Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Usus besar merupakan organ yang ada dalam tubuh manusia. Usus besar
merupakan tabung muscular dengan panjang sekitar 1,5 m yang terdiri dari sekum,
kolon, dan rectum. Dimana diameter usus besar lebih besar daripada usus kecil.
Semakin ke bawah menuju rectum, diameternya akan semakin kecil. Secara
fisiologis, usus besar berfungsi untuk menyerap air, vitamin, dan elektrolit. Selain itu,
usus besar juga berfungsi untuk menyimpan feses, dan mendorongnya keluar.
Inervasi usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom. Inervasi usus besar sangat
berkaitan dengan sel ganglion pada submukosa (Meissner’s) dan pleksus myenteric
(Aurbach’s) pada usus besar bagian distal. Apabila sel ganglion tersebut tidak ada,
maka akan timbul penyakit yang disebut Hirschsprung’s Disease.1
Penyakit Hirschsprung merupakan kelainan perkembangan komponen
intrinsik pada sistem saraf enterik yang ditandai oleh absennya sel-sel ganglion pada
pleksus myenterik dan submukosa di intestinal distal. Karena sel-sel ini bertanggung
jawab untuk peristaltik normal, pasien-pasien penyakit Hirschprung akan mengalami
obstruksi intestinal fungsional pada level aganglion.2
Insiden penyakit Hirschsprung di Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi
berkisar di satu di antara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia
220 juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir
1540 bayi dengan penyakit Hirschsprung. Kartono mencatat 40 sampai 60 pasien
penyakit Hirschsprung yang dirujuk setiap tahunnya ke RS Cipto Mangunkusumo
Jakarta. Bersamaan dengan penyakit Hirschsprung, Down Syndrome (5-10%) dan
kelainan urologi (3%) adalah kelainan yang paling sering diantara beberapa kelainan
kongenital lainnya.2
Gejala klinis penyakit Hirscshprung biasanya mulai pada saat lahir. 99% bayi
lahir cukup bulan mengeluarkan meconium dalam waktu 48 jam setelah lahir.
Penyakit Hirscshprung harus dicurigai apabila seorang bayi cukup bulan (penyakit ini
tidak biasa terjadi pada bayi kurang bulan) yang terlambat mengeluarkan tinja.
Terlambatnya pengeluaran mekonium merupakan tanda yang signifikan. Distensi
abdomen dan muntah hijau merupakan gejala penting lainnya. Pada beberapa bayi
yang baru lahir dapat timbul diare yang menunjukkan adanya enterokolitis dengan
gejala berupa diare, distensi abdomen, feses berbau busuk dan disertai demam.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Defenisi dan Etiologi Penyakit Hirschprung


Penyakit Hirschsprung adalah penyakit congenital yang terjadi akibat gagalnya
migrasi oleh ganglion sel pada saluran cerna selama masa gestasi. Banyaknya variasi
panjang dari colon distal yang gagal berelaksasi, menyebabkan terjadinya obstruksi
pada usus. Biasanya, penyakit Hirschsprung sering mengenai region rectosigmoid,
namun tak jarang pula mengenai seluruh regio usus besar, dan jarang terjadi
mengenai pada usus kecil. Penyakit ini sering terjadi pada neonatus.3

2.2. Epidemiologi Penyakit Hirschsprung


Insiden penyakit Hirschsprung di Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi
berkisar di satu di antara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia
220 juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir
1540 bayi dengan penyakit Hirschsprung. Kartono mencatat 40 sampai 60 pasien
penyakit Hirschsprung yang dirujuk setiap tahunnya ke RS Cipto Mangunkusumo
Jakarta. Bersamaan dengan penyakit Hirschsprung, Down Syndrome (5-10%) dan
kelainan urologi (3%) adalah kelainan yang paling sering diantara beberapa kelainan
kongenital lainnya.1
2.4. Patogenesis Penyakit Hirschsprung
Pada penyakit hirschsprung terdapat absesnsi ganglion Meissner dan ganglion
Aurbach dalam lapisan dinding usus, mulai dari sfingter ani kearah proksimal dengan
panjang bervariasi. 70%-80% terbatas diarea rektosigmoid, 10% sampai seluruh
kolon dan sekitar 5% kurang dapat mengenai seluruh usus sampai pylorus. Tidak
terdapatnya ganglion dan Auerbach mengakibatkan usus yang bersangkutan tidak ikut
dalam proses evakuasi feses ataupun udara. Penampilan klinis penderita sebagai
gangguan pasase usus. Tiga tanda yang khas: keterlambatan evakuasi mekonium,
muntah hijau dan distensi abdomen. Penampilan makroskopik, pada bagian usus
yang tidak berganglion, akan terlihat spastic, lumen terlihat kecil. Usus di bagian
proksimalnya, disebut daerah transisi, terlihat mulai melebar dari bagian yang
menyempit. Usus di proksimalnya lagi lebih melebar lagi dan umumnya mengecil
kembali mendekati kaliber lumen usus normal.4

2.5. Gambaran klinis Penyakit Hirschsprung


Berdasarkan usia penderita gejala penyakit Hirschsprung dapat dibedakan menjadi 2,
yaitu:
a. Periode neonatus
Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran mekonium
yang terlambat, muntah bilious (hijau) dan distensi abdomen. Terdapat 90% lebih
kasus bayi dengan penyakit Hirchsprung tidak dapat mengeluarkan mekonium pada
24 jam pertama, kebanyakan bayi akan mengeluarkan mekonium setelah 24 jam
pertama (24-48 jam). Muntah bilious (hijau) dan distensi abdomen biasanya dapat
berkurang apabila mekonium dapat dikeluarkan segera. Bayi yang mengonsumsi ASI
lebih jarang mengalami konstipasi, atau masih dalam derajat yang ringan karena
tingginya kadar laktosa pada payudara, yang akan mengakibatkan feses jadi berair
dan dapat dikeluarkan dengan mudah.1

b. Periode anak-anak
Walaupun kebanyakan gejala akan muncul pada bayi, namun ada beberapa
kasus dimana gejala-gejala tersebut tidak muncul hingga usia kanak-kanak (Lakhsmi,
2008). Gejala yang biasanya timbul pada anak-anak yakni, konstipasi kronis, gagal
tumbuh, dan malnutrisi. Pergerakan peristaltik usus dapat terlihat pada dinding
abdomen disebabkan oleh obstruksi fungsional kolon yang berkepanjangan. Selain
obstruksi usus yang komplit, perforasi sekum, fecal impaction atau enterocolitis akut
yang dapat mengancam jiwa dan sepsis juga dapat terjadi.

Adapun tanda-tanda dari Penyakit Hirschprung pada bayi diantaranya:


1. Anemia dan tanda-tanda malnutrisi
2. Perut membuncit (abdomen distention) mungkin karena retensi kotoran.
3. Terlihat gelombang peristaltic pada dinding abdomen
4. Pemeriksaan rectal touche (colok dubur) menunjukkan sfingter anal yang
padat/ketat, dan biasanya feses akan langsung menyemprot keluar dengan bau
feses dan gas yang busuk.
5. Tanda-tanda edema, bercak-bercak kemerahan khususnya di sekitar
umbilicus, punggung dan di sekitar genitalia ditemukan bila telah terdapat
komplikasi peritonitis.1

2.6. Diagnosis Penyakit Hirschsprung


Konstipasi selalu mulai pada waktu lahir dan dapat sedemikian sulit untuk
diatasi sehingga menyebabkan obstruksi usus pada masa neonatus. Secara paradoksal,
gejala-gejala distensi abdomen dan diare pada bayi adalah karena penyakit
Hirschsprung yang bersifat mengobstruksi usus. Pemeriksaan rectum mungkin
mengungkapkan anus dan rectum yang sempit dan dekat. Pasien dicurigai menderita
penyakit ini bila enema barium (dalam larutan garam fisiologis) memperlihatkan usus
distal yang berukuran normal atau kecil dan dilatasi usus di atas daerah peralihan.
Jangan berusaha untuk mengeluarkan isi kolon sebelum melakukan enema barium,
sehingga daerah peralihan akan terlihat. Bayi tersebut biasanya tidak dapat
mengeluarkan barium selama 24 jam berikutnya. Biopsi mukosa rectum dengan
pengisap aman dan mudah tetapi penafsirannya memerlukan seorang ahli patologi
yang berpengalaman. Biopsi seluruh tebal usus untuk memastikan tidak adanya sel-
sel ganglion. Manometri rectum mungkin berguna. Komplikasi didapati enterocolitis
berat dan sering fatal pada bayi berusia 1 tahun.5
Pasien Penyakit Hirscshprung sering dijumpai pada Neonatus yang hampir
selalu dengan berat badan normal, sangat jarang premature. Datang kerumah sakit
dengan obstruksi usus, tanda-tanda keterlambatan evakuasi mekonium, distensi
abdomen dan muntah hijau. Obstruksi usus ini dapat mereda spontan, atau akibat
colok dubur yang dilakukan pada waktu pemeriksaan saat baru lahir. Dikatakan
mereda apabila neonatus dapat defekasi dengan keluarnya mekonium bercampur
udara, abdomen yang kempes dan tidak muntah lagi. Kemudian dalam beberapa hari
lagi, neonatus menunjukkan tanda-tanda obstruksi usus berulang. Selanjutnya,
neonatus secara klinis menunjukkan gejala sebagai obstipasi kronik dengan disertai
abdomen yang buncit. Penyebab tersering neonatus meninggal pada kasus penyakit
hirschsprung ini adalah enterokolitis atau peritonitis dan sespsis.4

2.7. Pemeriksaan Penunjang Penyakit Hirschsprung


Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain:
1. Pemeriksaan foto polos abdomen: terlihat tanda-tanda obstruksi usus
letak rendah. Umumnya gambaran kolon sulit dibedakan dengan gambaran
usus halus.
2. Pemeriksaan foto dengan enema barium: terlihat lumen rekto-sigmoid
kecil, bagian proksimalnya terlihat daerah transisi dan kemudian melebar.
Permukaan mukosa dibagian usus yang melebar tampak tidak teratur karena
proses enterokolitis. Enema barium tidak perlu diteruskan kearah proksimal
bila tanda-tanda PH yang khas seperti diatas sudah terlihat. Apabila tanda-
tanda khas tersebut tidak dijumpai pemeriksaan enema barium diteruskan
untuk mengetahui gambaran kolon proksimal. Mungkin ditemukan
penyebab yang lain. Pada Penyakit hirschprung dengan gambaran enema
barium yang tidak jelas dapat dilakukan foto retensi barium. Foto dapat
dibuat 24-48 jam setelah foto enema barium pertama. Pada foto retensi,
barium masih terlihat di kolon proksimal, tidak menghilang atau terkumpul
didaerah distal. Dan mungkin dijumpai tanda-tanda PH yang lebih jelas.
3. Pemeriksaan patologi anatomik
Pemeriksaan patologi anatomik dimaksudkan untuk mendeteksi adanya
gangguan dilapisan sub-mukosa dan diantara 2 lapisan otot. Serta melihat
serabut-serabut saraf. Apabila sediaan untuk pemeriksaan PA didapatkan
dari biopsy hisap dari mukosa rectum, pemeriksaan hanya untuk melihat
ganglion meissner di lapisan sub-mukosa dan melihat penebalan serabut-
serabut saraf. Pada PH tidak dijumpai ganglion dan terdapat penebalan
serabut saraf.
4. Pemeriksaan Anorectal Manometry
Pada individu normal, distensi pada ampula rectum menyebabkan
relaksasi sfingter internal anal. Efek ini dipicu oleh saraf intrinsic pada
jaringan rectal, absensi/kelainan pada saraf internal ini ditemukan pada
pasien yang terdiagnosis penyakit Hirschsprung. Proses relaksasi ini bisa
diduplikasi ke dalam laboratorium motilitas dengan menggunakan metode
yang disebut anorectal manometry.
Selama anorektal manometri, balon fleksibel didekatkan pada sfingter
anal. Normalnya pada saat balon dari posisi kembang didekatkan pada
sfingter anal, tekanan dari balon akan menyebabkan sfingter anal relaksasi,
mirip seperti distensi pada ampula rectum manusia. Namun pada pasien
dengan penyakit Hirschsprung sfingter anal tidak bereaksi terhadap tekanan
pada balon. Pada bayi baru lahir, keakuratan anorektal manometri dapat
mencapai 100%.4

2.8. Tatalaksana Penyakit Hirschsprung


Untuk neonatus dengan obstruksi usus dilakukan terapi konservatif dengan
pemasangan sonde lambung, pemasangan pipa rectal untuk meconium dan udara.
Biopsy hisab hendaknya dikerjakan sebelum pemeriksaan colok dubur dan
pemasangan pipa rectal.5
Tindakan colonstomi dengan membuat stoma dibagian kolon yang
berganglion paling distal. Colostomy dimaksudkan untuk menjamin pasase usus dan
mencegah penyulit-penyulit yang tidak diinginkan seperti enterokolitis, peritonitis
dan sepsis.5
Tindakan bedah definitive dimaksudkan untuk mereseksi bagian usus yang
aganglionik dan mengembalikan kontinuitas usus. Ada beberapa prosedur bedah
devinitif, prosedur Swenson, prosedur Duhamel, prosedur endorectal pull through
dengan modifikasi masing-masing.4
Pada prosedur Swenson kolon dan rectum yang sangat berdilatasi dan
aganglionik di eksisi sampai 1,5 cm dari bagian anterior dan 0,5 cm dari bagian
posterior dari linea dentata. Kalau prosedur Duhamel usus yang sangat berdilatasi dan
aganglionik dipotong sampai rectum setinggi refleksio peritoneum pelvikum. Usus
proksimal dibawah diantara sacrum dan rectum dan dijahitkan ujung kesisi rectum
1,5 cm di atas linea dentata. Spur yang menghalangi dari rectum dan usus dipisahkan
untuk membentuk anastomosis sisi kesisi.4

2.9. Komplikasi Sindrom Nefrotik


1. Konstipasi
2. Fecal incontinence
3. Enterokolitis
4. Colonic rupture
BAB III
KESIMPULAN

Penyakit Hirschprung merupakan penyakit congenital yang ditandai dengan


adanya megakolon akibat terjadinya obstruksi pada colon. Juga ditemui adanya
aganglionik meissner.
Insiden penyakit Hirschsprung di Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi
berkisar di satu di antara 5000 kelahiran hidup.
Tiga tanda yang khas pada penyakit hirschprung: keterlambatan evakuasi
mekonium, muntah hijau dan distensi abdomen.
Ada tanda-tanda dari Penyakit Hirschprung pada neonatus, diantaranya :
1. Anemia dan tanda-tanda malnutrisi
2. Perut membuncit mungkin karena retensi kotoran.
3. Gelombang peristaltic pada dinding abdomen
4. Pemeriksaan rectal touche (colok dubur) menunjukkan sfingter anal yang
padat/ketat, dan biasanya feses akan langsung menyemprot keluar dengan bau
feses dan gas yang busuk.
5. Tanda-tanda edema, bercak-bercak kemerahan khususnya di sekitar
umbilicus, punggung dan di sekitar genitalia ditemukan bila telah terdapat komplikasi
peritonitis.
Untuk pemeriksaan penunjang, dapat dilakukan foto polos abdomen, foto polos
dengan enema barium, melakukan pemeriksaan patologi anatomi dan melakukan
anorektal manometri.
Penatalaksanaa yang dapat dilakukan adalah terapi konservatif dengan
pemasangan sonde lambung, pemasangan pipa rectal untuk meconium dan udara, dan
terakhir dengan melakukan kolostomi.
STATUS PASIEN SAKIT

A. Identitas Pasien
Nama : MA
Tanggal lahir : 11 November2017
Umur : 19 hari
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Tanggal masuk : 17 November 2017
B. Anamnesa
Keluhan utama:
Tidak BAB sejak lahir
Telaah:
Hal ini dialami OS ± 5 hari ini. Pasien merupakan rujukan dari rumah sakit langsa
dengan diagnosa hirschsprung’s disease dd ileus obstruksi. Sebelumnya, pasien
dibaw ke RS Langsa dikarenakan pasien muntah berwarna kehijauan. OS
merupakan anak ke 2.
Riwayat Persalinan:
Jenis persalinan : Partus per vaginam
Tempat lahir : Aceh
Tanggal lahir : 11 November 2017
Penolong : Bidan
Usia kehamilan : 9 bulan
BB saat lahir : 3800 gr
PB saat lahir : 51 cm

Riwayat makan:
0 bulan : ASI
Riwayat Imunusasi:
Hepatitis B : 1 kali, <12 jam setelah lahir
RPT : Tidak dijumpai
RPO : Tidak jelas

C. Pemeriksaan Fisik
1. Status presens
KU/KP/KG : Sedang/Sedang/Sedang
GCS : 15 (E4V5M6)
Sensorium : Compos mentis
Frequensi Nadi : 144 kali/menit
Frequensi Napas : 30 kali/menit
Temperatur : 36,50C
BB masuk : 2965 gram
Pucat :-
Dyspnoe :-
Kuning :+
Edema :-
Cyanosis :-
2. Status lokalisata
a. Kepala : Ubun – ubun tertutup
 Mata : RC (+/+), pupil isokor, palpebra superior edema (-/-),
konjungtiva palpebra inferior anemis (-/-), ikterik
(+/+)
 Hidung : Nafas cuping hidung (-), (Terpasang NGT)
 Telinga : Dalam batas normal
 Mulut : Dalam batas normal
b. Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)
c. Thorax
Inspeksi : simetris fusiformis, retraksi dinding dada (-)
Palpasi : sulit dinilai
Perkusi : tidak dilakukan pemeriksaan
Auskultasi : SP vesikuler,ST ronchi (-/-), RR 30 x/menit
HR 144 x/menit, reguler, desah (-)
d. Abdomen
Inspeksi : simetris, membesar (+)
Palpasi : defans muskular (-), hepar dan lien tidak teraba,
distensi (+)
Perkusi : timpani
Auskultasi : Peristaltik (+) melemah

e. Ekstremitas
 Atas : pulse 144 x/menit, reguler, akral hangat, CRT <3”, T/V
cukup, oedema (-).
 Bawah : akral hangat, CRT <3”, T/V cukup, oedema (-).

f. Genitalia: OS merupakan seorang bayi laki-laki


g. Anus : (+) normal, tidak dijumpai kelainan
h. Kulit : turgor kembali cepat

D. Pemeriksaan Laboratorium Dan Penunjang


Pemeriksaan Hasil
DR Hb/WBC/PLT:
16,6 g/dL / 20.420/uL / 133.000/u/L
HST -
Viral Marker -
LFT Ur/Cr/UA:
253,00 mg/dL / 1,76 mg/dL / 14,3 mg/dL
RFT SGOT/SGPT/ALP/DirBil/BilTot:
35,00 U/L / 52,00 U/L / 152,00 U/L / 2,47
mg/dL / 3,93 mg/dL
Albumin 3,20 gr/dL
KGD adrandom 314 mg/dL
Elektrolit Na/K/Ch:
135,00 mmol/L / 5,2 mmol/L / 98 mmol/L
Foto babygram Cor dan pulmo dalam batas normal
Ileus obstruksi susp. Hirschsprung’s disease

E. Diagnosa Kerja
Hirschsprung’s disease dd ileus obstruksi

F. Terapi
• Puasa
• Terpasang OGT dan kateter
• IVFD KAEN MG3 20 gtt/i (dari RS Langsa)
• Inj. Ceftriaxone 100 mg/12 jam
• Paracetamol 30 mg, 3x1

G. Rencana
Cek DR, LFT, RFT, elektrolit
FOLLOW UP
Tanggal Hari Rawatan 5
Hari Rawatan 3 Hari Rawatan 6
(Hari (21 November
(19 November 2017) (22 November 2017)
Rawatan) 2017)
Keluhan Perut membesar (+), BAB tidak lancar (+)
Status Present
Sensorium Composmentis
Frekuensi
142 x/i 140 x/i 140 x/i
Nadi
Frekuensi
50 x/i 55 x/i 50 x/i
Nafas
Temperature 36,8°C 37,0°C 36,70C
Status Lokalisata
Mata Conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik +/+
Leher Dalam batas normal
I : simetris I : simetris I : simetris
P : sulit dinilai P : sulit dinilai P : sulit dinilai
Thoraks P : sulit dinilai P : sulit dinlai P : sulit dinilai
A : sp: vesikuler, st (-) A : sp: vesikuler, A : sp: vesikuler, st (-
RR: 50 x/i st (-), RR: 55x/i ), RR: 50x/i
I : Simetris, membesar (+)
P : Distensi (+)
Abdomen
P : Timpani
A : Peristaltik (+) melemah.
Sup: akral hangat, Sup: akral Sup: akral hangat,
Ektremitas oedema (-), CRT <3”, hangat, oedema oedema (-), CRT <3”,
pulse 142 x/I, T/V (-), CRT <3”, pulse 140 x/i, T/V
cukup pulse 140 x/I, cukup
Inf: akral hangat, T/V cukup Inf: akral hangat,
oedema (-), CRT <3” Inf: akral oedema (-), CRT <3”
hangat, oedema
(-), CRT <3”
A Hirschsprung’s disease
- IVFD N5, 7 gtt (mikro)/i
- Inj. Meropenem 120 mg/12 jam
- Inj. Metronidazole 20 mg/12 jam
- Inj. Amikasin 22 mg/36 jam
- Inj. Neo K 3 mg/hari, selama 3 hari
P
- Inj. Aminosteril 2 cc/jam
- Transfusi FFP 30 cc/hari, selama 3 hari
- Transfusi cryoprecipitate 30 cc/hari, selama 3 hari
- ASI 20-30 cc/3 jam

- Menung
gu hasil
Ba-
- Wash out Enama
2x/hari dan Ba- - Wash out
- Menunggu retentio 2x/hari
R
penjadwalan n - Rencana
Ba-Enema - Rectal Operasi
- Pantau KU OS ube
pada Ba-
retentin
- Wash
out
2x/hari
-

FOLLOW UP
Tanggal Hari Rawatan 8
Hari Rawatan 7 Hari Rawatan 9
(Hari (24 November
(23 November 2017) (25 November 2017)
Rawatan) 2017)
Perut
Perut membesar (+), membesar Menangis lemah (+),
Keluhan
BAB tidak lancar (+) berkurang, BAB gerak lemah (+)
tidak lancar (+)
Status Present
Sensorium Composmentis
Frekuensi
140 x/i 160 x/i 140 x/i
Nadi
Frekuensi
55 x/i 32 x/i 50 x/i
Nafas
Temperature 37,0°C 36,9°C 36,00C
Status Lokalisata
Mata Conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik +/+
Leher Dalam batas normal
I : simetris I : simetris I : simetris
Thoraks P : sulit dinilai P : sulit dinilai P : sulit dinilai
P : sulit dinilai P : sulit dinlai P : sulit dinilai
A : sp: vesikuler, st (-) A : sp: vesikuler, A : sp: vesikuler, st (-
RR: 55 x/i st (-), RR: 32 x/i ), RR: 50x/i
I : Simetris, membesar (+)
P : Distensi (+)
Abdomen
P : Timpani
A : Peristaltik (+) melemah.
Sup: akral
Sup: akral hangat, hangat, oedema Sup: akral hangat,
oedema (-), CRT <3”, (-), CRT <3”, oedema (-), CRT <3”,
pulse 140 x/I, T/V pulse 160 x/I, pulse 140 x/i, T/V
Ektremitas
cukup T/V cukup cukup
Inf: akral hangat, Inf: akral Inf: akral hangat,
oedema (-), CRT <3” hangat, oedema oedema (-), CRT <3”
(-), CRT <3”
Post
Post
Hirschsprung’s sigmoidecto
A sigmoidectomy +
disease my +
Microcolon
Microcolon
- IVFD N5, 7 gtt - IVFD - IVFD N5, 13
(mikro)/i N5, 13 gtt (mikro)/i
- Inj. Meropenem gtt - Inj.
120 mg/12 jam (mikro)/i Meropenem
- Inj. - Inj. 120 mg/12
P
Metronidazole Meropen jam
20 mg/12 jam em 120 - Inj. Amikasin
- Inj. Amikasin mg/12 25 mg/12
22 mg/36 jam jam jam
- Inj. Neo K 3 - Inj. - Inj.
mg/hari, selama Amikasi Aminosteril 2
3 hari n 25 cc/12 jam
- Inj. Aminosteril mg/12 - Urdafalk
2 cc/jam jam 2x15 mg
- Transfusi FFP - Inj. - ASI 10 cc/3
30 cc/hari, Aminost jam/OGT
selama 3 hari eril 2
- Transfusi cc/12
cryoprecipitate jam
30 cc/hari, - Urdafalk
selama 3 hari 2x15 mg
- ASI 20-30 cc/3 - ASI 10
jam cc/3
jam/OG
T
- Pantau
KU
- Wash out
pasien - Wash out
2x/hari
- Wash 2x/hari via
- Rencana perasi
R out stoma
(24/11/2017)
2x/hari - Pantau KU
- Pantau KU
via pasien
pasien
stoma
-
DAFTAR PUSTAKA

1. Putu Ayu Ines, dkk. 2012. Gejala dan Diagnosis Penyakit Hirschprung.
Fakultas kedokteran Udayana. Denpasar.
2. Elfianto, dkk. 2015. Gambaran Pasien Hirschprung di RSUP Prof. Dr. R. R.
D. Kandou Manado periode Januari 2010- September 2014. Manado.
3. Kessmann, Jennifer. 2006. Hirschprung disesase, Diagnosis and Treatment.
American Family Physician. Vol 74. No. 8.
4. Staf Pengajar Bagian Ilmu Bedah FKUI. 2008. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah.
Jakarta: Binarupa Aksara Publisher.
5. Schrock, Theodore R. 1993. Ilmu Bedah Handbook of Surgery. Edisi VII.
Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai