Batik Warta
Batik Warta
Kantong semen selama ini hanya menjadi sampah atau kertas bekas. Kertas
pembungkus bahan bangunan tersebut biasanya hanya dijual secara kiloan. Namun
saat ini, kantong semen tidak lagi hanya dijadikan sebagai sampah yang laku dijual
kiloan. Kantong semen ternyata dapat diolah menjadi produk batik yang bernilai
tinggi.
Adalah Harris Riadi (43), seniman batik asal Pekalongan, yang mengubah kantong
semen menjadi produk batik. Proses pembuatan kertas batik dari kantong semen itu
dilakukan Harris sejak Februari lalu. Namun, produk itu baru diperkenalkan ke
masyarakat setengah bulan terakhir.
Selama ini, Harris dikenal sebagai pengusaha sekaligus seniman batik. Ia biasa
berkreasi di sanggarnya, Riadi Batik and Craft di Pekajangan, Kabupaten
Pekalongan. Berbagai inovasi batik telah ditemukannya, baik berupa model maupun
bahan pewarna batik.
Menurut Harris, meski terbuat dari kertas bekas, batik dari kantong semen yang
dihasilkannya cukup kuat untuk dijadikan sebagai bahan aksesori rumah tangga. Hal
ini karena kertas kantong tersebut tebal dan tidak mudah sobek.
Kantong semen yang sudah dibatik dimanfaatkan untuk membuat gorden, sarung
bantal, tas, dan sandal. Meskipun demikian, ia sengaja tak memanfaatkan kertas
batik dari kantong semen untuk pakaian dengan alasan estetika.
Proses pembuatan kertas batik tidak berbeda dengan proses pembuatan kain batik
lainnya. Hanya saja, pewarna yang digunakan dalam membuat kertas batik haruslah
pewarna alami. Apabila menggunakan pewarna dari bahan kimia, kantong semen
akan hancur.
Hasil batikan dengan menggunakan media kertas nyaris sama dengan hasil batikan
dengan menggunakan media kain. Bahkan bila hanya dilihat saja, sekilas tampak
tak ada perbedaan. Kertas batik dengan kain batik baru bisa dibedakan setelah
dipegang dan diraba.
Harris menuturkan, ada dua metode pembuatan kertas batik dari kantong semen.
Metode pertama, membatik kantong semen yang sudah dibersihkan, tanpa diolah
terlebih dahulu. Setelah kertas dibatik, ia baru membuatnya sebagai aksesori rumah
tangga.
Metode kedua, dengan memilin potongan kantong semen menjadi tali dan kemudian
merajutnya menjadi berbagai aksesori. Setelah rajutan terbentuk, barulah ia
membatik di atasnya. Untuk membuat satu unit gorden, sarung bantal, maupun tas,
dibutuhkan sekitar 1-2 kantong semen.
Menurut dia, kertas batik yang dipilin maupun yang tidak memiliki kualitas sama.
Perbedaannya hanya pada selera. Aksesori rumah tangga dari kertas batik itu juga
dapat dicuci.
Harris mengatakan, upaya memopulerkan kertas batik dari kantong semen berawal
saat ia melihat seorang pemulung yang sedang mengangkut kantong semen. Saat
itu ia melihat kantong semen menjadi sesuatu yang tidak berharga.
Ia pun tergerak untuk memanfaatkan kantong semen sebagai media batik. Terlebih
kantong semen mudah diperoleh dengan harga murah. Harga satu kilogram kantong
semen berisi 10 lembar Rp 5.000. Dibantu 10 orang pembatik, saat ini ia mampu
memproduksi sekitar 200 produk batik dari kantong semen per bulan dengan harga
Rp 70.000-Rp 300.000 per unit.<>
PEKALONGAN - Harris Riadi, seniman batik asal Kota Pekalongan, berharap bisa keluar sebagai juara
dalam lomba rancang desain tekstil memperebutkan Wastra Nusantara Award yang digelar Lembaga
Seni Budaya PP Muhammadiyah Jakarta.
Dalam lomba tersebut, karyanya yang berjudul ''Pesona Bunga dari Kota Batik'' menjadi semifinalis.
Desainnya yang bergambar bunga dengan perpaduan warna alami itu ternyata menarik perhatian tim
juri. Terbukti, masuk 30 besar dari sekitar 600 peserta.
''Pengumuman peserta yang menjadi semifinalis dimuat di salah satu majalah terbitan Ibu Kota,'' ucap
dia.
Setelah lolos babak pendahuluan, panitia meminta para semifinalis menuangkan karya ke sebuah kain.
Paling lambat, ujar dia, pengiriman karya tersebut Minggu (20/5) dan 15 finalis akan diumumkan
sekitar sepekan kemudian.
Matangkan Persiapan
Harris kini tengah mematangkan persiapan. Antara lain menggambar kembali desain yang diikutkan
dalam lomba itu ke sebuah kain. Gambar tersebut nantinya diberi warna alami yang bahan bakunya
menggunakan tumbuh-tumbuhan, seperti temu lawak, temu ireng, dan jelawe.
''Mungkin, hanya saya yang membuat batik memakai warna alami,'' tandasnya.
Teknik pembuatannya, setelah kain dipenuhi gambar batik bermotif bunga, direndam memakai air laut
yang kadar garamnya sangat pekat. Selanjutnya dibilas memakai air biasa, lalu diproses hingga
menghasilkan kain batik yang sangat bagus.
Mengapa warna alami? Ayah satu anak itu mengungkapkan, warna tersebut pernah dipakai pada
pembatik abad XVIII. Karena kini jarang dipakai, dia ingin membudayakan kembali. (H4-29)
Liputan6.com, Pekalongan: Haris Riadi, seniman batik Desa Pekajangan, Kedungwuni, Pekalongan,
Jawa Tengah, kembali menemukan terobosan baru di dunia batik, belum lama ini. Ia mengolah
berbagai tumbuhan dan akar seperti temulawak, akar mengkudu, kayu manis, dan jelawe menjadi zat
pewarna batik. Selama ini tetumbuhan tersebut dikenal sebagai bahan baku pembuat jamu.
Haris menjelaskan selain wangi, zat pewarna batik dari tumbuhan dan akar diyakini mampu memberi
rasa hangat pada pemakai batik. Selain itu, harga bahan-bahan alami ini juga jauh lebih murah
dibanding zat-zat pewarna kimia yang selama ini digunakan para pembatik umumnya. Yang lebih
penting lagi, kata Haris, limbah dari pewarna alami aman dan tidak merusak lingkungan.
Haris mengatakan, untuk menghasilkan warna-warna alami, tumbuhan serta akar-akaran terlebih dulu
direbus hingga mendidih. Agar bisa menghasilkan warna kecoklatan, diperlukan kombinasi kayu
manis, akar mengkudu, dan jelawe.
Haris berharap dengan penemuan bahan pewarna alami ini, pencemaran lingkungan akibat limbah
batik bisa dikurangi. Apalagi selain mudah didapat, karya batik dari warna alami itu juga memiliki
harga jual yang relatif lebih mahal dibanding batik pewarna kimia.(MAK/Budi Harto)
Liputan6.com, Pekalongan: Haris Riyadi, pembatik di Pekalongan, Jawa Tengah, . Tidak tanggung-
tanggung, hasil karyanya ini mampu menembus pasar ekspor seperti Belanda, Jepang dan Korea
Selatan.
Seperti disaksikan SCTV, baru-baru ini, Haris sama sekali tidak menggunakan bahan kimia untuk hasil
karyanya. Haris memang sejak lama dikenal sebagai pembatik yang selalu menonjolkan warna natural
atau alam pada hasil karyanya.. Warna yang tampak pada kain batik tampak lebih natural dan tidak
mengkilap layaknya warna yang dihasilkan dari bahan kimia. Bahkan menurut Haris, warna yang
dihasilkan terbukti tahan lama dan tidak luntur meski sering dicuci.(YYT/Budiharto)
Harris Riadi, dan Batik Warna Alami
Melawan arus. Itulah yang dilakukan Harris Riadi (46) dalam mengembangkan usahanya
sebagai pengusaha batik di Kota Pekalongan, Jawa Tengah.
Di kota itu dilahirkan ribuan perajin batik baik tulis, cap, maupun cetak, namun sangat sulit
ditemukan pengusaha batik yang menggunakan pewarna alami seperti yang dilakukan Harris.
Sungai Loji, salah satu sungai yang membelah Kota Pekalongan, membuktikan betapa
penggunaan pewarna kimia telah merusak lingkungan. Air sungai ini nyaris tak mengalir dan
berwarna hitam pekat. Kebangkitan industri batik pada tahun 1980-an berakibat pula pada
degradasi lingkungan.
"Saya tidak ingin menambah beban lingkungan. Oleh karena itu, saya memilih pewarna alami,
bukan pewarna kimia," ujarnya. Pilihan itu juga menyiratkan bahwa batik adalah seni budaya
yang tidak melulu memenuhi kemauan pasar.
Harris yang dilahirkan di Kota Pekalongan, tak asing dengan dunia batik tulis. Tetangganya kala
itu kebanyakan bekerja sebagai pembatik. Demikian pula kakeknya, Hazim Mutaman yang
sukses menjadi pedagang batik sekitar tahun 1950.
Ketertarikan pada seni batik dipertajam dengan mengenyam pendidikan di Akademi Seni Rupa
Indonesia pada tahun 1980. Namun, di tingkat II, Harris memutuskan untuk putus kuliah dan
lebih memilih belajar batik kepada seniman-seniman.
Salah satu seniman idolanya adalah Amri Yahya, pelukis batik yang mengajarinya untuk menjadi
diri sendiri. Sejak 1982 ia pun memutuskan untuk menggunakan bahan pewarna alami untuk
mewarnai batik.
Bahan alami yang digunakan Harris sebagai pewarna mulai dari kulit kayu mahoni, jelawe,
secang, tegeran, kayu nangka, hingga bahan jamu, pohon nila, dan daun tom.
Dasar seniman, Harris terus bereksperimen untuk menghasilkan warna-warna baru dari bahan
lainnya. Bahan pewarna yang baru itu berasal antara lain dari kotoran sapi dan sabut kelapa.
Kedua bahan ini dipilih karena ia ingin mendayagunakan sampah.
Harris mengatakan, kain batik buatannya ini lebih diminati oleh kalangan wisatawan
mancanegara. Sejumlah pemandu wisata kerap membawa mereka ke rumah Harris yang
berada di kawasan Krapyak Lor, Pekalongan Utara, melihat proses pembuatan batik dengan
pewarna alami secara langsung. (L Andreas Sarwono)
HARRIS RIADI
* Tempat dan Tanggal Lahir: Kota Pekalongan, 30 September 1963
* Pendidikan Terakhir: Akademi Seni Rupa Indonesia tingkat II
* Pengalaman Kerja: Desainer Batik Keris tahun 1983-1989
* Workshop: Bintang Batik Warna Alam
* Prestasi: - Peserta Pameran Seniman Muda Indonesia 1985
- Juara Lomba Desain Batik Dekranasda Jateng 2003
Etnik Konvensional
dalam JFW 2012
Busana etnik konvensional, kasual dan coctail meriahkan perhelatan Jogja Fashion
Week (JFW) 2012 hari pertama yang digelar di Jogja Expo Center, Rabu (4/7).
Setidaknya 18 desainer memamerkan karyanya dalam keberagaman ide dengan tema
Dharmasukma.
JFW, tambahnya, tetap meneguhkan diri untuk membuat Yogyakarta sebagai pintu
gerbang fashion Indonesia. Dengan JFE ini diharapkan dapat merangkul semua
kalangan agar bisa bersama-sama mewujudkan langkah tersebut.
Selain itu ambil bagian juga Riani, Bram Lazuardie (Mirota Batik), Albert, Firoh dan
Kris (Mangkoro Batik & Kebaya), Lulu Lutfi Labibi (Batik Lereng Merapi dampingan
IOM), Musjib Afandi (Omah Klambi), Faizin SP (Batik Jaya Kirana), M Eko Priyono
(Batik & Tenun XOXA), Dana Raharja (Etherea), Elkana Gunawan Tanuwidjaja, Dea
Arifa Ardyanda dan Natasha Windura.
”Selain itu sangat banyak usaha kecil dan menengah (UKM) yang mengembangkan
batik di Batam,” kata Nada, Minggu (16/5).
Dengan penetapan Batam sebagai pusat perdagangan batik Asean, diharapkan dapat
mengembangkan industri kerajinan batik dan memasarkan batik Indonesia ke
negara-negara Asean. Selain memasarkan batik Indonesia, Batam juga menjadi
daerah perdagangan kain hasil kerajinan negara-negara Asean lainnya. Nada
menjelaskan, Kadin Batam akan mengadakan berbagai pendidikan dan sosialisasi
mengenai batik. Dalam hal ini Kadin Batam akan menggandeng sejumlah yayasan
dan pemerhati batik.
”Edukasi ini perlu agar masyarakat lebih mengenal kekayaan Indonesia yang diakui
dunia (batik),” kata Nada.
PETISI PADANG LAWAS TENTANG
KEISTIMEWAAN JOGJAKARTA
Hari ketiga pada Jumat kemaren (4/11/2011), Jogja Fashion Week (JFW) telah
dimeriahkan 10 desainer Yogya dan sekitarnya.
JFW tahun ini dimotori oleh Afif Syakur, beliau mengungkapkan, “pada tahun
keenam ini JFW mengangkat tema In Vintage. Yakni konsistensi untuk
mempertahankan hasil karya luhur tradisi budaya bangsa. Serta meningkatkan
kualitas produk dalam negeri.
“Karya busana perancang tidak lepas dari rancangan individual dimana ciri khas dari
masing
Lenggang
Afif berkata dengan tema In Vintage, yang eco-fashion pada Pekan Mode Jogja ini
diharapkan akan tampilnya karya-karya busana ready to wear yang berkualitas
prima. “Pastinya dapat bermanfaat bagi semua kalangan. Sehingga menonjolkan
daya saing yang sehat dan beorientasi bisnis,” ucapnya.
Salah satu cara untuk mewujudkan konsep itu, kata Ninik, APPMI bersama ADGI
(Asosiasi Desainer Grafis Indonesia) akan meluncurkan sebuah buku berjudul
Fusion yang artinya campuran.
Dalam buku itu akan diangkat sebuah konsep yang berasal dari riset, kemudian
diwujudkan, dan dikontrol agar produk fashion itu bisa menjadi sebuah trensetter
nasional.
“Buku itu akan kami luncurkan pada akhir November, yang berisikan acuan konsep
tren 2012 dari Yogya untuk nasional,” ucap Ninik, wanita kelahiran Banyuwangi, 10
Desember ini.
Hadir pembicara lainnya, pengusaha batik Afif Syakur dan Desainer Dandy T.
Hidayat, yang membicarakan tentang perkembangan dunia fashion di Yogya hingga
produk fashion Yogya yang akan go nasional.
Sebanyak 18 batik dengan berbagai motif batik yang ada di nusantara koleksi
Paguyuban Pecinta Batik Indonesia Sekar Jagad dipamerkan dalam acara Pameran
Batik Berjalan Motif Batik Nusantara di hall B Jogja Expo Centre, Rabu (2/11) siang.
Pameran Batik Berjalan Motif Batik Nusantara ini adalah bagian dari kegiatan Jogja
Fashion Week 2011. Sebelumnya, Sekar Jagad juga telah memamerkan ke-18 batik
motif batik nusantara itu di hadapan Bupati Pamekasan, Sabtu (29/10).
Salah satu anggota Sekar Jagad memamerkan batik Banyumas motif Ayam Puger
kepada penonton dalam Pameran Batik Berjalan Motif Nusantara di hall B JEC,
Rabu (2/11).
Batik motif nusantara yang dipamerkan dihadapan anggota Sekar Jagad dan
masyarakat pecinta batik yang lainnya pada Rabu siang tersebut adalah batik
Cirebon, Lasem,Garut, Indramayu, Banyumas, Kebumen, Pekalongan dan Jawa
Hokokay.
Ada pula batik Yogyakarta, batik Solo, Demak, Tuban dan batik Madura. Batik Tuban
yang dipamerkan secara berjalan dihadapan pecinta batik memiliki motif Lock Can
yaitu burung Phoenix (Hong) yang menjadi mitos bagi rakyat China. Burung Phoenix
memiliki ciri khas pada kepak sayapnya yang runcing.
Kemudian batik Madura yang dipamerkan memiliki motif Buketan yang menjadi
simbol masyarakat Madura yang suka bercocok tanam dan pelaut yang tangguh
sehingga warna dan pola batik yang muncul begitu tegas seperti batik motif Lung-
Lungan latar tambal atau kotak.
Batik Pekalongan jenis Saudagaran dipamerkan kepada pecinta batik adalah motif
kepulauan Indonesia yang menggambarkan persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia yang adil dan makmur sekaligus menyatakan bahwa batik adalah warisan
budaya bangsa yang adi luhung.
Sementara itu batik Lasem dengan motif Cuwiri juga dipamerkan oleh Sekar Jagad.
Motif Cuwiri menggambarkan burung yang dengan ragam hias dengan bunga-bunga
dan daun dengan latar belakang warna merah dan biru.
Untuk batik Demak, Sekar Jagad menghadirkan motif Mina Buket yang
menampilkan isi motif berupa sisik ikan (mina) sebagai latar belakang kain batik
dengan buketan sebagai ornamen pokok.
Motif Sidomukti yang berada di dalam kain batik Solo juga dipamerkan dihadapan
pecinta batik. Motif Sidomukti berpola ceplok dan berwarna soga (coklat). Sidomukti
berarti “menjadi mukti. Motif Sidomukti melambangkan harapan hidup dalam
kecukupan dan bahagia lahir batin dunia akherat.
Batik Solo motif Sidomukti memiliki ornament dan makna motif Sidomukti
Yogyakarta yang memiliki pola semen. Batik motif Sidomukti biasanya dikenakan
pasangan pengantin saat ijab qobul. Sementara itu, batik Yogyakarta dengan motif
Parang Barong Seling Klithik juga tidak ketinggalan dipamerkan oleh Sekar Jagad.
Motif Parang Barong termasuk pola batik larangan yang hanya dikenakan raja.
Barong adalah sesuatu yang besar. Parang Barong adalah motif Parang Rusak
dengan ukuran besar yaitu 8 cm keatas terdiri dari ornamen lidah api yang
melambangkan nafsu amarah. Sementara Blumbangan melambangkan nafsu supiah.
Parang Rusak memiliki makna agar manusia dapat mengendalikan hawa nafsunya
agar bisa berperilaku luhur.
Selain batik yang dibuat sudah lama, Sekar Jagad juga memamerkan beberapa batik
tulis baru yang menggambarkan keberadaan gunung Merapi. Beberapa batik
tersebut, didominasi pola flora fauna yang berada di gunung Merapi.
Di kota itu dilahirkan ribuan perajin batik baik tulis, cap, maupun cetak,
namun sangat sulit ditemukan pengusaha batik yang menggunakan
pewarna alami seperti yang dilakukan Harris. Sungai Loji, salah satu
sungai yang membelah Kota Pekalongan, membuktikan betapa
penggunaan pewarna kimia telah merusak lingkungan. Air sungai ini
nyaris tak mengalir dan berwarna hitam pekat. Kebangkitan industri
batik pada tahun 1980-an berakibat pula pada degradasi lingkungan.
"Saya tidak ingin menambah beban lingkungan. Oleh karena itu, saya
memilih pewarna alami, bukan pewarna kimia," ujarnya. Pilihan itu juga
menyiratkan bahwa batik adalah seni budaya yang tidak melulu
memenuhi kemauan pasar.
Harris yang dilahirkan di Kota Pekalongan, tak asing dengan dunia batik
tulis. Tetangganya kala itu kebanyakan bekerja sebagai pembatik.
Demikian pula kakeknya, Hazim Mutaman yang sukses menjadi
pedagang batik sekitar tahun 1950.
Salah satu seniman idolanya adalah Amri Yahya, pelukis batik yang
mengajarinya untuk menjadi diri sendiri. Sejak 1982 ia pun memutuskan
untuk menggunakan bahan pewarna alami untuk mewarnai batik.
Bahan alami yang digunakan Harris sebagai pewarna mulai dari kulit
kayu mahoni, jelawe, secang, tegeran, kayu nangka, hingga bahan
jamu, pohon nila, dan daun tom.
Harris mengatakan, kain batik buatannya ini lebih diminati oleh kalangan
wisatawan mancanegara. Sejumlah pemandu wisata kerap membawa
mereka ke rumah Harris yang berada di kawasan Krapyak Lor,
Pekalongan Utara, melihat proses pembuatan batik dengan pewarna
alami secara langsung. (L Andreas Sarwono)
HARRIS RIADI
* Tempat dan Tanggal Lahir: Kota Pekalongan, 30 September 1963
* Pendidikan Terakhir: Akademi Seni Rupa Indonesia tingkat II
* Pengalaman Kerja: Desainer Batik Keris tahun 1983-1989
* Workshop: Bintang Batik Warna Alam
* Prestasi: - Peserta Pameran Seniman Muda Indonesia 1985
- Juara Lomba Desain Batik Dekranasda Jateng 2003
Batik Bola Piala Dunia (Harris Batik)
Harris Riadi