Yang terjadi pada adiksi adalah semacam pembelajaran sel-sel otak pada pusat kenikmatan. Jika
mengonsumsi narkoba, otak membaca tanggapan kita. Jika merasa nikmat, otak mengeluarkan
neurotransmitter yang menyampaikan pesan: “Zat ini berguna bagi mekanisme pertahanan tubuh”. Jadi,
ulangi pemakaiannya. “Jika memakai narkoba lagi, kita kembali merasa nikmat seolah-olah kebutuhan
kita terpuaskan”. Otak akan merekamnya sebagai sesuatu yang harus dicari sebagai prioritas. Akibatnya,
otak membuat program salah, seolah-olah kita memang memerlukannya sebagai mekanisme
pertahanan diri. Maka terjadilah kecanduan!
Bagian otak yang bertanggung jawab atas kehidupan perasaan adalah sistem limbus. Hipotalamus adalah
bagian dari sistem limbus, sebagai pusat kenikmatan. Jika narkoba masuk ke dalam tubuh, dengan cara
ditelan, dihirup, atau disuntikkan, maka narkoba mengubah susunan biokimiawi neurotransmitter pada
sistem limbus. Karena ada asupan narkoba dari luar, produksi dalam tubuh terhenti atau terganggu,
sehingga ia akan selalu membutuhkan narkoba dari luar.
Yang terjadi pada ketergantungan adalah semacam pembelajaran sel-sel otak pada pusat kenikmatan.
Jika mengonsumsi narkoba, otak membaca tanggapan orang itu. Jika merasa nyaman, otak
mengeluarkan neurotransmitter dopamin dan akan memberikan kesan menyenangkan. Jika memakai
narkoba lagi, orang kembali merasa nikmat seolah-olah kebutuhan batinnya terpuaskan. Otak akan
merekamnya sebagai sesuatu yang harus dicari sebagai prioritas sebab menyenangkan. Akibatnya, otak
membuat program salah, seolah-olah orang itu memerlukannya sebagai kebutuhan pokok. Terjadi
kecanduan atau ketergantungan.
Pada ketergantungan, orang harus senantiasa memakai narkoba, jika tidak, timbul gejala putus zat,
jika pemakaiannya dihentikan atau jumlahnya dikurangi. Gejalanya bergantung jenis narkoba yang
digunakan. Gejala putus opioida (heroin) mirip orang sakit flu berat, yaitu hidung berair, keluar air mata,
bulu badan berdiri, nyeri otot, mual, muntah, diare, dan sulit tidur.