Anda di halaman 1dari 19

PEMAHAMAN PRAKTIS PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21,

”KOMPREHENSIF DAN LENGKAP”

Disusun oleh:

Deddy Arief Setiawan, S.E.,M.Si.

ABSTRAK

Dinamika ketentuan peraturan perpajakan sejalan dengan peningkatan penerimaan negara sektor
perpajakan. Pemahaman praktis pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 secara komprehensif dan lengkap
harus berdasarkan perubahan ketentuan peraturan perpajakan yang berlaku dari Undang-undang,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, Peraturan Direktur Jenderal Pajak, Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak, dan Surat Direktur Jenderal Pajak. Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21
dilakukan atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam
bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri. Mekanisme
pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 meliputi unsur pemotong, objek, tarif dan dasar penghitungannya.
Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21 terbagi menjadi dua yaitu, pemberi kerja yang wajib melakukan
pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan yang tidak wajib. Sedangkan mekanisme objek, tarif dan
dasar penghitungan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 terinci dalam matriks yang mudah dipahami
oleh Wajib Pajak sebagai masyarakat pembayar pajak dan fiskus sebagai pengumpul uang dari sektor
perpajakan tersebut sehingga mereka mempunyai kesamaan pemahaman pemotongan Pajak Penghasilan
Pasal 21. Pemotongan Pajak Penghasilan pasal 21 wajib disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir dan wajib dilaporkan paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa
Pajak berakhir. Pelaporan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 menggunakan Surat Pemberitahuan
Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 beserta Daftar Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan Bukti
Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21, baik Surat Pemberitahuan Masa yang bentuk elektronik (e-SPT)
maupun manual.

Kata Kunci: Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21.

I. PENDAHULUAN
Perubahan Undang Undang Pajak Penghasilan yang berlaku sekarang adalah Undang-undang Nomor
7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
undang Nomor 36 Tahun 2008, yang diharapkan untuk dapat mengamankan penerimaan negara yang
semakin meningkat, mewujudkan sistem perpajakan yang netral, sederhana, stabil, lebih memberikan
keadilan, dan lebih dapat menciptakan kepastian hukum serta transparansi. Upaya pengamanan penerimaan
negara dari sektor perpajakan terlihat dari perubahan-perubahan tarif perpajakan yang tertuang dalam
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 terutama dari tarif pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21.
-2-

Pemahaman pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 sejalan dengan perubahan ketentuan peraturan
perpajakan dari Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, Peraturan Direktur
Jenderal Pajak, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak, dan Surat Direktur Jenderal Pajak.
Dalam pengajaran Program Studi Administrasi Perpajakan di kampus Sekolah Tinggi Ilmu
Administrasi Mandala Indonesia (STIAMI), saya memberikan materi Pemotongan dan Pemungutan Pajak
(Kode POT101) pertama kali di Semester Ganjil Tahun Ajaran 2011/2012. Sebelumnya materi tersebut
belum ada dan pembahasan pemotongan dan pemungutan pajak dijelaskan saat memberikan materi Pajak
Penghasilan I dan Pajak Penghasilan II. Saat ini kampus STIAMI sudah tepat melakukan mapping materi
Pajak Penghasilan yaitu, Pajak Penghasilan I tentang uraian Pajak Penghasilan terkait pelaksanaan hak dan
kewajiban Wajib Pajak Orang Pribadi, Pajak Penghasilan II tentang Pajak Penghasilan terkait pelaksanaan
hak dan kewajiban Wajib Pajak Badan, dan Pajak Penghasilan II tentang Pajak Penghasilan terkait
pelaksanaan hak dan kewajiban Wajib Pajak Pemotong/Pemungut. Pelaksanaan mapping materi Pajak
Penghasilan ini sejalan dengan pendidikan dan pelatihan perpajakan lanjutan di Brevet A, B dan C. Materi
Pajak Penghasilan yang diberikan di Brevet A, B dan C meliputi, Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang
Pribadi, Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan, dan Pajak Penghasilan Pemotongan dan Pemungutan.
Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut diatas, tepatlah kalau penulisan ini bertemakan Pemahaman
Praktis Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21, ”Komprehensif dan Lengkap”. Komprehensif terhadap
seluruh ketentuan peraturan perpajakan yang berlaku sampai dengan penulisan ini dibuat dan lengkap
terhadap elemen-elemen hukum perpajakan seperti, pemotong, objek, tarif dan dasar penghitungan Pajak
Penghasilan Pasal 21.

II. MAKSUD DAN TUJUAN


Penulisan yang bertemakan Pemahaman Praktis Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21,
”Komprehensif dan Lengkap” digunakan untuk memenuhi salah satu kebutuhan pengajaran materi
Pemotongan dan Pemungutan Pajak di kampus STIAMI dan meningkatkan pengetahuan mekanisme Pajak
Penghasilan Pasal 21 bagi peserta pendidikan dan pelatihan perpajakan lanjutan di Brevet A, B dan C.
Sehubungan dengan upaya penerimaan negara dari sektor perpajakan, diharapkan Wajib Pajak
sebagai masyarakat pembayar pajak dan fiskus sebagai pengumpul uang dari sektor perpajakan mempunyai
kesamaan pemahaman pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21, sehingga uang dari sektor perpajakan dapat
segera direalisasikan tepat waktu dan tidak menunggu proses hukum berikutnya seperti, keberatan dan
banding.
-3-

III. DASAR HUKUM PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21


Dasar hukum pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 berdasarkan Pasal 21 Undang-undang Nomor
7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
undang Nomor 36 Tahun 2008 dan peraturan petunjuk pelaksanaannya yang meliputi:
a. Pasal 21 ayat (2), diatur bahwa tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang wajib melakukan
pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah badan perwakilan negara
asing dan organisasi-organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. Organisasi
internasional yang tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang wajib melakukan pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 21 tetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan yaitu, Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 142/PMK.03/2010 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 215/PMK.03/2008 tentang Organisasi-organisasi Internasional dan Pejabat-pejabat
Perwakilan Organisasi Internasional yang Tidak Termasuk Subjek Pajak Penghasilan.
b. Pasal 21 ayat (3), diatur bahwa Penghasilan pegawai tetap atau pensiunan yang dipotong pajak untuk
setiap bulan adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi dengan biaya jabatan atau biaya
pensiun yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan, iuran pensiun, dan
Penghasilan Tidak Kena Pajak. Petunjuk pelaksanaannya adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor
250/PMK.03/2008 tentang Besarnya Biaya Jabatan Atau Biaya Pensiun Yang Dapat Dikurangkan
Dari Penghasilan Bruto Pegawai Tetap atau Pensiunan.
c. Pasal 21 ayat (4), diatur bahwa Penghasilan pegawai harian, mingguan, serta pegawai tidak tetap
lainnya yang dipotong pajak adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi bagian penghasilan
yang tidak dikenakan pemotongan yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Petunjuk pelaksanaannya adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.03/2008 tentang
Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan Dari Pegawai Harian Dan Mingguan
Serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya Yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan.
d. Pasal 21 ayat (5), diatur bahwa tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) kecuali ditetapkan lain dengan
Peraturan Pemerintah. Petunjuk pelaksanaannya adalah:
1). Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2009 tentang Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas
Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan
Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus. Selanjutnya ketentuan Pasal 10 Peraturan
Pemerintah Nomor 68 Tahun 2009, diatur bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
-4-

pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang
Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus.
diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Dalam rangka melaksanakan Pasal 10 Peraturan
Pemerintah Nomor 68 Tahun 2009, ditetapkanlah Peraturan Menteri Keuangan Nomor
16/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas
Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, Dan
Jaminan Hari Tua Yang Dibayarkan Sekaligus.
2). Peraturan pemerintah Nomor 80 Tahun 2010 tentang Tarif Pemotongan dan Pengenaan Pajak
Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Selanjutnya ketentuan Pasal
7 Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2010, diatur bahwa Ketentuan mengenai tata cara
pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota
POLRI, dan Pensiunannya atas penghasilan yang menjadi beban APBN atau APBD diatur
dengan Peraturan Menteri Keuangan. Dalam rangka melaksanakan Pasal 7 Peraturan
Pemerintah Nomor 80 Tahun 2010, ditetapkanlah Peraturan Menteri Keuangan Nomor
262/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pejabat
Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya atas Penghasilan yang
Menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah.
e. Pasal 21 ayat (8), diatur bahwa ketentuan mengenai petunjuk pelaksanaan pemotongan pajak atas
penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan. Petunjuk pelaksanaannya adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor
252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan
Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.
Ketentuan peraturan perpajakan terkait dengan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 selanjutnya
adalah petunjuk pelaksanaan atas Pasal 24 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 dan Pasal
4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.03/2008, yaitu Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-57/PJ/2009 tentang perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 tentang
Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau
Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.
-5-

Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 wajib dilaporkan melalui Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Penghasilan Pasal 21 yang telah diatur dalam:
a. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ./2009 tentang Bentuk Formulir Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dan Bukti
Pemotongan/Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26.
b. Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-6/PJ/2009 Tentang Tata Cara Penyampaian Surat
Pemberitahuan Dalam Bentuk Elektronik
c. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-62/PJ./2009 tanggal 25 Juni 2009 tentang
Penyampaian Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ./2009 tentang Bentuk Formulir
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dan Bukti
Pemotongan/Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26.

IV. PEMBAHASAN PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21


4.1. Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21
Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau
kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri, wajib dilakukan oleh:
a. pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan, baik merupakan pusat maupun cabang,
perwakilan atau unit yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan
nama dan dalam bentuk apapun, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;
b. bendahara atau pemegang kas pemerintah, termasuk bendahara atau pemegang kas pada Pemerintah
Pusat termasuk institusi TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, instansi/lembaga pemerintah, lembaga-
lembaga negara lainnya, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri, yang membayarkan
gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun
sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan;
c. dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain yang
membayar uang pensiun dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua;
d. orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar :
1. honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa dan/atau kegiatan
yang dilakukan oleh orang pribadai dengan status Subjek Pajak dalam negeri, termasuk jasa
-6-

tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri,
bukan untuk dan atas nama persekutuannya;
2. honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan dan jasa yang
dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak luar negeri;
3. honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan, dan magang;
e. penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan
internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan,
yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib pajak
orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan.
Sedangkan pemberi kerja yang tidak mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 21 adalah:
a. kantor perwakilan Negara asing;
b. organisasi-organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang-
Undang Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan;
c. pemberi kerja orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang semata-
mata mempekerjakan orang pribadi untuk melakukan pekerjaan rumah tangga atau pekerjaan bukan
dalam rangka melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
Organisasi internasional yang tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang wajib melakukan
pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah sebagai berikut:

I. Badan-badan Internasional dari Perserikatan Bangsa-Bangsa:

1. ADB (Asian Development Bank)


2. IBRD (International Bank for Reconstruction and Development)
3. IFC (International Finance Corporation)
4. IMF (International Monetary Fund)
5. UNDP (United Nations Development Programme), meliputi:

a. IAEA (International Atomic Energy Agency)


b. ICAO (International Civil Aviation Organization)
c. ITU (International Telecommunication Union)
d. UNIDO (United Nations Industrial Development Organizations)
e. UPU (Universal Postal Union)
f. WMO (World Meteorological Organization)
g. UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development)
h. UNEP (United Nations Environment Programme)
i. UNCHS (United Nations Centre for Human Settlement)
-7-

j. ESCAP (Economic and Social Commission for Asia and The Pacific)
k. UNFPA (United Nations Funds for Population Activities)
l. WFP (World Food Programme)
m. IMO (International Maritime Organization)
n. WIPO (World Intellectual Property Organization)
o. IFAD (International Fund for Agricultural Development)
p. WTO (World Trade Organization)
q. WTO (World Tourism Organization)

6. FAO (Food and Agricultural Organization)


7. ILO (International Labour Organization)
8. UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees)
9. UNIC (United Nations Information Centre)
10. UNICEF (United Nations Children's Fund)
11. UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization)
12. WHO (World Health Organization)
13. World Bank

II. Kerjasama Teknik:

1. Kerjasama Teknik Australia - Republik Indonesia (Australia-Indonesia Partnership)


2. Kerjasama Teknik Canada - Republik Indonesia
3. Kerjasama Teknik India - Republik Indonesia
4. Kerjasama Teknik Inggris - Republik Indonesia
5. Kerjasama Teknik Jepang - Republik Indonesia
6. Kerjasama Teknik New Zealand - Republik Indonesia
7. Kerjasama Teknik Negeri Belanda - Republik Indonesia
8. Kerjasama Teknik Rusia - Republik Indonesia
9. Kerjasama Teknik Jerman - Republik Indonesia
10. Kerjasama Teknik Perancis - Republik Indonesia
11. Kerjasama Teknik Negeri Polandia - Republik Indonesia
12. Kerjasama Teknik Amerika Serikat - Republik Indonesia (USAID: United States Agency for
International Development)
13. Kerjasama Teknik Swiss - Republik Indonesia
14. Kerjasama Teknik Italia - Republik Indonesia
15. Kerjasama Teknik Belgia - Republik Indonesia
16. Kerjasama Teknik Denmark - Republik Indonesia
17. Kerjasama Teknik Korea - Republik Indonesia
18. Kerjasama Teknik Finlandia - Republik Indonesia
19. Kerjasama Ekonomi dan Teknik Malaysia - Republik Indonesia
20. Kerjasama Ekonomi dan Teknik Singapura - Republik Indonesia
21. Kerjasama Ekonomi, Perdagangan dan Teknik RRC - Republik Indonesia
22. Kerjasama Ekonomi, Ilmu Pengetahuan dan Teknik Vietnam - Republik Indonesia
23. Kerjasama Ekonomi dan Teknik Thailand - Republik Indonesia
24. Kerjasama Ilmu Pengetahuan dan Teknik Meksiko - Republik Indonesia
25. Kerjasama Teknik Kerajaan Arab Saudi - Republik Indonesia
-8-

26. Kerjasama Teknik Iran - Republik Indonesia


27. Kerjasama Teknik Pakistan - Republik Indonesia
28. Kerjasama Teknik Philippine - Republik Indonesia

III. Kerjasama Kebudayaan :

1. Kerjasama Kebudayaan Belanda - Republik Indonesia


2. Kerjasama Kebudayaan Jepang - Republik Indonesia
3. Kerjasama Kebudayaan Mesir/RPA - Republik Indonesia
4. Kerjasama Kebudayaan Austria - Republik Indonesia

IV. Organisasi -Organisasi Internasional Lainnya :

1. Asean Secretariat
2. SEAMEO (South Bast Asian Minister of Education Organization)
3. ACE (The ASEAN Centre for Energy)
4. NORAD (The Norwegian Agency for International Development)
5. FPP Int. (Foster Parents Plan Int.)
6. PCI (Project Concern International)
7. IDRC (The International Development Research Centre)
8. Kerjasama Teknik Di bidang Perkoperasian antara DMTCI/CLUSA-Republik Indonesia
9. NLRA (The Netherlands Leprosy Relief Association)
10. The Commission of The European Communities
11. OISCA INT. (The Organization for Industrial, Spiritual and Cultural Advancement
International)
12. World Relief Cooperation
13. APCU (The Asean Heads of Population Coordination Unit)
14. SIL (The Summer Institute of Linguistics, Inc.)
15. IPC (The International Pepper Community)
16. APCC (Asian Pacific Coconut Community)
17. INTELSAT (International Telecommunication Satellite Organization)
18. People Hope of Japan (PHJ) dan Project Hope
19. CIP (The International Potato Centre)
20. ICRC (The International Committee of Red Cross)
21. Terre Des Hommes Netherlands
22. Wetlands International
23. HKI (Helen Keller International, Inc.)
24. Taipei Economic and Trade Office
25. Vredeseilanden Country Office (VECO) Belgic
26. KAS (Konrad Adenauer Stiftung)
27. Program for Appropriate Technology in Health, USA-PATH
28. Save the Children-US dan Save the Children-UK
29. CIFOR (The Center for International Forestry Research)
30. Islamic Development Bank
31. Kyoto University- Jepang
32. ICRAF (the International Centre for Research in Agroforestry)
-9-

33. Swisscontact - Swiss Foundation for Technical Cooperation


34. Winrock International
35. Stichting Tropenbos
36. The Moslem World League (Rabithah)
37. NEDO (The New Energy and Industrial Technology Development Organization)
38. HSF (Hans Seidel Foundation)
39. DAAD (Deutscher Achademischer Austauschdienst)
40. WCS (The Wildlife Conservation Society)
41. BORDA (The Bremen Overseas Research and Development Association)
42. ASEAN Foundation
43. SOCSEA (Sub Regional Office of CIRDAP in Southeast Asia)
44. IMC (International Medical Corps)
45. KNCV (Koninklijke Nederlands Centrale Vereniging tot Bestrijding der Tuberculosis)
46. Asia Foundation
47. The British Council
48. CARE (Cooperative for American Relief Everywhere Incorporation)
49. CCF (Christian Children's Fund)
50. CRS (Catholic Relief Service)
51. CWS (Church World Service)
52. The Ford Foundation
53. FES (Friedrich Ebert Stiftung)
54. FNS (Friedrich Neumann Stiftung)
55. IRRI (International Rice Research Institute)
56. Leprosy Mission
57. OXFAM (Oxford Committee for Famine Relief)
58. WE (World Education, Incorporated, USA)
59. JICA (Japan International Cooperations Agency)
60. JBIC (Japan Bank for International Cooperation)
61. KOICA (Korea International Cooperation Agency)
62. ERIA (Economic Research Institute for ASEAN and East Asia)
63. JETRO (Japan External Trade Organization)
64. International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies (IFRC)

4.2. Objek, Tarif, dan Dasar Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21


Sehubungan dengan landasan hukum pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21, dibawah ini akan disajikan
ringkasan berupa matriks yang meliputi objek, tarif, dan dasar penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagai
pemahaman praktis pelaksanaan hak dan kewajiban pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21.
-10-

Objek Penghasilan Tarif Dasar Perhitungan Keterangan

1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh Pasal 17 UU PPh PKP = PB - (BJ + PKP
Pegawai tetap. IP) – PTKP disetahunkan
2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh Pasal 17 UU PPh PKP = (PB – BP) – PKP
Penerima pensiun secara teratur PTKP disetahunkan
(Penerima pensiun berkala) berupa uang
pensiun atau penghasilan sejenisnya.
3. Penghasilan pegawai tidak tetap atau
tenaga kerja lepas kecuali tenaga ahli,
berupa upah harian, upah mingguan, upah
satuan, upah borongan atau upah yang :

a. dibayarkan secara bulanan Pasal 17 UU PPh PKP = PB - PTKP PKP


disetahunkan
b. tidak dibayar secara bulanan :
Apabila penghasilan sehari atau rata-rata 5% jumlah penghasilan
penghasilan sehari telah melebihi Rp yang melebihi Rp
150.000 sehari sepanjang penghasilan 150.000,00 (seratus
kumulatif yang diterima dalam 1 (satu) lima puluh ribu)
bulan kalender belum melebihi Rp sehari
1.320.000,00;
Apabila telah memperoleh penghasilan 5% PKP = (PB – IP) –
kumulatif dalam 1 (satu) bulan kalender PTKP untuk jumlah
melebihi Rp 1.320.000,00 tetapi tidak hari kerja yang
melebihi Rp 6.000.000; sebenarnya
(PTKP sehari
ditetapkan sebesar
PTKP setahun
sesuai dengan
statusnya dibagi
dengan 360))
Apabila telah memperoleh penghasilan Pasal 17 UU PPh PKP = (PB – IP) – PKP
kumulatif dalam 1 (satu) bulan kalender PTKP disetahunkan
melebihi Rp 6.000.000.
4. imbalan kepada bukan pegawai, antara
lain berupa honorarium, komisi, fee, dan
imbalan sejenisnya dengan nama dan
dalam bentuk apapun sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan
kegiatan yang dilakukan:
-11-

a. imbalan yang tidak bersifat Pasal 17 UU PPh 50% dari jumlah Kumulatif
berkesinambungan penghasilan bruto
b. imbalan yang bersifat berkesinambungan
- Memenuhi Ketentuan Pasal 17 UU PPh PKP = (50% x PB) Kumulatif
– PTKP
- Tidak Memenuhi Ketentuan Pasal 17 UU PPh 50% dari jumlah Kumulatif
penghasilan bruto
Ketentuan Pasal 13 ayat (1) PER-
31/PJ/2009 jo. PER-57/PJ/2009 :

"yang bersangkutan telah mempunyai


Nomor Pokok Wajib Pajak dan hanya
memperoleh penghasilan dari hubungan
kerja dengan Pemotong PPh Pasal 21
dan/atau PPh Pasal 26 serta tidak
memperoleh penghasilan lainnya"
5. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan
bebas dan bertindak untuk dan atas
namanya sendiri:
a. imbalan yang tidak bersifat Pasal 17 UU PPh 50% dari jumlah Kumulatif
berkesinambungan penghasilan bruto

b. imbalan yang bersifat berkesinambungan


- Memenuhi Ketentuan Pasal 17 UU PPh PKP = (50% x PB) Kumulatif
– PTKP
- Tidak Memenuhi Ketentuan Pasal 17 UU PPh 50% dari jumlah Kumulatif
penghasilan bruto

Ketentuan Pasal 13 ayat (1) PER-


31/PJ/2009 jo. PER-57/PJ/2009 :
"yang bersangkutan telah mempunyai
Nomor Pokok Wajib Pajak dan hanya
memperoleh penghasilan dari hubungan
kerja dengan Pemotong PPh Pasal 21
dan/atau PPh Pasal 26 serta tidak
memperoleh penghasilan lainnya"
6. Imbalan kepada peserta kegiatan, antara Pasal 17 UU PPh PB Kumulatif
lain berupa uang saku, uang representasi,
uang rapat, honorarium, hadiah atau
penghargaan dengan nama dan dalam
bentuk apapun, dan imbalan sejenis
dengan nama apapun.
-12-

7. Honorarium atau imbalan yang bersifat Pasal 17 UU PPh PB Kumulatif


tidak teratur yang diterima atau diperoleh
anggota dewan komisaris atau dewan
pengawas yang tidak merangkap sebagai
pegawai tetap pada perusahaan yang
sama.
8. Jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus Pasal 17 UU PPh PB Kumulatif
atau imbalan lain yang bersifat tidak
teratur yang diterima atau diperoleh
mantan pegawai.
9. Penarikan dana pensiun oleh peserta Pasal 17 UU PPh PB Kumulatif
program pensiun yang masih berstatus
sebagai pegawai, dari dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan.
10. Honorarium yang dananya dari keuangan 0% PB Final (Per 01
negara/ daerah yang diterima oleh Pejabat Januari 2011)
Negara, PNS, Anggota TNI/ POLRI
Golongan I dan II atau Anggota POLRI
dengan Pangkat Tamtama dan Bintara,
dan Pensiunannya.
Honorarium yang dananya dari keuangan 5% PB Final (Per 01
negara/ daerah yang diterima oleh Pejabat Januari 2011)
Negara, PNS, Anggota TNI/ POLRI
Golongan III atau Anggota POLRI
dengan Pangkat Perwira Pertama, dan
Pensiunannya.
Honorarium yang dananya dari keuangan 15% PB Final (Per 01
negara/ daerah yang diterima oleh Pejabat Januari 2011)
Negara, PNS, Anggota TNI/ POLRI
Golongan IV atau Anggota POLRI
dengan Pangkat Perwira Menengah dan
Tinggi, dan Pensiunannya.
11. Uang Pesangon yang diterima Pegawai :
Rp. 0 s.d. Rp. 50 juta 0% PB Final
Rp. 50 juta s.d. Rp. 100 juta 5% PB Final
Rp. 100 juta s.d. Rp. 500 juta 15% PB Final
> Rp. 500 juta 25% PB Final
Jumlah kumulatif Uang Pesangon yang
dibayarkan dalam jangka waktu paling
lama 2 (dua) tahun kalender.
-13-

Jika Uang Pesangon terutang atau Pasal 17 UU PPh PB Tidak Final


dibayarkan pada tahun ketiga dan tahun-
tahun berikutnya, pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 21 dilakukan dengan
menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf
a Undang-Undang Pajak Penghasilan
atas jumlah bruto seluruh penghasilan
yang terutang atau dibayarkan kepada
Pegawai pada masing-masing tahun
kalender yang bersangkutan.
12. Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari
Tua, atau Jaminan Hari Tua yang diterima
Pegawai :
Rp. 0 s.d. Rp. 50 juta 0% PB Final
> Rp. 50 juta 5% PB Final
Jumlah kumulatif Uang Manfaat Pensiun,
Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari
Tua yang dibayarkan dalam jangka waktu
paling lama 2 (dua) tahun kalender.
Jika Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Pasal 17 UU PPh PB Tidak Final
Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua
terutang atau dibayarkan pada tahun
ketiga dan tahun-tahun berikutnya,
pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21
dilakukan dengan menerapkan tarif Pasal
17 ayat (1) huruf a Undang-Undang
Pajak Penghasilan atas jumlah bruto
seluruh penghasilan yang terutang atau
dibayarkan kepada Pegawai pada
masing-masing tahun kalender yang
bersangkutan.
13. Penghasilan dari pekerjaan, jasa, dan Pasal 17 UU PPh PKP= (PB - (BJ +
kegiatan yang diterima oleh Tenaga Asing BP) - PTKP
(Expatriate) yang telah berstatus sebagai
Wajib Pajak Dalam Negeri.

Catatan :
Bagi Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh
Pasal 21 yang tidak memiliki Nomor Pokok
Wajib Pajak, dikenakan pemotongan PPh Pasal
21 dengan tarif lebih tinggi 20% (dua puluh
persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap
Wajib Pajak yang memiliki Nomor Pokok Wajib
Pajak
-14-

Keterangan :
PKP : Penghasilan Kena Pajak
PB : Penghasilan Bruto
BJ : Biaya Jabatan
IP : Iuran Pensiun
BP : Biaya Pensiun

4.3. Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21


Batas waktu penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan,
jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri adalah paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
Dalam hal tanggal jatuh tempo penyetoran pajak bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari
libur nasional, penyetoran pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Hari libur nasional tersebut
termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh Pemerintah
dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Batas waktu pelaporan SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah paling lama 20 (dua puluh) hari
setelah Masa Pajak berakhir. Dalam hal batas akhir pelaporan tersebut bertepatan dengan hari libur termasuk
hari Sabtu atau hari libur nasional, pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Hari libur nasional
tersebut termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh
Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Pelaporan SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 pada Kantor Pelayanan Pajak Madya termasuk
Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus dan Kantor
Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar wajib
menyampaikan SPT dalam bentuk elektronik (e-SPT), sedangkan pelaporan SPT Masa Pajak Penghasilan
Pasal 21 pada Kantor Pelayanan Pajak yang tidak disebutkan diatas tidak wajib menyampaikan SPT dalam
bentuk elektronik (e-SPT). Pelaporan e-SPT oleh Wajib Pajak ke KPP tempat Wajib Pajak terdaftar dapat
dilakukan secara langsung atau melalui pos/perusahaan jasa ekspedisi/kurir dengan bukti pengiriman surat
dengan membawa atau mengirimkan formulir Induk SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 hasil cetakan e-
SPT yang telah ditandatangani dan file data SPT yang tersimpan dalam bentuk elektronik serta dokumen lain
yang wajib dilampirkan.
-15-

4.4. Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21


Bentuk formulir Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 yang digunakan oleh Wajib
Pajak meliputi:
a. Formulir Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 (Formulir 1721).
b. Daftar Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 untuk Pegawai Tetap dan
Penerima Pensiun Berkala (Formulir 1721-I). Formulir 1721-I merupakan rekapitulasi dari Formulir
1721-A1 dan Formulir 1721-A2. Formulir 1721-I wajib disampaikan hanya pada Masa Pajak
Desember.
c. Daftar Perubahan Pegawai Tetap (Formulir 1721-II). Formulir 1721-II wajib disampaikan hanya
pada saat ada Pegawai Tetap yang keluar dan/atau ada Pegawai Tetap yang masuk dan/atau ada
pegawai yang baru memiliki NPWP.
d. Daftar Pegawai Tetap/Penerima Pensiun Berkala (Formulir 1721-T). Formulir 1721-T wajib
disampaikan hanya pada saat pertama kali Wajib Pajak mempunyai kewajiban untuk menyampaikan
Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26. Dalam hal Wajib Pajak telah mempunyai
kewajiban untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 sebelum
berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ./2009, maka Formulir 1721-T wajib
disampaikan pada Surat Pemberitahuan Masa Pajak Juli 2009.
e. Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26. Bukti Pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 digunakan untuk melaporkan pemotongan Pajak Penghasilan
Pasal 21 atas imbalan yang diterima oleh pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, distributor
MLM, petugas dinas luar asuransi, penjaja barang dagangan, tenaga ahli, anggota dewan komisaris
atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap, mantan pegawai, pegawai yang
melakukan penarikan dana pensiun, peserta kegiatan dan bukan pegawai serta pegawai atau pemberi
jasa sebagai Wajib Pajak Luar Negeri.
f. Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 (Final). Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal
21 (Final) digunakan untuk melaporkan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas objek pajak
yang bersifat final.
g. Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pegawai Tetap atau Penerima Pensiun atau
Tunjangan Hari Tua/Tabungan Hari Tua/Jaminan Hari Tua (Formulir 1721-A1).
-16-

h. Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pegawai Negeri Sipil, Anggota Tentara
Nasional Indonesia/Polisi Republik Indonesia, Pejabat Negara dan Pensiunannya (Formulir
1721-A2).
i. Daftar Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 (Tidak Final). Daftar
Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 (Tidak Final) merupakan
rekapitulasi dari Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 Tidak Final.
j. Daftar Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 (Final). Daftar Bukti
Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 (Final) merupakan rekapitulasi dari Bukti
Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Final.

V. KESIMPULAN
Pemahaman praktis pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 harus diawali dengan Pasal 21 Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008, kemudian dijabarkan peraturan petunjuk pelaksanaannya.
Berikut ini bagan praktis pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dapat disimpulkan adalah sebagai
berikut:
No. Undang-undang Peraturan Peraturan Peraturan Surat Edaran
Pajak Pemerintah Menteri Direktur Direktur
Penghasilan Keuangan Jenderal Pajak Jenderal Pajak

1. Pasal 21 ayat (2) Peraturan Menteri Peraturan Direktur Surat Edaran


Keuangan Nomor Jenderal Pajak Direktur Jenderal
142/PMK.03/2010 Nomor PER- Pajak nomor SE-
tentang Perubahan 57/PJ/2009 62/PJ./2009
Kedua atas tentang perubahan
Peraturan Menteri atas Peraturan
Keuangan Nomor Direktur Jenderal
215/PMK.03/2008 Pajak Nomor
PER-31/PJ/2009
2. Pasal 21 ayat (3) Peraturan Menteri
Keuangan Nomor Peraturan Direktur
250/PMK.03/2008 Jenderal Pajak
Nomor PER-
3. Pasal 21 ayat (4) Peraturan Menteri 32/PJ./2009
Keuangan Nomor
254/PMK.03/2008 Peraturan Direktur
-17-

4. Pasal 21 ayat (5) Peraturan Peraturan Menteri Jenderal Pajak


Pemerintah Nomor Keuangan Nomor nomor PER-
68 Tahun 2009 16/PMK.03/2010 6/PJ/2009

Peraturan Peraturan Menteri


pemerintah Nomor Keuangan Nomor
80 Tahun 2010 262/PMK.03/2010

5. Pasal 21 ayat (8) Peraturan Menteri


Keuangan Nomor
252/PMK.03/2008

Kesimpulan berikutnya adalah mengenai pemotong, objek, tarif, dan dasar penghitungan pemotongan
Pajak Penghasilan Pasal 21. Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21 terbagi menjadi dua yaitu, pemberi kerja
yang wajib melakukan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan yang tidak wajib. Mekanisme objek,
tarif, dan dasar penghitungan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 telah dibuatkan matriksnya dan telah
mengakomodasi seluruh ketentuan peraturan perpajakan yang berlaku. Hasil pemotongan Pajak Penghasilan
pasal 21 wajib disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Hasil
setoran tersebut wajib dilaporkan paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir. Dalam hal
tanggal jatuh tempo penyetoran pajak dan batas akhir pelaporan tersebut bertepatan dengan hari libur
termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, penyetoran pajak dan pelaporan tersebut dapat dilakukan pada
hari kerja berikutnya. Hari libur nasional tersebut termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan
Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh
Pemerintah.
Selanjutnya media pelaporan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 menggunakan Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 beserta Daftar Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan
Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21. Pelaporan SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 wajib
dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak Madya termasuk Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus dan Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar dalam bentuk elektronik (e-SPT), sedangkan
pelaporan SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 ke Kantor Pelayanan Pajak yang tidak disebutkan diatas
tidak wajib menyampaikan SPT dalam bentuk elektronik (e-SPT).
-18-

DAFTAR PUSTAKA

Buku:
............................... (2011). Oasis Pemotong/Pemungut PPh. Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak.
Kurniawan, Anang Mury. (2011). Pajak Internasional Beserta Contoh Aplikasi. Bogor: Penerbit Ghalia
Indonesia.
Rusjidi, Muhammad. (2004). PPh; Pajak Penghasilan. Jakarta: Penebit Indeks.
Zain, Mohammad. (2007). Manajemen Perpajakan. Jakarta: Penerbit Salemba Empat.

Peraturan Perpajakan:

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Peraturan pemerintah Nomor 80 Tahun 2010 tentang Tarif Pemotongan dan Pengenaan Pajak Penghasilan
Pasal 21 atas Penghasilan yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2009 tentang Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan
Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang
Dibayarkan Sekaligus.
Peraturan Menteri Keuangan nomor 80/PMK.03/2010 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 184/PMK.03/2007 tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran
Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran, Penyetoran dan Pelaporan
Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 262/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan
Pasal 21 bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya atas
Penghasilan yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 142/PMK.03/2010 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 215/PMK.03/2008 tentang Organisasi-organisasi Internasional dan Pejabat-pejabat
Perwakilan Organisasi Internasional yang Tidak Termasuk Subjek Pajak Penghasilan.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan
Pasal 21 Atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, Dan
Jaminan Hari Tua Yang Dibayarkan Sekaligus.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.03/2008 tentang Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan
Dengan Pekerjaan Dari Pegawai Harian Dan Mingguan Serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya Yang
Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak
atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 250/PMK.03/2008 tentang Besarnya Biaya Jabatan Atau Biaya Pensiun
Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto Pegawai Tetap atau Pensiunan.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-57/PJ/2009 tentang perubahan atas Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran
-19-

dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan
Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ./2009 tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan
Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dan Bukti Pemotongan/Pemungutan Pajak
Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-6/PJ/2009 Tentang Tata Cara Penyampaian Surat
Pemberitahuan Dalam Bentuk Elektronik
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-62/PJ./2009 tanggal 25 Juni 2009 tentang Penyampaian
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ./2009 tentang Bentuk Formulir Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dan Bukti
Pemotongan/Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26.

Website:
www.pajak.go.id
www.ortax.org

Anda mungkin juga menyukai