Anda di halaman 1dari 56

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori

1. Asma

a. Definisi

Asma adalah suatu masalah kesehatan dunia yang dapat

berpengaruh pada semua usia. Penyakit ini adalah penyakit heterogen

yang ditandai inflamasi kronik seluran napas, dengan gejala sesak

napas, mengi, dada terasa berat, batuk semakin memberat dan

keterbatasan aliran udara ekspirasi (FitzGerald, J Mark et.al, 2016).

Asma merupakan gangguan inflamasi kronik jalan napas yang

melibatkan berbagai sel inflamasi. Dasar penyakit ini adalah

hiperaktivitas bronkus dalam berbagai tingkat, obstruksi jalan napas,

dan gejala pernapasan (mengi dan sesak) (Mansjoer, A.dkk, 2007).

Asma adalah suatu keadaan dimana saluran napas mengalami

penyempitan karena hipersensitif dan hiperaktif terhadap rangsangan

tertentu, seperti debu rumah, bulu binatang, asap dan bahan lain

penyebab energi yang menyebabkan peradangan. Penyempitan ini

bersifat berulang namun reversible (Price, S.A dan Lorraine M.W,

2006).
10

Jadi, dapat disimpulkan bahwa asma merupakan suatu penyakit

heterogen yang disebabkan penyempitan saluran pernapasan karena

hipersensitif dan hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu yang

ditandai adanya inflamasi kronik seluran napas, sifatnya berulang

namun reversible.

b. Etiologi

Menurut berbagai penelitian patologi dan etiologi asma belum

diketahui dengan pasti, akan tetapi hanya menunjukkan dasar gejala

asma yaitu inflamasi dan respons saluran napas yang berlebihan,

seperti adanya kalor, tumor, dolor dan function laesa Nurarif, A.H dan

Hardhi Kusuma, 2015).

Rangsangan atau faktor pencetus yang sering menimbulkan

penyakit asma antara lain:

1. Faktor ekstrinsik (alergik) : reaksi alergik yang disebabkan oleh

alergen atau alergen yang dikenal seperti debu, serbuk-serbuk,

bulu-bulu binatang.

2. Faktor intrinsik (non-alergik) : tidak berhubungan dengan alergen,

seperti common cold, infeksi traktus respiratorius, latihan, emosi,

dan polutan lingkungan dapat mencetuskan serangan.

3. Asma gabungan (Mixed Asthma). Bentuk asma yang paling umum.

Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergik dan non-

alergik (Somantri, I., 2008).


11

c. Klasifikasi
1) Berdasarkan kegawatannya

Klasifikasi asma berdasarkan kegawatannya dibedakan

menjadi tiga jenis, yaitu:

a) Asma bronkial

Asma bronkial merupakan tipe asma yang ditandai

dengan hipersensitif dan hiperaktif terhadap rangsangan dari

luar, seperti debu rumah, bulu binatang, asap, dan bahan lain

penyebab alergi. Gejala kemunculannya sangat mendadak,

sehingga gangguan asma bisa datang secara tiba-tiba. Jika

tidak mendapatkan pertolongan secepatnya, risiko kematian

bisa datang. Gangguan asma bronkial juga bisa muncul karena

adanya radang yang mengakibatkan penyempitan saluran

pernapasan bagian bawah. Penyempitan ini akibat berkerutnya

otot polos saluran pernapasan, pembengkakan selaput lendir,

dan pembentukan timbunan lendir yang berlebihan (Nurarif,

A.H dan Hardhi Kusuma, 2015).

b) Asma kardial

Asma kardial adalah suatu penyakit sekunder akibat

gagal jantung kongestif atau kelainan jantung yang

kemungkinan disertai dengan edema paru yang ditandai

dengan dispnea, mengi, batuk, dahak berbusa atau berdarah

(Litzinger, M.H.J, et al, 2013). Gejala asma kardial biasanya


12

terjadi pada malam hari, disertai sesak napas yang hebat.

Kejadian ini disebut dengan nocturnal paroxymul dyspnea.

Biasanya terjadi pada saat penderita sedang tidur dikarenakan

akumulasi cairan di dalam paru-paru (Jorge, Stéphane, et al,

2007).

Berdasarkan tingkat keparahan, asma kardial

diklasifikasikan sebagai kedaruratan medis karena bisa

menjadi gejala gagal jantung akut yang mengarah ke

penumpukan cairan di paru-paru (edema paru). Perbedaan

penatalaksanaan antara asma bronkial dan asma kardial sangat

penting karena beberapa penatalaksanaan untuk asma bronkial

seperti pemberian inhaler, sebenarnya memperburuk asma

kardial dan menyebabkan aritmia jantung berat. Pada pasien

asma kardial, pengaturan posisi sangat penting untuk

mengurangi sesak diakibatkan penumpukan cairan di paru-

paru. Posisi yang dapat diberikan yaitu posisi fowler (Jones &

Bartlett, 2010). Pemberian terapi oksigen merupakan salah satu

terapi yang digunakan pada penderita asma kardial. Didukung

oleh beberapa penelitian, pemberian terapi oksigen

menggunakan ventilasi noninvasif memiliki banyak

keuntungan. Keuntungan yang didapatkan adalah peningkatan

kapasitas residu fungsional, terbukanya alveoli yang kolaps,

peningkatan compliance paru dan berkurangnya kerja otot


13

pernapasan. Peningkatan tekanan intratoraks juga akan

memperbaiki kerja jantung karena berkurangnya beban

ventrikel sebelum dan sesudah kontraksi (Rogayah, R,

dkk.2009).

Penatalaksanaan farmakologis pada asma kardial yaitu

pemberian obat furosemide (Intra Vena) 40 mg berfungsi

untuk menghambat penyerapan sodium dan klorida di

lengkung henle dan tubulus distal. Nitrogliserin (Intra Vena)

dengan dosis awal 5 mcg/menit dan dapat dititrasi hingga 200

mcg/menit berfungsi untuk mengurangi tekanan di ventrikel

kiri, sehingga dapat mengurangi kongesti paru. Morfin (Intra

Vena) dengan dosis 1-3 mg setiap 5 menit sampai bantuan

terjadi tanpa terjadi depresi pernapasan, digunakan dalam

pengaturan asma jantung memungkinkan bernapas lebih

mudah dan mengurangi tingkat kecemasan pasien selama

episode asma. Mekanisme kerja obat morfin melibatkan

venodilation dan pengurangan preload (Litzinger, M.H.J, et al,

2013).

c) Status asmatikus

Status asmatikus adalah kedaruratan medis. Status

asmatikus adalah salah satu bentuk kegawatan paru yang

disebabkan oleh bronkospasme yang persisten (Rab, T., 2010).

Status asmatikus merupakan serangan asma refraktori akut


14

yang tidak berespon terhadap terapi senyawa beta2 –

adrenergik atau teofilin intravena. Pasien memperlihatkan

gambaran dramatis ansietas akut, kesulitan bernapas secara

nyata, takikardia, dan diaforesis. Deteriorasi fungsi paru

menyebabkan hipoventilasi alveolar yang kemudian terjadi

hipolsemia, hiperkapnia, dan asidemia. Peningkatan PaCO2

pada pasien yang mengalami serangan asma akut sering kali

merupakan indikasi objektif pertama status asmatikus.

Terapi status asmatikus mencakup pelaksanaan

modalitas terapeutik multiple. Semua pasien yang mengalami

status asmatikus menunjukkan hipoksemia dan memerlukan

terapi oksigen. Terapi oksigen yang digunakan pada pasien

status asmatikus berupa oksigen high-flow, yaitu menggunakan

sungkup non-rebreather, namun jika fungsi paru tidak dapat

diperbaiki dan terjadi gagal napas, pasien mungkin

memerlukan intubasi dan bantuan ventilasi (Smeltzer & Bare,

2010). Pengaturan posisi yang dapat digunakan untuk

mengurangi sesak yaitu dengan posisi fowler atau posisi

tripoid (Zerwekh, J.,2016). Pasien juga mengalami dehidrasi

dan memerlukan resusitasi cairan. Agens farmakologis

mencakup metilxantin, amina simpatomimetik, kortikosteroid,

serta agonis β2. (Morton, P.G, dkk, 2012, Uppalapu, S. et al,

2015).
15

2) Berdasarkan tipe asma

Klasifikasi asma berdasarkan tipenya dibagi menjadi asma

alergik, idiopatik (nonalergik) atau campuran (mixed).

a) Asma Alergik(Ekstrinsik)

Asma alergik merupakan suatu bentuk asma dengan

alergen seperti bulu binatang, debu, makanan, dan lain-lain.

Alergen terbanyak adalah airborne dan musiman (seasonal).

Pasien dengan asma alergik biasanya mempunyai riwayat

penyakit alergi pada keluarga dan riwayat pengobatan rinitis

alergik. Paparan terhadap alergi akan mencetuskan serangan

asma. Bentuk asma ini biasanya dimulai sejak kanak-kanak

(Smeltzer & Bare, 2010).

b) Idiopatik (nonalergik/Intrinsik)

Asma idiopatik (nonalergik/intrinsik) tidak berhubungan

secara langsung dengan alergen spesifik. Faktor-faktor seperti

common cold, infeksi saluran napas atas, aktivitas, emosi/stress,

dan polusi lingkungan akan mencetuskan serangan. Beberapa

agen farmakologi, seperti antagonis β-adrenergik dan bahan

sulfat (penyedap makanan) juga dapat menjadi faktor penyebab.

Serangan dari Asma idiopatik atau nonalergik menjadi lebih

berat dan sering kali dengan berjalannya waktu dapat


16

berkembang menjadi asma campuran. Bentuk asma ini biasanya

dimulai ketika dewasa (>35 tahun).

c) Asma campuran (Mixed Asma)

Asma campuran merupakan bentuk asma yang paling

sering. Dikarakteristikkan dengan bentuk kedua jenis asma

alergi dan idiopatik atau nonalergik.

3) Berdasarkan derajat beratnya asma

Berdasarkan derajat beratnya asma, asma diklasifikasikan

menjadi asma intermiten, persisten ringan, persisten sedang dan

persisten berat (Depkes RI, 2009).

Tabel 2.1 Klasifikasi asma berdasarkan derajat asma

Gejala
Derajat Asma Gejala Faal Paru
Malam

I. Intermiten Bulanan ≤ 2 kali APE ≥ 80%


sebulan
1. Gejala < 1. VEP1 ≥
1x/minggu 80% nilai
prediksi
2. Tanpa gejala di
luar serangan

3. Serangan singkat 2. APE ≥


80% nilai
terbaik
3. Variabiliti
APE <
20%

II. Persisten Mingguan >2 kali APE > 80%


Ringan sebulan
1. Gejala > 1. VEP1 ≥
1x/minggu, tetapi < 80% nilai
1x/hari. prediksi
17

Gejala
Derajat Asma Gejala Faal Paru
Malam
2. APE ≥
80% nilai
2. Serangan dapat terbaik.
mengganggu
aktivitas dan tidur 3. Variabiliti
APE 20-
30%

III. Persisten Harian >1x/minggu APE 60 – 80%


sedang
1. Gejala setiap hari 1. VEP1 60 –
80% nilai
2. Serangan prediksi
mengganggu
aktivitas dan tidur 2. APE 60 –
80% nilai
3. Membutuhkan terbaik
bronkodilator
setiap hari 3. Variabiliti
APE >
4. 30%

IV. Persisten Kontinyu Sering APE ≤ 60%


Berat
1. Gejala terus 1. VEP1 ≤
menerus 60%nilai
prediksi
2. Sering kambuh
2. APE ≤
3. Aktivitas fisik 60% nilai
terbatas terbaik.
3. Variabiliti
APE >
30%

Sumber : (Morton, PG dkk, 2012)

d. Manifestasi Klinis

Menurut sumber National Asthma Educational and Prevention

Program (Nurarif, A.H dan Hardhi Kusuma, 2015), tanda dan gejala

asma bervariasi sesuai dengan derajat bronkospasme, yaitu :


18

Tabel 2.2 Manifestasi klinis asma berdasarkan derajat asma

Gagal napas
Tanda dan
Ringan Sedang Berat yang mungkin
Gejala
terjadi

Gejala

Dispnea Sakit Saat


Saat istirahat Saat istirahat
beraktivitas berbicara

Dalam Dalam kata-


Bicara Dalam frasa Diam
kalimat kata

Tanda

Posisi Mampu Lebih suka Tidak mampu Tidak mampu


tubuh berbaring duduk berbaring berbaring

Frekuensi
Sering kali
pernapasan meningkat meningkat >30 kali/menit
>30 kali/menit
(kali/menit)

Penggunaan Gerakan
Biasanya Umumnya
obat bantu Biasanya ada torakoabdominal
tidak ada ada
pernapasan paradoksal

Suara napas Mengi sedang


pada Mengi keras Mengi keras Gerakan udara
pertengahan selama saat inspirasi sedikit tanpa
sampai akhir ekspirasi dan ekspirasi mengi
ekspirasi

Frek.
Jantung <100 100-120 >120 Bradikardi relatif
(kali/menit)

Pulsus
paradoksus Sering kali tidak
(mm Hg) <10 10-25 Sering >25
ada

Status Mungkin Biasanya Biasanya Bingung atau


mental agitasi agitasi agitasi mengantuk

Pengkajian fungsional

PEF (%
yang <50 / respons
diprediksi terhadap
atau terbaik >80 50-80 terapi <50
secara berlangsung
personal) <2 jam
19

Gagal napas
Tanda dan
Ringan Sedang Berat yang mungkin
Gejala
terjadi

SaO2 (%,
udara >95 91-95 <91 <91
ruangan)

PaO2 (mm
Hg, udara Normal >60 <60 <60
rungan)

PaCO2 (mm
<42 <42 ≥42 ≥42
Hg)

Sumber : National Asthma Educational and Prevention Program (Keperawatan


Kritis)

e. Patofisiologi

Suatu serangan asma merupakan akibat obstruksi jalan napas

difus reversible. Obstruksi ini disebabkan oleh timbulnya tiga reaksi

utama yaitu kontraksi otot-otot polos baik saluran napas,

pembengkakan membran yang melapisi bronki, dan pengisian bronki

dengan mukus yang kental. Selain itu, otot-otot bronki dan kelenjar

mukusa membesar, sputum yang kental, banyak dihasilkan dan alveoli

menjadi hiperinflasi, dengan udara terperangkap didalam jaringan

paru (Smeltzer & Bare, 2010).


20

Gambar 2.1 Penyempitan Bronkiolus Pada Penderita Asma


Sumber : Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Kementrian Kesehatan RI,
2007

Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang sel-sel

mast dalam paru. Pemajanan ulang terhadap antigen mengakibatkan

ikatan antigen dengan antibodi, menyebabkan pelepasan produk sel-

sel mast (disebut mediator) seperti histamine, bradikinin, dan

prostaglandin serta anafilaksis dari substansi yang bereaksi lambat

(SRS-A). Pelepasan mediator ini dalam jaringan paru mempengaruhi

otot polos dan kelenjar jalan napas, menyebabkan bronkospasme,

pembengkakan membran mukosa, dan pembentukan mucus yang

sangat banyak. Selain itu, reseptor α- dan β- adrenergik dari sistem

saraf simpatis terletak dalam bronki. Ketika reseptor α- adrenergik

dirangsang, terjadi bronkokonstriksi, bronkodilatasi terjadi ketika

reseptor β- adrenergik yang dirangsang. Keseimbangan antara reseptor


21

α- dan β- adrenergik dikendalikan terutama oleh cyclic adenosine

monophosphate (cAMP). Stimulasi reseptor α- mengakibatkan

penurunan cAMP, yang mengarah pada peningkatan mediator kimiawi

yang dilepaskan oleh sel-sel mast bronkokonstriksi. Stimulasi reseptor

β- mengakibatkan peningkatan tingkat cAMP yang menghambat

pelepasan mediator kimiawi dan menyebabakan bronkodilatasi. Teori

yang diajukan adalah bahwa penyekatan β- adrenergik terjadi pada

individu dengan Asma. Akibatnya, asmatik rentan terhadap

peningkatan pelepasan mediator kimiawi dan konstriksi otot polos.


22

f. Pathway

Ekstrinsik (Inhaled Alergi) Intrinsik (infeksi, psikososial, stress)

Bronkhial mukosa menjadi Penurunan stimuli reseptor terhadap


sensitif oleh Ig E iritan pada trakheobronkhial

Peningkatan sel mast Hiperaktif non spesifik stimuli


pada trakheobronkhial penggerak dari cell mast

Perangsang reflek reseptor


Stimulasi reflek reseptor Pelepasan histamin terjadi tracheobronkhial
syarat parasimpatis pada stimulasi pada bronkial
mukosa bronkhial smooth sehingga terjadi
kontraksi bronkus
Stimuli bronchial smooth dan
kontraksi otot bronkhiolus

Peningkatan permiabilitas
vaskuler akibat kebocoran
protein dan cairan dalam
jaringan

Perubahan jaringan, peningkatan Ig E dalam serum

Respon dinding bronkus

Bronkospasme Udema Mukosa Hipersekresi mukosa

Bronkus menyempit Penumpukan sekret kental


Wheezing

Ventilasi terganggu Sekret tidak keluar


Ketidakefektifan
pola napas

Hipoksemia Bernapas Batuk tidak


Gangguan melalui mulut efektif
pertukaran gas

Gelisah Intoleransi
Ketidakefektifan
Mukosa
aktivitas
kering bersihan jalan

Risiko
Gangguan Pola Tidur infeksi
Ansietas

Gambar 2.2 Pathway asma

Sumber : Soemantri, I. (2009)


23

g. Komplikasi

Beberapa komplikasi yang mungkin dapat timbul adalah :

1) Pneumothoraks

Pneumothoraks adalah keadaan adanya udara di dalam

rongga pleura yang dicurigai bila terdapat benturan atau tusukan

dada. Keadaan ini dapat menyebabkan kolaps paru yang lebih

lanjut lagi dapat menyebabkan kegagalan napas.

2) Pneumomediastinum

Pneumomediastinum dari bahasa Yunani pneuma “udara”,

juga dikenal sebagai emfisema mediastinum adalah suatu kondisi

dimana udara hadir di mediastinum. Pertama dijelaskan pada 1819

oleh Rene Laennec, kondisi ini dapat disebabkan oleh trauma fisik

atau situasi lain yang mengarah ke udara keluar dari paru-paru,

saluran udara atau usus ke dalam rongga dada .

3) Atelektasis

Atelektasis adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-

paru akibat penyumbatan saluran udara (bronkus maupun

bronkiolus) atau akibat pernafasan yang sangat dangkal.

4) Aspergilosis

Aspergilosis merupakan penyakit pernapasan yang

disebabkan oleh jamur dan tersifat oleh adanya gangguan

pernapasan yang berat. Penyakit ini juga dapat menimbulkan lesi


24

pada berbagai organ lainnya, misalnya pada otak dan mata. Istilah

Aspergilosis dipakai untuk menunjukkan adanya infeksi

Aspergillus sp.

5) Gagal napas

Gagal napas dapat tejadi bila pertukaran oksigen terhadap

karbodioksida dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju

konsumsi oksigen dan pembentukan karbondioksida dalam sel-sel

tubuh.

6) Bronkhitis

Bronkhitis atau radang paru-paru adalah kondisi di mana

lapisan bagian dalam dari saluran pernapasan di paru-paru yang

kecil (bronkhiolis) mengalami bengkak. Selain bengkak juga terjadi

peningkatan produksi lendir (dahak). Akibatnya penderita merasa

perlu batuk berulang-ulang dalam upaya mengeluarkan lendir yang

berlebihan, atau merasa sulit bernapas karena sebagian saluran

udara menjadi sempit oleh adanya lender (Mansjoer, A, 2007).

h. Penatalaksanaan

Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan

mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal

tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari (Depkes RI,

2007).
25

1) Penatalaksanaan non farmakologi

a) Edukasi pasien

Edukasi pasien dan keluarga, untuk menjadi mitra

dokter dalam penatalaksanaan asma. Edukasi kepada

pasien/keluarga bertujuan untuk :

1) Meningkatkan pemahaman (mengenai penyakit asma secara

umum dan pola penyakit asma sendiri).

2) meningkatkan keterampilan (kemampuan dalam

penanganan asma sendiri/asma mandiri)

3) meningkatkan kepuasan

4) meningkatkan rasa percaya diri

5) meningkatkan kepatuhan (compliance) dan penanganan

mandiri

6) membantu pasien agar dapat melakukan penatalaksanaan

dan mengontrol asma

b) Pengukuran peak flow meter

Perlu dilakukan pada pasien dengan asma sedang

sampai berat. Pengukuran Arus Puncak Ekspirasi (APE)

dengan Peak Flow Meter ini dianjurkan pada :

1). Penanganan serangan akut di gawat darurat, klinik, praktek

dokter dan oleh pasien di rumah.


26

2). Pemantauan berkala di rawat jalan, klinik dan praktek

dokter.

3). Pemantauan sehari-hari di rumah, idealnya dilakukan pada

asma persisten usia di atas > 5 tahun, terutama bagi pasien

setelah perawatan di rumah sakit, pasien yang sulit/tidak

mengenal perburukan melalui gejala padahal berisiko tinggi

untuk mendapat serangan yang mengancam jiwa.

c) Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus.

d) Pemberian oksigen.

e) Pengaturan posisi

Pada pasien dengan asma bronkial, pengaturan posisi

merupakan suatu pendekatan pengobatan yang berbeda yang

dapat mengurangi sesak napas. Posisi yang biasa dipakai untuk

mengurangi sesak napas pada asma bronkial yaitu posisi fowler

atau semifowler (Custovic, et al, 2013).

f) Banyak minum untuk menghindari dehidrasi terutama pada


anak-anak.

g) Kontrol secara teratur.

h) Pola hidup sehat

Dapat dilakukan dengan :

1). Penghentian merokok.

2). Menghindari kegemukan.


27

3). Kegiatan fisik misalnya senam asma.

2) Penatalaksanaan farmakologi

a) Agonis β2

Agonis β2 merupakan bronkodilator yang paling efektif.

Stimulasi reseptor β2-adrenergik mengaktivasi adenil siklase,

yang menghasilkan peningkatan AMP siklik intraseluler. Hal

ini menyebabkan relaksasi otot polos, stabilisasi membran sel

mast, dan stimulasi otot skelet.

b) Kortikosteroid

Kortikosteroid meningkatkan jumlah reseptor β2-

adrenergik dan meningkatkan respon reseptor terhadap

stimulasi β2-adrenergik, yang mengakibatkan penurunan

produksi mukus dan hipersekresi, mengurangi

hiperresposivitas bronkus serta mencegah mengembalikan

perbaikan jalur napas.

c) Metilxantin

Metilxantin tidak efektif dalam bentuk aerosol dan

harus diberikan secara sistemik (oral atau Intra Vena). Teofilin

lepas lambat lebih disukai untuk pemberian oral, sedangkan

bentuk kompleksnya dengan etilendiamin (aminofilin) lebih


28

disukai untuk sediaan parenteral karena meningkatkan

kelarutannya. Sediaan teofilin IV juga tersedia.

Teofilin menghasilkan bronkodilatasi dengan

menginhibisi fosfodieterase, yang juga dapat menghasilkan

antiinflamasidan aktivitas nonbronkodilatasi lain melalui

penurunan pelepasan mediator sel mast, penurunan pelepasan

protein dasar eosinofil, penurunan proliferasi limfosit T,

penurunan pelepasan sitokin sel T, dan penurunan eksudasi

plasma. Teofilin juga menginhibisi permeabilitas vaskuler,

meningkatkan klirens mukosiliar, dan memperkuat kontraksi

diafragma yang kelelahan.

d) Modifikator Leukotrien

Zafirlukast dan montelukast merupakan antagonis

reseptor leukotrien lokal yang mengurangi proinflamasi

(peningkatan permeabilitas mikrovaskuler dan edema jalur

udara) dan efek bronkokontriksi leukotrien.

e) Kombinasi terapi pengontrol

Guideline NAEPP 2002 merekomendasikan kombinasi

kortikosteroid hirup dengan agonis β2 hirup kerja lama untuk

tahap 3 asma persisten sedang. Kombinasi ini lebih kuat

daripada menduplikasi dosis kortikosteroid hirup atau

menambahkan antagonis leukotrien ke kortikosteroid hirup.


29

f) Simpatomimetik

Kerja farmakologi dari kelompok simpatomimetik ini

adalah sebagai berikut :

1). Stimulasi reseptor α adrenergik yang mengakibatkan

terjadinya vasokonstriksi, dekongestan nasal dan

peningkatan tekanan darah.

2). Stimulasi reseptor β1 adrenergik sehingga terjadi

peningkatan kontraktilitas dan irama jantung.

3). Stimulasi reseptor β2 yang menyebabkan bronkodilatasi,

peningkatan klirens mukosiliari, stabilisasi sel mast dan

menstimulasi otot skelet.

Penggunaan langsung melalui inhalasi akan

meningkatkan bronkoselektifitas, memberikan efek yang lebih

cepat dan memberikan efek perlindungan yang lebih besar

terhadap rangsangan (misalnya alergen, latihan) yang

menimbulkan bronkospasme dibandingkan bila diberikan

secara sistemik (Depkes RI, 2007, Muttaqin, A, 2008,

Sukandar, E.Y, dkk, 2013).


30

g) Furosemid

Furosemid merupakan salah satu obat untuk mengatasi

gejala pada asma kardial. Pemberian obat furosemid secara

intra vena dengan dosis 40 mg. Furosemid berfungsi untuk

menghambat penyerapan sodium dan klorida di lengkung

henle dan tubulus distal.

h) Nitrogliserin

Selain furosemid, pemberian obat nitrogliserin juga

dapat mengurangi gejala dari asma kardial. Pemberian obat

nitrogliserin secara intra vena dengan dosis awal 5 mcg/menit

dan dapat dititrasi hingga 200 mcg/menit. Obat ini berfungsi

untuk mengurangi tekanan di ventrikel kiri, sehingga dapat

mengurangi kongesti paru.

i) Morfin

Morfin merupakan obat yang dapat mengurangi gejala

asma kardial yang diberikan secara intra vena dengan dosis 1-

3 mg setiap 5 menit sampai bantuan datang tanpa terjadi

depresi pernapasan. Obat ini berfungsi untuk memudahkan

bernapas dan mengurangi tingkat kecemasan pasien selama

episode asma. Mekanisme kerja obat morfin melibatkan

venodilation dan pengurangan preload (Litzinger, M.H.J, et al,

2013).
31

Penggolongan pengobatan farmakologi pada asma

dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat asma bronkial,

yaitu:

1). Asma Intermiten

Pengobatan yang lazim adalah agonis beta-2 kerja

singkat hanya jika dibutuhkan, atau sebelum exercise pada

exercise-induced asthma, dengan alternatif kromolin atau

leukotriene modifiers atau setelah pajanan alergen dengan

alternatif kromolin. Bila terjadi serangan, obat pilihan

agonis beta-2 kerja singkat inhalasi, alternatif agonis beta-

2 kerja singkat oral, kombinasi teofilin kerja singkat dan

agonis beta-2 kerja singkat oral atau antikolinergik

inhalasi.

2). Asma Persisten Ringan

Penderita asma persisten ringan membutuhkan obat

pengontrol setiap hari untuk mengontrol asmanya dan

mencegah agar asmanya tidak bertambah berat, sehingga

terapi utama pada asma persisten ringan adalah

antiinflamasi setiap hari dengan glukokortikosteroid

inhalasi dosis rendah. Dosis yang dianjurkan 200-400 µg

BD/ hari atau 100-250 µg FP/hari atau ekivalennya,

diberikan sekaligus atau terbagi 2 kali sehari. Terapi lain

adalah bronkodilator (agonis beta-2 kerja singkat inhalasi)


32

jika dibutuhkan sebagai pelega, sebaiknya tidak lebih dari

3-4 kali sehari.

3). Asma Persisten Sedang

Penderita dalam asma persisten sedang

membutuhkan obat pengontrol setiap hari untuk mencapai

asma terkontrol dan mempertahankannya. Idealnya

pengontrol adalah kombinasi inhalasi glukokortikosteroid

(400-800 ug BD/ hari atau 250-500 µg FP/ hari atau

ekivalennya) terbagi dalam 2 dosis dan agonis beta-2 kerja

lama 2 kali sehari. Jika penderita hanya mendapatkan

glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah ( 400 µg BD

atau ekivalennya) dan belum terkontrol; maka harus

ditambahkan agonis beta-2 kerja lama inhalasi atau

alternatifnya. Jika masih belum terkontrol, dosis

glukokortikosteroid inhalasi dapat dinaikkan. Dianjurkan

menggunakan alat bantu/ spacer pada inhalasi bentuk

IDT/MDI atau kombinasi dalam satu kemasan (fix

combination) agar lebih mudah. Terapi lain adalah

bronkodilator (agonis beta-2 kerja singkat inhalasi) jika

dibutuhkan, tetapi sebaiknya tidak lebih dari 3-4 kali

sehari.. Alternatif agonis beta-2 kerja singkat inhalasi

sebagai pelega adalah agonis beta-2 kerja singkat oral,

atau kombinasi oral teofilin kerja singkat dan agonis beta-


33

2 kerja singkat. Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak

digunakan bila penderita telah menggunakan teofilin lepas

lambat sebagai pengontrol.

4). Asma Persisten Berat

Tujuan terapi pada keadaan ini adalah mencapai

kondisi sebaik mungkin, gejala seringan mungkin,

kebutuhan obat pelega seminimal mungkin, faal paru

(APE) mencapai nilai terbaik, variabiliti APE seminimal

mungkin dan efek samping obat seminimal mungkin.

Untuk mencapai hal tersebut umumnya membutuhkan

beberapa obat pengontrol tidak cukup hanya satu

pengontrol. Terapi utama adalah kombinasi inhalasi

glukokortikosteroid dosis tinggi (> 800 µg BD/ hari atau

ekivalennya) dan agonis beta-2 kerja lama 2 kali sehari.

Kadangkala kontrol lebih tercapai dengan pemberian

glukokortikosteroid inhalasi terbagi 4 kali sehari daripada

2 kali sehari. Teofilin lepas lambat, agonis beta-2 kerja

lama oral dan leukotriene modifiers dapat sebagai

alternatif agonis beta-2 kerja lama inhalasi dalam

perannya sebagai kombinasi dengan glukokortikosteroid

inhalasi, tetapi juga dapat sebagai tambahan terapi selain

kombinasi terapi yang lazim (glukokortikosteroid inhalasi

dan agonis beta-2 kerja lama inhalasi). Jika sangat


34

dibutuhkan, maka dapat diberikan glukokortikosteroid oral

dengan dosis seminimal mungkin, dianjurkan sekaligus

single dose pagi hari untuk mengurangi efek samping.

Pemberian budesonid secara nebulisasi pada pengobatan

jangka lama untuk mencapai dosis tinggi

glukokortikosteroid inhalasi adalah menghasilkan efek

samping sistemik yang sama dengan pemberian oral,

padahal harganya jauh lebih mahal dan menimbulkan efek

samping lokal seperti sakit tenggorok/ mulut. Sehngga

tidak dianjurkan untuk memberikan glukokortikosteroid

nebulisasi pada asma di luar serangan/ stabil atau sebagai

penatalaksanaan jangka panjang (Perhimpunan Dokter

Paru Indonesia, 2010).

Tabel 2.3 Pengobatan sesuai derajat asma bronkial

Semua tahapan : ditambahkan agonis beta-2 kerja singkat untuk pelega bila
dibutuhkan, tidak melebihi 3-4 kali sehari.

Berat Medikasi pengontrol


Alternatif/pilihan lain Alternatif
Asma harian
Asma
Tidak perlu ---------- ----------
Intermiten

Glukokortikosteroid 1. Teofilin lepas lambat


Asma
inhalasi (200-400 µg
Persisten 2. Kromolin ----------
BD/hari atau
Ringan
ekivalennya) 3. Leukotriene modifiers

Asma Kombinasi inhalasi 1. Ditambah


1. Glukokortikosteroid inhalasi
Persisten Glukokortikosteroid agonis
(400-800 µg BD/hari atau
Sedang (400-800 µg BD/hari atau beta-2
ekivalennya) ditambah
ekivalennya) dan agonis kerja lama
teofilin lepas lambat, atau
beta-2 kerja lama. oral, atau
35

Berat Medikasi pengontrol


Alternatif/pilihan lain Alternatif
Asma harian
2. Glukokortikosteroid inhalasi 2. Ditambah
(400-800 µg BD/hari atau teofilin
ekivalennya) ditambah agonis lepas
beta-2 kerja lama oral, atau lambat
3. Glukokortikosteroid inhalasi
dosis tinggi (>800 µg BD
atau ekivalennya), atau
4. Glukokortikosteroid inhalasi
(400-800 µg BD/hari atau
ekivalennya) ditambah
leukotriene modifiers.

Asma Kombinasi inhalasi Prednisolon/metilprednisolon


Persisten Glukokortikosteroid oral selang sehari 10 mg
Berat (>800 µg BD/hari atau ditambah agonis beta-2 kerja
ekivalennya) dan agonis lama oral, ditambah teofilin
beta-2 kerja lama, lepas lambat.
ditambah ≥ 1 di bawah
ini:
1. Teofilin lepas
lambat
2. Leukotriene
modifiers
3. Glukokortikosteroid
oral

Semua tahapan : Bila tercapai asma terkontrol, pertahankan terapi paling tidak 3
bulan, kemudian turunkan bertahap sampai mencapai terapi seminimal mungkin
dengan kondisi asma tetap terkontrol

Sumber : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2010)

2. Terapi Oksigen

a. Definisi

Pemberian terapi oksigen pada pasien bertujuan untuk

mengoreksi hipoksemia (kadar oksigen dalam darah rendah). Saat

ketersediaan oksigen jaringan rendah, kondisi ini disebut dengan

hipoksia. Jika pernapasan eksternal dan internal terganggu, suplemen

oksigen saat penting untuk mempertahankan fungsi selular pasien.


36

Terapi oksigen memperbaiki hipoksemia, menurunkan kerja

pernapasan, dan mengurangi kerja miokardium. Setiap proses

penyakit yang mengubah pertukaran gas dapat menyebabkan

hipoksemia (Morton, PG dkk, 2012).

Asma, bronkitis, pneumonia, cedera paru akut dan ARDS,

penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), dan empisema merupakan

beberapa proses penyakit yang mengubah suplai oksigen. Pemberian

oksigen melalui kanula nasal dapat menyediakan oksigen tambahan

yang memadai untuk mengatasi kekurangan oksigen dan sesak napas.

Tujuan yang diharapkan pada semua pasien yang mendapat terapi

oksigen adalah nilai saturasi oksigen (SaO2) yang stabil, pernapasan

eupnea, serta mengurangi kecemasan dan sesak napas. Tujuan tersebut

harus dicapai dengan menghantarkan suplemen oksigen dalam jumlah

minimal yang dibutuhkan, sehingga perawat memantau oksigen pasien

secara kontinyu untuk melihat hasil akhir yang diharapkan serta

komplikasi yang muncul (Tabel 2.4). Instruksi yang tepat dari dokter

dan pakar perawat praktik penting untuk mengawali terapi ini.

Tabel 2.4 Komplikasi Terapi Oksigen

Komplikasi Terapi Oksigen


1. Henti napas
2. Ketidaknyamanan akibat pengelupasan kulit setelah
pemasangan tali pengikat dan masker.
3. Membran mukosa kering, epistaksis, atau infeksi pada lubang
hidung.
37

Komplikasi Terapi Oksigen


4. Toksisitas oksigen (kadar yang tinggi dalam waktu lama
terlihat pada kasus cedera paru akut atau sindrom gawat napas
akut.
5. Atelektasis absortif.
6. Narkosis karbondioksida (dengan manifestasi perubahan status
mental, konfusi, sakit kepala, somnolen)
Sumber : Morton, PG dkk (2012)

b. Sistem Penghantaran Oksigen

Ada beberapa metode penghantaran oksigen yang tersedia

untuk pasien. Pilihan metode oksigen bergantung pada kondisi pasien.

Sistem penghantaran oksigen sederhana dibagi menjadi sistem aliran

tinggi dan sistem aliran rendah (Tabel 2.5) (Marino, P.L, 2007,

Morton, P.G, dkk, 2012).

Perangkat oksigen aliran rendah bekerja dengan menyuplai

oksigen pada kecepatan rendah, kurang dari volume inspirasi pasien.

Sisa dari keseluruhan volume tersebut diambil dari udara ruang

(entrained). Oksigen ini dan udara yang bercampur (entraiment),

fraksi oksigen inspirasi yang sesungguhnya, yang telah dihantarkan ke

pasien menjadi sulit untuk ditentukan. Perangkat oksigen aliran

rendah sesuai untuk pasien yang memiliki pola, frekuensi, dan volume

ventilasi pernapasan normal.


38

Tabel 2.5 Metode pemberian Oksigen berdasarkan Fraksi Oksigen

Inspirasi (FiO2) yang dihantarkan

Metode pemberian Aliran Oksigen Konsentrasi O2 (FiO2)


No
Oksigen (l/menit) (%)
1 Kateter nasal dan nasal 1 21 - 25
kanul
2 25 - 28
3 28 - 32
4 32 - 36
5 36 - 40
6 40 - 44
2 Sungkup muka (masker) 5–6 40
sederhana
6–7 50
7 - 10 60
3 Masker dengan kantong 6 60
simpanan
7 70
8 80
9-10 90 - 99
4 Masker Venturi 4 25
4 28
6 31
8 35
8 40
10 50
5 Head box 8 – 10 40
6 Ventilator bervariasi 21 – 100
7 Mesin anestesi bervariasi 21 – 100
8 Inkubator 3–8 Sampai 40

Sumber : Morton, PG dkk (2012)


39

oksigen aliran tinggi menyuplai frekuensi aliran yang cukup

tinggi untuk mengakomodasi dua hingga tiga kali volume inspirasi

pasien. Perangkat tersebut sesuai untuk pasien dengan kebutuhan

inspirasi dan metabolisme yang tinggi (Morton, P.G, dkk,2012).

Semua perangkat penghantaran oksigen mengalirkan oksigen dalam

kadar yang berbeda. Pemilihan perangkat didasarkan pada nilai FiO2

yang diharapkan. Jika dibutuhkan konsentrasi oksigen yang lebih

rendah, sistem yang biasanya dipilih adalah kanula nasal. Kanula

dapat digunakan bahkan bersama alat napas (breather) mulut, sebab

oksigen akan mengisi nasofaring dan masuk bersama proses inspirasi.

c. Macam-macam Terapi Oksigen

Macam-macam terapi oksigen meliputi :

1) Kateter Nasal

Kateter nasal lebih jarang digunakan dari pada nasal kanula,

tetapi bukan berarti kateter nasal tidak digunakan. Prosedur

pemasangan kateter ini meliputi insersi kateter oksigen kedalam

hidung sampai nasofaring.

2) Nasal Kanula

Merupakan peralatan yang sederhana dan nyaman. Kanula

nasal dengan panjang sekitar 1,5 cm, muncul dari bagian tengah

selang sekali pakai dan diinsersikan ke dalam hidung (gambar 2.3).

Oksigen diberikan melalui nasal kanula dengan kecepatan aliran

dari 2 liter/menit sampai 6 liter/menit. Kecepatan aliran lebih dari 6


40

liter/menit jarang digunakan karena efek yang ditimbulkannya

menyebabkan mukosa kering dan juga karena jumlah oksigen yang

diberikan relatif sedikit lebih besar.

Gambar 2.3 Nasal kanula


Sumber : Assessment technologies Institute

3) Oksigen transtrakea (OTT)

Merupakan metode pemberian oksigen bagi klien yang

mengalami penyakit paru, dengan sebuah kateter kecil berukuran

intravena diinsersi langsung ke dalam trakea melalui suatu saluran

leher bagian bawah yang dibedah dan oksigen dihantarkan

langsung ke trakea (gambar 2.4).


41

Gambar 2.4 Oksigen transtrakea


Sumber : Assessment technologies Institute

4) Masker Oksigen

Masker yang menutupi hidung dan mulut klien yang dapat

digunakan untuk inhalasi oksigen. Biasanya masker oksigen terbuat

dari bahan yang transparan, plastik yang lentur yang bisa dibentuk

sesuai wajah. Masker oksigen ini diikatkan ke bagian belakang

kepala klien dengan karet gelang. Beberapa masker memiliki klip

logam yang bisa ditekuk di atas lengkung hidung supaya lebih

nyaman. Pada saat ekspirasi, di bagian sisi masker memungkinkan

karbon dioksida dihembuskan untuk keluar. Masker oksigen

digolongkan menjadi empat jenis, yaitu :


42

a) Simple face mask (masker wajah sederhana)

Masker wajah sederhana memberikan konsentrasi

oksigen dari 40% sampai 60% dengan aliran 5 sampai 8

liter/menit (gambar 2.5).

Gambar 2.5 Oksigen simple face mask


Sumber : Assessment technologies Institute

b) Rebreather mask

Masker rebreather memberikan konsentrasi oksigen

dari 40% sampai 60% dengan aliran 6 sampai 10 liter/menit.

Kantung oksigen yang terpasang pada masker rebreathing

memungkinkan klien untuk menghirup kembali udara yang

dihembuskan bersamaan dengan oksigen (gambar 2.6).


43

Gambar 2.6 Oksigen Rebreather mask


Sumber : Assessment technologies Institute

c) Non-rebreather mask

Masker non-rebreather digunakan pada kondisi

hipoksia berat untuk menghantarkan oksigen dengan

konsentrasi tinggi. Katup satu arah di salah satu sisi

memungkinkan ekhalasi karbondioksida. Masker tersebut

menghantarkan 80-95% FiO2 pada kecepatan 10-15 liter/menit,

bergantung pada kecepatan dan kedalaman pernapasan pasien,

disertai dengan jumlah udara ruang yang ikut masuk melalui

portal yang terbuka pada masker. Meski demikian, masker

harus benar-benar pas untuk mencegah masuknya udara

ruangan (gambar 2.7).


44

Gambar 2.7 Oksigen Non-rebreather mask


Sumber : Assessment technologies Institute

d) Venturi mask (masker venturi)

Masker venturi (ventury mask) memberikan konsentrasi

oksigen dari 24% sampai 40% atau 50% dengan aliran dari 4

hingga 10 liter/menit. Masker venturi memiliki tabung yang

lebar dan wana kode adapter jet yang sesuai dengan aliran

konsentrasi oksigen dan liter yang tepat. Misalnya, dalam

beberapa kasus, adaptor biru memberikan konsentrasi 24%

oksigen pada aliran 4 liter/menit, dan adaptor hijau

memberikan konsentrasi 35% oksigen pada aliran 8 liter/menit

(gambar 2.8).
45

Gambar 2.8 Oksigen Ventury mask


Sumber : Assessment technologies Institute

e) Face Tent

Pemberian oksigen bervariasi dari 21 % sampai 50 %

bergantung pada pernapasan pasien (21 % dihantarkan dengan

kondisi udara terkompresi dan hampir 50% dihantarkan

dengan pengaturan aliran oksigen 10 l/menit). Udara

bercampur dengan aliran oksigen di dalam masker,

menyebabkan hantaran yang bervariasi dengan proses

humidifikasi. Face tent kerap digunakan untuk humidifikasi

dan juga pemberian oksigen pada pasien yang tidak

mempunyai perasaan klaustrofobik akibat penggunaan masker


46

yang sifatnya lebih tradisional (gambar 2.9) (Potter & Perry,

2008, Kozier & Erb’s, 2016).

Gambar 2.9 Oksigen Face tent


Sumber : Assessment technologies Institute

f) Ventilasi noninvasif

Ventilasi noninvasif merupakan teknik ventilasi

mekanis tanpa menggunakan pipa trakea (endotracheal tube)

pada jalan napas. Indikasi ventilasi noninvasif adalah penyakit

paru kronik yang berat, hipoventilasi nokturnal yang

berhubungan dengan disfungsi saraf otot, gagal napas akut

seperti keadaan eksaserbasi penderita penyakit paru obstruktif

kronik (PPOK), gagal napas hipoksemik akibat acute

respiratory distress syndrome (ARDS), pneumonia pada

pasien dengan atau tanpa immunocompromised, trauma,


47

edema paru kardiogenik dan penderita yang sulit dilakukan

penyapihan (weaning) dari ventilasi invasive (Rogayah, R,

dkk.,2009).

d. Faktor yang memengaruhi kebutuhan oksigenasi

Menurut Hidayat, A. Aziz, (2012) faktor-faktor yang dapat

mempengaruhi kebutuhan oksigenasi antara lain :

1) Saraf otonomik

Rangsangan simpatis dan parasimpatis dari saraf otonomik

dapat mempengaruhi kammpuan untuk dilatasi dan kontriksi, hal

ini dapat terlihat simpatis maupun parasimpatis. Ketika terjadi

rangsangan, ujung saraf dapat mengeluarkan neurotransmitter

(untuk simpatis dapat mengeluarkan noradrenalin yang

berpengaruh pada bronkodilatasi dan untuk parasimpatis

mengeluarkan asetilkolin yang brpengaruh pada bronkokontriksi)

karena pada saluran pernapasan terdapat reseptor adrenergik dan

reseptor kolinergik.

Pengaruh saraf otonomik

Simpatis Parasimpatis

Ujung saraf mengeluarkan neurotransmiter

Noradrenalin Asetilkolin

Bronkodilatasi Bronkokontriksi

Gambar 2.10 Pengaruh Saraf Otonomik terhadap Oksigenasi


Sumber : Mubarak, W.I. dkk (2015)
48

2) Hormon dan Obat

Semua hormon termasuk derivat catecholamine dapat

melebarkan saluran pernapasan. Obat yang tergolong parasimpatis,

seperti sulfas atropin dan ekstrak belladon, dapat melebarkan

saluran napas, sedangkan obat yang menghambat adrenergik tipe

beta (khususnya beta-2), seperti obat yang tergolong penyakat beta

nonselektif, dapat mempersempitsaluran napas (bronkokontriksi).

3) Jenis Kelamin

Volume dan kapasitas seluruh paru pada wanita kira-kira

20-25% lebih kecil dari pada pria, dan lebih besar lagi pada atletis

dan orang yang bertubuh besar dari pada orang yang bertubuh kecil

dan astenis. Kapasitas paru pada pria lebih besar yaitu 4,8 liter

dibandingkan pada wanita yaitu 3,1 liter. Selain itu, adanya

perbedaan pada paru dan ukuran jalan napas (airway) antara laki-

laki dan perempuan juga mempengaruhi oksigenasi. Pada saat

anak-anak, ukuran paru dan jalan napas pada anak laki-laki lebih

kecil dibandingkan pada anak perempuan, sedangkan pada saat

dewasa (usia ≥ 40 tahun) ukuran paru dan jalan napas pada

perempuan lebih kecil dibandingkan pada laki-laki, sehingga

perempuan lebih berisiko terkena serangan asma pada saat dewasa

(Global Initiative for Asthma, 2016). Berdasarkan penelitian yang

dilakukan oleh CDC’s National Asthma Control Program Grantees

(2013) prevalensi kejadian asma pada orang dewasa lebih banyak


49

dialami oleh perempuan sebesar 10.7 %, sedangkan pada laki-laki

sebesar 6.5 %.

4) Alergi pada Saluran Napas

Banyak faktor yang dapat menimbulkan alergi, antara lain

debu yang terdapat dalam hawa pernapasan, bulu binatang, serbuk

benang sari bunga, kapuk, makanan, dan lain-lain. Faktor-faktor ini

menyebabkan bersin bila terdapat rangsangan di daerah nasal;

batuk bila di saluran pernapasan bagian atas; bronkokontriksi pada

asma bronkial; dan rhinitis bila terdapat di saluran pernapasan

bagian bawah.

5) Status kesehatan

Pada orang yang sehat, sistem pernapasan dapat

menyediakan kadar oksigen yang cukup untuk memenuhi

kebutuhan tubuh. Akan tetapi, pada kondisi sakit tertentu, proses

oksigenasi tersebut dapat terhambat sehingga mengganggu

pemenuhan kebutuhan oksigen tubuh. Kondisi tersebut antara lain

gangguan pada sistem pernapasan dan kardiovaskular, penyakit

kronis, penyakit obstruksi pernapasan atas, dan lain-lain.

6) Perkembangan

Tingkat perkembangan menjadi salah satu faktor penting

yang memengaruhi sistem pernapasan individu.


50

a) Bayi prematur

Bayi yang lahir prematur berisiko menderita penyakit

membran hialin yang ditandai dengan berkembangnya

membran serupa hialin yang membatasi ujung saluran

pernapasan. Kondisi ini disebabkan oleh produksi surfaktan

yang masih sedikit karena kemampuan paru dalam menyintesis

surfaktan baru berkembang pada trisemester akhir.

b) Bayi dan anak-anak

Kelompok usia ini berisiko mengalami infeksi saluran

napas atas, seperti faringitis, influenza, tonsilitis, dan aspirasi

benda asing (misal makanan, permen, dan lain-lain).

c) Anak usia sekolah dan remaja

Kelompok usia ini berisiko mengalami infeksi saluran

napas akut akibat kebiasaan buruk, seperti merokok.

d) Dewasa muda dan paruh baya

Kondisi stres, kebiasaan merokok, diet yang tidak

sehat, kurang berolahraga merupakan faktor yang dapat

meningkatkan risiko penyakit jantung dan paru pada kelompok

usia ini.

e) Lansia

Semakin bertambahnya usia, maka fungsi paru akan

menurun (Cardona, V., et al, 2011). Proses penuaan yang

terjadi pada lansia menyebabkan perubahan pada fungsi


51

normal pernapasan, seperti penurunan elastisitas paru,

pelebaran alveolus, dilatasi saluran bronkus, dan kifosis tulang

belakang yang menghambat ekspansi paru sehingga

berpengaruh pada penurunan kadar oksigen.

7) Lingkungan

Kondisi lingkungan dapat mempengaruhi kebutuhan

oksigenasi, seperti faktor alergi, ketinggian tanah, dan suhu.

Kondisi tersebut memengaruhi kemampuan adaptasi.

8) Stress

Menurut Salim, S (2014) menyatakan bahwa stress dan

gangguan psikologis dapat meingkatkan kebutuhan konsumsi

oksigen.

9) Perilaku

Menurut Mubarak, W.I. dkk, (2015), faktor perilaku yang

dapat memengaruhi kebutuhan oksigenasi adalah nutrisi, exercise,

merokok, substance abuse (alkohol dan obat-obatan) dan

kecemasan.

a) Nutrisi : Misalnya pada obesitas mengakibatkan penurunan

ekspansi paru, gizi yang buruk menjadi anemia sehingga daya

ikat oksigen berkurang, diet yang tinggi lemak menimbulkan

arteriosklerosis.

b) Exercise : Exercice akan meningkatkan kebutuhan oksigen.


52

c) Merokok : Nikotin menyebabkan vasokontriksi pembuluh

darah perifer dan koroner.

d) Substance abuse (alkohol dan obat-obatan) : Menyebabkan

intake nutrisi/Fe menurun yang dapat mengakibatkan

penurunan hemoglobin. Alkohol menyebabkan depresi pusat

pernapasan.

e) Kecemasan : Menyebabkan metabolisme meningkat.

10) Cara pemberian terapi oksigen

Cara pemberian oksigen juga berpengaruh terhadap

oksigenasi dalam tubuh. Hal ini dikarenakan setiap jenis pemberian

oksigen memiliki konsentrasi Fraksi Oksigen Inspirasi (FiO2) yang

berbeda (Morton, PG dkk, 2012).

Selain faktor di atas, menurut Mansjoer, A dan Yohanes W.H.

George (2008), faktor penyakit, obat-obatan, aktivitas dapat

mempengaruhi konsumsi okigen dalam tubuh (tabel 2.6).

Tabel 2.6 Faktor-faktor Penyebab Perubahan Konsumsi Oksigen

Peningkatan konsumsi
Faktor
oksigen (%)
Kondisi yang dapat meningkatakan VO2
Operasi kecil 7
Demam (setiap 1oC) 10
Fraktur 10
Agitasi 16
53

Peningkatan konsumsi
Faktor
oksigen (%)
Peningkatan kerja pernapasan 40
Infeksi berat 60
Trauma dada 20 – 80
Gagal organ multiple 50 – 100
Gemetaran 100
Luka bakar 50 – 100
Sepsis 50 – 100
Cedera kepala (dibius) 89
Cedera kepala (tidak dibius) 138
Obat yang meningkatkan VO2
Norepinephrine (0.10 – 0.31 µg/kg/min) 10 – 21
Dopamin (5 µg/kg/min) 6
Dopamin (10 µg/kg/min) 15
Dobutamin 19
Epinephrine (0.10 µg/kg/min) 23 – 29
Tindakan/aktivitas yang meningkatkan VO2
Dressing 10
Pengkajian keperawatan 12
Elektrocardiogram 16
Pemeriksaan fisik 20
Mandi 23
Chest X-Ray 25
Endotracheal suctioning 27
Fisioterapi dada 35
Turun dari tempat tidur 39
Nasal intubation 25 – 40
Sumber : Mansjoer, A dan Yohanes W.H. George (2008)
54

e. Komplikasi Pemberian Terapi Oksigen

Pemberian oksigen dapat menyebabkan ketidaknyamanan pada

pasien, kerusakan kulit, dan berbagai komplikasi lain. Pemberian

oksigen jangka panjang melalui kanula nasal, bahkan dengan

humidifikasi sekalipun, dapat menyebabkan membran mukosa kering,

epistaksis, atau infeksi pada lubang hidung. Selang kanula hidung,

sungkup wajah (termasuk pengikatnya), dan kerah trakeostomi dapat

menyebabkan kerusakan kulit disekitar wajah, batang hidung,

tengkuk, atau bagian belakang telinga. Pemberian oksigen dapat

mengalami kegagalan apabila selang oksigen tidak terhubung dengan

dinding sehingga menyebabkan hipoksia yang disertai dengan

disritmia atau peningkatan dispnea (Morton, P.G, dkk.2012).

Toksisitas oksigen mulai terjadi pada pasien yang bernapas

dengan konsentrasi oksigen lebih dari 50% selama lebih dari 25 jam.

Pasien yang mendapat ventilasi oksigen konsentrasi tinggi dalam

periode waktu yang lama berisiko mengalami toksisitas oksigen.

Toksisitas oksigen paru terjadi jika FiO2 lebih dari 60% dapat merusak

membran alveolar jika diinhalasi selama 24 – 48 jam (Ward, jeremy,

dkk, 2007). Untuk mencegah perubahan toksisitas oksigen selular

yang sifatnya patologis, nilai FiO2 pasien harus diturunkan sesuai

toleransi hingga pengaturan terendah yang mungkin dilakukan sejauh

nilai PaO2 tetap di atas 60 mmHg.


55

f. Algoritma pemberian terapi oksigen berdasarkan nilai saturasi

Pasien yang dicurigai hipoksemia


dimana inisiasi pemberian oksigen
mungkin diindikasikan : dapatkan
oksimetri segera

Apakah pasien dalam risiko


hiperkapnea gagal napas?

Ya Tidak

SpO2 <88% SpO2 ≥88% SpO2 <85% SpO2 85 - 91% SpO2 >92%

1. Oksigen awal 1-2 1. Tanpa terapi 1. Oksigen awal 4 1. Oksigen awal 2-4 1. Oksigen tidak
L/menit nasal kanul oksigen. L/menit nasal kanul L/menit nasal kanul diperlukan secara
atau 2-4 L/menit atau 5-10 L/menit atau metode rutin.
melalui 24% atau 2. Teruskan melalui sungkup pemberian oksigen
28% masker venturi. pemantauan. muka sederhana atau lain yang sesuai. 2. Teruskan
15 L/menit melalui pemantauan SpO2.
2. Pemberian O2 hingga 3. Pertimbangkan masker non- 2. Pemberian O2 hingga
target mencapai pemeriksaan rebrithing. target mencapai
SpO2 88 – 92%. Analisa Gas SpO2 92 – 96%.
Darah. 2. Pemberian O2 hingga
3. Berikan target mencapai 3. Pemeriksaan Analisa
bronkodilator (jika SpO2 92 – 96%. Gas Darah.
diperlukan). SpO2 <88%
3. Pemeriksaan Analisa
4. Pemeriksaan Analisa Gas Darah.
Gas Darah.

PpH < 7,35 dan PpH ≥ 7,35 PaCO2 >45 mmHg PaCO2 <45 mmHg SpO2 <92%
PaCO2 > 45 mmHg atau PaO2 <60 dan PaO2 ≥ 60
mmHg mmHg
(meskipun aliran
tinggi O2 melalui
1. Pertimbangkan Memerlukan oksigen masker)
ventilasi invasif/non- untuk
invasif dan/atau mempertahankan 1. Pertimbangkan 1. Monitor SpO2
masuk ruangan SpO2 dalam rentang ventilasi
ICU/HDU. target 88-92%. invasif/non-invasif 2. Berikan oksigen
dan/atau masuk untuk
2. Pertahankan SpO2 mempertahankan
ruangan
dalam rentang target SpO2 dalam rentang
ICU/HDU.
88-92%. target 92-96%.
2. Pemberian oksigen
dengan target
tergantung derajat
hiperkapnea atau
hipoksemia.

Gambar 2.11 Algoritma penatalaksanaan terapi oksigen


Sumber : Beasley, R. et al (2015)
56

g. Keterkaitan terapi oksigen berdasarkan derajat asma

Derajat keparahan serangan asma sangat penting diketahui

untuk mengetahui secara dini kasus kegawatdaruratan pada pasien

asma. Penilaian derajat keparahan asma merupakan langkah awal

untuk dapat memberikan terapi atau tindakan keperawatan yang tepat

untuk pasien. Tindakan awal yang tepat akan sangat bermanfaat untuk

keselamatan pasien dan keberhasilan tindakan selanjutnya (Wedri,

N.M, dkk, 2013).

Berdasarkan hasil penelitian oleh Beasley, R. et al, (2015),

asma derajat intermiten dengan SpO2 >95% dapat diberikan terapi

oksigen menggunakan nasal kanul atau kateter nasal (namun tidak

diperlukan secara rutin) sebanyak 1-2 liter/menit, asma derajat

persisten ringan dengan SpO2 91-95% dapat diberikan terapi oksigen

menggunakan nasal kanul dengan pemberian awal 2-4 liter/menit,

asma derajat persisten sedang dengan SpO2 <91% dapat diberikan

terapi oksigen menggunakan sungkup muka (masker) sederhana

dengan pemberian awal 5-10 liter/menit dan asma derajat persisten

berat dengan SpO2 <85% dapat diberikan terapi oksigen oksigen

menggunakan masker non-rebreathing dengan pemberian 15

liter/menit.
57

3. Posisi Semi fowler dan fowler

a. Posisi semi fowler

1) Definisi

Posisi semi fowler (setengah duduk) adalah posisi tidur

pasien dengan kepala dan dada lebih tinggi dari pada posisi

panggul dan kaki. Kepala dan dada pasien dinaikkan dengan sudut

30-45o (Suparmi, 2008).

Posisi semi fowler merupakan posisi tempat tidur dimana

posisi kepala dan tubuh ditinggikan 15o hingga 45o. Posisi ini

biasanya disebut dengan fowler rendah dan biasanya ditinggikan

setinggi 30o (Kozier & Erb’s, 2016).

Gambar 2.12 Posisi semi fowler


Sumber : Kozier & Erb’s (2016)

2) Tujuan

Tujuan pemberian posisi semi fowler adalah membantu

mengatasi masalah kesulitan pernapasan dan pasien dengan

gangguan jantung (Suparmi, 2008).


58

3) Rasional

Penggunaan gaya gravitasi dapat mengurangi tegangan intra

abdomen dan otot abdomen, memperlancar gerakan pernafasan

pada pasien yang bedrest total, pada ibu post partum akan

memperbaiki drainase uterus, dan memberikan rasa nyaman bagi

pasien dalam beristirahat (Doenges, M.E, et al, 2010).

b. Posisi fowler

1) Definisi

Posisi fowler adalah posisi duduk dengan bagian kepala

tempat tidur lebih tinggi atau dinaikkan 90o (Hidayat, A. Aziz,

2008).

Posisi fowler merupakan posisi tempat tidur dimana posisi

kepala dan tubuh ditinggikan 45o hingga 60o dimana posisi lutut

mungkin/mungkin tidak dalam posisi tertekuk (Kozier & Erb’s,

2016).

Gambar 2.13 Posisi fowler


Sumber : Kozier & Erb’s (2016)
59

2) Tujuan

Menurut Hidayat, A. Aziz, (2008) posisi fowler bertujuan

untuk mempertahankan kenyamanan dan memfasilitasi fungsi

pernapasan pasien.

3) Rasional

Meningkatkan dorongan pada diafragma sehingga

meningkatnya ekspansi dada dan ventilasi paru serta menurunkan

upaya pernapasan (Doenges, M.E, et al, 2010).

4. Saturasi Oksigen

a. Definisi

Saturasi oksigen merupakan presentasi hemoglobin yang

berikatan dengan oksigen dalam arteri, saturasi oksigen normal adalah

antara 95 – 100 %. Hal ini di tujukan sebagai derajat kejenuhan atau

saturasi (SpO2) (Widiyanto dan Yamin, 2014). Faktor-faktor yang

dapat memengaruhi saturasi oksigen antara lain : jumlah oksigen yang

masuk ke paru-paru, kecepatan melakukan difusi, dan kapasitas

hemoglobin (Hb) dalam membawa oksigen (Potter & Perry, 2006).

b. Pengukuran Saturasi Oksigen

Pengukuran saturasi oksigen dapat dilakukan dengan beberapa

tehnik. Salah satunya adalah penggunaan oksimetri nadi merupakan

tehnik yang efektif untuk memantau pasien terhadap perubahan


60

saturasi oksigen yang kecil atau mendadak (Tarwoto dan Watonah

2010).

Adapun cara pengukuran saturasi oksigen antara lain:

1) Saturasi oksigen arteri (SaO2) nilai di bawah 90% menunjukan

keadaan hipoksemia (yang juga dapat disebabkan oleh anemia).

Hipoksemia karena SaO2 rendah ditandai dengan sianosis.

Oksimetri nadi adalah metode pemantauan non invasif secara

kontinyu terhadap saturasi oksigen hemoglobin (SaO2). Oksimetri

nadi digunakan dalam banyak lingkungan, termasuk unit perawatan

kritis, unit keperawatan umum, dan pada area diagnostik dan

pengobatan ketika diperlukan pemantauan saturasi oksigen selama

prosedur.

2) Saturasi oksigen vena (SvO2) diukur untuk melihat berapa banyak

mengkonsumsi oksigen tubuh. Dalam perawatan klinis, SvO2 di

bawah 60%, menunjukkan bahwa tubuh adalah dalam kekurangan

oksigen, dan iskemik penyakit terjadi. Pengukuran ini sering

digunakan pengobatan dengan mesin jantung-paru (Extracorporeal

Sirkulasi), dan dapat memberikan gambaran tentang berapa banyak

aliran darah pasien yang diperlukan agar tetap sehat.

3) Tissue oksigen saturasi (StO2) dapat diukur dengan spektroskopi

inframerah dekat. Tissue oksigen saturasi memberikan gambaran

tentang oksigenasi jaringan dalam berbagai kondisi.


61

4) Saturasi oksigen perifer (SpO2) adalah estimasi dari tingkat

kejenuhan oksigen yang biasanya diukur dengan oksimetri.

c. Oksimetri

Oksimetri adalah alat non-invasif yang digunakan untuk

memperkirakan saturasi oksigen darah arteri klien dengan cara

mendekatkan sensor pada jari tangan, jari kaki, hidung, cuping telinga,

atau dahi (atau sekitar tangan atau kaki pada neonatus).

Oksimetri memiliki dua jenis, yaitu oksimetri yang terhubung

dengan kabel listrik (gambar 2.14-A) dan oksimetri yang tidak

terhubung dengan kabel listrik (gambar 2.14-B). Nilai saturasi oksigen

adalah persentase dari semua hemoglobin yang mengikat oksigen.

Oksimetri dapat mendeteksi hipoksemia sebelum tanda-tanda klinis

dan gejala, seperti warna kehitaman di kulit dan kuku (Kozier &

Erb’s, 2016).

Gambar 2.14-A Oksimetri dengan kabel listrik, 2.14-B Oksimetri tanpa


kabel listrik
Sumber : Kozier & Erb’s (2016)
62

Sensor oksimetri memiliki dua bagian, yaitu:

1) Dua diode pengemisi cahaya (LED) (satu cahaya merah satu

inframerah) pada satu sisi probe, yang mentransmisikan cahaya dan

inframerah melalui kuku, jaringan, darah vena, dan darah arteri.

2) Sensor cahaya ditempatkan tepat di seberang LED (misalnya, sisi

lain dari jari, kaki, atau hidung), karena photodetektor mengukur

jumlah cahaya merah dan inframerah diserap oleh hemoglobin

oksigen dan terdeoksigenasi dalam darah arteri perifer disebut

dengan SpO2. Nilai saturasi oksigen normal berkisar 95% sampai

100% dan di bawah 70% dapat mengancam kehidupan.

d. Faktor-faktor yang Memengaruhi Pembacaan Saturasi Oksigen

Faktor-faktor yang mempengaruhi pembacaan saturasi oksigen

antara lain:

1) Hemoglobin

Jika Hb tersaturasi penuh dengan O2 walaupun nilai Hb

rendah maka akan menunjukkan nilai normalnya. Misalnya pada

klien dengan anemia memungkinkan nilai SpO2 dalam batas

normal.

2) Sirkulasi

Oksimetri tidak akan memberikan bacaan yang akurat jika

area yang di bawah sensor mengalami gangguan sirkulasi.


63

3) Aktivitas

Menggigil atau pergerakan yang berlebihan pada area

sensor dapat menggangu pembacaan SpO2 yang akurat.

4) Keracunan Karbon monoksida

Oksimetri tidak bisa membedakan antara hemoglobin jenuh

dengan karbon monoksida dibandingkan oksigen. Dalam hal ini,

langkah-langkah lain oksigenasi diperlukan (Potter & Perry, 2006,

Kozier & Erb’s, 2016).


64

B. Kerangka Teori

Penyebab Asma
Faktor ekstrinsik, Pemberian posisi
intrinsik, dan campuran
Semi fowler
Gagal jantung kongestif Fowler
Bronkospasme yang
persisten Meningkatkan
ekspansi paru

Terapi Farmakologi Asma Bronkial Terapi Oksigen


Kromolin Intermiten Kateter nasal
Metilxantin Persisten ringan Nasal kanul

Modifikator leukotrin Persisten sedang Oksigen transtrakea


(OTT)
Kortikosteroid Persisten berat
Sungkup muka
Agonis β2 (masker) sederhana
Prednisolon/metilpred Asma Kardial Rebreather mask
nisolon
Non-rebreather
Furosemid mask
Status asmatikus Masker venturi
Aminofilin
Face tent

Ventilasi noninvasif

Perubahan saturasi
oksigen

Gambar 2.15 Kerangka Teori Penelitian Efektivitas Pemberian Oksigen pada


Posisi Semi Fowler dengan Fowler terhadap Perubahan Saturasi

Anda mungkin juga menyukai