TERJADINYA KEHAMILAN
AKIBAT PERKOSAAN
JURNAL
Oleh
SUPRIONO TARIGAN
090200394
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013
LEMBAR PENGESAHAN
JURNAL
SUPRIONO TARIGAN
090200394
Disetujui Oleh
Pembimbing I Pembimbing II
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013
ABSRTAK
ABSTRACT
A. Latar Belakang
Aborsi menjadi salah satu masalah yang cukup serius, dilihat dari
tingginya angka aborsi yang kian meningkat dari tahun ke tahun. Di Indonesia,
angka pembunuhan janin per tahun sudah mencapai 3 juta. Angka yang tidak
sedikit mengingat besarnya tingkat kehamilan di Indonesia. Selain itu, ada yang
mengkategorikan aborsi itu pembunuhan. Ada yang melarang atas nama agama.
Ada yang menyatakan bahwa jabang bayi juga punya hak hidup sehingga harus
dipertahankan, dan lain-lain.
Kasus aborsi di Indonesia diperkirakan semakin meningkat tiap tahunnya.
Berdasarkan data yang dikeluarkan Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN), diperkirakan setiap tahun jumlah aborsi di Indonesia
mencapai 2,5 juta jiwa dari 5 juta kelahiran pertahun. Bahkan, 1-1,5 juta
diantaranya adalah kalangan remaja.1 Data yang dihimpun Komnas Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI) menemukan dalam kurun waktu tiga tahun (2008-2010)
kasus aborsi terus meningkat. Tahun 2008 ditemukan 2 juta jiwa anak korban
Aborsi, tahun berikutnya (2009) naik 300.000 menjadi 2,3 juta janin yang dibuang
paksa. Sementara itu, pada tahun 2010 naik dari 200.000 menjadi 2,5 juta jiwa.
62,6 persen pelaku diantaranya adalah anak berusia dibawah 18 tahun. Metode
aborsi 37 persen dilakukan melalui kuret, 25 persen melalui oral dan pijatan, 13
persen melalui cara suntik, 8 persen memasukkan benda asing ke dalam rahim
dan selebihnya melalui jamu dan akupunktur.2
Ketua KPAI Maria Ulfah Anshor mengatakan bahwa pada 2003, rata-rata
terjadi 2 juta kasus aborsi per tahun. Lalu pada tahun berikutnya, 2004 penelitian
yang sama menunjukkan kenaikan tingkat aborsi yakni 2,1-2,2 juta per tahun.
Kehamilan pranikah angkanya 12,7 persen, dan 87 persen dilakukan oleh
perempuan yang memiliki suami.3 Data serupa juga diungkap oleh Inne Silviane,
Direktur Eksekutif Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Pusat,
pelaku aborsi justru paling banyak adalah perempuan yang sudah menikah karena
1
http://bukuhariankimmy.blogspot.com/2013/05/aborsi‐sebuah‐paradoks‐
kontradiksi.html, diakses tanggal 1 September 2013
2
Ibid
3
Ibid
program KB-nya gagal. Data studi PKBI di 12 kota dari tahun 2000-2011 juga
menunjukkan, 73-83 persen wanita yang ingin aborsi ialah wanita menikah karena
kegagalan kontrasepsi.4 Berapapun jumlah aborsi yang terjadi di Indonesia dan
siapa pelakunya remaja atau wanita yang sudah menikah, yang menjadi
pertanyaan adalah apa yang menjadi penyebab aborsi ini angkanya cenderung
terus meningkat.
Beberapa kalangan meyakini faktor pendorong melakukan aborsi adalah
kehamilan yang tidak direncanakan akibat dari seks pranikah, perkosaan, dan
kontrasepsi yang gagal. Pertama, seks pranikah dilakukan saat usia mereka
diliputi rasa penasaran dan ingin mencoba, tapi tidak mau bertanya pada orang tua
ataupun guru konseling, dan terlebih lagi pengetahuan mereka mengenai
kontrasepsi masih minim. Akhirnya, mereka mendapatkan informasi dari sumber-
sumber yang salah seperti film porno. Orang tua harus memberi pendampingan
dan pendidikan seks agar tidak terjerumus pada hubungan seks pranikah. Karena,
ujung-ujungnya yang menjadi korban adalah perempuan jika kehamilan tidak
diinginkan (KTD) terjadi, meskipun aborsi dilakukan maupun tidak.
Kedua, perkosaan. Dalam kasus perkosaan jelas bahwa jika terjadi KTD,
perempuan pasti akan menolak keberadaan janin dalam rahimnya, perasaan
dendam, tidak menginginkan, depresi, harus menghadapi stigma miring
masyarakat yang tidak menganggap ia sebagai korban. Sehingga, aborsi menjadi
solusi terbaik yang diambil. Ketiga, kontrasepsi yang gagal. Aborsi ini sering
dilakukan oleh perempuan yang sudah menikah, dengan alasan ekonomi,
melanjutkan pendidikan, ikatan kerja, alasan tidak ingin menambah anak, serta
alasan kesehatan. 5
Saat ini tindak pidana perkosaan merupakan kejahatan yang cukup
mendapat perhatian di kalangan masyarakat. Sering di koran atau majalah
diberitakan terjadi tindak pidana perkosaan. Jika mempelajari sejarah, sebenarnya
jenis tindak pidana ini sudah ada sejak dulu, atau dapat dikatakan sebagai suatu
bentuk kejahatan klasik yang akan selalu mengikuti perkembangan kebudayaan
4
Majalah Detik, Juli 2012
5
http://rifkaanisa.blogdetik.com/2013/01/21/problematika‐aborsi‐di‐indonesia/diakses
tanggal 01 September 2013
manusia itu sendiri, ia akan selalu ada dan berkembang setiap saat walaupun
mungkin tidak terlalu berbeda jauh dengan sebelumnya. Tindak pidana perkosaan
ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar yang relatif lebih maju kebudayaan dan
kesadaran atau pengetahuan hukumnya, tapi juga terjadi di pedesaan yang relatif
masih memegang nilai tradisi dan adat istiadat. Selama ini aborsi oleh tenaga
medis dilakukan bilamana ada indikasi medis misalnya ibu dengan penyakit berat
yang mengancam nyawa6.
Masalah perlindungan terhadap korban perkosaan menjadi permasalahan
yang menarik untuk dicermati, karena masalah perlindungan terhadap korban
perkosaan tidak hanya berkaitan dengan pemberian perlindungannya saja, akan
tetapi berkaitan dengan hambatan yang dihadapi. Tidak mudah untuk memberikan
perlindungan terhadap korban perkosaan karena ada beberapa faktor yang jadi
penghambat. Faktor korban berperan penting untuk dapat mengatasi atau
menyelesaikan kasus perkosaan ini, hal ini memerlukan keberanian dari korban
untuk melaporkan kejadian yang menimpanya kepada polisi, karena pada
umumnya korban mengalami ancaman akan dilakukan perkosaan lagi dari pelaku
dan hal ini membuat korban takut dan trauma.7
Perkosaan dapat mengakibatkan cedera fisik, karena luka pada kepala,
dada, punggung hingga bagian intern wanita yang terjadi pukulan, benturan, dan
cekikan. Hal yang terburuk adalah kehamilan yang tidak diinginkan, dimana
kehamilan tersebut akan menjadi beban baik terhadap korban maupun
keluarganya dalam menghadapi kehidupan selanjutnya karena dia harus
membesarkan dan mengasuh anak hasil perkosaan. Dampak lainnya yang dapat
terjadi adalah stress akut atau depresi berat yang kadang menyebabkan korban
menjadi gila karena merasa dirinya tidak normal lagi, kotor, berdosa dan tidak
berguna. Selain itu perkosaan juga dapat mengakibatkan kematian, atau tertular
penyakit seksual yang tidak dapat disembuhkan.
6
http://ibelboyz.wordpress.com/2011/06/03/perlindungan‐korban‐perkosaan/diakses
tanggal 9 Maret 2013
7
http://boeyberusahasabar.wordpress.com/2012/11/02/aborsi‐sebagai‐bentuk‐
perlindungan‐hukum‐bagi‐perempuan‐korban‐perkosaan/diakses tanggal 9 Maret 2013
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana ketentuan pidana aborsi menurut KUHP dan UU No. 36 tahun
2009 tentang kesehatan?
2. Bagaimana bentuk perlindungan yang diberikan pemerintah kepada korban
perkosaan?
3. Bagaimana kehamilan Akibat Perkosaaan Bisa Dikatakan Sebagai Alasan
Indikasi Medis?
C. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan studi hukum, pertama hukum
dapat dipelajari dan diteliti sebagai suatu studi mengenai law in books, dan yang
kedua adalah hukum yang dipelajari dan diteliti sebagai suatu studi mengenai law
in action. Mempelajari dan meneliti hubungan timbal balik antara hukum dengan
lembaga-lembaga sosial yang lain, studi terhadap hukum sebagai law in action
merupakan studi ilmu social yang non doktrinal dan bersifat empiris.
1. Sifat Penelitian
Sifat dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu penelitian yang
mendeskripsikan secara terperinci fenomena social yang menjadi pokok
permasalahan. Suatu penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan
data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya8.
2. Jenis dan sumber data
Jenis dan sumber data yang terhimpun dari hasil penelitian ini diperoleh
melalui penelitian lapangan dan kepustakaan, digolongkan ke dalam 2 jenis data,
yaitu :
a. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung melalui penelitian
lapangan dengan menggunakan metode wawancara atau interview kepada
para para pelaku tindak pidana perkosaan, serta lainnya yang relevan
dengan pokok permasalahan
8
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Penerbit Universitas
Indonesia, 2001, hal. 9-10
b. Data sekunder yaitu data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh penulis
melalui penelusuran literatur atau kepustakaan, peraturan perundang-
undangan, buku-buku, dokumen-dokumen, arsip-arsip yang berhubungan
dengan pokok materi pembahasan.
3. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah melalui
studi kepustakaan yaitu dengan cara mengumpulkan literatur yang berhubungan
dengan pemasalahan yang dibahas, serta studi wawancara langsung dengan pihak-
pihak yang berkompeten guna memperoleh keterangan data tentang subjek dan
objek yang diteliti.
4. Analisis Data
Data yang diperoleh, baik secara data primer maupun data sekunder
dianalisis dengan teknik kualitatif kemudian disajikan secara deskriptif yaitu
menjelaskan, menguraikan, dan menggambarkan sesuai dengan permasalahan
yang erat kaitannya dengan penelitian ini.
2. Alasan-alasan kemanusiaan
Kehamilan disebabkan oleh
a. Perkosaan (persetubuhan yang dilakukan dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan )
b. Perbuatan sumbang (incest)
c. Persetubuhan dengan gadis masih dibawah umur.
2. Aborsi Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Perempuan
Korban Perkosaan
9
Ibid
Korban perkosaan banyak yang mengalami depresi berat atau kecemasan berat,
kelesuan kronis, gangguan tidur, mimpi buruk, merasa terisolasi dari masyarakat
sekitar dan menarik diri karena malu akan apa yang dialaminya.
Dalam Pasal 76 :
Aborsi sebagaimana dimaksud Pasal 75 hanya dapat dilakukan:
1. Sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama
haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis
2. Oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang
memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh merited;
3. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
4. Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
5. Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh
Menteri.
Dalam KUHP terdapat larangan terhadap aborsi, dan bagi ibu serta
pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana. Dengan diundangkannya UU No 36
tahun 2009 tentang Kesehatan yang juga mengatur tindak pidana aborsi, maka
pasal-pasal tentang aborsi dalam KUHP ini tidak berlaku lagi atas dasar Lex
Specialis Derogat Lex Generalis. Berbeda dengan KUHP, UU Kesehatan
memberikan pengecualian (legalisasi) terhadap tindakan aborsi tertentu, yaitu
aborsi yang dilakukan untuk menyelamatkan nyawa ibu atau janinnya. Pasal 49
ayat 3 UU No 39 tahun 1999 tentang HAM, menyatakan bahwa wanita berhak
memperoleh perlindungan hukum yang berkaitan dengan fungsi reproduksinya.
Dalam Pasal 77:
Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana
dimaksud dalam pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak bermutu, tidak aman,
dan tidak bertanggungjawab serta bertentangan dengan norma-norma dan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Semua pihak dihadapkan pada adanya pertentangan baik secara moral &
kemasyarakatan di satu sisi maupun dengan secara agama & hukum di lain sisi.
Dari sisi moral & kemasyarakatan, sulit untuk membiarkan seorang ibu yang
harus merawat kehamilan yang tidak diinginkan terutama karena hasil
pemerkosaan. Melakukan aborsi pasti merupakan keputusan yang sangat berat
dirasakan oleh perempuan yang bersangkutan. Tapi bila itu memang menjadi jalan
yang terakhir, yang harus diperhatikan adalah persiapan secara fisik dan mental
dan informasi yang cukup mengenai bagaimana agar aborsi bisa berlangsung
aman. Banyaknya kematian akibat aborsi yang tidak aman, tentu sangat
memprihatinkan. Hal ini diakibatkan kurangnya kesadaran dari perempuan dan
masyarakat tentang hak atas pelayanan kesehatan. Padahal bagaimanapun
kondisinya atau akibat apapun, setiap perempuan sebagai warganegara tetap
memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai dan
kewajiban negaralah untuk menyediakan hal itu.
Hak-hak ini harus dipandang sebagai hak-hak sosial sekaligus hak
individu yang merupakan hak untuk mendapatkan keadilan sosial termasuk
didalamnya hak untuk mendapatkan pelayanan. Hak atas pelayanan kesehatan ini
ditegaskan pula dalam Pasal 12 Konvensi Penghapusan segala bentuk Kekerasan
terhadap Perempuan (Konvensi Perempuan) dan UU Kesehatan. Dalam hal Hak
Reproduksi, termasuk pula didalamnya hak untuk membuat keputusan mengenai
reproduksi yang bebas dari diskriminasi, paksaan dan kekerasan seperti
dinyatakan dalam dokumen-dokumen hak-hak asasi manusia (Rekomendasi bab 7
Konferensi Kependudukan dan Pembangunan Internasional di Kairo 1994).
Pelayanan Kesehatan yang Memadai adalah hak setiap orang, tidak terkecuali
Perempuan yang memutuskan melakukan Aborsi. Dilihat dari adanya undang-
undang yang diberlakukan di banyak negara, setiap negara memiliki undang-
undang yang melarang dilakukannya aborsi buatan meskipun pelarangannya tidak
bersifat mutlak. Bagaimana yang dikatakan indikasi medis menurut dokter ? ibu
hamil dalam keadaan tidak baik atau terancam hidupnya11
3. Perlindungan Hukum Pidana Terhadap Korban Perkosaan Yang
Melakukan Aborsi
jangkauan hukum. Ini terbukti dari banyaknya kasus dengan korban perempuan
yang tidak mampu terselesaikan secara adil dan memuaskan.12
Perlindungan hukum pidana pada korban perkosaan yang melakukan
abortus provocatus dapat dijelaskan melalui pengaturan tentang abortus
provocatus itu sendiri di dalam hukum pidana, yakni yang terdapat dalam KUHP
yang berlaku sebagai hukum pidana umum (lex generale) dan UU No. 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan yang berlaku sebagai hukum pidana khusus (lex
speciale).
Apakah aborsi diperbolehkan untuk korban perkosaan ? kalau sehat-sehat
aja boleh atau dia merasa aman-aman saja tetapi kalau dia tidak sehat tidak boleh
dan itu keputusan dari dokter jiwa13
Regulasi tentang pengguguran kandungan yang disengaja (abortus
provocatus) dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) diatur dalam
Bab XIX Pasal 346 sampai dengan Pasal 349, dan digolongkan ke dalam
kejahatan terhadap nyawa. Berikut ini adalah uraian tentang pengaturan abortus
provocatus yang terdaapat dalam masing-masing pasal tersebut:
a. Pasal 346 KUHP : “Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau
mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam
dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.
b. Pasal 347 KUHP :
1. Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan
seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara
paling lama dua belas tahun.
2. Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
c. Pasal 348 KUHP:
1. Barang siapa dengan sengaja menggunakan atau mematikan kandungan
seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun enam bulan.
2. Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam
dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
d. Pasal 349 KUHP : “Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu
melakukan kejahatan berdasarkan Pasal 346, ataupun membantu melakukan
salah satu kejahatan dalam Pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan
12
Erwin Yuliatiningsih, “Kebutuhan Perlindungan Hukum bagi Perempuan Korban
Tindak Pidana Perkosaan di Indonesia”, http://www.google.com, diakses 12 Februari 2010.
13
Ibid
dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk
menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan”.
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik
yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit
genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki
sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis
bagi korban perkosaan.
3. Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah
melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan
konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan
berwenang.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi dihitung dari hari pertama haid
terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis kedaruratan medis dan
perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 76: Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan:
a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu;
b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang
memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh
Menteri.
Selain itu tindakan medis terhadap aborsi KTD akibat perkosaan hanya
dapat dilakukan apabila:
1. setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri
dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang
kompeten dan berwenang;
2. dilakukan sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari
pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;
3. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang
memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
4. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan; dan
5. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh
Menteri.
dalam hal ini adalah sebagai korban dari rentetan tindak pidana perkosaan,
sehingga apabila tindak pidana perkosaan yang dilakukan terhadapnya berakibat
hamil maka janin yang dikandungnya adalah dianggap sebagai objek yang
mati/tidak hidup. Oleh karena dianggap sebagai objek yang mati maka
penggugurannya, dianggap legal untuk dilakukan.
Apabila dihubungkan dengan Pasal 48 KUHP tentang daya paksa
(overmacht), sebenarnya Pasal 75 ayat (2) huruf b UU No. 36 Tahun 2009 yang
mengatur tentang pengecualian melakukan aborsi terhadap kehamilan akibat
perkosaan, mengakui adanya daya paksa bagi barang siapa yang melakukan
aborsi. Ketentuan tentang overmacht atau daya paksa yang terdapat dalam pasal
48 KUHP, yaitu : “Barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa
tidak dipidana”.15 Dari ketentuan Pasal 48 KUHP tersebut dapat disimpulkan,
bahwa yang dimaksud dengan daya paksa adalah suatu paksaan atau tekanan yang
tidak dapat dihindarkan. Adapun paksaan itu dilakukan oleh seseorang terhadap
orang lain dengan suatu ancaman yang membahayakan diri dan jiwanya. Tentu
saja dalam hal ini, orang yang diancam tersebut mempunyai dugaan kuat bahwa
ancaman itu benar-benar akan dilaksanakan apabila ia menolak mengerjakan
sesuatu yang dikehendaki pemaksa (pengancam).
Daya paksa (overmacht) ini merupakan alasan pemaaf. Dalam alasan
pemaaf ini, seseorang yang melakukan perbuatan pidana tidak dapat dijatuhi
pidana karena tidak adanya kesalahan. Artinya perbuatan yang dilakukan oleh
terdakwa tetap bersifat melawan hukum, jadi tetap merupakan perbuatan pidana.
Tetapi ia tidak dipidana, karena tidak adanya kesalahan. Dengan demikian, alasan
pemaaf adalah alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Karena
overmachtsebagaimana yang tercantum dalam Pasal 48 KUHP hanya memuat
alasan pemaaf, artinya perbuatan yang dilakukan tetap bersifat melawan hukum,
tetapi kesalahannya bisa dimaafkan karena pengaruh daya paksa tadi.
Seseorang yang melakukan perbuatan pidana, sedangkan ia berada di
bawah pengaruh daya paksa sehingga ia terpaksa melakukan perbuatan tersebut
tidak dapat dijatuhi pidana. Hal ini merupakan hal yang tepat dan mencerminkan
15
Ibid. hal. 23
rasa keadilan, sebab orang tersebut melakukan perbuatan pidana karena dorongan
yang tidak mampu dilawannya, misalnya karena mengancam keselamatan
jiwanya.
Dihubungkan dengan teori tersebut, dalam kasus abortus provokatus pada
korban perkosaan terjadi konflik antara 2 (dua) hak, yakni hak perempuan yang
hamil bertentangan dengan hak janin. Dengan demikian untuk menentukan
apakah perempuan yang melakukan abortus provokatus atas kandungannya dapat
dipidana atau tidak dapat dinilai dari kepentingan manakah yang lebih utama.16
Apakah dibolehkan seorang melakukan aborsi karena terjadi kehamilan
akibat perkosaan ? boleh dilihat dari psikologis korban apabila dia tidak menerima
dia boleh melakukan aborsi menurut dokter forensic17
Apakah kasus perkosaan sering terjadi di wilayah Hukum Kepolisian
Daerah Sumatera Utara khususnya Kota Medan ? sering dilihat dari tingkat aborsi
yang dilakukan korban perkosaan.18
Dengan demikian alasan psikologis tidak cukup dijadikan alasan aborsi
apabila tindakan perkosaannya tidak dapat dibuktikan atau tidak terbukti.
Mengingat dewasa ini perkosaan tidak hanya murni dilakukan oleh orang yang
benar-benar belum pernah dikenal oleh korban, tapi juga telah dikenal sebelumnya
bahkan memiliki hubungan dekat dengan korban (sebagai pacar misalnya).
Lembaga apa yang menerima kehamilan akibat perkosaan ? nggak ada
sebab pemerintah belum membuat instansi khusus untuk korban akibat
perkosaan19
Ketentuan atau peraturan yang mengatur tindak pidana aborsi ! Dalam
KUHP diatur siapa saja yang dapat dipidana ketika melakukan tindak. Yang dapat
dipidana dalam ketentuan KUHP meliputi seseorang yang melakukan tindak
pidana, seseorang yang menyuruhlakukan tindak pidana, seseorang yang turut
16
Ekotama, Suryono., dkk. Abortus Provokatus Bagi Korban Perkosaan Perspektif
iktimologi, Kriminologi dan Hukum Pidana. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2001.hal 194
17
Wawancara dengan Parman Barus Tata Usaha Kepolisian Daerah Sumatera Utara
Tanggal 13 April 2013
18
Wawancara dengan Parman Barus, Tata Usaha Kepolisian Daerah Sumatera Utara,
tanggal 13 April 2013
19
Ibid
keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu dan atau janin
yang dikandungnya dapat diambil tindakan medis tertentu. Dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Secara implisit, ketentuan Pasal
14c ayat (1) KUHP telah memberi perlindungan terhadap korban
kejahatan. Pasal tersebut berbunyi: Pada perintah yang tersebut dalam
Pasal 14a kecuali dalam hal dijatuhkan pidana denda, maka bersama-sama
dengan syarat umum, bahwa orang yang dipidana tak akan melakukan
tindak pidana, hakim boleh mengadakan syarat khusus bahwa orang yang
dipidana itu akan mengganti kerugian yang terjadi karena tindak pidana
itu, semuanya atau sebagiannya saja, yang akan ditentukan pada perintah
itu juga, yang kurang dari masa percobaan itu.
Menurut ketentuan Pasal 14c ayat (1), begitu pula Pasal 14a dan b KUHP,
hakim dapat menjatuhkan pidana dengan menetapkan syarat khusus
kepada terpidana dengan maksud guna mengganti kerugian yang
ditimbulkan kepada korban. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) Bab III Tentang Penggabungan Perkara Ganti Kerugian,
Pasal 98 s/d 101 yang mengatur tentang ganti rugi yang diberikan oleh
korban dengan menggabungkan perkara pidana dan perdata. Hal ini juga
merupakan merupakan perwujudan dari perlindungan hukum terhadap
korban, khususnya korban perkosaan. Jadi selain pelaku telah
mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya, korban juga
mendapatkan ganti rugi atas kerugian yang dideritanya.
c. Kehamilan Akibat Perkosaaan Yang Dapat dikatakan sebagai alasan indikasi
medis. Adapun alasan-alasan untuk menghilangkan pidana atau hal-hal
yang menghapuskan, mengurangi atau memberatkan pidana diatur dalam
Bab III buku kesatu KUHP dan telah diuraikan pada bab terdahulu dari
tulisan ini. Sedangkan alasan-alasan / indikasi untuk melakukan aborsi
dapat diperinci. Alasan-alasan medis. Untuk menyelamatkan si ibu, Untuk
menjaga kesehatan si ibu, Untuk mencegah gangguan yang berat dan tetap
terhadap keselamatan sibayi, Untuk mencegah bahaya terhadap jiwa si ibu,
Untuk mencegah kelahiran anak dengan cacat fisik atau mental yang berat.