Anda di halaman 1dari 58

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diabetes Melitus (DM) adalah penyakit kronis, yang terjadi ketika

pankreas tidak menghasilkan insulin atau ketika tubuh tidak dapat secara

efektif menggunakan insulin yang dihasilkan. Hal ini menyebabkan

peningkatan konsentrasi glukosa dalam darah (hiperglikemia). Angka

kejadian DM yang semakin meningkat di beberapa negera berkembang dilatar

belakangi oleh meningkatnya kemakmuran di negara tersebut yang selalu

menjadi sorotan dunia. Pendapatan perkapita yang meningkat dan perubahan

gaya hidup di kota-kota besar juga memiliki peranan penting dalam

peningkatan prevalensi penyakit ini (Dwi A., dkk., 2015).

International Diabetes Federation (IDF) menyebutkan bahwa prevalensi

DM di dunia adalah 1,9% dan telah menjadikan DM sebagai penyebab

kematian urutan ke tujuh di dunia sedangkan tahun 2012 angka kejadian DM

di dunia adalah sebanyak 371 juta jiwa dimana proporsi kejadian DM tipe 2

adalah 95% dari populasi dunia yang menderita DM. Hasil riset Kesehatan

Dasar pada tahun 2008, menunjukkan prevalensi DM di Indonesia membesar

sampai 57% (Restyana N. R., 2015).

Prevalensi DM Tipe 2 pada bangsa kulit putih berkisar 3-6% dari orang

dewasanya. Di Singapura, frekuensi diabetes meningkat cepat dalam 10 tahun

terakhir. Di Amerika Serikat, penderita diabetes meningkat dari 6.536.163

jiwa di tahun 1990 menjadi 20.676.427 jiwa di tahun 2014. Di Indonesia,

1
kekerapan diabetes berkisar antara 1,4%-1,6% kecuali di beberapa tempat

yaitu di Pekajangan 2,3% dan di Manado 6% (Suzana N., 2014).

Tingginya prevalensi Diabetes Melitus Tipe 2 disebabkan oleh faktor isiko

yang tidak dapat berubah misalnya jenis kelamin, umur dan faktor genetik,

yang kedua adalah faktor risiko yang dapat diubah misalnya kebiasaan

merokok, tingkat pendidikan, pekerjaan, aktivitas fisik, konsumsi alkohol,

indeks masa tubuh, lingkar pinggang. Diabetes Melitus disebut dengan silent

killer karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dana

menimbulkan berbagai macam keluhan. Penyakit yang akan ditimbulkan

antara lain gangguan penglihatan mata, katarak, penyakit jantung, sakit ginjal,

impotensi seksual, luka sulit sembuh dan membusuk/gangren, gangguan

pembuluh darah, stroke dan sebagainya (Restyana N. R., 2015). Untuk itu,

dari referat ini akan membahas tentang “Komplikasi Akut dan Kronik

Diabetes Melitus Tipe 2”.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas adalah

“Apa saja komplikasi akut dan kronik dari Diabetes Melitus Tipe 2?”

C. Tujuan

Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui apa saja

komplikasi akut dan kronik dari Diabetes Melitus Tipe 2.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Diabetes Mellitus Tipe 2

Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik

dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi

insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes

berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan

beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh

darah (Dyah P., 2015).

Diabetes Mellitus Tipe 2 merupakan penyakit hiperglikemia akibat

insensivitas sel terhadap insulin. Kadar insulin mungkin sedikit menurun atau

berada dalam rentang normal. Karena insulin tetap dihasilkan oleh sel-sel beta

pankreas, maka diabetes melitus tipe 2 dianggap sebagai non insulin

dependent diabetes mellitus ((Restyana N. R., 2015).

B. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus

1. Diagnosis Diabetes Melitus

PERKENI membagi alur diagnosis DM menjadi dua bagian besar

berdasarkan ada tidaknya gejala khas DM. Gejala khas DM terdiri dari

poliuria, polidipsia, polifagia dan berat badan menurun tanpa sebab yang

jelas, sedangkan gejala tidak khas DM diantaranya lemas, kesemutan, luka

yang sulit sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi (pria) dan pruritus

vulva (wanita). Apabila ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan glukosa

darah abnormal satu kali saja sudah cukup untuk menegakkan diagnosis,

3
namun apabila tidak ditemukan gejala khas DM, maka diperlukan dua kali

pemeriksaan glukosa darah abnormal. Diagnosis DM juga dapat

ditegakkan melalui cara:

Kriteria Diagnosis DM
1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dL (11,1
mmol)
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada
suatu hari tanpa memperhatikan waktu makam terakhir.
2. Atau
Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa >126 mg/dl (7,0 mmol)
Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8
jam.
3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO > 200 mg/dl (11,1 mmol)
TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa
yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke
dalam air.
Tabel 1: Kriteria Diagnosis DM

Cara pelaksanaan TTGO (WHO 1994):

 3 hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari

(dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani

seperti biasa

 Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum

pemeriksaan, minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan

 Diperiksa konsentrasi glukosa darah puasa

 Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa) atau 1,75 gram/kgBB

(anak-anak), dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 5

menit

 Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk

pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai

 Diperiksa glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa

4
 Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan

tidak merokok (Dyah P., 2015).

Hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam pasca pembebanan dibagi menjadi

3 yaitu:

 <140 mg/dl = normal

 140- <200 mg/dl = toleransi glukosa terganggu

 >200 mg/dl = diabetes (Dyah P., 2015).

Pemeriksaan dikerjakan pada semua individu dewasa dengan Indeks

Masa Tubuh (IMT) >25 kg/m2 dengan faktor resiko lain sebagai berikut:

(1) aktivitas fisik kurang, (2) riwayat keluarga mengidap DM pada turunan

pertama (first degree relative), (3) masuk kelompok etnik resiko tinggi

(African American, Latino, Native American, Asian American, Pacific

Islander), (4) Wanita dengan riwayat melahirkan bayi dengan berat >4000

gram atau riwayat Diabetes Melitus Gestasional (DMG), (5) Hipertensi

5
(tekanan darah >140/90 mmHg atau sedang dalam terapi obat anti

hipertensi), (6) Kolesterol HDL <35 mg/dl dan atau trigliserida >250

mg/dl, (7) wanita dengan sindrom polikistik ovarium, (8) riwayat

Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) atau Glukosa darah puasa terganggu

(GDPT), (9) keadaan lain yang berhubungan dengan resistensi insulin

(obesitas, akantosis nigrikans) dan (10) riwayat penyakit kardiovaskular

(Dyah P., 2015).

Pada penapisan dapat dilakukan pemeriksaan glukosa darah puasa atau

sewaktu atau TTGO. Untuk kelompok risiko tinggi yang hasil pemeriksaan

penyaringan negatif, pemeriksaan penyaring ulangan dilakukan tiap tahun,

sedangkan bagi mereka yang berusia >45 tahun tanpa faktor resiko,

pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun atau lebih cepat

tergantung dari klinis masing-masing pasien (Dyah P., 2015).

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan

konsentrasi glukosa darah sewaktu atau konsentrasi glukosa darah puasa,

kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standar

(Dyah P., 2015).

6
7
Kriteria Diagnostik Diabetes Melitus* dan Gangguan Toleransi
Glukosa
1. Konsentrasi glukosa darah sewaktu (plasma vena ≥200
mg/dl)
atau
2. Konsentrasi glukosa darah puasa >126 mg/dl atau
3. Konsentrasi glukosa darah >200 mg/dl pada 2 jam sesudah
beban glukosa 75 mg pada TTGO**
Tabel 2: Kriteria Diagnostik DM dan Gangguan Toleransi Glukosa

*Kriteria diagnostik tersebut harus dikonfirmasi ulang pada hari yang lain,

kecuali untuk keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi

metabolik berat, seperti ketoasidosis, gejala klasik: poliuri, polidipsi,

polifagi dan berat badan menurun cepat.

**Cara diagnosis dengan kriteria ini tidak dipakai rutin di klinik. Untuk

penelitian epidemiologis pada penduduk dianjurkan memakai kriteria

diagnostik kadar glukosa darah puasa dan 2 jam pasca pembebanan untuk

DM Gestasional juga dianjurkan kriteria diagnostik yang sama (Dyah P.,

2015).

2. Klasifikasi Diabetes Melitus

Klasifikasi Diabetes Melitus menurut ADA 2009 adalah:

a. Diabetes Melitus Tipe 1 (destruksi sel beta, umumnya menjurus ke

defisiensi insulin absolut)

a) Melalui proses imunologik

b) Idioptik

b. Diabetes Melitus Tipe 2 (bervariasi mulai yang predominan resistensi

insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang predominan

gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin)

8
c. Diabetes Melitus Tipe Lain

a) Defek genetik fungsi sel beta

 Kromosom 12, HNF-α (dahulu MODY 3)

 Kromosom 7, glukokinase (dahulu MODY 2)

 Kromosom 20, HNF α (dahulu MODY 1)

 Kromosom 13, insulin promoter factor (IPF dahulu MODY 4)

 Kromosom 17, HNF-1β (dahulu MODY 5)

 Kromosom 2, neuro D1 (dahulu MODY 6) DNA mitokondria

b) Defek genetik kerja insulin: resistensi insulin tipe A, leprechaunism,

sindrom Rabson Mendenhall diabetes lipoatroffik

c) Penyakit Eksokrin Pankreas: pankreatitis, trauma/pankreatektomi,

neoplasma, fibrosis kistik hemokromatosis, pankreatopati fibro

kalkulus

d) Endokrinopati: akromegali, sindrom cushing, feokromositoma,

hipertiroidisme somatostatinoma, aldosteronoma

e) Karena obat/zat kimia: vacor, pentamidin, asam nikotinat,

glukokortikoid, hormon tiroid, diazoxid, aldosteronoma

f) Infeksi: rubella congenital, CMV

g) Imunologi (jarang)

h) Sindroma genetik lain

d. Diabetes Kehamilan/Gestasional (Dyah P., 2015).

9
C. Farmakoterapi Pengendalian Glikemia Diabetes Melitus Tipe 2

Dengan dasar pengetahuan ini maka dapatlah diperkirakan bahwa dalam

mengelola diabetes tipe 2, pemilihan penggunaan intervensi farmakologik

sangat tergantung pada fase dimana diagnostik ditegakkan yaitu sesuai

dengan kelainan dasar yang terjadi pada saat tersebut seperti pada gambar di

bawah ini:

a. Resistensi insulin pada jaringan lemak, otot dan hati

b. Kenaikan produksi glukosa oleh hati

c. Kekurangan sekresi insulin oleh pankreas.

Penatalaksanaan DM dimulai dengan pendekatan non farmakologi, yaitu

berupa pemberian edukasi, perencanaan makan/terapi nutrisi medik, kegiatan

jasmani dan penurunan berat badan bila didapat berat badan lebih atau

obesitas. Bila dengan langkah-langkah pendekatan non farmakologi tersebut

belum mampu mencapai sasaran pengendalian DM belum tercapai, maka

dilanjutkan dengan penggunaan penambahan terapi medikamentosa atau

10
intervensi farmakologi disamping tetap melakukan pengaturan makan dan

aktivitas fisik yang sesuai (Sidartawan S., 2015).

1. Macam-macam Obat Anti Hiperglikemik Oral

a. Golongan Insulin Sensitizing

a) Biguanid

 Farmakokinetik dan Farmakodinamik

Golongan biguanid yang banyak dipakai adalah metformin.

Metformin terdapat dalam konsentrasi yang tinggi di dalam usus

dan hati, tidak dimetabolisme tetapi secara cepat dapat

dikeluarkan melalui ginjal. Oleh karena itu, metformin diberikan

dua sampai tiga kali sehari kecuali dalam bentuk extended

release. Setelah diberikan secara oral, metformin akan mencapai

kadar tertinggi dalam darah setelah 2 jam dan diekskresi lewat

urin dalam keadaan utuh dengan waktu paruh 6 jam (Sidartawan

S., 2015).

 Mekanisme Kerja

Metformin menurunkan glukosa darah melalui

pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat selular, distal

reseptor insulin dan menurunkan produksi glukosa hati.

Metformin meningkatkan pemakaian glukosa oleh sel usus

sehingga menurunkan glukosa darah dan juga diduga

menghambat absorpsi glukosa di usus sesudah asupan makan

(Sidartawan S., 2015).

11
Metformin juga dapat menstimulasi produksi Glucagon

Like Peptide-1 (GLP-1) dari gastrointestinal yang dapat menekan

fungsi sel alfa pankreas sehingga menurunkan glukagon serum

dan mengurangi hiperglikemia saat puasa.

Di samping berpengaruh pada glukosa darah, metformin

juga berpengaruh pada komponen lain resistensi insulin yaitu

pada lipid, tekanan darah dan juga pada plasminogen activator

inhibitor (PAI-1) (Sidartawan S., 2015).

 Penggunaan Dalam Klinik dan Efek Hipoglikemia

Metformin tidak memiliki efek stimulasi pada sel beta

pankreas sehingga tidak mengakibatkan hipoglikemia dan

penambahan berat badan. Pemberian metformin dapat

menurunkan berat badan ringan hingga sedang akibat penekanan

nafsu makan dan menurunkan hiperinsulinemia akibat resistensi

insulin, sehingga tidak dianggap sebagai obat hipoglikemik, tetapi

obat antihiperglikemik.

Metformin dapat digunakan sebagai monoterapi dan

sebagai terapi kombinasi dengan sulfonylurea (SU), repaglinid,

nateglinid, penghambat alfa glikosidase dan glitazone. Pada

pemakaian tunggal, metformin dapat menurunkan glukosa darah

20% dan konsentrasi insulin plasma pada keadaan basal juga

turun. Penelitian klinik memberikan hasil monoterapi yang

bermakna dalam penurunan glukosa darah puasa (60-70 mg/dl)

12
dan HbA1c (1-2%) dibandingkan dengan plasebo pada pasien

yang tidak dapat terkendali hanya dengan diet. Pada pemakaian

kombinasi dengan SU, hipoglikemia dapat terjadi akibat pengaruh

Sunya. Pengobatan terapi kombinasi dengan obat anti diabetes

yang lain dapat menurunkan HbA1c 3-4%. Efektivitas metformin

menurunkan glukosa darah pada orang gemuk sebanding dengan

kekuatan SU. Bila dengan monoterapi tidak berhasil maka dapat

dilakukan kombinasi dengan SU atau obat anti diabetik lain

(Sidartawan S., 2015).

Kombinasi SU dengan metformin saat ini merupakan

kombinasi yang rasional karena mempunyai cara kerja sinergis

sehingga kombinasi ini dapat menurunkan glukosa darah lebih

banyak daripada pengobatan tunggal masing-masing, baik pada

dosis maksimal keduanya maupun pada kombinasi dosis rendah.

Kombinasi dengan dosis maksimal dapat menurunkan glukosa

darah yang lebih banyak (Sidartawan S., 2015).

Kombinasi metformin dan insulin juga dapat

dipertimbangkan pada pasien gemuk dengan glikemia yang sukar

dikendalikan. Kombinasi insulin dengan SU lebih baik daripada

kombinasi insulin dengan metformin (Sidartawan S., 2015).

 Efek Samping dan Kontraindikasi

Efek samping gastrointestinal tidak jarang didapatkan pada

pemakaian awal metformin dan ini dapat dikurangi dengan

13
memberikan obat dimulai dengan dosis rendah dan diberikan

bersamaan dengan makanan. Efek samping lain yang dapat terjadi

adalah asidosis laktat, meski kejadiannya cukup jarang (0,03 per

1000 pasien) namun dapat berakibat fatal 30-50% kasus. Pada

gangguan fungsi ginjal yang berat, dapat mengakibatkan asidosis

laktat. Untuk menghindarinya sebaiknya tidak diberikan pada

pasien dengan gangguan fungsi ginjal (kreatinin >1,3 mg/dl pada

perempuan dan >1,5 mg/dl pada laki-laki) (Sidartawan S., 2015).

Kontraindikasi metformin pada gangguan fungsi hati,

infeksi berat, penggunaan alkohol berlebihan serta penyandang

gagal jantung yang memerlukan terapi (Sidartawan S., 2015).

Metformin juga memberikan efek samping mual. Untuk

mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau

sesudah makan, atau metformin dalam bentuk XR (extended

release) (Askandar T., Sri M., 2015).

b) Glitazone

 Farmakokinetik dan Farmakodinamik

Glitazone diabsorbsi dengan cepat dan mencapai

konsentrasi tertinggi terjadi setelah 1-2 jam. Makanan tidak

mempengaruhi farmakokinetik obat ini. Waktu paruh berkisar

antara 3-4 jam bagi rosiglitazone dan 3-7 jam bagi pioglitazon

(Sidartawan S., 2015).

 Mekanisme Kerja

14
Glitazon (Thiazolidinediones), merupakan agonist

peroxisome proliferator-activated receptor gamma (PPARγ) yang

sangat selektif dan poten. Sama seperti metformin, glitazon tidak

menstimulasi produksi insulin oleh sel beta prankeas bahkan

menurunkan konsentrasi insulin lebih besar daripada metformin.

Mengingat efeknya dalam metabolisme glukosa dan lipid,

glitazon dapat meningkatkan efisiensi dan respon sel beta

pankreas dengan menurunkan glukotoksisitas dan lipotoksisitas.

Glitazon dapat meningkatkan berat badan dan edema pada 3-5%

pasien akibat beberapa mekanisme antara lain:

o Penumpukan lemak subkutan di perifer dengan pengurangan

lemak viseral

o Meningkatnya volume plasma akibat aktivasi reseptor PPARγ

di ginjal

o Edema dapat disebabkan penurunan ekskresi natrium di ginjal

sehingga terjadi peningkatan natrium dan retensi cairan

(Sidartawan S., 2015).

Rosiglitazon dan pioglitazon memiliki efek pada profil lipid

pasien. Rosiglitazon meningkatkan kolesterol LDL dan HDL

namun tidak pada trigliserida. Sedangkan pioglitazon memiliki

efek netral pada kolesterol LDL, menurunkan trigliserida dan

meningkatkan HDL. Baik rosiglitazon maupun pioglitazon dapat

menurunkan small dense LDL. Glitazon dapat sedikit

15
menurunkan tekanan darah, meningkatkan fibrinolisis dan

memperbaiki fungsi endotel (Sidartawan S., 2015).

 Penggunaan Dalam Klinik dan Efek Hipoglikemia

Rosiglitazon dan pioglitazon saat ini dapat digunakan

sebagai monoterapi dan kombinasi dengan metformin dan

sekretagok insulin. Kemasan rosiglitazon terdiri dari 4 dan 8 mg

sedangkan pioglitazon 15 dan 30 mg. Pemakaian dengan insulin

tidak dianjurkan karena dapat mengakibatkan peningkatan berat

badan yang berlebih dan retensi cairan. Secara klinik rosiglitazon

dengan dosis 4 dan 8 mg/hari (dosis tunggal atau dosis dosis

terbagi 2 kali sehari) memperbaiki konsentrasi glukosa puasa

sampai 55 mg/dl dan HbA1c sampai 1,5% dibandingkan dengan

plasebo. Sedang pioglitazon juga mempunyai kemampuan

menurunkan glukosa darah bila digunakan sebagai monoterapi

atau sebagai terapi kombinasi dengan dosis maksimal 45 mg/dl

dosis tunggal. Monoterapi dengan glitazon dapat memperbaiki

konsentrasi glukosa darah puasa hingga 59-80 mg/dl dan HbA1c

1,4-2,6% dibandingkan dengan plasebo (ekuivalen dengan

metformin dan SU) (Sidartawan S., 2015).

 Efek Samping dan Kontraindikasi

Glitazon dapat menyebabkan penambahan berat badan yang

bermakna sama atau bahkan lebih dari SU serta edema. Keluhan

infeksi saluran nafas atas (16%), sakit kepala (7,1%) dan anemia

16
dilusional (penurunan Hb sekitar 1 gr/dl) juga dilaporkan.

Pemakaian glitazon dihentikan bila terdapat kenaikan enzim hati

(ALT dan AST) lebih dari tiga kali batas atas normal (Sidartawan

S., 2015).

b. Golongan Sekretagok Insulin

a) Sulfonilurea

SU telah digunakan untuk pengobatan DM tipe 2 sejak 1950-an.

Obat ini digunakan sebagai terapi farmakologis awal pengobtan DM

dimulai, terutama bila konsentrasi glukosa tinggi dan sudah terjadi

gangguan pada sekresi insulin. SU sering digunakan sebagai terapi

kombinasi karena kemampuannya untuk meningkatkan atau

mempertahankan sekresi insulin (Sidartawan S., 2015).

 Farmakokinetik dan Farmakodinamik

Efek akut obat golongan SU berbeda dengan efek pada

pemakaian jangka lama. Glibenklamid misalnya mempunyai

masa paruh 4 jam pada pemakaian akut, tetapi pada pemakaian

jangka panjang sampai 12 jam. Karena itu dianjurkan untuk

memakai glibenklamid sehari sekali (Sidartawan S., 2015).

 Mekanisme Kerja

Golongan obat ini bekerja dengan merangsang sel beta

pankreas untuk melepaskan insulin yang tersimpan, sehingga

hanya bermanfaat pada pasien yang masih mampu mensekresi

17
insulin. Golongan ini tidak dapat digunakan pada DM Tipe 1

(Sidartawan S., 2015).

 Penggunaan Dalam Klinik

Berdasarkan lama kerjanya, SU dibagi menjadi tiga

golongan yaitu generasi pertama, kedua dan ketiga. SU generasi

pertama adalah acetohexamide, tolbutamide dan chlorpropamide.

SU generasi kedua adalah glibenclamide, glipizide dan gliclazide.

SU generasi ketiga adalah glimepiride (Sidartawan S., 2015).

Glibenklamid menurunkan glukosa darah puasa lebih besar

daripada glukosa sesudah makan, masing-masing sampai 36%

dan 21%. Pada pemakaian jangka lama, efektivitas obat golongan

ini dapat berkurang. Pemberian SU sebagai terapi tunggal dapat

menurunkan HbA1c 1,5-2% (Sidartawan S., 2015).

Dosis permulaan SU tergantung pada hiperglikemia. Bila

konsentrasi glukosa puasa <200 mg/dl, SU sebaiknya dimulai

dengan pemberian dosis kecil dan titrasi secara bertahap setelah

1-2 minggu sehingga tercapai glukosa darah puasa 90-130 mg/dl.

Bila glukosa darag puasa > 200 mg/dl dapat diberikan dosis awal

yang lebih besar. Obat sebaiknya diberikan setengah jam sebelum

makan karena diserap dengan lebih baik (Sidartawan S., 2015).

 Efek Samping dan Kontraindikasi

Hipoglikemia merupakan efek samping terpenting dari SU

terutama bila asupan pasien tidak adekuat. Untuk mengurangi

18
kemungkinan hipoglikemia, apalagi pada orang tua dipilih obat

yang masa kerjanya paling singkat. Selain itu terjadi kenaikan

berat badan sekitar 4-6 kg, gangguan pencernaan, fotosensitifitas,

gangguan enzim hati dan flushing. Pemakaiannya

dikontraindikasikan pada DM Tipe 1, hipersensitifitas terhadap

sulfa, hamil dan menyusui (Sidartawan S., 2015).

b) Glinid

 Farmakokinetik dan Farmakodinamik

Mekanisme kerja glinid juga melalui reseptor sulfonilurea

(SUR) dan mempunyai struktur yang mirip dengan sulfonilurea,

perbedaannya dengan SU adalah pada masa kerjanya yang lebih

pendek. Mengingat lama kerjanya yang pendek maka glinid

digunkan sebagai obat prandial. Repaglinid dan nateglinid kedua-

duanya diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan

cepat dikeluarkan melalui metabolisme dalam hati sehingga

diberikan dua sampai tiga kali sehari. Repaglinid dapat

menurunkan glukosa darah puasa walaupun mempunyai masa

paruh yang singkat karena lama menempel pada kompleks SUR

sehingga dapat menurunkan ekuivalen HbA1c pada SU

(Sidartawan S., 2015).

c. Penghambat Alfa Glukosidase

Obat ini (AGI: Acarbose) bekerja dengan mengurangi absorpsi

glukosa di usus halus, sehingga dapat memperlambat absorpsinya, dan

19
berakibat efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan

(menekan fluktuasi kadar glukosa darah dan menekan kadar glukosa

post prandial). Acarbose tidak menimbulkan efek samping

hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah

kembung dan flatulens (Askandar T., Sri M., 2015).

d. Golongan Incretin

Terdapat 2 hormon incretin yang dikeluarkan oleh saluran cerna

yaitu glucose dependent insulinotropic polypeptide (GIP) dan glucagon-

like peptide-1 (GLP-1). Kedua hormon ini dikeluarkan sebagai respon

terhadap asupan makanan sehingga meningktkan sekresi insulin. GLP-1

juga menekan sel alfa pankreas dalam mensekresi glukagon

memperlambat pengosongan lambung dan memiliki efek anoreksia

sentral sehingga menurunkan hiperglikemia (Sidartawan S., 2015).

e. Penghambat Dipeptyl Peptidase IV

GLP-1 endogen memiliki waktu paruh yang sangat pendek (<1

menit) akibat proses inaktivasi oleh enzim DPP-IV. Penghambatan

enzim DPP-IV diharapkan dapat memperpanjang masa kerja GLP-1

sehingga membantu menurunkan hiperglikemia. Terdapat dua macam

penghambat DPP-IV yang ada saat ini yaitu sitagliptin dan vildagliptin

(Sidartawan S., 2015).

Pada terapi tunggal, penghambat DPP-IV dapat menurunkan

HbA1c sebesar 0,79-0,94% dan memiliki efek pada glukosa puasa dan

post prandial. Penghambat efek DPP-IV dapat digunakan sebagai terapi

20
alternatif bila terdapat intoleransi pada pemakain metformin atau pada

usia lanjut (Sidartawan S., 2015).

DPP-IV tidak mengakibatkan hipoglikemia maupun kenaikan berat

badan. Efek samping yang ditemukan adalah nasofaringitis,

peningkatan risiko infeksi saluran kemih dan sakit kepala. Reaksi alergi

yang berat jarang ditemukan (Sidartawan S., 2015).

f. GLP-1 Mimetik dan Analog

Mengingat waktu paruh GLP-1 yang pendek, penggunaan GLP-1

alamiah tidak banyak membantu, namun begitu terdapat GLP-1

mimetik dan analog yang memiliki ketahanan terhadap degradasi oleh

enzim DPP-IV. Berbeda dengan penghambat DPP-IV, GLP-1 mimetik

diberikan dalam bentuk injeksi subkutan satu atau dua kali sehari. Obat

golongan ini masih belum beredar di Indonesia (Sidartawan S., 2015).

2. Terapi Dengan Insulin

Terapi insulin ditujukan terutama pada penderita DM Tipe 1, dan

sebagian penderita DM Tipe . namun, pada akhirnya semua penderita DM

Tipe 2 akan membutuhkan insulin sebagai terapi kontrol gula darahnya.

Hal ini disebabkan menurunnya kemampuan sel Beta pankreas mereka

dalam memproduksi insulin (Agung Pranoto, Jongky Hendro., 2015).

Insulin telah digunakan sejak tahun 1992, lama sebelum obat anti

hiperglikemik oral ditemukan. Tujuan terapi insulin adalah menirukan pola

sekresi insulin endogen pada individu normal (Dante Saksono., dkk. 2015)

a. Jenis Insulin

21
Saat ini di Indonesia tersedia berbagai jenis insulin dan dapat

dikelompokkan berdasarkan:

a) Asal

 Insulin manusia

 Insulin analog

b) Lama kerja (pemberian subkutan)

 Insulin kerja pendek/cepat (insulin terikat dengan makan): lama

kerja 4-8 jam, digunakan untuk mengendalikan glukosa darah

sesudah makan, dan diberikan sesaat sebelum makan. Contoh:

insulin manusia regular kerja pendek (diberikan 30-45 menit

sebelum makan dengan lama kerja 6-8 jam), insulin analog kerja

cepat (diberikan 5-15 menit sebelum makan dengan lama kerja 4-

6 jam).

 Insulin kerja menengah: lama kerja 8-12 jam, diabsorpsi lebih

lambat, dan menirukan pola sekresi insulin endogen (insulin

puasa). Digunakan untuk mengendalikan glukosa darah basal

(saat tidak makan/puasa). Contoh: insulin manusia NPH

 Insulin kerja panjang: lama kerja 12-24 jm, diabsorpsi lebih

lambat, mengendalikan glukosa darah. Digunakan 1 kali (malam

hari sebelum tidur) atau 2 kali (pagi dan malam hari). Contoh:

insulin analog kerja panjang.

Untuk memenuhi kebutuhan pasien tertentu, juga tersedia insulin

campuran (premixed), yang merupakan campuran antara insulin kerja

22
pendek dan kerja menengah (insulin manusia) atau insulin kerja cepat

dan kerja menengah (insulin analog). Insulin campuran tersedia dalam

perbandingan tetap antara insulin kerja pendek atau cepat dan

menengah (Agung Pranoto, Jongky Hendro., 2015).

Jenis Insulin Awitan Puncak Lama Kemasan


(onset) Efek Kerja
Kerja pendek (insulin 30-45 2-4 jam 6-8 jam Vial Penfil
manusia, insulin menit
regular)
 Humulin ® R
 Actrapid ®
 Insuman ®*
Kerja Cepat (insulin 5-15 menit 1-2 jam 4-6 jam Vial/pen
analog) Flexpen
 Insulin Lispro Pen/Vial
(Humalog ®)
 Insulin Aspart
(Novorapid ®)
 Insulin Glulisin ®)
Kerja menengah 1,5-4 jam 4-10 jam 8-12 jam Vial
(insulin manusia, NPH) Penfil
 Humulin N ® Vial
 Insulatard ®
 Insuman basal ®*
Kerja panjang (insulin Pen/vial 100
analog) 1-3 jam Hampir 12-24 jam IU/ml
 Insulin glargine tanpa Pen 100 U/ml
(Lantus ®) pucak
 Insulin detemir
(Levemir ®)
Kerja Ultra-panjang
(insulin analog)
Degludec (Tresiba ®)
30-60 Hampir Sampai Pen
Glargine U300 (Lantus menit tanpa 48 jam
XR®) puncak
1-3 jam Tanpa 24 jam Pen 300U/ml
puncak
Campuran (premixed,
insulin manusia)

23
 Humulin ®30/70 30-60 3-12 jam Vial 30/70
(30% regular, 70% menit penfil
NPH)
 Mixtard ® 30/70
(30% regular, 70%
NPH)
Campuran (premixed
insulin analouge)
 Humalog ® Mix 12-30 1-4 jam Vial 10 ml.
75/25 (75% menit Pen 3 ml
protamin lispro, 25 Penfil/flexpen
% lispro)
 NovoMix® 30
(30% aspart, 70%
protamin aspart)
Tabel 3. Karakteristik sediaan Insulin

NPH: Neutral Protamine Hagedorn; belum tersedia di Indonesia

b. Konsep Insulin Basal dan Prandial

Pada penderita diabetes kekurangan insulin basal menyebabkan

hiperglikemia basal, kekurangan insulin post-prandial menyebabkan

hiperglikemia post-prandial. Substitusi insulin basal bertujuan untuk

mengendalikan kadar glukosa darah basal, substitusi insulin prandial

bertujuan untuk mengendalikan kadar glukosa darah post prandial

(Agung Pranoto, Jongky Hendro., 2015).

c. Insulin Biosimilar

Insulin biosimilar disebut sangat mirip dengan produk insulin

original/rujukan, dengan menggunakan teknik yang serupa tapi tidak

identik dengan yang digunakan oleh pemegang paten original. Jadi,

meskipun memiliki asam amino yang sama namun karakteristik dan

profil klinisnya sedikit berbeda dengan originatornya. Imunogenisitas,

pembuatan, regulasi, dan substitusi merupakan aspek-aspek yang perlu

24
dipertimbangkan dalam menggunakan insulin biosimilar (Agung

Pranoto, Jongky Hendro., 2015).

d. Metode Pemberian Insulin

Terapi Insulin Secara Fisiologis: Konsep Terapi Basal-Bolus

Peranan insulin basal pada regimen basal-bolus adalah untuk

menekan produksi glukosa hepar dan lipolisis pada fase pascaabsorpsi

antarmakan dan pada malam sampai pagi hari. Insulin bolus untuk

membatasi hiperglikemia yang terjadi setelah makan (Agung Pranoto,

Jongky Hendro., 2015).

Pemberian insulin basal-bolus pada DMT2 dapat diberikan secara

bertahap (stepwise basal-prandial), pada awalnya insulin basal (misal:

glargine, detemir, actrapid, aspart, lispro atau glulisine) diberikan

seiring dengan progresivitas penurunan sel beta pankreas (Agung

Pranoto, Jongky Hendro., 2015).

Konsep pemberian insulin basal-plus merupakan pendekatan

bertahap menuju regimen basal-bolus. Insulin prandial diberikan

sebesar 4 unit di awali pada jadwal makan utama sehingga diharapkan

memperbaiki hiperglikemia postprandial. Obat oral golongan insulin

sekretarog harus diturunkan bertahap atau akhirnya dihentikan jika

pemberian insulin prandial mulai diberikan, hal ini dikarenakan efek

sinergis dengan insulin. Konsep terapi basal-plus ini memberikan

fleksibilitas pada pasien, bisa menyesuaikan dengan jadwal makan yang

tidak beraturan, dapat menyesuaikan dengan gaya hidup perindividual

25
dan jadwal olahraga, dan frekuensi suntikan dimulai dengan 2 kali

sehari, misal insulin basal glargin disertai 1 x suntik insulin prandial

(actrapid, aspart, lispro atau gelulisine) pada jadwal makan utama yang

paling besar porsi jumlahnya, penambahan injeksi prandial pada jadwal

makan lainnya bisa diberikan jika diperlukan (Agung Pranoto, Jongky

Hendro., 2015).

e. Beberapa Cara Pemberian Insulin

Hingga saat ini dikenal berbagai macam teknologi pemakaian

insulin, dari yang paling sederhana sampai yang paling canggih, antara

lain:

a) Insulin subkutan dengan rotasi rasional

b) Insulin intravena tiap jam dengan Rumus Minus Satu

 Jangan memberi cairan yang mengandung karbohidrat apabila

kadar glukosa masih di atas 250 mg/dl. Pasanglah infus Ringer

26
Laktat atau NaCl 0,9% dengan kecepatan 15-20 tetes/meit (bila

bukan KAD); apabila KAD, maka tetsan harus cepat.

 Berikan insulin reguler intravena 4 unit tiap jam sampai kadar

glukosa darah 200 mg/dl atau reduksi urine positif lemah

 Cara RCI: dengan dosis insulin reguler 4 unit/jam intravena dapat

menurunkan glukosa darah sekitar 50-75 mg/dl tiap jamnya.

Gambar Rumus Minus Satu

c) Insulin Subkutan tiap jam dengan Rumus Kali Dua

27
3. Hal-hal yang Perlu Diperhatikan Dalam Memilih Obat Hipoglikemik Oral

a. Terapi dimulai dengan dosis rendah yang kemudian dinaikan secara

bertahap.

b. Hatus diketahui betul bagaimana cara kerja, lama kerja dan efek

samping obat-obat tersebut (misalnya klorpropamid jangan diberikan 3

kali 1 tablet, karena lama kerjanya 24 jam)

c. Bila memberikannya bersama obat lain, pikirkan kemungkinan adanya

interaksi obat.

d. Pada kegagalan sekunder terhadap obat hipoglikemik oral, usahakanlah

menggunakan obat oral golongan lain, bila gagal, baru beralih kepada

insulin.

e. Usahakan agar harga obat terjangkau oleh pasien (Sidartawan S., 2015).

D. Komplikasi Akut dan Kronis Diabetes Melitus Tipe 2

1. Komplikasi Akut

a. Hipoglikemia

a) Definisi

Hipoglikemia merupakan suatu terminologi klinis yang digunakan

untuk keadaan yang disebabkan oleh menurunnya kadar glukosa

dalam darah sampai pada tingkat tertentu sehingga memberikan

keluhan (symtomp) dan gejala (sign) (Asman Manaf, 2015).

b) Patofisiologi

28
Tubuh memerlukan kadar Glukosa Darah (GD) yang normal

melalui regulasi GD yang fisiologis untuk memenuhi kebutuhan

jaringan. Pada kejadian hipoglikemia, mekanisme pertahanan tubuh

yang berfungsi akan mengaktivasi beberapa sistem neuroendokrin,

tidak berlangsung secara adekuat atau mengalami gangguan.

Gangguan mekanisme tersebut menyebabkan hipoglikemia. Regulasi

GD yang normal diperlukan tubuh untuk memenuhi kebutuhan

energi di jaringan. Hipoglikemia terjadi ketika tubuh gagal

mempertahankan kadar normal GD. Keadaan ini disebabkan oleh

ketidakmampuan tubuh dalam mengatur regulasi GD melalui

rangkaian beberapa proses yang terjadi secara seimbang.

Keseimbangan tersebut dipengaruhi oleh beberapa hormon yang

penting, diantaranya insulin, glukagon, epinefrin (adrenalin),

kortisol, dan growth hormone (Asman Manaf, 2015).

c) Batasan

 Hipoglikemia= hipoglikemia murni = True hypoglycemia: gejala

hipoglikemia apabila glukosa darah kurang dari 70 mg/dl.

 Hipoglikemia reaktif = Reactive Hypoglycemia: gejala

hipoglikemia apabila glukosa darah turun mendadak, misalnya

dari 400 mg/dl menjadi 90 mg/dl.

 Koma hipoglikemik: koma akibat glukosa darah turun sampai di

bawah 30 mg/dl.

29
 Reaksi hipoglikemia = Hypoglicemic Reaction: gejala

hipoglikemia yang terjadi 3-5 jam sesudah makan. Biasanya pada

anggota keluarga DM atau orang yang mempunyai bakay DM

(Askandar T., Sri M., 2015).

d) Tanda dan Gejala

 Tanda

o Pallor

o Diaphoresis

 Gejala Neuroglikopeni

o Gangguan kognitif

o Perubahan perilaku

o Gangguan psikomotor

o Kejang

o Koma

 Gejala otonomik Adrenergik

o Palpitasi

o Gemetar

o Cemas (Askandar T., Sri M., 2015).

 Kolinergik

o Berkeringat dingin

o Lapar

o Parestesia

30
Apabila glukosa darah turun di bawah 70 mg/dl maka

keluarlah hormone cathecolamin, glucagon, cortisol, growth

hormone (hormon CGCG). Gejala tersebut di atas terjadi akibat

dari hiperkatekolaminemia; apabila terdapat neuropati otonom,

gejala klinis ini berkurang bahkan tidak ada (symptomless

hypoglycemia) (Askandar T., Sri M., 2015).

e) Klasifikasi

 Hipoglikemia ringan: pasien masih mengenali tanda dan gejal

hipoglikemia dan bisa menolong dirinya sendiri. Bisa melakukan

tindakan preventif untuk mengembalikan glukosa darah menjadi

normal kembali.

 Hipoglikemia berat: didapatkan gangguan kesadaran sampai

terjadi koma. Pasien memerlukan bantuan orang lain untuk

terapinya. Mempunyai risiko terjadi episode hipoglikemia

asimptomatik (Askandar T., Sri M., 2015).

f) Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan Whipple Triad: gejala klinis

seperti tersebut di atas, glukosa darah kurang dari 70 mg/dl dan

membaik dengan pemberian glukosa (Askandar T., Sri M., 2015).

g) Tata Laksana

 Terapi Hipoglikemia Ringan

o Glukosa 15-20 g (2-3 sendok makan) yang dilarutkan dalam

air.

31
o Jika pada pemantauan gula darah mandiri setelah 15 menit

pengobatan, hipoglikemia masih ada maka pengobatan

dilanjutkan.

o Jika pada pemantauan gula darah mandiri kadar gula darah

sudah normal, pasien diminta untuk makan makanan berat atau

sncak untuk mencegah berulangnya hipoglikemia (Askandar

T., Sri M., 2015).

 Terapi Hipoglikemia Berat

Jika ada gejala neuroglikopeni, maka diperlukan terapi

parenteral.

o Dekstrose 40% 25 ml, diikuti dengan infus D5% atau D10%,

gunakanlah rumus 3-2-1-1.

o Lakukanlah pemantauan gula darah setiap 1-2 jam, kalau

terjadi hipoglikemia berulang pemberian dekstrose 40% dapat

diulang.

o Lakukan evaluasi terhadap pemicu hipoglikemia (Askandar T.,

Sri M., 2015).

 Rumus 3-2-1-1

Dekstrose 40% 25 ml mengandung 10 g glukosa.

o Rumus 3: diberikan 3 flakon bila kadar gula darah < 30 mg/dl

o Rumus 2: diberikan 2 flakon bila kadar gula darah 30-50 mg/dl

o Rumus 1: diberikan 1 flakom bila kadar gula darah 50-70

mg/dl

32
o Rumus 1: diberikan 1 flakom bila kadar gula darah 70-90

mg/dl, namun disertai dengan tanda klinis hipoglikemia

(hipoglikemia reaktif) (Askandar T., Sri M., 2015).

Bila sesudah 15 menit dilakukan pemeriksaan gula darah

masih menunjukkan hipoglikemia maka terapi dapat diulang lagi.

Bila gagal dilanjutkan dengan:

o Injeksi metilprednisolon 62,5-125 mgIV dan dapat diulang,

serta dapat dikombinasi dengan injeksi fenitoin 3 x 100 mg IV

atau fenitoin oral dengan dosis 3 x 100 mg sebelum makan

o Bila perlu injeksi efedrin (bila tidak ada kontra indikasi:

jantung, dan lain-lain) 25-50 mg atau injeksi glukagon 1 mg

i.m (Askandar T., Sri M., 2015).

b. Keto Asidosis Diabetik

KAD adalah fenomena unik pada seorang pengidap diabetes akibat

defisiensi insulin absolut maupun relatif dan peningkatan horman

kontra regulator, yang mengakibatkan lipolisis berlebihin dengan akibat

terbentuknya benda-benda keton dengan segala konsekuensinya

(Askandar T., Sri M., 2015).

a) Patogenesis

Kombinasi dari defisiensi insulin absolut dan peningkatan

hormon kontra regulator (glukagon, katekolamin, kortisol, hormon

pertumbuhan, dan somatostatin) akan mengakibatkan akselerasi

kondisi katabolik dan inflamasi berat dengan akibat peningkatan

33
produksi glukosa oleh hati dan ginjal (via glikogenolisis dan

glukoneogenesis) dan gangguan utilisasi glukosa di perifer yang

berakibat hiperglikemia dan hiperosmolaritas. Defisiensi insulin dan

peningkatan hormon kontra regulator terutama epinefrin juga

mengaktivasi hormon lipase sensitif pada jaringan lemak yang

mengakibatkan peningkatan lipolisis. Peningkatan lipolisis dan

ketogenesis akan memicu ketonemia dan asidosis metabolik.

Populasi benda keton utama terdiri dari 3-beta hidroksibutirat,

asetoasetat, dan aseton. Walaupun sudah dibentuk banyak benda

keton untuk sumber energi, sel-sel tubuh tetap masih lapar dan terus

membentuk glukosa (Tri Juli, 2015).

Hiperglikemia dan hiperketonemia mengakibatkan diuresis

osmotik, dehidrasi, dan kehilangan elektrolit. Perubahan tersebut

akan memicu lebih lanjut hormon stress sehingga akan terjadi

perburukan hiperglikemia dan hiperketonemia. Jika lingkaran setan

tersebut tidak diinterupsi dengan pemberian insulin dan cairan, maka

akan menjadi dehidrasi berat dan asidosis metabolik yang fatal.

Ketoasidosis akan diperburuk oleh asidosis laktat akibat perfusi

jaringan yang bruruk (Tri Juli, 2015).

Defisiensi insulin relatif terjadi akibat konsentrasi hormon

kontra regulator yang meningkat sebagai respon terhadap kondisi

stres seperti sepsis, trauma, penyakit gastrointestinal yang berat,

infark miokard akut, stroke, dan lain-lain. Dengan adanya stres

34
metabolik tertentu, keberadaan insulin yang biasanya cukup untuk

menekan lipolisis menjadi tidak cukup secara relatif karena

dibutuhkan lebih banyaj insulin untuk metabolisme dan untuk

menekan lipolisis (Tri Juli, 2015).

b) Diagnosis

Untuk mendiagnosis KAD dengan anamnesis, pemeriksaan fisik

dan dibantu dengan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis

didapatkan riwayat diabetes. Pada keadaan yang berat dapat

ditemukan keadaan penurunan kesadaran sampai koma (Tri Juli,

2015).

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda dehidrasi,

nafas Kussmaul jika asidosis berat, takikardi, hipotensi atau syok,

flushing, penurunan berat badan,dan tentunya adalah tanda dari

masing-masing penyakit penyerta (Tri Juli, 2015).

Trias biokimia pada KAD adalah hiperglikemia, ketonemia dan

atau ketonuria, serta asidosis metabolik dengan berbagai derajat.

Gula darah lebih dari 250 mg/dl dianggap sebagai kriteria diagnosis

KAD. Derajat keasaman darah (pH) yang kurang dari 7,35 dianggap

sebagai ambang adGanya asidosis, hanya saja pada keadaan yang

terkompensasi seringkali pH menunjukkan angka normal. Pada

keadaan seperti itu jika angka HCO3 kurang dari 18 mEq/l ditambah

dengan keadaan klinis lain yang sesuai, maka sudah cukup untuk

menegakkan KAD (Tri Juli, 2015).

35
Pada saat masuk rumah sakit seringkali terdapat lekositosis pada

pasien KAD karena stres metabolik dan dehidrasi, sehingga jangan

terburu-buru memberikan antibiotik jika jumlah lekosit antara

10.000-15.000 m3 (Tri Juli, 2015).

c) Tata Laksana

Secara umum pemberian cairan adalah langkah awal

penatalaksanaan KAD setelah resusitasi kardiorespirasi. Terapi

cairan ditujukan untuk ekspansi cairan intraseluler, intravaskular,

interstisial, dan restorasi perfusi ginjal. Jika tidak ada masalah

kardiak atau penyakit ginjal kronik berat, cairan salin isotonik (NaCl

0,9%) diberikan dngan dosis 15-20 cc/kgBB/jam pertama atau satu

sampai satu setengah liter pada jam pertama. Tindak lanjut cairan

pada jam-jam berikutnya tergantung pada keadaan hemodinamik,

status dehidrasi, elektrolit, dan produksi urin. Penggantian cairan

dapat dilakukan sampai dengan 24 jam, dan penggantian cairan

sangat mempengaruhi pencapaian target gula darah, hilangnya benda

keton, dan perbaikan asidosis (Tri Juli, 2015).

 Insulin

Insulin merupakan farmakoterapi kausatif utama KAD.

Pemberian insulin intravena kontinyu lebih disukai karena waktu

paruhnya pendek dan mudah dititrasi. Dari beberapa studi

prospektif dengan randomisasi didapatkan bahwa pemberian

insulin regular dosis rendah intravena merupakan cara yang

36
infektif dan terpilih. Jika dosis insulin intravena yang diberikan

sekitar 0,1-1,15 unit/jam, maka sebenarnya tidak diperlukan

insulin bolus (priming dose) di awal. Dengan pemberian insulin

intravena dosis rendah diharapkan terjadi perununan glukosa

plasma dengan kecepatan 50-100 mg/dl setiap jam sampai

glukosa turun ke sekitar 200 mg/dl, lalu kecepatan insulin

diturunkan menjadi 0,02-0,05 unit/kgBB/jam. Jika glukosa sudah

berada di sekitar 150-200 mg/dl maka pemberian infus dekstrose

dianjurkan untuk mencegah hipoglikemia (Tri Juli, 2015).

 Kalium

Selanjutnya pasien KAD akan mengalami hiperkalemia

melalui mekanisme asidemia, defisiensi insulin, dan

hipertonisitas. Jika saat masuk kalium pasien normal atau rendah,

maka sesungguhnya terdapat defisiensi kalium yang berat di

tubuh pasien sehingga butuh pemberian kalium yang adekuat

karena terapi insulin akan menurunkan kalium yang lebih lanjut.

Monitor jantung perlu dilakukan pada keadaan tersebut agar

jangan terjadi aritmia. Untuk mencegah hipoglikemia maka

pemberian kalium sudah dimulai manakala kadar kalium di

sekitar batas atas nilai normal (Tri Juli, 2015).

 Bikarbonat

37
Jika asidosis memang murni karena KAD, maka koreksi

bikarbonat tidak direkomendasikan diberikan rutin, kecuali jika

ph darah kurang dari 6,9 (Tri Juli, 2015).

 Fosfat

Meskipun terjadi hipofosfatemia pada KAD, serum fosfat

sering ditemukan dalam keadaan normal atau meningkat saat

awal. Kadar fosfat akan turun dengan pemberian insulin. Pada

keadaan konsentrasi serum fosfat kurang dari 1 mg/dl dan disertai

dengan disfungsi kardiak, anemia, atau depresi nafas akibat

kelemahan otot, maka koreksi fosfat perlu dipertimbangkan (Tri

Juli, 2015).

 Transisi ke insulin subkutan

Setelah krisis hiperglikemia teratasi dengan pemberian

insulin intravena dosis rendah. Maka langkah selanjutnya adalah

memastikan bahwa KAD sudah memasuki fase resolusi dengan

kriteria gula darah < 200 mg/dl dan dua dari keadaan berikut:

serum bikarbonat lebih atau sama dengan 15 mEq/l, ph vena >7,3,

dan anion gap hitung kurang atau sama dengan 12 mEq/l (Tri Juli,

2015).

Agar tidak terjadi hiperglikemia atau KAD berulang maka

sebaiknya penghentian insulin intravena dilakukan 2 jam setelah

suntikan subkutan pertama (Tri Juli, 2015).

38
c. Hiper Osmolar Non Ketotik (K.HONK)=Hyperglycemia Hyperosmolar

State (HHS).

a) Patogenesis

Patogenesis HHS tidak diketahui sebaik KAD, yang

membedakan dengan KAD adalah derajad dehidrasinya lebih berat

(oleh karena diuresis osmotik) dan ketersediaan insulin endogen.

Walaupun pada HHS jelas terjadi insulin defisiensi relatif, namun

sekresi insulin endogen (dibuktikan dengan kadar C-peptide) tampak

lebih besar dibandingkan dengan KAD. Kadar insulin pada HHS

tidak cukup untuk memfasilitasi penggunaan glukosa oleh jaringan

yang sensitif insulin, namun mampu untuk mencegah terjadinya

proses lipolisis dan mencegah ketogenesis (Askandar T., Sri M.,

2015).

b) Faktor Pencetus

Thiazide, glucose drinks, infeksi, kortikosteroid, beta blocker,

phenytoin, cimetidine, chlorpromazine (Askandar T., Sri M., 2015).

c) Diagnosis

Diagnosis klinis, dikenal dengan sebutan Tetralogi K.HONK: 1

Yes, 3 No yaitu:

 Glukosa darah > 600 mg/dl (hyperglycemia), dengan tidak ada

riwayat diabetes sebelumnya (NO DM History), biasanya ± 1000

mg/dl, bikarbonat > 15 mEq/L, ph darah normal (NO Kussmaul),

NO Ketonemia, glukosa darah relative rendah bila ada nefropati.

39
 Dehidrasi berat, hipotensi menjadi syok, tidak ada Kussmaul,

terdapat gejala neurologi, tidak didapatkan bau aseton, ketonuria

dan ketonemia tidak didapatkan (Askandar T., Sri M., 2015).

Diagnosis pasti, dikenal dengan sebutan pentalogi HONK.

Diagnosis ditegakkan apabila terdapat diagnosis klinis dan

osmoralitas darah > 325-350 mOSM/L (Askandar T., Sri M., 2015).

d) Tata Laksana

Hampir sama dengan terapi KAD: Fase I ke fase II, tanpa infus

bikarbonat tetapi diberikan:

 NaCl 0,45% apabila plasma Na > 150 mEq/L, namun apabila

plasma Na< 150 mEq/dl diberi normal saline

 Insulin short-acting atau rapid-acting seperti pada KAD

 Antibiotik sesuai dengan indikasi (Askandar T., Sri M., 2015).

2. Komplikasi Kronis

a. Vaskular

a) Makro

 PJK

Dasar terjadinya peningkatan risiko penyakit jantung koroner

pada pasien DM belum diketahui secara pasti. Dari hasil

penelitian didapatkan kenyataan bahwa: 1) Angka kejadian

40
aterosklerosis lebih tinggi pada pasien DM dibanding populasi

non DM; 2) Pasien DM mempunyai faktor risiko tinggi untuk

mengalami trombosis, penurunan fibrinolisis dan peningkatan

respons inflamasi; 3) Pada pasien DM terjadi glikolisasi protein

yang akan mempengaruhi integritas dinding pembuluh darah

(Alwi Shahab, 2015).

Haffner dan kawan-kawan, membuktikan bahwa

aterosklerosis pada pasien DM. Studi epidemiologi juga

menunjukkan terjadinya peningkatan risiko payah jantung pada

pasien DM dibandingkan populasi non DM, yang ternyata

disebabkan karena kontrol glukosa darah yang buruk dalam waktu

yang lama. Di samping itu berbagai faktor turut pula memperberat

risiko terjadinya payah jantung dan strok pada pasien DM, antara

lain hipertensi, resistensi insulin, hiperinsulinemia,

hiperamilinemia, dislipidemia, dan gangguan sistem koagulasi

serta hiperhomosisteinemia. Semua faktor risiko ini kadang-

kadang dapat terjadi pada satu individu dan merupakan suatu

kumpulan gejala yang dikenal dengan istilah sindrom resistensi

insulin atau sindrom metabolik (Alwi Shahab, 2015).

Pada pasien DM, penyakit jantung koroner dapat

memberikan manifestasi klinis berupa terjadinya iskemi atau

infark yang kadang-kadang tidak disertai dengan nyeri dada yang

khas (angina pectoris). Keadaan ini dikenal dengan silent

41
myocardial ischemia atau silent myocardial infarction (SMI).

Terjadinya SMI pada pasien DM diduga disebabkan karena:

gangguan sensitivitas sentral terhadap rasa nyeri, penurunan

konsentrasi β endorphin, neuropati perifer yang menyebabkan

denervasi sensorik (Alwi Shahab, 2015).

Untuk mendiagnosis penyakit jantung koroner pada pasien

DM ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan laboratorium. Pada anamnesis, DM tipe 2 sering

disertai dengan faktor risiko,, dan PJK biasanya terjadi pada usia

50 tahun keatas. Seringkali, DM baru terdiagnosis pada saat

pasien datang dengan keluhan angina, infark miokard atau payah

jantung. Sedangkan pada pasien DM dengan SMI, gejala yang

timbul biasanya tidak khas seperti mudah capek, dyspnoe d’effort

atau dispepsia. Pada pemeriksaan penunjang seperti laboratorium

seperti darah rutin; konsentrasi gula darah puasa; profil lipid:

kolesterol total, kolesterol HDL, kolesterol LDL, TG; enzim-

enzim jantung; C-reactive protein (CRP); Mikroalbuminuri atau

proteinuri. Selain pemeriksaan laboratorium, dapat dilakukan

elektrokardiografi; uji latih (treadmill test); pemeriksaan foto

dada; ekokardiografi; pemeriksaan baku emas adalah angiografi

koroner (Alwi Shahab, 2015).

Penatalaksanaan dari penyakit jantung koroner, berdasarkan

rekomendasi ADA:

42
o Pengobatan hiperglikemia dengan diet, obat-obatan

hipoglikemia oral atau insulin

o Pengobatan terhadap dislipidemia

o Pemberian aspirin

o Pengobatan terhadap hipertensi untuk mencapai tekanan darah

< 130/80 mmHg dengan ACE inhibitor, angiotensin receptor

blockers (ARB) atau penyekat beta dan diuretik

o Menasehati pasien untuk berhenti merokok (Alwi Shahab,

2015).

 Penyakit Pembuluh Darah Tepi

Penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang

diabetes, biasanya terjadi dengan gejala tipikal intermitten atau

klaudikasio meskipun sering tanpa gejala. Terkadang ulkus

iskemik kaki merupukan kelainan yang pertama muncul.

b) Mikro

 Retinopati

o Patofisiologi

Hiperglikemia kronik mengawali perubahan patologis pada

retinopati DM dan terjadi melalui beberapa jalur. Pertama,

hiperglikemia memicu terbentuknya reactive oxygen

intermediates (ROIs) dan advanced glycation endproducts

(AGEs). ROIs dan AGEs merusak perisit dan endotel

pembuluh darah serta merangsang pelepasan faktor vasoaktif

43
seperti nitric oxide (NO), prostasiklin, insulin-like growth

factor-1 (IGF-1), dan endotelin yang akan memperparah

kerusakan (Ratna S., 2011).

Kedua, hiperglikemia kronik mengaktivasi jalur poliol yang

meningkatkan glikosilasi dan ekspresi aldose reduktase

sehingga terjadi akumulasi sorbitol. Glikosilasi dan akumulasi

sorbitol kemudian mengakibatkan kerusakan endotel pembuluh

darah dan disfungsi enzim endotel (Ratna S., 2011).

Ketiga, hiperglikemia mengaktivasi transduksi sinyal

instraseluler protein kinase C (PKC). Vascular endothelial

growthfactor (VEGF) dan faktor pertumbuhan lain diaktivasi

oleh PKC. VEGF menstimulasi ekspresi intracellular adhesion

molecule-1 (ICAM-1) yang memicu terbentuknya ikatan

antaran leukosit dan endotel pembuluh darah. Ikatan tersebut

menyebabkan kerusakan sawar darah retina, serta trombosis

dan oklusi kapiler retina. Keseluruhan jalur tersebut

menimbulkan gangguan sirkulasi, hipoksia, dan inflamasi pada

retina. Hipoksia menyebabkan ekspresi faktor angiogenik yang

berlebihan sehingga merangsang pembentukan pembuluh

darah baru yang memiliki kelemahan pada membran

basalisnya, defisiensi taut kedap antarsel endotelnya, dan

kekurangan jumlah perisit. Akibatnya, terjadi kebocoran

44
protein plasma dan perdarahan di dalam retina dan vitreous

(Ratna S., 2011).

o Gejala dan Tanda

Sebagian besar penderita retinopati DM, pada tahap awal

tidak mengalami gejala penurunan tajam penglihatan. Apabila

telah terjadi kerusakan sawar darah retina, dapat ditemukan

mikroaneurisma, eksudat lipid dan protein, edema, serta

perdarahan intraretina. Selanjutnya, terjadi oklusi kapiler retina

yang mengakibatkan kegagalan perfusi di lapisan serabut saraf

retina sehingga terjadi hambatan tranportasi aksonal.

Hambatan transportasi tersebut menimbulkan akumulasi debris

akson yang tampak sebagai gambaran soft exudates pada

pemeriksaan oftalmoskopi. Kelainan tersebut merupakan tanda

retinopati DM non-proliferatif (Ratna S., 2011).

Hipoksia akibat oklusi akan merangsang pembentukkan

pembuluh darah baru dan ini merupakan tanda patognomik

retinopati DM proliferatif. Kebutaan pada DM dapat terjadi

akibat edema hebat pada makula, perdarahan masif

intravitreous, atau ablasio retina traksional (Ratna S., 2011).

o Diagnosis

Deteksi dini retinopati DM di pelayanan kesehatan primer

dilakukan pemeriksaan funduskopi direk dan indirek

 Nefropati

45
Nefropati diabetikum ditandai dengan adanya

mikroalbuminuria (30 mg/hari, atau 20 μg/menit) tanpa adanya

gangguan ginjal, disertai dengan peningkatan tekanan darah

sehingga mengakibatkan menurunnya filtrasi glomerolus dan

akhirnya menyebabkan gagal ginjal tahap akhir (Hendromartono,

2015).

o Patologi

Patologi nefropati diabetik ini disebabkan oleh perubahan-

perubahan metabolik, hemodinamik, dan intraseluler yang

kompleks. Pada aspek metabolik, terdapat pembentukkan

AGEs sebagai konsekuensi hiperglikemia dan peningkatan

jalur reduktase aldosa. Perubahan-perubahan metabolik ini

mengaktifkan berbagai sinyal intraseluler yang rumit, salah

satunya menyebabkan penimbunan protein MES di

mesangium. Aspek hemodinamik diwakili oleh peran

vasokonstriktor seperti angiotensin II (ATII) dari SRA

endotelin (ET) dan nitric oxide (NO) yang berperan dalam

perkembangan dan pemburukan komplikasi mikrovaskular.

Namun, SRA juga memiliki efek lokal non-hemodinamik yang

bekerja secara autokrin dan parakrin di sel-sel ginjal sebagai

pemicu proliferasi sel dan berbagai sitokin lainnya. Pada tahap

yang lanjut akan terlihat adanya fibrosuis tubulus interstitial.

Setelah terjadi ekspansi selama bertahun-tahun, fibrosis mulai

46
berkembang karena pengaruh TGF-β yang merangsang

pembuatan kolagen dan fibronektin (Hendromartono, 2015).

o Gejala dan Tanda

Nefropati diabetikum dikategorikan menjadi

mikroalbuminuria dan makroalbuminuria berdasarkan jumlah

ekskresi albumin urin. Nilai normal yang digunakan

berdasarkan American Diabetes Association (waktu tertentu 24

jam, dan urin sewaktu) untuk diagnosis mikro dan makro-

albuminuria serta gejala klinis utama untuk tiap-tiap tahap,

dijelaskan pada tabel dibawah ini:

47
Tahap Albuminuria Karakteristik klinis
cut-off values
20-199 μg/menit Penurunan dan peningkatan BP
nokturnal yang abnormal
30-299 mg/24 Peningkatan trigliserida, kolesterol
jam total dan HDL serta lemak jenuh
Mikroalbuminuria
Peningkatan frekuensi komponen
sindrom metabolik
30-299 mg/g* Disfungsi endotel
Hubungan dengan DM retinopati,
amputasi, dan penyakit
kardiovaskular
Peningkatan mortalitas
kardiovaskular
GFR stabil
Makroalbuminuria

≥200μg/menit Hipertensi
≥300 mg/24jam Peningkatan TG, kolesterol total
dan LDL
>300 mg/g* Iskemia miokardial asimptomatik
Penurunan GFR progresif

Tabel 4: Kriteria Klinis Mikro Makroalbuminuria

*Sampel urin sewaktu + pengukuran proteinuria total (≥500

mg/24jam atau ≥430 mg/l pada sampel urin sewaktu) dapat

digunakan untuk mendefinisikan tahap ini (Hendromartono,

2015).

o Diagnosis

Kategori Sampel Sampel 24 Sampel


sewaktu jam berdasar waktu
μg/mg (mg/24 jam) (μg/menit)
kreatinin
Normal <30 <30 <30
Mikroalbuminuria 30-299 30-299 30-199
Makroalbuminuria ≥300 ≥300 ≥200
Tabel 5: Diagnosis

o Tata Laksana

48
Tujuan dari terapi adalah untuk mencegah perkembangan

dari mikro mejadi makroalbuminuria, mencegah penurunan

fungsi ginjal pada pasien dengan makroalbuminuria, dan

munculnya kejadian kardiovaskular. Strategi dan target terapi

dijelaskan pada tabel di bawah ini:

Terapi Target
Mikroalbuminuria Makroalbuminuria
ACE inhibitor Penurunan Proteinuria seminimal
dan/atau ARB albuminuria atau mungkin <0,5
dan diet rendah kembali menjadi g/24jam
protein (0,6-0,8 normal
g/kgBB/hari) Stabilisasi GFR Penurunan GFR <2
Obat-obatan ml/menit/tahun
antihipertensi Tekanan darah
<130/80 atau 125/75
Kontrol glukosa mmHg
ketat A1c <7%
Statin
Kolesterol LDL ≤100
Asam asetil mg/dl
salisilat Pencegahan trombosis
Hindari Pencegahan
merokok perkembangan
aterosklerosis
Tabel 6: Target Tata Laksana

 Neuropati

o Patogenesis

Berawal dari hiperglikemia berkepanjangan yang

berakibat terjadinya peningkatan aktivitas jalur poliol, sintesis

advance glycosilation end products (AGEs), pembentukan

radikal bebas dan aktivasi protein kinase C (PKC). Aktivasi

berbagai jalur tersebut berakhir pada kurangnya vasodilatasi,

sehingga aliran darah ke saraf menurun dan bersama

49
rendahnya mioinositol dalam sel terjadilah ND (Imam Subekti,

2015).

o Diagnosis

Diagnosis neuropati perifer diabetik dalam praktek sehari-

hari, sangat bergantung pada ketelitian pengambilan anamnesis

dan pemeriksaan fisik. Hanya dengan jawaban tidak ada

keluhan neuropati saja tidak cukup untuk mengeluarkan

kemungkinan adanya neuropati (Imam Subekti, 2015).

Pada evaluasi tahunan, perlu dilakukan pengkajian terhadap:

 Refleks motorik

 Fungsi serabut saraf besar dengan tes kuantifikasi sensasi

kulit seperti tes rasa getar dan rasa tekan

 Fungsi serabut saraf kecil dengan tes sensasi suhu

 Untuk mengetahui dengan lebih awal adanya gangguan

hantar saraf dapat dikerjakan elektromiografi (Imam

Subekti, 2015).

o Tata laksana

Strategi pengelolaan pasien DM dengan keluhan neuropati

diabetik dibagi ke dalam 3 bagian. Strategi pertama adalah

diagnosis ND sedini mungkin, diikuti strategi kedua dengan

kendali glikemik dan perawatan kaki sebaik-baiknya, dan

strategi ketiga ditujukan pada pengendalian keluhan

50
neuropati/nyeri neuropati diabetik setelah strategi kedua

dikerjakan (Imam Subekti, 2015).

Pada pengelolaan ND perlu melibatkan banyak aspek

seperti perawatan umum, pengendalian glukosa darah dan

parameter metabolik lain sebagai komponen tak terpisahkan

secara terus-menerus (Imam Subekti, 2015).

o Terapi Medikamentosa

Pedoman pengelolaan ND dengan nyeri, yang dianjurkan

adalah:

 NSID (ibuprofen 600 mg 4x/hari, sulindac 200 mg 2x.hari)

 Antidepresan Trisiklik (amitriptilin 50-150 mg malam hari,

imipramin 100mg/hari, nortriptilin 50-150 mg malam hari,

paroxetine 40 mg/hari)

 Antikonvulsan (gabapentin 900 mg 3 x/hari, karbamazepin

200 mg 4x/hari)

 Antiaritmia (mexilletin 150 mg-450 mg/hari)

 Topical: capsaicin 0,075% 4x/hari, fluphenazine 1 mg

3x/hari, transcutaneous electrical nerve stimulation (Imam

Subekti, 2015).

 Kaki Diabetikum

Kaki diabetes merupakan salah satu komplikasi kronik DM yang

paling ditakuti.

o Patofisiologi

51
Diawali adanya hiperglikemia pada penyandang DM yang

menyebabkan kelainan neuropati dan kelainan pada pembuluh

darah. Neuropati, baik neuropati sensorik maupun motorik dan

autonomik akan mengakibatkan berbagai perubahan pada kulit

dan otot, yang kemudian menyebabkan terjadinya perubahan

distribusi tekanan pada telapak kaki dan selanjutnya akan

mempermudah terjadinya ulkus. Adanya kerentanan terhadap

infeksi menyebabkan infeksi mudah merebak menjadi infeksi

yang luas. Faktor aliran darah yang kurang juga akan lebih

lanjut menambah rumitnya pengelolaan kaki diabetes

(Sarwono Waspadji, 2015).

o Klasifikasi

Working group on diabetic foot (klasifikasi pedis 2003).

Adanya klasifikasi kaki diabetik yang dapat diterima semua

pihak akan mempermudah para peniliti dalam membandingkan

hasil penelitian dari berbagai tempat di muka bumi. Dengan

klasifikasi pedis akan dapat ditentukan kelainan apa yang lebih

dominan, vaskular, infeksi atau neuropatik, sehingga arah

pengelolaan pun dapat tertuju dengan lebih baik (Sarwono

Waspadji, 2015).

Suatu klasifikasi lain yang juga sangat praktis dan sangat

erat dengan pengelolaan adalah klasifikasi yang berdasar pada

perjalanan alamiah kaki diabetik (Edmonds 2004-2005):

52
 Stage 1: Normal Foot

 Stage 2: High Risk Foot

 Stage 3: Ulcerated Foot

 Stage 4: Infected Foot

 Stage 5: Necrotic Foot

 Stage 6: Unsalvable Foot (Sarwono Waspadji, 2015).

Untuk stage 1 dan 2, peran pencegahan primer sangat

penting, dan semuanya dapat dikerjakan pada pelayanan

kesehatan primer, baik oleh podiatrist/chiropodist maupun oleh

dokter umum/dokter keluarga (Sarwono Waspadji, 2015).

Untuk stage 3 dan 4 kebanyakan sudah memerlukan

perawatan di tingkat pelayanan kesehatan yang lebih memadai

umumnya sudah memerlukan pelayanan spesialistik (Sarwono

Waspadji, 2015).

Untuk stage 5, apalagi stage 6, jelas merupakan kasus

rawat inap, dan jelas sekali memerlukan suatu kerja sama tim

yang sangat erat, di mana harus ada dokter bedah utamnya

dokter ahli bedah vaskular/ahli bedah plastik dan rekonstruksi

(Sarwono Waspadji, 2015).

Untuk optimalisasi pengelolaan kaki diabetik, pada setiap

tahap harus diingat berbagi faktor yang harus dikendalikan,

yaitu:

53
 Mechanical control-pressure control

 Metabolic control

 Vascular control

 Educational control

 Wound control

 Micobiological control-infection control (Sarwono

Waspadji, 2015).

o Modifikasi Faktor Resiko

Stop merokok

Memperbaiki berbagai faktor resiko terkait aterosklerosis

 Hiperglikemia

 Hipertensi

 Dislipidemia

Walking program-latihan kaki merupakan dominan usaha

yang dapat diisi oleh jajaran rehabilitasi medik (Sarwono

Waspadji, 2015).

o Terapi Farmakologis

Kalau mengacu pada berbagai penelitian yang sudah

dikerjakan pada kelainan akibat aterosklerosis di tempat lain

(jantung, otak), mungkin obat seperti aspirin dan lain

sebagainya yang jelas dikatakan bermanfaat, akan bermanfaat

pula untuk pembuluh darah kaki penyandang DM. Tetapi

sampai saat ini belum ada bukti yang cukup kuat untuk

54
menganjurkan pemakaian obat secara rutin guna memperbaiki

patensi pada penyakit pembuluh darah kaki penyandang DM

(Sarwono Waspadji, 2015).

o Revaskularisai

Jika kemungkinan kesembuhan luka rendah atau jika kalau

ada klaudikasio intermiten yang hebat, tindakan revaskularisasi

dapat dianjurkan. Sebelum tindakan revaskularisasi diperlukan

pemeriksaan arteriografi untuk mendapatkan gambaran

pembuluh darah yang lebih jelas sehingga dokter ahli bedah

veskular dapat lebih mudah melakukan rencana tindakan dan

mengerjakannya (Sarwono Waspadji, 2015).

b. Non Vaskular

a) Gastroparesis Diabetika

Patofisiologi terjadinya gastroparesis diabetika adalah terjadinya

neuropati diabetika yang mengakibatkan rusaknya saraf-saraf

ekstrinsik lambung. Keadaan hiperglikemia merupakan faktor

penting lainnya yang menyebabkan terjadinya gastroparesis.

Mekanisme hiperglikemia memperlambat pengosongan lambung

adalah secara tak langsung melibatkan perubahan aktivitas vagus,

aktivitas listrik lambung, sekresi hormon-hormon gastrointestinal

dan mekanisme miogenik (Sri Maryani, 2003).

Gejala-gejala yang bisa ditemukan pada penderita gastroparesis

diabetika antara lain mual, muntah, anoreksia, nyeri abdomen, rasa

55
cepat kenyang, rasa tidak enak diperut bagian atas, rasa terbakar di

dada (heart burn), regurgitasi asam, sendawa, halitosis dan

penurunan berat badan. Selain itu terdapat gejala disfagia, diare dan

atau konstipasi (Sri Maryani, 2003).

Terhadap penderita gastroparesis yang simptomatik sebaiknya

dilakukan penyesuaian diit, yang dianjurkan adalah porsi kecil

namun sering, dengan kadar lemak dan serat yang rendah dan tetap

menjaga asupan kalori yang cukup. Penggunaan obat-obat prokinetik

untuk meningkatkan kecepatan pengosongan lambung merupakan

pendekatan paling efektif dalam pengobatan penderia gastroparesis

yang simptomatik (Sri Maryani, 2003).

56
BAB III

KESIMPULAN

Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik

dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,

kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan

dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ

tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah

Diabetes Mellitus Tipe 2 merupakan penyakit hiperglikemia akibat

insensivitas sel terhadap insulin. Kadar insulin mungkin sedikit menurun atau

berada dalam rentang normal. Karena insulin tetap dihasilkan oleh sel-sel beta

pankreas, maka diabetes melitus tipe 2 dianggap sebagai non insulin dependent

diabetes mellitus.

Komplikasi diabetes melitus dibagi menjadi dua yaitu komplikasi akut dan

kronis, komplikasi akut meliputi: Hipoglikemia, Ketoasidosis Diabetik (KAD)

dan Hyperglycemic Hyperosmolar State (HHS). Pada Ketoasidosis DiabetiK

(KAD), kombinasi defisiensi insulin dan peningkatan kadar hormon kontra

regulator terutama epinefrin, mengaktivasi hormon lipase sensitif pada jaringan

lemak. Akibatnya lipolisis meningkat, sehingga terjadi peningkatan produksi

badan keton dan asam lemak secara berlebihan. Akumulasi produksi badan keton

oleh sel hati dapat menyebabkan asidosis metabolik. Pada Hyperglycemic

Hyperosmolar State (HHS), hilangnya air lebih banyak dibanding natrium

menyebabkan keadaan hiperosmolar. Sedangkan komplikasi kronis, dibagi

57
menjadi dua yaitu vaskular dan non vaskular. Komplikasi vaskular terbagi

menjadi mikrovaskular dan makrovaskular. Mikrovaskular (retinopati, kaki

diabetik, neuropati, dan nefropati) dan makrovaskular (penyakit jantung koroner

dan penyakit pembuluh darah perifer). Sedangkan komplikasi non-vaskular dari

DM yaitu gastroparesis.

58

Anda mungkin juga menyukai