Anda di halaman 1dari 26

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ……………………………………....……………… . 1


BAB I PENDAHULUAN ……………………………………....... .. 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………………………………… .. 3
SIROSIS HEPATIS ……………………………………....……… .. 3
A. Definisi ……………………………………....……………… 3
B. Epidemiologi ……………………………………....…………3
C. Klasifikasi ……………………………………....…………... 3
D. Etiologi ……………………………………....……………….4
BAB III PEMBAHASAN …………………………………….... … 5
A. Proses patofisiologi fibrosis pada sirosis hepatis …………… 5
B. Proses fibrosis pada sirosis hepatis ………………………… . 6
C. Faktor yang mempengaruhi terjadinya fibrosis hati ……… ... 12
BAB IV TERAPI DAN KOMPLIKASI ………………………… ... 14
A. Terapi ……………………………………....……………… .. 14
B. Komplikasi ……………………………………....………… .. 16
C. Terapi khusus ……………………………………....……… .. 14
BAB V PENUTUP ……………………………………....………… 21
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………....……… 23

1
BAB I
PENDAHULUAN

Sirosis hati merupakan perjalanan patologi akhir berbagai macam


penyakit hati. Istilah sirosis diperkenalkan pertama kali oleh Laennec
pada tahun 1826. Diambil dari bahasa Yunani scirrhus atau kirrhos yang
artinya warna oranye dan dipakai untuk menunjukkan warna oranye atau
kuning kecoklatan permukaan hati yang tampak saat otopsi.
Batasan fibrosis sendiri adalah penumpukan berlebihan matriks
ekstraseluler (seperti kolagen, glikoprotein, proteoglikan) dalam hati.
Respons fibrosis terhadap kerusakan hati bersifat reversibel. Namun pada
sebagian besar pasien sirosis, proses fibrosis biasanya tidak reversibel.
Pada fibrosis hati terbentuknya jaringan ikat yang terjadi sebagai
respon terhadap cedera hati, diawali oleh cedera hati kronis ditandai oleh
aktivasi Hepatic Stellate Cells (HSC) dan produksi berlebih komponen
Matriks Ekstraseluler (MES). Penumpukan protein matriks ekstraseluler
yang berlebihan akan menyebabkan gangguan arsitektur hati, terbentuk
jaringan ikat yang diikuti regenerasi sel hepatosit.Bila fibrosis berjalan
secara progresif, dapat menyebabkan sirosis hati.
Penentuan derajat fibrosis mempunyai peranan penting dalam
hepatologi karena pada umumnya penyakit hati kronis berkembang
menjadi fibrosis dan dapat berakhir menjadi sirosis. Selain penting untuk
prognosis, penentuan derajat fibrosis hati dapat mengungkapkan riwayat
alamiah penyakitdan faktor faktor resiko yang berkaitan dengan
progresifitas penyakit untuk dijadikan panduan variasi terapi antifibrotik.

Patogenesa fibrosis hati merupakan proses yang sangat kompleks


yang melibatkan HSCa hati (HSC) sebagai sel utama, sel kupffer, lekosit,
berbagai mediator, sitokin, growth factors dan inhibitor, serta berbagai
jenis kolagen.

2
BAB II

TINJUAN PUSTAKA

SIROSIS HEPATIS

A. Definisi
Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan
stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai
dengan distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus
regeneratif. Gambaran ini terjadi akibat adanya nekrosis hepatoselular.
Jaringan penunjang retikulin kolaps disertai deposit jaringan ikat, distorsi
jaringan vaskular, dan regenerasi nodularis parenkim hati.1

B. Epidemiologi
Penderita sirosis hati lebih banyak dijumpai pada kaum laki-laki
jika dibandingkan dengan kaum wanita sekitar 1,6 : 1 dengan umur rata-
rata terbanyak antara golongan umur 30 – 59 tahun dengan puncaknya
sekitar 40 – 49 tahun.

C. Klasifikasi
Berdasarkan morfologi Sherlock membagi Sirosis hati atas 3 jenis, yaitu:
1. Mikronodular
Ditandai dengan terbentuknya septa tebal teratur, di dalam septa
parenkim hati mengandung nodul halus dan kecil merata tersebut
seluruh lobus. Sirosis mikronodular besar nodulnya sampai 3 mm,
sedangkan sirosis mikronodular ada yang berubah menjadi
makronodular sehingga dijumpai campuran mikro dan makronodular.
2. Makronodular
Sirosis makronodular ditandai dengan terbentuknya septa dengan
ketebalan bervariasi, mengandung nodul yang besarnya juga

3
bervariasi, ada nodul besar didalamnya, ada daerah luas dengan
parenkim yang masih baik atau terjadi regenerasi parenkim.
3. Campuran (yang memperlihatkan gambaran mikro-dan makronodular)
Secara Fungsional Sirosis terbagi atas:
a. Sirosis hati kompensata
Sering disebut dengan Laten Sirosis hati. Pada stadium
kompensata ini belum terlihat gejala-gejala yang nyata. Biasanya
stadium ini ditemukan pada saat pemeriksaan screening.
b. Sirosis hati Dekompensata
Dikenal dengan Active Sirosis hati, dan stadium ini biasanya
gejala-gejala sudah jelas, misalnya; ascites, edema dan icterus.

D. Etiologi
Tabel 1. Sebab-sebab Sirosis dan/atau Penyakit Hati Kronik
Penyakit infeksi
- Hepatitis virus (Hepatitis B, Hepatitis C, Hepatitis D,
sitomegalovirus)
Obat dan Toksin
- Alkohol
- Amiodaron
- Arsenic
- Obstruksi bilier
- Penyakit perlemakan hati non alkoholik
- Sirosis bilier primer
- Kolangitis sclerosis primer
Penyebab Lain atau Tidak Terbukti
- Penyakit usus inflamasi kronik
- Fibrosis kistik

4
E. Kriteria diagnosis
Tabel 1. Klasifikasi Child-Pugh pada Sirosis Hati
Parameter Ringan (1 point) Sedang (2 point) Berat (3 point)
Bilirubin serum (mg/dl) <2 2-3 >3
Albumin serum (g/dl) > 3,5 <3
Masa protrombin (detik) 0-4 4-6 >6
Asites - Terkontrol Tidak terkontrol
Ensefalopati - Minimal Berat
Skor berjumlah 5-6 masuk ke Child Pugh klas A, 7-9 klas B, 10-15 klas C

5
BAB III
PATOFISIOLOGI

A. PROSES PATOFISIOLOGI FIBROSIS PADA SIROSIS HEPATIS


Patogenesa fibrosis hati merupakan proses yang sangat kompleks
yang melibatkan HSCa hati (HSC) sebagai sel utama, sel kupffer, lekosit,
berbagai mediator, sitokin, growth factors dan inhibitor, serta berbagai
jenis kolagen.

1. Sel Sel Sinusoidal


Hati memiliki sinusoidal yang terdiri dari sel sel endotelial, pits
cells, kupffer dan Hepatic Stellate Cells (HSC). Sel kupffer dan sel HSC
berperan penting dalam proses fibrogenesis hati. Sel sel endotelial
membatasi sinusoid-sinusoid dan memiliki fenestra yang memungkinkan
terjadinya pertukaran zat antara hepatosit dan sel endotel. Antara hepatosit
dan sel endotelial terdapat ruang Disse (subendotel) yang merupakan
tempat dimana HSC berada.

Sel kupffer melekat pada sel endotel dan merupakan derivad sel
monosit. Fungsi sel kupffer adalah memfagosit sel hepatosit tua, debris sel,
benda asing, sel tumor dan berbagai mikroorganisme.

Gambar 1. Perubahan pada arsitektur hati.


Dikutip dari Bataller R, BrennerD A, modified from Science & Medicine,
2005.

6
Produk dari kupffer yang aktif terdiri dari berbagai interleukin
(IL);IL-1, IL-6, IL-10, interferon-α dan β, transforming growth factor
(TGF),TNF, hidrogen peroksida, nitric oxide (NO).HSC memiliki
sitoplasma yang panjang sampai sinusoid yang bersentuhan dengan
hepatosit, sehingga berperan dalam menentukan besarnya aliran darah
hepatik. Pada keadaan inaktif HSC merupakan tempat penyimpanan
retinoid sehingga memiliki morfologi Cytoplasmic lipid droplets. Pada
keadaan aktif akibat terjadinya cedera hati, HSC akan kehilangan lipid
droplets, berproliferasi dan kemudian bermigrasi ke zona 3 asinus lalu
berubah menjadi sel miofibroblas yang memproduksi kolagen tipe I, III,
IV dan laminin. Miofiobroblas bersifat kontraktil karena memiliki filamen
aktin dan miosin..HSC merupakan sel yang berperan utama dalam
memproduksi MES pada hati normal dan fibrosis hati.

B. PROSES FIBROSIS PADA SIROSIS HEPATIS


Fibrosis hati adalah terbentuknya jaringan ikat yang terjadi
sebagai respon terhadap cedera hati, diawali oleh cedera hati kronis yang
dapat disebabkan oleh infeksi virus, ketergantungan alkohol, nonalkoholik
steatohepatitis dan penyebab lainnya.Fibrosis hati terjadi dalam beberapa
tahap. Jika hepatosit yang rusak mati, diantaranya akan terjadi kebocoran
enzim lisosom dan pelepasan sitokin dari matriks ekstrasel. Sitokin ini
bersama dengan debris sel yang mati akan mengaktifkan sel kupffer di
sinusoid hati dan menarik sel inflamasi(granulosit, limfosit dan monosit).
Berbagai faktor pertumbuhan dan sitokin kemudian dilepaskan dari sel
kupffer dan dari sel inflamasi yang terlibat.
Faktor pertumbuhan dan sitokin ini selanjutnya :
- Mengubah sel HSC penyimpan lemak di hati menjadi miofibroblas
- Mengubah monosit yang bermigrasi menjadi makrofag aktif
- Memicu proliferasi fibroblas
Aksi kemotaktik transforming growth factor β (TGF- β) dan
protein kemotaktik monosit (MCP-1), yang dilepaskan dari sel HSC

7
(dirangsangoleh tumor necrosis factor α (TNF-α), platelet- derived growth
factor (PDGF), dan interleukin akan memperkuat proses ini, demikian pula
dengan sejumlah zat sinyal lainnya. Akibat sejumlah interaksi ini
(penjelasan yang lebih rinci belum dipahami sepenuhnya), pembentukan
matriks eksraseluler ditingkatkan oleh miofibroblas dan fibroblas, yang
berarti peningkatan penimbunan kolagen (Tipe I, III, IV), proteoglikan
(dekorin, biglikan,lumikan, agrekan), dan glikoprotein (fibronektin,
laminin, tenaskin dan undulin) di ruang disse. Fibrinolisis glikoprotein di
ruang disse menghambat pertukaran zat antara sinusoid darah dan
hepatosit, serta meningkatkan resistensi aliran di sinusoid.
Terjadinya fibrosis hati diilustrasikan pada gambar 2

Gambar 2. Ilustrasi patogenesis fibrosis hati.


di kutip dari Bataller R., Brenner DA., E Miscellaneous, Overview of
liver fibrosis, Textbook of Gastroenterology.

Jumlah matriks yang berlebihan dapat dirusak (mula-mula


oleh metaloprotease), dan hepatosit dapat mengalami regenerasi. Jika
nekrosis terbatas di pusat lobulus hati, pergantian struktur hati yang
sempurna dimungkinkan terjadi. Namun jika nekrosis telah meluas
menembus parenkim perifer lobulus hati, akan terbentuk septa
jaringanikat. Akibatnya, regenerasi fungsional yang sempurna tidak
mungkin lagiterjadi dan akan terbentuk nodul yang dikenal dengan
sirosis. inisiasi dan maintenance fibrogenesis diilustrasikan dalam

8
gambar 3.

Gambar 3. Ilustrasi inisiasi dan maintenance fibrogenesis hati.


Dikutip dari Safadi R, Friedman SL. Hepatic Fibrosis; Role of hepatic
stellata cell activation. MedGenMed 2002.

1. Aktivasi sel HSC


Terjadinya fibrosis hati dimulai dengan aktivasi HSC yang
dibagi dalambeberapa fase, walaupun pada kenyataannya proses ini
berlangsung simultan dan tumpang tindih.

a. Fase inisiasi
Merupakan fase aktivasi HSC menjadi miofibroblas
yangbersifat proliferatif, fibrogenik dan kontraktil. Fase aktivasi
dimulai ketika terjadi kerusakan pada sel hepar ditambah rangsangan
dari sel endothelial dan sel Kuppfer diakibatkan perubahan yang
mendadak dari MES. Terjadi induksi cepat terhadap gen HSC akibat
rangsangan dari parakrin yang berasal dari sel-sel inflamasi, hepatosit
yang rusak, sel-sel duktus biliaris sertaperubahan awal komposisi
MES. Perubahan-perubahan tersebut menyebabkan HSC responsif
terhadap berbagai sitokin dan stimulasi lokal lainnya. Pada fase inisiasi
ini setelah cedera pada sel hati, terjadi stimulasi parakrin terhadap HSC
oleh sel-sel yang berdekatan dengan HSC seperti sel endothelial dan
hepatosit serta sel kupffer, platelet dan lekosit yang menginfiltrasi
lokal cedera hati.
Stimulasi parakrin berupa:

9
1. Inflamasi akibat pelepasan berbagai sitokin seperti IL-1, IL-4, IL-6,
IL13 yang terutama dihasilkan oleh limfosit TH2, pelepasan
berbagai sitokin, faktor-faktor nekrosis dan interferon yang
dihasilkan oleh sel kupfer.
2. Oksidasi, terutama oleh reactive oxygen (ROS) dan peroksida lipid
yang dihasilkan oleh netrofil dan sel kupffer. Oksidan-oksidan
tersebut meningkatkan sintesa kolagen oleh HSC
3. Pelepasan dan aktivitas berbagai produk growth factor yang
terutama dihasilkan sel kupfer yang teraktivasi oleh sel sel endotel
lain.
4. Pengeluaran proteinase
5. Gangguan reseptor HSC. Peroxime Proliferator activated reseptor
yang terdapat pada reseptor HSC.
Sel endotel memiliki peran besar pada awal fase inisiasi.
Kerusakan pada sel- sel endotel di sinusoid akan merangasang
produksi dari fibronectin EIIIA yang mampu mengaktivasi dari HSC.
Selain itu, sel endotel juga mampu mengaktivasi dari transforming
growth factor β1(TGF- β1) yang laten lewat produksi dari plasmin.

10
b. Fase “pengkekalan” (perpetuation phase)
Terjadi respon selular akibat proses inisiasi. Pada
prosesnya, HSC mengalami peningkatan ekspresi dari membran sel
reseptor. Reseptor tirosin kinase (RTKs) yang memediasi banyak
dari respon HSC terhadap sitokin sangat banyak diproduksi. Pada
fase ini terjadi berbagai reaksi yang menguatkan fenotip sel aktif
melalui peningkatan ekspresi berbagai faktor pertumbuhan dan
responnya yang merupakan hasil rangsangan autokrin dan
parakrin, serta akselerasi remodeling MES. Fase ini sangat dinamis
dan berkesinambungan. Fase pengkekalan ini, meliputi tahap
proliferasi, fibrogenesis, peningkatan kontraktilitas, pelepasan
sitokin proinflamasi, kemotaksis, retinoid loss dan degradasi
matriks.

Gambar 4 Aktivasi sel HSC


Dikutip dari Friedman SL, Arthur MJ. Reversing hepatic fibrosis.
Sei Med 2002.

11
Proliferasi pada HSC yang teraktivasi terjadi sebagai
suatu respon yang disebabkan oleh TGF- β1 dan
diperantarai oleh reseptor tirosin kinase. Platelet derived
growth factor (PDGF) adalah faktor ploriferatif yang paling
poten dalam patogenesis sirosis hepatis. PDGF akan
merekrut Ras yang akan mengaktivasi dari jalur mitogen-
activated protein kinase yang memiliki peran besar dalam
mitogenesis dan kemotaksis dari HSC.
Peningkatan kontraktilitas menjadi patogenesis
utama pada hipertensi porta yang disebabkan oleh sirosis
hepatis. Hal tersebut disebabkan karena adanya peningkatan
produksi dari agen yang dapat meningkatkan kontraktilitas
HSC yaitu Endothelin 1 (ET1) dimana selain meningkatkan
kontraktilitas, ET1 juga berperan dalam proliferasi HSC.
Fibrogenesis ditandai dengan adanya stimulus yang
berasal dari TGF- β1yang meningkat. Peningkatan jumlah
produksi kolagen adalah salah satu proses yang paling
utama terjadi pada aktivasi HSC. Proses tersebut tidak
hanya didasari oleh TGF- β1, namun juga komponen lain
seperti kolagen α1 mRNA dan komponen lain yang belum
teridentifikasi.
Tahap akhir dari fase pengkekalan adalah degradasi
matriks, yang diaturoleh keseimbangan antara matrix
metalloproteinase (MMP) danantagonisnya yaitu TIMP
(tissue inhibitor metalloproteinase).Degradasi MES terdiri
dari degradasi restoratif yang merusak kelebihan jaringan
parut, dan yang menyebabkan degradasi patologik adalah
MMP-2 dan MMP-9 dimana kedua enzim ini merusak
kolagen tipe IV, serta membran type metalloproteinase 1
dan 2 ( aktivator MMP-2)

12
c. Fase resolusi
Pada fase ini jumlah HSC yang aktif berkurang dan
integritas jaringan kembali normal. Terjadi 2 keadaan pada
fase ini yaitu reversi,dimana terjadi perubahan HSC aktif
menjadi inaktif dan apoptosis. Inaktivasi dari HSC
diperantarai oleh feedback negatif dari interleukin 10 (IL-
10). Sedangkan apoptosis diasosiasikan dengan penurunan
ekspresi dari TIMP-1. Selain itu HSC juga mengalami
apoptosis secara spontan lewat ekspresi dari CD95L (fas
ligan), Bcl-2 dan p53.

C. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA


FIBROSIS HATI
Transformasi sel normal menjadi sel yang fibrotik
merupakan proses yang sangat rumit. Terdapat interaksi antara
HSC dengan sel-sel parenkimal, sitokin, growth factor, berbagai
protease matriks beserta inhibitornya dan MES..
Faktor-faktor yang berperan dalam terjadinya fibrosis hati:
1. Cedera hati
a. Inflamasi yang ditandai oleh Infiltrasi dan aktivasi
dari berbagai sel seperti : netrofil, limfosit, trombosit
dan sel-sel endotelial, termasuk sel kupffer.
b. Pelepasan berbagai mediator, sitokin, growth factor,
proteinase berikut inhibitornya dan beberapa jenis
substansi toksik seperti reactive oxygen spesies (ROS)
dan peroksida lipid.
2. Aktivasi dan migrasi sel HSC ke daerah yang mengalami
cedera.
3. Perubahan jumlah dan komposisi MES akibat pengaruh
HSC serta pengaruh berbagai sel, mediator dan growth
factor.
4. Inaktivasi HSC, apoptosis serta hambatan apoptosis oleh
berbagai komponen yang terlibat dalam perubahan MES.

13
Pada jaringan hati normal terdapat MES yang
merupakan kompleks yang terdiri dari tiga group makromolekul
yakni kolagen, glikoprotein dan proteoglikan. Makromolekul
utama adalah group kolagenyang paling dikenal pada fibrosis
hati, terdiri dari kolagen interstisial atau fibrillar (kolagen tipe
I,III) yang memiliki densitas tinggi dan kolagen membran basal
(kolagen tipe IV) yang memiliki densitas rendah di dalam ruang
Disse. Kolagen terbanyak pada jaringan hati yang normal
adalah kolagen tipe IV.
Pada fibrogenesis terjadi peningkatan jumlah MES 3
sampai 8 kali lipat, dimana kolagen tipe I dan tipe III
menggantikan kolagen tipe IV. Glikoprotein adhesif yang
dominan adalah laminin yang membentukmembran basal dan
fibronektin yang berperan dalam proses perlekatan, diferensiasi
dan migrasi sel. Proteoglikan merupakan protein yang berperan
sebagai tulang punggung MES dalam ikatannya dengan
glikosaminoglikan. Pada fibrogenesis terjadi peningkatan
fibronektin, asam hialuronat, proteoglikan dan berbagai
glikokonjugat. Pembentukkan jaringan fibrotik terjadi karena
sintesis matriks yang berlebihan dan penurunan penguraian
matriks. Penguraian matriks tergantung kepada keseimbangan
antara enzim-enzim yang melakukan degradasi matriks dan
inhibitor enzim-enzim tersebut.
Akumulasi MES lebih sering berawal dari ruang
Disse perisinusoid terutama pada metabolic zone 3 di asinus
hati (perivenous) menuju fibrosis perisentral.

Gambar 5. Arsitektur
sinusoidal dan lokasi sel HSC.
dikutip dari Friedman SL,
Arthur MJ. Reversing hepatic
fibrosis. Sci Med 2002;

14
Zat yang paling berperan dalam pembentukan Fibrosis dan sirosis
adalah metabolit etanol berupa asetaldehid.

Faktor yang tcrlibat dalam kcrusakan sel hati adalah:

- defisiensi ATP akibat gangguan metabolism energi sel


- peningkatan pembentukan metabolit oksigen yang sangat reaktif
- defisiensi antioksidan (misal, glutation) dan/atau kerusakan enzim
perlindungan (glutation peroksidase, supcroksida dismutasc)
yangtimbul bersamaan.
Metabolit O2 misalnya akan bereaksi dengan asam lemak tidak
jenuh pada fosfolipid (peroksidase lemak). Hal ini membantu tcrjadinya
kcrusakan membran plasma dan organcl sel (lisosom, retikultim
endoplasma). Akibat-nya, konsentrasi Ca2+ di sitosol meningkat, yang
mengaktifkan protease dan enzim lain schingga akhirnya tcrjadi
kerusakan sel yang bersifat ireversibel.

Fibrosis hati terjadi dalam beberapa tahap. Jika hepatosit


yang rusak mati, di antaranya akan terjadi kebocoran enzim lisosom dan
pelepasan sitokin dari matriks ekstrasel. Sitokin ini bersama dengan
debris sel yang mati akan mengaktifkan sel Kupffer di sinusoid hati dan
menarik sel inflamasi (granulosit, limfosit, dan monosit). Berbagai faktor
pertumbuhan dan sitokin kemudian dilepaskan dari sel Kupffer dan dari
sel inflamasi yang tcrlibat. Faktor pertumbuhan ini dan sitokin se-
lanjutnya :

- mengubah sel Ito penyimpan lemak di hati menjadi miofibroblas


- mengubah monosit yang bcrmigrasi menjadi makrofag aktif
- memicu proliferasi fibroblas

Aksi kemotaktik transforming growth factor fi (TGF-P) dan


protein kemotaktik monosit 1 (MCP-1), yang dilcpaskan dari sel Ito
(dirang-sangoleh tumor necrosis factor a [TNF-a], platelet-derived growth
factor [PDGF], dan interleukin) akan memperkuat proses ini, demikian pula
dengan sejumlah zat sinyal lainnya. Akibat sejumlah interaksi ini
(penjelasan yang lebih rinci belum sepenuhnya dipahami), pembentukan
15
matriks ekstrasel ditingkatkan olch miofibroblas dan fibroblas, berarti
menyebabkan peningkatan penimbunan kolagen (Tipe I, III dan IV),
proteoglikan (dekorin, biglikan, lu-mikan, agrekan), dan glikoprotein
(fibronektin, laminin, tenaskin, undulin) di ruangDisse. Fibrosis
glikoprotein di ruang Disse menghambat pertukaran zat antara sinusoid
darah dan hepatosit, serta meningkatkan resistansi aliran di sinusoid.

Jumlah matriks yang berlebihan dapat dirusak (mula-mula oleh


metaloprotease), dan hepatosit dapat mengalami regenerasi. Jika nekrosis
terbatas di pusat lobulus hati, penggantian struktur hati yang sempurna
dimungkinkan terjadi. Namun, jika nekrosis telah meluas menembus
parenkim perifer lobulus hati, akan terbentuk septa jaringan ika.
Akibatnya, regenerasi fungsional yang sempurna tidak mungkin lagi
terjadi dan akan terbentuk nodul (sirosis). Akibat dari sirosis adalah
kolestasis, hipertensi portal, dan gagal hati metabolic.

Gambar 6. Patofisiologi fibrosis

16
BAB IV

KOMPLIKASI DAN TERAPI

A. KOMPLIKASI

1. Edema dan ascites


Ketika sirosis hati menjadi parah, tanda-tanda dikirim ke ginjal-
ginjal untuk menahan garam dan air didalam tubuh. Kelebihan garam
dan air pertama-tama berakumulasi dalam jaringan dibawah kulit
pergelangan-pergelangan kaki dan kaki-kaki karena efek gaya berat
ketika berdiri atau duduk. Akumulasi cairan ini disebut edema atau
pitting edema. (Pitting edema merujuk pada fakta bahwa menekan
sebuah ujung jari dengan kuat pada suatu pergelangan atau kaki dengan
edema menyebabkan suatu lekukan pada kulit yang berlangsung untuk
beberapa waktu setelah pelepasan dari tekanan. Ketika sirosis memburuk
dan lebih banyak garam dan air yang tertahan, cairan juga mungkin
berakumulasi dalam rongga perut antara dinding perut dan organ-organ
perut. Akumulasi cairan ini (disebut ascites) menyebabkan
pembengkakkan perut, ketidaknyamanan perut, dan berat badan yang
meningkat.

2. Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP)


Cairan dalam rongga perut (ascites) adalah tempat yang
sempurna untuk bakteri-bakteri berkembang. Secara normal, rongga
perut mengandung suatu jumlah yang sangat kecil cairan yang mampu
melawan infeksi dengan baik, dan bakteri-bakteri yang masuk ke perut
(biasanya dari usus) dibunuh atau menemukan jalan mereka kedalam
vena portal dan ke hati dimana mereka dibunuh. Pada sirosis, cairan
yang mengumpul didalam perut tidak mampu untuk melawan infeksi
secara normal. Sebagai tambahan, lebih banyak bakteri-bakteri
menemukan jalan mereka dari usus kedalam ascites. Oleh karenanya,

17
infeksi didalam perut dan ascites, dirujuk sebagai spontaneous bacterial
peritonitis atau SBP, kemungkinan terjadi. SBP adalah suatu
komplikasi yang mengancam nyawa. Beberapa pasien-pasien dengan
SBP tdak mempunyai gejala-gejala, dimana yang lainnya mempunyai
demam, kedinginan, sakit perut dan kelembutan perut, diare, dan
memburuknya ascites.

3. Perdarahan dari Varises-Varises Kerongkongan (Oesophageal


Varices)
Pada sirosis hati, jaringan parut menghalangi aliran darah yang
kembali ke jantung dari usus-usus dan meningkatkan tekanan dalam
vena portal (hipertensi portal). Ketika tekanan dalam vena portal
menjadi cukup tinggi, ia menyebabkan darah mengalir di sekitar hati
melalui vena-vena dengan tekanan yang lebih rendah untuk mencapai
jantung. Vena-vena yang paling umum yang dilalui darah untuk
membypass hati adalah vena-vena yang melapisi bagian bawah dari
kerongkongan (esophagus) dan bagian atas dari lambung.
Sebagai suatu akibat dari aliran darah yang meningkat dan
peningkatan tekanan yang diakibatkannya, vena-vena pada
kerongkongan yang lebih bawah dan lambung bagian atas mengembang
dan mereka dirujuk sebagai esophageal dan gastric varices; lebih tinggi
tekanan portal, lebih besar varices-varices dan lebih mungkin seorang
pasien mendapat perdarahan dari varices-varices kedalam
kerongkongan (esophagus) atau lambung.
Perdarahan juga mungkin terjadi dari varices-varices yang
terbentuk dimana saja didalam usus-usus, contohnya, usus besar
(kolon), namun ini adalah jarang. Untuk sebab-sebab yang belum
diketahui, pasien-pasien yang diopname karena perdarahan yang secara
aktif dari varices-varices kerongkongan mempunyai suatu risiko yang
tinggi mengembangkan spontaneous bacterial peritonitis.

18
4. Hepatic encephalopathy
Beberapa protein-protein dalam makanan yang terlepas dari
pencernaan dan penyerapan digunakan oleh bakteri-bakteri yang secara
normal hadir dalam usus. Ketika menggunakan protein untuk tujuan-
tujuan mereka sendiri, bakteri-bakteri membuat unsur-unsur yang
mereka lepaskan kedalam usus. Unsur-unsur ini kemudian dapat diserap
kedalam tubuh. Beberapa dari unsur-unsur ini, contohnya, ammonia,
dapat mempunyai efek-efek beracun pada otak. Biasanya, unsur-unsur
beracun ini diangkut dari usus didalam vena portal ke hati dimana
mereka dikeluarkan dari darah dan di-detoksifikasi (dihilangkan
racunnya).
Ketika unsur-unsur beracun berakumulasi secara cukup dalam
darah, fungsi dari otak terganggu, suatu kondisi yang disebut hepatic
encephalopathy. Tidur waktu siang hari daripada pada malam hari
(kebalikkan dari pola tidur yang normal) adalah diantara gejala-gejala
paling dini dari hepatic encephalopathy. Gejala-gejala lain termasuk
sifat lekas marah, ketidakmampuan untuk konsentrasi atau melakukan
perhitungan-perhitungan, kehilangan memori, kebingungan, atau
tingkat-tingkat kesadaran yang tertekan. Akhirnya, hepatic
encephalopathy yang parah/berat menyebabkan koma dan kematian.

5. Hepatorenal syndrome
Pasien-pasien dengan sirosis yang memburuk dapat
mengembangkan hepatorenal syndrome. Sindrom ini adalah suatu
komplikasi yang serius dimana fungsi dari ginjal-ginjal berkurang. Itu
adalah suatu persoalan fungsi dalam ginjal-ginjal, yaitu, tidak ada
kerusakn fisik pada ginjal-ginjal. Sebagai gantinya, fungsi yang
berkurang disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam cara darah
mengalir melalui ginjal-ginjalnya. Hepatorenal syndrome didefinisikan
sebagai kegagalan yang progresif dari ginjal-ginjal untuk
membersihkan unsur-unsur dari darah dan menghasilkan jumlah-jumlah

19
urin yang memadai walaupun beberapa fungsi-fungsi penting lain dari
ginjal-ginjal, seperti penahanan garam, dipelihara/dipertahankan.

6. Hepatopulmonary syndrome
Jarang, beberapa pasien-pasien dengan sirosis yang berlanjut
dapat mengembangkan hepatopulmonary syndrome. Pasien-pasien ini
dapat mengalami kesulitan bernapas karena hormon-hormon tertentu
yang dilepas pada sirosis yang telah berlanjut menyebabkan paru-paru
berfungsi secara abnormal. Persoalan dasar dalam paru adalah bahwa
tidak cukup darah mengalir melalui pembuluh-pembuluh darah kecil
dalam paru-paru yang berhubungan dengan alveoli (kantung-kantung
udara) dari paru-paru. Darah yang mengalir melalui paru-paru dilangsir
sekitar alveoli dan tidak dapat mengambil cukup oksigen dari udara
didalam alveoli. Sebagai akibatnya pasien mengalami sesak napas,
terutama dengan pengerahan tenaga.

7. Hyperspleenism
Limpa (spleen) secara normal bertindak sebagai suatu saringan
(filter) untuk mengeluarkan/menghilangkan sel-sel darah merah, sel-sel
darah putih, dan platelet-platelet (partikel-partikel kecil yang penting
uktuk pembekuan darah) yang lebih tua. Darah yang mengalir dari
limpa bergabung dengan darah dalam vena portal dari usus-usus. Ketika
tekanan dalam vena portal naik pada sirosis, ia bertambah menghalangi
aliran darah dari limpa. Darah tersendat dan berakumulasi dalam limpa,
dan limpa membengkak dalam ukurannya, suatu kondisi yang dirujuk
sebagai splenomegaly. Adakalanya, limpa begitu bengkaknya sehingga
ia menyebabkan sakit perut.
Ketika limpa membesar, ia menyaring keluar lebih banyak dan
lebih banyak sel-sel darah dan platelet-platelet hingga jumlah-jumlah
mereka dalam darah berkurang. Hypersplenism adalah istilah yang
digunakan untuk menggambarkan kondisi ini, dan itu behubungan

20
dengan suatu jumlah sel darah merah yang rendah (anemia), jumlah sel
darah putih yang rendah (leucopenia), dan/atau suatu jumlah platelet
yang rendah (thrombocytopenia). Anemia dapat menyebabkan
kelemahan, leucopenia dapat menjurus pada infeksi-infeksi, dan
thrombocytopenia dapat mengganggu pembekuan darah dan berakibat
pada perdarahan yang diperpanjang (lama).

8. Kanker Hati (hepatocellular carcinoma)


Sirosis yang disebabkan oleh penyebab apa saja meningkatkan
risiko kanker hati utama/primer (hepatocellular carcinoma). Utama
(primer) merujuk pada fakta bahwa tumor berasal dari hati. Suatu
kanker hati sekunder adalah satu yang berasal dari mana saja didalam
tubuh dan menyebar (metastasizes) ke hati.

B. TERAPI
1. Terapi umum
berupa pengaturan diet, meliputi:
- Pembatasan asupan Natrium.
Dilakukan terutama pada pasien retensi Na yang berat, yang tidak
berespon atau respon minimal terhadap diuretik. Asupan natrium
yang dianjurkan adalah 1500-2000 mg/hari
- Pembatasan cairan
Hanya dilakukan pada pasien yang mengalami hiponatremi
dilusional yang disebabkan oleh ekskresi air dan ginjal yang
rendah. Asupan cairan yang dianjurkan adalah 1000 ml/hari

2. Terapi khusus
 Volume asites sedikit
Akumulasi cairan asites dalam jumlah yang sedikit sudah
dapat menimbulkan rasa tidak nyaman yang ringan pada beberapa
pasien. Pada pasien ini, ekskresi natrium ginjal tidak terlalu

21
terganggu, tapi pasien sudah memiliki keseimbangan natrium yang
positif. Terapi bisa dilakukan dengan rawat jalan jika tidak terdapt
komplikasi sirosis hepatis yang lainnya.
Obat pilihan pada asites dengan jumlah cairan yang masih
sedikit adalah spironolakton (50-200 mg/hari) dan amiloride (5-10
mg/hari), bisa juga ditambah dengan furosemide dosis rendah (20-
40 mg/ hari) bila terdapat udem perifer.
Terapi dievaluasi dengan pengukuran berat badan dan
pemeriksaan fisik. Penurunan berat badan yang dianjurkan adalah
300-500 gram/hari (jika tanpa oedem perifer) atau 800-1000
gram/hari (jika disertai udem perifer)
 Volume asites banyak
Banyaknya cairan yang terakumulasi menyebabkan rasa
tidak nyaman yang hebat sampai mengganggu aktifitas sehari-hari.
Biasanya sudah terjadi retensi natrium yang hebat sehingga
peningkatan akumulasi cairan asites terjadi dengan cepat walaupun
asupan natrium dibatasi.
Strategi terapi yang dianjurkan:
a. Parasentesis dalam jumlah yang banyak
Berhubungan dengan perubahan fungsi sirkulasi yaitu
penurunan volume arteri efektif , aktivasi vasokontriktor dan
aktivasi natiuretik faktor jika tidak disertai dengan plasma
expanders.
b. Diuresis dengan dosis yang ditingkatkan sampai dosis
maksimal spironolakton: 400 mg/hari atau furosemide: 160
mg/hari
 Asites yang refrakter
Strategi terapi yang saat ini digunakan:
a. Parasentesis dalam jumlah banya yang berulang dengan plasma
expander setiap 2-4 minggu
b. Shunt porto-sistemik transjugular

22
Tujuannya untuk menurunkan retensi natrium dan meningkatkan
respon ginjal terhadap diuretik. Kekuranga dari cara terapi ini
adalah tingginya angka kejajian stenosis shunt yang bisa
mengakibatkan asites yang berulang, ensefalopati hepatik,
tingginya biaya dan tida bisa dilakukan di beberapa tempat.

23
BAB V

KESIMPULAN

Struktur dan fungsi hati yang normal tergantung pada keseimbangan antara
kematian sel dan regenerasi sel. Kematian sel hati dapat terjadi melalui dua
proses, yakni nekrosis dan apoptosis. Pada nekrosis yang merupakan keadaan
yang diawali oleh kerusakan sel, terjadi gangguan integritas membran plasma,
keluarnya isi sel dan timbulnya respon inflamasi. Respon ini meningkatkan proses
penyakit dan mengakibatkan bertambahnya jumlah sel yang mati.
Mekanisme apoptosis merupakan respon tubuh untuk menyingkirkan sel
yang rusak, berlebihan maupun sel yang sudah tua.
Terjadi fragmentasi DNA sedangkan organel sel tetap viabel.
Saat dibutuhkan tambahan hepatosit, sel hati yang inaktif dirangsang oleh
berbagai mediator termasuk sitokin untuk masuk kedalam fase G1 dari siklus
mitosis sel, dimana berbagai faktor pertumbuhan termasuk nuclear factors yang
merangsang sintesis DNA, keadaan ini disebut regenerasi. Pada keadaan sirosis
hati terjadi regenerasi secara cepat dan berlebihan sehingga nodul nodul
beregenerasi. Pada kerusakan hati yang luas, hepatosit dapat dihasilkan oleh sel-
sel yang berhubungan dengan duktus biliaris yang disebut dengan sel oval dan
dari stemsel ekstrahepatik seperti sumsum tulang.
Sirosis hepatis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan
stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan
distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif. Gambaran ini
terjadi akibat adanya nekrosis hepatoselular.

Penentuan derajat fibrosis mempunyai peranan penting dalam hepatologi


karena pada umumnya penyakit hati kronis berkembang menjadi fibrosis dan
dapat berakhir menjadi sirosis. Selain penting untuk prognosis, penentuan derajat
fibrosis hati dapat mengungkapkan riwayat alamiah penyakit dan faktor faktor
resiko yang berkaitan dengan progresifitas penyakit untuk dijadikan panduan
variasi terapi antifibrotik.

24
DAFTAR PUSTAKA

1
Campbell NA, Reece JB, and Mitchel LG. 2004. Biologi. Alih Bahasa : Wasmen
Manalu. Jakarta : Erlangga.

2
Cárdenas A, Gines P, Marotta P, et al. Tolvaptan, an oral vasopressin antagonist,
in the treatment of hyponatremia in cirrhosis. J Hepatol. 2012;56(3):571-
578.

3
Cheney CP, Goldberg EM and Chopra S. Cirrhosis and portal hypertension: an
overview. In: Friedman LS and Keeffe EB, eds. Handbook of Liver
Disease. 2nd ed. China, Pa: Churchill Livingstone; 2004:125-138

4
Das B, Chandra Prasanna.2011. Serum magnesium level in patients with liver
cirrhosis. International Journal of Biological & Medical Research. 2(3);
709-711.

5
EASL clinical practice guidelines on the management of ascites, spontaneous
bacterial peritonitis, and hepatorenal syndrome in cirrhosis. European
Association for the Study of the Liver. J Hepatol. 2010 Sep;53(3):397-417.

6
Ginès P, Guevara M. Hyponatremia in cirrhosis: pathogenesis, clinical
significance, and management. Hepatology. 2008;48(3):1002-1010.

7
Ginès P, Cárdenas A. The management of ascites and hyponatremia in cirrhosis.
Semin Liver Dis. 2008;28(1):43-58.

8
Gine`s P. Wong F, Watson H. Long-term improvement of serum sodium by the
V2- receptor antagonist satavaptan in patients with cirrhosis and
hyponatremia [Abstract]. J Hepatol 2007;46:90A.

9
Guyton AC and Hall JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran . Alih Bahasa :
Irawati setiawan, LMA Ken Ariata Tengadi, Alex Santoso. Jakarta : EGC

25
10
Halperin ML, Goldstein MB. Fluid Electrolyte and Acid-Base Physiology. A
problem-based approach. WB Saunders Co. 2nd ed., p 358

11
John savio, Paul J Thuluvath. Hyponatremia in cirrhosis: pathofisiology ang
management. WJG. 2015 March 21; 21(11): 3197-3205.

12
Kusumobroto O Hernomo, Sirosis Hati, dalam buku ajar Ilmu Penyakit Hati,
edisi I, Jakarta, Jayabadi, 2007, hal 335-45

13
Nurdjanah S. Sirosis Hati dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam , edisi IV jilid
II,
Jakarta, Pusat penerbitan Departemen Ilmu penyakit dalam FK UI., 2006 hal
445-8

14
Okita K, Sakaida I, Okada M, et al. A multicenter, open-label, dose-ranging
study to exploratively evaluate the efficacy, safety, and dose-response of
tolvaptan in patients with decompensated liver cirrhosis. J Gastroenterol.
2010;45(9):979-987. Erratum in: J Gastroenterol. 2010;45(9):997

15
Sigal SH. Hyponatremia in cirrhosis. J Hosp Med. 2012; 7(suppl 4):S14-S17.

16
Siti Nurdjanah. Sirosis Hepatis. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alvi I,
Simadibrata MK, Setiati S (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 5th ed.
Jakarta; Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Indonesia. 2009. Page 668-673.

17
Setiawan, Poernomo Budi. Sirosis hati. In: Askandar Tjokroprawiro,
PoernomoBoedi Setiawan, et al. Buku Ajar Penyakit Dalam, Fakultas
KedokteranUniversitas Airlangga. 2007. Page 129-136

18
Verbalis G et al. Diagnosis, evaluation, and Treatment of hiponatremia expert
panel rekomendation. AJM plus. 2013 Oct; 10:1-42.

26

Anda mungkin juga menyukai