HEPATITIS B
Disusun Oleh :
Ita Rosita 1620221206
Pembimbing :
dr. M. Maschun Syarifudin, Sp. PD
HEPATITIS B
Disusun oleh :
Ita Rosita 1620221206
2
I. PENDAHULUAN
Hepatitis B adalah infeksi hati yang disebabkan oleh virus hepatitis B (VHB)
yang dapat menyebabkan penyakit akut maupun kronis (WHO, 2015). Hepatitis B
secara umum dapat ditularkan melalui perkutan atau parenteral, contohnya adalah
dengan menggunakan jarum non steril atau berbagi jarum suntik pada tato, injeksi
obat dan akupunktur, kontak seksual dengan orang yang terinfeksi, dan paparan
perinatal dari ibu yang terinfeksi (Yogarajah dkk. 2013).
Hepatitis virus B (HVB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
serius di seluruh dunia (WHO, 2015). Jumlah penderita di dunia diperkirakan
terdapat 350 juta (Astuti, 2014), dengan prevalensi tertinggi di sub-Sahara Afrika
dan Asia Timur. Kebanyakan orang di wilayah ini terinfeksi dengan virus hepatitis
B selama masa anak-anak, sedangkan 5-10% dari populasi orang dewasa terinfeksi
secara kronis (WHO, 2015).
Risiko infeksi hepatitis B menjadi penyakit kronis berbanding terbalik dengan
usia. Infeksi hepatitis B kronis ditemukan pada sekitar 90% dari bayi yang terinfeksi
pada saat lahir, 25-50% anak-anak terinfeksi pada 1-5 tahun, dan sekitar 1-5% dari
orang yang terinfeksi merupakan anak-anak yang lebih dari 5 tahun dan orang
dewasa. Infeksi hepatitis B kronis juga sering terjadi pada orang dengan
imunodefisiensi (WHO, 2015).
Prevalensi rata-rata hepatitis B di Indonesia adalah 10%, dengan variasi
antara 3,4-20,3% di setiap daerah (Astuti, 2014). Pada tahun 2013 ada 13 provinsi
yang memiliki angka prevalensi hepatitis B di atas rata-rata nasional yaitu Nusa
Tenggara Timur, Papua, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Maluku, Sulawesi
Tenggara, Sulawesi Utara, Aceh, Nusa Tenggara Barat, Maluku Utara, Kalimantan
Tengah, Sumatra Utara, Kalimantan Selatan (Balitbang Kemenkes RI, 2013).
Hepatitis virus B dapat menunjukkan gejala penyakit akut yang berlangsung
beberapa minggu, seperti kulit dan mata ikterik (jaundice), urin berwarna lebih
gelap, kelelahan yang ekstrem, mual, muntah, dan sakit perut. Virus hepatitis B juga
dapat menyebabkan infeksi hati kronis yang dapat berkembang menjadi sirosis dan
karsinoma hepatoseluler (WHO, 2015).
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis
B, suatu anggota famili hepadnaviridae yang dapat menyebabkan peradangan hati
akut atau kronis yang dapat berlanjut menjadi sirosis hati atau kanker hati. Hepatitis
B akut jika perjalanan penyakit kurang dari 6 bulan sedangkan Hepatitis B kronis
bila penyakit menetap, tidak menyembuh secara klinis atau laboratorium atau pada
gambaran patologi anatomi selama 6 bulan (Mustofa & Kurniawaty, 2013).
B. Etiologi
Virus Hepatitis B adalah virus (Deoxyribo Nucleic Acid) DNA terkecil
berasal dari genus Orthohepadnavirus, famili Hepadnaviridae berdiameter 40-42
nm (Hardjoeno, 2007). Masa inkubasi berkisar antara 15-180 hari dengan rata-rata
60-90 hari (Sudoyo dkk., 2009). Bagian luar dari virus ini adalah protein envelope
lipoprotein, sedangkan bagian dalam berupa nukleokapsid atau core (Hardjoeno,
2007).
Virus ini memiliki tiga antigen spesifik yang dapat dilihat pada gambar 1,
yaitu antigen surface, envelope, dan core. Hepatitis B surface antigen (HBsAg)
merupakan kompleks antigen yang ditemukan pada permukaan VHB, dahulu
disebut dengan Australia (Au) antigen atau hepatitis associated antigen (HAA).
Adanya antigen ini menunjukkan infeksi akut atau karier kronis yaitu lebih dari 6
bulan. Hepatitis B core antigen (HbcAg) merupakan antigen spesifik yang
berhubungan dengan 27 nm inti pada VHB. Antigen ini tidak terdeteksi secara rutin
dalam serum penderita infeksi VHB karena hanya berada di hepatosit. Hepatitis B
envelope antigen (HBeAg) merupakan antigen yang lebih dekat hubungannya
dengan nukleokapsid VHB. Antigen ini bersirkulasi sebagai protein yang larut di
serum. Antigen ini timbul bersamaan atau segera setelah HBsAg, dan hilang
bebebrapa minggu sebelum HBsAg hilang. Antigen ini ditemukan pada infeksi akut
dan pada beberapa karier kronis (Price & Wilson, 2012).
4
Gambar 1. Struktur virus hepatitis B (www.biomedika.co.id)
C. Epidemiologi
Infeksi VHB merupakan penyebab utama hepatitis akut, hepatitis kronis,
sirosis, dan kanker hati di dunia. Infeksi ini endemis di daerah Timur Jauh, sebagian
besar kepulaan Pasifik, banyak negara di Afrika, sebagian Timur Tengah, dan di
lembah Amazon. Center for Disease Control and Prevention (CDC)
memperkirakan bahwa sejumlah 200.000 hingga 300.000 orang (terutama dewasa
muda) terinfeksi oleh VHB setiap tahunnya (Price & Wilson, 2012).
Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 menunjukkan bahwa jumlah orang
yang didiagnosis Hepatitis di fasilitas pelayanan kesehatan berdasarkan gejala-
gejala yang ada, menunjukkan peningkatan 2 kali lipat apabila dibandingkan dari
data tahun 2007 dan 2013. Pada tahun 2007, lima provinsi dengan prevaleni
Hepatitis tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur, Papua, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Tengah, dan Maluku, sedangkan pada tahun 2013 ada 13 provinsi yang memiliki
angka prevalensi di atas rata-rata nasional yaitu Nusa Tenggara Timur, Papua,
Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Maluku, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara,
Aceh, Nusa Tenggara Barat, Maluku Utara, Kalimantan Tengah, Sumatra Utara,
Kalimantan Selatan. Prevalensi Hepatitis tertinggi terdapat pada kelompok umur
45-54 dan 65-74 (1,4%). Penderita Hepatitis baik pada laki-laki maupun perempuan
proporsinya tidak berbeda secara bermakna. Jenis pekerjaan juga mempengaruhi
prevalensi, penderita Hepatitis banyak ditemukan pada petani/nelayan/buruh
dibandingkan jenis pekerjaan lainnya (Balitbang Kemenkes RI, 2013).
5
D. Penularan
Cara utama penularan VHB adalah melalui parenteral dan menembus
membran mukosa, terutama berhubungan seksual (Price & Wilson, 2012). Penanda
HBsAg telah diidentifikasi pada hampir setiap cairan tubuh dari orang yang
terinfeksi yaitu saliva, air mata, cairan seminal, cairan serebrospinal, asites, dan air
susu ibu. Beberapa cairan tubuh ini (terutama semen dan saliva) telah diketahui
infeksius (Thedja, 2012). Jalur penularan infeksi VHB di Indonesia yang terbanyak
adalah secara parenteral yaitu secara vertikal (transmisi) maternal-neonatal atau
horizontal (kontak antar individu yang sangat erat dan lama, seksual, iatrogenik,
penggunaan jarum suntik bersama). Virus Hepatitis B dapat dideteksi pada semua
sekret dan cairan tubuh manusia, dengan konsentrasi tertinggi pada serum (Juffrie
dkk. 2010).
E. Patogenesis Hepatitis B
Infeksi VHB berlangsung dalam dua fase. Selama fase proliferatif, DNA
VHB terdapat dalam bentuk episomal, dengan pembentukan virion lengkap dan
semua antigen terkait. Ekspresi gen HBsAg dan HBcAg di permukaan sel disertai
dengan molekul MHC kelas I menyebabkan pengaktifan limfosit T CD8+ sitotoksik.
Selama fase integratif, DNA virus meyatu kedalam genom pejamu. Seiring dengan
berhentinya replikasi virus dan munculnya antibody virus, infektivitas berhenti dan
kerusakan hati mereda. Namun risiko terjadinya karsinoma hepatoselular menetap.
Hal ini sebagian disebabkan oleh disregulasi pertumbuhan yang diperantarai
protein X VHB. Kerusakan hepatosit terjadi akibat kerusakan sel yang terinfeksi
virus oleh sel sitotoksik CD8+ (Kumar dkk. 2012). Fase tersebut dapat dilihat pada
gambar 2.
6
Gambar 2. Patogenesis imun pada virus hepatitis B (Sumber: Ganem et al,
2004).
7
Gambar 3. Patogenesis infeksi virus hepatitis B (Sumber: Dienstag, 2008).
F. Patofisiologi Hepatitis B
Sel hati manusia merupakan target organ bagi virus Hepatitis B. Virus
Hepatitis B mula-mula melekat pada reseptor spesifik di membran sel hepar
8
kemudian mengalami penetrasi ke dalam sitoplasma sel hepar. Virus melepaskan
mantelnya di sitoplasma, sehingga melepaskan nukleokapsid. Selanjutnya
nukleokapsid akan menembus sel dinding hati. Asam nukleat VHB akan keluar dari
nukleokapsid dan akan menempel pada DNA hospes dan berintegrasi pada DNA
tersebut. Proses selanjutnya adalah DNA VHB memerintahkan sel hati untuk
membentuk protein bagi virus baru. Virus Hepatitis B dilepaskan ke peredaran
darah, terjadi mekanisme kerusakan hati yang kronis disebabkan karena respon
imunologik penderita terhadap infeksi (Mustofa & Kurniawaty, 2013). Proses
replikasi virus tidak secara langsung bersifat toksik terhadap sel, terbukti banyak
carrier VHB asimtomatik dan hanya menyebabkan kerusakan hati ringan. Respon
imun host terhadap antigen virus merupakan faktor penting terhadap kerusakan
hepatoseluler dan proses klirens virus, makin lengkap respon imun, makin besar
klirens virus dan semakin berat kerusakan sel hati. Respon imun host dimediasi oleh
respon seluler terhadap epitop protein VHB, terutama HBsAg yang ditransfer ke
permukaan sel hati. Human Leukocyte Antigen (HLA) class I-restricted CD8+ cell
mengenali fragmen peptida VHB setelah mengalami proses intrasel dan
dipresentasikan ke permukaan sel hati oleh molekul Major Histocompability
Complex (MHC) kelas I. Proses berakhir dengan penghancuran sel secara langsung
oleh Limfosit T sitotoksik CD8+ (Hardjoeno, 2007).
9
artalgia, mudah lelah, gejala saluran napas atas dan anoreksia. Diare atau
konstipasi dapat terjadi. Nyeri abdomen biasanya ringan dan menetap di kuadran
kanan atas atau epigastrum, kadang diperberat dengan aktivitas akan tetapi
jarang menimbulkan kolestitis.
3. Fase ikterus
Ikterus muncul setelah 5-10 hari, tetapi dapat juga muncul bersamaan dengan
munculnya gejala. Banyak kasus pada fase ikterus tidak terdeteksi. Setelah
timbul ikterus jarang terjadi perburukan gejala prodromal, tetapi justru akan
terjadi perbaikan klinis yang nyata.
4. Fase konvalesen (penyembuhan)
Diawali dengan menghilangnya ikterus dan keluhan lain, tetapi hepatomegali
dan abnormalitas fungsi hati tetap ada. Muncul perasaan sudah lebih sehat dan
kembalinya nafsu makan. Sekitar 5-10% kasus perjalanan klinisnya mungkin
lebih sulit ditangani, hanya <1% yang menjadi fulminan (Sudoyo dkk. 2009).
10
3. Fase Residual
Tubuh berusaha menghancurkan virus dan menimbulkan pecahnya sel-sel hati
yang terinfeksi VHB. Sekitar 70% dari individu tersebut akhirnya dapat
menghilangkan sebagian besar partikel virus tanpa ada kerusakan sel hati yang
berarti. Fase residual ditandai dengan titer HBsAg rendah, HBeAg yang menjadi
negatif dan anti-HBe yang menjadi positif, serta konsentrasi ALT normal. Pada
sebagian pasien dalam fase residual, pada waktu terjadi serokonversi HBeAg
positif menjadi antiHBe justru sudah terjadi sirosis. Hal ini disebabkan karena
terjadinya fibrosis setelah nekrosis yang terjadi pada kekambuhan yang
berulang-ulang sebelum terjadinya serokonversi tersebut. (Sudoyo dkk. 2009).
11
masih jarang dilakukan secara rutin. Dengan demikian perlu dilakukan
pemeriksaan ALT berulang kali untuk waktu yang cukup lama.
H. Diagnosis Hepatitis B
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Anamnesis umumnya tanpa keluhan, perlu digali riwayat transmisi
seperti pernah transfusi, seks bebas, riwayat sakit kuning sebelumnya. Pemeriksaan
fisik didapatkan hepatomegali. Pemeriksaan penunjang terdiri dari pemeriksaan
laboratorium, USG abdomen dan Biopsi hepar (Mustofa & Kurniawaty, 2013).
Pemeriksaan laboratorium pada VHB terdiri dari pemeriksaan biokimia, serologis,
dan molekuler (Hardjoeno, 2007). Pemeriksaan USG abdomen tampak gambaran
hepatitis kronis, selanjutnya pada biopsi hepar dapat menunjukkan gambaran
peradangan dan fibrosis hati (Mustofa & Kurniawaty, 2013).
Pemeriksaan laboratorium pada VHB terdiri dari:
1. Pemeriksaan Biokimia
Stadium akut VHB ditandai dengan AST dan ALT meningkat >10 kali nilai
normal, serum bilirubin normal atau hanya meningkat sedikit, peningkatan
Alkali Fosfatase (ALP) >3 kali nilai normal, dan kadar albumin serta kolesterol
dapat mengalami penurunan. Stadium kronik VHB ditandai dengan AST dan
ALT kembali menurun hingga 2-10 kali nilai normal dan kadar albumin rendah
tetapi kadar globulin meningkat (Hardjoeno, 2007).
2. Pemeriksaan serologis
Indikator serologi awal dari VHB akut yang dapat dilihat pada gambar 4
dan kunci diagnosis penanda infeksi VHB kronik adalah HBsAg, dimana infeksi
bertahan di serum >6 bulan (EASL, 2009). Pemeriksaan HBsAg berhubungan
dengan selubung permukaan virus. Sekitar 5-10% pasien, HBsAg menetap di
dalam darah yang menandakan terjadinya hepatitis kronis atau carrier
(Hardjoeno, 2007). Setelah HBsAg menghilang, anti-HBs terdeteksi dalam
serum pasien dan terdeteksi sampai waktu yang tidak terbatas sesudahnya.
Karena terdapat variasi dalam waktu timbulnya anti-HBs, kadang terdapat suatu
tenggang waktu (window period) beberapa minggu atau lebih yang memisahkan
hilangnya HBsAg dan timbulnya anti-HBs. Selama periode tersebut, anti-HBc
dapat menjadi bukti serologik pada infeksi VHB (Asdie dkk. 2012).
12
Gambar 4. Penanda serologi Virus Hepatitis B akut (Sumber: Roche Diagnostics,
2011)
Hepatitis B core antigen dapat ditemukan pada sel hati yang terinfeksi, tetapi
tidak terdeteksi di dalam serum (Hardjoeno, 2007). Hal tersebut dikarenakan
HBcAg terpencil di dalam mantel HBsAg. Penanda Anti-HBc dengan cepat terlihat
dalam serum, dimulai dalam 1 hingga 2 minggu pertama timbulnya HBsAg dan
mendahului terdeteksinya kadar anti-HBs dalam beberapa minggu hingga beberapa
bulan (Asdie dkk. 2012).
Penanda serologik lain adalah anti-HBc, antibodi ini timbul saat terjadinya
gejala klinis. Saat infeksi akut, anti HBc IgM umumnya muncul 2 minggu setelah
HBsAg terdeteksi dan akan menetap ± 6 bulan. Pemeriksaan anti-HBc IgM penting
untuk diagnosis infeksi akut terutama bila HBsAg tidak terdeteksi (window period).
Penanda anti-HBc IgM menghilang, anti-HBc IgG muncul dan akan menetap dalam
jangka waktu lama (Hardjoeno,2007).
Hepatitis B envelope antigen merupakan peptida yang berasal dari core virus,
ditemukan hanya pada serum dengan HBsAg positif. Penanda HBeAg timbul
bersamaan dengan dihasilkannya DNA polimerase virus sehingga lebih
menunjukkan terjadinya replikasi virus dan jika menetap kemungkinan akan
menjadi penyakit hati kronis (Hardjoeno, 2007). Penanda serologi Virus Hepatitis
B kronis dapat dilihat pada gambar 5.
13
Gambar 5. Penanda serologi Virus Hepatitis B kronis (Sumber: Roche
Diagnostics,2011)
3. Biopsi Hati
Pada segitiga portal terdapat infiltrasi sel radang terutama limfosit dan sel
plasma, dapat terjadi fibrosis yang makin meningkat sesuai dengan derajat
keparahan penyakit. Sel radang dapat masuk ke dalam lobulus sehingga terjadi erosi
limiting plate, sel-sel hati dapat mengalami degenerasi baluning dan dapat terjadi
badan asidofil (acidophilic bodies).
Gambaran histopatologi diklasifikasikan berdasarkan skor yang
menunjukkan intensitas nekrosis (grade) dan progresi struktural penyakit hati (stage)
Berikut ini rincian dari sistem skor tersebut:
a. Aktivitas peradangan portal dan lobular
0. Tidak ada peradangan portal atau peradangan portal minimal
1. Peradangan portal tanpa nekrosis atau Peradangan lobular tanpa nekrosis
2. Limiting plate necrosis ringan (Interface Hepatitis ringan) dengan atau
nekrosis lobular yang bersifat fokal
3. Limiting plate necrosis sedang atau Interface Hepatitis sedang dan atau
nekrosis fokal berat (Confluent necrosis)
4. Limiting plate necrosis berat (Interface hepatitis berat) dan atau bridging
necrosis
b. Fibrosis
0. Tidak ada Fibrosis
14
1. Fibrosis terbatas pada zona portal yang melebar
2. Pembentukan septa periportal atau septa portalportal dengan arsitektur yang
masih utuh
3. Distorsi arsitektur (Fibrosis septa bridging) tanpa sirosis yang jelas
4. Kemungkinan sirosis atau pasti sirosis
4. Pemeriksaan Molekuler
Pemeriksaan molekuler menjadi standar pendekatan secara laboratorium
untuk deteksi dan pengukuran DNA VHB dalam serum atau plasma. Pengukuran
kadar secara rutin bertujuan untuk mengidentifikasi carrier, menentukan prognosis,
dan monitoring efikasi pengobatan antiviral.
Metode pemeriksaannya antara lain:
a. Radioimmunoassay (RIA)
Mempunyai keterbatasan karena waktu paruh pendek dan diperlukan
penanganan khusus dalam prosedur kerja dan limbahnya.
b. Hybrid Capture Chemiluminescence (HCC)
Merupakan teknik hibridisasi yang lebih sensitif dan tidak menggunakan
radioisotope karena sistem deteksinya menggunakan substrat
chemiluminescence.
c. Amplifikasi signal (metode branched DNA/bDNA)
Bertujuan untuk menghasilkan sinyal yang dapat dideteksi hanya dari beberapa
target molekul asam nukleat.
d. Amplifikasi target (metode Polymerase Chain Reaction/PCR)
Telah dikembangkan teknik real-time PCR untuk pengukuran DNA VHB.
Amplifikasi DNA dan kuantifikasi produk PCR terjadi secara bersamaan dalam
suatu alat pereaksi tertutup (Hardjoeno, 2007). Pemeriksaan amplifikasi
kuantitatif (PCR) dapat mendeteksi kadar VHB DNA sampai dengan 102
kopi/mL, tetapi hasil dari pemeriksaan ini harus diinterpretasikan dengan hati-
hati karena ketidakpastian arti perbedaan klinis dari kadar VHB DNA yang
rendah. Berdasarkan pengetahuan dan definisi sekarang tentang Hepatitis B
kronik, pemeriksaan standar dengan batas deteksi 105-106 kopi/mL sudah cukup
untuk evaluasi awal pasien dengan Hepatitis B kronik. Untuk evaluasi
keberhasilan pengobatan maka tentunya diperlukan standar batas deteksi kadar
15
VHB DNA yang lebih rendah dan pada saat ini adalah yang dapat mendeteksi
virus sampai dengan <104 kopi/mL (PPHI, 2012).
I. Terapi Hepatitis B
1. Hepatitis B Akut
Tidak ada terapi spesifik untuk hepatitis virus akut yang khas. Pembatasan
aktivitas fisik seperti tirah baring dapat membuat pasien merasa lebih baik.
Diperlukan diet tinggi kalori dan hendaknya asupan kalori utama diberikan pada
pagi hari karena banyak pasien mengalami nausea ketika malam hari (PPHI, 2012).
Sekitar 95% kasus hepatitis B akut akan mengalami resolusi dan serokonversi
spontan tanpa terapi antiviral. Bila terjadi komplikasi hepatitis fulminant, maka
dapat diberikan lamivudine 100-150 mg/hari hingga 3 bulan setelah serokonversi
atau setelah muncul anti-HBe pada pasien HBsAG positif (Tanto dkk. 2014).
2. Hepatitis B Kronis
a. Tujuan Terapi
Tujuan utama dari pengobatan Hepatitis B kronik adalah untuk
mengeliminasi atau menekan secara permanen VHB. Pengobatan dapat
mengurangi patogenitas dan infektivitas akhirnya menghentikan atau mengurangi
inflamasi hati, mencegah terjadinya dekompensasi hati, menghilangkan DNA VHB
(dengan serokonversi HBeAg ke anti-Hbe pada pasien HBeAg positif) dan
normalisasi ALT pada akhir atau 6-12 bulan setelah akhir pengobatan (Soewignjo
& Gunawan, 2008). Tujuan jangka panjang adalah mencegah terjadinya hepatitis
flare yang dapat menyebabkan dekompensasi hati, perkembangan ke arah sirosis
dan/atau HCC (Hepato Cellular Carcinoma), dan pada akhirnya memperpanjang
usia (PPHI, 2012). Terapi antiviral yang telah terbukti bermanfaat untuk Hepatitis
B kronik adalah Interferon, Lamivudin, Adefovir dipofoxil dan Entecavir
(Soewignjo & Gunawan, 2008).
b. Inisiasi Terapi
Pengobatan harus segera dimulai pada pasien dengan penyakit hati yang aktif
(ditandai dengan peningkatan ALT >2 nilai batas atas normal; dalam dua kali
pengukuran yang berbeda dengan selang waktu minimal 1 bulan), atau bila biopsi
16
hati menunjukkan kerusakan yang signifikan (skor inflamasi: sedang-berat, skor
fibrosis METAVIR > F2). Sebaliknya, pengobatan dapat ditunda pada fase
imunotoleransi, serta diduga memiliki risiko kecil untuk menjadi sirosis dan KHS.
Berdasarkan Konsensus Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI) tahun
2012, algoritme terapi hepatitis B kronis dibagi menjadi dua: kelompok pasien
dengan HBeAg positif dan HBeAg negative. Keduanya memiliki perbedaan dalam
hal perjalanan penyakit, prognosis dan respon terapi. Pada kelompok HbeAg positif,
terapi ditujukan agar terjadi serokonversi menjadi HBeAg negative, dan pada
kelompok HBeAg negative, terapi diberikan hingga DNA-VHB tidak terdeteksi
lagi selama paling sedikit 2 kali pemeriksaan dalam selang waktu 6 bulan.
Algoritma terapi hepatitis B dapat dilihat pada gambar 6 dan gambar 7 (Tanto dkk.
2014).
17
Gambar 7. Algoritme Terapi Hepatitis B Kronis pada Kelompok HbeAg Negatif
(PPHI, 2012)
18
Tabel 1. Profil Regimen Obat Hepatitis B Kronis
J. Komplikasi Hepatitis B
Menurut Mandal dan Wilkins (2006), komplikasi hepatik dapat terjadi
hepatitis fulminan, hepatitis kronik aktif, hepatitis kronik persisten, sirosis hepatis,
hepatitis kolestatik dan hepatitis relaps, serta Hepatoma. Karier-kronis terjadi pada
10% kasus dan terkait dengan hepatitis kronis ringan (70%) atau aktif (30%) pada
biopsi hati. Progresi ke arah sisrosis atau hepatoma terjadi pada 25-30% karier
kronis; ini lebih mungkin terjadi pada pasien dengan tingkat replikasi yang tinggi
(karier HbeAg atau kadar DNA VHB yang tinggi). Komplikasi ekstrahepatik
seperti anemia aplastik, anemia hemolitik, trombositopeni, Sindrom Guillain-Barre
(GBS), ensephalomielitis, sindrom pascahepatitis (sindrom kelelahan kronis),
glomerulonefritis, dan vaskulitis.
K. Pencegahan
Pencegahan terhadap infeksi virus hepatitis B dilakukan melalui vaksinasi.
Vaksinasi hepatitis B terdiri atas partikel HbsAg yang tidak terglikosilasi, namun
tetap tidak dapat dibedakan oleh tubuh dari HbsAg natural. Pemberian vaksinasi
dibedakan menjadi pencegahan sebelum pajanan dan setelah pajanan. Profilaksis
sebelum pajanan terhadap infeksi virus hepatitis B pada umumnya diberikan kepada
pekerja kesehatan, pasien hemodialisis dan staf yang bertugas, pengguna obat-
obatan jarum suntik, pasien dengan partner seksual yang lebih dari 1, pasien yang
tinggal di area yang sangat endemik, maupun anak-anak yang berumur di bawah 18
tahun yang belum mendapatkan vaksinasi.
19
Pemberian dilakukan secara intramuskular di daerah deltoid, sebanyak 3 kali,
pada 0, 1, dan 6 bulan, dengan dosis bervariasi, tergantung jenis vaksinasi. Pasien
dengan kehamilan tidak menjadi kontraindikasi untuk vaksinasi ini. Vaksinasi
hepatitis B dapat melindungi 80-90% pasien selama sekurangnya 5 tahun dan 60-
80% selama 10 tahun. Booster tidak direkomendasikan untuk diberikan secara rutin,
kecuali pada pasien dengan sistem imunokompromais.
Vaksinasi pasca pajanan terhadap hepatitis B merupakan kombinasi antara
HBIG (Hepatitis B lmmunglobulin G) dan vaksine hepatitis B. Keduanya memiliki
tujuan masing-masing, yaitu HBIG untuk mencapai titer anti-HBs yang tinggi, dan
vaksin hepatitis B untuk mencapai imunitas yang bertahan lama). Pemberian HBIG
diberikan single dose, 0,06 mL/kgBB dan diberikan secara intramuskular, dalam
waktu maksimal 14 hari setelah pajanan. Pemberian vaksinasi dan HBIG dapat
dilakukan bersamaan namun pada tempat yang berbeda (Sudoyo dkk. 2009).
L. Prognosis Hepatitis B
Insiden kumulatif 5 tahun dari saat terdiagnosis hepatitis B kronis menjadi
sirosis hati ialah 8-20%. Insiden kumulatif 5 tahun dari sirosis hati kompensata
menjadi sirosis dekompensata pada hepatitis B kronis yang tidak diobati ialah 20%.
Pada kondisi sirosis dekompensata tersebut, angka survival dalam 5 tahun hanya
sekitar 14-35%. Dilain sisi, setelah terjadi sirosis hati, angka kejadian KHS pada
hepatitis B kronis ialah 2-5% (Tanto dkk. 2014).
20
DAFTAR PUSTAKA
European Association for the Study of Liver (EASL) 2009, Clinical practice
guidelines: management of chronic hepatitis, J Hepatol, 50:227-242, diakses
1 Agustus 2017, http://www.easl.eu/medias/cpg/issue8/English-Report.pdf
Kumar, V, Cotran, RS, Robbins, SL 2012, Buku ajar patologi Robbins, edisi ke-7,
EGC, Jakarta.
Mandal, BK, Wilkins, EGL, Dunbar, EM, Mayon, RT 2008, Lecture Notes:
Penyakit infeksi, edisi 6, Penerbit Erlangga, Jakarta.
21
Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI) 2012, Konsensus Nasional
Penatalaksanaan Hepatitis B, PPHI, Jakarta.
22