Anda di halaman 1dari 24

TINDAKAN ABORSI DENGAN ALASAN INDIKASI MEDIS KARENA

TERJADINYA KEHAMILAN
AKIBAT PERKOSAAN

JURNAL

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh


Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara

Oleh

SUPRIONO TARIGAN
090200394

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013
 

LEMBAR PENGESAHAN

TINDAKAN ABORSI DENGAN ALASAN INDIKASI MEDIS KARENA


TERJADINYA KEHAMILAN
AKIBAT PERKOSAAN

JURNAL

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat


Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

SUPRIONO TARIGAN
090200394

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui Oleh

Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr. H.M. Hamdan, SH., MH


NIP. 195703261986011001

Pembimbing I Pembimbing II

Syafruddin, SH., M.H.D.F. M Dr. M. Ekaputra, SH., M.Hum


NIP. 197110051948011001 NIP. 19635051119890310001

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013
 

ABSRTAK

TINDAKAN ABORSI DENGAN ALASAN INDIKASI MEDIS KARENA


TERJADINYA KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN

Saat ini tindak pidana perkosaan merupakan kejahatan yang cukup


mendapat perhatian di kalangan masyarakat. Sering di koran atau majalah
diberitakan terjadi tindak pidana perkosaan. Jika mempelajari sejarah, sebenarnya
jenis tindak pidana ini sudah ada sejak dulu, atau dapat dikatakan sebagai suatu
bentuk kejahatan klasik yang akan selalu mengikuti perkembangan kebudayaan
manusia itu sendiri, ia akan selalu ada dan berkembang setiap saat walaupun
mungkin tidak terlalu berbeda jauh dengan sebelumnya.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimana ketentuan pidana
aborsi menurut KUHP dan UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan?Bagaimana
bentuk perlindungan yang diberikan pemerintah kepada korban perkosaan?
Bagaimana kehamilan Akibat Perkosaaan Bisa Dikatakan Sebagai Alasan Indikasi
Medis? Sifat dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu penelitian yang
mendeskripsikan secara terperinci fenomena social yang menjadi pokok
permasalahan. Suatu penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data
seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya.
KUHP Pasal 346,347,348,349 yang merupakan keseluruhan pasal-pasal
tentang buku pengguguran kandungan. Hanya menekankan pada perempuan dan
barang siapa yang sengaja melakukan pelanggaran atau menyuruh orang lain
untuk melakukan pengguguran pada badannya harus dihukum apapun
alasannyaAborsi Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Perempuan
Korban Perkosaan. Tindakan media dalam bentuk pengguguran kandungan
dengan alasan apapun dilarang karena bertentangan dengan norma hukum, norma
agama, norma kesusilaan, dan norma kesopanan. Namun aturan KUHP yang keras
tersebut telah dilunakkan dengan memberikan peluang dilakukannya aborsi.
Sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang No.36 tahun 2009 tentang
kesehatan. sehingga dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa
ibu dan atau janin yang dikandungnya dapat diambil tindakan medis
tertentuPerlindungan Hukum Pidana Terhadap Korban Perkosaan Yang
Melakukan Aborsi. Perlindungan hukum pidana pada korban perkosaan yang
melakukan abortus provocatus dapat dijelaskan melalui pengaturan tentang
abortus provocatus itu sendiri di dalam hukum pidana, yakni yang terdapat dalam
KUHP yang berlaku sebagai hukum pidana umum (lex generale) dan UU No. 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan yang berlaku sebagai hukum pidana khusus (lex
speciale).

Kata Kunci : Aborsi, Alasan Indikasi Medis, Kehamilan Akibat Perkosaan


 

ABSTRACT

ACTION ABORSI BY the REASON OF MEDICAL INDICATION


BECAUSE THE HAPPENING OF PREGNANCY EFFECT OF RAPE
.
In this time doing an injustice rape represent the badness which enough get
the attention among society. Often in newspaper or magazine reported on
happened the doing an injustice rape. If studying history, in fact this doing an
injustice type there since long time, or can be told as classic badness form to
always keep abreast of the culture of human being itself, he there will always and
expand each;every moment although might not too differing far previously.
Problem of this research is how rule of crime aborsi of according to KUHP
and UU No. 36 year 2009 about healt? Why form the protection given
government to rape victim? How pregnancy Effect Of Perkosaaan Can Be Told
As Reason Of Medical Indication? Nature of in this research is analytical
descriptive, that is research which description detailedly is phenomenon social
becoming problems fundamental. Meant descriptive research to give the data as
accurately as about human being, other symptom or situation.
KUHP Section 346,347,348,349 representing the overall of section of
about aborsi book. Only emphasizing at who did goods and woman intend to the
collision or order the others to the abortion its body have to be punished any is
Aborcition of As Protection Form Punish To Woman of Rape Victim. Media
Action in the form of abortion with any reason prohibited by because opposing
against norm punish the, religion norm, ethics norm, and courtesy norm. But the
hard order KUHP have been mellowed by giving opportunity of aborsi. As
determined in of No.36 year 2009 about health. so that in a state of emergency as
effort save the mother and or foetus contained can be brought an action against
medical Criminal Law To Rape Victim Aborsi. Protection of criminal law rape
victim explainable abortus provocatus the arrangement about abortus provocatus
itself in criminal law, namely which is there are in KUHP acting as criminal law
(lex generale) and UU No. 36 Year 2009 about Health acting as special criminal
law ( lex special)

Keyword : Aborsi, Reason Of Medical Indication, Pregnancy of Effect of Rape


 

A. Latar Belakang
Aborsi menjadi salah satu masalah yang cukup serius, dilihat dari
tingginya angka aborsi yang kian meningkat dari tahun ke tahun. Di Indonesia,
angka pembunuhan janin per tahun sudah mencapai 3 juta. Angka yang tidak
sedikit mengingat besarnya tingkat kehamilan di Indonesia. Selain itu, ada yang
mengkategorikan aborsi itu pembunuhan. Ada yang melarang atas nama agama.
Ada yang menyatakan bahwa jabang bayi juga punya hak hidup sehingga harus
dipertahankan, dan lain-lain.
Kasus aborsi di Indonesia diperkirakan semakin meningkat tiap tahunnya.
Berdasarkan data yang dikeluarkan Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN), diperkirakan setiap tahun jumlah aborsi di Indonesia
mencapai 2,5 juta jiwa dari 5 juta kelahiran pertahun. Bahkan, 1-1,5 juta
diantaranya adalah kalangan remaja.1 Data yang dihimpun Komnas Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI) menemukan dalam kurun waktu tiga tahun (2008-2010)
kasus aborsi terus meningkat. Tahun 2008 ditemukan 2 juta jiwa anak korban
Aborsi, tahun berikutnya (2009) naik 300.000 menjadi 2,3 juta janin yang dibuang
paksa. Sementara itu, pada tahun 2010 naik dari 200.000 menjadi 2,5 juta jiwa.
62,6 persen pelaku diantaranya adalah anak berusia dibawah 18 tahun. Metode
aborsi 37 persen dilakukan melalui kuret, 25 persen melalui oral dan pijatan, 13
persen melalui cara suntik, 8 persen memasukkan benda asing ke dalam rahim
dan selebihnya melalui jamu dan akupunktur.2
Ketua KPAI Maria Ulfah Anshor mengatakan bahwa pada 2003, rata-rata
terjadi 2 juta kasus aborsi per tahun. Lalu pada tahun berikutnya, 2004 penelitian
yang sama menunjukkan kenaikan tingkat aborsi yakni 2,1-2,2 juta per tahun.
Kehamilan pranikah angkanya 12,7 persen, dan 87 persen dilakukan oleh
perempuan yang memiliki suami.3 Data serupa juga diungkap oleh Inne Silviane,
Direktur Eksekutif Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Pusat,
pelaku aborsi justru paling banyak adalah perempuan yang sudah menikah karena
                                                            
1
http://bukuhariankimmy.blogspot.com/2013/05/aborsi‐sebuah‐paradoks‐
kontradiksi.html, diakses tanggal 1 September 2013
2
Ibid
3
Ibid
 

program KB-nya gagal. Data studi PKBI di 12 kota dari tahun 2000-2011 juga
menunjukkan, 73-83 persen wanita yang ingin aborsi ialah wanita menikah karena
kegagalan kontrasepsi.4 Berapapun jumlah aborsi yang terjadi di Indonesia dan
siapa pelakunya remaja atau wanita yang sudah menikah, yang menjadi
pertanyaan adalah apa yang menjadi penyebab aborsi ini angkanya cenderung
terus meningkat.
Beberapa kalangan meyakini faktor pendorong melakukan aborsi adalah
kehamilan yang tidak direncanakan akibat dari seks pranikah, perkosaan, dan
kontrasepsi yang gagal. Pertama, seks pranikah dilakukan saat usia mereka
diliputi rasa penasaran dan ingin mencoba, tapi tidak mau bertanya pada orang tua
ataupun guru konseling, dan terlebih lagi pengetahuan mereka mengenai
kontrasepsi masih minim. Akhirnya, mereka mendapatkan informasi dari sumber-
sumber yang salah seperti film porno. Orang tua harus memberi pendampingan
dan pendidikan seks agar tidak terjerumus pada hubungan seks pranikah. Karena,
ujung-ujungnya yang menjadi korban adalah perempuan jika kehamilan tidak
diinginkan (KTD) terjadi, meskipun aborsi dilakukan maupun tidak.
Kedua, perkosaan. Dalam kasus perkosaan jelas bahwa jika terjadi KTD,
perempuan pasti akan menolak keberadaan janin dalam rahimnya, perasaan
dendam, tidak menginginkan, depresi, harus menghadapi stigma miring
masyarakat yang tidak menganggap ia sebagai korban. Sehingga, aborsi menjadi
solusi terbaik yang diambil. Ketiga, kontrasepsi yang gagal. Aborsi ini sering
dilakukan oleh perempuan yang sudah menikah, dengan alasan ekonomi,
melanjutkan pendidikan, ikatan kerja, alasan tidak ingin menambah anak, serta
alasan kesehatan. 5
Saat ini tindak pidana perkosaan merupakan kejahatan yang cukup
mendapat perhatian di kalangan masyarakat. Sering di koran atau majalah
diberitakan terjadi tindak pidana perkosaan. Jika mempelajari sejarah, sebenarnya
jenis tindak pidana ini sudah ada sejak dulu, atau dapat dikatakan sebagai suatu
bentuk kejahatan klasik yang akan selalu mengikuti perkembangan kebudayaan
                                                            
4
Majalah Detik, Juli 2012
5
http://rifkaanisa.blogdetik.com/2013/01/21/problematika‐aborsi‐di‐indonesia/diakses
tanggal 01 September 2013
 

manusia itu sendiri, ia akan selalu ada dan berkembang setiap saat walaupun
mungkin tidak terlalu berbeda jauh dengan sebelumnya. Tindak pidana perkosaan
ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar yang relatif lebih maju kebudayaan dan
kesadaran atau pengetahuan hukumnya, tapi juga terjadi di pedesaan yang relatif
masih memegang nilai tradisi dan adat istiadat. Selama ini aborsi oleh tenaga
medis dilakukan bilamana ada indikasi medis misalnya ibu dengan penyakit berat
yang mengancam nyawa6.
Masalah perlindungan terhadap korban perkosaan menjadi permasalahan
yang menarik untuk dicermati, karena masalah perlindungan terhadap korban
perkosaan tidak hanya berkaitan dengan pemberian perlindungannya saja, akan
tetapi berkaitan dengan hambatan yang dihadapi. Tidak mudah untuk memberikan
perlindungan terhadap korban perkosaan karena ada beberapa faktor yang jadi
penghambat. Faktor korban berperan penting untuk dapat mengatasi atau
menyelesaikan kasus perkosaan ini, hal ini memerlukan keberanian dari korban
untuk melaporkan kejadian yang menimpanya kepada polisi, karena pada
umumnya korban mengalami ancaman akan dilakukan perkosaan lagi dari pelaku
dan hal ini membuat korban takut dan trauma.7
Perkosaan dapat mengakibatkan cedera fisik, karena luka pada kepala,
dada, punggung hingga bagian intern wanita yang terjadi pukulan, benturan, dan
cekikan. Hal yang terburuk adalah kehamilan yang tidak diinginkan, dimana
kehamilan tersebut akan menjadi beban baik terhadap korban maupun
keluarganya dalam menghadapi kehidupan selanjutnya karena dia harus
membesarkan dan mengasuh anak hasil perkosaan. Dampak lainnya yang dapat
terjadi adalah stress akut atau depresi berat yang kadang menyebabkan korban
menjadi gila karena merasa dirinya tidak normal lagi, kotor, berdosa dan tidak
berguna. Selain itu perkosaan juga dapat mengakibatkan kematian, atau tertular
penyakit seksual yang tidak dapat disembuhkan.

                                                            
6
http://ibelboyz.wordpress.com/2011/06/03/perlindungan‐korban‐perkosaan/diakses
tanggal 9 Maret 2013
7
http://boeyberusahasabar.wordpress.com/2012/11/02/aborsi‐sebagai‐bentuk‐
perlindungan‐hukum‐bagi‐perempuan‐korban‐perkosaan/diakses tanggal 9 Maret 2013
 

B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana ketentuan pidana aborsi menurut KUHP dan UU No. 36 tahun
2009 tentang kesehatan?
2. Bagaimana bentuk perlindungan yang diberikan pemerintah kepada korban
perkosaan?
3. Bagaimana kehamilan Akibat Perkosaaan Bisa Dikatakan Sebagai Alasan
Indikasi Medis?

C. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan studi hukum, pertama hukum
dapat dipelajari dan diteliti sebagai suatu studi mengenai law in books, dan yang
kedua adalah hukum yang dipelajari dan diteliti sebagai suatu studi mengenai law
in action. Mempelajari dan meneliti hubungan timbal balik antara hukum dengan
lembaga-lembaga sosial yang lain, studi terhadap hukum sebagai law in action
merupakan studi ilmu social yang non doktrinal dan bersifat empiris.
1. Sifat Penelitian
Sifat dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu penelitian yang
mendeskripsikan secara terperinci fenomena social yang menjadi pokok
permasalahan. Suatu penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan
data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya8.
2. Jenis dan sumber data
Jenis dan sumber data yang terhimpun dari hasil penelitian ini diperoleh
melalui penelitian lapangan dan kepustakaan, digolongkan ke dalam 2 jenis data,
yaitu :
a. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung melalui penelitian
lapangan dengan menggunakan metode wawancara atau interview kepada
para para pelaku tindak pidana perkosaan, serta lainnya yang relevan
dengan pokok permasalahan

                                                            
8
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Penerbit Universitas
Indonesia, 2001, hal. 9-10
 

b. Data sekunder yaitu data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh penulis
melalui penelusuran literatur atau kepustakaan, peraturan perundang-
undangan, buku-buku, dokumen-dokumen, arsip-arsip yang berhubungan
dengan pokok materi pembahasan.
3. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah melalui
studi kepustakaan yaitu dengan cara mengumpulkan literatur yang berhubungan
dengan pemasalahan yang dibahas, serta studi wawancara langsung dengan pihak-
pihak yang berkompeten guna memperoleh keterangan data tentang subjek dan
objek yang diteliti.
4. Analisis Data
Data yang diperoleh, baik secara data primer maupun data sekunder
dianalisis dengan teknik kualitatif kemudian disajikan secara deskriptif yaitu
menjelaskan, menguraikan, dan menggambarkan sesuai dengan permasalahan
yang erat kaitannya dengan penelitian ini.

D. Hasil Penelitian dan Pembahasan


1. Alasan-Alasan Yang Dapat Dikatakan Sebagai Alasan Indikasi Medis
Adapun alasan-alasan untuk menghilangkan pidana atau hal-hal yang
menghapuskan, mengurangi atau memberatkan pidana diatur dalam Bab III buku
kesatu KUHP dan telah diuraikan pada bab terdahulu dari tulisan ini. Sedangkan
alasan-alasan / indikasi untuk melakukan aborsi dapat diperinci
1. Alasan-alasan medis
a. Untuk menyelamatkan si ibu
b. Untuk menjaga kesehatan si ibu
c. Untuk mencegah gangguan yang berat dan tetap terhadap keselamatan
sibayi
d. Untuk mencegah bahaya terhadap jiwa si ibu
2. Untuk mencegah kelahiran anak dengan cacat fisik atau mental yang berat.
Alasan-alasan social – ekonomi
a. Sudah mempunyai tiga anak atau lebih
b. Sudah mempunyai lima anak atau lebih
c. Jika ibu memikul tanggung jawab bagi penghasilan keluarga atau anak
d. Untuk mereka yang belum kawin si lelaki tidak mau bertanggung jawab
terhadap anak yang akan dilahirkan.
 

2. Alasan-alasan kemanusiaan
Kehamilan disebabkan oleh
a. Perkosaan (persetubuhan yang dilakukan dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan )
b. Perbuatan sumbang (incest)
c. Persetubuhan dengan gadis masih dibawah umur.
2. Aborsi Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Perempuan
Korban Perkosaan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) melarang keras


dilakukannya aborsi dengan alasan apapun sebagaimana diatur dalam pasal 283,
299 serta pasal 346 – 349. Bahkan pasal 299 intinya mengancam hukuman pidana
penjara maksimal empat tahun kepada seseorang yang memberi harapan kepada
seorang perempuan bahwa kandungannya dapat digugurkan.
Pasal 299 KUHP
1. Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh
seseorang wanita supaya diobati dengan memberitahu atau menerbitkan
pengharapan bahwa oleh karena pengobatan itu dapat gugur
kandungannya, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya empat
tahun atau denda sebanyak-banyaknya empat puluh lima ribu rupiah.
2. Kalau yang bersalah berbuat karena mencari keuntungan, atau melakukan
kejahatan itu sebagai mata pencaharian atau kebiasaan atau kalau ia
seorang dokter, bidan atau juru obat, pidana dapat ditambah sepertiganya.
3. Kalau yang bersalah melakukan kejahatan itu dalam pekerjaannya, maka
dapat dicabut haknya melakukan pekerjaan itu.

Apabila pelaku salah menduga bahwa wanita itu hamil, padahal


sebenarnya tidak, maka ia tidak dapat dihukum, karena perbuatannya tidak
menggugurkan kandungan. Pelaksanaan kejahatan itu dianggap selesai, apabila
pengobatan telah diberikan atau pemijatan telah dilakukan, sehingga
menimbulkan pengharapan bahwa kandungan itu akan gugur karena pengobatan
atau pemijatan itu.
Menurut Pasal 346 KUHP :
Wanita yang dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati
kandungannya, atau menyuruh orang lain menyebabkan itu, dipidana dengan
pidana penjara selama-lamanya empat tahun.
 

Pengguguran kandungan atau pembunuhan janin yang ada di dalam


kandungan dapat dilakukan dengan bermacam-macam cara, misalnya: dengan
obat yang diminum atau dengan alat yang dimasukkan ke dalam rahim.
Dalam Pasal 348 KUHP:
1. Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungan
seorang wanita dengan izin wanita itu, dipidana dengan pidana penjara
selama-lamanya lima tahun enam bulan.
2. Jika perbuatan itu berakibat wanita itu mati, ia dipidana dengan pidana
penjara selama-lamanya tujuh tahun.

Dalam Pasal 349 KUHP


Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu kejahatan tersebut
dalam pasal 346, atau bersalah melakukan atau membantu salah satu kejahatan
diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal
itu dapat ditambah sepertiganya dan dapat dicabut haknya melakukan
pekerjaannya yang dipergunakan untuk menjalankan kejahatan itu.
Penjelasan
Yang diancam hukuman lebih berat dalam pasal ini ialah dokter, bidan
atau juru obat yang membantu wanita yang dengan sengaja menyebabkan
kandungannya menjadi gugur atau mati (Pasal 346), atau membantu seseorang
yang dengan sengaja menyebabkan kandungan seorang wanita menjadi gugur atau
mati, tanpa izin dari wanita yang bersangkutan (pasal 347 ayat ke-1), atau pula
membantu seseorang yang dengan sengaja menyebabkan kandungan seorang
wanita menjadi gugur atau mati, atas izin wanita yang bersangkutan (pasal 348
ayat ke-1), atau apabila perbuatan itu mengakibatkan wanita yang bersangkutan
mati (pasal 347 dan 348 ayat ke-2).
Selain hukuman yang lebih berat, maka dokter, bidan atau juru obat yang
membantu kejahatan itu dapat dijatuhi hukuman tambahan pencabutan hak
melakukan pekerjaannya sebagai dokter, bidan atau juru obat. Sebaliknya apabila
dokter, bidan atau juru obat yang membantu menggugurkan atau membunuh
kandungan itu justru menolong jiwa atau menjaga kesehatan wanita tersebut, tidak
dihukum.
Diluar dari ketentuan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 ketentuan apa
yang diperbolehkan melakukan aborsi atau yang dianjurkan oleh dokter ! diluar
 

daripada undang-undang yaitu indikasi medis yang mengancam keselamatan ibu


atau anak9
Dari rumusan pasal-pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Seorang perempuan hamil yang dengan sengaja melakukan aborsi atau ia
menyuruh orang lain, diancam hukuman empat tahun penjara.
2. Seseorang yang dengan sengaja melakukan aborsi terhadap ibu hamil
dengan tanpa persetujuan ibu hamil tersebut, diancam hukuman penjara 12
tahun, & jika ibu hamil tersebut mati, diancam penjara 15 tahun penjara.
3. Jika dengan persetujuan ibu hamil, maka diancam hukuman 5 tahun 6
bulan penjara dan bila ibu hamil tersebut mati diancam hukuman 7 tahun
penjara.
4. Jika yang melakukan dan atau membantu melakukan aborsi tersebut
seorang dokter, bidan atau juru obat ancaman hukumannya ditambah
sepertiganya dan hak untuk berpraktik dapat dicabut.
5. Setiap janin yang dikandung sampai akhirnya nanti dilahirkan berhak
untuk hidup serta mempertahankan hidupnya.

Tindakan media dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan


apapun dilarang karena bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma
kesusilaan, dan norma kesopanan. Namun aturan KUHP yang keras tersebut telah
dilunakkan dengan memberikan peluang dilakukannya aborsi. Sebagaimana
ditentukan dalam Undang-Undang No.36 tahun 2009 tentang kesehatan. sehingga
dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu dan atau janin yang
dikandungnya dapat diambil tindakan medis tertentu
Aborsi dalam Undang – Undang No.36 tahun 2009 dalam Pasal 75 :
1. Setiap orang dilarang melakukan aborsi
2. Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan
berdasarkan:
a. Indikasi kedaruratan media yang dideteksi sejak usia dini kehamilan,
baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita
penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak
dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar
kandungan; atau
b. Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma
psikologis bagi korban perkosaan.
c. Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan
setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan

                                                            
9
Ibid
 

“diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh


konselor yang kompeten dan berwenang.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan
perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

Lembaga apa yang menerima korban kehamilan akibat perkosaan? Ngak


ada lembaga yang menerima korban kehamilan akibat perkosaan10
Butir ke-2 & 3, mungkin para ahli kesehatan & ahli hukum dapat
memahami alasan aborsi karena merupakan hal-hal yang di luar kemampuan ibu,
dimana pada butir ke 2, apabila bayi dibiarkan hidup, mungkin akan menjadi
beban keluarga serta kurang baiknya masa depan anak itu sendiri. Namun keadaan
ini bertentangan dengan UU HAM pasal 53 mengenai hak hidup anak dari mulai
janin sampai dilahirkan, & pasal 54 mengenai hak untuk mendapatkan perawatan,
pendidikan, pelatihan & bantuan khusus atas biaya negara bagi setiap anak yang
cacat fisik & mental. Pada butir ke 3, kemungkinan besar bayi tidak akan
mendapatkan kasih sayang yang layak, bahkan mungkin akan diterlantarkan
ataupun dibuang, yang bertentangan dengan UU Kesehatan pasal 4 tentang
perlindungan anak mengenai hak anak untuk hidup, tumbuh, berkembang &
berpartisipasi secara wajar sesuai dgn harkat & martabat kemanusiaan. Sedangkan
bagi ibu yang merupakan korban pemerkosaan itu sendiri, hal ini merupakan
keputusan yang kurang adil apabila kehamilan akibat perkosaan itu dilanjutkan,
karena dia sendiri adalah korban suatu kejahatan, & pasti akan merupakan suatu
beban psikologis yang berat.
Penanganan utama yang harus dilakukan adalah terhadap korban
perkosaan, karena selama ini perhatian dari pemerintah maupun kepedulian
masyarakat terasa sangat kurang. Meskipun setiap hari ada saja berita di surat
kabar tentang jatuhnya korban perkosaan, namun pemerintah dan masyarakat
sendiri kurang peduli dan menganggap hal seperti itu sesuatu yang sudah wajar
terjadi. Korban yang mengalami tekanan emosional dan fisik yang hebat dapat
melakukan upaya bunuh diri atau melakukan tindakan aborsi karena penderitaan
psikis yang dialaminya setelah diketahui bahwa korban mengalami kehamilan.
                                                            
10
Ibid
 

Korban perkosaan banyak yang mengalami depresi berat atau kecemasan berat,
kelesuan kronis, gangguan tidur, mimpi buruk, merasa terisolasi dari masyarakat
sekitar dan menarik diri karena malu akan apa yang dialaminya.
Dalam Pasal 76 :
Aborsi sebagaimana dimaksud Pasal 75 hanya dapat dilakukan:
1. Sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama
haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis
2. Oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang
memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh merited;
3. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
4. Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
5. Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh
Menteri.

Dalam KUHP terdapat larangan terhadap aborsi, dan bagi ibu serta
pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana. Dengan diundangkannya UU No 36
tahun 2009 tentang Kesehatan yang juga mengatur tindak pidana aborsi, maka
pasal-pasal tentang aborsi dalam KUHP ini tidak berlaku lagi atas dasar Lex
Specialis Derogat Lex Generalis. Berbeda dengan KUHP, UU Kesehatan
memberikan pengecualian (legalisasi) terhadap tindakan aborsi tertentu, yaitu
aborsi yang dilakukan untuk menyelamatkan nyawa ibu atau janinnya. Pasal 49
ayat 3 UU No 39 tahun 1999 tentang HAM, menyatakan bahwa wanita berhak
memperoleh perlindungan hukum yang berkaitan dengan fungsi reproduksinya.
Dalam Pasal 77:
Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana
dimaksud dalam pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak bermutu, tidak aman,
dan tidak bertanggungjawab serta bertentangan dengan norma-norma dan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Semua pihak dihadapkan pada adanya pertentangan baik secara moral &
kemasyarakatan di satu sisi maupun dengan secara agama & hukum di lain sisi.
Dari sisi moral & kemasyarakatan, sulit untuk membiarkan seorang ibu yang
harus merawat kehamilan yang tidak diinginkan terutama karena hasil
pemerkosaan. Melakukan aborsi pasti merupakan keputusan yang sangat berat
dirasakan oleh perempuan yang bersangkutan. Tapi bila itu memang menjadi jalan
yang terakhir, yang harus diperhatikan adalah persiapan secara fisik dan mental
 

dan informasi yang cukup mengenai bagaimana agar aborsi bisa berlangsung
aman. Banyaknya kematian akibat aborsi yang tidak aman, tentu sangat
memprihatinkan. Hal ini diakibatkan kurangnya kesadaran dari perempuan dan
masyarakat tentang hak atas pelayanan kesehatan. Padahal bagaimanapun
kondisinya atau akibat apapun, setiap perempuan sebagai warganegara tetap
memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai dan
kewajiban negaralah untuk menyediakan hal itu.
Hak-hak ini harus dipandang sebagai hak-hak sosial sekaligus hak
individu yang merupakan hak untuk mendapatkan keadilan sosial termasuk
didalamnya hak untuk mendapatkan pelayanan. Hak atas pelayanan kesehatan ini
ditegaskan pula dalam Pasal 12 Konvensi Penghapusan segala bentuk Kekerasan
terhadap Perempuan (Konvensi Perempuan) dan UU Kesehatan. Dalam hal Hak
Reproduksi, termasuk pula didalamnya hak untuk membuat keputusan mengenai
reproduksi yang bebas dari diskriminasi, paksaan dan kekerasan seperti
dinyatakan dalam dokumen-dokumen hak-hak asasi manusia (Rekomendasi bab 7
Konferensi Kependudukan dan Pembangunan Internasional di Kairo 1994).
Pelayanan Kesehatan yang Memadai adalah hak setiap orang, tidak terkecuali
Perempuan yang memutuskan melakukan Aborsi. Dilihat dari adanya undang-
undang yang diberlakukan di banyak negara, setiap negara memiliki undang-
undang yang melarang dilakukannya aborsi buatan meskipun pelarangannya tidak
bersifat mutlak. Bagaimana yang dikatakan indikasi medis menurut dokter ? ibu
hamil dalam keadaan tidak baik atau terancam hidupnya11
3. Perlindungan Hukum Pidana Terhadap Korban Perkosaan Yang
Melakukan Aborsi

Perlindungan hukum berarti melindungi hak setiap orang untuk


mendapatkan perlakuan dan perlindungan yang sama oleh hukum dan undang-
undang, maka oleh karena itu untuk setiap pelanggaran hukum yang dituduhkan
padanya serta dampak yang diderita olehnya ia berhak pula untuk mendapat
perlindungan dari hukum yang diperlukan sesuai dengan asas hukum. Tetapi perlu
kita ketahui bahwa dalam kasus perkosaan pihak korban telah terabaikan dari
                                                            
11
Ibid
 

jangkauan hukum. Ini terbukti dari banyaknya kasus dengan korban perempuan
yang tidak mampu terselesaikan secara adil dan memuaskan.12
Perlindungan hukum pidana pada korban perkosaan yang melakukan
abortus provocatus dapat dijelaskan melalui pengaturan tentang abortus
provocatus itu sendiri di dalam hukum pidana, yakni yang terdapat dalam KUHP
yang berlaku sebagai hukum pidana umum (lex generale) dan UU No. 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan yang berlaku sebagai hukum pidana khusus (lex
speciale).
Apakah aborsi diperbolehkan untuk korban perkosaan ? kalau sehat-sehat
aja boleh atau dia merasa aman-aman saja tetapi kalau dia tidak sehat tidak boleh
dan itu keputusan dari dokter jiwa13
Regulasi tentang pengguguran kandungan yang disengaja (abortus
provocatus) dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) diatur dalam
Bab XIX Pasal 346 sampai dengan Pasal 349, dan digolongkan ke dalam
kejahatan terhadap nyawa. Berikut ini adalah uraian tentang pengaturan abortus
provocatus yang terdaapat dalam masing-masing pasal tersebut:
a. Pasal 346 KUHP : “Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau
mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam
dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.
b. Pasal 347 KUHP :
1. Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan
seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara
paling lama dua belas tahun.
2. Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
c. Pasal 348 KUHP:
1. Barang siapa dengan sengaja menggunakan atau mematikan kandungan
seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun enam bulan.
2. Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam
dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
d. Pasal 349 KUHP : “Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu
melakukan kejahatan berdasarkan Pasal 346, ataupun membantu melakukan
salah satu kejahatan dalam Pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan
                                                            
12
Erwin Yuliatiningsih, “Kebutuhan Perlindungan Hukum bagi Perempuan Korban
Tindak Pidana Perkosaan di Indonesia”, http://www.google.com, diakses 12 Februari 2010.
13
Ibid
 

dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk
menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan”.

Jika kita menelaah pasal-pasal dalam KUHP tersebut, tampaklah KUHP


tidak membolehkan suatu abortus provocatus di Indonesia. KUHP tidak
melegalkan abortus provocatus tanpa kecuali. Bahkan abortus provocatus
medicalis atau abortus provocatus therapeuticus pun dilarang, termasuk di
dalamnya adalah abortus provocatus yang dilakukan oleh perempuan korban
perkosaan. Oleh karena sudah dirumuskan demikian, maka dalam kasus abortus
provocatus yang dilakukan oleh korban perkosaan, minimal ada dua orang yang
terkena ancaman sanksi pidana sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam
KUHP, yakni si perempuan sendiri yang hamil karena perkosaan serta
barangsiapa yang sengaja membantu si perempuan tersebut menggugurkan
kandungannya. Seorang perempuan yang hamil karena perkosaan dapat terkena
ancaman sanksi pidana kalau ia sengaja menggugurkan kandungan tanpa bantuan
orang lain. Ia juga dapat terkena ancaman sanksi pidana kalau ia meminta orang
lain dengan cara menyuruh orang itu untuk menggugurkan kandungannya.
Khususnya untuk orang lain yang disuruh untuk menggugurkan kandungan dan ia
benar-benar melakukannya, maka baginya berlaku rumusan pasal 347 dan 348
KUHP sebagai berikut : “…barangsiapa dengan sengaja menggugurkan…” Jika
terbukti bersalah di muka pengadilan, ia turut dipidana sebagaimana si perempuan
hamil yang melakukan abortus provocatus tersebut. Sedangkan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menggantikan undang-undang
kesehatan sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992, melalui Pasal
75,76, dan Pasal 77 memberikan penegasan mengenai pengaturan pengguguran
kandungan (abortus provocatus).
Berikut ini adalah uraian lengkap mengenai pengaturan aborsi yang
terdapat dalam pasal-pasal tersebut:
Pasal 75:
1. Setiap orang dilarang melakukan aborsi.
2. Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan
berdasarkan:
 

a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik
yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit
genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki
sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis
bagi korban perkosaan.
3. Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah
melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan
konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan
berwenang.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi dihitung dari hari pertama haid
terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis kedaruratan medis dan
perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 76: Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan:
a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu;
b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang
memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh
Menteri.

Pasal 77 : Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak bermutu,
tidak aman, dan tidak bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama
dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 36


Tahun tersebut jika kita kaitkan dengan aborsi karena kehamilan tidak
dikehendaki (KTD) akibat perkosaan, maka dapat disimpulkan: Pertama, secara
umum praktik aborsi dilarang; Kedua, larangan terhadap praktik dikecualikan
pada beberapa keadaan, kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan
trauma psikologis bagi korban perkosaan.
 

Selain itu tindakan medis terhadap aborsi KTD akibat perkosaan hanya
dapat dilakukan apabila:
1. setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri
dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang
kompeten dan berwenang;
2. dilakukan sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari
pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;
3. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang
memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
4. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan; dan
5. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh
Menteri.

Perkosaan sendiri merupakan tindak pidana yang pelakunya harus dijatuhi


sanksi pidana penjara maksimal 12 (dua belas) tahun sesuai Pasal 285 KUHP.
Sedangkan korbannya harus mendapat perlindungan hukum yang salah satu
caranya adalah mengembalikan kondisi jiwanya akibat tekanan daya paksa dari
pihak lain (tekanan psikologis). Alasan tekanan psikologis akibat perkosaan inilah
yang seharusnya dapat dijadikan pertimbangan untuk menentukan bahwa aborsi
akibat perkosaan sebagai suatu pengecualian, sehingga seharusnya legal
dilakukan.
Arif Gosita dalam bukunya Masalah Korban Kejahatan Kumpulan
Karangan mengatakan bahwa: “Dalam kasus abortus, janin ditolak sebagai
makhluk hidup dan dianggap sebagai objek mati. Oleh karena diformulasikan
seperti itu maka penghancurannya saat itu tidak dianggap sebagai suatu
pembunuhan dan tidak menimbulkan kemarahan moral atau pertentangan moral
seperti pada kasus pembunuhan lain.”14
Sudah menjadi opini publik bahwa salah satu latar belakang abortus
dilarang undang-undang adalah karena bertentangan dengan moral masyarakat
dan atau moral agama. Apabila dihubungkan dengan pendapat tersebut,
sebenarnya yang menentang moral adalah pemerkosaannya bukan orang yang
melakukan aborsi. Aborsi hanyalah merupakan akibat tindakan orang biadab yang
memperkosa perempuan, sehingga perempuan tersebut menjadi hamil. Perempuan
                                                            
14
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan), (Jakarta: Akademika
Presindo, 1985), hal 88.
 

dalam hal ini adalah sebagai korban dari rentetan tindak pidana perkosaan,
sehingga apabila tindak pidana perkosaan yang dilakukan terhadapnya berakibat
hamil maka janin yang dikandungnya adalah dianggap sebagai objek yang
mati/tidak hidup. Oleh karena dianggap sebagai objek yang mati maka
penggugurannya, dianggap legal untuk dilakukan.
Apabila dihubungkan dengan Pasal 48 KUHP tentang daya paksa
(overmacht), sebenarnya Pasal 75 ayat (2) huruf b UU No. 36 Tahun 2009 yang
mengatur tentang pengecualian melakukan aborsi terhadap kehamilan akibat
perkosaan, mengakui adanya daya paksa bagi barang siapa yang melakukan
aborsi. Ketentuan tentang overmacht atau daya paksa yang terdapat dalam pasal
48 KUHP, yaitu : “Barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa
tidak dipidana”.15 Dari ketentuan Pasal 48 KUHP tersebut dapat disimpulkan,
bahwa yang dimaksud dengan daya paksa adalah suatu paksaan atau tekanan yang
tidak dapat dihindarkan. Adapun paksaan itu dilakukan oleh seseorang terhadap
orang lain dengan suatu ancaman yang membahayakan diri dan jiwanya. Tentu
saja dalam hal ini, orang yang diancam tersebut mempunyai dugaan kuat bahwa
ancaman itu benar-benar akan dilaksanakan apabila ia menolak mengerjakan
sesuatu yang dikehendaki pemaksa (pengancam).
Daya paksa (overmacht) ini merupakan alasan pemaaf. Dalam alasan
pemaaf ini, seseorang yang melakukan perbuatan pidana tidak dapat dijatuhi
pidana karena tidak adanya kesalahan. Artinya perbuatan yang dilakukan oleh
terdakwa tetap bersifat melawan hukum, jadi tetap merupakan perbuatan pidana.
Tetapi ia tidak dipidana, karena tidak adanya kesalahan. Dengan demikian, alasan
pemaaf adalah alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Karena
overmachtsebagaimana yang tercantum dalam Pasal 48 KUHP hanya memuat
alasan pemaaf, artinya perbuatan yang dilakukan tetap bersifat melawan hukum,
tetapi kesalahannya bisa dimaafkan karena pengaruh daya paksa tadi.
Seseorang yang melakukan perbuatan pidana, sedangkan ia berada di
bawah pengaruh daya paksa sehingga ia terpaksa melakukan perbuatan tersebut
tidak dapat dijatuhi pidana. Hal ini merupakan hal yang tepat dan mencerminkan
                                                            
15
Ibid. hal. 23
 

rasa keadilan, sebab orang tersebut melakukan perbuatan pidana karena dorongan
yang tidak mampu dilawannya, misalnya karena mengancam keselamatan
jiwanya.
Dihubungkan dengan teori tersebut, dalam kasus abortus provokatus pada
korban perkosaan terjadi konflik antara 2 (dua) hak, yakni hak perempuan yang
hamil bertentangan dengan hak janin. Dengan demikian untuk menentukan
apakah perempuan yang melakukan abortus provokatus atas kandungannya dapat
dipidana atau tidak dapat dinilai dari kepentingan manakah yang lebih utama.16
Apakah dibolehkan seorang melakukan aborsi karena terjadi kehamilan
akibat perkosaan ? boleh dilihat dari psikologis korban apabila dia tidak menerima
dia boleh melakukan aborsi menurut dokter forensic17
Apakah kasus perkosaan sering terjadi di wilayah Hukum Kepolisian
Daerah Sumatera Utara khususnya Kota Medan ? sering dilihat dari tingkat aborsi
yang dilakukan korban perkosaan.18
Dengan demikian alasan psikologis tidak cukup dijadikan alasan aborsi
apabila tindakan perkosaannya tidak dapat dibuktikan atau tidak terbukti.
Mengingat dewasa ini perkosaan tidak hanya murni dilakukan oleh orang yang
benar-benar belum pernah dikenal oleh korban, tapi juga telah dikenal sebelumnya
bahkan memiliki hubungan dekat dengan korban (sebagai pacar misalnya).
Lembaga apa yang menerima kehamilan akibat perkosaan ? nggak ada
sebab pemerintah belum membuat instansi khusus untuk korban akibat
perkosaan19
Ketentuan atau peraturan yang mengatur tindak pidana aborsi ! Dalam
KUHP diatur siapa saja yang dapat dipidana ketika melakukan tindak. Yang dapat
dipidana dalam ketentuan KUHP meliputi seseorang yang melakukan tindak
pidana, seseorang yang menyuruhlakukan tindak pidana, seseorang yang turut

                                                            
16
Ekotama, Suryono., dkk. Abortus Provokatus Bagi Korban Perkosaan Perspektif
iktimologi, Kriminologi dan Hukum Pidana. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2001.hal 194
17
Wawancara dengan Parman Barus Tata Usaha Kepolisian Daerah Sumatera Utara
Tanggal 13 April 2013
18
Wawancara dengan Parman Barus, Tata Usaha Kepolisian Daerah Sumatera Utara,
tanggal 13 April 2013
19
Ibid
 

serta melakukan tindak podana dan seseorang yang membatulakukan tindak


pidana.20
E. Kesimpulan Dan Saran
1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, maka ditarik kesimpulan
bahwa:
a. Ketentuan Pidana Aborsi Menurut KUHP dan UU NO. 36 TAHUN 2009
Tentang Kesehatan dalam KUHP Pasal 346,347,348,349 yang merupakan
keseluruhan pasal-pasal tentang buku pengguguran kandungan. Hanya
menekankan pada perempuan dan barang siapa yang sengaja melakukan
pelanggaran atau menyuruh orang lain untuk melakukan pengguguran
pada badannya harus dihukum apapun alasannya menurut Undang-Undang
Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan yaitu Pasal 75 ayat (2) huruf b
yang menyatakan bahwa “kehamilan akibat perkosaan yang dapat
menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan” maka dapat
diberikan perlindungan hukum terhadap korban terdapat pada Pasal 77
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yaitu
memberikan kejelasan bahwa Pemerintah wajib melindungi korban
perkosaan yang berbunyi: “Pemerintah wajib melindungi dan mencegah
perempuan dari aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dan
ayat (3) yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab
serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan
perundang-undangan”.
b. Aborsi Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Perempuan
Korban Perkosaan. Tindakan media dalam bentuk pengguguran
kandungan dengan alasan apapun dilarang karena bertentangan dengan
norma hukum, norma agama, norma kesusilaan, dan norma kesopanan.
Namun aturan KUHP yang keras tersebut telah dilunakkan dengan
memberikan peluang dilakukannya aborsi. Sebagaimana ditentukan dalam
Undang-Undang No.36 tahun 2009 tentang kesehatan. sehingga dalam
                                                            
20
Ibid
 

keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu dan atau janin
yang dikandungnya dapat diambil tindakan medis tertentu. Dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Secara implisit, ketentuan Pasal
14c ayat (1) KUHP telah memberi perlindungan terhadap korban
kejahatan. Pasal tersebut berbunyi: Pada perintah yang tersebut dalam
Pasal 14a kecuali dalam hal dijatuhkan pidana denda, maka bersama-sama
dengan syarat umum, bahwa orang yang dipidana tak akan melakukan
tindak pidana, hakim boleh mengadakan syarat khusus bahwa orang yang
dipidana itu akan mengganti kerugian yang terjadi karena tindak pidana
itu, semuanya atau sebagiannya saja, yang akan ditentukan pada perintah
itu juga, yang kurang dari masa percobaan itu.
Menurut ketentuan Pasal 14c ayat (1), begitu pula Pasal 14a dan b KUHP,
hakim dapat menjatuhkan pidana dengan menetapkan syarat khusus
kepada terpidana dengan maksud guna mengganti kerugian yang
ditimbulkan kepada korban. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) Bab III Tentang Penggabungan Perkara Ganti Kerugian,
Pasal 98 s/d 101 yang mengatur tentang ganti rugi yang diberikan oleh
korban dengan menggabungkan perkara pidana dan perdata. Hal ini juga
merupakan merupakan perwujudan dari perlindungan hukum terhadap
korban, khususnya korban perkosaan. Jadi selain pelaku telah
mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya, korban juga
mendapatkan ganti rugi atas kerugian yang dideritanya.
c. Kehamilan Akibat Perkosaaan Yang Dapat dikatakan sebagai alasan indikasi
medis. Adapun alasan-alasan untuk menghilangkan pidana atau hal-hal
yang menghapuskan, mengurangi atau memberatkan pidana diatur dalam
Bab III buku kesatu KUHP dan telah diuraikan pada bab terdahulu dari
tulisan ini. Sedangkan alasan-alasan / indikasi untuk melakukan aborsi
dapat diperinci. Alasan-alasan medis. Untuk menyelamatkan si ibu, Untuk
menjaga kesehatan si ibu, Untuk mencegah gangguan yang berat dan tetap
terhadap keselamatan sibayi, Untuk mencegah bahaya terhadap jiwa si ibu,
Untuk mencegah kelahiran anak dengan cacat fisik atau mental yang berat.
 

Alasan-alasan social – ekonomi; Sudah mempunyai tiga anak atau lebih,


Sudah mempunyai lima anak atau lebih, Jika ibu memikul tanggung jawab
bagi penghasilan keluarga atau anak, Untuk mereka yang belum kawin si
lelaki tidak mau bertanggung jawab terhadap anak yang akan dilahirkan.
Alasan-alasan kemanusiaan. Kehamilan disebabkan oleh Perkosaan
(persetubuhan yang dilakukan dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan), Perbuatan sumbang (incest), Persetubuhan dengan gadis masih
dibawah umur.
2. Saran
a. Aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) dalam member pelayanan
dan perlindungan kepada perempuan korban perkosaan seyogyanya
dilandasi oleh rasa kemanusiaan, dan dalam menangani kasus perkosaan
tidak hanya menggunakan landasan KUHP saja melainkan juga
menggunakan Undang-Undang di luar KUHP (tidak menggunakan
sangkaan pasal tunggal.
b. Negara Indonesia telah meratifikasi Convention on the Elimination of All
Forms of Discrimination Against Women-CEDAW) dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, seyogyanya
dalam RUU KUHP tentang masalah perkosaan juga melihat ketentuan-
ketentuan dalam Undang-Undang tersebut sehingga terdapat pasal-pasal
yang bertujuan untuk memberi perlindungan terhadap perempuan korban
kekerasan (perkosaan).
c. Masyarakat seyogyanya juga ikut mendukung para perempuan korban
kekerasan (perkosaan) untuk mendapatkan perlindungan hukum, sehingga
bangsa Indonesia menjadi negara yang berhasil mensejahterakan
masyarakat yang dilandasi oleh rasa kemanusiaan.

Anda mungkin juga menyukai