Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Stunting merupakan istilah untuk terlalu pendek pada umur tertentu.
Definisi stunting/pendek menurut World Health Organization (WHO) adalah
apabila Z score tinggi atau panjang badan menurut umur seorang anak kurang
dari -2 standar deviasi median standar pertumbuhan anak WHO.1,2 Masalah
kejadian pendek di Indonesia tergolong berat, yaitu lebih dari 37% balita
mengalami pendek pada tahun 2013.3 Salah satu kabupaten di Indonesia
dengan angka kejadian pendek tinggi adalah Kabupaten Grobogan dengan
prevalensi pendek sebesar 54,97% tahun 2015.4 Efek jangka panjang yang
timbul apabila seorang anak mengalami stunting adalah terganggunya
perkembangan fisik dan kognitif, buruknya kondisi kesehatan, dan
meningkatnya risiko penyakit degeneratif.2
Penyebab kejadian pendek menurut WHO Conceptual Framework
adalah kurangnya asupan zat gizi, baik jumlah maupun jenis; kurang
efektifnya praktik menyusui; penyakit infeksi; dan faktor keluarga atau rumah
tangga. Dari segi asupan zat gizi, kualitas zat gizi mikro yang kurang dapat
mengakibatkan terganggunya pertumbuhan. Salah satu zat gizi mikro yang
mempengaruhi pertumbuhan adalah seng.5,6
Seng merupakan salah satu mineral yang dibutuhkan oleh tubuh
dalam jumlah kecil, tetapi seng memiliki pengaruh yang besar dalam tubuh.7
Seng merupakan katalis untuk lebih dari 50 jenis enzim yang berbeda.8 Seng
memiliki fungsi regulasi melalui zinc finger yang dapat mengikat DNA, RNA,
atau protein. Secara tidak langsung, seng berperan dalam proses pertumbuhan
dan perkembangan otak.9 Seng memiliki berbagai macam fungsi dalam
proses pertumbuhan, seperti pembentukan hormon dan enzim yang berperan
dalam pertumbuhan dan pembelahan sel.10

1
Seng merupakan zat gizi tipe 2 yang dibutuhkan dalam banyak
fungsi metabolik sehingga respon ketika terjadi kekurangan asupan zat gizi
ini akan terlihat berbeda.11 Respon awal ketika terjadi kekurangan asupan
seng adalah penurunan jumlah seng yang dikeluarkan melalui feses atau urin.
Apabila asupan seng masih belum terpenuhi, katabolisme jaringan hingga
terhambatnya pertumbuhan dapat terjadi.12 Simpanan seng dalam tubuh dapat
hilang hanya dalam waktu beberapa hari apabila asupan seng kurang. Respon
defisiensi seng juga akan muncul pada tahap ini, seperti terganggunya
pertumbuhan, skin lesion, dan terjadinya infeksi. Sebaliknya, apabila asupan
seng kembali normal, simpanan seng dalam seng akan kembali dengan
cepat.11
Defisiensi seng dapat terjadi karena beberapa faktor, yaitu asupan
seng kurang, kebutuhan fisiologi seng yang tinggi, kondisi tertentu yang
mengakibatkan penyerapan seng terganggu, atau ekskresi seng berlebihan.
Asupan seng yang kurang dapat diakibatkan oleh rendahnya asupan seng dari
makanan, bioavailabititas seng rendah, atau kombinasi dari keduanya. Masa
anak-anak, kehamilan, menyusui, dan dewasa merupakan masa dimana
individu memerlukan seng yang tinggi. Selain itu, beberapa kondisi dapat
menyebabkan penyerapan seng terganggu, seperti fibrosis sistik dan penyakit
Celiac. Ekskresi seng yang berlebihan dapat terjadi karena adanya diare,
muntah terus menerus, dan diabetes.13
Defisiensi seng juga dapat diakibatkan oleh adanya infeksi
kecacingan. Penelitian di Kamboja dan Meksiko menyebutkan bahwa seng
serum berkaitan dengan infeksi kecacingan.14,15 Penelitian di Kamboja
menemukan bahwa konsentrasi seng serum anak dengan infeksi kecacingan
lebih rendah daripada anak tanpa infeksi kecacingan. Penelitian di Meksiko
menyebutkan bahwa anak terinfeksi cacing A. lumbricoides memiliki kadar
seng serum yang lebih rendah daripada anak yang tidak terinfeksi. Penelitian
di daerah tropis Bolivia dengan subjek anak prasekolah menyebutkan bahwa
anak dengan infeksi cacing di saluran pencernaaan mempunyai kadar serum
seng lebih rendah daripada kadar serum seng anak tanpa infeksi kecacingan.16

2
Infeksi kecacingan dapat mempengaruhi status seng dengan
berbagai jalan. Pertama, infeksi cacing dapat merusak atau menutupi mukosa
usus sehingga mengurangi penyerapan seng. Kedua, cacing yang terdapat
dalam tubuh akan mengambil seng yang seharusnya diserap oleh tubuh.
Selain itu, infeksi kecacingan dapat menyebabkan inflamasi yang dapat
mengurangi kadar seng dalam serum.14
Prevalensi infeksi kecacingan di Indonesia masih tergolong tinggi
terutama di daerah pedesaan dimana lingkungannya sesuai untuk
perkembangbiakan cacing.17 Departemen Kesehatan menyebutkan pada tahun
2006 sekitar 21% kejadian infeksi kecacingan menyerang anak usia
prasekolah dan sekolah.18 Data WHO tahun 2011 menunjukkan bahwa 2 dari
3 anak Indonesia terserang infeksi kecacingan.19 Tidak ada data tentang
prevalensi infeksi kecacingan di Kabupaten Grobogan. Namun, Kabupaten
Grobogan memiliki prevalensi pendek sebesar 54,97% tahun 2015.4
Penelitian di Kuba dengan subjek anak sekolah menunjukkan bahwa stunting
dapat menjadi faktor risiko dari infeksi kecacingan.14 Hal ini dapat menjadi
alasan peneliti memilih Kabupaten Grobogan sebagai tempat penelitian.
Identifikasi defisiensi seng di populasi dapat dilihat dari tiga
indikator, seperti yang diusulkan oleh WHO, yaitu kurangnya asupan seng,
kejadian stunting, dan rendahnya konsentrasi seng serum.20 Indikator asupan
seng dilihat dari estimasi asupan seng dan fitat yang dibandingkan dengan
kebutuhan rata-rata estimasi seng.21 Indikator stunting dilihat dari z-score
tinggi atau panjang menurut umur kurang dari -2. Indikator seng serum dilihat
dari kadar seng serum dibandingan dengan kadar seng serum cut-off menurut
umur dan keadaan tertentu.22
Penelitian tentang kadar seng serum pada anak umur 12-24 bulan
dengan dan tanpa infeksi kecacingan masih terbatas dan jarang dilakukan.
Penelitian sebelumnya dilakukan dengan menggunakan kadar seng rambut.
Penelitian tentang kaitan antara kadar seng dengan infeksi kecacingan juga
terbatas. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk melihat kadar seng
serum pada anak yang mengalami infeksi kecacingan.

3
B. Rumusan Masalah
Apakah terdapat perbedaan kadar seng serum antara anak umur 12-24 bulan
terinfeksi kecacingan dengan tidak terinfeksi kecacingan?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui perbedaan kadar seng serum pada balita terinfeksi
kecacingan dan tidak terinfeksi kecacingan.
2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan karakteristik subjek
b. Mendeskripsikan kadar seng serum subjek
c. Mendeskripsikan kejadian infeksi kecacingan pada subjek
d. Menganalisis perbedaan kadar seng serum pada anak terinfeksi
kecacingan dan tidak terinfeksi kecacingan

D. Manfaat
1. Manfaat Teoritis
a. Menerapkan dan memanfaatkan ilmu yang didapatkan selama
pendidikan serta menambah pengetahuan peneliti mengenai
pengaruh kejadian infeksi kecacingan terhadap kadar seng serum
pada balita umur 12-24 bulan
b. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai pengaruh
kejadian infeksi kecacingan terhadap kadar seng serum pada balita
umur 12-24 bulan.
2. Manfaat Aplikatif
a. Bahan masukan kepada masyarakat agar mengetahui tentang
pengaruh kejadian infeksi kecacingan terhadap kadar seng serum
pada balita umur 12-24 bulan.
b. Bahan masukan kepada pemerintah agar membuat kebijakan tentang
pentingnya asupan seng pada anak.

4
c. Sumber acuan yang dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya
bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori
1. Seng
Seng terdapat hampir di seluruh tubuh, jaringan, dan cairan
tubuh.Seng merupakan mineral terbanyak kedua di dalam tubuh setelah
besi dan 95% seng dalam tubuh terdapat dalam sel. Seng memiliki sistem
homeostasis untuk selalu menjaga kandungan seng dalam tubuh.7,8 Seng
tidak mempunyai tempat penyimpanan khusus di dalam tubuh yang
memungkinkan seng untuk dapat dilepas secara langsung. Namun, seng
memiliki bagian kecil seng yang dapat diubah dengan cepat di tulang, hati,
dan plasma. Seng diekskresi melalui saluran cerna.9, 23
Sebelum diserap, seng dalam makanan perlu dipisahkan terlebih
dahulu oleh enzim protease dan nuklease di lambung dan usus halus. Seng
diserap di usus halus proximal terutama jejunum oleh pengangkut tertentu
lalu diedarkan ke jaringan lain. Seng akan diserap lebih efektif jika asupan
seng sedikit daripada ketika asupan seng banyak. Hal ini menandakan
bahwa jumlah seng yang terserap diatur secara homeostasis.7
Seng memiliki berbagai macam peran yaitu peran katalis,
struktural, dan regulator. Seng memiliki fungsi katalis karena seng
dibutuhkan dalam aktivitas lebih dari 300 enzim. Suatu enzim disebut
sebagai metaloenzim seng apabila seng dihilangkan dari enzim tersebut,
aktifitas enzim berkurang tanpa mempengaruhi proteinnya dan apabila
ditambahkan seng kembali, aktifitas enzimnya akan ada lagi. Seng terdapat
di enzim yang berperan dalam metabolisme energi, karbohidrat, protein,
lemak dan asam nukleat seperti alkalin fosfatase, karbonik anhidrase,
karboksipeptidase, kalsium-ATPase, timidin kinase, dan kreatin kinase.
Seng juga memiliki sifat antioksidan karena seng dapat meningkatkan
aktifitas superoksida dismutase. Konsentrasi seng pada membran menjaga

6
stabilitas membran dan integritas sel. Seng secara struktur dan fungsinya
mempengaruhi respons imunitas bawaan dan adaptif dengan mengatur
berbagai macam mekanisme imun seperti fungsi sel imun (neutrofil,
monosit, makrofag) yang menjaga keseimbangan TH1 dan TH2 sitokin.
Dengan zinc finger, seng dibutuhkan dalam pembentukan DNA, RNA, dan
protein.9
Seng berperan dalam pertumbuhan melalui pembentukan
insulin-like growth factor (IGF-1), fosforilasi reseptor IGF-1, dan regulasi
aktifitas deoksitimidin kinase.10 IGF-1 merupakan faktor yang memediasi
efek selular hormon pertumbuhan. Defisiensi seng dapat menganggu
fungsi IGF-1. Penelitian yang dilakukan pada hewan menunjukkan bahwa
kadar IGF-1 serum pada hewan dengan defisiensi seng mengalami
penurunan. Keadaan defisiensi seng menyebabkan penurunan kadar seluler
reseptor IGF-1. Promoter untuk reseptor IGF-1 dapat diaktifkan oleh
promoter faktor transkripsi spesifik (Sp1) yang mengandung zinc-finger.23
Pengukuran untuk melihat status seng perlu dilakukan karena
fungsi seng yang penting bagi tubuh.7 Pengukuran status seng perlu
dilakukan untuk melihat apakah seorang individu mengalami defisiensi
seng. Penelitian masih dilakukan untuk mencari indikator status seng
dalam tubuh yang reliabel. Tidak adanya gejala klinis khusus atau
biomarker tertentu yang berhubungan dengan defisiensi seng membuat
indikator status seng sulit untuk ditentukan. Gejala defisiensi seng
biasanya bersifat umum, seperti gangguan pertumbuhan dan gangguan
fungsi imun.25 Tiga biomarker yang paling baik untuk pengukuran status
seng adalah serum, urin, dan rambut. Seng serum menjadi biomarker yang
paling sering digunakan.
Kadar seng serum dipengaruhi berbagai kondisi, seperti waktu
pengambilan darah, jangka waktu makan terakhir, dan lama aktivitas fisik
yang dilakukan atau bentuk stres lainnya. Kadar seng serum dapat turun
setelah makan, sebaliknya puasa malam atau siang hari dapat
meningkatkan kadar seng serum. Meskipun tidak terlalu bermakna, kadar

7
seng serum pada anak lebih rendah dibandingkan kadar seng serum pada
dewasa dan remaja baik laki-laki maupun perempuan. Selain itu, kadar
seng serum laki-laki dewasa lebih tinggi daripada kadar seng serum wanita
dewasa. Keadaan infeksi dan inflamasi dapat meningkatkan kadar seng
serum tergantung dari keparahan infeksi yang ada. Faktor-faktor lain,
seperti rendahnya kadar albumin, meningkatnya jumlah sel darah putih,
adanya kehamilan, menyusui, dan penggunaan kontrasepsi oral atau
hormon lainnya dapat mempengaruhi kadar seng serum. Penurunan kadar
seng serum ketika kehamilan berkaitan dengan penurunan konsentrasi
albumin plasma dan penambahan volum darah maternal. Faktor-faktor di
atas perlu diperhatikan ketika menginterpetasi hasil pengukuran kadar seng
serum.22,24
Konsentrasi seng yang ada dalam serum sedikit sehingga
kontaminasi seng dari luar dapat mengubah hasil pengukuran secara
drastis. Hemolisis dapat meningkatkan konsentrasi seng serum karena
konsentrasi seng dalam eritrosit lebih besar 10 kali daripada konsentrasi
seng dalam serum. Oleh karena itu, sampel darah harus dikumpulkan dan
diproses menggunakan jarum, alat suntik, tabung sentrifusi, botol
penyimpanan, dan pipet transfer yang semuanya bebas seng. Hemolisis sel
darah merah juga perlu dihindari karena dapat meningkatkan kadar seng
serum. Waktu pengambilan darah harus dicatat sehingga hasil pengukuran
dapat disesuaikan. Kapan subjek terakhir makan juga harus dicatat. Ketika
darah sudah diambil, darah harus disimpan di kotak atau lemari pendingin
hingga darah disentrifusi untuk memisahkan serum atau plasma dari sel
darah. Jika darah disimpan pada suhu 2-10°C, sampel darah dapat bertahan
hingga 24 jam. Apabila tidak dapat menyimpan pada suhu tersebut, serum
atau plasma harus dipisahkan terlebih dahulu dalam jangka wakto 20-30
menit. Setelah disentrifusi, serum atau plasma harus disimpan di botol dan
diletakkan di lemari pendingin hingga darah dianalisa.23,26,27
Kadar seng dapat diukur dengan berbagai metode analisia,
seperti flame atomic absorption spectrometry, graphite furnace atomic

8
absorption spectrometry, inductively coupled plasma atomic emission
spectrometry, dan neutron activation analysis. Metode pengukuran dapat
dilakukan sesuai dengan ketersediaan alat dan tingkat ketelitian yang
diinginkan. 26
Seng serum dapat dijadikan biomarker seng karena laju
perputaran serum seng tinggi. Seng serum diganti sekitar 150 kali tiap
harinya. Ketika tubuh mengalami kekurangan seng, serum seng akan
langsung mengalami penurunan. Semakin banyak seng yang hilang,
semakin cepat laju penurunan serum seng. Seng serum menggambarkan
asupan seng dan bereaksi cepat terhadap suplementasi seng. Referensi
batas terendah serum seng pada berbagai kelompok umur dan jenis
kelamin dapat dilihat pada Tabel 1.22,26

Tabel 1. Referensi Batas Terendah Kadar Serum Seng22


Waktu Serum Seng (µg/dL [µmol/L])1
pengukuran < 10 tahun Wanita tidak hamil Laki-laki
2
Pagi, puasa - 70 (10,7) 74 (11,3)
Pagi, tidak puasa 65 (9,9) 66 (10,1) 70 (10,7)
Siang 57 (8,7) 59 (9,0) 61 (9,3)
1
Faktor konversi µmol/L = µg/dL: 6,54
2
Puasa diartikan tidak mengonsumsi makanan selama minimal 8 jam terakhir

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Seng Dalam Tubuh


a. Asupan Zat Gizi
1) Asupan energi
Asupan energi didapat dari zat gizi makro seperti
karbohidrat, protein, lemak, dan alkohol. Energi harus selalu diasup
untuk memenuhi kebutuhan energi tubuh. Kebutuhan energi adalah
asupan energi yang dibutuhkan untuk memelihara keseimbangan
energi pada manusia yang sehat dan dipengaruhi oleh umur, jenis
kelamin, berat dan tingi badan serta tingkat aktivitas. Kebutuhan
energi dibutuhkan untuk melakukan beberapa reaksi kimia dalam
tubuh seperti sintesis dan pemeliharaan jaringan tubuh, konduksi
listrik aktifitas saraf, kerja otot, dan produksi panas untuk menjaga

9
suhu tubuh.28,29 Asupan energi merupakan faktor utama dari
sebagian besar defisiensi zat gizi mikro termasuk seng.25 Asupan
energi yang kurang dan dalam jangka waktu yang lama dapat
menurunkan simpanan seng.30,31
2) Asupan protein
Protein merupakan salah satu zat gizi makro penting
karena kandungan utama protein yaitu asam amino merupakan
unsur yang penting dalam semua proses sintesis dalam tubuh.
Status seng dalam tubuh dapat dipengaruhi oleh asupan protein.
Jumlah protein dalam makanan berhubungan lurus dengan
penyerapan seng. Semakin besar kandungan protein dalam
makanan, semakin tinggi pula penyerapan sengnya. Selain itu,
protein merupakan sumber utama dari seng sehingga semakin
banyak asupan protein akan semakin banyak asupan seng.7,32
Jenis protein dalam makanan juga mempengaruhi
bioavailabilitas seng. Protein hewani, seperti daging, telur, keju,
dapat menyerang balik efek inhibitor fitat terhadap penyerapan
seng. Penyerapan seng meningkat seiring dengan meningkatnya
kandungan protein terutama protein hewani. Kasein, protein dalam
susu, memiliki efek negatif terhadap penyerapan seng.23.32
3) Asupan seng
Asupan seng yang baik dapat berasal dari makanan hewani,
seperti daging sapi, unggas, makanan laut, dan produk susu. Seng
juga dapat diperoleh dari whole grain dan sayuran (bagian daun
dan akar). Buah dan refined cereals memiliki kandungan seng dan
bioavaibilitas seng rendah.7,9
Penyerapan seng dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Kandungan seng total dalam makanan mempengaruhi penyerapan
seng.23 Beberapa senyawa dalam makanan dapat menghambat
penyerapan seng, seperti fitat, oksalat, polifenol, dan zat gizi
tertentu seperti vitamin dan mineral berkation divalen. Efek

10
inhibitor fitat terhadap penyerapan seng dapat dilihat dengan
mengukur perbandingan molar fitat:seng dalam suatu makanan.
Mineral berkation divalen dapat menghambat penyerapan seng
karena mineral tersebut memiliki ligand yang sama dengan seng
untuk penyerapan di usus menuju ke enterosit. Mineral lain dapat
merebut ligand penyerapan seng apabila jumlah mineral lain lebih
banyak daripada jumlah seng yang akan diserap begitu juga
sebaliknya.7,16,25
Seng memiliki fungsi yang penting bagi tubuh seperti
yang telah dijelaskan sebelumya. Asupan seng yang cukup perlu
untuk mendukung fungsi seng dalam tubuh yang optimal. Status
seng seseorang dinyatakan baik apabila asupan seng dapat
memenuhi kebutuhan tubuh dan sebaliknya. Asupan seng harus
disesuaikan oleh kebutuhan tubuh. Kebutuhan seng tubuh
ditentukan berdasarkan umur dan jenis kelamin.9,32
4) Asupan fitat
Fitat banyak ditemukan pada makanan nabati seperti
kacang-kacangan, jagung, gandum, dan biji-bijian. Fitat
(myoinositol hexaphostate) membentuk senyawa tidak larut dengan
seng sehingga menghambat penyerapan seng. Derajat seberapa fitat
dapat menghambat seng ditunjukkan dengan rasio molar fitat dan
seng serta kandungan kalsium. Kandungan fitat dalam sebagian
besar makanan di negara berkembang atau miskin termasuk tinggi,
sehingga bioavailabilitas seng rendah.7,23
5) Asupan kalsium
Kalsium merupakan mineral berkation divalen terbanyak
dalam tubuh. Kalsium paling banyak terdapat di tulang dan gigi.
Sumber kalsium yang paling baik adalah susu dan produk susu,
seperti keju dan yogurt. Beberapa sayuran, seperti lobak, brokoli,
kembang kol, juga memiliki kandungan kalsium yang cukup
banyak. Kalsium berbentuk garam dalam sebagian besar makanan

11
dan suplemen diet. Sebelum diserap, kalsium perlu dilepaskan
terlebih dahulu dari garam yang mengikatnya. Kalsium memiliki
peran dalam mineralisasi tulang, pembekuan darah, konduksi saraf,
kontraksi otot, regulasi enzim, dan permeabilitas membran.33
Asupan kalsium juga dapat mempengaruhi status seng.
Kalsium memiliki efek negatif terhadap penyerapan seng dalam
tubuh. Kandungan kalsium dalam makanan mempengaruhi
penyerapan seng melalui makanan yang mengandung fitat. Kalsium
dapat membentuk senyawa dengan fitat dan seng yang tidak larut.
Hal ini dapat menurunkan bioavailabilitas seng sehingga
menghambat penyerapan seng.32
6) Asupan besi
Tubuh manusia mengandung 2 sampai 4 gram besi. Lebih
dari 65% besi ditemukan di hemoglobin. Besi dalam makanan
memiliki dua macam bentuk, heme dan nonheme. Sebagian besar
heme merupakan turunan dari hemoglobin dan ditemukan di
makanan hewani, seperti daging, ikan, dan unggas. Nonheme
terdapat di makanan nabati dan produk susu. Nonheme biasanya
terikat dengan komponen makanan dan harus dihidrolisasi, dicerna,
atau dilarutkan terlebih dahulu di saluran cerna sebelum diserap
oleh sel-sel usus.34
Interaksi kompetitif antara besi dan seng dapat terjadi,
tergantung dari bentuk besi yang ada dan kondisi kadar seng dan
besi.23 Seng dan besi memiliki efek negatif terhadap penyerapan
satu sama lain. Kedua jenis mineral ini memiliki pengangkut yang
sama, seperti DMT1. Apabila jumlah seng lebih banyak,
penyerapan besi akan terganggu, begitu juga sebaliknya. Namun,
interaksi ini banyak terjadi ketika kedua mineral ini diberikan
dalam bentuk suplemen, bukan makanan.31,34

12
b. Infeksi
1) Kecacingan
Infeksi kecacingan merupakan salah satu penyakit infeksi
yang disebabkan oleh cacing dalam saluran cerna dan ditularkan
melalui tanah. Oleh karena itu, cacing penyebab penyakit ini
disebut Soil-Transmitted Helminths. Jenis cacing yang sering
ditemukan adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing
cambuk (Trichuris trichiura), dan cacing tambang (Ancylostoma
duodenale dan Necator americanus). Infeksi kecacingan sering
terjadi di daerah hangat atau tropis dengan kebersihan dan sanitasi
yang kurang. Infeksi kecacingan dikelompokkan ke dalam
kelompok negleted tropical diseases karena infeksi ini tidak
menyebabkan kematian langung dan bisa dikendalikan atau
dihilangkan. Akan tetapi, infeksi kecacingan dapat menimbulkan
risiko morbiditi yang parah karena bersifat menahun dan
penderitanya dapat mengalami disabilitas yang lama.18,35
Soil-Transmitted Helminths tinggal di saluran cerna
penderita dan telurnya akan ikut keluar melalui feses. Jika
penderita buang air besar tidak pada tempatnya (sungai, semak-
semak, lapangan) atau feses penderita digunakan sebagai pupuk,
telur cacing akan berkumpul di tanah. Telur Ascaris dan Trichuris,
contohnya, akan berkembang di tanah dan menjadi infektif.
Apabila telur ini tertelan oleh manusia, manusia tersebut menjadi
terinfeksi. Telur kedua cacing ini dapat tertelan apabila tangan atau
jari terkena tanah yang mengandung telur cacing lalu digunakan
untuk makan dan masuk ke mulut atau apabila mengkonsumsi buah
dan sayuran yang tidak dibersihkan dan dimasak dengan baik. Lain
dengan telur cacing tambang yang dapat menembus kulit manusia.
Manusia biasanya terinfeksi cacing tambang karena berjalan kaki
tanpa alas pada tanah yang mengandung telur cacing ini. Akan
tetapi, ada metode lain yang masih diperdebatkan yaitu melalui

13
daging terkontaminasi yang tidak dimasak dengan benar atau
melalui pemberian air susu dari ibu yang terinfeksi cacing ini.35,36
Ketiga jenis cacing ini memiliki efek negatif yang hampir
sama, yaitu masalah pada usus penderitanya. Masalah pada usus
dapat mengganggu penyerapan zat gizi sehingga dalam jangka
panjang dapat menyebabkan malnutrisi dan gangguan pertumbuhan.
Infeksi ringan cacing cambuk hanya memiliki sedikit gejala, tapi
infeksi beratnya dapat menimbulkan masalah saluran cerna, rectal
prolapse, anemia, gangguan pertumbuhan, dan penurunan fungsi
kognitif. Infeksi cacing cambuk dapat menyebabkan penurunan
seng serum karena adanya anoreksia dan/atau muntah,
meningkatnya kebutuhan seng, dan hilangnya seng melalui
diare.36,37
Infeksi cacing gelang dapat mengakibatkan kerusakan
fisik pada usus halus sehingga dapat menyebabkan malabsorpsi zat
gizi, terutama zat gizi mikro seperti seng dan intoleransi laktosa
yang dapat menimbulkan terganggunya status gizi dan
pertumbuhan. Kerusakan usus halus disebabkan oleh cacing gelang
dewasa yang berkumpul di ileum sehingga terdapat kerusakan
parsial pada ileum. 36,38
Cacing tambang dewasa dalam jumlah banyak akan
menempel di mukosa dan submukosa usus halus dan menyerap
darah serta protein yang dapat menyebabkan anemia. Sebanyak 40
cacing tambang dewasa dapat mengurangi konsentrasi hemoglobin
hingga kurang dari 11 g/dL.38

2) Infeksi Lainnya
Beberapa penyakit infeksi lain dapat mempengaruhi kadar
serum seng, seperti diare, infeksi saluran pernafasan akut, dan
infeksi parasit protozoa, seperti Giardiasis. Suatu penelitian
dilakukan di Rumania dengan subjek berumur 0-3 tahun yang

14
mengalami diare, inkesi saluran pernafasan akut, dan infeksi parasit
untuk melihat kadar serum seng pada penderita penyakit infeksi.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan kadar serum seng lebih
rendah pada anak dengan infeksi saluran pernafasan akut daripada
anak dengan diare dan infeksi parasit.39 Infeksi protozoa seperti
Giardiasis dapat menyebabkan diare yang dapat meningkatkan
hilangnya seng dari dalam tubuh melalui feses.40 Penelitian dengan
subjek pasien anak diare di Iran menunjukkan kadar serum seng
pada anak dengan diare lebih rendah dibandingkan dengan anak
tanpa diare.41 Penelitian di Korea Selatan yang membandingkan
kadar serum seng penderita tuberkulosis dengan individu sehat
menunjukkan kadar serum seng pada penderita tuberkulosis lebih
rendah daripada kadar serum individu sehat. Penelitian ini juga
menyimpulkan rendahnya kadar serum seng dapat meningkatkan
risiko seseorang terinfeksi tuberkulosis.42 Selain itu, anak penderita
infeksi Helicobacter pylori memiliki kadar serum seng yang lebih
tinggi dibandingkan anak tanpa infeksi Helicobacter pylori di Turki.
Hal ini dapat diakibatkan oleh keadaan lambung yang
mengeluarkan lebih banyak asam lambung sehingga meningkatkan
penyerapan seng dalam sistem cerna.43

c. Genetik
Beberapa penyakit genetik dapat menyebabkan tubuh
kekurangan seng, seperti penyakit acrodermatitis enteropathica (AE)
dan sickle cell disease (SCD). Penderita AE biasanya mengalami
defisiensi seng parah. Defisiensi seng pada AE disebabkan oleh
malarbsorpsi seng karena adanya mutasi pada salah satu pengangkut
seng, ZIP4. AE merupakan penyakit mematikan yang biasanya terjadi
pada bayi di daerah Italia, Armenia, dan Iran. Penderita AE memiliki
risiko terserang infeksi yang besar. Gangguan saluran cerna juga dapat
terjadi pada pendeita AE, seperti diare, malabsorpsi, feses berdarah, dan

15
intoleransi laktosa. Suplementasi seng dapat dijadikan terapi
penyembuhan penyakit AE.10,13
Tanda-tanda defisiensi seng ditemukan pada penderita SCD,
seperti gangguan pertumbuhan dan disfungsi sel termediasi sistem imun.
Penurunan kadar seng serum dan rambut menjadi biomarker keadaaan
defisiensi seng pada penderita SCD. Suplementasi seng pada penderita
SCD dapat meningkatkan kadar seng serum dan menurunkan kejadian
infeksi.13

16
B. Kerangka Teori

Kadar seng serum

Asupan Asupan Asupan Asupan Asupan


energi protein seng kalsium besi

Infeksi lainnya Infeksi kecacingan Genetik

C. Kerangka Konsep

Infeksi kecacingan Kadar seng serum

D. Hipotesa
Ada perbedaan kadar seng serum antara anak terinfeksi kecacingan dengan
tidak terinfeksi kecacingan.

17
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Ruang Lingkup Penelitian


1. Ruang Lingkup Keilmuan
Ruang lingkup keilmuan penelitian ini adalah Gizi Masyarakat
2. Ruang Lingkup Waktu
Waktu penelitian terbagi menjadi 4 tahap, yaitu tahap pembuatan
proposal, pengambilan data, pengolahan data, dan pembuatan laporan.
Waktu pelaksanaan masing-masing tahap adalah sebagai berikut.
a. Pembuatan proposal : Agustus – Oktober 2015
b. Pengambilan data : November 2015 – Februari 2016
c. Pengolahan data : Februari – Maret 2016
d. Penulisan laporan : Maret 2016
3. Ruang Lingkup Tempat
Penelitian akan dilaksanakan di Desa Menduran, Kecamatan Brati,
Kabupaten Grobogan.

B. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan
desain penelitian cross sectional.

C. Populasi dan Sampel Penelitian


1. Populasi Penelitian
a. Populasi target
Populasi target pada penelitian ini adalah semua balita berumur 12-
24 bulan.

18
b. Populasi terjangkau
Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah semua balita berumur
12-24 bulan di Desa Menduran Kecamatan Brati Kabupaten
Grobogan.
2. Sampel Penelitian
a. Besar sampel
Perhitungan besar sampel menggunakan rumus besar sampel untuk
dua kelompok independen.44

(𝐳𝛂+𝐳𝛃)𝐒 𝟐
n1 = n2 = 𝟐 [ (𝐱𝟏−𝐱𝟐) ]

Keterangan:

n : jumlah sampel

zα : deviat baku normal untuk α (1,96 untuk tingkat


kepercayaan 95%)

zβ : deviat baku normal untuk β (1,645 untuk power sebesar


95%)

x1-x2 : perbedaan klinik yang diinginkan (65-60=5)

S : simpang baku kedua kelompok (diperoleh dari penelitian


serupa sebelumnya sebesar 1,69 µmol/L atau 4,85 µg/dL14)

(𝟏,𝟗𝟔+𝟏,𝟔𝟒𝟓)𝟒,𝟖𝟓 𝟐
n1 = n2 = 𝟐 [ (5)
]

= 2 x (3,5)2
= 24,5
≈ 25
Berdasarkan perhitungan tersebut, didapatkan besar sampel minimal
penelitian sebesar 25 sampel. Untuk menghindari sampel yang drop

19
out maka perlu dilakukan koreksi terhadap besar sampel yang
dihitung dengan menambahkan sejumlah sampel agar sampel tetap
terpenuhi.45
𝑛
n’=(1−𝑓)

Keterangan:
n’= besar subjek penelitian yang dihitung
f = perkiraan proporsi drop out (10%)
Perhitungan
25
n’=(1−𝑓)
25
=(1−0,1)

=27,78 ≈ 28
Subjek penelitian yang diperlukan dalam penelitian ini adalah 28
dari masing-masing kelompok kasus dan kontrol. Jadi, total subjek
yang diperlukan adalah 56 subjek.
b. Cara pengambilan sampel
Pengambilan subjek dengan menggunakan random sampling yaitu.
c. Kriteria inklusi
1) Kriteria inklusi kelompok kasus
a) Anak berusia 12-24 bulan dengan infeksi kecacingan
b) Orang tua/wali bersedia mengikuti penelitian dan
menandatangani informed consent
2) Kriteria inklusi kelompok kontrol
a) Anak berusia 12-24 bulan tanpa infeksi kecacingan
a) Orang tua/wali bersedia mengikuti penelitian dan
menandatangani informed consent
d. Kriteria eksklusi
1) Subjek tidak bersedia mengikuti penelitian
2) Subjek tidak mengembalikan pot feses
3) Subjek mengonsumsi suplemen seng atau besi

20
D. Variabel dan Definisi Operasional
1. Variabel
a. Variabel dependen pada penelitian ini adalah kadar seng serum.
b. Variabel independen pada penelitian ini adalah kejadian infeksi cacing.
c. Variabel perancu pada penelitian ini adalah infeksi lainnya dan asupan
zat gizi, yaitu energi, protein, seng, kalsium, besi, dan fitat.

21
2. Definisi Operasional
Tabel 1. Definisi Operasional
Variabel Definisi Operasional Satuan Skala
Kadar seng Kadar seng dalam darah yang diukur µg/dL Rasio
serum dengan metode analisa AAS (Atomic
Absorption Spectroscopy), kemudian
hasil dibandingkan dengan batasan
normal serum seng. Kadar seng serum
dianggap rendah apabila kadarnya <
65 µg/dl.
Tinggi Badan
Berat Badan
Kejadian infeksi Ada atau tidaknya infeksi cacing Ya Ordinal
cacing kategori Soil-Transmitted Helminths Tidak
yaitu A. lumbricoides, T. trichiura, dan
hookworm yang diidentifikasi dengan
metode Kato-Katz.
Asupan energi Jumlah total energi yang dikonsumsi Kkal Rasio
subjek per hari yang diperoleh melalui
recall 3 x 24 jam kemudian
dibandingkan dengan kebutuhan energi
masing-masing individu.
Asupan protein Jumlah total protein yang dikonsumsi Gram Rasio
subjek per hari yang diperoleh melalui
recall 3 x 24 jam kemudian
dibandingkan dengan kebutuhan
protein masing-masing individu.
Asupan seng Jumlah total seng yang dikonsumsi Miligram Rasio
subjek per hari yang diperoleh melalui
recall 3 x 24 jam kemudian
dibandingkan dengan kebutuhan seng
masing-masing individu.
Asupan besi Jumlah total besi yang dikonsumsi Miligram Rasio
subjek per hari yang diperoleh melalui
recall 3 x 24 jam kemudian
dibandingkan dengan kebutuhan besi
masing-masing individu.
Asupan kalsium Jumlah total kalsium yang dikonsumsi Miligram Rasio
subjek per hari yang diperoleh melalui
recall 3 x 24 jam kemudian
dibandingkan dengan kebutuhan
kalsium masing-masing individu.

22
E. Alur Penelitian

Skrining pada semua balita umur 12-24


bulan di Desa Menduran, Kecamatan
Brati, Kabupaten Grobogan

Pengecekan infeksi
cacing

Balita dipilih secara random sesuai


ada/tidaknya infeksi kecacingan

28 balita terinfeksi 28 balita tidak


kecacingan terinfeksi kecacingan

Uji laboratorium untuk


melihat kadar seng
serum
56 balita diambil
darahnya

Analisis perbedaan
kadar seng serum

28 balita terinfeksi 28 balita tidak


kecacingan terinfeksi kecacingan

F. Pengumpulan Data
1. Instrumen Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Informed consent
b. Formulir data umum subjek yang berisi nama, usia, berat badan, tinggi
badan, kadar seng serum, dan jenis infeksi cacing.
c. Formulir food recall 3 x 24 jam
d. Timbangan berat badan atau baby scale dengan ketelitian 0,1 kg
e. Microtoise atau infantometer dengan ketelitian 0,1 cm
f. Software Nutrisurvey 2007 untuk analisis zat gizi makro dan mikro

23
g. Alat pengambilan darah untuk pemeriksaan kadar seng: wing needle,
spuit 3cc, tourniquet, kapas alkohol, tabung reaksi, dan alat sentrifuge.
2. Cara Pengumpulan Data
a. Data primer
Data diambil dengan cara pengukuran langsung pada responden.
1. Identitas Subjek
Identitas subjek, meliputi nama, tanggal lahir, usia dan jenis
kelamin yang diperoleh melalui wawancara dan dicatat pada
kuesioner data umum subjek.
2. Data antropometri didapatkan dari pengukuran tinggi badan dan
berat badan.
3. Asupan zat gizi diperoleh dengan menggunakan metode food
recall 3 x 24 jam.
4. Pemeriksaan kadar seng dalam darah dengan menggunakan
metode AAS di laboratorium GAKI Semarang.
5. Identifikasi telur cacing dengan metode direct smear untuk
melihat keberadaan telur cacing yang dilakukan di Balai
Laboratorium Kesehatan Jawa Tengah.
b. Data sekunder
Data sekunder dalam penelitian meliputi gambaran umum lokasi
penelitian yang didapat dari data desa dan posyandu setempat.

G. Analisis Data
Analisis perbedaan antara kadar seng serum dan kejadian infeksi
kecacingan terlebih dahulu diuji normalitas data menggunakan uji Shapiro-
Wilk.46 Jika data berdistribusi normal, menggunakan uji beda independent t-
test. Jika data tidak berdistribusi normal, menggunakan uji beda Mann-
Whitney test.

24

Anda mungkin juga menyukai