Anda di halaman 1dari 20

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Emfisema sebenarnya adalah sebutan patologis yang menunjukkan
bahwa di paru terjadi pembesaran abnormal menetap ruang - ruang udara di
sebelah distal bronkiolus terminal, di sertai oleh kerusakan dinding-
dindingnya tanpa fibrosis yang nyata. Berbeda dari bronchitis kronik, defek
patologis utama pada emfisema bukan di saluran nafas tetapi di dinding unit
respiratorik, yaitu hilangnya jaringan elastic menyebabkan lenyapnya
tegangan recoil untuk menahan saluran napas selama respirasi. Kerusakan
saluran nafas di sertai dispnea progresif dan obstruksi non refolsibel tanpa
batuk produktif yang signifikan. Selain itu berkurangnya luas permukaan
alveolus serta jaringan kapiler untuk pertukaran gas ikut berperan
menyebabkan hipoksia dan dipsnea progersif. Di antara berbagai pola
emfisema, pembedaan-pembedaan patologis dan etiologis dapat di buat,
tetapi gambaran klinis semuanya cukup seragam.
Karena adanya tumpang tindih kedua penyakit ini pada pasien dan
kesamaan kausa, data epidemiologis umumnya membahas kedua penyakit
secara bersama- sama di bawah judul PPOK. PPOK mengenai lebih dari 10
juta orang di Amerika Serikat. Insiden, prefalensi dan angka kematian PPOK
meningkat seiring tambah usia dan lebih tinggi pada pria, orang berkulit putih,
dan golongan sosio ekonomi lemah. Merokok masih menjadi kausa utama
penyakit pada hampir 90% pasien dengan bronchitis kronik dan emfisema.
Namun hanya 10-15% perokok mengalami PPOK. Penyebab perbedaan
pada kerentanan penyakit ini belum di ketahui tetapi mungkin mencakup
factor genetic (Stephen, 2002).

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana pengertian penyakit emfisema ?
2. Bagaimana etiologi dari penyakit emfisema ?
3. Bagaimana patofisiologi dari penyakit emfisema ?
4. Bagaimana manifestasi klinis dari penyakit emfisema ?
5. Bagaimana pemeriksaan penunjang dari penyakit emfisema ?
6. Bagaimana kompikasi dari penyakit emfisema ?
7. Bagaimana asuhan keperawatan pada penyakit emfisema ?

1
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Dengan disusunnya makalah ini, Mahasiswa dan semua pihak
yang bersangkutan dengan dunia kesehatan semoga bisa menjadikan
makalah ini sebagai salah satu sumber referensi untuk
mengembembangkan dan memberikan asuhan keperawatan di klinik
dengan baik khususnya pada klien dengan penderita emfisema.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mahasiswa diharapkan dapat mengetahui dan memahami
pengertian dari emfisema .
2. Mahasiswa diharapkan dapat mengetahui dan memahami etiologi
dari emfisema.
3. Mahasiswa diharapkan dapat mengetahui dan memahami
klasifikasi dari emfisema.
4. Mahasiswa diharapkan dapat mengetahui dan memahami
penatalaksanaan dari emfisema.
5. Mahasiswa diharapkan dapat mengetahui dan memahami
komplikasi dari emfisema.
6. Mahasiswa diharapkan dapat memberikan asuhan keperawatan
dengan baik pada klien emfisema.

1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat Teoritis
Dengan disusunnya makalah yang berjudul Laporan Pendahuluan
dan Asuhan Keperawatan pada Kasus emfisema ini, diharapkan bisa
memeberikan manfaat dan menjadi salah satu sumber referensi bagi
para pembaca.
1.4.2 Manfaat Klinis
Diharapkan dengan disusunnya makalah yang berjudul Laporan
Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan pada emfisema ini, bisa
menjadi sumber refrensi dalam pengembangan penerapan asuhan
keperawatan di klinik.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Sistem Respirasi

Saluran Napas Atas terdiri dari organ hidung, tonsil, faring dan laring.
Dimana dari setiap bagian organ tersebut memiliki fungsi yang berbeda,
seperti:
1. Hidung
Fisiologis dari hidung yakni sebagai organ pembau, lubang masuk udara
pernafasan, serta sebagai filter saluran pernafasan yang pertama.
2. Tonsil
Tonsil adalah kumpulan jaringan lymphoid di mucosa faring yang memiliki
fungsi sebagai organ sistem pertahanan tubuh.
3. Faring
Faring merupakan suatu ruangan dimulai dari choane sampai aditus
laryngis. Fungsi dari faring yaitu sebagai jalan makanan dan jalan udara
pernafasan.
4. Laring
Laring terletak antara faring dan trachea. Fungsi dari laring yakni sebagai
jalan udara pernafasan, penghasil getaran suara, serta mencegah
makanan dan cairan masuk ke trachea selama proses menelan.
5. Trakea
Trakea ( batang tenggorokan) adalah tabung berbentuk pipa seperti huruf
C yang dibentuk oleh tulang-tulang rawan yang disempurnakan oleh

3
selaput, terletak diantara vertebrae servikalis VI sampai ke tepi bawah
kartilago krikoidea Vertebra torakalis V.
6. Bronkus
Bronkus ( cabang tenggorokan ) merupakan lanjutan dari trakea. Bronkus
terdapat pada ketinggian vertebrae torakalis IV dan V. Bronkus
mempunyai struktur sama dengan trakea dan dilapisi oleh sejenis sel
yang sama dengan trakea dan berjalan kebawah ke arah tampuk paru.
7. Pulmo
Pulmo ( paru ) adalah salah satu organ sistem pernapasan yang berada
didalam kantong yang dibentuk oleh pleurea parietalis dan pleura
viseralis. Kedua paru sangat lunak, elastis, dan berada dalam rongga
torak.
2.2 Definisi
Emfisema paru adalah suatu keadaan abnormal pada anatomi paru
dengan adanya keadaan kondisi klinis berupa melebarnya saluran udara
bagian distal bronkiolus terminal yang di sertai dengan kerusakan dinding
alveoli. Kondisi ini merupakan tahap akhir proses yang mengalami kemajuan
dengan lambat selama beberaa tahun. Pada kenyataanya, ketika klien
mengalami gejala emfisema, fungis paru sudah sering mengalami kerusakan
permanen (irreversible) yang di sertai bronchitis obstruksi kronis (Arif
Muttaqin, 2008).
Menurut WHO, emfisema merupakan gangguan perkembangan paru
yang di tandai dengan pelebaran ruang udara di dalam paru- paru di sertai
destruksi jaringan. Sesuai dengan definisi tersebut, jika di temukan kelainan
berupa pelebaran ruang udara (alveolus) tanpa di sertai adanya destruksi
jaringan maka keadaan ini sebenarnya tidak termasuk emfisema, melainkan
sebagai overinflation.

2.3 Etiologi
1. Merokok
Secara patologis rokok dapat menyebabkan gangguan pergerakan silia
pada jalan napas, menghambat fungsi makrofag alveolar, menyebabkan
hipertrofi dan hiperplasi kelenjar mokus bronkus. Gangguan pada silia,
fungsi makrofag alveolar mempermudah terjadinya peradangan pada
bronkus dan bronkeolus. Akan mengakibatkan obstruksi jalan napas,

4
dinding bronkeolus melemah dan alceoli pecah disamping itu, merokok
akan merangsang leukosit polimorfonoklear melepaskan enzim protease
(proteolitik), dan menginaktifasi antiprotease (alfa - 1 antitripsin), sehingga
terjadi ketidakseimbangan antara aktivitas keduanya.
2. Keturunan
Belum diketahui jelas apakah faktor keturunan berperan atau tidak pada
emfisema kecuali pada penderita dengan defisiensi enzim alfa 1-
antitripsin. Kerja enzim ini menetralkan enzim proteolitik yang sering di
keluarkan pada peradangan dan merusak jaringan, termasuk jaringan
paru, karena itu kerusakan jaringan lebih jauh dapat di cegah. Defisiensi
alaf 1 - antitripsin adalah suatu kelainan yang di turunkan secara
autosomresesif. Orang yang sering menderita emfisema paru adalah
penderita yang memiliki gen S atau Z. emfisema paru akan lebih cepat
timbul bila penderita tersebut merokok.
3. Infeksi
Infeksi dapat menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga gejala-
gejalanya pun menjadi lebih berat. Infeksi saluran pernapasan atas pada
seorang penderita bronchitis kronis hampir selalu menyebabkan infeksi
paru bagian bawah, dan menyebabkan kerusakan paru bertambah.
Eksaserbasi bronchitis kronis di sangka paling sering di awali dengan
infeksi virus, yang kemudian menyebabkan infeksi sekunder oleh bakteri
yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya emfisema.
4. Hipotesis Elastase- Antielastase
Didalam paru terdapat keseimbangan anatar enzim proteolitik elastase
dan antielastase agar tidak terjadi kerusakan jaringan. Perubahan
keseimbangan pada jaringan elastis paru. Struktur paru akan berubah
dan timbulnya emfisema. Sumber elastase yang penting adalah pancreas,
sel - sel PMN, dan makrofag alveolar (pulmonary alveolar macrophange-
PAM). Rangsangan pada paru antara lain oleh asap rokok infeksi
menyebabkan elastase bertambah banyak. Aktivitas system antielastase,
yaitu system enzim alfa1 – protease - inhibitor terutam enzim alfa1 -
antitrypsin menjadi menurun. Akibat yang menimbulkan kerusakan
jaringan elastic paru dan kemudian emfisema.

5
5. Polusi
Polutan industri dan udara juga dapat menyebabkan terjadinya emfisema.
Insidensi dan angka kematian emfisema dapat lebih tinggi di daerah yang
padat industrialisasi. polusi udara sepertihalnya asap tembakau juga
dapat menyebabkan gangguan pada silia, menghambat fungsi makrofag
alveolar.

2.4 Klasifikasi
Terdapat tiga type dari emfisema yaitu sebagai berikut.
1. Emfisema Centriolobular (CLE)
Merupakan tipe yang sering muncul, menyebabkan kerusakan brokiolus,
biasanya pada region paru atas. Inflamasi berkembang pada bronkiolus
tetapi biasanya kantong alveolar tetap terbiasa.
2. Emfisema panlobular (PLE)
Terjadi kerusakan pada bronkus pernapasan, duktus alveolar dan alveoli.
Semua ruang udara di dalam lobus sedikit membesar, dengan disertai
iflamasi. Cici khasnya yaitu memiliki dada hiperinflasi dan ditandai oleh
dispnea saat beraktivitas dan penurunan berat badan. PLE ini sangat
sering timbul pada seorang merokok.
3. Emfisema paraseptal
Merusak alveoli pada lobus bagian bawah yang mengakibatkan isolasi
dari blebs (udara dalam alveoli) pneumotorak spontan. Paraseptal timbul
pada klien dengan defisiensi enzim alfa - antitrypsin. Pada kedaan lanjut,
terjadi peningkatan dispnea dan infeksi pulmoner serta sering kali timbul
kor pulmonal (CHF bagian kanan ).

2.5 Patofisiologi
Adanya inflamasi pembengkakan bronchi, produksi lendir yang
berlebihan, kehilangan recoil elastisitas jalan napas, dan kolaps bronkhiolus,
serta penurunan redistribusi udara ke alveoli menimbulkan gejala sesak
pada klien dengan emfisema.
Pada paru normal terjadi kesimbangan antara tekanan yang menarik
jaringan paru ke luar (yang di sebabkan tekanan intrpleural dan otot- otot
dinding dada) dengan tekanan tersebut, volume paru yang terbentuk di sebut
sebagai functional residual capacity (FRC) yang normal. Bila elastisitaas

6
paru berkurang timbul keseimbangan baru dan menghasilkan FRC yang
lebih besar. Volume residu bertambah pula, tetapi VC menurun. Pada orang
normal sewaktu terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik jaringan
paru akan berkurang, sehingga saluran pernapasan bagian bawah paru
akan tertutup.
Pada klien dengan emfisema, saluran- saluran pernapasan tersebut
akan lebih cepat dan lebih banyak yang tertuup. Akibat cepatnya saluran
pernapasan menutup dan dinding alveoli yang rusak, akan menyebabkan
ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang. Namun, semua itu bergantung
pada kerusakannya. Mungkin saja terjadi alveoli dengan ventilasi kurang/
tidak ada, tetapi perfusinya baik sehingga penyebaran udara pernapasan
maupun aliran darah ke alveoli tidak sama dan merata. Atau dapat di
katakan juga tidak ada keseimbangan antara ventilasi dan perfusi di alveoli
(V/Q rasio yang tidak sama).
Pada tahap akhir penyakit, system eliminasi karbon dioksida mengalami
kerusakan. Hal ini mengakibatkan peningkatan tekanan karbon dioksida
dalam darah arteri (hiperkapnea) dan menyebabkan asidosis respiratorik.
Karena dinding alveolar terus mengalami kerusakan, maka jaring- jaring
kapiler pulomonal berkurang. Aliran darah pulmonal meningkat dan ventrikel
kanan di pakas untuk mempertahankan tekanan darah yang tinggi dalam
area pulmonal. Dengan demikian, gagal jantung sebelah kanan( kor
pulmonal) adalah salah satu komplikasi emfisema. Terdapatnya kongesti
edema tungkai ( edema dependen), distensi vena jugularis, atau nyeri pada
region hepar menandakan terjadinya gagal jantung (nowak, 2004).
Sekresi yang meningkat dan tertahan menyebabkan klien tidak mampu
melakukan batuk efektif untuk mengeluarkan sekresi. Infeksi akut dan kronis
menetap dalam paru yang mengalami emfisema ini memperberat masalah.
Individu dengan emfisema akan mengalami obstruksi kronis yang di tandai
oleh peningkatan tahanan jalan napas aliran masuk dan aliran keluar udara
dari paru. Jika demikian paru berbeda dalam keadaan hiperekspansi kronis.
Untuk mengalirkan udara ke dalam dan ke luar paru di btuhkan tekanan
negative selama inspirasi dan tekanan postif dalam tingkat adekuat yang
harus di capai dan di pertahankan selama ekspirasi berlangsung. Kinerja ini
membutuhkan kerja keras otot- otot pernapasan yang berdampak pada
kekakuan dada dan iga- iga terfiksasi pada persendiannya dengan

7
bermanifestasi pada perubahan bentuk dada di mana rasio diameter AP:
transversal mengalami peningkatan. (barrel chest). Hal ini terjadi akibat
hilangnya elastisitas paru karena adanya kecenderungan yang berkelnajutan
pada dinding dada untuk mengembang.
Pada beberapa kasus, barrel chest terjadi akibat kifosis di mana tulang
belakang bagian atas secara abnormal bentuknya membulat atau cembung.
Beberapa klien membungkuk ke depan untuk dapat bernapas,
menggunakan otot- otot bantu napas. Retraksi fosa supraklavikula yang
terjadi pada inspirasi mengakibatkan bahu melengkung ke depan.
Pada penyakit lebih lanjut, otot- otot abdomen juga ikut berkontraksi
saat inspirasi. Terjadi penurunan progresif dalam kapasitas vital paru.
Ekshalasi normal menjadi lebih sulit dan akhirnya tidak memungkinkan
terjadi. Kapasitas vital total (VC) mungkin normal, tetap rasio dari volume
alveoli sangat menurun. Oleh karena itu, di butuhkan upaya bagi klien untuk
menggerakkan udara dari alveoli yang mengalami kerusakan dan jalan
napas yang menyempit meningkatkan upaya pernapasan (Smeltzer dan
Bare, 2002).

8
9
2.7 Manifestasi Klinis
1. Penampilan umum
 Kurus, warna kulit pucat, dan flattened hemidiafragma
 Tidak ada tanda CHF kanan dengan edema dependen pada stadium
akhir
2. Usia 65-75 tahun
3. Pemeriksaan fisik dan laboratorium
Pada klien emfisima paru akan ditemukan tanda dan gejala seperti berikut
ini:
 Napas pendek persisten dengan peningkatan dispnea .
 Infeksi system respirasi.
 Pada auskultasi terdapat penurunan suara napas meskipun dengan
napas dalam.
 Wheezing ekspirasi tidak ditemukan dengan jelas.
 Produksi sputum dan batuk jarang.
 Hematrokrit <60%.
4. Pemeriksaan jantung
Tidak terjadi pembesaran jantung korpulmonal timbul pada stadium akhir.
5. Riwayat merokok
Biasanya didapatkan,tetapi tidak selalu ada riwayat merokok

2.8 Pemeriksaan Penunjang


1. Pengukuran fungsi paru
Pengukuran fungsi paru biasanya menunjukkan peningkatan kapasitas
paru total (TLC) dan volume residual (RV). Teerjadi penurunan dalam
kapasitas vital (VC) dan volume ekspirasi paksa (FEV). Temuan-temuan
ini menegaskan kesulitan yang dialami klien dalam mendorong udara
keluar dari paru.
2. Pemeriksaan laboratorium
Hemoglobin dan hematokrit mungkin normal pada tahap awal penyakit.
Dengan berkembangnya penyakit, pemeriksaan gas darah arteri dapat
menunjukkan adanya hipoksea ringan dengan hiperkapnea.

10
3. Pemeriksaan radiologis
Rotgen thorax menunjukkan adanya hiperinflasi, pendataran diafragma,
pelebaran margin intercosta dan jantung sering ditemukan bagai
tergantung.

2.9 Penatalaksanaan
1. Nonfarmakologi
 Penyuluhan. Penyuluhan ini dapat ditujukan untuk peningkatan
pengetahuan klien tentang penyakit emfisema sehingga klien secara
sadar menghindari faktor-faktor pencetus, menggunakan obat secara
benar dan berkonsultasi pada tim kesehata
 Menghindari faktor pencetus. Klien perlu dibantu mengidentifikasi
pencetus serangan emfisema yang ada pada lingkungannya dan
diajarkan cara mengurangi faktor pencetus tersebut.
 Pemberian terapi untuk meningkatkan ventilasi dan menurunkan kerja
napas.
 Mencegah dan mengobati infeksi.
 Teknik terapi fisik untuk memperbaiki dan meningkatkan ventilasi paru.
 Memelihara kondisi lingkungan yang memungkinkan untuk
memfasilatasi pernapasan yang adekuat.
 Dukungan psikologis dan.
 Rehabilitasi klien
2. Farmakologi
 Klien dengan emfisema rentan terhadap infeksi paru dan harus diobati
pada awal timbulnya ranch-ranch infeksi. Organisme yang paling
umum menyebabkan infeksi tersebut adalah S.pneumonia,
H.influenzae, dan Branhamella catarrhalis. Terapi antimikroba dengan
tetrasiklin, amfisilin, amoxilin, atau trimetropim sulfametoxazol (batrim)
biasanya diresepkan. Regimen antimikroba digunakan pada tanda
pertama infeksio pernafasan seperti yang dibuktikan dengan adanya
sputum purulen, batuk meningkat, dan demam.
 Kortikosteroid. Penggunaan kortikosteroid tetap kontroversial dalam
pengobatan emfisema. Kortikosteroid digunakan untuk melebarkan
bronkiolus dan membuang sekresi setelah tindakan lain tidak
menunjukkan hasil, Prednison biasanya diresepkan. Dosis disesuaikan

11
untuk menjaga klien pada dosis yang serendah mungkin. Efek
samping jangka pendek termasuk gangguan gastrointestinal dan
peningkatan nafsu makan. Pada jangka panjang, klien mungkin
mengalami ulkus peptikum, osteoporosis, supresis adrenal, miopati
steroid, dan pembentukan katarak.
 Oksigenasi. Terapi oksigen dapat meningkatkan kelangsungan hidup
pada klien dengan emfisema berat. Hipoksemia berat diatasi dengan
konsentrasi oksigen rendah untuk meningkatkan PaO2 hingga antara
65 dan 80 mmHg. Pada emfisema berat, oksigen diberikan setidaknya
16 jam perhari, dengan 24 jam lebih baik. Modalitas ini dapat
menghilangkan gejala-gejala klien dan memperbaiki kualitas hidup
klien.

2.10 Komplikasi
1. Sering mengalami infeksi pada saluran pernafasan
2. Daya tahan tubuh kurang sempurna
3. Tingkat kerusakan paru semakin parah
4. Proses peradangan yang kronis pada saluran nafas
5. Pneumonia

12
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
A. Identitas pasien
Pada tahap ini perlu mengetahui tentang nama, umur, jenis kelamin,
alamat rumah, agama, suku bangsa, status perkawinan, pendidikan
terakhir, nomer registrasi, pekerjaan pasien, dan nama penanggung
jawab.
B. Riwayat kesehatan
1. Keluhan utama : keluhan utama yang sering muncul pada pasien
dengan pasien dengan penyakit emfisema bervariasi, antara lain :
sesak nafas, batuk, dan nyeri di daerah dada sebelah kanan pada saat
bernafas. Banyak secret yang keluar ketika batuk berwarna kuning
kental, merasa cepat lelah ketika melakukan aktivitas.
2. Riwayat penyakit sekarang : pasien dengan penyakit emfisema
biasanya diawali dengan sesak nafas, batuk dan nyeri di daerah dada
sebelah kanan pada saat bernafas, banyak secret keluar ketika batuk,
dan secret bewarna kuning kental, merasa cepat lelah ketika
melakukan aktivitas.
3. Riwayat penyakit dahulu : perlu ditanyakan juga apakah pasien
sebelunya pernah menderita penyakit lain seperti TB paru, asma,
kanker, pneumoni dan lain lain, hal ini perlu diketahui untuk
mengetahui ada tidaknya factor predisposisi.
4. Riwayat penyakit keluarga : perlu ditanyakan apakah ada anggota
keluarga yang menderita penyakit yang sama atau mungkin penyakit-
penyakit yang lain yang mungkin menyebabkan penyakit emfisema.
C. Pemeriksaan Fisik
1. Inspeksi
Pada klien dengan emfisema terlihat adanya peningkatan usaha dan
frekuensi pernafasan serta penggunaan otot bantu nafas. Pada
inspeksi, klien biasanya tampak mempunyai bentuk dada barrel chest
(akibat udara yang terperangkap), penipisan massa otot, dan
pernafasan dengan bibir dirapatkan. Pernafasan abnormal tidak efektif
dan penggunaan otot - otot bantu nafas (sternokleidomastoideus).
Pada tahap lanjut, dipsnea terjadi pada saat aktivitas kehidupan sehari

13
– hari seperti makan dan mandi. Pengkajian batuk produktif dengan
sputum purulen disertai demam mengindikasikan adanya tanda
pertama infeksi pernafasan.
2. Palpasi
Pada palpasi, ekspansi meningkat dan taktil fremitus biasanya
menurun.
3. Perkusi
Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hipersonor sedangkan
diafragma menurun.
4. Auskultasi
Sering didapatkan adanya bunyi napas ronkhi dan wheezing sesuai
tingkat beratnya obstruktif pada bronkhiolus. Pada pengkajian lain,
didapatkan kadar oksigen yang rendah (hipoksemia) dan kadar karbon
dioksida yang tinggi (hiperkapnea) terjadi pada tahap lanjut penyakit.
Pada wakyunya, bahkan gerakan ringan sekali pun seperti
membungkuk untuk mengikat tali sepatu, mengakibatkan dipsnea dan
keletihan (dipsnea eksersional). Paru yang mengalami emfisematosa
tidak berkontraksi saat ekspirasi dan bronkhiolus tidak dikosongkan
secara efektif dari sekresi yang dihasilkannya. Klien rentan terhadap
reaksi inflamasi dan infeksi akibat pengumpulan sekresi ini. Setelah
infeksi terjadi, klien mengalami mengi yang berkepanjangan saat
ekspirasi. Anoreksia, penurunan berat badan, dan kelemahan
merupakan hal yang umum terjadi. Vena jugularis mungkin mengalami
distensi selama ekspirasi.

3.2 Diagnosa Keperawatan


1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan peningktan kerja
pernafasan, hipoksia secara refersible/ menetap.
2. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan penurunan nafsu makan.
3. Cemas berhubungan dengan adanya ancaman kematian yang di
banyangkan (ketidakmampuan untuk bernafas).
4. Kurangnya pengetahuan yang berhubungan dengan informasi yang tidak
adekuat proses penyakit dan pengobatan

14
3.3 Intervensi Keperawatan
A. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan peningktan kerja
pernafasan, hipoksia secara refersible/ menetap.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, klien
dapat memperlihatkan hasil dengan :
KH : menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat
dalam rentang normal dan bebas gejala distress pernapasan.
Rencana Keperawatan :
1. Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan. Catat penggunaan otot
aksesori napas bibir ketidakmampuan berbicara atau berbincang.
R : Berguna dalam evaluasi derajat distres pernafasan dan / atau
kronisnya proses penyakit.
2. Tinggikan kepala dan beri posisi yang nyaman pada klien, dorong
napas dalam perlahan atau napas bibir sesuai kebutuhan/toleransi
individu.
R : Pengiriman oksigen dapat diperbaiki dengan posisi duduk tinggi
dan latihan nafas untuk menurunkan kolaps jalan nafas, dispnea.
3. Kaji dan observasi kulit dan warna membran mukosa secara berkala.
R : Sianosis perifer (pada kuku) atau sentral (pada bibir, daun telinga).
Keabu-abuan dan sianosis sentral mengindikasikan beratnya
hipoksemia.
4. Lakukan postural draignase; suction bila diindikasikan
R : Kental, tebal, dan banyaknya sekret adalah sumber utama
gangguan pertukaran gas. Penghisapan dilakukan bila batuk tidak
efektif.
5. Auskultasi bunyi nafas, catat area penurunan aliran udara dan atau
bunyi tambahan
R : Bunyi nafas mungkin redup karena penurunan aliran udara atau
konsolidasi. Adanya mengi mengindikasikan adanya spasme bronkus.
Krekels basah menunjukkan cairan pada intestitial / dekompensasi
jantung

15
B. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan penurunan nafsu makan.
Tujuan : dalam waktu 1 x 24 jam diharapkan pasien menunjukkan
peningkatan betar badan menuju tujuan yang tepat
KH : menunjukkan perilaku /perubahan pola hidup untuk meningkatkan
dan mempertahankan berat badan yang tepat.
Rencana Keperawatan :
1. Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat kesulitan
makan. Evaluasi BB dan ukuran tubuh.
R : pasien distress pernafasan akut sering anoreksia karena dispnea
produksi sputum dan obat, selain itu banyak pasien ini yang
mempunyai kebiasaan makan buruk.
2. Auskultasi bunyi usus
R : penurunan/hipoaktif bising usus menunjukkan penurunan motilitas
gaster dan konstipasi (komplikasi umum) yang berhubungan dengan
pembatasan pemasukan cairan, pilihan makanan buruk, penurunan
aktivitas, dan hipoksemia.
3. Berikan perawatan oral sering, buang secret, berikan wadah khusus
untuk sekali pakai dan tisu.
R : rasa tak enak, baud an penampilan adalah pencegah utama
terhadap nafsu makan dan dapat membuat mual dan muntah dengan
peningkatan kesuitan nafas
4. Hindari makanan yang sangat panas atau sangat dingin
R : suhu ekstrim dapat mencetuskan / meningkatkan spasme batuk.
5. Konsultasi ahli gizi / nutrisi pendukung tim untuk memberikan
makanan yang mudah cerna dan secara nutrisi seimbang.
R : metode makanan dan kebutuhan kalori didasarka pada situasi /
kebutuhan individu untuk memberikan nutrisi maksimal dengan upaya
minimal pasien/ pengunaan energy.
C. Cemas berhubungan dengan adanya ancaman kematian yang di
banyangkan (ketidakmampuan untuk bernafas)
Tujuan : dalam waktu 2 x 24 jam diharapkan pasien menunjukkan dan
menyatakan kesadaran terhadap ansietas dan cara sehat untuk
mengatasinya.

16
KH: Mengakui dan mendiskusikan takut.Tampak rileks dan melaporkan
ansietas menurun sampai tingkat dapat ditangani
Menunjukkan pemecahan masalah dan penggunaan sumber efektif.
Rencana Keperawatan :
1. Observasi peningkatan kegagalan pernapasan, gelisah, emosi labil.
R: memburuknya hipoksemia dapat menyebabkan atau meningkatkan
asietas
2. Pertahankan lingkungan tenang, jadwalkan perawatan dan prosedur
untuk memberikan periode istirahat tak terganggu
R: menurunkan ansietas dengan meningkatkan relaksasi dan
penghematan energy
3. Dorong pasien untuk mengakui dan meyatakan perasaan
R: langkah awal dalam mengatasi perasaan cemas adalah terhadap
identifikasi dan ekspresi. Mendorong penerimaan situasi dan
kemampuan diri untuk mengatasi.
4. Bantu orang terdekat untuk berespon positif pada pasien atau situasi
R: meningkatkan penurunan ansietas melihat orang lain tetap tenang.
Karena ansietas dapat menular, bila orang terdekat memperlihatkan
ansietas mereka, kemampuan koping pasien dapat dengan mudah
dipengaruhi.
D. Kurangnya pengetahuan yang berhubungan dengan informasi yang tidak
adekuat proses penyakit dan pengobatan
Tujuan : dalam waktu 2 x 24 jam diharapkan pasien menyatakan
pemahaman kondisi/proses penyakit dan tindakan
KH : mengidentifikasi hubungan tanda/gejala yang ada dari proses
penyakit dan menghubungkan dengan factor penyebab.
Rencana Keperawatan :
1. Jelaskan/kuatkan penjelasan proses penyakit individu dorong
pasien/orang terdekat untuk menanyakan pertanyaan.
R: menurunkan ansietas dan dapat menimbulkan perbaikan
partisipasi perbaikan pada rencana pengobatan.
2. Kaji efek bahaya merokok dan nasehatkan menghentikan rokok pada
pasien atau orang terdekat
R : penghentian merokok dapat memperlambat atau menghambat
kemajuan emfisema.

17
3. Berikan informasi tentang pembatasan aktifitas pilihan dengan
periode istirahat untuk mencegah kelemahan.
R : mempunyai kemampuan ini dapat memampukan pasien untuk
membuat pilihan atau keputusan informasi untuk menurunkan
dispnea, memaksimalkan tingkat aktivitas, melakukan aktivitas yang
diinginkan, dan mencegah komplikasi.
4. Diskusikan pentingnya mengikuti perawatan medic, foto dada
periodic, dan kultur sputum.
R : pengawasan proses penyakit untuk membuat progam terapi untuk
memenuhi perubahan kebutuhan dan dapat membantu mencegah
komplikasi.

18
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat kami ambil dari penjelasan isi makalah diatas
sebagai berikut :
1. Emfisema adalah penyakit paru kronis yang dicirikan oleh kerusakan
pada jaringan paru, sehingga paru kehilangan keelastisitasannya. Gejala
utamanya adalah penyempitan (obstruksi) saluran nafas, Karena kantung
udara di paru menggelembung secara berlebihan dan mengalami
kerusakan yang luas.
2. Terdapat 3 (tiga) jenis emfisema utama yang di klasifiksikan bedasarkan
perubahan yang terjadi dalam paru-paru :
a. PLE (panlobular emfisema atau panacinar)
b. CLE (sentrilobular emfisema/sentroacina)
c. Emfisema parasektal
3. Asuhan keperawatan pada penderita emfisema secara garis besar adalah
membantu menjaga keseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen
klien.

4.2 Saran
Sebagai perawat diharapkan mampu untuk melakukan asuhan
keperawatan terhadap penderita emfisema. Perawat juga harus mampu
berperan sebagai pendidik. Dalam hal ini melakukan penyuluhan mengenai
pentingnya hal-hal yang dapat memperberat penyakit, hal-hal yang harus
dihindarkan dan bagaimana cara pengobatan yang baik.

19
DAFTAR PUSTAKA
Somantri, irman. 2007. Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan Sistem
Pernapasan Jilid 2. Jakarta : Salemba Medika.
Tamsuri, anas. 2008. Seri Asuhan Keperawatan : Klien Gangguan Pernapasan.
Jakarta : ECG
Stephen, William J. 2002. Patofisiologi Penyakit : Pengantar menuju Kedokteran
Klinis. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran : EGC
Marilyn E. Doenges. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk
perencanaan dan Pendokumentasian perawatan Pasien. Jakarta : EGC

20

Anda mungkin juga menyukai