Anda di halaman 1dari 9

KEMAMPUAN ADAPTASI DAN SOSIAL KEMASYARAKATAN

Oleh :
PROF.DR. FARIDA HANUM
GRENDI HENDRASTOMO, MM, MA

Dalam hidup bermasyarakat di manapun kita berada, kita pasti melakukan proses
interaksi. Interaksi adalah hubungan timbal balik antara individu dengan individu, individu
dengan kelompok dan kelompok dengan kelompok.Interaksi adalah inti kehidupan
bermasyarakat dan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Apabila dua orang
bertemu, interaksi sosial dimulai; pada saat itu mereka saling menegur, berjabat tangan,
saling berbicara, bahkan bila interaksi terjadi negative, mungkin saja mereka saling memaki.
Atau berkelahi. Aktivitas-aktivitas seperti itu merupakan bentuk-bentuk interaksi sosial.
Walaupun orang-orang yang bertemu muka tersebut tidak saling bicara atau tidak saling
menukar tanda-tanda (symbol-simbol), interaksi telah terjadi, oleh karena masing-masing
sadar akan adanya fihak lain yang menyebabkan perubahan-perubahan dalam perasaan
dan syaraf orang-orang yang bersangkutan, yang disebabkan oleh misalnya bau kringat,
minyak wangi, suara berjalan, suara mengunyah ketika makan dan sebagainya. Kesemua itu
menimbulkan kesan dalam pikiran seseorang, yang kemudian mempengaruhi dan
menentukan tindakan apa yang akan dilakukan.
Kemampuan beradabtasi sangat bergantung pada kemampuan seseorang
berinteraksi.Interaksi sosial memiliki dua syarat, yaitu kontak sosial dan komunikasi.Kontak
sosial dapat saja bersifat positif dan negatif. Yang bersifat positif dapat mengarah pada kerja
sama, memperoleh simpati, dan kesan yang baik. Apabila seorang sales menawarkan
produknya kepada kita dan kita tertarik membelinya maka ini dimulai karena sebuah
kontak sosial yang positif. Kita terkesan dengan penampilan sang sales, yang mampu
memberi kesan positif dan ditambah dengan kemampuannya berkomunikasi, sebab syarat
ke dua dari proses interaksi adalah komunikasi.
Kemampuan berkomunikasi dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam
menyampaikan pendapat, perasaan, informasi kepada orang lain. Komunikasi merupakan
kunci dari keberhasilan berinteraksi baik dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat
maupun di dunia kerja. Bila komunikasi berjalan efektif, maka arus informasi yang kita
bawa akan tersampaikan dengan lancer dan efektif, sehingga akan membawa dampak yang
baik bagi hubungan timbal balik kita dengan orang lain. Sebaiknya, bila komunikasi kita
kurang lancer dan terhambat, maka arus informasi pun tersendat dan akibatnya dapat
berdampak negatif bahkan bias terjadi kesalah pahaman.
Dalam membangun komunikasi yang efektif, ada beberapa hal yang harus
diperhatikan, yaitu :
1. Ketahui Mitra Bicara (audience) ; Kita harus sadar dengan siapa kita
bicara. Apakah dengan orang tua, anak-anak, laki-laki, perempuan, orang
berpendidikan tinggi atau rendan, orang kota atau desa atau pedalaman,
status sosial mereka, tingkat reliqius mereka, seperti apa jabatan atau

1
pekerjaan mereka; petani, tokoh masyarakat, kepala suku, guru, kiayi,
pendeta,dan sebagainya. Dengan mengetahui audience kita harus cerdas
memilih kata-kata yang digunakan di dalam menyampaikan informasi
atau pendapat kita. Artinya, bahasa yang dipakai harus sesuai dengan
bahasa yang mudah dipahami oleh mitra bicara kita.
2. Ketahui Tujuan ; Tujuan kita berkomunikasi akan sangat menentukan cara
kita menyampaikan informasi. Bila kita bermaksud sekedar
menyampaikan informasi, tentu komunikasi kira bersifat pengumuman,
tetapi bila kita bermaksud membeli atau menjual barang/ide komunikasi
kita akan bersifat negosiasi. Lain pula cara kita berkomunikasi apabila
tujuan kita menghibur, membujuk, atau sekedar basa basi. Jadi, kejelasan
tujuan dalam berkomunikasi harus diketahui sebelum kita berkomunikasi.
3. Perhatikan Konteks ; Konteks di sini bisa berarti keadaan atau lingkungan
pada saat berkomunikasi. Pada saat berkomunikasi, konteks sangat
berperan dalam memperjelas informasi yang disampaikan. Gaya kita
berkomunikasi banyak dipengaruhi oleh kontes keadaan dengan siapa
kita berkomunikasi dan di mana komunikasi itu dilakukan.
4. Pelajari Kultur. Kultur budaya, habit atau kebiasaan orang atau
masyarakat juga perlu diperhatikan dalam berkomunikasi. Orang
Malinau, orang Sambas, Orang Ngada, orang Bengkayang, orang Malaka,
orang Gayo Lues, orang Alor, orang Marauke, tentu memiliki ciri yang
khas. Oleh sebab itu bila kita lama bermukim di suatu tempat, maka
sangat penting memahami kondisi dan budaya yang ada. Sebagai
komunikan (yang melakukan komunikasi) perlu untuk memahami kultur
mitra bicaranya, sehingga timbul saling pengertian dan penyesuaian gaya
komunikasi dapat terjadi. Kita harus selalu ingat pepatah bijak “ Dimana
bumi dipijak, di situ langit dijunjung atau When in Rome, do as the
Romans do” .
5. Pamahi Bahasa ; Bahasa menunjukkan bangsa” artinya bahasa dapat
menjadi ciri atau identitas suatu bangsa. Berbicara identitas berarti
berbicara harga diri atau kebanggaan. Dengan memahami bahasa orang
lain berarti berusaha menghargai orang lain. Tetapi memahami bahasa di
sini tidak berarti harus memahami semua bahasa yang dipakai oleh mitra
bicara kita. Yang lebih penting adalah memahami gaya orang lain
berbahasa. Untuk memperjelas pesan yang hendak disampaikan dalam
berkomunikasi, gunakanlah kalimat-kalimat sederhana yang mudah
dipahami, jangan gunakan kalimat, istilah yang dapat mengaburkan
makna (Endang Lestari, Cs, 2003).
Mengawali sebuah pekerjaan baru di tempat yang jauh dari asal-muasal individu
jelas akan memberikan banyak permasalahan dalam berinteraksi dan penyesuaian diri.
Perbedaan budaya, nilai, norma, adat istiadat, hingga kondisi geografis dan iklim yang

2
berbeda selalu menjadi faktor yang menghambat proses adaptasi. Dalam perjalannanya
proses adaptasi kebudayaan menjadi bagian penting bagaimana individu mampu
berkembang di dalam lingkungan yang baru. Di dalam sebuah lingkungan yang baru
individu perlu untuk sedikit banyak mempelajari kebiasaan, budaya yang ada di
masyarakat. Pemahaman akan budaya menjadi penting karena pendatang biasanya akan
mengalami perubahan dan penyesuaian diri yang mau tidak mau harus dilakukan. Akan
ada budaya yang sama, tetapi tidak menutup kemungkinan pula ada perbedaan budaya
yang cukup besar, yang memaksa individu untuk memilih antara mempertahankan budaya
aslinya atau melebur dalam budaya baru. Pilihan ini tentu saja juga akan berimplikasi pada
bagaimana individu menempatkan diri ditengah-tengah lingkungan yang baru. Sukses
tidaknya individu beradaptasi di lingkungan yang baru tergantung pada bagaimana
individu itu menyesuaikan diri dengan lingkungan.
Penyesuaian diri tersebut membutuhkan proses yang disebut sebagai sosialisasi.
Sebagaian besar sosialisasi dimaksudkan untuk menjadikan individu sebagai anggota
masyarakat yang baik. Sosialisasi ke dalam diri dan emosi menjadi suatu bagian pokok dari
proses sosialisasi. Proses sosialisasi itu akan membentuk perilaku individu. Individu sering
menganggap dirinya “bebas” untuk menentukan sesuatu. Tetapi, ternyata ada banyak
pertimbangan yang akan selalu individu pikirkan, karena ditengah kebebasan itu selalu ada
batasannya, mulai dari norma lingkungan, harapan orang terhadap kita. Masyarakatlah
yang membatasi kebebasan kita, mau tidak mau perbuatan,perilaku kita akan dinilai oleh
masyarakat.Sosialisasi menjadi penting dan mendasar bagi perkembangan individu.
Dengan berinteraksi dengan orang lain, individu akan belajar bagaimana berpikir,
mempertimbangkan dengan nalar dan perasaan (Henslin, 2007:74). Hasil akhirnya adalah
pembentukan perilaku kita sesuai dengan standar budaya yang berlaku di lingkungan di
mana kita tinggal.
Berada di lingkungan yang baru perlu proses adaptasi karena perbedaan budaya di
lingkungan asal terkadang akan jauh berbeda dengan lingkungan yang baru. Perbedaan itu
akan bisa diatasi apabila individu bersikap terbuka terhadap kebudayaan dan lingkungan
yang baru. Hanya saja individu mempunyai cara dan proses yang berbeda dalam
beradaptasi. Ada individu yang bisa dengan cepat menyesuaikan diri, ada pula yang sulit
untuk melepaskan diri dari kebiasaan di lingkungan asal.Tetapi kata kunci untuk bisa
dengan lancar beradaptasi dengan lingkungan yang baru adalah kemauan untuk belajar.
Kemampuan manusia untuk belajar inilah yang akan banyak membantu individu dalam
menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial yang baru. Untuk itulah mempelajari
kebudayaan baru perlu dilakukan oleh setiap individu, tidak hanya sebagai pengetahuan,
tetapi juga dilakukan untuk beradaptasi dengan lingkungan sosial.

Nilai dan Norma Sosial


Mempelajari suatu kebudayaan berarti mempelajari nilai (value) orang, yaitu ide
mengenai kehidupan yang dikehendaki. Jika kita mengungkapkan nilai seseorang, maka
kita belajar banyak mengenainya karena nilai merupakan standard orang menentukan

3
apayang baik dan buruk, indah dan jelek. Nilai mendasari preferensi kita, memandu pilihan
kita dan mengindikasikan apa yang kita anggap berharga dalam hidup ini (Henslin,
2007;48).
Nilai adalah sesuatu yang berguna dan baik yang dicita-citakan dan dianggap
penting oleh masyarakat oleh masyarakat.sesuatu dikatakan mempunyai nilai,apabila
mempunyai kegunaan,kebenaran,kebaikan,keindahan dan religiositas.Setiap kelompok
mengembangkan harapan mengenai cara yang benar untuk merefleksikan nilai-
nilainya.Norma digunakan untuk menggambarkan harapan-harapan tersebut atau aturan
cara berperilaku, yang biasanya berkembang dari nilai-nilai suatu kelompok.Norma
merupakan ketentuan yang berisi perintah-perintah atau larangan-larangan yang harus
dipatuhi warga masyarakat demi terwujudnya nilai-nilai.Nilai dan norma inilah yang
menuntun individu untuk hidup, berkembang di lingkungan sosial masyarakat.

Nilai Sosial
Satu bagian penting dari kebudayaan atau suatu masyarakat adalah nilai
sosial.Suatu tindakan dianggap sah, dalam arti secara moral diterima, kalau tindakan
tersebut harmonis dengan nilai-nilai yang disepakati dan dijunjung tinggi oleh masyarakat
di mana tindakan tersebut dilakukan. Dalam sebuah masyarakat yang menjunjung tinggi
kasalehan beribadah, maka apabila ada orang yang malas beribadah tentu akan menjadi
bahan pergunjingan, cercaan, celaan, cemoohan, atau bahkan makian. Sebaliknya, kepada
orang-orang yang rajin beribadah, dermawan, dan seterusnya, akan dinilai sebagai orang
yang pantas, layak, atau bahkan harus dihormati dan diteladani.
Nilai adalah gagasan mengenai apakah pengalaman berarti atau tidak berarti
(Horton & Hunt, 1996:71).Nilai merupakan sesuatu hal yang diyakini individu sebagai baik
dan buruk, pantas dan tidak pantas.Sebagai contoh seorang guru yang berambut gondrong
sebenarnya tidak menjadi masalah, tetapi ada nilai kepantasan bagi penampilan seorang
guru, sehingga rambut yang gondrong dinilai tidak pantas bagi seorang guru.Nilai
mengarahkan perilaku dan pertimbangan seseorang.
Dalam setiap masyarakat beberapa nilai memiliki penghargaan yang lebih tinggi
dari nilai-nilai lainnya. Ketepatan waktu, kemajuan materi dan persaingan merupakan nilai-
nilai utama didalam masyarakat kota. Sopan santun, tepo seliro, tenggang rasa menjadi
bagian dari nilai yang dikembangakan sebagain besar masyarakat Indonesia.Umumnya
anggota dari masyarakat sederhana menyetujui seperangkat nilai tunggal, sedangkan
masyarakat majemuk mengembangkan nilai yang saling bertentangan.
Nilai yang berkembang secara umum di dalam masyarakat disebut sebagai nilai
sosial. Di setiap masyarakat nilai sosial yang dikembangkan terkadang memiliki perbedaan,
sehingga anda harus mempersiapkan diri untuk mulai memahami nilai yang dikembangkan
di daerah 3T dimana anda akan mengabdi. Nilai dan budaya di daerah tersebut jelas jauh
berbeda dengan nilai-nilai yang dikembangkan di tempat anda. Nilai sosial memiliki ciri:
 Nilai sosial merupakan konstruksi abstrak dalam pikiran orang yang tercipta melalui
interaksi sosial,

4
 Nilai sosial bukan bawaan lahir, melainkan dipelajari melalui proses sosialisasi,
dijadikan milik diri melalui internalisasi dan akan mempengaruhi tindakan-tindakan
penganutnya dalam kehidupan sehari-hari disadari atau tanpa disadari lagi
(enkulturasi),
 Nilai sosial memberikan kepuasan kepada penganutnya,
 Nilai sosial bersifat relative,
 Nilai sosial berkaitan satu dengan yang lain membentuk sistem nilai,
 Sistem nilai bervariasi antara satu kebudayaan dengan yang lain,
 Setiap nilai memiliki efek yang berbeda terhadap perorangan atau kelompok,
 Nilai sosial melibatkan unsur emosi dan kejiwaan, dan
 Nilai sosial mempengaruhi perkembangan pribadi.
Antara masyarakat yang satu dengan yang lain dimungkinkan memiliki nilai yang
sama atau pun berbeda. Cobalah ingat pepatah lama dalam Bahasa Indonesia: “Lain ladang
lain belalang, lain lubuk lain ikannya”, atau pepatah dalam bahasa Jawa: “desa mawa cara,
negara mawa tata”. Pepatah-pepatah ini menunjukkan kepada kita tentang adanya perbedaan
nilai di antara masyarakat atau kelompok yang satu dengan yang lainnya.
Mengetahui sistem nilai yang dianut oleh sekelompok orang atau suatu masyarakat
tidaklah mudah, karena nilai merupakan konsep asbtrak yang hidup di alam pikiran para
warga masyarakat atau kelompok. Nilai sosial berfungsi sebagai faktor pendorong, hal ini
berkaitan dengan nilai-nilai yang berhubungan dengan cita-cita atau harapan; sebagai
petunjuk arah mengenai cara berfikir dan bertindak, panduan menentukan pilihan, sarana
untuk menimbang penghargaan sosial, pengumpulan orang dalam suatu unit sosial, dan
sebagai benteng perlindungan atau menjaga stabilitas budaya.
Nilai adalah suatu bagian yang penting dari kebudayaan.Suatu tindakan dianggap
sah, secara moral diterima, apabila ada harmonisasi dengan nilai-nilai yang dapat
diterima.Memahami nilai-nilai sosial di lingkungan baru mutlak diperlukan untuk mampu
menyesuaikan diri dengan harmoni lingkungan baru.

Norma Sosial
Apabila dalam bahasan sebelumnya telah diulas mengenai nilai sosial yang
berpedoman pada konsep baik dan buruk yang diakui oleh masyarakat, normasosial
menjadi sarana control sosial supaya nilai sosial tetap diakui dan dipergunakan oleh
anggota masyarakat. Norma sosial merupakan suatu petunjuk hidup yang berisi larangan
maupun perintah.Norma sosial adalah kebiasaan umum yang menjadi patokan perilaku
dalam suatu kelompok masyarakat dan batasan wilayah tertentu. Norma akan berkembang
seiring dengan kesepakatan-kesepakatan sosial masyarakatnya, sering juga disebut
dengan peraturan sosial. Norma menyangkut perilaku-perilaku yang pantas dilakukan dalam
menjalani interaksi sosialnya. Keberadaan norma dalam masyarakat bersifat memaksa
individu atau suatukelompok agar bertindak sesuai dengan aturan sosial yang telah
terbentuk. Pada dasarnya, norma disusun agar hubungan di antara manusia dalam

5
masyarakat dapat berlangsung tertib sebagaimana yang diharapkan. Norma dalam
masyarakat berisi tata tertib, aturan, dan petunjuk standar perilaku yang pantas atau wajar.
Dilihat dari sanksinya (kekuatan mengikatnya) terdapat beberapa jenis norma
(Soekanto, 1987:180-183) yaitu :
1. Tata Cara (Usage)
Tata cara merupakan norma yang menunjuk kepada satu bentuk perbuatan dengan
sanksi yang sangat ringan terhadap pelanggarnya.Suatu pelanggaran atau penyimpangan
terhadapnya tidak akan mengakibatkan hukuman yang berat, tetapi hanya sekedar celaan
atau dinyatakan tidak sopan oleh orang lain.Beberapa contoh pelanggaran dan sanksi
norma sosial berdasarkan tata cara: makan mendecak (mengecap) ketika makan tentu akan
dinyatakan tidak sopan oleh orang lain, atau bersendawa ketika makan juga dapat dianggap
tidak sopan.
2. Kebiasaan (Folkways)
Kebiasaan atau disebut folkways merupakan cara-cara bertindak yang digemari oleh
masyarakat sehingga dilakukan secara berulang-ulang.Kebiasaan merupakan perikelakuan
yang diakui dan diterima oleh masyarakat (Mac Iver dan Page dalam Soekanto,
1986:181).Folkways memiliki kekuatan mengikat yang lebih besar daripada usage, misalnya
mengucapkan salam ketika bertemu, atau membungkukkan badan sebagai tanda hormat
kepada orang yang lebih tua, serta membuang sampah pada tempatnya.Jika hal-hal tersebut
tidak dilakukan, maka dianggap penyimpangan terhadap kebiasaan umum
dalammasyarakat dan orang akan menyalahkannya. Sanksinya dapat berupa celaan,
cemoohan, teguran, sindiran, atau bahkan digunjingkan masyrakat (gosip).
3. Tata Kelakuan (Mores)
Tata kelakuan merupakan norma yang bersumber kepada filsafat, ajaran agama,
atau ideologi yang dianut oleh masyarakat. Pelanggarnya disebut penjahat.
Contoh mores adalah : larangan berzinah, berjudi, minum minuman keras, penggunaan
narkotika dan zat-zat adiktif, serta mencuri.
Fungsi mores antara lain :
 Memberikan batas-batas tingkah laku individu.
 Mengidentifikasi individu dengan kelompoknya.
 Menjaga solidaritas antara anggota-anggota masyarakat sehingga mengukuhkan
ikatan dan mendorong tercapainya integrasi sosial yang kuat.
4. Adat Istiadat (Customs)
Adat merupakan norma yang tidak tertulis, namun sangat kuat mengikat sehingga
anggota masyarakat yang melanggar adat istiadat akan menderita karena sanksi keras yang
kadang-kadang secara tidak langsung dikenakan. Misalnya, pada masyarakat Lampung
yang melarang terjadinya perceraian, apabila terjadi suatu perceraian, maka tidak hanya
yang bersangkutan yang mendapat sanksi, tetapi seluruh keluarganya pun ikut tercemar.
Sanksi atas pelanggaran adat istiadat dapat berupa pengucilan, dikeluarkan dari
masyarakat/kastanya, atau harus memenuhi persyaratan tertentu, seperti melakukan
upacara tertentu untuk media rehabilitasi diri.

6
Nilai dan normasosial yang berkembang di masyarakat mengalami dinamika yang
luar biasa. Banyak factor yang mempengaruhi nilai dan norma yang berkembang di
masyarakat. Kemajuan teknologi, industrialisasi dan modernisasi merupakan banyak factor
yang mempengaruhi nilai dan norma yang berkembang di masyarakat. Nilai dan norma
juga berbeda-beda di banyak budaya, sehingga conformity (proses penyesuaian diri)
diperlukan untuk mampu memahami dan mempelajari nilai dan norma yang berlaku di
suatu daerah. Kemampuan untuk memahami dan menerapkan nilai dan norma yang ada di
lingkungan masyarakat akan membantu individu untuk beradaptasi dengan lingkungan,
sekaligus mampu diterima masyarakat.

Relativisme Budaya
Bagaimanakan cara kita memandang budaya lain ketika kita menetap dan tinggal di
lingkungan budaya orang? Apakah kita akan selalu menganggap budaya kita lebih tinggi
dari budaya setempat? Ataukah justru sebaliknya menilai budaya setempat lebih tinggi dari
budaya kita?Atau kita mencoba untuk melihat budaya tidak dari sisi tinggi dan rendahnya?
Pemahaman budaya lain perlu ketika kita berada di lingkungan yang baru, jauh berbeda
dari lingkungan sosial kita sehari-hari.
Pembahasan relativisme ini akan dimulai dari cerita dari seorang peneliti yang meneliti di
lingkungan budaya yang berbeda.
“seorang peneliti datang ke sebuah suku pedalaman yang jauh dari hinggar bingar
modernisasi. Perjalanan menuju suku itu tidak bisa ditempuh dengan
kendaraan.Peneliti tersebut harus berjalan kaki berkilometer jauhnya.Dengan
perjuangan keras akhirnya dia sampai di suku tersebut.Sesampainya disana, peneliti
tersebut tertegun menyaksikan orang-orang yang menyambut bertelanjang dada,
berkeringat dan memunculkan bau yang luar biasa, sambil memegang busur panah
siap membidik.Jamuan makan sudah disiapkan untuk menyambut kedatangan
tamu. Tapi alangkah terkejutnya peneliti tersebut ketika melihat hidangan yang
disajikan berbau agak amis, karena memang hidangan disajikan setengah matang.
Dalam hatinya peneliti ini bergumam, macam inikah sambutan yang kalian berikan?
Apakah aku harus tetap memakan makanan ini, walaupun dihati kecilku aku jijik
untuk menyantapnya?” (diadaptasi dari Chagnon dalam Sanderson, 2003)
Apa kira-kira reaksi anda apabila anda sebagai peneliti tersebut? Reaksi awal yang
muncul akan membandingkan budaya yang dihadapi dengan budaya yang kita bawa.
Gejala itulah yang disebut etnosentrisme (kecenderungan orang untuk memandang
hidupnya sendiri sebagai cara hidup yang paling unggul dari semua cara hidup yang lain).
Pada tingkat yang paling substansial, kita adalah hasil dari kebudayaan kita sendiri dan
semua orang dikondisikan untuk menganggap cara hidup kita sendiri sebagai cara yang
paling menyenangkan dan kebudayaan lain dipandang memberikan gaya hidup yang
kurang menyenangkan (Sanderson, 2003:48). Etnosentrisme akan melahirkan permasalahan
khusus ketika kita berada di dalam lingkungan budaya yang lain dari lingkungan budaya
kita.

7
Untuk mengimbangi kecenderungan kita untuk menggunaan kebudayaan kita
sebagai standard kita dalam menilai kebudayaan orang lain, kita dapat mempraktekkan
relativisme budaya (cultural relativism), dimana kita dapat mencoba memahami suatu
kebudayaan dari sudut pandangnya sendiri. Relativisme budaya adalah melihat bagaimana
unsur suatu kebudayaan cocok satu samalain tanpa menilai apakah unsur tersebut lebih
tinggi ataupun lebih rendah daripada unsur kebudayaan yang lain (Henslin, 2007:40)
Relativisme budaya berarti bahwa fungsi dan arti dari suatu unsure adalah
berhubungan dengan lingkungan/keadaan kebudayaannya (Horton & Hunt, 1996:77).Suatu
unsur dari kebudayaan brsifat netral tidak baik dan tidak buruk.Dikatakan baik dan buruk
ketika dikaitkan dengan kebudayaan dimana budaya itu berfungsi.
Relativisme budaya merupakan doktrin yang menyatakan bahwa tidak ada
kebudayaan yang secara inheren lebih superior atau inferior dari kebudayaan yang lain,
tetapi karena setiap kebudayaan merupakan solusi adaptif terhadap problem-problem
fundamental manusia, maka semua kebudayaan ‘sama-sama sah’ (Sanderson, 2003:49).
Standard suatu kebudayaan tidak dapat digunakan untuk mengevaluasi kebudayaan yang
lain, karena itu standard untuk mengevaluasi kebudayaan hanyalah standard yang dimiliki
kebudayaan itu sendiri.
Penerapan relativisme budaya bukan sesuatu yang mudah karena bagaimanapun
orang selalu akan menggunakan budayanya sebagai referensi utama. Elvin Hatch
(Sanderson, 2003) menganjurkan suatu cara bagi relativisme budaya untuk mengatasi
kekurangan-kekurangan dasarnya sambil mempertahankan apa yang dipandang bernilai:
dalih umumnya untuk mengembangkan toleransi. Hatch mengembangkan sebuah prinsip
humanistik sebagai alat untuk menilai budaya orang lain. Berbagai kebudayaan dapat
dievaluasi dalam kaitannya apakah ia (kebudayaan) membahayakan orang atau
tidak,sekaligus menilai seberapabaik kebudayaan itu menyediakan keperluan material.
Walaupun agak sulit untuk mengimplementasikan keduanya, tetapi paling tidak
relativisme budaya berguna dan diperlukan sebagai premis yang secara praktis memberikan
panduan dalam mengeksplorasi sifat berbagai sistem sosial budaya. Relativisme budaya
tidak berarti bahwa semua adat istiadat mempunyai nilai yang sama, juga tidak mengetahui
bahwa kebiasaan tertentu pasti merugikan.

Simpulan
Memahami nilai, norma dan budaya masyarakat yang berbeda terkadang membuat
individu seakan-akan terkucil. Sikap terbuka, mau menerima dan melihat budaya lain
sebagai sesuatu yang memiliki fungsi di masyarakat akan membuat individu cepat
beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Konsep relativisme budaya dan prinsip
humanistik ditambah dengan conformity dari masing-masing individu tampaknya menjadi
salah satu cara untuk beradaptasi dengan lingkungan social.
Peribahasa yang sering digaungkan oleh masyarakat ‘Di mana bumi dipijak, di situ
langit dijunjung’ dengan kata lain setiap individu yang berada di lingkungan yang baru
haruslah mengikuti/menghormati adat istiadat di tempat tinggal kita. Motivasi untuk

8
belajar dan keinginan yang kuat untuk memahami budaya menjadi kunci adaptasi dengan
lingkungan yang baru

Referensi

Endang Lestari dan Maliki, 2003, Komunikasi Yang Efektif, Bahan ajar Diklat Prajabatan

Golongan III, Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia.

Giddens, Anthony., 1989. Sociology, Cambridge:Polity


Henslin, James M., 2007. Sosiologi dengan Pendekatan Membumi. Jakarta:Erlangga
Horton & Hunt, 1996, Sosiologi. Jakarta:Erlangga
Ryannathan, 2009, Norma Sosial [online], tersedia di URL:
<http://leonheart94.blogspot.com/2009/11/apakah-norma-sosial-itu.html> diakses
pada27 November 2011
Sanderson, Stephen K., 2003, Makro Sosiologi, Jakarta:Rajawali Press
Santoso, Agus, 2009, Nilai dan Norma Sosial [online], tersedia di URL:
<http://agsasman3yk.wordpress.com/2009/09/01/nilai-dan-norma-sosial/> diakses
pada 27 November 2011
Soekanto, Soerjono, 1986. Sosiologi suatu Pengantar, Jakarta:Rajawali Press

Anda mungkin juga menyukai