Anda di halaman 1dari 7

Wiwit Sari Handayani menambahkan 2 foto baru.

Jika mau Indonesia makmur, solusinya adalah Nasionalisasi perusahaan minyak AS seperti
Chevron, Exxon, Conoco, dsb. Bukan menaikkan harga BBM.

Arab Saudi meski jual minyaknya dgn harga Rp 2000/liter, tapi tetap untung dan makmur karena
mereka menasionalisasi perusahaan minyak AS Aramco di tahun 1974. Peningkatan mereka naik
besar2an sejak Nasionalisasi tsb.

2 foto terlampir adalah foto Masjidil Haram saat Arab Saudi masih dilanda kemiskinan, meski
saat itu mereka sudah memproduksi minyak lewat perusahaan AS, Aramco. Dan foto Masjidil
Haram saat Arab Saudi kaya setelah menasionalisasi Aramco.
---------------------------------------------------------
•Selama Kekayaan Alam Dirampok Asing Indonesia Akan Terus Miskin•

[Ladang Minyak dan Gas Indonesia Dikuasai Asing]

Kenapa Pesawat dan Helikopter TNI Indonesia sering jatuh sehingga lebih dari 150 orang tewas
di tahun 2008-2009?

Kenapa 11,5 juta rakyat Indonesia menderita busung lapar atau gizi buruk?

Kenapa 120 juta rakyat Indonesia hidup dalam kemiskinan (versi Bank Dunia)?

Kenapa meski SD-SMP gratis tapi SMU dan Perguruan Tinggi Negeri justru mahal dan tidak
terjangkau bagi rakyat miskin?

Kenapa pelayanan kesehatan umum di Indonesia sangat mahal dan tidak terjangkau?

Kenapa korupsi merajalela di Indonesia?

Kenapa rel kereta api dan kabel telpon dicuri?

Kenapa penculikan anak sering terjadi, begitu pula perampokan yang tak jarang menimbulkan
korban jiwa?

Kenapa Hutang Luar Negeri Indonesia terus meningkat dari Rp 1.200 trilyun di tahun 2004 jadi
Rp 1.600 trilyun di tahun 2009?

Kenapa Indonesia selalu bergantung pada Investor Asing dan jika tak ada Investor Asing datang
maka pembangunan tidak berjalan?

Jawaban dari semua pertanyaan di atas adalah karena Indonesia tidak punya cukup uang. Kenapa
tidak punya cukup uang? Karena kekayaan alam Indonesia dikuras asing dan perekonomiannya
dikuasai asing. Contohnya untuk tambang emas dan perak di Papua, Freeport dapat 99%
sementara 230 juta rakyat Indonesia harus puas dgn 1% saja. Bagaimana Indonesia tidak miskin?

Akibatnya, mayoritas rakyat Indonesia hidup dalam kemiskinan. Sebagian dari mereka terpaksa
mencuri, menculik, merampok dan sebagainya untuk mendapatkan uang. Seorang anggota
Kapak Merah yang didor polisi berkata, “Biarlah saya ditembak mati. Habis saya cuma lulus SD.
Cari kerja susah. Jadi merampok guna mendapatkan uang”

Pemerintah tidak bisa membeli pesawat dan helikopter baru untuk menggantikan pesawat dan
helikopter lama yang umurnya sudah 30 tahun lebih. Pemerintah hanya bisa memberi bantuan Rp
100 ribu/bulan untuk kurang dari 40 juta rakyat Indonesia. Itu pun BLT tidak bisa berjalan rutin
setiap bulan. Pemerintah tidak bisa membiayai penuh pendidikan dan kesehatan sehingga
mayoritas rakyat Indonesia meski tergolong miskin versi Bank Dunia harus membayar mahal
untuk pendidikan dan kesehatan.
Dengan mahalnya biaya pendidikan di SMU dan Perguruan Tinggi Negeri, maka jika zaman
ORBA mayoritas rakyat lulusan SMA, maka dalam 5-10 tahun mendatang jika kebijakan
Ekonomi tidak berubah rata-rata pendidikan hanya lulus SMP saja.

Karena pemerintah tidak punya cukup uang, maka terpaksa harus berhutang dan
menggantungkan pada datangnya Investor Asing. Jika tidak, pembangunan tidak akan jalan.
Menurut penganut paham Ekonomi Neoliberalisme tanpa hutang tidak mungkin ada
pembangunan. Padahal kalau hutang sudah membukit dan si peminjam sampai mendikte bangsa
Indonesia untuk menyerahkan kekayaan alam dan menjual BUMN yang dimiliki serta
menaikkan berbagai harga yang menyengsarakan rakyat, itu sudah tidak sehat lagi.

Hutang Indonesia yang sudah mencapai 68% dari GNP jelas sudah sangat besar dibanding
Singapura yang hanya 14%, Arab Saudi 11%, Iran 8%, atau bahkan Malta yang 0%! Jangan
“Besar Pasak daripada Tiang!” begitu kata-kata yang bijak dari nenek moyang kita.

Korupsi merajalela di negara kita karena gaji pejabat dan pegawai negeri di Indonesia sangat
kecil. Menurut seorang staf Bappenas, GAJI POKOK pejabat tertinggi hanya Rp 3 juta. Padahal
di AS, gaji pengantar Pizza saja yang menurut ukuran sana miskin, mencapai Rp 14 juta. Itu pun
belum termasuk Tips!

Gaji Presiden Indonesia kurang dari Rp 70 juta/bulan. Kekayaan Presiden SBY “hanya” RP 8,5
milyar! Padahal gaji CEO Chevron (satu perusahaan migas asing yang beroperasi di Indonesia)
mencapai US$ 7,8/tahun atau Rp 7,1 milyar/bulan. Artinya dalam 30 tahun masa kerja, CEO
perusahaan migas asing ini pendapatannya mencapai Rp 2,5 trilyun! Itu baru satu orang. Kalau
Direksi ada 5 orang dan komisaris ada 5 orang, semuanya bisa mendapat Rp 12 trilyun.
Darimana uang untuk menggaji mereka sebesar itu? Di antaranya ya dari minyak dan gas
Indonesia!

Coba anda bayangkan, jika Dirut perusahaan migas asing total gajinya mencapai Rp 2,5 trilyun,
sementara Dirut BUMN Pertamina hanya Rp 100 juta/bulan atau Rp 36 milyar, mana yang lebih
banyak mengambil uang dari kekayaan alam Indonesia? Tentu Dirut perusahaan asing bukan?
Bahkan seandainya Dirut BUMN itu korupsi Rp 1 trilyun pun tetap saja lebih banyak uang yang
diambil Dirut perusahaan asing dari bumi Indonesia dengan gaji raksasanya yang “legal.”

Silahkan lihat Daftar Perusahaan Terkaya versi Forbes 500:

http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_companies_by_revenue

1. Exxon Mobil, pendapatan $390.3 billion/tahun, gaji CEO, Rex W. Tillerson, $4.12M/tahun

3. Shell, pendapatan $355.8 billion/tahun, gaji CEO, Jeroen van der Veer, €7,509,244

4. British Petroleum, pendapatan $292 billion/tahun, gaji CEO, Tony Hayward, $4.73M

6. Total S.A., pendapatan $217.6


7. Chevron Corp., pendapatan 214.1 billion/tahun, gaji CEO, David J. O’Reilly, $7.82M

8. Saudi Aramco (BUMN Saudi), pendapatan $197.9 billion/tahun

10. ConocoPhillips, pendapatan $187.4 billion/tahun, gaji CEO, James Mulva, $6.88M

Total dari perusahaan itu saja (10 perusahaan teratas versi Forbes 500) yang juga beroperasi di
Indonesia mengelola kekayaan alam kita, itu US$ 1.655 milyar atau sekitar 17 ribu trilyun/tahun.
Di antaranya berasal dari kekayaan alam Indonesia. Jumlah itu 17 kali lipat dari APBN Indonesia
tahun 2009 yang hanya mencapai Rp 1.037 Trilyun.

Dari data di atas, cukup aneh jika Indonesia yang katanya untuk Migas dapat 85% (kalau
Pertambangan lain Indonesia memang cuma dapat 15%) dan asing cuma 15% ternyata dapat
tidak lebih dari Rp 350 trilyun/tahun dari Migas sementara 6 perusahaan migas tersebut yang
“cuma” dapat 15% bisa mendapat Rp 17.000 Trilyun! Atau 5.600% lebih! Menurut nalar saya itu
tidak masuk di akal.

Itu belum dari berbagai perusahaan lain seperti Freeport, Newmont, BHP, dsb yang menguasai
emas, perak, tembaga, nikel, dsb di Indonesia. Bisa jadi total penerimaan mereka sekitar Rp 30
Ribu Trilyun/tahun.

Ada yang menyebut bahwa selain yang 15% itu, pihak asing juga mengklaim “Cost Recovery”
untuk eksplorasi migas dan juga operasional sehingga besarnya bisa mencapai 30-40%. Selain
itu besar migas yang diproduksi juga tidak jelas. Amien Rais berkata, “Jika dari perusahaan
migas langsung gasnya disalurkan melalui pipa ke Singapura, bagaimana kita tahu berapa gas
yang sebenarnya diproduksi?”

Perbedaan signifikan besarnya angka pendapatan yang diperoleh 6 perusahaan Migas dengan
minimnya pendapatan yang diperoleh bangsa Indonesia harusnya menjadi satu indikasi yang
harus diinvestigasi.

Freeport yang sekedar “Tukang Cangkul” di Papua mendapat royalti emas dan perak sebesar
99%, sementara lebih dari 230 juta rakyat Indonesia yang merupakan pemilik tambang emas dan
perak cuma diberi 1%. Menkeu Agus Martowardojo juga menyatakan bahwa ada ilegal ekspor
tambang. Penambang asing cuma mengaku mengekspor 5 juta ton hasil tambang. Sementara data
impor tambang tersebut di luar negeri dari Indonesia mencapai 20 juta ton:

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/04/22/10264265/Ini.Alasan.Pemerintah.Beli.Saha
m.Newmont

Jadi jika ternyata yang diakui asing jumlahnya cuma 1/4, dan dari 1/4 itu Indonesia hanya diberi
1%, Indonesia itu cuma dapat 0,25% dari hasil tambang emas, perak, dsb. Inilah sebabnya
kenapa negeri Indonesia yang kaya dengan hasil alamnya, ternyata mayoritas rakyatnya hidup
miskin dan melarat.
Arab Saudi cukup cerdas menasionalisasi perusahaan Aramco tahun 1974. Tahun 1970-an, Arab
Saudi masih termasuk negara miskin. Kekayaan alam mereka berupa minyak tidak dapat
mensejahterakan mereka karena dikuasai perusahaan AS, Aramco. Namun sejak raja Faisal
menasionalisasi Aramco, maka seluruh hasil minyak dapat dinikmati oleh rakyat Saudi Arabia.
Jumlah uang yang masuk untuk pembangunan pun berlimpah sehingga listrik di sana gratis,
sementara bensin cuma Rp 1700/liter. Ini jauh lebih murah ketimbang Indonesia yang Rp
4.500/liter saja sudah ribut soal kurangnya subsidi karena 90% migas kita dikuasai perusahaan
migas asing.

Chavez presiden Venezuela juga menasionalisasi perusahaan migas di sana sehingga Venezuela
yang merupakan negara penghutang terbesar, sekarang rasio hutangnya hanya kurang dari 40%
total GDPnya. Di bawah Indonesia yang rasio hutangnya sudah mencapai 68% dari GDP dan
terus bertambah sekitar Rp 100 trilyun/tahun. Kuwait dan Qatar juga mengandalkan BUMN
mereka untuk mengelola kekayaan alamnya sehingga tidak bocor ke asing.

Akibatnya negara mereka makmur. Ketika saya tinggal di Arab Saudi selama 6 bulan di rumah
satu warga negaranya, di sana bukan cuma bensin lebih murah, tapi sekolah, listrik, rumah sakit
gratis. Bahkan di sana kalau kuliah diberi uang saku.

Negara-negara yang maju/makmur seperti AS, Inggris, Perancis, Arab Saudi, Qatar, Kuwait, dsb
itu tidak pernah menyerahkan kekayaan alam mereka ke asing. Mereka mengelola sendiri
kekayaan alam mereka. Qatar dan Kuwat meski SDMnya sedikit, mereka tetap buat BUMN
sendiri. Tenaga ahli mereka cari dari luar negeri termasuk dari Indonesia. Coba lihat Kompas
Sabtu-Minggu di kolom lowongan kerja, banyak iklan lowongan kerja dari BUMN Qatar,
Kuwait, dsb yang mencari ahli migas dari Indonesia. Dan memang SDM Migas Indonesia cukup
ahli dan melimpah karena sebagian besar pekerja di perusahaan migas asing di Indonesia juga
merupakan putra-putri Indonesia.

Bahkan Malaysia pun yang serumpun dengan kita dengan jumlah penduduk lebih sedikit dan di
bawah kita kualitas SDMnya tetap mengelola sendiri migas mereka via BUMNnya Petronas
sehingga 4 kali lipat lebih makmur dari kita. Gedung Petronas pun berdiri megah sebagai gedung
tertinggi kedua di dunia sebagai bukti nyata keberhasilan BUMN tersebut.

Biaya Nasionalisasi ternyata amat rendah. Meski Exxon menuntut ganti rugi US$ 12 Milyar atas
aset mereka yang dinasionalisasi, namun Lembaga Arbitrase Internasional setelah menaksir
hanya menetapkan pemerintah Venezuela membayar US$ 907 juta saja. Artinya dengan produksi
minyak 3 juta bph dan harga minyak US$ 100/barel, pemerintah Venezuela sudah bisa melunasi
aset Exxon tersebut.

Jadi untuk apa “mengundang Investor Asing” dan membiarkan mereka menyedot minyak dan
gas Indonesia hingga puluhan tahun kalau ternyata biayanya bisa dilunasi dalam waktu yang
sebentar saja?

Selama kekayaan alam Indonesia masih dinikmati oleh asing, Indonesia tidak akan pernah bebas
dari kemiskinan.
Tidak ada satu bangsa pun yang maju dan sejahtera yang menyerahkan kekayaan alamnya ke
pihak asing. Jika kita lihat negara-negara yang maju/makmur seperti AS, Inggris, Perancis,
Jerman, Swis, Arab Saudi, Qatar, Kuwait, Venezuela, dan sebagainya, mereka tidak mau
menyerahkan kekayaan alamnya ke pihak asing. Harusnya ekonom Indonesia berjuang agar
Indonesia bisa mandiri. Bisa berdikari.

AS, Inggris, Perancis, Belanda, dsb maju dan makmur karena selain mengelola kekayaan
alamnya sendiri, mereka juga menguras kekayaan alam negara lain. Tak heran jika Anggaran
Belanja Militer AS saja mencapai US$ 655 Milyar/tahun atau Rp 6.550 Trilyun/tahun sementara
Anggaran Belanja Militer Indonesia cuma Rp 36 Trilyun saja. Kurang dari 1% anggaran AS!

Bukan justru membujuk rakyat/pemerintah agar Indonesia tidak mandiri dan bergantung kepada
perusahaan2 asing yang ternyata justru memperkaya perusahaan dan direksi mereka sendiri

Oleh karena itu, dari Rp 30 Ribu Trilyun/tahun yang didapat perusahaan-perusahaan asing
tersebut, bisa jadi 10-20% berasal dari kekayaan alam Indonesia atau minimal Rp 3.000
Trilyun/tahun.

Saat ini APBN Indonesia hanya sekitar Rp 1.000 trilyun untuk 240 juta rakyat Indonesia. Artinya
tiap orang hanya mendapat sekitar US$ 34/bulan. Masih di bawah garis kemiskinan Bank Dunia
yang US$ 60/bulan/orang. Tak heran Indonesia tidak punya cukup uang untuk mensejahterakan
rakyat, memberi pendidikan yang terjangkau dari SD hingga Perguruan Tinggi, memberi layanan
Rumah Sakit yang terjangkau, Pembaruan Alutsista, menyelamatkan anak-anak jalanan, dan
sebagainya.

Bayangkan seandainya Indonesia mandiri dan mendapat tambahan Rp 3.000 trilyun dari hasil
kekayaan alamnya sehingga APBN kita menjadi Rp 4.000 trilyun/tahun. Artinya ada US$
138/bulan untuk setiap orang. Seluruh penduduk Indonesia bisa lepas dari garis kemiskinan
VERSI BANK DUNIA yang US$ 60/bulan. Indonesia bisa melunasi hutangnya yang Rp 1.600
trilyun dengan mudah. Indonesia tidak perlu menunggu-nunggu “INVESTOR ASING” untuk
membangun negerinya.

Segala janji bahwa pendidikan murah, layanan Rumah Sakit murah, pembaruan alutsista, atau
pun mensejahterakan rakyat itu hanya omong kosong belaka jika Presiden kita tidak mau mandiri
mengelola kekayaan alam Indonesia. Indonesia tidak akan punya cukup uang selama hasil
kekayaan alam kita yang menikmati justru Kompeni-kompeni gaya baru yang didukung oleh
pemerintah mereka.

Lihat video di mana Kompeni gaya baru yang didukung AS dan Inggris turut campur untuk
menguasai kekayaan alam Indonesia sehingga 1 juta korban tewas:

http://www.youtube.com/watch?v=tvnEc48A7yM

Indonesia butuh pemimpin yang bijak dan berani seperti Raja Faisal dari Arab Saudi dan Hugo
Chavez dari Venezuela yang berani menasionalisasi perusahaan pertambangan asing dan mandiri
mengelola kekayaan alamnya.

Anda mungkin juga menyukai