Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN KASUS

Penurunan Kesadaran e.c Hipoglikemia

Disusun Oleh :

Vitrosa Yosepta Sera, S.Ked


FAB 116 022

Pembimbing :

dr. Sutopo, Sp.KFR


dr. Tagor Sibarani

Kepaniteraan Klinik
Rehabilitasi Medik dan Emergency Medicine
Fakultas Kedokteran UPR - RSUD dr. Doris Sylvanus
Palangka Raya
2017
BAB I

PENDAHULUAN

Glukosa merupakan bahan bakar metabolisme yang utama untuk otak. Oleh karena
otak hanya menyimpan glukosa (dalam bentuk glikogen) dalam jumlah yang sangat sedikit,
fungsi otak yang normal sangat terganggu asupan glukosa dari sirkulasi. Gangguan pasokan
glukosa yang berlangsung lebih dari beberapa menit dapat menimbulkan gangguan disfungsi
system saraf pusat, gangguan kognisi dan koma. Hipogilkemia pada pasien Dibetes Melitus
merupakan faktor penghambat utama dalam mencapai sasaran kendali glukosa darah normal
atau mendekati normal. Faktor paling utama yang menyebabkan hipoglikemia sangat penting
dalam pengelolaan diabetes adalah ketergantungan jaringan saraf pada asupan glukosa yang
berkelanjutan.

Hipoglikemia adalah keadaan dimana kadar glukosa darah < 60 mg/dl, atau kadar glukosa
darah < 80 mg/dl dengan gejala klinis. Hipoglikemia pada DM terjadi karena, Kelebihan
obat/dosis obat : terutama insulin, atau obat hipoglikemik oral golongan sulfoniurea,
Kebutuhan tubuh akibat insulin yang relatif menurun : gagal ginjal kronik, pasca persalinan,
Asupan makan tidak adekuat : jumlah kalori atau waktu makan tidak tepat, Kegiatan jasmani
berlebihan. Dalam keadaan puasa dan makan, istirahat dan aktivitas jasmani, masuknya kadar
glukosa ke sirkulasi serta ambilan dari sirkulasi sangat bervariasi. Kadar glukosa plasma yang
sangat tinggi mengganggu keseimbangan air di jaringan, menimbulkan glikosuria
jaringan,sebaliknya kadar yang terlalu rendah menyebabkan disfungsi otak, koma dan
kematian. Pada individu normal yang sehat,hipoglikemia yang sampai menimbulkan kognitif
yang bermakna tidak terjadi. Karena mekanisme homeostatis glukosa endogen berfungsi
dengan efektif.

Klasifikasi kilinis hipoglikemia akut


Ringan Simtomatik, dapat diatasi sendiri, tidak ada gangguan aktivitas sehari-hari
yang nyata
Sedang Simptomatik,dapat diatasi sendiri, menimbulkan gangguan aktivitas sehari-
hari yang nyata
Berat Sering ( tidak selalu ) tidak simtomatik, karena gangguan kognitif pasien
tidak dapat mengatasi sendiri
1. Membutuhkan pihak ketiga tetapi tidak memerlukan terapi
parenteral
2. Membutuhkan terapi parenteral ( glucagon intramuscular atau
glukosa intravena
3. Disertai dengan koma atau kejang

Pada laporan kasus ini akan dibacakan dan dibahas seoarng penderita dengan
penurunan kesadaran ec hipoglikemia di RSUD dr. Doris Sylvanus.
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1. Primary Survey (Ny. R/53 tahun)


Vital Sign:
Tekanan Darah : 120/60 mmHg
Denyut Nadi : 148 kali/menit
Frekuensi Napas : 10 kali/menit, Irreguler
Suhu : 36,50C

Evaluasi masalah : Berdasarkan survey primer sistem triase, kasus ini merupakan kasus
yang termasuk dalam emergency sign label merah karena adanya
penurunan kesadaran.
• Airway
Bersihkan jalan nafas, hindari sumbatan jalan nafas. Pada pasien ini tidak ditemukan
sumbatan jalan nafas.
• Breathing
Nilai frekuensi pernafasan, tipe pernafasan, dan pola pernafasan. Pasien bernafas spontan, 10
kali/menit Irreguler, pernapasan torakoabdominal, pergerakan thoraks simetris kiri dan kanan.
• Circulation
Nilai frekuensi nadi, capilary refill time, tekanan darah. Denyut nadi 148 kali/menit,

• Disability
Penilaian neurologis cepat (apakah pasien sadar, member respon suara terhadap rangsang
nyeri, atau pasien tidak sadar). Pada pasien ini tidak ada ditemukan kelainan neurologis. GCS
(E1M1V1), pupil isokor +/+, refleks cahaya +/+

Tatalaksana awal :
Tatalaksana awal pada pasien ini adalah baringkan pasien pada bed pasien, diberikan
Ventilasi Tekanan Positif karena nafas tidak adekuat. pemasangan kateter IV line.
2.2. Secondary Survey
2.2.1. Identitas
Nama : Ny. R
Usia : 53 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : DsJl. T. Tilung
Tgl Pemeriksaan : 27 Oktober 2017 pukul 13.00 WIB

2.2.2. Anamnesis
Alloanamnesis
Keluhan Utama : Tidak Sadarkan Diri
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke IGD dengan penurunan kesadaran sejak 1 jam SMRS. Menurut
keluarga, Sebelumnya pasien mengeluh lemas, sempoyongan dan suka berkeringat dingin
pasien mengeluh lemas sejak 2 hari SMRS. Pasien memiliki riwayat penyakit diabetes
melitus tipe II sejak 5 tahun terakhir dan rutin kontrol ke poliklinik penyakit dalam. Pasien
mendapat obat insulin. Menurut keluarga, pasien tidak nafsu makan dan membatasi
mengkonsumsi makan sejak beberapa hari terakhir, namun pasien tetap menyuntikan insulin
sesuai jadwal. Riwayat trauma kepala disangkal.

Riwayat Kebiasaan:
merokok (-) dan minum alkohol (-).
Riwayat Penyakit Dahulu:
Keluhan serupa (-) stroke (-),Riwayat hipertensi (-)diabetes mellitus (+) sejak 5 tahun
terakhir. Obat rutin yang dikonsumsi (+) novorapid 3x 6 iu dan levemir 0-12iu-0
Riwayat Penyakit Keluarga:
Keluhan serupa (-), stroke (-), hipertensi (-) dari Ibu pasien, diabetes mellitus (-).
2.2.3. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis (E1M1V1)
Vital sign : Tekanan Darah : 120/60 mmHg
Denyut Nadi : 148 kali/menit (reguler, isi kurang, tidak kuat
angkat)
Frekuensi Napas : 10 kali/menit irreguler
Suhu : 36,50C
Kepala
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya +/+, pupil isokor
Leher
Pembesaran kelenjar getah bening (-), peningkatan JVP (+)
Thoraks
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris kiri dan kanan Retraksi -/-
Palpasi : Fremitus vokal normal kanan dan kiri
Perkusi : Sonor kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba ICS V midclavicula sinistra
Perkusi : Batas atas ICS II linea parasternal dextra dan sinistra
Batas kiri ICS IV linea midclavicula sinistra
Batas kanan ICS IV linea parasternal dextra
Auskultasi : Bunyi jantung 1 (S1) dan 2 (S2), reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (-)
Palpasi : Defans muscular, nyeri tekan (-)
Perkusi : timpani (+)
Ekstremitas
Akral hangat, CRT > 2 detik, pitting edema (-/-), sianosis (-/-)

2.2.4. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium
a) Hematologi
- Leukosit : 35.540/ul
- Trombosit : 63.000/ul
- Hb : 13,5 g/dl
- Hematokrit : 42,7%
b) Kimia Klinik
- Gula darah sewaktu : 14 mg/dl
Elektrolit
- Natrium : 124 mmol/L
- Kalium : 4,7 mmol/L
- Kalsium : 1,11 mmol/L
c) Analisis Gas Darah
- pH : 7,41
- pCO2 : 34 mmHg
- HCO3- : 21,6 mmol/L

2.2.5. Diagnosa
- Penurunan kesadaran e.c Hipoglikemia

2.2.6. Penatalaksanaan
- Oksigen Non rebreating mask 10 lpm
- IVFD Dextrose 10% 16 tpm
- Inj. D40% 3 flash
- Inj. Imipenem 1 gr / 8 jam (ST)
- Inj. Ranitidin 2 x 50 mg
2.2.7 Saran
- Cek GDS setiap 6 jam
- Stop Insulin
2.2.7. Prognosis
- Quo ad vitam : Dubia
- Quo ad functionam : Dubia
- Quo ad sanationam : Dubia
BAB III
PEMBAHASAN

Telah dilakukan pemeriksaan pada seorang perempuan usia 53 tahun dengan diagnosa
Penurunan kesadaran e.c Hipoglikemia. Berdasarkan alloanamnesis dan pemeriksaan fisik,
didapatkan keluhan tidak sadarkan diri sejak 1 jam SMRS. Menurut keluarga, Sebelumnya
pasien mengeluh lemas, sempoyongan dan suka berkeringat dingin pasien mengeluh lemas
sejak 2 hari SMRS. Pasien memiliki riwayat penyakit diabetes melitus tipe II sejak 5 tahun
terakhir dan rutin kontrol ke poliklinik penyakit dalam. Pasien mendapat obat insulin.
Menurut keluarga, pasien tidak nafsu makan dan membatasi mengkonsumsi makan sejak
beberapa hari terakhir, namun pasien tetap menyuntikan insulin sesuai jadwal. GCS pasin
didapatka eye = 1,Motorik = 1, Verbal = 1. Hasil pemeriksaan tanda vital didapatkan respirasi
10x/menit Irreguler, nadi cepat yaitu 481x/m isi kurang dan tidak kuat angkat. Maka
berdasarkan alloanamnesis dan pemeriksaan fisik, maka penurunan kesadaran yang terjadi
pada pasien dapat disebabkan karena penyulit akut DM tipe II yaitu Hipoglikemia yang
sering disebabkan oleh penggunaan obat DM yaitu Insulin.

III. 1 Definisi
Menurut WHO 1980 dikatakan bahwa diabetes melitus merupakan sesuatu yang tidak
dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tapi secara umum dapat
dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang merupakan akibat
dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan
fungsi insulin (PERKENI 2006).

Diabetes Melitus (DM) sering juga dikenal dengan nama kencing manis atau penyakit
gula. DM memang tidak dapat didefinisikan secara tepat, DM lebih merupakan kumpulan
gejala yang timbul pada diri seseorang yang disebabkan oleh adanya peningkatan glukosa
darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Suyono, 2005).

Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik


hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya
(Sudoyo,Aru W,2006).
Diabetes Melitus adalah suatu penyakit kronik yang ditandai dengan peningkatan kadar
glukosa didalam darah. Penyakit ini dapat menyerang segala lapisan umur dan sosial
ekonomi(Shahab,Alwi, 2006).

Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes melitus merupakan suatu
kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (PERKENI, 2006).

II. 2 Klasifikasi

Diabetes melitus diklasifikasikan menurut etiologinya seperti yang tertera pada tabel 2.

Tabel 2. Klasifikasi diabetes menurut etiologinya. Sumber : PERKENI, 2006

Klasifikasi lainnya membagi diabetes melitus atas empat kelompok yaitu diabetes
melitus tipe-1, diabetes melitus tipe-2, diabetes melitus bentuk khusus, dan diabetes melitus
gestasional (Adam, John MF, 2000).
American Diabetes Association (ADA) dalam standards of Medical Care in Diabetes
(2009) memberikan klasifikasi diabetes melitus menjadi 4 tipe yang disajikan dalam (Dewi,
Debhryta Ayu, 2009):

1. Diabetes melitus tipe 1, yaitu diabetes melitus yang dikarenakan oleh adanya
destruksi sel β pankreas yang secara absolut menyebabkan defisiensi insulin.

2. Diabetes melitus tipe 2, yaitu diabetes yang dikarenakan oleh adanya kelainan
sekresi insulin yang progresif dan adanya resistensi insulin.

3. Diabetes melitus tipe lain, yaitu diabetes yang disebabkan oleh beberapa faktor
lain seperti kelainan genetik pada fungsi sel β pankreas, kelainan genetik pada
aktivitas insulin, penyakit eksokrin pankreas (cystic fibrosis), dan akibat
penggunaan obat atau bahan kimia lainnya (terapi pada penderita AIDS dan
terapi setelah transplantasi organ).

4. Diabetes melitus gestasional, yaitu tipe diabetes yang terdiagnosa atau dialami
selama masa kehamilan.

II. 3 Diagnosis

Diagnosis diabetes melitus harus berdasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah.
Dalam menentukan diagnosis diabetes melitus harus diperhatikan asal bahan darah yang
diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan
adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Untuk
memastikan diagnosis diabetes melitus, pemeriksaan glukosa darah sebaiknya dilakukan di
laboratorium klinik yang terpercaya. Walaupun demikian sesuai dengan kondisi setempat
dapat juga dipakai bahan darah utuh, vena maupun kapiler dengan memperhatikan angka-
angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan WHO. Untuk pemantauan hasil
pengobatan dapat diperiksa glukosa darah kapiler (Sudoyo,Aru W, 2006).

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya DM


perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti tersebut di bawah ini (PERKENI,
2006) :

1. Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat


badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
2. Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.

Jika keluhan khas khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl sudah cukup
untuk menegakkan diagnosis diabetes melitus. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa
≥ 126 mg/dl juga digunakan untuk acuan diagnosis diabetes melitus. Untuk kelompok tanpa
keluhan khas diabetes melitus, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja
abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis diabetes melitus. Diperlukan
pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa
darah puasa ≥ 126 mg/dl, kadar glukosa sewaktu ≥ 200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari
hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan ≥
200 mg/dl (Sudoyo,Aru W, 2006).

Tabel 3. Kriteria diagnosis diabetes melitus. Sumber : PERKENI, 2015

Ada perbedaan antara uji diagnostik diabetes melitus dengan pemeriksaan penyaring.
Uji diagnostik diabetes melitus dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala atau tanda
diabetes melitus, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasikan
mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai resiko diabetes melitus. Serangkaian uji
diagnostik akan dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya
positif, untuk memastikan diagnosis definitif (Sudoyo,Aru W, 2006).
Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk menemukan pasien dengan Dibetes melitus,
toleransi glukosa terganggu (TGT) maupun glukosa darah puasa terganggu (GDPT), sehingga
dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan TGT dan GDPT juga disebut sebagai
intoleransi glukosa, merupakan tahapan sementara menuju diabetes melitus. Kedua keadaan
tersebut merupakan faktor risiko untuk terjadinya diabetes melitus dan penyakit
kardiovaskular di kemudian hari (PERKENI, 2006).
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah
sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa
oral (TTGO) standar (Sudoyo,Ari W, 2006).

Tabel 4. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai standar penyaring dan diagnosis
diabetes melitus. Sumber : PERKENI, 2006.

Diperlukan anamnesis yang cermat serta pemeriksaan yang baik untuk menentukan
diagnosis diabetes melitus, toleransi glukosa terganggu dan glukosa darah puasa tergagnggu.
Berikut adalah langkah-langkah penegakkan diagnosis diabetes melitus, TGT, dan GDPT.
Gambar 1. Langkah-langkah diagnostik diabetes melitus dan toleransi glukosa
terganggu. Sumber : Sudoyo, Aru W, 2006.

II. 7 Penatalaksanaan

Kasus diabetes yang terbanyak dijumpai adalah diabetes melitus tipe 2, yang umumnya
mempunyai latar belakang kelainan yang diawali dengan terjadinya resistensi insulin.
Awalnya resistensi insulin masih belum menyebabkan diabetes secara klinis. Pada saat
tersebut sel beta pankreas masih dapat mengkompensasi keadaan ini dan terjadi suatu
hiperinsulinemia dan glukosa darah masih normal atau baru sedikit meningkat. Kemudian
setelah terjadi ketidaksanggupan sel beta pankreas, baru akan terjadi diabetes melitus secara
klinis, yang ditandai dengan terjadinya peningkatan kadar glukosa darah yang memenuhi
kriteria diagnosis diabetes melitus (Sudoyo, Aru W, 2006).
Tujuan penatalaksanaan diabetes melitus secara umum adalah meningkatnya kualitas
hidup penyandang diabetes (PERKENI, 2006).
Tujuan penatalaksanaan diabetes melitus dibagi menjadi dua yaitu (PERKENI, 2006) :
1. Jangka pendek, hilangnya keluhan dan tanda diabetes melitus, mempertahankan
rasa nyaman dan tercapainya target pengendalian glukosa darah.
2. Jangka panjang, tercegah dan terhambatnya progresifitas penyulit mikroangiopati,
makroangiopati, dan neuropati.
Tujuan akhir pengelolaan diabetes melitus adalah turunnya morbiditas dan mortalitas
diabetes melitus. (PERKENI, 2006).
Langkah pertama dalam mengelola diabetes melitus selalu dimulai dengan pendekatan
non farmakologis, yaitu berupa perencanaan makan atau terapi nutrisi medik, kegiatan
jasmani dan penurunan berat badan bila didapat berat badan lebih atau obesitas. Bila dengan
langkah-langkah tesebut sasaran pengendalian belum tercapai, maka dilanjutkan dengan
penggunaan obat atau intervensi farmakologis. Dalam melakukan pemilihan obat perlu
diperhatikan titik kerja obat sesuai dengan macam-macam penyebab terjadinya hiperglikemia
seperti yang tertera pada gambar 2.

Gambar 2. Sarana farmakologis dan titik kerja obat untuk pengendalian kadar glukosa
darah. Sumber: Sudoyo, Aru W, 2006.

Untuk penatalaksanaan diabetes melitus, di Indonesia, pendekatan yang


digunakan adalah berdasarkan dari pilar penatalaksanaan diabetes melitus yang sesuai
dengan konsensus penatalaksanaan diabetes melitus menurut PERKENI tahun 2006.
Adapun pilar penatalaksanaan diabetes melitus sebagai berikut :

A. Edukasi

Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlikan partisipasi
aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam
menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku,
dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi.
Tujuan dari perubahan perilaku adalah agar penyandang diabetes dapat menjalani pola
hidup sehat. Perilaku yang diharapkan adalah (PERKENI, 2006) :
1. Mengikuti pola makan sehat
2. Meningkatkan kegiatan jasmani
3. Menggunakan obat diabetes dan obat-obat pada keadaan khusus secara aman,
teratur
4. Melakukan Pementauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) dan memanfaatkan
data yang ada
5. Melakukan perawatan kaki secara berkala
6. Memiliki kemampuan untuk mengenal dan menghadapi sakit akut dengan tepat
7. Mempunyai ketrampilan mengatasi masalah yang sederhana, dan mau bergabung
dengan kelompok penyandang diabetes serta mengajak keluarga untuk mengerti
pengelolaan penyandang diabetes.
8. Mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada.

B. Terapi Gizi Medis

Terapi Gizi Medis (TGM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara total.
Kunci keberhasilan TGM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter,
ahli gizi, petugas kesehatan yang lain dan pasien itu sendiri). Setiap penyandang diabetes
sebaiknya mendapat TGM sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi.
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan
untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori
dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya
keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada
mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin (PERKENI, 2006).

Beberapa manfaat yang telah terbukti dari terapi gizi medis ini antara lain (Sudoyo, Aru
w, 2006) :
1. Menurunkan berat badan
2. Menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik
3. Menurunkan kadar glukosa darah
4. Memperbaiki profil lipid
5. Meningkatkan sensitifitas reseptor insulin
6. Memperbaiki sistem koagulasi darah

Adapun tujuan dari terapi medis ini adalah untuk mencapai dan
mempertahankan (Sudoyo, Aru w, 2006) :
1. Kadar glukosa darah mendekati normal
 Glukosa puasa berkisar 90-130 mg/dl
 Glukosa darah 2jam setelah makan <180 mg/dl
 Kadar A1c < 7%
2. Tekanan darah < 130/80 mmhg
3. Profil lipid yang berkisar normal
 Kolesterol LDL < 100 mg/dl
 Kolesterol HDL > 40 mg/dl
 Trigliserida < 150 mg/dl
4. Berat badan senormal mungkin

Komposisi bahan makanan terdiri dari makronutrien yang meliputi kerbohidrat, protein
dan lemak, serta mikronutrien yang meliputi vitamin dan mineral, harus diatur sedemikian
rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan diabetisi secara tepat (Sudoyo, Aru w, 2006).
Adapun komposisi bahan makanan yang direkomendasikan untuk diabetisi menurut
konsensus penatalaksanaan diebetes melitus di Indonesia menurut PERKENI tahun 2006
adalah sebagai berikut :
1. Karbohidrat, sebagai sumber energi, diberikan pada diabetisi tidak boleh lebih
dari 55-65% dari total kebutuhan energi dalam sehari, atau tidak boleh lebih dari
70% jika dikombinasi dengan pemberian asam lemak tidak jenuh rantai tunggal
(MUFA = monounsaturated fatty acids). Pada setiap gram karbohidrat terdapat
kandungan energi sebesar 4 kilokalori.
Rekomendasi pemberian karbohidrat (Sudoyo, Aru w, 2006) :
1. Kandungan total kalori pada makanan yang mengandung karbohidrat, lebih
ditentukan oleh jumlahnya dibandingkan dengan jenis karbohidrat itu sendiri.
2. Dari total kebutuhan kalori per hari, 60-70% diantaranya bersumber dari
karbohidrat
3. Jika ditambah MUFA sebagai sumber energi, maka jumlah karbohidrat
maksimal 70% dari total kalori perhari
4. Jumlah serat 25-50 gram per hari
5. Jumlah sukrose sebagai sumber energi tidak perlu dibatasi, namun jangan
sampai lebih dari total kebutuhan kalori per hari
6. Sebagai pemanis dapat digunakan pemanis non kalori seperti aspartame,
acesulfam dan sucralosa
7. Penggunaan alkohol harus dibatasi tidak boleh lebih dari 10 gram per hari
8. Fruktosa tidakk boleh lebih dari 60 gram per hari

2. Protein, jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10-15% dari


total kalori per hari. Pada penderita dengan kelainan ginjal dimana diperlukan
pembatasan asupan protein sampai 40 gram perhari, maka perlu ditambahkan
suplementasi asam amino esensial. Protein mengandung energi sebesar 4
kilokalori/gram (Sudoyo, Aru w, 2006).
Rekomendasi pemberian protein sebagai berikut (Sudoyo, Aru w, 2006) :
1. Kebutuhan protein 15-25 % dari total kebutuhan energi per hari
2. Pada keadaan kadar glukosa darah yang terkontrol, asupan protein tidak akan
mempengaruhi kadar gula darah
3. Pada keadaan kadar gula darah tidak terkontrol, pemberian protein sekitar 0,8-
1 mg/kgbb/hari
4. Pada gangguan fungsi ginjal, jumlah asupan protein diturunkan sampai 0,85
gram/kgbb/hari dan tidak kurang dari 40 gram
5. Jika terdapat komplikasi kardiovaskular, maka sumber protein nabati lebih
dianjurkan dari pada hewani.

3. Lemak, mempunyai kandungan energi sebesar 9 kilokalori per gramnya. Bahan


makanan ini sangat penting untuk membawa vitamin yang larut dalam lemak
seperti vitamin A, D, E, dan K. Berdasarkan ikatan rantai karbonnya, lemak
dibedakan menjadi lemak jenuh dan lemak tidak jenuh. Pembatasan asupan lemak
jenuh dan kolesterol disarankan bagi diabetisi karena terbukti dapat memperbaiki
profil lipid tidak normal yang sering tidak normal dijumpai pada diabetes. Asam
lemak tidak jenuh rantai tunggal (monounsaturated fatty acid = MUFA),
merupakan salah satu asam lemak yang dapat memperbaiki kadar glukosa darah
dan profil lipid. Pemberian MUFA pada diet diabetisi dapat menurunkan
trigliserida, kolesterol total, kolesterol VLDL dan meningkatkan kolesterol HDL.
Sedangkan asam lemak tidak jenuh rantai panjang (polyunsaturated fatty acid =
PUFA) dapat melindungi jantung, menurunkan kadar trigliserida, memperbaiki
agregasi trombosit. PUFA mengandung asam lemak omega 3 yang dapat
menurunkan sintesis VLDL di dalam hati dan meningkatkan aktifitas enzim
lipoprotein lipase yang dapat menurunkan kadar VLDL di jaringan perifer,
sehingga dapat menurunkan kadar kolesterol LDL (Sudoyo, Aru w, 2006).
Rekomendasi pemberian lemak adalah sebagai berikut (Sudoyo, Aru w, 2006) :
1. Batasi konsumsi makanan yang mengandung lemak jenuh, jumlah maksimal
10 % dari total kebutuhan kalori per hari
2. Jika kadar kolesterol LDL ≥ 100 mg/dl, asupan asam lemak jenuh diturunkan
sampai maksimal 7% dari total kebutuhan kalori per hari
3. Konsumsi kolesterol maksimal 300 mg/hari, jika kadar kolesterol LDL ≥ 100
mg/dl, maka maksimal kolesterol yang dapat dikonsumsi 200 mg/hari
4. Batasi asupan asam lemak bentuk trans
5. Konsumsi ikan seminggu 2-3 kali untuk mencukupi kebutuhan asam lemak
tidak jenuh rantai panjang.
6. Asupan asam lemak tidak jenuh rantai panjang maksimal 10% dari asupan
kalori per hari.
4. Serat, seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan
mengonsumsi cukup serat dari kacang-kacangan, buah dan sayuran serta sumber
karbohidrat yang tinggi serat, karena mengandung vitamin, mineral, serat dan
bahan lain yang baik untuk kesehatan. Anjuran konsumsi serat adalah ± 25
g/1000 kkal/hari (PERKENI, 2006).
5. Kebutuhan kalori, Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang
dibutuhkan penyandang diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan
kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kalori / kg BB ideal, ditambah atau
dikurangi bergantung pada beberapa faktor yaitu jenis kelamin, umur, aktivitas,
berat badan, dll (PERKENI, 2006).
Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang dimodifikasi
adalah sbb (PERKENI, 2006) :
1. Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
2. Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanitadi bawah 150 cm,
rumus dimodifikasi menjadi :
1. Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
2. BB Normal : BB ideal ± 10 %
3. Kurus : < BBI - 10 %
4. Gemuk : > BBI + 10 %
Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh. Indeks massa
tubuh dapat dihitung dengan rumus: IMT = BB(kg)/TB(m2)
Klasifikasi IMT adalah sebagai berikut menurut WHO WPR/IASO/IOTF dalam
The Asia Pacific Perspective:Redefning Obesity and its Treatment.
1. BB Kurang <18,5
2. BB Normal 18,5-22,9
3. BB Lebih >23,0
a) Dengan risiko 23,0-24,9
b) Obes I 25,0-29,9
c) Obes II ≥ 30

C. Latihan jasmani

Pengelolaan diabetes yang meliputi empat pilar, aktivitas fisik merpakan salah
satu dari keempat pilar tersebut. Aktivitas minimal otot skeletal lebih dari sekedar yang
diperlukan untuk ventilasi basal paru, dibutuhkan untuk semua orang termasuk diabetisi
sebagai kegiatan sehari-hari (Sudoyo, Aru w, 2006).
Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan
memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan
jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti: jalan kaki,
bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur
dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa
ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan
kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalasmalasan (PERKENI,2006).
Tabel 5. Aktifitas fisik sehari-hari. Sumber : PERKENI, 2006

D. Intervensi Farmakologis

Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum


tercapai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani (PERKENI, 2006).
Dalam melakukan pemilihan intervensi farmakologis perlu diperhatikan titik
kerja obat sesuai dengan macam-macam penyebab terjadinya hiperglikemia (Sudoyo,
Aru W, 2006).

Obat hipoglikemik oral (OHO)


Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan (PERKENI, 2006) :

1. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid


Sulfonilurea, obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi
insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien
dengan berat badan normal dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada
pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia
berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal
ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan
penggunaan sulfonilurea kerja panjang.
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini
terdiri dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat) dan
Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepatsetelah
pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati.
2. penambah sensitivitas terhadap insulin: metformin, tiazolidindion
Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada Peroxisome
Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-γ), suatu reseptor inti di sel
otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi
insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan
pada pasien dengan gagal jantung klas I-IV karena dapat memperberat
edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang
menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara
berkala.

3. penghambat glukoneogenesis: metformin


Metformin, obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa
hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.
Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum
kreatinin > 1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan
hipoksemia (misalnya penyakit serebro- vaskular, sepsis, renjatan, gagal
jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk
mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan.

4. Penghambat glukosidase alfa (acarbose)

Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose
tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling
sering ditemukan ialah kembung dan flatulens.

Cara Pemberian OHO, terdiri dari (PERKENI, 2006) :


1. OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respons
kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis hampir maksimal
2. Sulfonilurea generasi I & II : 15 –30 menit sebelum makan
3. Glimepirid : sebelum/sesaat sebelum makan
4. Repaglinid, Nateglinid : sesaat/ sebelum makan
5. Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan
6. Penghambat glukosidase α (Acarbose) : bersama makan suapan pertama
7. Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan.

tabel 6. Mekanisme kerja, efek samping utama, dan pengaruh terhadap penurunan A1C
(Hb-glikosilat). Sumber : PERKENI, 2006.
Tabel 7. Obat hipoglikemia oral. Sumber : PERKENI, 2006

5. Insulin

Insulin

Basal Prandial

Def.insulin Def. Insulin


basal Prandial

Hiperglikemi hiperglikemia
saat puasa setelah makan
• Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah basal  insulin
basal (insulin kerja sedang atau panjang)

• Bila sasaran glukosa darah basal telah tercapai, namun A1C belum mencapai
target  pengendalian glukosa darah prandial  insulin kerja cepat (rapid
acting) atau insulin kerja pendek (short acting)

• Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan
respons individu, dinilai dari hasil pemeriksaan kadar glukosa darah harian.

Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino,


dihasilkan oleh sel beta pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada rangsangan pada
sel beta, insulin disintesis dan kemudian disekresikan kedalam darah sesuai kebutuhan
tubuh untik keperluan regulasi glukosa darah (Sudoyo, Aru W, 2006).
Insulin diperlukan pada keadaan (PERKENI, 2006) :
1. Penurunan berat badan yang cepat
2. Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
3. Ketoasidosis diabetik
4. Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
5. Hiperglikemia dengan asidosis laktat
6. Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
7. Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
8. Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional
9. Yang tidak terkendali dengan perencanaan makan
10. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
11. Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni (PERKENI, 2006) :
1. insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
2. insulin kerja pendek (short acting insulin)
3. insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)
4. insulin kerja panjang (long acting insulin)
5. insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin)
tabel 8. Farmakokinetik insulin berdasarkan waktu kerja. Sumber : PERKENI, 2006

Algoritma pengelolaan DM tipe 2 tanpa disertai dekompensasi


II. 8 Penyulit DM Type 2 :
 Penyulit akut :
 Ketoasidosis diabetik (KAD)
 Hiperosmolar non ketotik (HNK)
 Hipoglikemia
 Penyulit Kronik :
 Makroangiopati
Pembuluh darah jantung
Pembuluh darah tepi
Pembuluh darah otak
 Mikroangiopati
Retinopati diabetik
Nefropati diabetik
Neuropati
 Koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik

Sindrom koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik (HHNK) ditandai oleh


hiperglikemia, hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis. Gejala klinis utama adalah
dehidrasi berat, hiperglikemia berat dan seringkali disertai gangguan neurologis dengan
atau tanpa adanya ketosis (Sudoyo, Aru W, 2006).
Perjalanan klinis HHNK biasanya berlangsung dalam jangka waktu tertentu (beberapa
hari sampai beberapa minggu), dengan gejala khas meningkatnya rasa haus disertai
poliuri, polidipsi, dan penurunan berat badan. Koma hanya ditemukan kurang dari 10%
kasus (Sudoyo, Aru W, 2006).

HHNK biasanya terjadi pada orang tua dengan DM, yang mempunyai penyakit
penyerta yang mengakibatkan menurunnya asupan makanan. Faktor pencetus dapat
dibagi menjadi enam kategori : infeksi, pengobatan, noncompliance, DM tak
terdiagnosis, penyalahgunaan obat, dan penyakit penyerta. Infeksi merupakan penyebab
tersering (57,1%). Compliance yang buruk terhadap pengobatan DM juga sering
menyebabkan HHNK (21%) (Sudoyo, Aru W, 2006).

Faktor yang memulai timbulnya HHNK adalah diuresis glukosuria. Glukosuria


mengakibatkan kegagalan pada kemampuan ginjal dalam mengkonsentrasikan urin, yang
semakin memperberat derajat kehilangan air. Pada keadaan normal, ginjal berfungsi
mengeliminasi glukosa di atas ambang batas tertentu. Namun demikian, penurunan
volume intravaskular atau penyakit ginjal yang telah ada sebelumnya akan menurunkan
laju filtrasi glomerular, menyebabkan kadar glukosa meningkat. Hilangnya air yang
lebih banyak dibanding natrium menyebabkan kadar hiperosmolar. Insulin yang ada
tidak cukup untuk menurunkan kadar glukosa darah, terutama jika terdapat resistensi
insulin (Sudoyo, Aru W, 2006).
Penatalaksanaan HHNK, meliputi lima pendekatan (Sudoyo, Aru W, 2006) :
1. Rehidrasi intravena agresif cairan hipotonis.
2. Penggantian elektrolit
3. Pemberian insulin intravena
4. Diagnosis dan manajemen faktor pencetus dan penyakit penyerta
5. Pencegahan
 Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunya kadar glukosa darah < 70 mg/dl. Hipoglikemia
adalah penurunan konsentrasi glukosa serum dengan atau tanpa adanyagejala-gejala sistem
otonom, seperti adanya whipple’s
triad:
- Terdapat gejala-gejala hipoglikemia
- Kadar glukosa darah yang rendah
- Gejala berkurang dengan pengobatan.
Sebagian pasien dengan diabetes dapat menunjukkan gejala glukosa darah rendah tetapi
menunjukkan kadar glukosa darah normal. Di lain pihak, tidak semua pasien diabetes
mengalami gejala hipoglikemia meskipun pada pemeriksaan kadar glukosa darahnya
rendah.Penurunan kesadaran yang terjadi pada penyandang diabetes harus selalu dipikirkan
kemungkinan disebabkan oleh hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh
penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung
lama, sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat telah
habis. Pengawasan glukosa darah pasien harus dilakukan selama 24-72 jam, terutama pada
pasien dengan gagal ginjal kronik atau yang mendapatkan terapi dengan OHO kerja panjang.
Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan suatu hal yang harus dihindari, mengingat
dampaknya yang fatal atau terjadinya kemunduran mental bermakna pada pasien. Perbaikan
kesadaran pada DM usia lanjut sering lebih lambat dan memerlukan pengawasan yang lebih
lama. Pasien dengan resiko hipoglikemi harus diperiksa mengenai kemungkinan
hipoglikemia simtomatik ataupun asimtomatik pada setiap kesempatan.

Tabel 14. Tanda dan Gejala Hipoglikemia pada Orang Dewasa


Hipoglikemia dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa bagian terakit dengan derajat
keparahannya, yaitu :
- Hipoglikemia berat: Pasien membutuhkan bantuan orang lain untuk pemberian
karbohidrat, glukagon, atau resusitasi lainnya.
- Hipoglikemia simtomatik apabila GDS < 70mg/dL disertai gejala hipoglikemia.
- Hipoglikemia asimtomatik apabila GDS <70mg/dL tanpa gejala hipoglikemia.
- Hipoglikemia relatif apabila GDS > 70mg/dL dengan gejala hipoglikemia.
- Probable hipoglikemia apabila gejala hipogllikemia tanpa pemeriksaan GDS.

keadaan, antara lain:


- Kendali glikemik terlalu ketat
- Hipoglikemia berulang
- Hilangnya respon glukagon terhadap hipoglikemia setelah 5 tahun terdiagnosis DMT1
- Attenuation of epinephrine, norepinephrine, growth hormone, cortisol responses
- Neuropati otonom
- Tidak menyadari hipoglikemia
- End Stage Renal Disease (ESRD)
- Penyakit / gangguan fungsi hati
- Malnutrisi
- Konsumsi alkohol tanpa makanan yang tepat

Rekomendasi pengobatan hipoglikemia:


Hipoglikemia Ringan:
1. Pemberian konsumsi makanan tinggi glukosa (karbohidrat sederhana)
2. Glukosa murni merupakan pilihan utama, namun bentuk karbohidrat lain yang berisi
glukosa juga efektif untuk menaikkan glukosa darah.
3. Makanan yang mengandung lemak dapat memperlambat respon kenaikkan glukosa darah.
4. Glukosa 15–20 g (2-3 sendok makan) yang dilarutkan dalam air adalah terapi pilihan pada
pasien dengan hipoglikemia yang masih sadar
5. Pemeriksaan glukosa darah dengan glukometer harus dilakukan setelah 15 menit
pemberian upaya terapi. Jika pada monitoring glukosa darah 15 menit setelah pengobatan
hipoglikemia masih tetap ada, pengobatan dapat diulang kembali.
6. Jika hasil pemeriksaan glukosa darah kadarnya sudah mencapai normal, pasien diminta
untuk makan atau mengkonsumsi snack untuk mencegah berulangnya hipoglikemia.

Pengobatan pada hipoglikemia berat:


1. Jika didapat gejala neuroglikopenia, terapi parenteral diperlukan berupa pemberian
dekstrose 20% sebanyak 50 cc (bila terpaksa bisa diberikan dextore 40% sebanyak 25 cc),
diikuti dengan infus D5% atau D10%.
2. Periksa glukosa darah 15 menit setelah pemberian i.v tersebut. Bila kadar glukosa darah
belum mencapai target, dapat diberikan ulang pemberian dextrose 20%.
3. Selanjutnya lakukan monitoring glukosa darah setiap 1-2 jam kalau masih terjadi
hipoglikemia berulang pemberian Dekstrose 20% dapat diulang
4. Lakukan evaluasi terhadap pemicu hipoglikemia

Pencegahan hipoglikemia:
1. Lakukan edukasi tentang tanda dan gejala hipoglikemi, penanganan sementara, dan hal lain
harus dilakukan
2. Anjurkan melakukan Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM), khususnya bagi
pengguna insulin atau obat oral golongan insulin sekretagog.
3. Lakukan edukasi tentang obat-obatan atau insulin yang dikonsumsi, tentang: dosis, waktu
megkonsumsi, efek samping
4. Bagi dokter yang menghadapi penyandang DM dengan kejadian hipoglikemi perlu
melalukan:
 Evaluasi secara menyeluruh tentang status kesehatan pasien
 Evaluasi program pengobatan yang diberikan dan bila diperlukan melalukan program
ulang dengan memperhatikan berbagai aspek seperti: jadwal makan, kegiatan oleh
raga, atau adanya penyakit penyerta yang memerlukan obat lain yang mungkin
berpengaruh terhadap glukosa darah
 Bila diperlukan mengganti obat-obatan yang lebih

Komplikasi kronik

Seperti telah diungkapkan, hiperglikemia merupakan peran sentran terjadi


komplikasi pada DM. Pada keadaan hiperglikemia, akan terjadi peningkatan jalur polyol,
peningkatan pembentukan Protein Glikasi non enzimakti serta peningkatan proses
glikosilasi itu sendiri, yang menyebabkan peningkatan stress oksidatif dan pada akhirnya
menyebabkan komplikasi baik vaskulopati, retinopati, neuropati ataupun nefropati
diabetika (Permana,Hikmat, 2007).

Komplikasi kronis ini berkaitan dengan gangguan vaskular, yaitu


(Permana,Hikmat, 2007):
• Komplikasi mikrovaskular
• Komplikasi makrovaskular
• Komplikasi neurologis

1. Komplikasi Mikrovaskular
Timbul akibat penyumbatan pada pembuluh darah kecil khususnya kapiler.
Komplikasi ini spesifik untuk diabetes melitus.

Retinopati diabetika
Kecurigaan akan diagnosis DM terkadang berawal dan gejala berkurangnya
ketajaman penglihatan atau gangguan lain pada mata yang dapat mengarah pada
kebutaan. Retinopati diabetes dibagi dalam 2 kelompok, yaitu Retinopati non
proliferatif dan Proliferatif. Retinopati non proliferatif merupkan stadium awal dengan
ditandai adanya mikroaneurisma, sedangkan retinoproliferatif, ditandai dengan
adanya pertumbuhan pembuluh darah kapiler, jaringan ikat dan adanya hipoksia
retina. Pada stadium awal retinopati dapat diperbaiki dengan kontrol gula darah yang
baik, sedangkan pada kelainan sudah lanjut hampir tidak dapat diperbaiki hanya
dengan kontrol gula darah, malahan akan menjadi lebih buruk apabila
dilakukan penurunan kadar gula darah yang terlalu singkat.

Nefropati diabetika

Diabetes mellitus tipe 2, merupaka penyebab nefropati paling banyak, sebagai


penyebab terjadinya gagal ginjal terminal. Kerusakan ginjal yang spesifik pada DM
mengaikibatkan perubahan fungsi penyaring, sehingga molekul-molekul besar seperti
protein dapat lolos ke dalam kemih (mis. Albuminuria). Akibat nefropati diabetika
dapat timbul kegagalan ginjal yang progresif. Nefropati diabetic ditandai dengan
adanya proteinuri persisten ( > 0.5 gr/24 jam), terdapat retinopati dan hipertensi.
Dengan demikian upaya preventif pada nefropati adalah kontrol metabolisme dan
kontrol tekanan darah.
2. Komplikasi Makrovaskular

Timbul akibat aterosklerosis dan pembuluh-pembuluh darah besar, khususnya


arteri akibat timbunan plak ateroma. Makroangioati tidak spesifik pada diabetes, namun
pada DM timbul lebih cepat, lebih seing terjadi dan lebih serius. Berbagai studi
epidemiologis menunjukkan bahwa angka kematian akibat penyakit ,kardiovaskular dan
penderita diabetes meningkat 4-5 kali dibandingkan orang normal.

Komplikasi makroangiopati umumnya tidak ada hubungannya dengan kontrol


kadar gula darah yang balk. Tetapi telah terbukti secara epidemiologi bahwa
hiperinsulinemia merupakan suatu faktor resiko mortalitas kardiovaskular, dimana
peninggian kadar insulin menyebabkan risiko kardiovaskular semakin tinggi pula. kadar
insulin puasa > 15 mU/mL akan meningkatkan risiko mortalitas koroner sebesar 5 kali
lipat. Hiperinsulinemia kini dikenal sebagai faktor aterogenik dan diduga berperan
penting dalam timbulnya komplikasi makrovaskular.

II. 9 Evaluasi medis secara berkala


• Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan 2 jam sesudah
makan, atau pada waktu-waktu tertentu lainnya sesuai dengan kebutuhan
• Pemeriksaan A1C dilakukan setiap (3-6) bulan
• EKG
• Foto sinar-X dada
• Funduskopi

Pemeriksaan kadar glukosa darah

Tujuan pemeriksaan glukosa darah :


a) Untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai
b) Untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran terapi
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah
puasa dan glukosa 2 jam posprandial secara berkala sesuai dengan kebutuhan.
Kalau karena salah satu hal terpaksa hanya dapat diperiksa 1 kali dianjurkan
pemeriksaan 2 jam posprandial.
Pemeriksaan A1C

Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai glikohemoglobin, atau


hemoglobin glikosilasi disingkat sebagai A1C, merupakan cara yang digunakan
untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Tes ini tidak dapat
digunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan A1C
dianjurkan dilakukan minimal 2 kali dalam setahun.

II. 10 Kriteria pengendalian DM

Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diperlukan pengendalian


DM yang baik yang merupakan sasaran terapi. Diabetes terkendali baik, apabila kadar
glukosa darah mencapai kadar yang diharapkan serta kadar lipid dan A1C juga
mencapai kadar yang diharapkan. Demikian pula status gizi dan tekanan darah.
Kriteria keberhasilan pengendalian DM dapat dilihat pada Tabel 10 (PERKENI,
2006).

Tabel 10. Kriteria pengendalian diabetes melitus. Sumber : PERKENI, 2006.


DAFTAR PUSTAKA

1. American Association of Clinical Endocrinologist (AACE) Diabetes Mellitus


Clinical Practice Guidelines Task Force. AACE Medical guidelines for clinical
practice for the management of diabetes mellitus. Endo Pract. 2007;13(Supl 1).
2. American Diabetes Association. ADA position statement : standard of
medical care in diabetes-2006. Diab Care. 2005;29(suppl. 1):S4-S42.
3. American Association of Clinical Endocrinologists and American College of
Endocrinology. The American Association of Clinical Endocrinologists medical
guidelines for the management of Diabetes Mellitus: the AACE system of
intensive diabetes self-management-2002 Update. Endo Practice. 2002;8(suppl.
1):40-82.
4. Asia-Pasific Type 2 Diabetes Policy Group Type 2 Diabetes Practical Target
Treatments. Health Communication Australia. 2002.
5. Stephen J, Maxine A, Michael W. Current Medical Diagnosis & Treatment
2011,50thanniversary Edition.United States of America: The Mcgraw-Hill
Companies; 2011.
6. Soeroso J, Isbagio H, Kalim H, Broto R, Pramudiyo R. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK
UI; 2007.
7. Price, Sylvia A. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi IV.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1995.
8. Harisson. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Vol 3.ed.13. 2000.

Anda mungkin juga menyukai