح امال اوأ ا‬


‫وَلت‬ ‫اح ْملاه َّن يا ا‬
“Dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan
perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai
mereka melahirkan kandungannya” (QS. Ath-Thalaq :4 )

4. Wanita yang terkena darah istihadhah

Wanita yang terkena darah istihadhah memiliki masa iddah sama dengan
wanita haidh. Kemudian bila ia memiliki kebiasaan haidh yang teratur
maka wajib baginya untuk memperhatikan kebiasannya dalam hadih dan
suci. Apabila telah berlalu tiga kali haidh maka selesailah iddahnya.

b. Wanita yang ditalak tiga (talak ba’in)

Wanita yang telah di talak tiga hanya menunggu sekali haidh saja untuk
memastikan dia tidak sedang hamil. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah menyatakan, “Wanita yang dicerai dengan tiga kali talak, masa
iddahnya sekali haidh”.

Dengan haidh sekali berarti sudah terbukti bahwa rahim kosong dari janin dan
setelah itu ia boleh menikah lagi dengan lelaki lain.

3. Wanita Yang Melakukan gugat cerai (Khulu’)

Wanita yang berpisah dengan sebab gugat cerai, masa ‘iddahnya sekali haidh,
sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa hadits dibawah ini:

Dari Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu bahwa istri Tsabit bin Qais menggugat cerai
dari suaminya pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk menunggu sekali haidh.

22
[HR Abu Dâud dan at-Tirmidzi dan dishahihkan oleh syaikh al-Albâni dalam
Shahîh Sunan Abu Dâud no.1 950].

Juga hadits yang berbunyi :

ُّ ‫اختالاعاتْ اع ْف ارا اءأانَّ اها بْن معا ِّوذ ب ْنت‬


‫الربايِّع اع ْن‬ ِّ ‫صلَّى النَّب‬
ْ ‫ي اع ْهد اعلاى‬ َّ ‫سلَّ ام اعلايْه‬
‫ّللا ا‬ ‫ي فاأ ا ام ارهاا او ا‬
ُّ ‫صلَّى النَّب‬ َّ ‫سلَّ ام اعلايْه‬
‫ّللا ا‬ ‫ضة تا ْعتا َّد أا ْن أم ارتْ أا ْو او ا‬
‫ب اح ْي ا‬

Dari ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz bin ‘Afra’ bahwa beliau mengajukan gugat
cerai di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk menunggu iddahnya satu kali haidh.
[HR at-Tirmidzi dan dishahihkan al-Albâni dalm Shahîh Sunan at-Tirmidzi no.
945].

2.14 Hikmah ‘Iddah

1. Tujuan Islam mensyariatkan ‘iddah ke atas kaum wanita ialah untuk


memastikan rahim wanita tersebut suci dari air mani suaminya pada saat ia
diceraikan dan juga memastikan ia tidak hamil dari pada lelaki yang
menyetubuhinya sebagai langkah mencegah percampuran nasab dan
keturunan.

2. Syariat Islam telah mensyariatkan masa ‘iddah untuk menghindari


ketidakjelasan garis keturunan yang muncul jika seorang wanita ditekan untuk
segera menikah

3. Masa ‘iddah disyari’atkan untuk menunjukkan betapa agung dan mulianya


sebuah akad pernikahan.

4. Masa ‘iddah disyari’atkan agar kaum pria dan wanita berpikir ulang jika hendak
memutuskan tali kekeluargaan, terutama dalam kasus perceraian.

5. Masa ‘iddah disyari’atkan untuk menjaga hak janin berupa nafkah dan lainnya
apabila wanita yang dicerai sedang hamil.

6. Sewaktu melalui proses 'iddah banyak peluang yang boleh direbut oleh wakil
dari kedua belah pihak suami isteri bagi mencari jalan keluar dan perdamaian
antara mereka dari perselisihan dan semoga dengan cara ini diharapkan dapat
mempersatukan mereka semula serta menjauhi dari berlakunya perceraian.

7. Agama Islam meletakkan institusi kekeluargaan adalah sesuatu yang tinggi


dan mulia terutama bagi pasangan suami isteri dimana hubungan kelamin bagi
pasangan suami isteri tetap mendapat ganjaran pahala yang besar di sisi
Tuhan. Agama Islam amat benci kepada perceraian dan keruntuhan institusi
kekeluargaan di mana ia boleh membawa kepada lebih banyak lagi
permasalahan sosial.

23
8. Bagi perceraian yang berlaku karena kematian suami, tujuan 'iddah ialah untuk
isteri menjaga hak-hak suaminya, kaum kerabat, membuktikan kesetiannya
kepada bekas suami serta menjaga nama baik dan diri sendiri, suami yang
ditinggal dan keluarga agar tidak jelek di mata orang lain.

9. 'Iddah adalah anugerah dari Allah untuk hamba-Nya yang membuktikan kasih
sayang dan kesungguhan bagi memelihara dan menjaga keutuhan institusi
kekeluargaan dalam Islam.

Dasar Persyariatannya

Masa iddah sebenarnya sudah dikenal dimasa jahiliyah. Ketika Islam datang,
masalah ini tetap diakui dan dipertahankan. Oleh karena itu para Ulama sepakat
bahwa ‘iddah itu wajib, berdasarkan al-Qur`ân dan Sunnah.

Dalil dari al-Qur`ân yaitu firman Allâh Azza wa Jalla :

‫صنا او ْالم ا‬
‫طلَّقاات‬ ْ َّ‫قروء ث ا اَلثاةا بأ ا ْنفسه َّن ياتا ارب‬
Artinya : Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru’ (QS. Al-Baqarah : 228)

Sedangkan dalil dari sunnah diantaranya :

Dari Ummu Salamah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya seorang
wanita dari Aslam bernama Subai’ah ditinggal mati oleh suaminya dalam keadaan
hamil. Lalu Abu Sanâbil bin Ba’kak melamarnya, namun ia menolak menikah
dengannya. Ada yang berkata, “Demi Allâh, dia tidak boleh menikah dengannya
hingga menjalani masa iddah yang paling panjang dari dua masa iddah. Setelah
sepuluh malam berlalu, ia mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Menikahlah!” [HR al-Bukhâri no. 4906].

2.15 Hak Perempuan dalam ‘Iddah

1. Perempuan yang taat pada iddah raj’iyah berhak menerima tempat tinggal
(rumah), pakaian, dan segala keperluaan hidupnya, dari yang menalaknya
(bekas suaminya); kecualI istri yang durhaka, tidak menerima apa-apa.

Rosulullah Saw bersabda yang artinya:

Dari Fatiamah binti Qais, “Rasululloh Saw. Telah bersabda, kepadanya,


‘Perempuan yang berhak mengambil dan rumah kediaman dari bekas
suaminya itu apabila bekas suaminya itu berhak rujuk kepadanya’.” (Riwayat
Ahmad dan Nasai).

24
2. Perempuan yang iddah bain, Kalau dia mengandung, ia berhak juga atas
kediaman, nafkah, dan pakaian.

Allah Swt berfirman yang artinya “Dan jika mereka (istri-istri yang sudah di
talak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga
mereka bersalin.” (QS. Ath-Talaq : 6).

3. Perempuan dalam iddah bain yang tidak hamil, baik bain dengan talak tebus
atau talak tiga, hanya berhak mendapatkan tempat tinggal, tidak yang lainnya.

Allah Swt berfirman yang artinya “Tempatkanlah mereka (para istri) dimana
kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu.” (QS. Ath-Talaq : 6)

Sebagian ulama berpendapat bahwa bain yang tidak hamil, tidak berhak
mendapat nafkah dan tidak pula tempat tinggal.

Rasulullah Saw bersabda yang artinya “Dari Fatimah binti Qais,dari Nabi Saw.,
mengenai perempuan yang ditalak tiga. Sabda Rasulullah, ”Ia tidah berhak
atas tempat tinggal dan tidak pula atas nafkah.” (Riwayat Ahmad dan Muslim).

Adapun firman Allah dalam surat Ath-Talaq ayat 6 tersebut di atas, menurut
mereka hanya berlaku untuk perempuan yang dalam iddah raj’iyah.

4. Perempuan yang dalam iddah wafat, mereka tidak mempunyai hak sama sekali
meskipun dia mengandung, karena dia dan anak yang berada dalam
kandungannya telah mendapat hak pusaka dari suaminya yang meninggal
dunia.

Rasulullah Saw bersabda yang artinya “Janda hamil yang kematian suaminya
tidak berhak mendapat nafkah. (Riwayat Daruqutni)

2.16 Perubahan Standar Masa ‘Iddah

1. Perubahan standar masa ‘iddah dari hitungan haidh ke hitungan bulan

Pada asalnya masa iddah seorang itu menggunakan satu standar dari sejak mulai
sampai akhir. Namun terkadang karena suatu sebab terjadi perubahan standar.
Misalnya, apabila seorang suami mentalak istrinya yang masih aktif haidh,
kemudian sebelum masa ‘iddahnya selesai, sang suami meninggal dunia. Wanita
seperti ini memiliki dua keadaan :

a. Apabila talak tersebut masih talak raj’i (talak satu dan dua), maka masa ‘iddah
yang wajib diselesaikan oleh wanita ini bukan lagi dengan hitungan tiga kali
haidh tapi sudah berpindah ke ‘iddah wanita yang ditinggal mati oleh suaminya
yaitu empat bulan sepuluh hari. Karena statusnya masih tetap sebagai istri.
Talak raj’i tidak menghilangkan status istri pada seorang wanita. Oleh karena itu,

25
wanita yang ditalak dengan talak raj’i masih saling mewarisi dengan suaminya,
jika salah satunya meninggal sementara sang istri masih dalam masa ‘iddah.

b. Apabila talak tersebut talak tiga (talak bâ`in), maka ia tetap hanya
menyempurnakan sekali haidh saja dan tidak berubah ke ‘iddah wanita yang
ditinggal mati suaminya. Karena hubungan sebagai suami istri telah terputus
sejak talak tiga itu sah. Talak tiga menyebabkan status istri pada seorang wanita
hilang. Sehingga pada kejadian di atas kematian sang suami terjadi setelah si
wanita bukan sebagai istrinya lagi.

2. Perubahan standar masa ‘iddah dari hitungan bulan ke hitungan haidh

Apabila seorang wanita memulai iddahnya dengan hitungan bulan karena tidak
haidh, baik karena masih kecil atau telah memasuki masa menopause, namun
jika disaat menjalani masa ‘iddah ini mengeluarkan haidh, maka wajib baginya
untuk pindah dari hitungan bulan ke hitungan haidh. Karena hitungan bulan
adalah pengganti dari haidh. Oleh karena itu, menghitung dengan bulan tidak
boleh dipakai selama masih ada haidh yang merupakan standar pokok.

Apabila masa ‘iddah dengan hitungan bulan tersebut telah tuntas, kemudian
baru mengalami haidh , maka tidak wajib memulai masa iddah dari awal lagi
dengan hitungan haidh. Karena haidh ada setelah selesai masa iddahnya
berlalu.

Apabila seorang wanita memulai hitungan masa ‘iddahnya dengan haidh atau
bulan kemudian ternyata dia hamil dari suaminya tersebut, maka ‘iddahnya
berubah menjadi ‘iddah wanita hamil yaitu sampai melahirkan.

2.17 Ketentuan Iddah menurut pemikir kontemporer

Kalau seseorang mempelajari evolusi madzhab-madzhab yang berbeda


dalamhukum Islam (Maliki, Hambali, Hanafi, Syafi’i) maka orang akan melihat
bahwaformulasi mereka itu sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial, budaya, dan
ekonomi mereka sendiri. Perbedaan formulasi mereka secara jelas diperbedakan
oleh kondisi yang berbeda.

Syari’at hendaknya tidak diperlakukan sebagai sistem yang tertutup. Karena syari’at
merupakan suatu usaha untuk mencapai tujuan-tujuan, nilai-nilai, dan prinsip-
prinsip Al-Qur’an. Dinamika dan vitalitasnya tergantung pada kapasitasnya untuk
berubah seiring dengan perjalanan waktu. Tentu saja perubahan-perubahan
tersebut bukan pada aspek prinsip dan nilai, melainkan dalam aplikasinya yang
tepat berdasarkan pandangan sosial dan konteks lain. Maulana Umar Ahmad
Usmani menunjukkan dalam karyanya fiqih Al-Qur’an bahwa tasyri’ ahkam
(penetapan hukum Islam atau perintah) berubah seiring denganruang, waktu dan
kondisi sosial. Syari’at harus dianggap suatu usaha untuk mencapai tujuan-tujuan,
nilai-nilai dan prinsip al-Qur’an, ia merupakan alat bukan tujuan.

26
Salah satu tujuan utama adanya iddah adalah untuk mengetahui apakah dalam
rahimnya ada embrio bayi atau tidak. Dalam beberapa kajian fikih atau hukum islam
dalam konsep iddah sudah sesuai dengan teks al-Qur’an seperti pada surat al-
Baqarah ayat 228, 234, at-Thalaq ayat 4 dan al-Ahzab ayat 49. ayat ini yang
menjadikan dasar hukum adanya iddah bagi seorang perempuan setelah adanya
cerai mati atau cerai hidup.

Musdah menyatakan bahwa pada dasarnya, Islam agama yang penuh rahmat
(kasih sayang) dan pembawa maslahat (kedamaian dan kebaikan), sehingga setiap
keputusan yang berkaitan dengan pengambilan suatu hukum disamping
mempunyai dampak positif juga negatif.

Menurut Musdah ada persoalan mendasar tentang iddah yaitu bagaimana dengan
hubungan antara manusia dengan manusia lain (hablummin annas), lebih spesifik
lagi hubungan intern keluarga antar suami isteri. Ketika suami isteri berpisah
sebenarnya tidak menganggap semua persoalan selesai, seenaknya suami
menikah lagi, bagaimana dengan keluarga, anak-anak, saudara, tetangga atau
teman, karena tidak ada manusia yang ingin hidup sendiri. Dari contoh di atas
menurut Musdah perlu diperhatikan adalah aspek-aspek hukum relation,
kebanyakan manusia memahami dalam Islam hanya melihat hablumminaallah
(hubungan dengan Allah) yang menurut musdah mendapat porsi lebih, bila
dibandingkan dengan hablumminannas (hubungan dengan manusia).

Mengingat keluarga adalah sebuah ikatan suci antara seorang laki-laki dan
perempuan melalui pernikahan, maka sejak terjadinya pernikahan keduanya
terikatdengan hak dan kewajiban sebagai suami isteri. Adapun yang berkaitan
dengan urusan rumah tangga menjadi urusan bersama, baik mengenai urusan
tempat tinggal, nafkah,anak, dan sebagainya.

Termasuk di dalamnya ketika bahtera rumah tangga mengalami bencana tidak


dapat diteruskan dan tali pernikahan sudah tidak bisa dipertahankan, maka
menyangkut urusan bersama. Perceraian merupakan masalah bersama antara
suami isteri, perceraian ditempuh melalui jalan terakhir untuk mengakhiri kesulitan -
kesulitan dalam rumah tangga. Oleh sebab itu konsekuensi yang diakibatkan dari
perceraian adalah mengikat kedua belah pihak. Ketika perceraian dipandang
bencana dalam sebuahrumah tangga,maka yang harus menanggung bencana
tersebut harus kedua pihak suami isteri.

Jika dilihat hikmah dari perceraian adalah agar suami isteri yang sudah bercerai
melakukan introspeksi diri, apakah masih akan menjalin kembali tali cinta kasih
(pada kasus talak raj’i) atau tetap memutuskan untuk bercerai. Jika keputusannya
bercerai maka akibat dari perceraian tersebut juga harus ditanggung bersama. Baik
yang berkaitan dengan hak dan kewajiban, nafkah, harta, maupun anak.

Menurut Musdah, iddah untuk perceraian hidup merupakan masa transisi untuk
memikirkan dan merenungkan kembali antara kedua belah pihak bagaimana
caranya untuk membangun masa depan kehidupan bersama. Sedangkan iddah

27
untuk kematian untuk mempertimbangkan kembali bagaimana menjaga hubungan
dengan orang tua,anak, mertua, saudara, tetangga dan teman-teman.

Dalam CLD KHI yang Musdah usulkan bahwa masa iddah atau dia menyebutnya
masa transisi sebagai berikut Bab XIII Masa Transisi, pasal 86: Bagi suami isteri
yang perkawinannya telah dinyatakan putus oleh Pengadilan Agama berlaku masa
transisi atauiddah dan masa transisi suami ditetapkan mengikuti masa transisi
mantan isterinya.

Berkenaan dengan adanya nas (ayat Al-Qur’an dan al-Hadis) yang mengikat
perempuan yang ditalak, maka perlu lebih dicermati filosofi syari’ahnya (maqasid al-
syar’i) dan diperlakukan secara proporsional dengan hak privasi perempuan. Jika
isteri yang ditalak dikenakan sebagai larangan terkait dengan hak pribadinya, maka
pihak laki-laki juga harus memperhatikan perasaan perempuan yang telah ditalak.

Diantara hikmah terpenting diaturnya masalah iddah ini selain untuk mengetahui
keadaan rahim, demi menentukan hubungan nasab anak, memberi alokasi yang
cukup untuk merenungkan tindakan perceraian.

Selain itu sebenarnya terdapat aturan mengenai masalah iddah ini yakni Surat
edaran No : D.IV/E.d/17/1979 Dirjen Bimbaga Islam tentang poligami dalam iddah
isteri.Surat Edaran no: D.IV/E.d/17/1979 Dirjen Bimbingan Islam masalah poligami
dalam iddah isteri di terbitkan oleh Departemen Agama Republik Indonesia,
Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Jakarta pada tanggal 10
Februari 1979 diberikan kepada:

a. Saudara ketua Pengadilan Agama tingkat pertama.

b. Saudara ketua Pengadilan Agama tingkat Banding di seluruh Indonesia.

Sedangkan isi Surat Edaran tersebut adalah menunjuk keputusan rapat Dinas
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Negara tanggal 24 sampai 28 Mei 1976 di
Tugu Bogor lampiran IV point c. perihal seperti tersebut pada pokok surat , maka
dengan inikami berikan penjelasan sebagai berikut:

a. Bagi seorang suami yang telah menceraikan isterinya dengan thalak raj’i
danmau menikah lagi dengan wanita lain sebelum habis masa iddah
bekasisterinya. Maka ia harus mengajukan ijin poligami ke Pengadilan Agama.

b. Sebagai pertimbangan hukumnya adalah penafsiran bahwa pada


hakekatnyasuami isteri yang bercerai dengan thalak raj’i adalah masih ada
ikatan perkawinan sebelum habis masa iddahnya. Karena kalau suami tersebut
kalaumenikah lagi dengan wanita lain, pada hakekatnya dari segi kewajiban
hukumdan inti hukum adalah beristeri lebih dari seorang (poligami). Oleh karena
ituterhadap kasus tersebut dapat ditetapkan pasal 4 dan 5 UU No. 1 Tahun
1974tentang perkawinan,

28
c. Sebagai produk Pengadilan, penolakan atau ijin permohonan tersebut
harusdituangkan dalam bentuk penetapan pengadilan Agama. Hukum positif
adalah kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis dan tidak tertulis yang
padasaat ini sedang berlaku dan mengikat secaraumum atau khusus dan
ditegakkanoleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara
Indonesia.Pengertian hukum positif diperluas, bukan saja yang sedang berlaku
sekarangmelainkan termasuk juga hukum yang pernah berlaku dimasa lalu.
Hukum positif dibagi menjadi hukum positif tertulis dan tidak tertulis.
Sedangkanhukum positif tertulis dibedakan antara hukum positif tertulis yang
berlakuumum dan hukum positif tertulis yang berlaku khusus. Hukum positif
yang berlaku umum terdiri dari peraturan perundang-undangan dan
peraturankebijakan termasuk didalamnya yakni surat edaran, juklak, juknis.

Suatu peraturan tertulis atau kaidah hukum benar-benar berfungsi senantiasa


dikembalikan pada empat faktor yakni kaidah hukum atau peraturan itu sendiri,
petugas yang menegakkan atau penerap hukum, sarana yang dapat membantu,
warga masyarakatyang terkena ruang lingkup peraturan.

Kaidah hukum berfungsi apabila kaidah berlaku secara yuridis atau atas dasar yang
telah ditetapkan, sosiologis atau dapat dipaksakan dan filosofis sesuai dengan
citahukum. Mengenai penegak hukum dari strata atas, menengah dan bawah
dalammelaksanakan tugas penerapan hukum seyogianya harus memiliki suatu
pedoman salahsatunya peraturan tertulis tertentu yang mencakup ruang lingkup
tugasnya.

Sarana juga sangat penting untuk mengefektifitaskan suatu aturan tertentu.


Saranatersebut diantaranya sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung.
Misalnyakendaraan dan alat komunikasi. Warga masyarakat yang dimaksud adalah
kesadarannyauntuk mematuhi suatu peraturan perundang-undangan atau derajat
kepatuhan terhadap hukum.

29
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Allah SWT dengan kebijaksanaan dan keluasan ilmu-Nya menjelaskan pula bahwa
dalam pernikahan pasti banyak menemui permasalahan dalam berbagai faktor. Yang
ditakutkan jika masalah yang timbul saat menjalani rumah tangga yang jika
dipertahankan justru akan mendatangkan akibat yang membahayakan baik suami
ataupun istri, atau bahkan anak- anak mereka. Itulah sebabnya Allah SWT
menghalalkan talak sebagai pintu darurat untuk digunakan ketika tidak ada lagi
harapan untuk memperbaiki dan meneruskan pernikahan setelah memenuhi berbagai
persyaratan menurut Islam. Talak atau perceraian jelas merupakan perkara yang
dapat merusak ikatan pernikahan, oleh karena itu talak dibenci Allah SWT. Sebab
dalam Islam ikatan pernikahan merupakan perjanjian yang kokoh seperti yang tertulis
dalam Al-Quran.

Suami tak boleh menceraikan istrinya dalam kondisi haidh. Seorang suami yang telah
menggauli istrinya pada saat suci, ia tidak boleh menceraikannya, kecuali jika telah
jelas kehamilannya. Seorang suami tidak boleh mentalak istrinya lebih dari talak satu
atau talak tiga dalam satu majlis. Para ulama fiqih menyatakan, bahwa suami berhak
menguasakan kepada istrinya itu untuk menceraikannya. Seorang istri yang
melakukan khuluk harus menebus pembebasan dirinya bukan hanya sekedar
mengembalikan mahar yang diberikan suaminya. , masa iddah berarti masa
menunggu yangharus dijalani seorang mantan istri yang tidak ditalak atau ditinggal
mati suaminya sebelum ia dibolehkan menikah kembali. rujuk adalah kembalinya
seorang suami kepada mantan istrinya dengan perkawinan dalam masa iddah setelah
ditalak Raj’I atau talak yang memungkinkan masih bisa rujuk.

3.2 Saran

30
Mudah- mudahan makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penyusun dan bagi
pembaca semuanya. Serta diharapkan, dengan diselesaikannya makalah ini, baik
pembaca maupun penyusun dapat menerapkan apa yang telah kita bahas mengenai
talak dan iddah yang baik dan sesuai dengan ajaran islam dalam kehidupan sehari –
hari.

DAFTAR PUSTAKA

- Al-Jakarty, Abdullah. Penjelasan Sederhana Tentang Talak (perceraian), Rujuk dan


Iddah (revisi/dilengkapi).https://nikahmudayuk.wordpress.com/2013/01/22/
penjelasan-sederhana-tentang-talak-perceraian-rujuk-dan-iddah/. 17 Oktober 2016.

- Ariyanto. Talak. https://id.wikipedia.org/wiki/Talak. 17 Oktober 2016

- Azhim bin Badawai al-Khalafi, Syaikh Abdul. Talak (Perceraian).


https://almanhaj.or.id/1029-talak-perceraian.htm. 22 Oktober 2016.

- Azhim bin Badawai al-Khalafi, Syaikh Abdul. ‘Iddah.


https://almanhaj.or.id/972-iddah.html. 22 Oktober 2016.

- Pratiwi, Agita. Makalah talak dan rujuk.


http://agitapratiwi93.blogspot.co.id/2014/01/makalah-talak-dan-rujuk.html. 18 Oktober
2016.

- Sari, Safitri Mustika. Makalah Talak, ‘Iddah, Rujuk,dan Poligami.


http://safitri-mustika-sari-caemz.blogspot.co.id/2014/01/makalah-talak-iddah-rujuk-
dan-poligami.html. 17 Oktober 2016.

31

Anda mungkin juga menyukai