Pajak sudah menjadi kontribusi terpenting dalam penerimaan negara. Berdasarkan APBNP
2016, penerimaan negara ditargetkan sebesar Rp1.786,2 triliun dan porsi untuk penerimaan
perpajakan sebesar Rp1.539,2 triliun atau sekitar 86,2% dari target penerimaan negara. Dalam
9 tahun terakhir, pajak memakan porsi terbesar dalam penerimaan negara seperti dalam tabel
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Penerimaan 706,108 979,305 847,096 992,249 1205,346 1332,322 1432,058 1545,456 1496,047 1784,249
Pajak 490,988 658,701 619,922 723,307 873,874 980,518 1077,306 1146,865 1240,418 1539,166
Porsi 69,53% 67,26% 73,18% 72,90% 72,50% 73,59% 75,23% 74,21% 82,91% 86,26%
Dari tahun 2007 hingga tahun 2016, porsi penerimaan pajak selalu melebihi setengah
dari penerimaan negara. Namun, dari tahun ke tahun pajak tidak dapat mencapai targetnya
kecuali tahun 2008. Oleh karena itu, untuk meningkatkan penerimaan pajak, dilakukan
berbagai reformasi.
dilakukan. Berbagai peraturan perpajakan dilakukan sesuai dengan kondisi rakyat Indonesia
saat itu. Perubahan agak mendasar baru dilakukan pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1967
tentang Tata Cara Pemungutan Pajak Pendapatan, Pajak Kekayaan dan Pajak Perseroan, yang
kemudian pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 1967 yang
kemudian dikenal dengan “sistem MPS (menghitung pajak sendiri) dan MPO (menghitung
pajak orang)” (Forum Pajak 2015). Di tahun 1983, sistem penghitungan pajak berubah dari
official assessment system menjadi self assessment system. Official assessment system
memberikan wewenang kepada petugas pajak untuk menghitung pajak terutang wajib pajak,
sedangkan self assessment system memberikan wewenang kepada wajib pajak itu sendiri untuk
menghitung pajak terutangnya. Hingga sekarang Indonesia masih menerapkan self assessment
system untuk penghitungan pajak penghasilan dengan harapan timbul kesadaran bagi
masyarakat untuk berkontribusi kepada negara. Selain itu, petugas pajak yang tidak sebanding
dengan wajib pajak yang terdaftar. Menurut (Mardiasmo, 2016) paling tidak ada 2 fungsi pajak:
Pajak berfungsi sebagai salah satu sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluarannya.
Untuk bisa menjalankan fungsi tersebut Direktorat Jenderal Pajak masih berusaha
untuk mencari sumber penerimaan pajak dari intensifikasi maupun ekstensifikasi pajak. Upaya
ekstensifikasi merupakan kegiatan yang berkaitan dengan penambahan jumlah Wajib Pajak
terdaftar dan perluasan objek pajak dalam administrasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
terhadap objek serta subjek pajak yang telah tercatat atau terdaftar dalam administrasi DJP, dan
dari hasil pelaksanaan ekstensifikasi Wajib Pajak. Rasio pajak Indonesia masih tergolong
rendah yaitu 12,2%. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai, salah satu penyebab
rendahnya rasio penerimaan perpajakan (tax ratio) di Indonesia adalah masih rendahnya
kepatuhan penyampaian pajak (tax compliance). Rendahnya kepatuhan pajak membuat target
penerimaan pajak tidak tercapai. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kepatuhan pajak,
2. Kualitas pelayanan
3. Tingkat pendidikan
4. Tingkat penghasilan
Selain faktor diatas, kompleksitas sistem perpajakan di negara ini dapat menurunkan
tingkat kepatuhan pajak. Walaupun upaya pemerintah sudah baik untuk meningkatkan
kesadaran mental rakyat terhadap pajak, tetapi bila tidak diiringi dengan perbaikan sistem
perpajakan hal tersebut akan sia-sia. Bila kita membandingkan Indonesia dengan negara lain,
rasio kepatuhan pajak Indonesia masih dibawah negara-negara lain, disamping ini grafik
Hal tersebut menjadi permasalahan dari tahun ke tahun. Untuk mengatasi hal tersebut,
2016. Kebijakan pengampunan pajak bukanlah yang pertama di Indonesi,melainkan sudah dua
kali yaitu tahun 1964 dan 1984. Pelaksanaan tax amnesty pada 1964, lebih untuk
mengembalikan dana revolusi. Payung hukumnya pun hanya Keputusan Presiden. Penyebab
gagalnya pengampunan pajak ini, karena di tahun berikutnya terjadi Gerakan 30 September:
perseteruan antara pemegang kekuasaan, Partai Komunis Indonesia, dan tentara. Sedangkan
pada 1984, tujuannya hanya untuk mengubah sistem dari official assesment menjadi self
assesment. Kebijakan pengampunan tahun 1964 dan 1984 tidak berhasil meningkatkan
Keuangan, Bambang Brodjonegoro, ada 4 tujuan yang ingin dicapai dengan adanya
pengampunan pajak yaitu repatriasi atau menarik dana warga negara Indonesia yang ada di luar
Pajak
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan, pajak
didefinisikan sebagai kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Sedangkan menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. menyebutkan
bahwa pajak adalah iurang rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat
dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat
ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Di Indonesia, pajak
memiliki payung hukum yang sangat kuat. Hukum pajak merupakan bagian dari hukum publik
yang mengatur hubungan pemerintah dengan rakyatnya. Walaupun sudah memiliki payung
hukum yang kuat, tetap saja pajak dapat dihindari. Hal ini tidak hanya berlaku di Indonesia
melainkan seluruh dunia. Pajak dianggap sangat membebani tiap pribadi maupun badan.
Menurut (Mardiasmo 2016) paling tidak ada dua hambatan terhadap pemungutan pajak yaitu:
2. Perlawanan aktif. Meliputi semua usaha dan perbuatan yang dilakukan oleh wajib pajak
dengan tujuan untuk menghindari pajak. Contohnya tax avoindance dan tax evasion.
Tax Amnesty
Pajak menyebutkan bahwa pengampunan pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya
terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan,
dengan cara mengungkap Harta dan membayar Uang Tebusan sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini. Pengertian lain tentang pengampunan pajak yaitu sebuah program yang
dilaksanakan dalam periode waktu tertentu untuk memberikan kesempatan kepada wajib pajak
melunasi pajak terutang yang belum dibayar dan/atau pajak yang seharusnya terutang, dengan
memberikan kompensasi berupa pembebasan dari sanksi (bungan maupun denda) dan tuntutan
dilaksanakan sebanyak tiga kali yaitu 1964, 1984, 2016(sedang berlangsung). Dilaksanakannya
program ini adalah untuk menarik wajib pajak yang berada di luar sistem perpajakan. Namun,
tidak semua orang bisa memanfaatkan program pengampunan pajak ini. Yang dapat
3. Wajib Pajak yang bergerak di bidang Usaha Mikro Kecil dan Menengan (UMKM)
tebusan Ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau tempat lain yang
dari mengalikan tarif dengan dasar pengenaan. Tarif yang ditetapkan pun bermacam-macam
bergantung pada pilihan jenis deklarasi yang dipilih wajib pajak. Apabila wajib pajak memilih
repatriasi atau deklarasi dalam negeri, tarif yang dikenakan pada periode 1 yaitu 2%, periode
2 yaitu 3%, dan pada periode 3 yaitu 5%. Namun, apabila wajib pajak memilih deklarasi luar
negeri, tarif yang dikenakan pada periode 1 yaitu 4%, periode 2 yaitu 6%, dan periode 3 yaitu
10%. Untuk UMKM , apabila memilih deklarasi harta sampai dengan 10miliar rupiah akan
dikenakan tarif 0,5% dan apabila memilih deklarasi harta melebihi 10miliar rupiah akan
dikenakan tarif 2%. Selain Indonesia, negara lain seperti Italia, Australia, Chili, dan lainnya
pernah menerapkan kebijakan pengampunan pajak. Dalam kurun 10 tahun, Italia menerapkan
kebijakan ini sebanyak dua kali. Namun hal yang mengejutkan, uang tebusan Indonesia
Dibanding dengan negara lain yang periode pengampunan pajak sudah berakhir,
Indonesia memiliki kemungkinan untuk bisa menembus angka 100 triliun rupiah dan hingga
tax amnesty berakhir, hasil yang didapat melebihi Rp100 triliun. Ini menandakan, masyarakat
sangat antusias terhadap kebijakan ini. Tetapi kebijakan pengampunan pajak tidak lepas dari
pro dan kontra terkait tujuannya. Sehingga menimbulkan pertanyaan mengenai kelebihan dan
kekurangan pengampunan pajak. Salah satu manfaat dari diterapkannya kebijakan ini adalah
menagih kembali pajak yang semula dianggap sulit (Leonard dan Zeckhauser 1987).
Memudahkan pemerintah dalam mendapatkan penerimaan dalam waktu singkat karena adanya
pembebasan sanksi. Manfaat lainnya dari pengampunan pajak adalah dapat mempengaruhi
perpajakan terhadap wajib pajak yang sudah terdaftar maupun yang belum terdaftar. Menurut
(Widihartanto dan Widiatmanti 2016), pengampunan pajak akan menuju sebuah rezim
penegakan hukum yang baru misalnya rezin enforcement yang lebih “keras” dipandang lebih
fair. Di sisi lain, pengampunan pajak sangat berpeluang membuat kemarahan bagi kalangan
wajib pajak yang sudah patuh. Selain itu, bagi wajib pajak yang memang tidak patuh lalu
mengikuti pengampunan pajak akan mengangap kesalahan mereka bukanlah suatu kesalahan.
Kepatuhan Pajak
Salah satu tolak ukur keberhasilan suatu perpajakan di sebuah negara adalah bagaimana
kepatuhan pajak warganya. Di Indonesia, warga masih banyak yang tidak patuh untuk
membayar pajaknya walaupun pajak bersifat wajib. Rasio pajak Indonesia terbilang lebih
rendah daripada sebagian negara Asia Tenggara. Tahun 2014, Malaysia dan Filipina memilik
rasio pajak sebesar 15,9% dan 16,9% dibanding Indonesia yang hanya sebesar 12,2%. Banyak
hal yang dapat mempengaruhi kepatuhan pajak salah satunya adalah tax morale. Tax morale
meruapakan variabel internal (penentu psikologis kepatuhan pajak) dan karenanya tidak dapat
dipilih secara rasional. Tax morale mampu menjelaskan tingkat kepatuhan pajak di berbagai
negara dengan tingkat pencegahan terhadap pengemplangan pajak yang sangat rendah (Lisi
2014). Selain itu, tindakan kita setiap hari akan sangat berpengaruh pada kepatuhan pajak
nantinya (Christian dan Alm 2012). Menurut (Ho dan Wong 2008) etika dapat menuntut wajib
pajak membayar pajaknya dengan benar dan jujur. Ada beberapa hal terkait etika dan
kepatuhan pajak:
1. Seseorang melakukan hal yang tidak etis bergantung pada keuntungan berperilaku tidak
etis.
3. Pilihan etis dalam hal pajak pada dasarnya didasarkan pada filsafat moral pribadi dari
wajib pajak.
4. Audit pajak memiliki efek jera pada wajib pajak yang tidak patuh.
5. Kepatuhan wajib pajak dapat dinilai dari empat dimensi yaitu dimensi demografis,
dimensi peluang ketidakpatuhan, dimensi sikap dan persepsi, dan dimensi sistem atau
struktur perpajakan.
8. Tingkat yang lebih tinggi dari persepsi penalti mungkin mendorong wajib pajak lebih
9. Tingkat kepatuhan pajak akan tinggi bila wajib pajak memiliki moral yang kuat bahwa
Faktor lain yang mempengaruhi kepatuhan pajak yaitu faktor kesadaran perpajakan,
faktor petugas pajak, faktor hukum pajak, faktor sikap rasional (Siat dan Toly 2013).
Pembahasan
Hingga Tax Amnesty berakhir, Ken Dwi Djugiasteadi, Direktur Jenderal Pajak Kementerian
Keuangan mengatakan bahwa penerimaan negara dari program tax amnesty mencapai Rp 135
triliun yang terdiri dari uang tebusan Rp 114 triliun, pembayaran bukti permulaan Rp 1,75
triliun, dan pembayaran tunggakan Rp 18,6 triliun (Praditya 2017). Berdasarkan statistik tax
amnesty Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, komposisi uang tebusan sebesar
Rp114 triliun tersebut terdiri dari WPOP non UMKM sebesar Rp91,4 triliun, WPOP UMKM
sebesar Rp7,81 triliun, WP Badan UMKM sebesar Rp692 miliar, dan WP Badan non UMKM
sebesar Rp14,7 triliun. Angka tersebut sebenarnya masih bisa lebih tinggi, Menteri Keuangan
Sri Mulyani mengatakan bahwa masih banyak WPOP UMKM atau non UMKM yang tidak
mengikuti tax amnesty, tetapi hal tersebut masih bisa ditingkatkan kembali tingkat kepatuhan
pajaknya (Newswire 2017). Walaupun Sri Mulyani tidak puas dengan jumlah peserta yang
mengikuti tax amnesty tetapi beliau masih mengapresiasi WP yang sudah mengikuti program
pemerintah ini. Target yang diusung Sri Mulyani awalnya sebanyak 2 juta WP yang mengikuti
tax amnesty tetapi realisasinya hingga tax amnesty berakhir hanya berjumlah 700ribu WP.
Selama ini tingkat kepatuhan wajib pajak memang masih rendah. Dari 32 juta wajib pajak,
wajib pajak yang wajib lapor SPT sekitar 29,3 juta, tetapi kenyataannya hanya 12,8 juta saja
yang lapor SPT. Dari 700ribu WP ternyata ribuan WP tersebut tidak memiliki NPWP
(Sukmana 2017). Setidaknya upaya ekstensifikasi pajak semakin baik dengan adanya program
tax amnesti. Padahal tax amnesty merupakan langkah awal menuju keterbukaan informasi
(automatic exchange of information/AEIO) di Indonesia tahun 2018 yang mana tidak ada
Dengan program ini, tingkat kepatuhan pajak bisa semakin ditingkatkan dengan upaya
intensifikasi. Dari 700ribu WP yang mengikuti tax amnesty, 44ribu untuk pertama kalinya
membayarkan pajaknya. Walau masih belum bisa menambah basis WP secara signifikan tetapi
angka tersebut merupakan bentuk kecil keberhasilan program ini untuk meningkatkan
kepatuhan pajak. Tax amnesty yang dilakukan di Indonesia merupakan salah satu yang
tersukses di dunia walaupun belum maksimal. Terbukti masih ada orang superkaya yang tidak
mengikuti tax amnesty, dengan dalil WP tersebut sudah membayar pajak dengan benar.
References
Christian, Roberta Calvet, and James Alm. "Empathy, sympathy, and tax compliance." ScienceDirect,
2012.
Deny, Septian. Penerimaan Pajak Capai 81 Persen dari Target 2016. Januari 2, 2017.
Ho, Daniel, and Brossa Wong. "Issues on compliance and ethics in taxation: what do we know?"
Emerald, 2008.
Leonard, Herman, and Richard Zeckhauser. "Amnesty, Enforcement, and Tax Policy." JSTOR, 1987.
Lisi, Gaetano. "Tax morale, tax compliance and the optimal tax policy." ScienceDirect, 2014.
Praditya, Ilyas Istianur. Resmi Berakhir di 31 Maret, Ini Hasil Tax Amnesty. April 1, 2017.
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=116753&val=5324.
Siat, Christian Cahyaputra, and Agus Arianto Toly. "Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan
Sukmana, Yoga. Setelah "Tax Amnesty", 700.000 Wajib Pajak akan Dibina Bukan Diperiksa. Maret 9,
2017.
papers.