P1 A1 + P2 A2 +⋯+Pn An
P=
A1 +A2 +⋯+An
3. Metode Isohyet
Isohyet adalah garis yang menghubungkan titik-titik dengan kedalaman hujan yang
sama. Pada metode ini, dianggap bahwa hujan pada suatu daerah di antara dua garis
isohyet adalah merata dan sama dengan nilai rerata dari kedua garis isohyet tersebut.
Secara matematis hujan rerata dapat dihitung dengan rumus (Triatmodjo, 2010):
I +I I +I I +I
A1 1 2 +A2 2 3 +⋯+ An n n+1
2 2 2
P=
A1 +A2 +⋯+An
dengan :
P : hujan rerata kawasan
I1, I2, …, In : garis isohyet ke 1, 2, 3, …, n, n+1
A1, A2, …, An : luas daerah yang dibatasi oleh garis isohyet ke 1 dan 2, 2 dan 3, …, n
dan n+1
Metode Isohyet merupakan cara paling teliti untuk menghitung kedalaman hujan
rerata di suatu daerah, tetapi cara ini membutuhkan pekerjaan dan perhatian yang lebih
banyak dibanding dua metode sebelumnya.
∑n ̅ 2
i=1(Xi − X)
S=√
n−1
dimana :
S = standar deviasi
Xi = nilai variat ke i
̅
X = nilai rata-rata variat
n = jumlah data
b. Koefisien Skewness (Cs)
Kemencengan (skewness) adalah suatu nilai yang menunjukkan derajat ketidaksimetrisan
dari suatu bentuk distribusi. Persamaan koefisien skewness (Soemarto, 1999) :
n ∑n ̅ 3
i=1(Xi −X)
Cs =
(n−1)(n−2) S3
dimana :
Cs = Koefisien Skewness
Xi = nilai variat ke i
̅ = nilai rata-rata variat
X
n = jumlah data
S = standar deviasi
c. Koefisien Kurtosis
Pengukuran kurtosis dimaksudkan untuk mengukur keruncingan dari bbentuk kurva
distribusi, yang umunya dibandingkan dengan distribusi normal. Menurut Soewarno
(1995) pengukuran kurtosis merupakan kepuncakan (peakness) distribusi. Biasanya hal
ini dibandingkan dengan distribusi normal yang mempunyai Ck = 3. Nilai Ck = 3
dinamakan mesokurtik, Ck < 3 berpuncak tajam dinamakan leptokurtik, sedangkan Ck >
3 berpuncak datar dinamakan platikurtik. Persamaan koefisien kurtosis adalah sebagai
berikut (Soemarto, 1999) :
1
∑n ̅ 4
i=1(Xi −X)
n
Ck =
S4
dimana :
Ck = Koefisien kurtosis
dimana :
Cv = Koefisien variasi
̅
X = nilai rata-rata variasi
S = standar deviasi
Tabel 2.1 Syarat Pemilihan Jenis Sebaran
Jenis Sebaran Syarat
Cs ≈ 0
Normal
Ck = 3
Cs ≈ 3Cv + Cv2 =3
Log Normal
Ck = 5,383
Cs ≤ 1,1396
Gumbel
Ck ≤ 5,4002
Cs ҂ 0
Log Pearson Type III Selain yang menjadi syarat distribusi
Normal, Log Normal, dan Gumbel
Sumber : Soemarto, 1999
Nilai faktor frekuensi KT umumnya sudah tersedia dalam tabel untuk mempermudah
perhitungan. Berikut ini adalah tabel nilai variabel reduksi Gauss.
Tabel 2.2 Nilai Variabel Reduksi Gauss
Perode Ulang, T
No Peluang KT
(tahun)
1 1,001 0,999 -3,05
2 1,005 0,995 -2,58
3 1,010 0,990 -2,33
4 1,050 0,950 -1,64
5 1,110 0,900 -1,28
6 1,250 0,800 -0,84
7 1,330 0,750 -0,67
8 1,430 0,700 -0,52
9 1,670 0,600 -0,25
10 2,000 0,500 0
11 2,500 0,400 0,25
12 3,330 0,300 0,52
13 4,000 0,250 0,67
14 5,000 0,200 0,84
3. Rumus Ishiguro
a
I=
√t+b
dimana :
I : intensitas hujan (mm/jam)
t : lamanya hujan (jam)
a dan b : konstanta
[I.√t][I2 ]−[I2 .√t][I] [I][I.√t]−N[I2 .√t]
a= b=
N [I2 ]−[I][I] N[I2 ]−[I][I]
Apabila data hujan jangka pendek tidak tersedia, yang ada hanya data hujan harian, maka
intensitas hujan dapat dihitung dengan rumus Mononobe.
R24 24 2
I=
24
(t)
dimana :
I : intensitas hujan (mm/jam)
t : lamanya hujan (jam)
R24 : curah hujan maksimum harian (selama 24 jam) (mm)
Waktu mengalir di lahan (to) bergantung pada karakteristik DAS seperti kekasaran
permukaan, kemiringan dan panjang lahan, serta karakteristik hujan. Umumnya to dapat
dihitung dengan beberapa rumus empiris.
Formula Kirpich : Formula Hathway : Formula Kerby :
0,06628 L0,77 0,606 (L x n)0,467 7,216 n L 0,324
to = to = to = [ ]
S0,385 S0,234 S0,5
dimana :
to : waktu konsentrasi aliran permukaan (jam), untuk formula Kerby satuan menit
L : panjang lintasan aliran (km), untuk formula Kerby L maksimum 365 m
S : kemiringan (slope) lahan (m/m)
n : koefisien kekasaran Manning untuk aliran di atas permukaan
dimana :
v = kecepatan rata – rata aliran di dalam saluran (m/detik)
n = koefisien kekasaran Manning
R = jari – jari hidrolis (m)
S = kemiringan dasar saluran
TIKA AYU KUSUMA W. II-18
21080114140111