Anda di halaman 1dari 5

Potret Terorisme Dari Kacamata Individu Pancasilais Serta Paradigma

Mahasiswa Dalam Menyikapi Permasalahan Terorisme Sesuai Pancasila

Ratna Ratna Hadiyanti Ma'fudhoh


15308141047
Biologi E

Indonesia. Negara yang memiliki begitu banyak ragam suku, bahasa, dan budaya. Negara yang
berisi begitu banyak perbedaan. Dengan bekal ideologi Pancasila, kita mampu mengatasi semua
perbedaan ini. Berpengang teguh pada “Bhinneka Tunggal Ika” kita mampu hidup rukun bersama.
Namun belakangan ini, marak isu beredar tentang terorisme. Hal tersebut membuat banyak khalayak
khawatir dan was-was. Melihat betapa banyaknya kasus tersebut membuat kita harus bertanya, ada apa
dengan Persatuan kita ? Dan dimana hakikat “Bhinneka Tunggal Ika”?

Terorisme secara kasar merupakan suatu istilah yang digunakan untuk penggunaan kekerasan
terhadap penduduk sipil/ non kombatan untuk mencapai tujuan politik, dalam skala lebih kecil daripada
perang. Dari segi bahasa, istilah teroris berasal dai Perancis pada abad 18. kata terorisme yang artinya
dalam keadaan teror (under the terror), berasal dari bahasa latin “terrere” yang berarti gemetaran dan
“detererre” yang berarti takut.

Aksi teror yang marak akhir-akhir ini membuat keprihatinan banyak pihak, baik masyarakat
nasional maupun internasional. Aksi-aksi teror menyebabkan hilangnya rasa aman di tengah-tengah
masyarakat, selain juga menurunkan wibawa pemerintah -sebagai badan yang seharusnya membrikan
perlindungan dan rasa aman- di tengah-tengah masyarakat. Indonesia dianggap memiliki ancaman
besar terutama dengan maraknya aksi teror bom di sejumlah tempat. Untuk menyebut beberapa di
antaranya, yang terbesar dari segi jumlah korban dan pemberitaan internasional adalah Bom Bali I dan
II, bom di lobi Hotel Marriot 1, di depan Kedutaan Filipina, di depan Kedutaan Australia, di Pasar
Tentena, Poso, dan yang terakhir yang meledak di kawasan Mega Kuningan, tepatnya di Hotel JW
Marriott dan Ritz Carlton pada Juli 2009. [1]

Maraknya kasus terorisme belakangan ini, boleh jadi menggambarkan keadaan sosial negara
kita. Terkikisnya nilai persatuan, menurunnya sikap toleransi terhadap perbedaan, serta lunturnya
pengetahuan kita tentang apa sebenarnya hakikat “Bhinneka Tunggal Ika” boleh dikatakan sebagai
pemacu aksi terorisme. Kita tidak bisa menyalahkan Pancasila, kesalahan kita ada pada cara kita
menerapkan sila-sila Pancasila pada kehidupan kita sehari-hari. Sebagai negara yang menganut
ideologi Pancasila, hal tersebut tentu menjadi sebuah masalah pelik yang harus segera diluruskan.

[1] Sukawarsini Djelantik.2010. Terorisme : Tinjauan Psiko-politis, Peran Media, Kemiskinan, dan
Keamanan Nasional. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Hal : 1
Ideologi merupakan istilah yang berasal dari Yunani. Terdiri dari dua kata, idea dan logi. Idea
artinya melihat (idean), dan logi berasal dari kata logos yang berarti pengetahuan atau teori. Dengan
demikian, dapat diartikan bahwa ideologi adalah hasil penemuan dalam pikiran yang berupa
pengetahuan atau teori. Menurut C. C. Rodee, ideologi merupakan sekumpulan yang secara logis
berkaitan dan mengidentifikasikan nilai-nilai yang memberikan keabsahan bagi institusi dan pelakunya.
Ideologi Pancasila merupakan ideologi terbuka. Ideologi Pancasila merupakan kumpulan nilai / norma
yang meliputi sila-sila pancasila.

Pancasila merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur budaya bangsa indonesia, yang berakar sejak
ratusan tahun silam, jauh sebelum Pancasila ditetapkan sebagai dasar negara. Pancasila merupakan jiwa
dan kepribadian bangsa, karena unsur-unsurnya telah berabad-abad lamanya terdapat dalam kehidupan
bangsa Indonesia. Oleh karena itu, pancasila adalah pandangan hidup atau falsafah hidup bangsa yang
sekaligus merupakan tujuan hidup bangsa Indonesia [2]. Lalu, bagaimanakah potret aksi terorisme dari
sudut pandang ideologi kita ?

Jika ditinjau dari segi ideologi, terorisme merupakan sebuah pelanggaran. Dari sekian banyak
kasus, terorisme selalu menimbulkan korban yang tidak sedikit. Namun, pada faktanya saat ini anggota
organisasi yang diduga kuat berkaitan dengan terorisme semakin banyak. Dilansir dari Liputan6.com,
Berlin- puluhan warga negara Inggris dan Amerika Serikat ternyata berada dalam daftar pengikut ISIS,
di antara 22000 nama yang tertera dalam sebuah dokumen yang dimiliki oleh intelijen Jerman. Dalam
daftar tersebut, lengkap dengan nama, nomor, paspor, hingga alamat rumah di negara masing-masing.
Pihak intel Inggris mengatakan jumlah warga Inggris yang bergabung ke ISIS mencapai 700 orang. Hal
tersebut mungkin juga terjadi di negara kita.

Bila kita menggali lebih dalam, aksi terorisme banyak disangkut pautkan dengan masalah
agama. Banyak kasus terorisme diduga kuat dilakukan oleh aliran agama tertentu untuk menekan
masyarakat atau menciptakan suasana mencekam agar masyarakat segan pada aliran sang pelaku.
Apakah aksi terorisme merupakan aksi demonstrasi keyakinan? Padahal kita tahu, menurut Sila
pertama Pancasila –Ketuhanan Yang Maha Esa- berarti Tuhan kita satu. Walaupun agama kita mungkin
berbeda, namun bukan berarti kita harus saling mendominasi antar agama. Kita memiliki keyakinan
maing-masing yang berbeda antar individu. Dan itulah guna sebuah ideologi pancasila bagi kita. Untuk
menyatukan perbedaan dalam sebuah ikatan negara.

Baru-baru ini, marak kabar tentang sebuah organisasi yang diduga sebagai organisasi terorisme,
yakni Gavatar. Dan dengan selang waktu yang tidak lama, muncul kembali organisasi lain yang juga
diduga sebagai organisasi terorisme. Dilansir dari Tempo.co, (Kamis, 10 Maret 2016) Komunitas
Yenofa mulai menyebar di Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur (NTT). Penganut aliran ini
[2] AR. Muchson. 2009. Pancasila dan UUD 1945 Dalam Kehidupan Bangsa dan Negara. Yogyakarta :
Prodi Pendidikan Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta. Hal : 28

[3] http://www.tempo.co/read/news/2016/03/10/058752374/Mirip-Gafatar-Aliran-Yenofa-Muncul-di-
Pedesaan-NTT diakses pada 17 Maret 2016

[5] http :// www.voaindonesia.com/content/pemerintah-soroti-kelompok-radikal-dan-teroris-di-jawa-


timur/3241502.htm
diperkirakan berada di dusun Bedha, desa Lege Lapu, Kecamatan Aimere, Kabupaten Ngada. Selain
melakukan berbagai ritual ibadah, penganut aliran ini juga melakukan kegiatan sosial, seperti
pengobatan gratis, memberi bantuan kepada masyarakat dan melakukan kegiatan ibadah. Dari
informasi itu, aktivitas komunitas ini disebut mirip dengan Gavatar. [3]

Para praktisi terorisme sering mengklaim bahwa mereka tidak memiliki pilihan selain terorisme
dan bahkan benar bahwa terorisme sering mengikuti kegagalan dari cara-cara lainnya. Misalnya, Rusia
pada abad sembilan belas, kegagalan gerakan-gerakan damai telah memicu munculnya terorisme. Di
Irlandia, terorisme mengikuti kegagalan konstitusionalisme Parnell. Dalam perjuangan bangsa
Palestina melawan Israel, terorisme mengikuti kegagalan usaha Arab pada peperangan konvensional
melawan Israel. Secara umum, para pelaku terorisme “non-negara” atau “sub-negara”, yaitu kelompok-
kelompok yang menentang pemerintah, terpaksa taat pada pilihan mereka karena kurangnya dukungan
massa dan karena kekuatan superior yang ditujukan untuk melawan mereka (sebuah
ketidakseimbangan yang telah tumbuh bersama perkembangan kekuasaan sentralistrik dan birokrasi
modern). Tetapi kendala-kendala ini tidak menghalangi oposisi untuk menimban dan menolak cara-cara
memprjuangkan tujuan selain terorisme. Mungkin kelompok-kelompok tersebut lambat dalam
mengenali adanya keterbatasan aksi, sehingga terorisme seringkali menjadi pilihan terakhir dari
serangkaian pilihan yang ada. Ia menunjukkan hasil dari proses belajar. Pengalaman dalam oposisi
memberikan informai kepada orang-orang radikal tentang kemungkinan-kemungkinan konsekuensi
pilihan mereka. Tampaknya terorisme merupakan pilihan mantap yang rasional di antara berbagai
alternatif yang ada serta beberapa alternatif yang gagal. Para teroris juga belajar dari pengalaman
lainnya, biasanya melalui pemberitaan. Dari sinilah terjadinya pola-pola penyebaran pengaruh insiden
teroris. [4]

Menurut wawancara yang dilakukan pada beberapa mahasiswa, mereka mengaku tidak
menyalahkan para pelaku terorisme sepenuhnya. Mereka berpendapat bahwa terorisme merupakan
hasil dari adaptasi sekelompok orang pada lingkungan yang mengakibatkan kelompok tersebut salah
dalam mengambil sikap. Dua dari tiga mahasiswa tidak setuju apabila kita memperlakukan pelaku
terorisme hanya berdasarkan kesalahan yang mereka perbuat. Hukum tetap berlaku, namun secara adil.
Walau mungkin berujung pada eksekusi, mereka tidak setuju apabila eksekusi dilakukan tanpa
meninjau lebih lanjut latar belakang permasalahannya.

Menurut Riza Abdul Hakim, seorang mahasiswa jurusan Siyasah (Politik Islam) UIN Sunan
Kalijaga, para pelaku terorisme hanyalah sekumpulan individu yang kecewa terhadap pemerintah yang
kemudian diframing oleh pihak tertentu untuk menguntungkan pihak tersebut. Menurut Riza,
menyalahkan mereka sepenuhnya merupakan sikap yang terlalu naif, karena bukan berarti
permasalahan teroris ada pada para pelaku. Ada kepentingan-kepentingan lain di balik semua aksi
terorisme tersebut.

[4] Reich, Walter. 2003. Origins of Terorism : Tinjauan Psikologi, Ideologi, Teologi dan sikap mental.
Jakarta : Fajar Interpratama Offset. Hal : 8
Lalu, apakah kita hanya akan diam melihat begitu banyak saudara kita salah dalam mengambil
sikap? Ada begitu banyak cara yang dapat kita lakukan untuk mencegah ataupun menanggulangi
permasalahan ini, tentunya melalui cara-cara yang sesuai dengan Pancasila. Kita sebagai generasi
penerus tentunya harus bisa mengambil sikap dalam menghadapi permasalahan ini.

Menurut Kepala Badan Intelijen dan Keamanan Mabes Polri, Komjen Pol. Djoko Mukti,
kepolisian telah menyiapkan sejumlah langkah pencegahan hingga penindakan hukum terhadap pelaku
terorisme maupun kelompok radikal. Dalam penanggulangan terorisme, Polri menggunakan
pendekatan strategi pencegahan atau preventation, kemudian penegakan hukum dan penanganan
pendanaan terorisme dan deradikalisasi mereka dengan cara dilakukan penindakan secara hukum.
Strategi pencegahan yaitu melakukan pendekatan dan mengajak kepada seluruh komponen masyarakat
agar peduli serta berperan aktif dalam mencegah bahaya tindak pidana teroris. Kemudian tindakan yang
dilakukan adalah kontra radikalisasi melalui pendidikan, kurikulum pendidikan memperkuat ideologi
moderat yaitu ideologi Pancasila, ditanamkan dalam setiap pendidikan. Kemudian penilaian dan
bantuan pembenahan terhadap lembaga pendidikan yang berkecenderungan menebarkan paham
radikal. [5]

Melihat begitu banyak kasus terorisme dewasa ini, seharusnya bisa menyadarkan kita bahwa
ada yang salah dengan lingkungan kita. Kita harus bisa membangun kembali semua kepribadian kita
yang sesuai dengan sila-sila Pancasila. Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, serta keadilan.
Kita harus mampu menyeimbangkan kelima dasar tersebut agar tidak menjadi bumerang bagi bangsa
kita sendiri. Kita juga harus tahu batasan serta dimana tempat yang sesuai untuk mengamalkan kelima
nilai tersebut. Sebagai mahasiswa, kita harus mampu bangkit. Kuatkan iman kita dengan cara mencari
tahu hakikat sebenarnya apa yang kita yakini, tumbuhkan rasa peduli pada sesama, agar tidak ada lagi
individu yang merasa dikucilkan, serta kuatkan rasa persatuan untuk mengikat semua perbedaan yang
ada tanpa sebuah perselisihan. Dalam kehidupan bernegara, bukan hanya satu sisi yang mendominasi,
namun, kita saling bergotong royong membangun sebuah rumah. Harus ada interaksi antara pemerintah
dan rakyat agar tidak lagi terjadi kesalahpahaman. Keadilan juga diperlukan untuk menyikapi
permasalahan ini, karena walaupun beberapa individu melakukan sedikit kesalahan, selalu ada fakta
dibalik sebuah keadaan. Dan kita tidak boleh membenarkan alasan kekerasan untuk menghukum para
pelaku terorisme.

[2] AR. Muchson. 2009. Pancasila dan UUD 1945 Dalam Kehidupan Bangsa dan Negara. Yogyakarta :
Prodi Pendidikan Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta. Hal : 28

[3] http://www.tempo.co/read/news/2016/03/10/058752374/Mirip-Gafatar-Aliran-Yenofa-Muncul-di-
Pedesaan-NTT diakses pada 17 Maret 2016

[5] http :// www.voaindonesia.com/content/pemerintah-soroti-kelompok-radikal-dan-teroris-di-jawa-


timur/3241502.htm
Sebagai mahasiswa kita selalu diajarkan tentang hakikat Pancasila. Masih jelas dalam ingatan
kita tentang bagaimana kita harus menyikapi suatu permasalahan berdasarkan Pancasila. Oleh karena
itu, jangan sampai kita salah melangkah. Mereka yang kita pandang sebagai pelaku hanyalah orang-
orang yang perlu kita gandeng agar tidak lagi salah langkah. Oleh karena itu, menjauh, takut, bukanlah
sikap yang tepat. Kita harus berani membuktikan bahwa dalam jiwa kita masih terdapat rasa persatuan.
Jiwa kita tak akan kalah oleh rasa persatuan mereka.

Salah satu mahasiswa Pendidikan Kimia UNY, Mujahid Ainurrohim berpendapat, kita sebagai
mahasiswa harus bisa menjadi mahasiswa yang pintar agar kita dapat memilah nilai-nilai kehidupan
yang baik dan yang buruk. Menurutnya, terorisme biasanya dimulai dari orang-orang pedalaman yang
dipengaruhi oleh dalang teroris. Oleh karena itu, kita harus menjadi sosok yang pintar.

[4] Reich, Walter. 2003. Origins of Terorism : Tinjauan Psikologi, Ideologi, Teologi dan sikap mental.
Jakarta : Fajar Interpratama Offset. Hal : 8

Anda mungkin juga menyukai