Pertu perhatian khusus jika dalam keterampilan fisik dan motorik anak mengalami:
Ø Memegang buku atau objek sangat dekat dengan wajahnya pada saat mengamati
objek tersebut.
Ø Selalu duduk dekat di depan untuk mendengarkan cerita atau menonton TV.
Ø sering menabrak benda-benda
Ø kurang percaya diri pada saat bergerak di datam ruangan dan/atau menunjukkan
kecemasan akan menabrak sesuatu.
Ø kesulitan untuk memfokuskan penglihatan pada suatu benda atau kesubtan dalam
eye-tracking
Ø kesulitan datam mengerjakan tugas yang membutuhkan keterampilan visual
dan/atau keterampilan koordinasi mata & tangan.
Ø Gerakan mata tidak lazim, seperti bola mata selalu bergerak
Ø menunjukkan interaksi sosial yang tidak normal atau perilaku autistik
Ø posisi kepala tidak lazim
Ø terlihat juling, mata berputar-putar, dll.
4. Gangguan komunikasi
Pertu diperhatikan apakah anak:
Ø Gagap atau berbicara sangat lambat, tapi paham instruksi dan apa yang
dikatakannya cukup masuk akat.
Ø Lambat bicara atau bicaranya tidak mudah dipahami
Ø Berbicara normal tapi apa yang dikatakannya tidak sesuai dengan situasi yang
ada.
Ø Berbicara normal tapi susah memahami apa yang dikatakan padanya dan/atau
tidak berespon sama sekati pada orang tain
Ø Berbicara pada saat yang tidak tepat atau membuat komentar yang tidak sesuai
Ø Tertawa terlalu keras atau terlalu lama
Ø Sulit bergantian datarn bercakap-cakap
Ø Menunjukkan kebiasaan ritual atau peritaku obsesi
Ø Sutit berkomunikasi melalui berbicara dan/atau bentuk bahasa tainnya.
Ø Tidak dapat berinteraksi dengan orang lain dengan bahasa verbal dan/atau
nonverbal yang tepat
Ø Sulit bereaksi secara normal terhadap situasi sosial atau menghindari situasi
sosial
Ø Pasif dan kurang atau bahkan tidak punya inisiatif atau rasa ingin tahu
Ø Tidak peduli terhadap orang lain
Ø Suaranya aneh, menggunakan bahasa ‘planet’ dan/atau kalimat kalimat ritual
seperti dalam slogan periklanan.
Definisi gangguan tingkah laku memfokuskan pada perilaku yang melanggar hak-hak dasar
orang lain dan norma-norma sosial utama. Tipe perilaku yang dianggap sebagai simptom
gangguan tingkah laku mencakup agresi dan kekejian terhadap orang lain atau hewan,
merusak kepemilikan, berbohong, dan mencuri. Gangguan tingkah laku merujuk pada
berbagai tindakan yang kasar dan sering dilakukan yang jauh melampaui kenakalan dan
tipuan praktis yang umum dilakukan anak-anak dan remaja usia sekolah.
Banyak anak yang mengalami gangguan tingkah laku juga menunjukkan gangguan
lain. Ada tingkat komorbiditas yang tinggi antara gangguan tingkah laku dan ADHD. Hal ini
terjadi pada anak laki-laki, namun jauh lebih sedikit yang diketahui mengenai komorbiditas
gangguan tingkah laku dan ADHD pada anak perempuan. Penyalahgunaan zat juga umum
terjadi bersamaan dengan gangguan tingkah laku dimana dua kondisi tersebut saling
memperparah satu sama lain.
Terdapat bukti bahwa anak laki-laki yang mengalami gangguan tingkah laku dan
komorbid dengan hambatan behavioral memiliki kemungkinan lebih kecil untuk melakukan
kejahatan dibanding mereka yang mengalami gangguan tingkah laku yang komorbid dengan
penarikan diri dari pergaulan sosial. Bukti-bukti menunjukkan bahwa anak-anak perempuan
yang mengalami gangguan tingkah laku berisiko lebih tinggi untuk mengalami berbagai
gangguan komorbid, termasuk kecemasan, depresi, penyalahgunaan zat, dan ADHD
dibanding dengan anak laki-laki yang memiliki gangguan tingkah laku.
Gangguan tingkah laku di masa kanak-kanak tidak dengan sendirinya berlanjut
menjadi perilaku anti sosial di masa dewasa, meskipun memang menjadi faktor yang
mempredisposisi. Beberapa individu tampaknya menunjukkan pola perilaku anti sosial
dengan masalah tingkah laku yang bermula di usia 3 tahun dan berlanjut menjadi kesalahan
perilaku yang serius di masa dewasa.
Etiologi dan Faktor Resiko Gangguan Tingkah Laku
Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya gangguan tingkah laku pada remaja adalah
faktor kerentanan psikiatrik, neurologi, kognitif, dan keluarga. Remaja yang mempunyai
gangguan tingkah mungkin menderita cedera pada sistem saraf pusat. Walaupun sebagian
besar remaja yang mengalami gangguan tingkah laku tidak mengalami kerusakan saraf, perlu
penilaian medis dan neuropsikologis yang teliti untuk mengetahui disfungsi sitem saraf pusat
yang terjadi. Gangguan belajar sering terjadi pada remaja dengan gangguan tingkah laku.
Remaja yang mempunyai kesulitan dalam membaca dan bahasa, sering sulit untuk
menumpahkan kemarahannya melalui kata-kata, justru langsung bertindak dengan
berperilaku anti sosial.
Beberapa faktor yang mempengaruhi gangguan tingkah laku dan kenakalan anak:
a. Disregulasi neurologik
Tingginya angka kejadian gangguan tingkah laku yang terjadi bersamaan dengan dengan
ADHD yaitu sekitar 50% menguatkan anggapan bahwa yang mendasari terjadinya gangguan
ini adalah disregulasi neurologik.
b. Faktor biokemikal
Teori biokemikal mengatakan bahwa terdapat hubungan antara berkurangnya kadar serotonin
pada sistem saraf pusat dengan terjadinya perilaku agresif dan impulsive.
c. Faktor biologi anak
Temperamen anak cenderung sebagai prediktor terjadinya gangguan tingkah laku. Apabila
orangtua menanggapi dengan tidak sabar, tidak konsisten dan banyak memberikan larangan
pada anaknya maka kelak anak ini akan mengalami gangguan tingkah laku. Perilaku
kriminal dan agresif dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan dimana faktor
lingkungan pengaruhnya sedikit lebih besar. Kelemahan neurologis, tercakup dalam profil
masa kanak-kanak dari anak-anak yang mengalami gangguan tingkah laku. Kelemahan
tersebut termasuk keterampilan verbal yang rendah, masalah dalam fungsi pelaksanaan
(kemampuan mengantisipasi, merencanakan, menggunakan pengendalian diri, dan
menyelesaikan masalah) dan masalah memori.
d. Faktor sekolah
Anak yang mengalami gangguan tingkah laku sering mempunyai intelektual dan prestasi
akademik yang rendah.
e. Psikologi orang tua
Ibu yang depresi, ayah pecandu alkohol, penjahat dan mempunyai perilaku anti social
berhubungan erat denga terjadinya gangguan tingkah laku pada anaknya.
f. Peranan keluarga
Perceraian, konflik dalam perkawinan dan kekerasan, interaksi orang tua dengan anak,
kemelaratan dan genetik berpengaruh terhadap gangguan tingkah laku pada anak. Anak-anak
dapat mempelajari agresivitas orang tua yang berperilaku agresif. Anak juga dapat meniru
tindakan agresif dari berbagai sumber lain seperti televisi. Karena agresi merupakan cara
mencapai tujuan yang efektif, meskipun tidak menyenangkan, kemungkinan hal tersebut
dikuatkan. Oleh karena itu setelah ditiru, tindakan agresif kemungkinan akan
dipertahankan. Berbagai karakteristik pola asuh seperti disiplin keras dan tidak konsisten dan
kurangnya pengawasan secara konsisiten dihubungkan dengan perilaku antisosial pada anak-
anak.
g. Pengaruh teman sebaya
Penelitian mengenai pengaruh teman seusia terhadap agresi dan anti sosial anak-anak
memfokuskan pada dua bidang besar, yaitu:
1) Penerimaan atau penolakan dari teman-teman seusia. Penolakan menunjukkan hubungan
yang kausal dengan perilaku agresif, bahkan dengan tindakan pengendalian perilaku agresif
yang terdahulu
2) Afiliasi dengan teman-teman seusia yang berperilaku menyimpang. Pergaulan dengan teman
seusia yang nakal juga dapat meningkatkan kemungkinan perilaku nakal pada anak.
h. Faktor-faktor sosiologis.
Tingkat pengangguran tinggi, fasilitas pendidikan yang rendah, kehidupan keluarga yang
terganggu, dan subkultur yang menganggap perilaku kriminal sebagai suatu hal yang dapat
diterima terungkap sebagai faktor-faktor yang berkontribusi. Kombinasi perilaku anti sosial
anak yang timbul di usia dini dan rendahnya status sosioekonomi keluarga memprediksikan
terjadinya penangkapan di usia muda karena tindakan kriminal. Faktor-faktor sosial berperan,
korelasi terkuat dengan kenakalan adalah hiperaktivitas dan kurangnya pengawasan orang
tua.
Hal penting bagi keberhasilan dalam penanganan adalah upaya mempengaruhi banyak sistem
dalam kehidupan seorang remaja (keluarga, teman-teman sebaya, sekolah, lingkungan tempat
tinggal).
Intervensi keluarga
Beberapa pendekatan untuk menangani gangguan tingkah laku mencakup intervensi bagi
orang tua atau keluarga dari si anak anti sosial. Para orang tua diajarkan untuk menggunakan
teknik-teknik seperti penguatan positif bila si anak menunjukkan perilaku positif dan
pemberian jeda serta hilangnya perilaku istimewa bila ia berperilaku agresif atau anti sosial.
Penanganan multisistemik
Intervensi ini memandang masalah tingkah laku sebagai suatu hal yang dipengaruhi oleh
berbagai konteks dalam keluarga dan antara keluarga dan berbagai sistem sosial lainnya.
Teknik yang dipergunakan variasai meliputi teknik perilaku kognitif, sistem keluarga, dan
manajemen kasus.
Pendekatan kognitif
Penanganan dengan terapi kognitif individual bagi anak-anak yang mengalami gangguan
tingkah laku dapat mempaerbaiki tingkah laku mereka, meski tanpa melibatkan keluarga.
Contoh: mengajarkan keterampilan kognitif pada anak-anak untuk mengendalikan
kemarahan mereka menunjukan manfaat yang nyata dalam membantu mereks mengurangi
perilaku agresif. Strategi lain dengan mengajarkan keterampilan moral kepada berbagai
kelompok remaja yang mengalami ganguan perilaku.
ADHD merupakan satu dari kelainan yang terbanyak pada anak usia sekolah. Ditemukan
sekitar 3-5% usia anak sekolah. Penyebab pasti ADHD belum diketahui sampai sekarang.
Diperkirakan beberapa faktor seperti herediter, neurologik, faktor pre dan post natal dan
toksin berpengaruh terhadap kejadian ADHD. Penelitian oleh Linstrom dkk bahwa pada anak
sekolah dengan ADHD ternyata didapatkan sebagian besar dengan riwayat kelahiran
prematur.
Anak dengan ADHD sulit untuk berkonsentrasi pada tugas yang dikerjakan dalam
waktu tertentu yang wajar sehingga mengalami penurunan dalam hal akademik. Anak dengan
ADHD mengalami kesulitan mengendalikan aktifitas dalam berbagai situasi yang
menghendaki mereka duduk tenang. Banyak anak ADHD mengalami kesulitan besar untuk
bermain dengan anak seusia mereka dan menjalin persahabatan, hal ini mungkin karena
mereka cenderung agresif saat bermain sehingga membuat teman-temannya merasa tidak
nyaman. Anak ADHD bermain agresif dengan tujuan mencari sensasi sedang anak normal
melakukan hal tersebut dangan tujuan untuk bermain sportif. Karena simptom-simptom
ADHD bervariasai, DSM-IV-TR mencantumkan tiga subkategori, yaitu:
1. Tipe predominan inatentif: anak-anak yang masalah utamanya adalah rendahnya konsentrasi.
2. Tipe predominan Hiperaktif-Impulsif: anak-anak yang masalah utamanya diakibatkan oleh
perilaku hiperaktif-impulsif.
3. Tipe kombinasi: anak-anak yang mengalami kedua rangkaian masalah diatas.
Anak-anak yang mengalami masalah atensi, namun memiliki tingkat aktivitas yang
sesuai dengan tahap perkembangannya, tampak sulit memfokuskan perhatian atau lebih
lambat dalam memproses informasi mungkin berhubungan dengna masalah pada daerah
frontal atau striatal otak. Gangguan ADHD, lebih berhubungan dengan perilaku tidak
mengerjakan tugas di sekolah, kelemahan kognitif, rendahnya prestasi. Berbeda dengan anak
yang mengalami gangguan tingkah laku, mereka bertingkah di sekolah dan dimana pun, dan
kemungkinan jauh lebih agresif, serta mungkin memiliki orang tua yang
antisosial. Berdasarkan laporan dari para guru, anak ADHD lebih agresif, tidak patuh, dan
suka mengganggu dan angka kehadiran di sekolah yang rendah. Mereka berisiko drop
out dari sekolah.
Penatalaksanaan ADHD
1). Pemberian Obat Stimulan. Metilfenidat, atau Ritalin, telah diresepkan bagi ADHD sejak
awal tahun 1960-an termasuk amfetamin, atau Adderall, dan Pemolin atau Cylert. Obat-
obatan ini digunakan untuk mengurangi perilaku menganggu dan meningkatkan konsentrasi.
Namun, penelitian lain mengindikasikan bahwa obat-obatan tersebut tidak dapat
meningkatkan prestasi akademik untuk waktu lama. Efek samping dari obat-obatan ini adalah
hilangnya nafsu makan untuk sementara dan masalah tidur.
2). Penanganan Psikologis. Selain pemberian obat, penanganan yang paling menjanjikan bagi
anak-anak ADHD mencakup pelatihan bagi orang tua dan perubahan menajemen kelas
berdasarkan prinsip-prinsip pengondisianoperant. Program ini mampu untuk memperbaiki
perilaku sosial dan akademik. Pada penanganan ini perilaku anak dipantau dan di rumah dan
di sekolah, dan mereka diberi penguatan untuk berperilaku sesuai dengan harapan.
Fokus program operant ini adalah meningkatkan karya akademik, menyelesaikan tugas-
tugas rumah, atau belajar keterampilan sosial spesifik, dan bukan untuk mengurangi tanda-
tanda hiperaktivitas, seperti berlari ke sana kemari dan menggoyang-goyangkan kaki.
Berbagai intervensi di sekolah bagi anak ADHD, mencakup pelatihan bagi para guru untuk
memahami kebutuhan unik anak-anak tersebut dan menerapkan teknik-teknik operant
tersebut di kelas, pembimbingan oleh teman sebaya dalam keterampilan akademik, meminta
guru-guru untuk memberikan laporan harian kepada orang tua mengenai perilaku anak di
sekolah, yang ditindaklanjuti dengan hadiah dan konsekuensi di rumah.
C. DISABILITAS BELAJAR
Disabilitas belajar merujuk pada kondisi tidak memadainya perkembangan dalam suatu
bidang akademik tertentu, bahasa, berbicara, atau keterampilan motorik yang tidak
disebabkan oleh retardasi mental, autisme, gangguan fisik yang dapat terlihat, atau kurangnya
kesempatan pendidikan. Anak-anak yang mengalami gangguan ini umumnya memiliki
intelegensi rata-rata atau di atas rata-rata, namun mengalami kesulitan mempelajari beberapa
keterampilan tertentu (misal aritmatika atau membaca) sehingga kemajuan mereka di sekolah
menjadi terhambat. Disabilitas belajar untuk menggabungkan tiga gangguan yaitu : gangguan
perkembangan belajar, gangguan berkomunikasi, dan gangguan keterampilan motorik.
Etiologi Disleksia
Kelemahan inti yang membentuk disleksia mencakup berbagai masalah dalam proses-proses
visual/pendengaran dan bahasa. Penelitian menunjukkan adanya satu masalah atau lebih
dalam pemrosesan bahasa yang dapat mendasari disleksia, termasuk persepsi bicara dan
analisis bunyi bahasa ucapan dan hubungannya dengan kata-kata tertulis. Beberapa anak
tertentu lebih mungkin mengalami disleksia, yaitu : mereka yang mengalami kesulitan
mengenali sajak atau puisi di usia 4 tahun, mengalami kesulitan menyebutkan nama objek
familiar dengan cepat pada usia 5 tahun, dan mereka yang terlambat menguasai berbagai
aturan bentuk kalimat pada usia 2,5 tahun.
Etiologi Gangguan Berhitung
Terdapat tiga subtipe gangguan berhitung. Pertama, kelemahan pada memori verbal semantik
dan memicu timbulnya masalah dalam mengingat fakta-fakta aritmatik, bahkan setelah
melalui latihan ekstensif. Tipe ini tampaknya berhubungan dengan beberapa disfungsi pada
belahan kiri otak dan seringkali terjadi bersamaan dengan gangguan membaca. Kedua,
menyangkut penggunaan strategi yang tidak sesuai dengan tahap perkembangan dalam
menyelesaikan soal-soal aritmatik dan seringnya melakukan kesalahan dalam menyelesaikan
soal-soal sederhana. Ketiga, jarang terjadi yaitu yang menyangkut hendaya keterampilan
visuospasial, yang mengakibatkan kesalahan dalam mengurutkan angka-angka dalam kolom
atau melakukan kesalahan menempatkan angka (meletakkan poin desimal di tempat yang
salah).
b. Gangguan Komunikasi
Beberapa kategori gangguan berkomunikasi, antara lain :
a. Gangguan berbahasa ekspresif, dimana anak mengalami kesulitan mengekspreksikan dirinya
dalam berbicara. Anak tampak sangat ingin berkomunikasi tetapi sangat sulit untuk
menemukan kata-kata yang tepat. Misalnya tidak mampu mengucapkan kata mobil saat
menunjuk sebuah mobil yang melintas. Kata-kata yang sudah terkuasai terlupakan oleh kata-
kata yang baru dikuasai, dan penggunaan struktur bahasa sangat di bawah tingkat usianya.
b. Gangguan fonetik, dimana anak menguasai dan mampu mempegunakan perbendaharaan kata
dalam jumlah besar tetapi tidak dapat mengucapkannya dengan jelas, contohnya biru
diucapkan biu. Mereka tidak menguasai artikulasi suara dari huruf-huruf yang dikuasai
terkemudian, seperti r, s, t, f, z, l, dan c.
c. Gagap, yaitu gangguan kefasihan verbal yang ditandai dengan satu atau lebih pola bicara
berikut ini : seringnya pengulangan atau pemanjangan pengucapan konsonan atau vokal, jeda
yang lama antara pengucapan satu kata dengan kata berikutnya, mengganti kata-kata yang
sulit dengan kata-kata yang mudah diucapkan, dan mengulang kata. Jumlah laki-laki yang
mengalami masalah ini sekitar 3 kali lebih banyak dari perempuan, biasanya muncul sekitar
usia 5 tahun dan hampir selalu sebelum usia 10 tahun. DSM memperkirakan bahwa 80%
indivisu yang gagap dapatb sembuh tanpa intervensi profesional sebelum penderita
menmcapai usia 16 tahun.
Disebut juga gangguan komunikasi perkembangan dimana seorang anak mengalami hendaya
parah dalam perkembangan koordinasi motorik yang tidak disebabkan oleh retardasi mental
atau gangguan fisik lain yang telah dikenal sebagai serebral palsi. Anak mengalami kesulitan
menalikan sepatu dan mengancingkan baju, dan bila berusia lebih besar kesulitan membuat
suatu bangun, bermain bola, dan menggambar atau menulis. Diagnosis hanya ditegakkan bila
hendaya tersebut sangat menghambat prestasi akademik atau aktivitas sehari-hari.
Kecemasan dianggap tidak normal apabila berlebihan dan menghambat fungsi akdemik dan
soaial atau menjadi menyusahkan atau. Beberapa gangguan kecemasan yang dapat dialami
oleh anak dan remaja antara lain fobia spesifik, fobia sosial, gangguan kecemasan
menyeluruh, PTSD, dan gangguan mood, termasuk depresi mayor dan gangguan bipolar.
Diperkirakan 8%-9% anak-anak usia 10-13 tahun pernah mengalami depresi mayor selama
setahun. Perbedaan gender yang jelas tampak setelah usia 15 tahun, dimana jumlah remaja
perempuan yang mengalami depresi dua kali lebih banyak dari pada laki-laki.
Gangguan Kecemasan akan Perpisahan
Gangguan kecemasan akan perpisahan ditandai oleh ketakutan yang berlebihan akan
perpisahannya dari orang tua atau pengasuh lainnya. Anak-anak dengan gangguan ini
cenderung terikat pada orang tua dan mengikuti kemana pun mereka berada di lingkungan
rumahnya. Anak tersebut dapat mengemukakan kecemasan tentang kematian dan memaksa
seseorang untuk menemani saat mereka tidur. Mereka seringkali mengalami mimpi buruk,
salit perut, mual, dan muntah ketika mengantisipasi perpisahan. Gangguan ini terjadi sekitar
4% anak dan remaja awal, dapat berlangsung sampai dewasa, menyebabkan perhatian yang
berlebihan pada keselamatan nak-anak dan pasangan serta kesulitan mentoleransi perpisahan
apapun dari mereka. Perkembangan gangguan ini sering muncul setelah adanya kejadian
hidup yang menekan, seperti kematian, kondisi sakit, perubahan sekolah atau rumah.
Perpektif tentang Gangguan Kecemasan di Masa Kanak-Kanak
Anak-anak dan remaja yang mengalami depresi dapat memiliki perasaan tidak berdaya, pola
berpikir yang lebih terdistorsi, kecenderungan untuk menyalahkan diri sendiri sehubungan
dengan kejadian-kejadian negatif, sertaself-esteem. Self-confidence, dan depresi akan
kompetensi yang lebih rendah dibandingkan dengan teman dsebaya yang tidak
depresi. Mereka sering melaporkan adanya episode kesdiahn danm menangis, merasa apatis,
sulit tidur, lelah, dan kurang nafsu makan. Mereka memiliki keinginan untuk bunuh diri
bahkan mencoba untuk bunuh diri.
Anak-anak dan remaja yang depresi mungkin gagal melabelkan perasaan mereka
sebagai depresi. Sebagian dari masalahnya adalah perkembangan kognitif. Anak biasanya
tidak mampu mengenali perasaan internal sampai usia 7 tahun. Bahkan kadang sampai
remaja, mereka tidak menyadari bahwa apa yang mereka alami adalah depresi.
Lamanya episode depresi mayor pada anak-anak dan remaja kira-kira 11 bulan, tetapi
episode individual bisa mencapai 18 bulan pada beberapa kasus dengan tingkat sedang dapat
bertahan sampai beberapa tahun dan amat mempengaruhi prestasi sekolah dan fungsi sosial.
Anak-anak yang depresi juga kurang memiliki berbagai keterampilan, termasuk
keterampilan akademik, atletik dan sosial. Mereka sulit berkonsentrasi di sekolah dan
mengalami hendaya memori sehingga sulit meningkatkan nilai mereka. Depresi pada anak
jarang terjadi dengan sendirinya.
Selain itu terdapat jenis kelainan pada usia sekolah berupa kelainan bipolar (bipolar
disorders). Early onset bipolar disorders ini sering sukar dikenal karena sukar membedakan
perilaku antara normal dan abnormal dan sering terjadi bersamaan dengan kelainan mental
pada anak. Sehingga sering misdiagnosis dan misunderstood.Gejala hampir sama dengan
ADHD, gangguan kecemasan dan skizofrenia.
Depresi merupakan gejala awal early onset bipolar disorders dimana anak sering
nangis, tidak tertarik dengan berbagai kegiatan sekolah, perubahan penampilan, irritabilitas,
pola tidur yang berubah, meningkatnyasocial withdrawal. Kadang-kadang gejala menyerupai
ADHD dimana anak tampak hiperaktif dan terlalu banyak bicara. Terdapat tingkah laku yang
aneh dimana anak sering menggaruk lengannya dengan peniti, pisau cukur dan benda-benda
lain yang menyakiti dirinya.
Anak-anak dan remaja depresi cenderung mengadopsi gaya kognitif yang ditandai oleh sikap
negatif terhadap diri sendiri dan masa depan. Secara keseluruhan, perubahan kognisi pada
anak-anak yang depresi meliputi hal-hal berikut :
Mengharapkan yang terburuk (pesimis)
Membesar-besarkan konsekuaensi dari kejadian-kejadian yang negatif
Mengasumsikan tanggung jawab pribadi untuk hasil yang negatif, walaupun tidak beralasan
Secara selektif hanya memperhatikan aspek-aspek dari berbagai kejadian
Terapi kognitif behavioral yang digunakan untuk menangani anak dan remaja depresi
biasanya melibatkan model keterampilan coping dimana anak-anak dan remaja memperoleh
keterampilan sosial (misalnya belajar bagaimana memulai percakapan, atau berteman) untuk
meningkatkan kemungkinan memperoleh reinforcement sosial. Terapi ini biasanya uga
mencakup pelatihan dalam keterampilan pemecahan masalah dan cara-cara untuk
meningkatkan frekuensi dari aktivitas yang menyenangkan serta mengubah gaya berpikir
depresi.
Terapi keluarga dapat bermanfaat dalam membantu keluarga memecahkan konflik-
konflik dan mengatur kembali hubungan mereka sehingga anggota keluarga dapat menjadi
lebih suportif satu sama lain.
E. RETARTASI MENTAL
Retardasi mental ialah keterlambatan yang mencakup rentang yang luas dalam perkembangan
fungsi kognitif dan social. Kriteria Retardasi Mental :
a. Fungsi intelektual yang secara signifikan di bawah rata-rata, IQ kurang dari 70
b. Kurangnya fungsi sosial adaptif dalam minimal dua bidang berikut : komunikasi, mengurus
diri sendiri, kehidupan keluarga, keterampilan interpersonal, pengguanaan sumber daya
komunitas, kemampuan untuk mengambil keputusan sendiri, keterampilan akademik
fungsional, rekreasi, pekerjaan, kesehatan dan kemanan
c. Onset sebelum usia 18 tahun
Retardasi Mental Ringan (IQ 50 hingga 70). Di usia remaja akhir dapat mempelajari
ketrampilan akademik setara dengan kelas enam. Ketika dewasa, mampu melakukan
pekerjaan yang tidak memerlukan keterampilan, meski masih membutuhkan bantuan dalam
masalah sosial dan keuangan. Mereka bisa menikah dan mempunyai anak.
Retardasi Mental Sedang (IQ 35-40 hingga 50-55). Mereka dapat mengalami kelemahan
fisik dan disfungsi neurologis yang menghambat keterampilan motorik normal. Dengan
banyak bimbingan dan latihan, mereka dapat bepergian sendiri di tempat yang tidak asing
bagi mereka.
Retardasi Mental Berat (IQ 20-25 hingga 35-40). Memiliki abnormalitas fisik sejak lahir
dan keterbatasan dalam pengendalian sensori motor. Mereka hanya dapat melakukan sedikit
aktivitas karena kerusakan otak yang parah. Mereka mampu melakukan pekerjaan yang
sangat sederhana dengan supervisi terus menerus.
Retardasi Mental Sangat Berat (IQ di bawah 20-25). Mereka membutuhkan supervisi total
dan seringkali harus diasuh sepanjang hidup mereka. Sebagian besar memiliki abnormalitas
fisik berat serta kerusakan neurologis dan tidak dapat berjalan sendiri ke manapun.
i. 1. Penanganan Residensial
Sejak tahun 1975, individu yang mengalami retardasi mental berhak mendapatkan
penanganan yang sesuai dalam lingkungan dengan batasan yang sangat minimal. Orang
dewasa dengan retardasi mental sedang, tinggal di tempat sederhana dan disediakan
perawatan medis. Mereka didorong untuk berpartisipasi dalam tugas rutin rumah tangga
semampu mereka. Mereka yang mengalami retardasi mental berat, tinggal di rumah
perawatan yang dilengkapi dengan layanan pendidikan dan psikologis.
ii. 2. Intervensi Behavioral Berbasis Pengondisian Operant
Dalam metode operant, anak-anak diajari berbagai keterampilan selangkah demi selangkah
dan berurutan. Prinsip-prinsip pengondisian operant kemudian diterapkan untuk mengajarkan
berbagai komponen aktivitas pada anak, juga digunakan untuk mengurangi perilaku yang
tidak pada tempatnya dan perilaku mencederai diri sendiri.
3. Latihan Intruksional Diri mengajari mereka yang mengalami retardasi mental
untuk memandu upaya penyelesaian masalah mereka melalui kata-kata yang diucapkan.
iii. 4. Intruksi dengan Bantuan Komputer
Komponen visual dan auditori dalam komputer dapat mempertahankan konsentrasi para
siswa yang sulit berkonsentrasi. Komputer dapat memenuhi kebutuhan akan banyaknya
pengulangan materi tanpa menjadi bosan atau tidak sabar seperti yang dapat terjadi pada
guru.
Kekurangan Komunikasi
Mengoceh (babbing), istilah yang menggambarkan ucapan bayi sebelum mereka mulai
mengucapkan kata-kata sebenarnya, jarang dilakukan oleh bayi autis. Pada usia 2 tahun,
sekitar 50 % anak autis tidak pernah belajar berbicara sama sekali. Mereka yang jarang
belajar berbicara, bicaranya mencakup berbagai keanehan. Salah satu cirinya adalah ekolalia,
dimana anak mengulangi, biasanya dengan ketepatan luar biasa, perkataan orang lain yang
didengarnya. Abnormalitas lain yang umum terjadi adalah pembalikan kata ganti. Anak
merujuk dirinya sendiri dengan kata “ia”, atau “kamu” atau dengan menyebut nama mereka
sendiri. Anak-anak dengan autisme sangat kaku dalam menggunakan kata-kata. Kelemahan
komunikasi tersebut dapat menjadi penyebab kelemahan sosial pada mereka. Meskipun
mereka telah belajar berbicara, mereka seringkali kurang memiliki spontanitas verbal dan
jarang berekspresi secara verbal serta penggunaan bahasa mereka tidak selalu tepat.
Penanganan untuk anak autis biasanya mencoba mengurangi perilaku mereka yang tidak
wajar dan meningkatkan keterampilan komunikasi dan sosial. Meski teori biologis labih
banyak mendapat dukungan empiris, intervensi psikologislah yang paling menjanjikan.
Masalah Khusus dalam Menangani Anak dengan Autis
Ada beberapa karakteristik yang dimiliki anak autis yang membuat mereka sulit untuk
ditangani, antara lain :
Mereka tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap perubahan rutinitas dan
karakteristik serta tujuan utama penanganan mencakup perubahan.
Pengisolasian diri dan gerakan stimulasi diri yang mereka lakukan dapat menghambat
pengajaran yang efektif.
Sangat sulit menemukan cara untuk memotivasi anak dengan autis. Penguat harus eksplisit,
konkret dan sangat menonjol.
Selektivitas yang berlebihan dalam mengarahkan perhatian. Jika mereka sudah terfokus pada
satu hal atau benda, yang lain akan terabaikan sama sekali.
Suatu keadaan dimana perkembangan koordinasi motorik lebih rendah dibandingkan dengan
teman sebaya. Penyebab tidak diketahui tapi diperkirakan tidak berhubungan dengan
gangguan intelektual atau adanya lesi otak. Anak sering mengalami kesulitan dalam sekolah
dan aktivitas sehari-hari. Pada usia sekolah terjadi, terjadi beberapa hal mencakup:
a. Aspek fisik
- Sering mudah terjatuh saat berjalan atau berlari
- Sukar ikut dalam permainan fisik dengan teman sebaya seperti memanjat, sepakbola
- Adanya keluhan dari guru maupun teman sekelas tentang gerakan kaku si anak
- Sukar dalam belajar aktivitas fisik lainnya seperti berenang atau permainan bola.
b. Aspek belajar
- Lambat dalam menulis
- Sering mengubah posisi duduk selama menulis disebabkan karena kesulitan dalam
memegang pensil
- Tulisan tangan yang sangat jelek dan kotor
- Gagal untuk memotong, melipat dan menempel objek dalam pelajaran ketrampilan tangan
- Sering tidak bisa menyelesaikan tugas di sekolah
c. Aspek perawatan diri
- Anak mengalami kesukaran dalam memasang kancing baju, dasi dan tali sepatu. Sering
Nampak berpakaian kotor
- Mudah menjatuhkan benda atau menumpahkan minuman.