Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

“Terapi Cairan Pada Pasien Syok”

Oleh:
Dita Nur Habibah G4A015128
Ahmad Agus Faisal G4A015129

Pembimbing : dr. Shila Suryani, Sp.An, Msi.Med

SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN UMUM
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2017
HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi referat dengan judul:

“Terapi Cairan Pada Pasien Syok”

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti ujian

di Bagian Anestesi dan Reanimasi Program Profesi Dokter

di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun Oleh:

Dita Nur Habibah G4A015128

Ahmad Agus Faisal G4A015129

Purwokerto, Januari 2017

Mengetahui,

Dosen Pembimbing,

dr. Shila Suryani, Sp.An


I. PENDAHULUAN

Shock merupakan kondisi dimana terjadi kegagalan perfusi oksigen menuju

organ target dan mengakibatkan keterbatasan fungsi metabolisme (Longo, 2012).

Angka mortalitas shock sampai saat ini masih cukup tinggi. Kejadian shock juga

masih menjadi perhatian di bagian emergensi suatu pelayanan kesehatan.

Penanganan shock bersifat segera dan mendesak. Selain itu, pengenalan terkait

jenis shock menjadi kunci kesuksesan penanganan shock. Hal ini dikarenakan

masing-masing jenis shock memiliki dasar patofisiologinya masing-masing.

Penanganan shock yang tidak sesuai dengan dasar patofisiologinya akan

mengakibatkan suatu kegagalan. Sehingga, pemahaman dasar patofisiologi dari

masing-masing jenis shock dan penanganan yang tepat menjadi kunci dalam

keberhasilan penanganan pasien shock.

Terapi cairan dalam shock adalah suatu bagian yang bersifat fundamental.

Akan tetapi, tidak semua shock ditangani dengan cara sama dalam hal terapi

cairan. Beberapa kondisi shock memerlukan terapi cairan yang adekuat bahkan

berlebih akan tetapi hal tersebut akan mengakibatkan perburukan pada kondisi

shock lainya. Sehingga, penanganan terapi cairan yang tepat menjadi hal yang

penting untuk dipahami dengan komprehensif.


II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Keseimbangan Cairan

Keseimbangan cairan tubuh dan elektrolit pada tubuh dikendalikan oleh

ADH, aldosteron dan atrial natriuretic peptide. Total cairan tubuh adalah 60%

BB yang terdiri dari cairan intasel 40% BB dan cairan ekstrasel 20% BB

(caira interstitial 15% BB dan intravaskuler 5% BB). Volume darah sendiri

adalah 8% BB yang didapatkan dari cairan intravaskuler 5% BB dan volume

sel darah merah 3% BB. Kompartemen cairan tubuh dipengaruhi oleh tekanan

onkotik dan tekanan hidrostatik. Tekanan hidrostatik ini akan yang akan

mendorong cairan intravaskuler keluar melalui kapiler menuju interstitial.

Sebaliknya tekanan onkotik akan menarik cairan dari interstitial ke

intravaskuler. Berdasarkan jenisnya cairan intravena dibagi menjadi 3

macam, yaitu (Soenarjo and Heru, 2013):

1. Cairan kristaloid: NaCl 0.9%, Ringer laktat, Dextrose 5%

2. Cairan koloid: Albumin, koloid sintetik (dextran dan hetastarch), plasma

protein fraction (plasmanat)

3. Cairan khusus: mannitol 20%, sodium bikarbonat


Berdasarkan tujuan terapi cairan intravena dibagi menjadi tiga macam,

yaitu (Soenarjo and Heru, 2013):

1. Cairan rumatan (maintenance) yaitu cairan yang bersifat hipotonis,

missal: dextrose 5%, dextrose 5% dalam NS 0.25, dextrose 5% dalam NS

0.5.

2. Cairan pengganti (repalcement) yaitu cairan yang bersifan isotonis,

misal: ringer laktat, NaCl 0.9% dan koloid

3. Cairan khusus yaitu cairan yang bersifat hipertonis, misal: NaCl 3%,

mannitol 20% dan sodium bikarbonat.

Tujuan terapi cairan intrvena adalah untuk memulihkan volume

sirkulasi darah. Pada syok tujuan resusitasi cairan adalah untuk memulihkan

perfusi jaringan dan pengiriman oksigen ke sel (DO2) agar tidak terjadi

iskemik jaringan yang berakibat gagal organ. Volume cairan pengganti yang

diperlukan untuk mengembalikan volume sirkulasi darah ditentukan oleh

ruang distribusi cairan pengganti yang tergantung kadar koloid dan Na+

(Santry and Hasan, 2016).

Ketika mempertimbangkan kristaloid dibandingkan koloid, perbedaan

dalam keberhasilan tidak berbeda jauh namun untuk perbedaan pada risiko

toksisitas ginjal dan komplikasi perdarahan dengan HES tampak lebih

signifikan. Perbedaan kandungan klorida pada kristaloid tampaknya memiliki

efek fisiologis dan klinis yang penting pada pasien akut, khususnya terhadap

asidosis metabolik hiperkloremik dan cedera ginjal dan peran koloid tidak

jelas (John et al, 2008).


B. Terapi Cairan pada Shock

Shock merupakan sindrom klinis akibat kegagalan sirkulasi dalam

mencukupi kebutuhan oksigen jaringan atau gangguan perfusi jaringan yang

menyeluruh sehingga terjadi ketidakcukupan kebutuhan metabolisme

jaringan. Shock terdiri dari tiga stadium, yaitu (Soenarjo and Hasan, 2013):

1. Stadium kompensasi

Pada stdium kompensasi fungsi organ vital dipertahankan melalui

mekanisme kompensasi fisiologis dengan cara meningkatkan refleks

simpatis sehingga terjadi (Soenarjo and Hasan, 2013):

a. Resistensi sistemik meningkat: Distribusi selektif aliran darah dari

organ non vital ke organ vital (jantung, paru, otak).

b. Resistensi arteriol meningkat sehingga tekanan diastolik meningkat.

c. Heart rate meningkat sehingga cardiac output meningkat.

d. Sekresi vasopressin, renin-angiotensin-aldosteron meningkat

sehingga ginjal menahan natrium dan air dalam sirkulasi.

Manifestasi Klinis: Takikardi, gelisah, kulit pucat dan dingin, capillary

filling lambat (lebih dari 2 detik ).

2. Stadium dekompensasi

Pada stadium ini telah terjadi (Soenarjo and Hasan, 2013):

a. Perfusi jaringan buruk  O2 sangat turun  metabolisme anaerob

 laktat meningkat  asidosis laktat. Diperberat oleh penumpukan

CO2, dimana CO2 akan menjadi asam karbonat.


Asidemia akan menghambat kontraktilitas otot jantung dan respon

terhadap katekolamin.

b. Gangguan mekanisme energi dependent Na+/K+ pump ditingkat

seluler  integritas membran sel terganggu, fungsi lisosom dan

mitokondria memburuk  kerusakan sel.

c. Aliran darah lambat dan kerusakan rantai kinin serta sistem

koagulasi, dan memperburuk keadaan dengan terbentuknya agregasi

trombosit dan pembentukkan trombus disertai tendensi perdarahan.

d. Pelepasan mediator vaskular: histamin, serotonin, sitokin (TNF alpha

dan Interleukin I), oksidase xantin  membentuk oksigen radikal

serta faktor agregasi trombosit. Pelepasan mediator oleh makrofag

menyebabkan vasodilatasi arteriol dan permeabilitas kapiler

meningkat  venous return turun  preload turun  cardiac output

turun.

Manifestasi Klinis: takikardi, tekanan darah sangat turun, perfusi perifer

buruk, asidosis, oliguria dan kesadaran menurun.

3. Stadium irreversible

Shock yang berlanjut akan menyebabkan kerusakan dan kematian sel 

multiorgan dysfunction. Cadangan phosphate berenergi tinggi (ATP)

akan habis terutama pada jantung dan hepar  tubuh kehabisan energi.

Manifestasi Klinis: Tekanan darah tak terukur, nadi tak teraba, anuria,

kesadaran buruk dan terdapat tanda-tanda kegagalan organ (Soenarjo and

Hasan, 2013).
Berdasarkan penyebabnya shock dibagi menjadi empat, yaitu shock

hipovolemik, shock kardiogenik, shock obstruktif dan syok distributif (shock

anafilaksis, shock neurogenik, acute adrenal ansufficiency dan shock septik)

(Santry and Hasan et al, 2016).

1. Shock hipovolemik

a. Definisi

Shock hipovolemik adalah kondisi berkurangnya volume

cairan intravaskular yang mengakibatkan menurunya perfusi oksigen

dan menyebabkan kegagalan metabolisme dan ketidakstabilan

hemodinamik (Longo et al, 2012; Cho et al, 2012).

b. Etiologi

Penybab terjadinya shock hipovolemik adalah berkurangnya

cairan intravaskular atau berkurangnya darah. Kekurangan cairan

dan darah yang terjadi harus bersifat masif. Kekurangan cairan

intravaskular atau hipovolemia yang dapat menyebabkan kondisi

shock berkisar lebih dari sama dengan 40% atau hipovolemia

berat. Pada hipovolemia berat terjadi ketidakstabilan hemodinamik

(Longo, 2012). Penyebab terjadinya hipovolemia berat secara garis

besar dibagi menjadi dua yakni berkurangnya cairan plasma dan

berkurangnya volume darah (Guyton, 2010).

1) Kekurangan cairan plasma

Beberapa hal yang dapat menyebabkan kekurangan plasma

adalah (Guyton, 2010):

a) Obstruksi intestinal
b) Luka bakar

c) Dehidrasi berat yang dapat dikarenakan oleh

pengeluaran keringat berlebihan, diare berat,

pengeluaran urin berlebihan, masukan cairan yang

tidak adekuat, kerusakan sistem adrenokortikal.

2) Perdarahan masif

Perdarahan masif dapat dikarenakan oleh trauma dan non

trauma. Perdarahan yang dapat menyebabkan shock

seringnya terjadi pada fraktur pelvis, fraktur femur,

trauma abdomen, trauma thorak. Selain itu, perdarahan

pada sistem gastrointestinal akibat non trauma juga sering

menyebabkan shock oleh karena berkurangnya volume

intravaskular yang berat dan terjadi tanpa disadari

(Guyton, 2010).

Tabel 1. Klasifikasi perdarahan dan perubahan tanda vital

Tindakan pada kehilangan cairan adalah atasi syok dengan

cairan infus 20 ml/kgBB dalam 1 jam dan dapat diulang. Dapat

menggunakan cairan ringel laktat atau NaCl 0.9%. Derajat

kehilangan cairan yaitu (McDermid et al, 2014):


c. Patofisiologi

Respon dini terhadap kehilangan darah adalah mekanisme

kompensasi tubuh yang berupa vasokonstriksi di kulit, otot, dan

sirkulasi viseral untuk menjaga aliran darah yang cukup ke ginjal,

jantung, dan otak. Respon terhadap berkurangnya volume sirkulasi

akut yang berkaitan dengan trauma adalah peningkatan detak jantung

sebagai usaha untuk menjaga cardiac output. Dalam banyak kasus,

takikardi adalah tanda syok paling awal yang dapat diukur

(American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008).

Pelepasan katekolamin endogen akan meningkatkan tahanan

vascular perifer. Hal ini akan meningkatkan tekanan darah diastolik

dan menurunkan tekanan nadi tetapi hanya sedikit meningkatkan

perfusi organ. Hormon-hormon lainnya yang bersifat vasoaktif

dilepaskan ke sirkulasi selama kondisi syok, termasuk histamin,

bradikinin, dan sejumlah prostanoid dan sitokin-sitokin lainnya.

Substansi-substansi ini mempunyai pengaruh besar terhadap

mikrosirkulasi dan permeabilitas vaskular (American College of

Surgeons Committee on Trauma, 2008).

Pada shock hemorrhagic dini, mekanisme pengembalian darah

vena dilakukan dengan mekanisme kompensasi dari kontraksi

volume darah dalam sistem vena yang tidak berperan dalam

pengaturan tekanan vena sistemik. Namun kompensasi mekanisme


ini terbatas. Metode yang paling efektif dalam

mengembalikan cardiac output dan perfusi end-organ adalah dengan

menambah volume cairan tubuh atau darah (American College of

Surgeons Committee on Trauma, 2008).

Pada tingkat selular, sel-sel dengan perfusi dan oksigenasi

yang tidak memadai mengalami kekurangan substrat esensial yang

diperlukan untuk proses metabolisme aerobik normal dan produksi

energi. Pada tahap awal, terjadi kompensasi dengan proses

pergantian menjadi metabolisme anaerobik yang mengakibatkan

pembentukan asam laktat dan berkembang menjadi asidosis

metabolik. Bila syok berkepanjangan dan pengaliran substrat

esensial untuk pembentukan ATP tidak memadai, maka membran sel

akan kehilangan kemampuan untuk mempertahankan kekuatannya

dan gradien elektrik normal pun akan hilang (American College of

Surgeons Committee on Trauma, 2008).

Pembengkakan retikulum endoplasma adalah tanda struktural

pertama dari hipoksia seluler, menyusul segera kerusakan

mitokondria, robeknya lisosom, dan lepasnya enzim-enzim yang

mencerna elemen-elemen struktur intraseluler lainnya. Natrium dan

air masuk ke dalam sel dan terjadilah pembengkakan sel.

Penumpukan kalium intraseluler juga terjadi. Bila proses ini tidak

membaik, maka akan terjadi kerusakan seluler yang progresif,

penambahan pembengkakan jaringan, dan kematian sel. Proses ini


meningkatkan dampak kehilangan darah dan hipoperfusi jaringan

(American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008).

d. Terapi

Tujuan terapi pada syok hipovolemik adalah restorasi volume

intravaskuler untuk mengoptimalkan tekanan darah, nadi dan perfusi.

pastikan jalan nafas baik, nilai ventilasi, bila perlu berikan bantuan

nafas atau intubasi. Ganti kehilangan volume intravaskuler dengan

kristaloid, koloid atau PRC, cari penyebab dan hentikan perdarahan.

Pemberian cairan secara IV akan memperbaiki volume darah yang

bersirkulai, menurunkan viskositas darah, dan meningkatkan aliran

darah vena, sehingga membantu memperbaiki curah jantung. Akibat

selanjutnya adalah meningkatkan perfusi jaringan dan memberikan

pasokan oksigen kepada sel. Terapi awal dapat berupa pemberian

cairan kristaloid atau koloid (Cho et al, 2012).

Dalam uji coba secara acak, pemberian cairan pada 26 pasien

shock hipovolemik menemukan bahwa koloid dapat meningkat

tekanan onkotik plasma sebanyak 36% dengan hetastarch (HES) (P

<0,001) dan sebesar 11% dengan albumin (P < 0,001) namun NS

sendiri dapat menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma

sebanyak 12% (P <0,05) (19). Pasien yang diberikan terapi koloid

mengalami edema paru lebih sedikit dibandingkan dengan pasien

yang diberikan NS, namun studi klinis lainnya tidak menunjukkan

perbedaan dalam efek paru antara koloid dan kristaloid. Pada

beberapa penelitian melaporkan manfaat koloid dibandingkan


kristaloid pada model binatang yaitu pemulihan lebih cepat

peningkatan pengiriman oksigen, luka pada usus berkurang, dan

cedera paru berkurang. Namun, pada penelitian meta-analisis

menunjukkan bahwa koloid berhubungan dengan peningkatan

mortalitas pada pasien trauma (Cho et al, 2012).

Pada shock hipovolemik karena perdarahan dilakukan

pemasangan saluran intra vena dengan jarum besar (no. 14 atau 16) ,

bila vena kolaps atau sulit terpasang dapat dipasang pada V.

Jugularis externa dan posisikan pada posisi trendelenberg dan segera

guyur dengan RL 20-40 mL/kgBB. Pada anak-anak dapat diberikan

RL 20 mL/kgBB dalam 30 menit (jika belum baik, berikan guyur

yang kedua dalam jumlah dan waktu yang sama) jika masih belum

membaik, harus transfusi darah dengan golongan darah yang sesuai.

Bila keadaan membaik (tekanan darah meningkat, nadi turun, denyut

nadi menguat, perfusi perifer membaik dan urine output 0,5-1

cc/kgBB/jam jika Hb > 8 gr% cukup observasi vital sign namun jika

Hb < 8 gr% maka berikan transfusi perlahan-lahan. Sementara itu

berikan cairan maintenance 50 mL/kgBB selama mencari

penyebabnya. Shock hipovolemik dapat diberikan obat vasoaktif

(dopamine atau dobutamin) jika sudah teratasi (Hubmann et al,

2011).
2. Shock kardiogenik

a. Definisi

Syok Kardiogenik didefinisikan sebagai gangguan sistem

sirkulasi yang mengakibatkan tidak adekuatnya perfusi dan

oksigenasi jaringan yang disebabkan oleh kegagalan pompa jantung

meskipun volume intravaskular adekuat (Cove and Graeme, 2010).

b. Etiologi

1) Disfungsi miokardium (gagal pompa), terutama karena

komplikasi infark myokard akut (IMA) (Cove and Graeme,

2010).

2) Pengisian diastolik ventrikel yang tidak adekuat, antara lain

takiaritmia, tamponade jantung, pneumotoraks akibat tekanan,

emboli paru, dan infark ventrikel kanan (Cove and Graeme,

2010).

3) Curah jantung yang tidak adekuat antara lain bradiaritmia,

regurgitasi mitral atau ruptur septum interventrikularis (Cove

and Graeme, 2010).

c. Patofisiologi

Syok kardiogenik ditandai oleh gangguan fungsi

ventrikel kiri, yang mengakibatkan gangguan berat pada perfusi

jaringan dan penghantaran oksigen ke jaringan. Nekrosis fokal

diduga merupakan akibat dari ketidakseimbangan yang terus

menerus antara kebutuhan suplai oksigen miokardium. Pembuluh

koroner yang terserang juga tidak mampu meningkatkan aliran darah


secara memadai sebagai respon terhadap peningkatan beban kerja

dan kebutuhan oksigen jantung oleh aktifitas respon kompensatorik

seperti perangsangan simpatik (Kolte et al, 2014).

Sebagai akibat dari proses infark, kontraktilitas

ventrikel kiri dan kinerjanya menjadi sangat terganggu. Ventrikel

kiri gagal bekerja sebagai pompa dan tidak mampu menyediakan

curah jantung yang memadai untuk mempertahankan perfusi

jaringan. Maka dimulailah siklus yang terus berulang. Siklus

dimulai dari terjadinya infark yang berlanjut dengan gangguan

fungsi miokardium (Kolte et al, 2014).

Kerusakan miokardium baik iskemia dan infark pada

miokard mengakibatkan perubahan metabolisme dan terjadi

asidosis metabolik pada miokardium yang berlanjut pada

gangguan kontraktilitas miokardium yang berakibat pada

penurunan volume sekuncup yang dikeluarkan oleh ventrikel.

Gangguan fungsi miokardium yang berat akan menyebabkan

menurunnya curah jantung dan hipotensi arteria. Akibat

menurunnya perfusi koroner yang lebih lanjut akan meningkatkan

hipoksia miokardium, iskemia dan kerusakan miokardium ulang.

Dari siklus ini dapat ditelusuri bahwa siklus syok kardiogenik ini

harus diputus sedini mungkin untuk menyelamatkan miokardium

ventrikel kiri dan mencegah perkembangan menuju tahap

irreversibel dimana perkembangan kondisi bertahap akan menuju

pada aritmia dan kematian (Kolte et al, 2014).


d. Terapi

Konsep penanganan pada kasus shock kardiogenik adalah

dengan pengembalian hemodinamik dan menurunkan beban jantung.

Sehingga, fungsi pompa jantung akan kembali normal. Terapi cairan

pada pasien dengan shock kardiogenik masih menjadi perdebatan.

Pemberian cairan yang berlebih akan menyebabkan meningkatnya

volume intravaskular menjadi hypervolemik dan akan

mengakibatkan peningkatan beban kerja jantung. Akan tetapi,

apabila terjadi hipovolemia dan tidak dikoreksi dengan cairan maka

akan terjadi penurunan curah jantung dan respon tubuh adalah

dengan meningkatkan kerja jantung yang justru akan memperberat

jantung itu sendiri. Hal yang dapat dilakukan pada kasus shock

kardiogenik adalah (Jog etal, 2011):

1) Posisikan pasien dengan posisi shock.

2) Lakukan tes konfrontatif cairan dengan cairan normal

saline 500 ml dihabiskan dalam 5 menit.

3) Pasang radial artery line yang dihubungkan dengan

transduser tekanan untuk memantau hemodinamik pasien.

4) Pertahankan cairan pada kondisi euvolemia.

Pemantauan hemodinamik dengan menggunakan radial artery

line pressure dilakukan dengan memerhatikan beberapa parameter

seperti cardiac output, cardiac index, stroke volume variation, dan


tekanan darah. Penilaian tekanan darah dapat dilakukan secara real

time (Jog etal, 2011).

3. Syok Distributif

a. Definisi

Shock distributif merupakan ketidak efektifan perfusi yang

berakibat pada kelainan metabolisme selular yang dikarenakan oleh

kelainan vasomotor dari vaskular (Alexander, 2009).

b. Etiologi

Penyebab syok distributif berbeda-beda tergantung

klasifikasinya (Kanaparthi, 2013)

1) Syok Septik, terjadi karena invasi kuman dan toksinnya didalam

tubuh yang menyebabkan vasodilatasi. Paling banyak disebabkan

oleh infeksi bakteri gram negatif aerobik yaitu Escherichia coli dan

Klebsiella.

2) Syok anafilaktik, terjadi akibat reaksi antigen antibodi yang

mengeluarkan histamin. Misalnya: reaksi tranfusi, reaksi alergi,

sengatan serangga, gigitan ular berbisa.

3) Syok neurogenik, terjadi pada cedera medula spinalis, anestesi

spinal, dan depresi pusat vasomotor.

c. Patofisiologi

Syok septik paling banyak disebabkan oleh infeksi bakteri gram

negatif aerobik yaitu Escherichia coli dan Klebsiella. Bakteri gram

positif dan jamur juga dapat menyebabkan syok septik. Endotoksin

adalah komponen polisakarida dinding sel bakteri gram negatif yang


dikeluarkan oleh organisme tersebut sesaat setelah bakteri tersebut

mati didalam tubuh host. Hal ini mengakibatkan efek pada banyak

sistem homeostatis tubuh, termasuk komplemen, kinin, faktor

koagulasi, plasma fosfolipase, sitokin, dan sistem pertahanan tubuh

lain. Ketika endotoksin berinteraksi dengan makrofag maka berbagai

sitokin diproduksi, termasuk TNF dan interleukin 1, 2, dan 6. Sitokin

tersebut menginduksi berbagai hormon seperti glukagon, epinefrin,

dan kortisol. Selain itu sitokin tersebut menyebabkan peningkatan

permeabilitas kapiler dan menghasilkan Toxic Oxygen Metabolites

yang dapat menyebabkan destruksi jaringan secara ekstensif. Dalam

hal ini Nitrit Oxide (NO) termasuk berperan sebagai mediator pada

dilatasi vaskular dan hipotensi (Nduka, 2009).

Pada syok anafilaktik terjadi peningkatan mediator-mediator

inflamasi dari sel mast dan basofil. Agen yang paling banyak

menyebabkan syok septik adalah penisilin, serangga (lebah), dan

media kontras. Syok anafilaktik merupakan respon individu terhadap

kontak dari suatu agen yang menghasilkan IgE. Histamin dan platelet

yang diproduksi menyebabkan vasodilatasi, bronkokonstriksi,

bronkorrhea, pruritus, agregasi platelet dan meningkatkan

permeabilitas vaskular, yang akan menyebabkan edema laring dan

obstruksi jalan napas. Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas

vaskular akan menurunkan tekanan darah dan obstruksi jalan napas

akan menyebabkan hipoksemia (Franklin, 2010).


Syok neurogenik terjadi ketika hilangnya tonus vasomotor

perifer yang menyebabkan redistribusi volume intravaskular, akibatnya

menurunnya darah perifer, aliran balik vena, dan cardiac output. Syok

neurogenik terjadi setelah suatu trauma pada saraf spinal atau setelah

dilakukanya anestesia pada spinal. Refleks takikardi terjadi untuk

menjaga cardiac output, tetapi apabila saraf simpatis yang mengatur

jantung terkena maka akan terjadi bradikardia. Karena aliran simpatis

pembuluh darah ke kulit terganggu maka ekstremitas tetap hangat

sama seperti pada syok septic (Franklin, 2010).

Gambar 2. Patofisiologi Syok Distributif (Franklin, 2010)


d. Terapi

1) Syok Neurogenik (Vaso-vagal-syncope) (Mack, 2013)

a) Penderita segera dibaringkan dengan kepala lebih rendah

b) Lakukan tes konfrontasi dengan 500 ml kristaloid, pantau

apakah terdapat respon hemodinamik seperti peningkatan

tekanan darah menjadi normal atau tidak ada respon.

c) Apabila terdapat respon tes konfrontasi maka atasi hipovolemia

relatif, berikan cairan kristaloid dengan jarum besar (ukuran 14

atau 16) dengan target 1-2 liter dalam 1-2 jam. Apabila tidak ada

respon maka hentikan pemberian cairan dan berikan

vasokonstriktor.

d) Hindari pemberian manitol pada kasus cedera otak atau cedera

spinal.

2) Syok Septik.

Terapi cairan pada kasus shock septic bertujuan untuk menjaga

hemodinamik tetap stabil. Penggunaan terapi cairan merupakan

langkah awal pada suatu usaha menangani kasus shock sepsis.

Prinsipnya, shock sepsis bukan merupakan shock yang dikarenakan

kekurangan cairan masif, sehingga pemantauan akan pemberian

cairan harus dilakukan. Sesuai dengan EGDT, pemberian cairan

harus dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan central venous

pressure menggunakan kateter vena sentral. Hal ini dapat dilakukan

untuk mencegah terjadinya overload cairan yang dapat

menyebabkan pulmonari edema. Pemberian normal saline 1-2 liter


guyur dalam waktu 1-2 jam merupakan rekomendasi terapi cairan

pada kasus shock sepsis. Pemantauan CVP disarankan pada

rentang 8-12 cmH2O. Akan tetapi, apabila terapi cairan tidak

mampu meningkatkan CVP, maka pemberian agen vasopressor

merupakan suatu mekanisme terapi yang harus dilakukan pada

pasien shock sepsis (Longo, 2012).

Gambar 2. Konsep terapi EGDT

3) Syok anafilaktik (Dries, 2011).

Terapi cairan pada kasus shock anafilaktik didasarkan pada

kekurangan volume intravaskular akibat ekstravasasi hingga 35%

volume intravaskular. Penggunaan epinefrin sebagai terapi

anafilaktik terkadang mendapatkan respon yang tidak adekuat, hal


pertama yang harus dipikirkan adalah ketidakcukupan jumlah

volume intravaskular. Sehingga resusitasi cairan pada kasus shock

anafilaksis bersifat mendesak. Terapi cairan pada shock anafilaksis

adalah (Brown, 2004):

a) Pasien dewasa harus mendapat 1-2 liter normal saline pada awal

terapi dan volume cairan masih dapat ditolelir sampai juml;ah 7

liter.

b) Pemberian 1000 ml cairan dapat diberikan pada 5 menit

pertamam dapat diberikan dengan kantong penekan (pressure

bag)

c) Pemantauan klinis dan tanda vital merupakan evaluasi pada

pemberian cairan apakah sudah efektif atau belum..

d) Pada pasien dengan kondisi nomotensi dan normovolemia maka

pemberian cairan dilakukan dengan dosis mantenance yakni 2

cc/kgBB.

4. Syok Obstruktif

a. Definisi

Syok obstruktif terjadi akibat retriksi pengisian diastolik ventrikel

kanan, karena adanya kompresi pada jantung. Hal ini dapat terjadi

pada obstruksi vena cava, emboli pulmonal, pneumothorax, gangguan

pada perikardium (pada tamponade jantung) atau berupa atrial

myxoma (Bongard, 2010).

b. Etiologi

Secara garis besar, etiologi syok obstruktif adalah adanya obstruksi


diluar jantung yang mengakibatkan gangguan kontraksi jantung.

Etiologi tersebut dapat berupa tamponade jantung, pneumothorax, dan

emboli paru (Franklin, 2010).

Syok obstruktif terjadi akibat restriksi pengisian diastolik ventrikel

kanan, karena kompresi pada jantung sehingga dapat mengakibatkan

penurunan cardiac output (Holmes, 2009).

Kebanyakan kasus disebabkan bekuan darah dari vena, terutama vena

tungkai, yang disebut dengan trombosis vena dalam. Penyebab lain

adalah gelembung udara, lemak, cairan ketuban, atau gumpalan parasit

maupun sel tumor. Gumpalan darah terbentuk akibat darah mengalir

lambat atau tidak mengalir, yang sering terjadi pada orang yang berada

pada satu posisi tertentu dalam waktu yang cukup lama, sehingga saat

orang tersebut bergerak, gumpalan tersebut akan hancur menjadi

gumpalan kecil dan gumpalan besar yang akhirnya menjadi embolus

vena (Franklin, 2010).

Terdapat beberapa faktor predisposisi terbentuknya embolus, yaitu

pembedahan, tirah baring terlalu lama, stroke, serangan jantung,

obesitas, fraktur tungkai atau panggul, meningkatnya kecenderungan

darah untuk menggumpal, persalinan, trauma berat, luka bakar, DVT,

pasien dengan terapi hormon atau yang mendapatkan Selective

Estrogen Receptor Modulator Therapy (SERM), pasien dengan

penyakit sindrom nefritik, dan pasien dengan defisiensi antitrombin,

protein C dan S (Franklin, 2010).

c. Patofisiologi
Syok obstruktif dapat disebabkan oleh tamponade jantung, emboli

paru, dan pneumothorax. Penyebab tersering tamponade jantung

adalah neoplasma dan uremi. Neoplasma menyebabkan terjadinya

pertumbuhan sel secara abnormal pada otot jantung, sehingga terjadi

hiperplasia sel yang tidak terkontrol, dan menyebabkan pembentukkan

massa (tumor). Hal ini dapat mengakibatkan perikardium terdesak dan

terjadilah pergesekan antara perikardium dengan epikardium, yang

menyebabkan peradangan pada perikardium sehingga terjadi

penumpukan cairan pada perikardium, yang pada akhirnya

mengakibatkan tamponade jantung. Pada pasien dengan uremia, di

dalam darahnya terdapat toksik metabolik yang menyebabkan

inflamasi, dalam hal ini pada perikardium. Trauma tumpul/tembus

yang mengenai ruang perikardium dan mengakibatkan perdarahan

pada perikardium juga dapat menyebabkan tamponade jantung

(Alexander, 2009).

d. Terapi

Prinsip terapi adalah mengurangi beban kerja jantung karena obstruksi

dan pengawasan pemberian cairan untuk mengurangi beban jantung.

Penggunaan epinefrin difungsikan untuk meningkatkan kontraktilitas

jantung dan memenuhi kebutuhan oksigenasi jaringan yang terhambat

(Bongard, 2010).

Pasien dengan hemodinamic compromise mungkin masih dapat

diberikan terapi resusitasi cairan, akan tetapi, terapi cairan pada

kasus shock obstruktif masih menjadi perdebatan dan belum ada


batasan pemberian cairan pada guideline terkait. Sehingga,

monitoring kondisi klinis dan pencarian etiologi pada pasien

merupakan terapi yang harus segera dilaksanakan. Pemberian terapi

resusitasi cairan justru akan mengakibatkan terjadinya peningkatan

preload dan menjadikan tekanan pericardial meningkat dengan

cepat dan memperburuk kondisi shock pasien (Khandaker, 2010)

Terapi cairan pada pasien dengan shock obstruktif bersifat

maintenance saja. Tujuanya adalah untuk menjaga preload agar tetap

normal. Langkah yang dapat dilakukan dalam terapi cairan pasien

shock obstrukstif adalah (Khandaker, 2010):

1) Pasang kateter arteri radialis sebagai kontrol dan evaluasi status

volume intravaskular.

2) Lakukan tes konfrontasi dengan 500 ml normal saline dalam 5

menit

3) Lakukan maintenance cairan dengan normal saline.

4) Evaluasi klinis pasien untuk menghindari pemberatan beban

jantung.
III. DAFTAR PUSTAKA

Alexander R H, Proctor H J. 2009. Shock. Dalam buku: Advanced Trauma Life


Support Course for Physicians. USA, 2009 ; 75 – 94.
American College of Surgeons Committee on Trauma. Advanced Trauma Life
Support edisi 8th: Abdominal and Pelvic Trauma. 2008; 111-129.

Bongard, Ferd. 2010. Shock. P.13. Crit Care Med

Brown, S G A etal. 2004. Insect sting anaphylaxis; prospective evaluation of


treatment with intravenous adrenaline and volume resuscitation. Emerg Med
J (21) 149-154
Cho, Y., Judson, R., Cho, K.G.Y., Santos, M., Walsh, M., Pascoe, D. Blunt
Abdominal Trauma. The Royal Melbourne Hospital-Trauma Service
Guidelines. 2012.

Cove, Matthew E., and Graeme M. Clinical review: mechanical circulatory


support for cardiogenic shock complicating acute myocardial infarction.
BioMed Central. 2010; 14 (5); 235

Dries DJ (ed). 2012. Fundamental Critical Care Support. Society of Critical Care
Medicine. 5th:7-1.

Franklin C M, Darovic G O, Dan B B. 2010. Monitoring the Patient in Shock.


Dalam buku: Darovic G O, ed, Hemodynamic Monitoring: Invasive and
Noninvasive Clinical Application. USA : EB. Saunders Co. ; 441 – 499.
Holmes, C dan Walley, K. 2009. The Evaluation and Management of Shock. Clin
Chest Med 24:775-789.
Hubmann, B., Rolf L., Georg T., Christian W., Steffen R., and Sven L. Influence
of Prehospitasl Fluid Resuscitation on Patients with Multiple Injuries in
Hemorrhagic Shock in Patient from DGU Trauma Registry. Journal of
Emergencies, Trauma and Shock. 2011; 4 (4); 465-471

John, R.H., Brohi, K., Dutton, R.P., Hauser, C.J., Holcomb, J.B., Kluger, Y.,
Jones, K.M., Parr, M.J., Rizoli, S.B., Yukioka, T., Hoyt, D.B., dan Bouillon,
B. The Coagulopathy of Trauma: A Review of Mechanisms. The Journal of
Trauma, Injury, Infection and Critical Care. 2008; 748-754.

Kanaparthi, Lalith. 2013. Distributive Shock. Department of Pulmonary


Medicine, Lenox Hill Hospital.
Khandaker, MH. Etal. 2010. Pericardial Disease: Diagnosis and Manahement.
Mato Climical Proceedings 85(6) 572-593

Kolte, Dhaval., Sahil Khera., Wilbert S.A., Marjan M.,Chandrasekar P., Sachin
S., Diwakar J., William G., Ali A., William H. F., and Gregg C. F. Trends in
Incidence, Management, and Outcomes of Cardiogenic Shock Complicating
ST‐Elevation Myocardial Infarction in the United States. Journal of the
American Heart Assosiation. 2014. 3 (1)

Levy, Bruno. Olivier Bastien. Karim Bendjelid. Alain Cariou. Tahar Chouihed.
Alain Combes et al. Experts Recommendations for the Management of
Adult Patients with Cardiogenic Shock. Annals of Intesive Care. 2015; 5; 17

Longo, et al. 2012. Hariison Internal Medicine. United States Of America

Mack, E H. 2013. Neurogenic Shock. The Open Pediatric Medicine Journal (7)
16:18
McDermid, Robert C., Karthik R., Adam R., Andrew D.S., and Sean M.B.
Controversies in Fluid Therapy: Type, Dose and Toxicity. World Journal
Critical Care Medicine. 2014; 3(1);24-33

Nduka OO, Parrillo JE. 2009. The Pathophysiology of Septic Shock. Crit Care
Clin 25: 677–702.
Ouweneel, D.M., jasper V.S., Jacqueline L., Krischan D.S., Engstrom et al.
Extracorporeal life support during cardiac arrest and cardiogenic shock: a
systematic review and meta-analysis. Intensive Care Medicine. 2016; 42
(12); 1922-1934

Santry, Heena P., and Hasan B.A.Fluid Resuscitation: Past, Present and The
Future. HHS Public Access. 2016; 33 (3); 229-241

Soenarjo and Heru D.J. 2013. Anestesiologi Edisi Kedua. Semarang: Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran UNDIP.

Anda mungkin juga menyukai