Anda di halaman 1dari 18

Tugas Besar Perencanaan Sistem Drainase Lingkungan

Kelurahan Bugangan, Kecamatan Semarang Timur, Kota Semarang


2016
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Drainase


2.1.1 Definisi Sistem Drainase
Drainase secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan teknis untuk
mengurangi kelebihan air, baik berasal dari air hujan, rembesan, maupun kelebihan air irigasi
dari suatu kawasan/rembesan sehingga fungsi kawasan/lahan tidak terganggu (Suripin, 2004).
Sistem drainase dapat didefinisikan sebagai serangkaian bangunan air yang berfungsi
untuk mengurangi dan/atau membuang kelebihan air dari suatu kawasan/lahan, sehingga
lahan dapat difungsikan secara optimal (Suripin, 2004).
Secara garis besar, drainase dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu (Suripin,
2004) :
a. Drainase permukaan adalah sistem drainase yang berkaitan dengan pengendalian aliran
air permukaan.
b. Drainase bawah permukaan adalah sistem drainase yang berkaitan dengan pengendalian
aliran air di bawah permukaan.

2.1.2 Kegunaan Sistem Drainase


Menurut M. Masduki Hardjosuprapto (1999), kegunaan drainase adalah sebagai
berikut :
a. Mengeringkan daerah becek dan genangan air
b. Menurunkan permukaan air tanah
c. Mengendalikan erosi tanah, kerusakan jalan dan sarana bangunan-bangunan lain.
Drainase dalam kota berfungsi untuk mengendalikan kelebihan air permukaan, sehingga
tidak akan mengganggu masyarakat yang ada di sekitar saluran tersebut (Hadihardjaja, 1997).
Drainase dalam kota mempunyai fungsi sebagai berikut (Hadihardjaja, 1997) :
a. Untuk mengalirkan genangan air atau banjir ataupun air hujan dengan cepat dari
permukaan jalan.
b. Untuk mencegah aliran air yang berasal dari daerah lain atau daerah di sekitar jalan yang
masuk ke daerah perkerasan ,jalan.
c. Untuk mencegah kerusakan jalan dan lingkungan yang diakibatkan oleh genangan air dan
jalan.

TIKA AYU KUSUMA W. II-1


21080114140111
Tugas Besar Perencanaan Sistem Drainase Lingkungan
Kelurahan Bugangan, Kecamatan Semarang Timur, Kota Semarang
2016
2.2 Analisis Hidrologi
2.2.1 Hidrologi
Hidrologi adalah suatu ilmu yang menjelaskan tentang kehadiran gerakan air di alam,
yang meliputi berbagai bentuk air yang menyangkut perubahan-perubahannya, antara lain :
keadaan zat cair, padat, dan gas dalam atmosfer di atas dan di bawah permukaan tanah, di
dalamnya tercakup pula air laut yang merupakan sumber dan penyimpanan air yang
mengaktifkan kehidupan di bumi. Tanpa kita sadari bahwa sebagian besar perencanaan
saluran drainase memerlukan analisis hidrologi (Soemarto, 1999).
Aspek hidrologi yang berkaitan erat dengan sistem drainase adalah hujan yang terjadi
di suatu kawasan. Hujan sebagai sumber air terbesar merupakan objek pertimbangan utama
dalam perencanaan sistem drainase. Hujan sangat berpengaruh terutama dalam penentuan
dimensi saluran drainase karena air hujan inilah yang harus segera dialirkan. Intensitas hujan
yang tinggi pada suatu kawasan dapat menyebabkan terjadinya genangan air pada jalan,
tempat parker, dan fasilitas-fasilitas lainnya. Oleh karena itu, harus direncanakan suatu sistem
drainase yang diharapkan mampu mengatasi kelebihan air dalam jumlah besar.

2.2.2 Analisis Data Hujan


Data hujan yang diperoleh dari alat penakar hujan merupakan hujan yang terjadi hanya
pada satu titik saja (point rainfall). Mengingat hujan sangat bervariasi terhadap tempat
(space), maka untuk kawasan yang luas, satu alat penakar hujan belum dapat menggambarkan
hujan wilayah tersebut (Suripin, 2004).
Curah hujan yang diperlukan untuk mengetahui profil muka air sungai dan rancangan
suatu drainase adalah curah hujan rata-rata di seluruh daerah yang bersangkutan, bukan curah
hujan pada suatu titik tertentu. Curah hujan wilayah atau daerah dan dinyatakan dalam
millimeter (mm) (Hidayat, 2010). Menentukan curah hujan rerata harian maksimum daerah
dilakukan berdasarkan pengamatan beberpa stasiun pencatat hujan. Perhitungan curah hujan
rata-rata maksimum ini dapat menggunakan beberapa metode, dintaranya (Suripin, 2004) :
1. Rata-rata aljabar
Merupakan metode yang paling sederhana dalam perhitungan huja kawasan. Metode
ini didasarkan pada asumsi bahwa semua penakar hujan mempunyai pengaruh setara.
Cara ini cocok untuk kawasan dengan topografi rata atau datar, alat penakar hujan
tersebar merata/hampir merata, dan harga individual curah hujan tidak terlalu jauh dari
harga rata-ratanya. Hujan kawasan diperoleh dari persamaan :

TIKA AYU KUSUMA W. II-2


21080114140111
Tugas Besar Perencanaan Sistem Drainase Lingkungan
Kelurahan Bugangan, Kecamatan Semarang Timur, Kota Semarang
2016
P1 +P2 +P3 +⋯+Pn
P=
n
Dimana :
P1, P2, P3,…, Pn = curah hujan yang tercatat di pos penakar hujan 1,2,3,…, n
n = banyaknya pos penakar hujan
2. Metode Poligon Thiessen
Metode ini memperhitungkan bobot dari masing-masing stasiun yang mewakili luasan
di sekitarnya. Pada suatu luasan di dalam DAS dianggap bahwa hujan adalah sama
dengan yang terjadi pada stasiun yang terdekat, sehingga hujan yang tercatat pada suatu
stasiun mewakili luasan tersebut. Metode ini digunakan apabila penyebaran stasiun hujan
di daerah yang ditinjau tidak merata. Hitungan curah hujan rerata dilakukan dengan
memperhitungkan daerah pengaruh dari setiap stasiun (Triatmodjo, 2010).

Gambar 2.1 Poligon Thiessen


Metode poligon Thiessen banyak digunakan untuk menghitung huja rerata kawasan.
Poligon Thiessen adalah tetap untuk suatu jaringan stasiun hujan tertentu. Apabila
terdapat perubahan jaringan stasiun hujan, seperti pemindahan atau penambahan stasiun,
maka harus dibuat lagi poligon yang baru.
Hasil metode Poligon Thiessen lebih akurat dibandingkan dengan metode rata-rata
aljabar. Cara ini cocok untuk daerah datar dengan luas 500 – 5000 km2, dan jumlah pos
penakar hujan terbatas dibandingkan luasnya (Suripin, 2004). Hujan rata-rata DAS dapat
dihitung dengan persamaan berikut :

P1 A1 + P2 A2 +⋯+Pn An
P=
A1 +A2 +⋯+An

TIKA AYU KUSUMA W. II-3


21080114140111
Tugas Besar Perencanaan Sistem Drainase Lingkungan
Kelurahan Bugangan, Kecamatan Semarang Timur, Kota Semarang
2016
dimana P1, P2,…, Pn adalah curah hujan yang tercatat di pos penakar hujan 1, 2,…, n. A1,
A2,…An adalah luas area poligon 1, 2,…, n.

3. Metode Isohyet
Isohyet adalah garis yang menghubungkan titik-titik dengan kedalaman hujan yang
sama. Pada metode ini, dianggap bahwa hujan pada suatu daerah di antara dua garis
isohyet adalah merata dan sama dengan nilai rerata dari kedua garis isohyet tersebut.
Secara matematis hujan rerata dapat dihitung dengan rumus (Triatmodjo, 2010):

I +I I +I I +I
A1 1 2 +A2 2 3 +⋯+ An n n+1
2 2 2
P=
A1 +A2 +⋯+An

dengan :
P : hujan rerata kawasan
I1, I2, …, In : garis isohyet ke 1, 2, 3, …, n, n+1
A1, A2, …, An : luas daerah yang dibatasi oleh garis isohyet ke 1 dan 2, 2 dan 3, …, n
dan n+1
Metode Isohyet merupakan cara paling teliti untuk menghitung kedalaman hujan
rerata di suatu daerah, tetapi cara ini membutuhkan pekerjaan dan perhatian yang lebih
banyak dibanding dua metode sebelumnya.

Gambar 2.2 Garis Isohyet

TIKA AYU KUSUMA W. II-4


21080114140111
Tugas Besar Perencanaan Sistem Drainase Lingkungan
Kelurahan Bugangan, Kecamatan Semarang Timur, Kota Semarang
2016
2.2.3 Analisis Frekuensi Curah Hujan
Frekuensi hujan adalah besarnya kemungkinan suatu besaran hujan disamai atau
dilampaui (Suripin, 2004). Sedangkan periode ulang/kala ulang didefinisikan sebagai waktu
hipotetik dimana debit atau hujan dengan besaran tertentu (XT) akan disamai atau dilampaui
sekali dalam jangka waktu tersebut (Triatmodjo, 2010).
Tujuan dari analisis frekuensi data hidrologi adalah mencari hubungan antara besarnya
kejadian ekstrim terhadap frekuensi kejadian dengan menggunakan distribusi probabilitas.
Besarnya kejadian ekstrim mempunyai hubungan terbalik dengan probabilitas kejadian,
misalnya frekuensi kejadian debit banjir besar adalah lebih kecil dibanding dengan frekuensi
debit-debit sedang atau kecil. Dengan analisis frekuensi akan diperkirakan besarnya banjir
dengan interval kejadian tertentu seperti 10 tahunan, 100 tahunan atau 1000 tahunan, dan juga
berapakah frekuensi banjir dengan besar tertentu yang mungkin terjadi selama suatu periode
waktu, misalnya 100 tahun (Triatmodjo, 2010).
Analisis frekuensi dapat diterapkan untuk data debit sungai atau data hujan. Data yang
digunakan adalah data debit atau hujan maksimum tahunan, yaitu data terbesar yang terjadi
selama satu tahun, yang terukur selama beberapa tahun (Triatmodjo, 2010). Analisis frekuensi
atas data hidrologi harus memenuhi syarat tertentu untuk data yang bersangkutan, yaitu harus
seragam (homogenous), independent, dan representative (Haan, 1977).

2.2.4 Pemilihan Jenis Sebaran


Dalam analisis frekuensi data hidrologi baik data hujan maupun data debit sungai
terbukti bahwa sangat jarang dijumpai seri data yang sesuai dengan sebaran normal.
Sebaliknya, sebagian besar data hidrologi sesuai dengan jenis sebaran yang lainnya.
Masing-masing sebaran memiliki sifat khusus sehingga setiap data hidrologi harus
diuji kesesuaiannya dengan sifat statisti masing-masing sebaran tersebut. Pemilihan sebaran
yang tidak benar dapat menyebabkan kesalahan perkiraan yang cukup besar. Dengan
demikian pengambilan salah satu sebaran secara sembarang untuk analisis tanpa pengujian
data hidrologi sangat tidak dianjurkan.
Adapun cara pengukuran dispersi (sebaran) menurut Soewarno (1995), adalah sebagai
berikut :
a. Standar Deviasi (S)
Standar deviasi disebut juga simpangan baku. Seperti halnya varian, standar deviasi juga
merupakan suatu ukuran dispersi. Standar deviasi merupakan ukuran dispersi yang paling

TIKA AYU KUSUMA W. II-5


21080114140111
Tugas Besar Perencanaan Sistem Drainase Lingkungan
Kelurahan Bugangan, Kecamatan Semarang Timur, Kota Semarang
2016
banyak dipakai. Hal ini mungkin karena standar deviasi mempunyai satuan ukuran yang
sama dengan satuan ukuran data asalnya. Persamaan standar deviasi (Soemarto, 1999) :

∑n ̅ 2
i=1(Xi − X)
S=√
n−1

dimana :
S = standar deviasi
Xi = nilai variat ke i
̅
X = nilai rata-rata variat
n = jumlah data
b. Koefisien Skewness (Cs)
Kemencengan (skewness) adalah suatu nilai yang menunjukkan derajat ketidaksimetrisan
dari suatu bentuk distribusi. Persamaan koefisien skewness (Soemarto, 1999) :
n ∑n ̅ 3
i=1(Xi −X)
Cs =
(n−1)(n−2) S3
dimana :
Cs = Koefisien Skewness
Xi = nilai variat ke i
̅ = nilai rata-rata variat
X
n = jumlah data
S = standar deviasi
c. Koefisien Kurtosis
Pengukuran kurtosis dimaksudkan untuk mengukur keruncingan dari bbentuk kurva
distribusi, yang umunya dibandingkan dengan distribusi normal. Menurut Soewarno
(1995) pengukuran kurtosis merupakan kepuncakan (peakness) distribusi. Biasanya hal
ini dibandingkan dengan distribusi normal yang mempunyai Ck = 3. Nilai Ck = 3
dinamakan mesokurtik, Ck < 3 berpuncak tajam dinamakan leptokurtik, sedangkan Ck >
3 berpuncak datar dinamakan platikurtik. Persamaan koefisien kurtosis adalah sebagai
berikut (Soemarto, 1999) :
1
∑n ̅ 4
i=1(Xi −X)
n
Ck =
S4
dimana :
Ck = Koefisien kurtosis

TIKA AYU KUSUMA W. II-6


21080114140111
Tugas Besar Perencanaan Sistem Drainase Lingkungan
Kelurahan Bugangan, Kecamatan Semarang Timur, Kota Semarang
2016
Xi = nilai varian ke i
̅
X = nilai rata-rata varian
n = jumlah data
S = standar deviasi
d. Koefisien Variasi
Koefisien variasi adalah nilai perbandingan antara deviasi standar dengan nilai rata-rata
hitung suatu distribusi. Persamaan koefisien variasi adalah sebagai berikut (Soemarto,
1999) :
S
Cv = X̅

dimana :
Cv = Koefisien variasi
̅
X = nilai rata-rata variasi
S = standar deviasi
Tabel 2.1 Syarat Pemilihan Jenis Sebaran
Jenis Sebaran Syarat
Cs ≈ 0
Normal
Ck = 3
Cs ≈ 3Cv + Cv2 =3
Log Normal
Ck = 5,383
Cs ≤ 1,1396
Gumbel
Ck ≤ 5,4002
Cs ҂ 0
Log Pearson Type III Selain yang menjadi syarat distribusi
Normal, Log Normal, dan Gumbel
Sumber : Soemarto, 1999

2.2.5 Analisis Distribusi Frekuensi


Ada beberapa bentuk fungsi distribusi teoritis yang sering digunakan dalam analisis
frekuensi untuk hidrologi, antara lain distribusi normal, distribusi gumbel, dan distribusi log
pearson type III.
1. Distribusi Normal
Distribusi normal adalah simetris terhadap sumbu vertikal dan berbentuk lonceng yang
juga disebut distribusi Gauss. Distribusi normal memiliki dua parameter yaitu rerata µ
̅ dan deviasi standar S
dan deviasi standar σ dari populasi. Dalam praktik, nilai rerata X
diturunkan dari data sampel untuk menggantikan µ dan σ (Triatmodjo, 2010).

TIKA AYU KUSUMA W. II-7


21080114140111
Tugas Besar Perencanaan Sistem Drainase Lingkungan
Kelurahan Bugangan, Kecamatan Semarang Timur, Kota Semarang
2016

Gambar 2.3 Kurva Distribusi Frekuensi Normal


secara matematis dapat ditulis sebagai berikut (Suripin, 2004) :
XT = ̅
X + KT. S
dengan :
XT : perkiraan nilai yang diharapkan terjadi dengan periode ulang T-tahunan
̅
X : nilai rata-rata hitung variat
KT : faktor frekuensi, merupakan fungsi dari peluang atau periode ulang dan tipe
model matematik distribusi peluang yang digunakan dalam analisis peluang
S : deviasi standar nilai variat

Nilai faktor frekuensi KT umumnya sudah tersedia dalam tabel untuk mempermudah
perhitungan. Berikut ini adalah tabel nilai variabel reduksi Gauss.
Tabel 2.2 Nilai Variabel Reduksi Gauss
Perode Ulang, T
No Peluang KT
(tahun)
1 1,001 0,999 -3,05
2 1,005 0,995 -2,58
3 1,010 0,990 -2,33
4 1,050 0,950 -1,64
5 1,110 0,900 -1,28
6 1,250 0,800 -0,84
7 1,330 0,750 -0,67
8 1,430 0,700 -0,52
9 1,670 0,600 -0,25
10 2,000 0,500 0
11 2,500 0,400 0,25
12 3,330 0,300 0,52
13 4,000 0,250 0,67
14 5,000 0,200 0,84

TIKA AYU KUSUMA W. II-8


21080114140111
Tugas Besar Perencanaan Sistem Drainase Lingkungan
Kelurahan Bugangan, Kecamatan Semarang Timur, Kota Semarang
2016
Perode Ulang, T
No Peluang KT
(tahun)
15 10,000 0,100 1,28
16 20,000 0,050 1,64
17 50,000 0,020 2,05
18 100,000 0,010 2,33
19 200,000 0,005 2,58
20 500,000 0,002 2,88
21 1000,000 0,001 3,09
Sumber :Bonnier, 1980 dalam Suripin, 2004
2. Distribusi Gumbel
Distribusi Gumbel banyak digunakan untuk analisis data maksimum, seperti untuk
analisis frekuensi banjir (Triatmodjo, 2010). Distribusi Gumbel mempunyai sifat bahwa
koefisien skewness Cv = 1,1396 dan koefisien kurtosis Ck = 5,4 (Sri Harto, 1993 dalam
Triatmodjo, 2010). Persamaan untuk distribusi Gumbel adalah (Suripin, 2004) :
X=̅
X + K. S
dengan :
̅
X : harga rata-rata sampel
S : standar deviasi/simpangan baku sampel
K : faktor probabilitas

Faktor probabilitas K untuk harga-harga ekstrim Gumbel dapat dinyatakan dalam


persamaan :
YTr − Yn
K=
Sn

Yn : reduced mean yang tergantung jumlah sampel/data


Sn : reduced standard deviation yang juga tergantung pada jumlah sampel/data
YTr : reduced variate yang dapat dihitung dengan persamaan berikut ini.
Tr −1
YTr = -ln (−ln Tr
)

Tabel 2.3 Nilai Yn dan Sn Fungsi Jumlah Data


n Yn Sn n Yn Sn n Yn Sn
8 0,4843 0,9043 39 0,5430 1,1388 70 0,5548 1,1854
9 0,4902 0,9288 40 0,5436 1,1413 71 0,5550 1,1863
10 0,4952 0,9496 41 0,5442 1,1436 72 0,5552 1,1873
11 0,4996 0,9676 42 0,5448 1,1458 73 0,5555 1,1881
12 0,5053 0,9833 43 0,5453 1,1480 74 0,5557 1,1890

TIKA AYU KUSUMA W. II-9


21080114140111
Tugas Besar Perencanaan Sistem Drainase Lingkungan
Kelurahan Bugangan, Kecamatan Semarang Timur, Kota Semarang
2016
n Yn Sn n Yn Sn n Yn Sn
13 0,5070 0,9972 44 0,5258 1,1490 75 0,5559 1,1898
14 0,5100 1,0098 45 0,5463 1,1518 76 0,5561 1,1906
15 0,5128 1,0206 46 0,5468 1,1538 77 0,5563 1,1915
16 0,5157 1,0316 47 0,5473 1,1557 78 0,5565 1,1923
17 0,5181 1,0411 48 0,5447 1,1574 79 0,5567 1,1930
18 0,5202 1,0493 49 0,5481 1,1590 80 0,5569 1,1938
19 0,5220 1,0566 50 0,5485 1,1607 81 0,5570 1,1945
20 0,5235 1,0629 51 0,5489 1,1623 82 0,5572 1,1953
21 0,5252 1,0696 52 0,5493 1,1638 83 0,5574 1,1959
22 0,5268 1,0754 53 0,5497 1,1653 84 0,5576 1,1967
23 0,5283 1,0811 54 0,5501 1,1667 85 0,5578 1,1973
24 0,5296 1,0864 55 0,5504 1,1681 86 0,5580 1,1980
25 0,5309 1,0914 56 0,5508 1,1696 87 0,5581 1,1987
26 0,5320 1,0961 57 0,5511 1,1708 88 0,5583 1,1994
27 0,5332 1,1004 58 0,5515 1,1721 89 0,5585 1,2001
28 0,5343 1,1047 59 0,5518 1,1734 90 0,5586 1,2007
29 0,5353 1,1086 60 0,5521 1,1747 91 0,5587 1,2013
30 0,5362 1,1124 61 0,5524 1,1759 92 0,5589 1,2020
31 0,5371 1,1159 62 0,5527 1,1770 93 0,5591 1,2026
32 0,5380 1,1193 63 0,5530 1,1782 94 0,5592 1,2032
33 0,5388 1,1226 64 0,5533 1,1793 95 0,5593 1,2038
34 0,5396 1,1255 65 0,5535 1,1803 96 0,5595 1,2044
35 0,5403 1,1285 66 0,5538 1,1814 97 0,5596 1,2049
36 0,5410 1,1313 67 0,5540 1,1824 98 0,5598 1,2055
37 0,5418 1,1339 68 0,5543 1,1834 99 0,5599 1,2060
38 0,5424 1,1363 69 0,5545 1,1844 100 0,5600 1,2065
Sumber : Triatmodjo, 2010
Tabel 2.4 Reduced Variate, YTr sebagai Fungsi Periode Ulang
Periode Ulang, Periode Ulang,
Reduced Variate, YTr Reduced Variate, YTr
Tr (tahun) Tr (tahun)
2 0,3668 100 4,6012
5 1,5004 200 5,2969
10 2,2510 250 5,5206
20 2,9709 500 6,2149
25 3,1993 1000 6,9087
50 3,9028 5000 8,5188
75 4,3117 10000 9,2121
Sumber : Suripin, 2004
3. Distribusi Log Pearson Type III
Pearson telah mengembangkan banyak model matematik fungsi distribusi untuk membuat
persamaan empiris dari suatu distribusi. Ada 12 tipe distribusi Pearson, namun hanya
distribusi Log Pearson III yang banyak digunakan dalam hidrologi, terutama dalam
analisis data maksimum. Bentuk distribusi Log Pearson III merupakan hasil transformasi

TIKA AYU KUSUMA W. II-10


21080114140111
Tugas Besar Perencanaan Sistem Drainase Lingkungan
Kelurahan Bugangan, Kecamatan Semarang Timur, Kota Semarang
2016
dari distribusi Pearson III dengan transformasi variat menjadi nilai log (Triatmodjo,
2010). Hujan rencana kala ulang T tahun dapat dihitung dengan rumus berikut :
Log XT = Log ̅
X + K.S
dengan :
XT : perkiraan nilai yang diharapkan terjadi dengan periode ulang T-tahunan
̅
X : nilai rata-rata hitung variat
S : deviasi standar nilai variat
K : variabel standar (standardized variable) untuk X yang besarnya tergantung
koefisien kemencengan G (skewness).
Tabel berikut memperlihatkan harga K untuk berbagai nilai kemencengan G.
Tabel 2.5 Nilai K untuk Distribusi Frekuensi Log Pearson III
Interval kejadian (Recurrence interval), tahun (periode ulang)
1,0101 1,2500 2 5 10 25 50 100
Koef, G Persentase peluang terlampaui (Percent chance of being exceeded)
99 80 50 20 10 4 2 1
3,0 -0,667 -0,536 -0,396 0,420 1,180 2,278 3,152 4,051
2,8 -0,714 -0,666 -0,384 0,460 1,210 2,275 3,114 3,973
2,6 -0,769 -0,696 -0,368 0,499 1,238 2,267 3,071 2,889
2,4 -0,832 -0,725 -0,351 0,537 1,262 2,256 3,023 3,800
2,2 -0,905 -0,752 -0,330 0,574 1,284 2,240 2,970 3,705
2,0 -0,990 -0,777 -0,307 0,609 1,302 2,219 2,192 3,605
1,8 -1,087 -0,799 -0,282 0,643 1,318 2,193 2,848 3,499
1,6 -1,197 -0,817 -0,254 0,675 1,329 2,163 2,780 3,388
1,4 -1,318 -0,832 -0,225 0,705 1,337 2,128 2,706 3,271
1,2 -1,449 -0,844 -0,195 0,732 1,340 2,087 2,626 3,149
1,0 -1,588 -0,852 -0,164 0,758 1,340 2,043 2,542 3,022
0,8 -1,733 -0,856 -0,132 0,780 1,336 1,993 2,453 2,981
0,6 -1,880 -0,857 -0,099 0,800 1,328 1,939 2,359 2,755
0,4 -2,029 -0,855 -0,066 0,816 1,317 1,880 2,261 2,615
0,2 -2,178 -0,850 -0,033 0,830 1,301 1,818 2,159 2,472
0,0 -2,326 -0,842 0,000 0,842 1,282 1,751 2,051 2,326
-0,2 -2,472 -0,830 0,033 0,850 1,258 1,680 1,945 2,178
-0,4 -2,615 -0,816 0,066 0,855 1,231 1,606 1,834 2,029
-0,6 -2,755 -0,800 0,099 0,857 1,200 1,528 1,720 1,880
-0,8 -2,891 -0,780 0,132 0,856 1,166 1,448 1,606 1,733
-1,0 -3,022 -0,758 0,164 0,852 1,128 1,366 1,492 1,588
-1,2 -2,149 -0,732 0,195 0,844 1,086 1,282 1,379 1,449
-1,4 -2,271 -0,705 0,225 0,832 1,041 1,198 1,270 1,318
-1,6 -2,388 -0,675 0,254 0,817 0,994 1,116 1,166 1,197
-1,8 -2,499 -0,643 0,282 0,799 0,945 1,035 1,069 1,087

TIKA AYU KUSUMA W. II-11


21080114140111
Tugas Besar Perencanaan Sistem Drainase Lingkungan
Kelurahan Bugangan, Kecamatan Semarang Timur, Kota Semarang
2016
Interval kejadian (Recurrence interval), tahun (periode ulang)
1,0101 1,2500 2 5 10 25 50 100
Koef, G Persentase peluang terlampaui (Percent chance of being exceeded)
-2,0 -3,605 -0,609 0,307 0,777 0,895 0,959 0,980 0,990
-2,2 -3,705 -0,574 0,330 0,752 0,844 0,888 0,900 0,905
-2,4 -3,800 -0,537 0,351 0,725 0,795 0,823 0,830 0,832
-2,6 -3,889 -0,490 0,368 0,696 0,747 0,764 0,768 0,769
-2,8 -3,973 -0,469 0,384 0,666 0,702 0,712 0,714 0,714
-3,0 -7,051 -0,420 0,396 0,636 0,660 0,666 0,666 0,667
Sumber : Suripin, 2004
Bila nilai Log XT sudah diketahui, langkah selanjutnya adalah antilog nilai tersebut untuk
mengetahui besarnya nilai hujan rencana.

2.2.6 Analisis Intensitas Hujan


Intensitas hujan adalah tinggi atau kedalaman air hujan per satuan waktu. Sifat umum
hujan adalah makin singkat hujan berlangsung intensitasnya cenderung makin tinggi dan
makin besar periode ulangnya makin tinggi pula intensitsanya. Hubungan antara intensitas,
lama hujan, dan frekuensi hujan biasanya dinyatakan dalam lengkung Intensitas-Durasi-
Frekuensi (IDF = Intensity-Duration-Frequency Curve). Diperlukan data hujan jangka
pendek, misalnya 5 menit, 10 menit, 30 menit, 60 menit, dan jam-jaman untuk membentuk
lengkung IDF. Data hujan jenis ini hanya dapat diperoleh dari pos penakar hujan otomatis.
Selanjutnya, berdasarkan data hujan jangka pendek tersebut lengkung IDF dapat dibuat
dengan salah satu dari beberapa persamaan berikut :
1. Rumus Talbot
Rumus ini banyak digunakan karena mudah diterapkan dan tetapan-tetapan a dan b
ditentukan dengan harga-harga terukur.
a
I=
t+b
dimana :
I : intensitas hujan (mm/jam)
t : lamanya hujan (jam)
a dan b : konstanta yang tergantung pada lamanya hujan yang terjadi di DAS
[I.t][I2 ]−[I2 .t][I] [I][I.t]−N[I2 .t]
a= b=
N [I2 ]−[I][I] N[I2 ]−[I][I]

TIKA AYU KUSUMA W. II-12


21080114140111
Tugas Besar Perencanaan Sistem Drainase Lingkungan
Kelurahan Bugangan, Kecamatan Semarang Timur, Kota Semarang
2016
2. Rumus Sherman
Rumus ini mungkin cocok untuk jangka waktu curah hujan yang lamanya lebih dari 2
jam.
a
I=
tn
dimana :
I : intensitas hujan (mm/jam)
t : lamanya hujan (jam)
n : konstanta
[log I][(log t)2 ]−[log t.log I][log t]
log a =
N [(log t)2 ]−[log t][log t]

[log I][log t]−N[log t.log I]


b=
N [(log t)2 ]−[log t][log t]

3. Rumus Ishiguro
a
I=
√t+b
dimana :
I : intensitas hujan (mm/jam)
t : lamanya hujan (jam)
a dan b : konstanta
[I.√t][I2 ]−[I2 .√t][I] [I][I.√t]−N[I2 .√t]
a= b=
N [I2 ]−[I][I] N[I2 ]−[I][I]

Apabila data hujan jangka pendek tidak tersedia, yang ada hanya data hujan harian, maka
intensitas hujan dapat dihitung dengan rumus Mononobe.
R24 24 2
I=
24
(t)
dimana :
I : intensitas hujan (mm/jam)
t : lamanya hujan (jam)
R24 : curah hujan maksimum harian (selama 24 jam) (mm)

TIKA AYU KUSUMA W. II-13


21080114140111
Tugas Besar Perencanaan Sistem Drainase Lingkungan
Kelurahan Bugangan, Kecamatan Semarang Timur, Kota Semarang
2016
2.3 Analisis Dimensi Saluran
2.3.1 Analisis Debit Puncak
Ada beberapa metode untuk memperkirakan laju aliran puncak (debit banjir). Metode
yang dipakai pada suatu lokasi lebih banyak ditentukan oleh ketersediaan data. Dalam praktik,
perkiraan debit banjir dilakukan dengan beberapa metode dan debit banjir rencana ditentukan
berdasarkan pertimbangan teknis (engineering judgement). Metode yang umum digunakan
adalah metode rasional (Suripin, 2004).
1. Metode Rasional
Metode rasional banyak digunakan untuk memperkirakan debit puncak yang ditimbulkan
oleh hujan deras pada daerah tangkapan (DAS) kecil (Triatmodjo, 2010). Suatu DAS disebut
kecil apabila distribusi hujan dapat dianggap seragam dalam ruang dan waktu, dan biasanya
durasi hujan melebihi waktu konsentrasi. Beberapa ahli memandang bahwa luas DAS kurang
dari 2,5 km2 dapat dianggap sebagai DAS kecil. Sementara menurut Goldman et.al (1986)
dalam Suripin (2004) DAS kecil yaitu kurang dari 300 Ha (3 km2).
Pemakaian metode rasional sangat sederhana dan sering digunakan dalam perencanaan
drainase perkotaan. Beberapa parameter hidrologi yang diperhitungkan adalah intensitas
hujan, durasi hujan, frekuensi hujan, luas DAS, abstraksi (kehilangan air akibat evaporasi,
intersepsi, infiltrasi, tampungan permukaan) dan konsentrasi aliran. Persamaan umum metode
rasional untuk menghitung debit puncak adalah sebagai berikut :
QT = 0,278.K.C.I.A
dengan :
K : koefisien koreksi
C : koefisien limpasan yang nilainya bergantung pada penggunaan ahan, jenis dan tipe
tanaman penutup, dan kemiringan lereng tanah
I : Intensitas hujan rata-rata dengan durasi sama dengan waktu konsentrasi tc (mm/jam)
A : Luas DAS (km2)
Pendekatan untuk faktor koreksi K, dihubungkan dengan luas tangkapan air A adalah
sebagai berikut :
A < 20 Ha K=1
20 Ha < A < 50 Ha K = 1,05
50 Ha < A < 100 Ha K = 1,10
A > 100 Ha K = 1,15

TIKA AYU KUSUMA W. II-14


21080114140111
Tugas Besar Perencanaan Sistem Drainase Lingkungan
Kelurahan Bugangan, Kecamatan Semarang Timur, Kota Semarang
2016
Tabel 2.6 Tipikal Nilai Koefisien Runoff (C) di Daerah Perkotaan
Tipe Daerah Aliran Koefisien Runoff (C) Jenis Permukaan Koefisien Runoff (C)
Pusat Kota 0,70-0,95 Aspal dan Paving Blok 0,70-0,95
Daerah Perdagangan 0,50-0,70 Atap 0,75-0,95
Industri 0,50-0,90 Rumput 0,05-0,35
Perumahan/Apartemen 0,30-0,70
Taman dan Kebun 0,05-0,03
Sumber : Urban Water Resources Council, 1992

2.3.2 Waktu Konsentrasi


Waktu konsentrasi adalah waktu yang diperlukan oleh air hujan yang jatuh untuk
mengalir dari titik terjauh sampai ke tempat keluaran DAS (titik kontrol) setelah tanah
menjadi jenuh dan depresi-depresi kecil terpenuhi. Waktu konsentrasi dapat dihitung dengan
membedakannya menjadi dua komponen, yaitu (1) waktu yang diperlukan air untuk mengalir
di lahan sampai saluran terdekat dan (2) waktu perjalanan dari awal masuk saluran sampai
titik keluaran (Suripin, 2004). Secara matematis dapat ditulis sebagai berikut :
tc = to + td
dimana :
tc : waktu konsentrasi (menit)
to : waktu aliran limpasan permukaan (waktu mengalir di lahan) (menit)
td : waktu untuk mengalir di saluran (menit)

Waktu mengalir di lahan (to) bergantung pada karakteristik DAS seperti kekasaran
permukaan, kemiringan dan panjang lahan, serta karakteristik hujan. Umumnya to dapat
dihitung dengan beberapa rumus empiris.
Formula Kirpich : Formula Hathway : Formula Kerby :
0,06628 L0,77 0,606 (L x n)0,467 7,216 n L 0,324
to = to = to = [ ]
S0,385 S0,234 S0,5

dimana :
to : waktu konsentrasi aliran permukaan (jam), untuk formula Kerby satuan menit
L : panjang lintasan aliran (km), untuk formula Kerby L maksimum 365 m
S : kemiringan (slope) lahan (m/m)
n : koefisien kekasaran Manning untuk aliran di atas permukaan

TIKA AYU KUSUMA W. II-15


21080114140111
Tugas Besar Perencanaan Sistem Drainase Lingkungan
Kelurahan Bugangan, Kecamatan Semarang Timur, Kota Semarang
2016
Tabel 2.7 Nilai n untuk Aliran Permukaan
Jenis Permukaan Nilai n
Halus, kedap air 0,02
Halus, tanah terbuka 0,10
Berumput jarang, tanaman berjajar atau tanah
0,20
kosong bergelombang
Padang rumput 0,40
Hutan kayu berdaun rontok 0,60
Hutan cemara 0,80

Sedangkan formula untuk menghitung td yang umum digunakan adalah :


L 1
td = ; v = R2/3 S1/2
60 v n
dimana :
td : waktu untuk mengalir dalam saluran
L : panjang saluran (m)
v : kecepatan aliran dalam saluran (m/s)
n : koefisien Manning
R : radius hidraulik (m) = A/P
A : Luas penampang basah aliran (m2)
P : Keliling basah aliran (m)
Tabel 2.8 Nilai n untuk Aliran di Saluran
Jenis Saluran Koefisien Manning (n)
1. Saluran Galian
a. Saluran tanah 0,22
b. Saluran pada batuan, digali merata 0,035

2. Saluran dengan Lapisan Perkerasan


0,015
a. Lapisan beton seluruhnya
b. Lapisan beton pada kedua sisi saluran 0,020
c. Lapisan blok beton pracetak 0,017
d. Pasangan batu di plester 0,020
e. Pasangan batu, diplester pada kedua sisi saluran 0,022
f. Pasangan batu, disiar 0,025
g. Pasangan batu kosong
0,030
3. Saluran Alam
a. Berumput 0,027
b. Semak-semak 0,050
c. Tak beraturan, banyak semak dan pohon, batang 0,015
pohon banyak jatuh ke saluran
Sumber : Notodihardjo, 1998 dalam Hidayat, 2010

TIKA AYU KUSUMA W. II-16


21080114140111
Tugas Besar Perencanaan Sistem Drainase Lingkungan
Kelurahan Bugangan, Kecamatan Semarang Timur, Kota Semarang
2016
2.3.3 Penentuan Dimensi Saluran
Dalam perencanaan dimensi saluran, harus direncanakan agar memperoleh tampang
yang ekonomis. Dimensi saluran yang terlalu besar berarti tidak ekonomis, sebaliknya
dimensi yang terlalu kecil mengakibatkan peluang kegagalan semakin besar. Adapun bentuk
penampang yang sering dijumpai adalah bentuk empat persegi panjang.
1. Saluran berbentuk empat persegi panjang
Bentuk penampang empat persegi panjang dipakai untuk debit-debit yang besar. Untuk
membuat saluran seperti ini biasanya dibuat pada daerah yang memiliki luasan yang
kecil, hanya didukung oleh konstruksi yang kokoh dan digunakan untuk saluran air hujan,
air rumah tangga, dan lain-lain.

Gambar 2.4 Saluran Bentuk Empat Persegi Panjang


a. Luas penampang basah (A)
A=bxh
b. Keliling basah (P)
P = b + 2h
c. Jari-jari hidrolis (R)
R = A/P
Tabel 2.9 Unsur Geometrik Penampang Hidrolis Terbaik
Keliling Jari – jari Lebar
No. Penampang Melintang Luas (A)
Basah (P) Hidrolis (R) Puncak (T)
Trapesium (setengah segi 3 6 1 4
1 Y2 Y Y Y
enam) √3 √3 2 √3

Persegi panjang (setengah 1


2 2Y2 4Y 2
Y 2Y
bujur sangkar)
Segitiga (setengah bujur 4 1
3 Y2 Y √2 Y 2Y
sangkar) √2 4
𝜋 1
4 Setengah lingkaran 2
Y2 πY Y 2Y
2
4 8 1
5 Parabola 3
√2 Y2 3
√2 Y 2
Y 2 √2 Y
6 Lengkung hidrolis 1,3959 Y 2,9836 Y 0,46784 Y 1,917532 Y
Sumber : Wesli, 2008

TIKA AYU KUSUMA W. II-17


21080114140111
Tugas Besar Perencanaan Sistem Drainase Lingkungan
Kelurahan Bugangan, Kecamatan Semarang Timur, Kota Semarang
2016
Untuk mencegah gelombang atau kenaikan muka air yang melimpah ke tepi, maka
perlu tinggi jagaan pada saluran, yaitu jarak vertikal dari puncak saluran ke permukaan air
pada kondisi debit rencana. Tinggi jagaan ini (F) berkisar 5% sampai 30% dari kedalaman
aliran.
Kemiringan dasar saluran diusahakan agar mengikuti kemiringan permukaan tanah
dengan tujuan efisiensi pekerjaan galian dan biaya pelaksanaan. Kemiringan dasar saluran
mempengaruhi kecepatan aliran. Jika kemiringan saluran terlalu kecil, maka kecepatan aliran
menjadi rendah, sehingga menyebabkan pengendapan sedimen dan dimensi saluran menjadi
besar. Untukitu, kecepatan minimum aliran di saluran dibatasi 0,5 – 0,6 m/detik. Namun, jika
kemiringan dasar saluran lebih besar dari muka tanah, maka galian dasar saluran di bagian
hilir lebih dalam dibandingkan kedalaman galian normal, sehingga biaya lebih mahal.
Kecepatan maksimum pada saluran ditunjukkan pada tabel berikut :
Tabel 2.10 Batasan Kecepatan Maksimum di Saluran (v maksimum)
Bahan Konstruksi Saluran v max (m/detik)
Saluran tanah biasa 1,00
Saluran tanah keras 1,50
Saluran batu kosong 2,00
Saluran pasangan batu belah 3,00
Saluran konstruksi beton 4,00
Sumber : Triatmodjo, 2010
Dimensi saluran harus mampu mengalirkan debit rencana atau dengan kata lain debit
yang dialirkan oleh saluran (Qs) sama atau lebih besar dari debit rencana (Qt). hubungan ini
ditunjukkan sebagai berikut :
Qs ≥ Qt
Debit suatu penampang saluran (Qs) dapat diperoleh dengan menggunakan rumus
seperti di bawah ini :
Qs = A.v
Kecepatan rata – rata aliran di dalam saluran dapat dihitung dengan menggunakan
rumus Manning sebagai berikut :
1 𝐴
v = 𝑛 R2/3 S1/2, dengan R = 𝑃

dimana :
v = kecepatan rata – rata aliran di dalam saluran (m/detik)
n = koefisien kekasaran Manning
R = jari – jari hidrolis (m)
S = kemiringan dasar saluran
TIKA AYU KUSUMA W. II-18
21080114140111

Anda mungkin juga menyukai