Anda di halaman 1dari 16

Clinical Science Session (CSS)

*Pendidikan Profesi Dokter/ G1A215084/ September 2016


**Pembimbing/ dr. Anung Sari Anandita, Sp.S

MIASTHENIA GRAVIS
By : Milind J. Kothari, DO

Oleh :
Rahmi Nindya Sari S. Ked
NIM G1A215084

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU PENYAKIT NEUROLOGI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RADEN MATTAHER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2016
LEMBAR PENGESAHAN

CLINICAL SCIENCE SESSION (CSS)

MIASTHENIA GRAVIS
By : Milind J. Kothari, DO

Disusun Oleh :
Rahmi Nindya Sari S. Ked
NIM G1A215084

Program Pendidikan Profesi Dokter


Bagian Ilmu Penyakit Neurologi
Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher
Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan
Universitas Jambi
2016

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan


Pada: Jambi, September 2016

Pembimbing

dr. dr. Anung Sari Anandita, Sp.S


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Clinical Science Session ini sebagai kelengkapan persyaratan dalam mengikuti
Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Penyakit neurologi di Rumah Sakit
Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Anung Sari Anandita, Sp.S
yang telah meluangkan waktu dan pikirannya sebagai pembimbing sehingga
penulis dapat menyelesaikan laporan ini.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat
diharapkan. Selanjutnya, penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat
dan menambah ilmu bagi para pembaca.

Jambi, September 2016

Rahmi Nindya Sari, S. Ked


MIASTENIA GRAVIS
Milind J. Kothari, DO

Miastenia gravis (MG) adalah kelainan neuromuskuler kronis yang dapat


menimbulkan derajat disfungsi neurologis yang berbeda. Keluhan awal pasien
dapat menimbulkan suatu dilema diagnostik pada dokter keluarga yang tidak
familiar dengan metode pemeriksaan untuk pengobatan dan perawatan pasien
dengan MG. Penulis berfokus pada gambaran klinis, uji elektrodiagnostik,
penatalaksanaan pasien dengan MG.

Miastenia gravis (MG) merupakan kelainan autoimun yang mempengaruhi


neuromuscular junction (NMJ) di tingkat post-sinaptik. Walaupun penyebab kelainan
ini tidak diketahui, peran respon imun (sirkulasi antibodi langsung melawan reseptor
asetilkolin) dalam patogenesis kelainan ini telah diketahui dengan baik. Kelainan ini
dicirikan dengan kelemahan fluktuatif, kelemahan fatig di bawah kontrol voluntir.
Beberapa pasien mungkin hanya memiliki gejala-gejala terlambat di hari tersebut atau
setelah usaha fisik (misalnya latihan). Karena kelainan ini sangat mungkin untuk di
obati, pengenalan cepat merupakan hal yang krusial. Selama dekade sebelumnya,
kemajuan signifikan telah dibuat berdasarkan pemahaman kami terhadap penyakit ini,
sehingga modalitas pengobatan baru dan reduksi signifikan dalam morbiditas dan
mortalitas. Dengan intervensi cepat, secara keseluruhan kualitas hidup pasien juga
membaik.

Fisiologi Transmisi Neuromuskuler


NMJ terdiri dari saraf terminal, sinaptik cleft, dan lipatan posjunctional yang tersusun
baik di membran otot. Saraf terminal adalah tempat sintesis dan penyimpanan
neurotransmiter asetilkolin, yang dilepas di kuantum yang berbeda. Kuantum ini terletak
di tiga tempat berbeda : primer, sekunder, dan tersier. Ketika aksi potensial saraf
mendepolarisasi presinaptik terminal, voltage-dependent calcium channel teraktivasi,
menyebabkan influx kalsium sehingga melepaskan asetilkolin dari presinaptik terminal.
Asetilkolin berdifusi menyebrangi celah sinap dan berikatan ke reseptor asetilkolin
(AchR) di membran pos-sinaptik, menghasilkan suatu end-plate potential (EPP).
Dalam kondisi normal, EPP selalu meningkat di atas batas bawah, sehingga
menghasilkan aksi potensial serat otot. Amplitudo EPP di atas normal perlu untuk
mengatur aksi potensial serat otot yang disebut faktor keamanan. Untuk pasien yang
memiliki kelainan transmisi neuromuskuler, faktor keamanan berkurang.
Selama stimulasi saraf berulang (RNS), semua pengukuran dilakukan pada aksi
potensial kumpulan serat otot, jumlah aksi potensial serat otot individu yang di hasilkan
di otot. Untuk pasien dengan kelainan NMJ, RNS akan menyebabkan deplesi kuantum
dan penurunan amplitudo EPP. Dengan penurunan faktor keamanan, EPP dari beberapa
serat otot akan menurun di bawah level normal dan suatu aksi potensial tidak akan
dihasilkan. Reduksi aksi potensial ini dihitung selama penurunan respons ketika
dilakukan penelitian RNS di laboratorium neurofisiologi.

Etiologi
Patofisiologi MG saat ini dipahami dengan baik. Kondisi ini disebabkan oleh sensitisasi
sel T-helper dan antibodi Imunoglobulin G (IgG)- menyerang langsung pada reseptor
nicotinic asetilkolin NMJ. Beberapa studi eksperimental mendukung hipotesis ini :
 Antibodi reseptor asetilkolin timbul pada kebanyakan pasien dengan MG;
 Antibodi reseptor asertilkolin dapat di transfer secara pasif ke hewan memproduksi
autoimun eksperimental MG;
 Penghilangan antibodi reseptor asetilkolin menghasilkan pemulihan.
 Hewan yang diimun dengan reseptor asetilkolin mulai memproduksi antibodi
reseptor asetilkoling, yang dapat memprovokasi penyakit autoimun (misalnya
eksperimantal autoimun MG) yang sangat menyerupai penyakit yang alami.

Epidemiologi
Prevalensi MG di Amerika Serikat adalah sebesar 14,2 kasus per 1 juta orang.
Walaupun MG dapat terjadi pada semua umur, kelainan ini memiliki onset usia
bimodal. Pada wanita-wanita, onset ini biasanya terjadi di antara 20 – 40 tahun; pada
laki-laki, onset ini biasanya diantara usia 40 – 60 tahun. Kejadian famial MG jarang
terjadi, walaupun derajat pertama relatif memiliki insiden yang lebih tinggi penyakit
autoimun lainnya.
Gambaran Klinis
Walaupun gejala awal MG biasanya melibatkan otot-otot mata pada hampir 60% pasien,
secara virtual semua pasien akan memiliki keterlibatan okuler selama 2 tahun onset
penyakit.
Ptosis, yang sangat umum dan dapat terjadi ketika pasien diperiksa atau selama
periode lama kejadian, dapat terjadi unilateral atau bilateral. Kelemahan otot-otot
ekstraokuler mungkin juga terjadi secara asimetris.
Pasien dengan diplopia ringan mungkin awalnya memerlukan bantuan suatu
optometri, permintaan kaca mata atau perubahan pada resep lensa untuk mengoreksi
masalah ini. Diplopia biasanya bermanifestasi ketika pasien memiliki konvergensi atau
pandangan ke arah atas.
Kelemahan miastenia gravis mungkin menyerupai palsi saraf kranial ketiga,
keempat, dan keenam serta oftalmoplegia internuklear. Tidak seperti palsi saraf kranial
ketiga, MG tidak pernah mempengaruhi fungsi pupil.
Kesulitan mengunyah, berbicara, atau menelan juga dapat menjadi penyebab
untuk presentasi awal, tetapi kejadian gejala-gejala ini jarang terjadi dibandingkan
gejala okuler yang disebutkan di atas. Beberapa pasien mungkin memiliki fagitibilitas
dan kelemahan selama mastikasi, tidak memungkinkan untuk menjaga rahang tertutup
setelah mengunyah. miastenia speech biasanya mengeluarkan suara hidung ( dari
kelemahan palatum mole) dan menyatu (dari kelemahan lidah, bibir dan wajah),
meskipun tidak terdapat kesulitan untuk berbicara dengan lancar.
Pasien juga mungkin mengeluhkan kelelahan dan kelemahan fluktuatif.
Kelemahan memburuk setelah aktivitas dan biasanya membaik dengan istirahat.
Pembedaan gambaran klinis MG merupakan fagitibilitas patologi. Pada penyakit ringan,
kelemahan fleksor leher mungkin hanya menjadi temuan saja. Secara umum, kelemahan
ekstremitas atas lebih sering dibandingkan kelemahan pada ekstremitas bawah. Pasien
mungkin mengeluhkan kesulitan ketika menggapai dengan menggunakan lengannya,
berdiri dari kursi, atau menaiki dan menuruni tangga. Poin kunci untuk diingat adalah
jika seorang pasien mengalami kelemahan ekstremitas tanpa keterlibatan okuler,
diagnosis MG sebaiknya dipertanyakan. Karena kelainan ini terbatas pada NMJ, tidak
ada abnormalitas kognisi, fungsi sensori, atau fungsi otonom. Selanjutnya, bukanlah
sesuatu yang tidak umum bagi seorang pasien dengan MG menunjukkan gejala depresi.
Oleh karena itu, pemeriksaan pasien dengan MG di arahkan pada kekuatan otot
dan gambaran kelemahan patologis. Sedikit manuver yang dapat digunakan pada pasien
yang dilakukan selama beberapa menit (pemeriksaan ptosis atau kelemahan ekstra
okuler), menghitung kebisingan hingga 100 (mendengar suara hidung atau sengau),
atau dengan pengujian berulang otot proksimal. Hasil ini dicari mengingat pemeriksaan
neurologis yang biasanya normal.

Diagnosis Banding
Sebelum mendiagnosis MG,
hal ini diperlukan untuk
mengekslusi kondisi lain yang
mungkin menampilkan
gambaran yang mirip.
Penyakit tiroid merupakan
kelainan yang biasanya
terlibat. Selain itu, pasien
dengan MG mungkin
memiliki kelainan autoimun
lainnya. Bentuk lain kelainan
NMJ yang perlu
dipertimbangkan adalah
miopati didapat, tiroid
oftalmopati, dan kelainan
neuropati kranial lainnya. Tabel 1 merangkum kondisi yang sebaiknya disingkirkan
sebelum mendiagnosis MG.
Pada beberapa pasien, MG mungkin di induksi dengan obat yang tepat, termasuk
beberpa obat aritmia, D-penicillamnine, dan antimalaria. Selain itu, beberapa kelas obat
dapat menimbulkan perburukan gejala yang timbul pada pasien dengan MG (tabel 2).

Uji Diagnostik
Teknik pemeriksaan cepat untuk mendiagnosis MG adalah uji es. Untuk pasien dengan
ptosis, sebongkah kecil es diletakkan di atas kelopak mata selama kurang lebih 2 menit.
Perbaikan ptosis setelah dilakukan prosedur ini menunjukkan suatu kelainan transmisi
neuromuskuler.

Studi Laboratorium
Studi khsusus sebaiknya dilakukan untuk menyingkirkan kelainan lain yang merupakan
diagnosis banding. Dokter yang mencurigai pasien mereka menderita MG harus
melakukan pemeriksaan laboratorium yang terdaftar di gambar 1.
Uji yang paling sensitif dan
spesifik untuk MG adalah ditemukannya
antibodi reseptor asetilkolin (AchR-Ab).
tidak semua pasien yang menderita MG
memiliki titer AchR-Ab yang positif.
Namun, hasil positif palsu dapat terjadi
namun jarang. Sedangkan 45%-65%
pasien dengan MG okuler memiliki
antibodi positif, sekitar 90% pasien
dengan MG general memiliki anti bodi
positif. Poin penting ketika mereview
hasil pemeriksaan pasien adalah
mencatat bahwa derajat positif untuk
hasil uji tidak berhubungan dengan
parahnya penyakit.
Tiga studi laboratorium tersedia secara komersil dan dapat digunakan ketika uji
memeriksa adanya AchR-Ab (misalnya binding, modulating, dan blocking). Ikatan
antibodi merupakan skrining awal yang paling sering dipelajari. Pasien dengan penyakit
yang sangat ringan, atau mereka yang berada pada stadium dini, mungkin memiliki
seronegatif. Modulasi antibodi reseptor asetilkolin dideteksi menggunakan kultur sel
manusia. Studi laboratorium ini sebaiknya dilakukan untuk pasien yang memiliki uji
negatif untuk ikatan antibodi.
Pemeriksaan blok antibodi, yang menggunakan bungarotoxin, jarang diberikan.
Uji untuk antibodi otot striata mungkin bisa berguna pada MG onset lambat untuk
menyingkirkan kemungkinan suatu timoma.
Uji komersial yang saat ini tersedia adalah muscle-specific receptor tyrosine
kinase (MuSK). Pemeriksaan ini sangat berguna ketika memeriksa pasien yang
menderita MG tetapi memilik AchR-Ab yang negatif.

Studi Radiografi
Sekitar 20% pasien dengan MG memiliki adanya timoma, sedangkan 70% memiliki
hiperplasia timus. Untuk menyingkirkan abnormalitas ini, semua pasien dengan MG
sebaiknya menjalani pemeriksaan CT scan dada dengan kontras. Radiografi dada rutin
mungkin dilakukan tetapi sebaiknya tidak dilakukan di tempat CT scan dada.

Studi Farmakologi
Edrophonium chloride (Tensilon) merupakan asetilkolin esterase inhibitor kerja singkat.
Selama uji ini, pasien sebaiknya dipantau menggunakan monitor jantung. Selain itu,
atropin harus tersedia di sisi pasien ketika terjadi bradikardia. Total 10 mg
erdhrophonium dapat digunakan. Uji dosis kecil (2mg) di injeksi secara intravena dan
jika setelah 1 menit, tidak terdapat perbaikan kekuatan, dosis tambahan harus diberikan
secara lambat. Efek edrophonium biasanya kurang dari 10 menit.
Untuk hasil tes yang positif, harus ada perbaikan kekuatan yang tegas (seperti
ptosis yang membaik). Pasien mungkin mengalami efek samping kolinergik seperti
peningkatan salivasi, air mata, fasikulasi otot, atau kram abdomen. Jika pasien
melaporkan perbaikan subjektif terhadap kekuatan atau suatu reduksi kelelahan, hasil
tes sebaiknya tidak di anggap positif. Beberapa diagnosis prematur sering menimbulkan
konsultasi neuromuskuler yang tidak diperlukan.

Studi Elektrodiagnostik
Evaluasi elektrodiagnostik dari MG
meliputi uji konduksi saraf rutin, repetitive
nerve stimulation, uji latih, dan pada
instansi tertentu, dilakukan single-fiber
electromyelogram (EMG). Sebagai aturan
umum, hasil tes bernilai normal untuk
pasien dengan MG ketika dilakukan studi
konduksi saraf rutin. Jika hasil tersebut
abnormal, dokter sebaiknya
mempertanyakan diagnosis MG. kemudian,
setelah RNS selesai; hasil tersebut
seharusnya menunjukkan penurunan besar
dari 10% untuk dapat dianggap sebagai
hasil positif (gambar 2). Hasil test ini
meningkat jika saraf proksimal distimulasi
(misalnya spinal accesory, facial), suhu
ekstremitas ditingkatkan, atau tes ini
dilakukan setelah latuhan otot yang tepat.
Uji latih sebaiknya dilakukan dengan
semua studi RNS karena penurunan sering
kali meningkatkan latihan berikutnya
(Gambar 2).
EMG serat tunggal digunakan untuk mengukur pembakaran serat saraf yang
berdekatan dari unit motor yang sama. Variasi pembakaran antara serat saraf ini disebut
jitter. Untuk pasien dengan MG, peningkatan jitter akan terlihat. Walaupun EMG serat
tunggal merupakan tes yang paling sensitif untuk menggambarkan transmisi
neuromuskuler (>95%), tes ini tidak lah spesifik; hasil ini mungkin sanya menjadi
abnormal pada beberapa kelainan neuropati atau miopati. Poin penting adalah studi
elektrofisiologi sebaiknya selalu di interpretasikan dalam konteks klinis.

Penatalaksanaan
Tidak terdapat protokol yang jelas untuk penatalaksanaan pasien yang menderita MG.
Dokter perlu menentukan kapan
manajemen agresif harus dilakukan.
Secara umum, tingkat perjalanan
penyakit dan distribusi kelemahan
serta tingkat keparahan merupakan
pertimbangan yang paling penting
ketika mengembangkan rencana
pengobatan. Faktor lain yang mungkin
mempengaruhi penatalaksanaan
jangka panjang adalah usia, jenis
kelamin, dan ada atau tidak adanya
penyakit sistemik lain.
Tujuan terapi adalah untuk
mencapai remisi, yang membebaskan
pasien dari gejala dan tidak
memerlukan terapi maintenance. Secara umum, kebanyakan pasien menjadi bebas dari
gejala, tetapi mereka perlu untuk tetap meminum obat imunosupresif dalam dosis
rendah. Tabel 3 merangkum sedian obat oral yang digunakan dalam mengobati pasien
MG.

Acetylcolinesterase Inhibitors
Kelas obat ini masih menjadi terapi lini pertama pada pasien simtomatis. Obat yang
paling sering digunakan adalah pyridostigmin bromide. Acetylcolinesterase Inhibitors
secara efektif meningkatkan jumlah neurotransmitter (misalnya asetilkolin) yang ada di
NMJ. Dosis optimal pyridostigmine yang berbeda dari pasien ke pasien. Secara umum,
pasien di mulao pada dosis 30 mg (setengah tablet) setiap 4 – 6 jam saat bangun tidur
dan dosis di titrasi bergantung pada gejala klinis dan toleransi pasien.
Pyridostigmin memiliki waktu paruh sekitar 3 – 6 jam. Kemungkinan efek
samping kelebihan kolinergik ini berupa : kram abdomen, peningkatan salivasi, dan
diare. Jika pasien menerima obat ini terlalu banyak, peningkatan kelemahan mungkin
saja terjadi (misalnya krisis kolinergik).
Ketika pasien mengalami masalah selama tidur atau bangun dengan kelemahan
atau ptosis, namun pyridostigmine bromid kerja panjang tidak direkomendasikan untuk
digunakan sepanjang hari. Neostigmin memiliki kerja pendek tetapi efek yang lebih
panjang. Obat ini dapat diberikan secara oral, parenteral, atau bahkan intranasal.

Terapi imunosupresif
Karena MG adalah suatu kondisi autoimun, arus utama pengobatan meliputi
penyerangan sistem imun tersebut. Agen imunosupresif yang lebih sering digunakan
terdaftar di tabel 3. Ketika menggunakan beberapa agen ini, pemantauan hati-hati hitung
darah lengkap (CDC), elektrolit, dan profil liver dan renal merupakan hal yang esensial.
Dosis yang mungkin dibutuhkan untuk disesuaikan tergantung pada hitung sel darah
putih pasien.
 Terapi steroid—sebagai aturan umum, kebanyakan pasien dengan MG
memerlukan terapi steroid pada saat tertentu selama pengobatan. Steroid mungkin
berpotensi menurunkan titer AchR-Ab pada pasien dengan MG.
Dosis tipikal prednison adalah 1 mg per kg berat badan, diberikan sebagai
dosis tunggal oral. Hal ini merupakan sesuatu yang penting untuk memulai pemberian
prednison dosis rendah dan secara bertahap dititrasi. Pasien mungkin mengalami
perburukan gejala MG yang sementara selama minggu pertama, ke 2 sampai ke 3 terapi
prednison. pasien harus diperingatkan potensi efek samping pada stadium awal terapi
dan meyakinkan mereka akan mendapatkan manfaat dalam 6 sampai 8 minggu setelah
terapi dimulai.
Obat ini biasanya dimulai pada dosis 5 mg perhari dan dapat ditingkatkan 5 mg
setiap 4 – 7 hari hingga manfaat klinis di capai atau 1 mg per kilogram berat badan
tercapai. Sekali dosis terapi tercapai, pasien harus mempertahankan dosis ini selama 2
ulan. Kemudian regimenuntuk mengganti terapi alternatif harus diberikan. Sekali
kondisi pasien stabil, dosis dapat secara perlahan di turunkan. Secara umum, dosis ini
sebaiknya diturunkan sebesar 5 mg tiap bulan. Bukan lah sesuatu yang tidak biasa bagi
pasien untuk mengalami relaps setelah steroid di turunkan – bahaya lain yang sebaiknya
diperingatkan pada mereka dalam mengubah dosis. Kebanyakan pasien yang menderita
MG umumnya memerlukan prednison dosis rendah jangka panjang untuk
mempertahankan remisi gejala.
pasien juga harus diinformasikan terlebih dahulu mengenai efek samping
lainnya yang tidak berhubungan dengan gejala MG yang di deritanya : akne, memar
(terjadi dengan mudah dan sulit dalam proses penyembuhan), katarak,
ketidakseimbangan elektrolit, hirsutisme, hiperglikemia, hipertensi, nekrosis kaput
femoral, dan steroid induced miopati. Pasien yang menderita DM tipe 2 yang
menggunakan terapi oral MG, mungkin memerlukan terapi insulin untuk mengobati
gejala diabetes selama periode ini. Tindakan pencegahan yang tepat harus dilakukan
untuk menghindari efek samping tersebut.
 Azathioprine—obat yang saat ini paling sering digunakan untuk mengobati pasien
dengan MG adalah azathioprine. Obat ini memberikan penurunan dosis steroid dan
penurunan beberapa efek samping terapi steroid. Umumnya, pasien tidak akan
mengdapatkan manfaat klinis dari azathioprine selama 4 – 6 bulan dan beberapa
lebih lama.
Dosis permulaan azathioprine adalah 50 mg per hari selama minggu pertama
(dosis uji), dan kemudian dosis ini dititrasi naik hingga maksimum 2 mg sampai 3 mg
per kilogram berat badan perhari dalam dua hingga tiga dosis terbagi.
Efek samping yang paling sering adalah neutropenia dan abnormalitas fungsi
hati. Ole karena itu, hasil dari hitung darah lengkap reguler dan uji profil hati sebaiknya
dilakukan secara rutin selama pasien menerima terapi azathioprine.
Suatu reaksi hipersensitivitas akut dapat terjadi saat pemberian awal obat ini,
namun jarang terjadi. Oleh karena itu, dosis tes umumnya digunakan selama minggu
pertama pengobatan. Walaupun efek jangka panjang azathiprine tidak diketahui dengan
baik, beberapa perhatian telah ditingkatkan berkenaan dengan peningkatan risiko
malignansi.

 Cyclosporine – imunosupresan kuat yang menghambat aktivasi Sel-T


adalah cyclosporine. Obat ini biasanya diberikan untuk pasien yang gagal
memberikan respons terhadap terapi kombinasi dengan prednisone dan azathiprine
dan mereka yang tidak toleran terhadap azathioprine.
Dosis permulaan standar untuk cyclosporine adalah 25 mg dua kali perhari dan
dititrasi naik hingga maksimum sekitar 3 mg hingga 6 mg perkilogram berat badan.
Namun, terapi imunosupresif seharusnya selalu disesuaikan sesuai individu pasien;
terapi kombinasi sering kali memiliki efikasi yang lebih (misalnya memungkinkan
penurunan dosis dan efek samping yang sedikit) kemudian dilanjutkan dengan
monoterapi.
Selama pasien menerima pengobatan ini, kadar cyclosporine dalam darah
mereka harus di periksa secara periodik. Efek samping yang paling penting adalah
terjadinya nefrotoksik dan hipertensi.
 Cyclophosphamide – secara umum, cyclophosphamide hanya digunakan ketika
obat lainnya gagal atau tidak ditoleransi dengan baik oleh pasien. Terapi
Cyclophosphamide dapat dimulai pada dosis 25 mg perhari dan secara bertahap
dinaikkan hingga maksimum sekitar 2 mg – 5 mg per kilogram berat badan per hari.
Terjadi peningkatan insiden sistitis hemoragika yang berkaitan dengan
penggunaan obat ini pada beberapa pasien.
 Mycophenlate Mofetil – merupakan agen imunosupresan novel untuk pengobatan
MG yang telah tersedia yang menunjukkan manfaat dalam pengobatan transplantasi.
Penelitan open label terbaru pada pasien dengan MG menunjukkan medikasi ini
memberikan manfaat yang signifikan.
Dosis standar harian untuk medikasi ini adalah 1 g sampai 2 g. Pasien dapat
mulai menggunakan obat ini dengan dosis awal 250mg dua kali sehari, dan dosis ini
dapat dinaukkan bila diperlukan. Ketika memulai penggunaan obat ini, hitung darah
lengkap pasien harus di periksa setiap minggu selama bulan pertama pengobatan, setiap
2 minggu selama 6 – 8 minggu berikutnya, dan setiap bulan untuk selanjutnya.
Saat ini, obat ini dipertimbangkan sebagai modalitas pengobatan alternatif untuk
pasien yang memiliki MG yang berat. Medikasi ini sebaiknya juga di pertimbangkan
untuk digunakan sebagai pengobatan ketika obat imunosupresif gagal.

Plasmafaresis
Pertukaran plasma, atau plasmafaresis, merupakan terapi yang efektif tetapi memiliki
efek sementara. Teknik ini khususnya digunakan ketika mengobati pasien yang
mengalami krisis miastenik atau mereka yang berada dalam persiapan operasi.
Tujuan intervensi terapi ini adalah untuk menghilangkan sirkulasi kompleks
imun dan AchR-Ab. Pasien biasanya menghabiskan waktu 2 minggu selama 5 – 6
pertukaran.
Risiko yang ada pada pengobatan ini berupa ketidakseimbangan cairan dan
hiperkoagulasi. Namun, masalah yang lebih sering dialam pasien adalah kesulitan yang
meningkat yang merupakan hasil dari penggunaan prosedur akses vaskuler.

Terapi Immunoglobulin Intravena


Pemberian immunoglobulin intravena (IVIG) memberikan mode terapi alternatif bagi
plasmafaresis. Prosedur ini khususnya membantu ketika terdapat masalah dalam
memperoleh akses vena.
Mekanisme aksi terapi IVIG yang sebenarnya pada MG belum diketahui dengan
baik, beberapa pilihan telah dipaparkan. Immunoglobulin intravena diberikan dengan
dosis 2 g per kilogram berat badan selama 2 – 5 hari.
Terapi immunoglobulin intravena merupakan metode pengobatan yang relatif
aman dan memiliki sedikit efek samping, seperti nyeri kepala, kedinginan, dan deam
yang dilaporkan terjadi pada beberapa pasien. Biasanya, premedikasi dengan
acetaminopen dan diphenhydramine mengurangi gejala ini. Efek samping lain yang
jarang berupa meningitis aseptik dan gagal ginjal.

Intervensi Bedah
Terdapat persetujuan umum bahwa timektomi seharusnya dilakukan pada pasien dengan
MG hanya jika pasien tersebut stabil secara medikasi dan berusia 60 tahun atau lebih
muda. Jika pasien memiliki timoma, hal ini benar-benar harus diangkat.
Terdapat beberapa kontroversi mengenai apakah pendekatan bedah lebih baik.
Secara umum, sternotomi median dilakukan dan memberikan paparan yang maksimal
untuk memastikan semua jaringan timus terangkat pada saat pembedahan.
Perbaikan klinis biasanya tertunda selama 6 bulan hingga 1 tahun setelah
pembedahan.
Krisis Miastenik
Kadang-kadang presenstasi awal pasien dengan MG dapat terjadi ketika pasien berada
dalam krisis miastenik. Secara alternatif, pasien dengan MG diketahui dapat mengalami
suatu krisis.
Krisis miastenik di definisikan sebagai perburukan mendadak fungsi respirasi
dan atau tanpa kelemahan otot. Pengenalan dan pengobatan krisi miastenik merupakan
emergensi neurologi. Dengan pengenalan dini, terapi yang efektif, dan perawatan ruang
intensif yang modern, mortalitas yang berasal dari krisi ini sekarang jarang terjadi.
Krisis dapat terjadi sebagai akibat dari beberapa penyebab, meliputi conccuren
infeksi atau penambahan obat baru yang diketahui dapat mengeksaserbasi MG atau
perburakn gejala (lihat Tabel 2).
Seringkali, respon terhadap perburukan kelemahan, pasien memutuskan untuk
menggunakan asetil kolinesterasi inhibitor yang lebih progresif tanpa berkonsultasi
dengan dokter mereka, tidak mengetahui bahwa penggunaan berlebihan obat ini dapat
meningkatkan kelemahan otot mereke (krisis kolinergik). Jika kondisi ini tidak dikenali
secara dini, pasien biasanya mengalami kolaps pernapasan atau aspirasi akibat
peningkatan kelemahan bulbar.
Pasien dengan krisi miastenik atau kolinergik harus diobati secara agresif.
Namun, sering kali sulit untuk membedakan krisis kolinergik dari krisis miastenik.
Pasien disarankan dilakukan uji edrophonium untuk membedakan antara dua
tipe krisis ini. Dengan kata lain, jika terdapat perburukan gejala setelah uji edrophonium
dilakukan, diagnosis krisis kolinergik harus ditegakkan; jika terdapat perbaukan, harus
ditegakkan diagnosis krisis miastenik. Namun, merupakan hal yang sulit untuk
melakukan uji ini pada pasien yang berada dalam distres akut. Sebagai aturan umum,
pengobatan segera untuk dua kondisi yang lebih buruk ini adalah krisis miastenik.

Komentar
Tujuan dari artikel ini adalah untuk menyediakan penertian yang lebih baik mengenai
MG bagi dokter keluarga. Pemahaman ini harusn memberikan interaksi yang lebih baik
antara dokter dengan konsultan neurologi. Dokter keluarga sebaiknya memegang
peranan aktif dalam mendiagnosis dan penatalaksanaan pasien dengan MG.

Anda mungkin juga menyukai