Anda di halaman 1dari 17

REFERAT

ANEMIA DEFISIENSI ZAT BESI

Pembimbing :
dr. A. Fachron, Sp.Pd

Disusun Oleh :
Putri Lathifa A 2012730076

KEPANITERAAN KLINIK STASE PENYAKIT DALAM


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
RSIJ CEMPAKA PUTIH
2017

1
BAB I
PENDAHULUAN

Anemia bukanlah suatu diagnosis melainkan suatu simptom penyakit yang


memerlukan penyelidikan lebih lanjut untuk menentukan etiologinya. Anemia secara
fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red cell mass)
sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang
cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capicity) Cara untuk
menentukan anemia diuraikan oleh anamnesis, pemeriksaan fisik yang teliti dan
didukung oleh pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan
biasanya dengan mengukur Hemoglobin (Hb) dan Hematokrit (Ht). Hasil pemeriksaan
tersebut hati-hati dikelirukan pada pasien dehidrasi dan masa kehamilan.
Dalam keadaan normal jumlah sel darah merah pada rata-rata orang dewasa
kira-kira 5 juta permilimeter kubik. Eritropoesis pada orang dewasa terutama terjadi di
dalam sumsum tulang melalui stadium pematangan. Sel eritrosit berinti berasal dari sel
induk multipotensial yang kemudian berdiferensiasi menjadi sel induk unipotensial. Sel
induk unipotensial dengan rangsangan hromon eritropoetin menjadi sel pronormoblas.
Sel pronormoblas ini akan membentuk deoxyribonucleic acid (DNA) yang diperlukan
untuk tiga sampai dengan empat kali fase mitosis. Dari tiap sel pronormoblas akan
terbentuk 16 eritrosit. Sel-sel yang sedang berada dalam fase diferensiasi dari
pronormoblas sampai dengan eritrosit dapat dikenal dari morfologinya, sehingga dapat
dikenal 5 stadium pematangan. Proses diferensiasi dari pronormoblas sampai eritrosit
memakan waktu + 72 jam. Sel eritrosit normal berumur 120 hari.
Pada dasarnya anemia disebabkan karena : 1) Gangguan pembentukan eritrosit
oleh sumsum tulang 2) Kehilangan darah keluar dari tubuh (perdarahan) 3) Proses
penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis).
Anemia dapat diklasifikasi menurut morfologi sel darah merah dan indeks-
indeksnya. Pada klasifikasi ini mikro dan makro menunjukkan ukuran sel darah merah,
sedangkan kromik menunjukkan warnanya.
1. Anemia normositik normokrom
Dimana ukuran dan bentuk sel-sel darah merah normal serta mengandung
hemoglobin dalam jumlah normal. MCV = 80-95 fL dan MCH = 27 – 34 pg.
Contoh anemia jenis ini adalah anemia pada:

1
a. Perdarahan akut
b. Penyakit kronik
c. Anemia hemolitik
d. Anemia aplastik
2. Anemia makrositik normokrom
Makrositik berarti ukuran sel-sel darah lebih besar dari normal tetapi
normokrom karena konsentrasi Hb-nya normal. MCV meningkat (80 – 95 fl) dan
MCHC normal. Hal ini diakibatkan oleh gangguan atau terhentinya sintesa asam
nukleat DNA seperti yang ditemukan pada defisiensi B12 dan atau asam folat.
Contoh anemia jenis ini: Anemia megaloblastik akibat defisiensi vitamin B12 atau
asam folat.
3. Anemia mikrositik hipokrom
Mikrositik berarti ukuran sel-sel darah merah lebih kecil dari normal dan
hipokrom karena Hb dalam jumlah kurang dari normal. MCV < 80 fl dan MCH <
27 pg. Contoh anemia jenis ini yaitu:
a. Anemia defisiensi besi
b. Anemia penyakit kronik
c. Talasemia
Salah satu tanda yang paling sering dikaitkan dengan anemia adalah pucat. Ini
umumnya diakibatkan oleh berkurangnya volume darah, berkurangnya hemoglobin dan
vasokonstriksi untuk memperbesar pengiriman O2 ke organ-organ vital. Karena faktor-
faktor seperti pigmentasi kulit, suhu dan distribusi kapiler mempengaruhi warna kulit,
maka warna kulit bukan merupakan indeks pucat yang dapat diandalkan. Warna kuku,
telapak tangan dan membran mukosa mulut serta konjungtiva dapat digunakan lebih baik
guna menilai kepucatan.
Pada umumnya anemia yang terjadi diakibatkan defisiensi nutrisi seperti defisiensi
Fe, asam folat dan vitamin B12. Dalam referat ini dibahas lebih lanjut mengenai anemia
defisiensi Fe.

2
BAB II
PEMBAHASAN ANEMIA DEFISIENSI BESI

A. DEFINISI
Anemia defisiensi fe adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya
penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store)
yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang. Ditandai
dengan anemia hipokromik mikrositer dan hasil laboratorium yang menunjukkan
cadangan besi kosong. Menurut WHO dikatakan anemia bila :Pada orang dewasa Hb <
12,5 g/dl.
Kebutuhan Fe dalam makanan sekitar 20 mg sehari, dari jumlah ini hanya kira-
kira 2 mg yang diserap. Jumlah total Fe dalam tubuh berkisar 2-4 gram. Kira-kira 50
mg/Kgbb pada pria dan 35 mg/Kgbb pada wanita.

B. EPIDEMIOLOGI
Anemia defisiensi fe merupakan anemia yang paling sering dijumpai baik
diklinik maupun masyarakat. Dari berbagai data yang dikumpulkan, didapatkan
gambaran revalensi anemia defisiensi fe seperti pada tabel.
Afrika Amerika latin Indonesia
Laki laki dewasa 6% 3% 16-50%
Wanita tidak hamil 20% 17-21% 25-48%
Wanita hamil 60% 39-46% 46-92%
Tabel 1. Epidemiologi Anemia defisiensi besi

C. ETIOLOGI
Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh karena rendahnya masukan besi,
gangguan absorbsi, serta kehilangan besi akibat perdarahn menahun.
 Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun dapat berasal dari:
- Saluran cerna: akibat dari tukak peptik, pemakaian salisilat atau NSAID,
kanker lambung, kanker kolon, divertikulosis, hemoroid dan infeksi cacing
tambang
- Saluran genitalia perempuan: menorrhagia atau metrorhagia
- Saluran kemih: hematuria
- Saluran napas: hemoptoe
3
 Faktor nutrisi: akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan, atau kualitas
besi (bioavailabilitas) besi yang tidak (makanan banyak serat, rendah vitamin C,
dan rendah daging)
 Kebutuhan besi meningkat: seperti pada prematuritas, anak dalam masa
pertumbuhan dan kehamilan
 Gangguan absorbsi besi: gastroktemi, tropical sprue atau kolitis kronik

1. Perdarahan kronik misalnya riwayat perdarahan saluran cerna sebelumnya.


Di Indonesia paling banyak disebabkan oleh infestasi cacing tambang
(ankilostomiasis). Gejala yang timbul biasanya ada kemerahan dan gatal (ground
itch) pada kulit tempat larva menembus. Migrasi larva yang banyak melalui paru-
paru dapat menimbulkan gangguan seperti di atas yang dinamakan Loeffler’s
Syndrome. Pada fase akut cacing tambang dewasa dapat menimbulkan nyeri kolik
ulu hati, anoreksia, diare dan penurunan berat badan. Infeksi yang kronis dapat
menimbulkan anemia defisiensi besi dan hiponatremia, sehingga menyebabkan
pucat, sesak nafas dan lemas.
2. Diet yang tidak mencukupi
3. Pada wanita karena perdarahan menstruasi dan kehamilan
4. Kebutuhan yang meningkat pada kehamilan, laktasi
5. Absorpsi yang menurun
6. Hemoglobinuria
7. Penyimpanan besi yang berkurang seperti pada hemosiderosis paru

D. METABOLISME Fe
Terdapatnya zat besi (Fe) dalam darah baru diketahui setelah penelitian oleh
Lemeryh dan Goeffy (1713). Akan tetapi, sebenarnya berabad-abad sebelum Masehi,
bangsa Yunani dan India telah menggunakan bahan-bahan yang mengandung Fe untuk
mendapatkan tentara yang kuat. Bangsa Yunani merendam pedang-pedang tua
meminum airnya.
Tubuh manusia sehat mengandung + 3,5 g Fe yang hampir seluruhnya dalam
bentuk ikatan kompleks dengan protein. Ikatan ini kuat dalam bentuk organik, yaitu
sebagai ikatan nonion dan lebih lemah dalam bentuk anorganik, yaitu sebagai ikatan
ion. Besi mudah mengalami oksidasi atau reduksi. Kira-kira 70% dari Fe yang terdapat

4
dalam tubuh merupakan Fe fungsional atau esensial, dan 30% merupakan Fe yang non
esensial.
Fe esensial ini terdapat pada :
1. Hemoglobin + 66%
2. Mioglobin 3%
3. Enzim tertentu yang berfungsi dalam transfer electron misalnya
sitokromoksidase suksinil dehidrogenase dan zantin oksidase sebanyak 0,5%
4. Transferin 0,1%
Fe non esensial terdapat sebagai :
1. Cadangan dalam bentuk feritin dan hemosiderin sebanyak 25%
2. Pada parenkim jaringan kira-kira 5%.
Cadangan Fe pada wanita hanya 200-400 mg, sedangkan pada pria kira-kira 1
gram.
Absorpsi Fe melalui saluran cerna terutama berlangsung di duodenum, makin
ke distal absorpsinya makin berkurang. Zat ini lebih mudah diabsorpsi dalam bentuk
fero. Transportnya melalui sel mukosa usus terjadi secara transport aktif. Ion fero yang
sudah diabsorpsi akan diubah menjadi ion feri dalam sel mukosa. Selanjutnya ion feri
akan masuk ke dalam plasma dengan perantara transferin, atau diubah menjadi feritin
dan disimpan dalam sel mukosa usus. Secara umum :
1. Bila cadangan dalam tubuh tinggi dan kebutuhan akan zat besi rendah maka
lebih banyak Fe diubah menjadi ferritin
2. Bila cadangan dalam tubuh rendah atau kebutuhan akan zat besii meningkat
maka Fe yang baru diserap akan segera diangkut dari sell mukosa ke sumsum
tulang untuk eritropoesis.
Eritropoesis dapat meningkat sampai lebih dari 5 kali pada anemia berat atau
hipoksia. Jumlah Fe yang diabsorpsi sangat tergantung dari bentuk dan jumlah
absolutnya serta adanya zat-zat lain. Makanan yang mengandung + 6 mg Fe/1000
kilokalori akan diabsorpsi 5-10% pada orang normal.
Absorpsi dapat ditingkatkan oleh : Kobal, Inosin, Metionin , Vitamin C, HCI,
Suksinat, Senyawa asam lain. Asam akan mereduksi ion feri menjadi fero dan
menghambat terbentuknya kompleks Fe dengan makanan yang tidak larut.
Sebaliknya absorpsi Fe akan menurun bila terdapat : Fosfat, antasida misalnya :
kalsium karbonat, aluminium hidroksida, magnesium hidroksida.

5
Besi yang terdapat pada makanan hewani umumnya diabsorpsi rata-rata dua
kali lebih banyak dibandingkan dengan makanan nabati. Kadar Fe dalam plasma
berperan dalam mengatur absorpsi Fe.
Absorpsi ini meningkat pada keadaan : Defisiensi Fe, berkurangnya depot Fe,
dan meningkatnya eritropoesis. Selain itu, bila Fe diberikan sebagai obat, bentuk
sediaan, dosis dan jumlah serta jenis makanan dapat mempengaruhi absorpsinya.
Setelah diabsorpsi, Fe dalam darah akan diikat oleh transferin (siderofilin),
suatu beta 1-globulin glikoprotein, untuk kemudian diangkut ke berbagai jaringan,
terutama ke sumsum tulang dan depot Fe. Jelas bahwa kapasitas pengikatan total Fe
dalam plasma sebanding dengan jumlah total transferin plasma, tetapi jumlah Fe dalam
plasma tidak selalu menggambarkan kapasitas pengikatan total Fe ini. Selain transferin,
sel-sel retikulum dapat pula mengangkut Fe, yaitu untuk keperluan eritropoesis. Sel ini
juga berfungsi sebagai gudang Fe.
Kalau tidak digunakan dalam eritropoesis, Fe akan disimpan sebagai cadangan,
dalam bentuk terikat sebagai feritin. Feritin terutama terdapat dalam sel-sel
retikuloendotelial (di hati, limpa, dan sumsum tulang). Cadangan ini tersedia untuk
digunakan oleh sumsum tulang dalam proses eritropoesis; 10% diantaranya terdapat
dalam labile pool yang cepat dapat dikerahkan untuk proses ini, sedangkan sisanya baru
digunakan bila labile pool telah kosong. Besi yang terdapat di dalam parenkim jaringan
tidak dapat digunakan untuk eritropoesis.
Bila Fe diberikan IV, cepat sekali diikat oleh apoferitin (protein yang
membentuk feritin) dan disimpan terutama di dalam hati, sedangkan setelah pemberi per
oral terutama akan disimpan di limpa dan sumsum tulang. Fe yang berasal dari
pemecahan eritrosit akan masuk ke dalam hati dan limpa.
Penimbunan Fe dalam jumlah abnormal tinggi dapat terjadi akibat : Tranfusi
darah yang berulang-ulang, atau akibat penggunaan preparat Fe dalam jumlah
berlebihan yang diikuti absorpsi yang berlebihan pula
Jumlah Fe yang dieksresi setiap hari sedikit sekali, biasanya sekitar 0,5-1 mg
sehari. Eksresi terutama berlangsung melalui : Sel epitel kulit, saluran cerna yang
terkelupas, selain itu juga melalui : keringat, urin, feses, kuku dan rambut yang
dipotong. Pada proteinuria jumlah yang dikeluarkan dengan urin dapat meningkat
bersama dengan sel yang mengelupas

6
E. PATOFISIOLOGI ANEMIA
Zat besi diperlukan untuk hemopoesis (pembentukan darah) dan juga
diperlukan oleh berbagai enzim sebagai faktor penggiat. Zat besi yang terdapat dalam
enzim juga diperlukan untuk mengangkut elektro (sitokrom), untuk mengaktifkan
oksigen (oksidase dan oksigenase). Defisiensi zat besi tidak menunjukkan gejala yang
khas (asymptomatik) sehingga anemia pada balita sukar untuk dideteksi. Tanda-tanda
dari anemia gizi dimulai dengan menipisnya simpanan zat besi (feritin) dan
bertambahnya absorbsi zat besi yang digambarkan dengan meningkatnya kapasitas
pengikatan besi.
Pada tahap yang lebih lanjut berupa habisnya simpanan zat besi, berkurangnya
kejenuhan transferin, berkurangnya jumlah protoporpirin yang diubah menjadi heme,
dan akan diikuti dengan menurunnya kadar feritin serum. Akhirnya terjadi anemia
dengan cirinya yang khas yaitu rendahnya kadar Rb (Gutrie, 186:303) Bila sebagian
dari feritin jaringan meninggalkan sel akan mengakibatkan konsentrasi feritin serum
rendah. Kadar feritin serum dapat menggambarkan keadaan simpanan zat besi dalam
jaringan. Dengan demikian kadar feritin serum yang rendah akan menunjukkan orang
tersebut dalam keadaan anemia gizi bila kadar feritin serumnya <12 ng/ml. Hal yang
perlu diperhatikan adalah bila kadar feritin serum normal tidak selalu menunjukkan
status besi dalam keadaan normal. Karena status besi yang berkurang lebih dahulu baru
diikuti dengan kadar feritin.
Diagnosis anemia zat gizi ditentukan dengan tes skrining dengan cara
mengukur kadar Hb, hematokrit (Ht), volume sel darah merah (MCV), konsentrasi Hb
dalam sel darah merah (MCH) dengan batasan terendah 95% acuan (Dallman,1990)

F. SUMBER ALAMI Fe
Makanan yang mengandung Fe :
1. Dalam kadar tinggi (lebih dari 5 mg/100 g) adalah : hati, jantung, kuning telur, ragi,
kerang, kacang-kacangan, buah-buahan kering tertentu
2. Dalam jumlah sedang (1-5 mg/100 g) diantaranya : daging, ikan, unggas, sayuran
yang berwarna hijau, biji-bijian
3. Dalam jumlah rendah (kurang dari 1 mg/100 g), antara lain : susu dan produknya,
sayuran yang kurang hijau

7
G. MANIFESTASI KLINIS
Gejala anemia defisiensi besi dapat digolongkan menjadi 3 golongan besar
yaitu: gejala umum anemia, gejala khas akibat defisiensi besi, dan gejala penyakit dasar.
 Gejala Umum Anemia
Gejala umum anemia yang disebut juga sebagai sindrom anemia (anemic
syndrome) dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin turun di
bawah 7-8 g/dl. Gejala ini berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-
kunang, serta telinga mendenging. Pada anemia defisiensi besi karena penurunan
kadar hemoglobin yang terjadi secara perlahan-lahan sering kali sindrom anemia
tidak terlalu menyolok dibandingkan dengan anemia lain yang penurunan kadar
hemoglobinnya terjadi lebih cepat , oleh karena mekanisme kompensasi tubuh
dapat berjalan dengan baik. Anemia bersifat simtopatik jika hemoglobin telah
turun di bawah 7 g/dl. Pada pemeriksaan fisik dijumpai pasien yang pucat,
terutama pada konjungtiva dan jaringan di bawah kuku.
 Gejala Khas Defisiensi Besi
Gejala yang khas pada defisiensi besi tetapi tidak dijumpai pada anemia jenis lain
adalah:
- Koilonychia: kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris-garis
vertikal dan menjadi cekung sehingga mirip seperti sendok
- Atrofo papil lidah: permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena
papil lidah menghilang
- Stomatitis angularis (cheilosis): adanya keradangan pada sudut mulut
sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan
- Disfagia: nyeri menelankarena kerusakan epitel hipofaring
- Atrofi mukosa lambung sehingga menimbulkan akhloridia
- Pica: keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim, seperti: tanah liat,
es, lem, dan lain lain.
 Gejala Penyakit Dasar
- Pada anemia defisiensi besi dapat dijumpai gejala-gejala penyakit yang
menjadi penyebab anemia defisiensi besi tersebut. Misalnya pada anemia
akibat penyakit cacing tambang dijumpai dispepsi, parotis membengkak,
dan kulit telapak tangan berwarna kuning seperti jerami.

8
- Pada anemia karena perdarahan kronik akibat kanker kolon dijumpai gejala
gangguan kebiasaan buang besar atau gejala lain tergantung dari lokasi
kanker tersebut.

H. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Riwayat faktor predisposisi dan etiologi :
a. Kebutuhan meningkat secara fisiologis terutama pada masa pertumbuhan yang
cepat, menstruasi, dan infeksi kronis.
b. Kurangnya besi yang diserap karena asupan besi dari makanan tidak adekuat
malabsorpsi besi.
c. Perdarahan terutama perdarahan saluran cerna (tukak lambung, penyakit Crohn,
colitis ulserativa)
d. Pucat, lemah, lesu, gejala pika
2. Pemeriksaan fisis
a. Anemis, tidak disertai ikterus, organomegali dan limphadenopati
b. Stomatitis angularis, atrofi papil lidah
c. Ditemukan takikardi ,murmur sistolik dengan atau tanpa pembesaran jantung
3. Pemeriksaan penunjang
a. Hemoglobin, Hct dan indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC) menurun
b. Hapus darah tepi menunjukkan hipokromik mikrositik
c. Kadar besi serum (SI) menurun dan TIBC meningkat , saturasi menurun
d. Kadar feritin menurun dan kadar Free Erythrocyte Porphyrin (FEP) meningkat
e. Sumsum tulang : aktifitas eritropoitik meningkat

Kelompok Umur Hemoglobin (gr/dl)


Anak-anak 6 – 59 bulan 11
5 – 11 tahun 11,5
12 – 14 tahun 12
Dewasa Wanita > 15 tahun 12
Wanita hamil 11
Laki-laki > 15 tahun 13

9
Tabel 2. Parameter untuk menentukan status besi
Pada defisiensi besi dini apusan biasanya normal. Sulit untuk mencari
perubahan dini yang samar-samar dalam ukuran sel pada defisiensi besi dini dan pada
stadium ini nilai MCV lebih mendorong daripada apusan darah tepi. Pada anemia
defisiensi besi berat terjadi poikilositasis yang nyata dan hipokrom tanpa noda berupa
titik-titik. Umum terdapat sel-sel elips (berbentuk sigaret). Beberapa sel muda yang
terlihat pada sediaan apus seringkali muncul sebagai sel-sel target polikromatofilik.
Ada tiga uji laboratorium yang dipadukan dengan pemeriksaan kadar Hb agar
hasil lebih tepat untuk menentukan anemia gizi besi. Untuk menentukan anemia gizi
besi yaitu :
1. Serum Ferritin (SF)
Ferritin diukur untuk mengetahui status besi di dalam hati. Bila kadar SF <
12 mg/dl maka orang tersebut menderita anemia gizi besi.
2. Transferin Saturation (ST)
Kadar besi dan Total Iron Binding Capacity (TIBC) dalam serum
merupakan salah satu menentukan status besi. Pada saat kekurangan zat besi, kadar
besi menurun dan meningkat, rasionya yang disebut dengan TS. TS < dari 16 %
maka orang tersebut defisiensi zat besi.
3. Free Erythocyte Protophorph
Bila kadat zat besi dalam darah kurang maka sirkulasi FEB dalam darah
meningkat. Kadar normal FEB 35-50 mg/dl RBC. Secara ringkas untuk
menentukan keadaan anemia seseorang dapat dilihat pada tabel 2.

I. PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN ANEMIA DEFISIENSI BESI


Jika anemia defisiensi besi sudah ditegakkan, pengobatan harus dilakukan
sambil mencari dan menghilangkan penyebabnya. Tetapi tidak perlu menunda
pengobatan sampai penyebabnya dihilangkan. Besi yang diberikan terdapat dalam
beberapa bentuk melalui oral, parenteral maupun tranfusi darah dengan keuntungan
dan kerugian masing-masing pemberian.
1. Meningkatkan konsumsi zat besi dari makanan

10
Mengkonsumsi pangan hewani dalam jumlah cukup. Namun karena
harganya cukup tinggi sehingga masyarakat sulit menjangkaunya. Untuk itu
diperlukan alternatif yang lain untuk mencegah anemia gizi besi. Memakan
beraneka ragam makanan yang memiliki zat gizi saling melengkapi termasuk
vitamin yang dapat meningkatkan penyerapan zat besi, seperti vitamin C.
Peningkatan konsumsi vitamin C sebanyak 25, 50, 100 dan 250 mg dapat
meningkatkan penyerapan zat besi sebesar 2, 3, 4 dan 5 kali. Buah-buahan segar
dan sayuran sumber vitamin C, namun dalam proses pemasakan 50 - 80 % vitamin
C akan rusak.Mengurangi konsumsi makanan yang bisa menghambat penyerapan
zat besi seperti : fitat, fosfat, tannin.
2. Suplementasi zat besi

Senyawa (mg) per Fe elemental (mg)


Preparat % Fe
tablet per tablet

Fero Famarat 200 66 33


Fero glukonat 300 36 12
Fero sulfat (7H2O) 300 60 20
Fero sulfat . anhidrosida 200 74 37
Fero sulfat (dikeringan) 200 60 30

Tabel 3. Persentase dan jumlah zat besi di dalam tablet FE yang lazim digunakan
Pemberian suplemen besi menguntungkan karena dapat memperbaiki status
hemoglobin. Efek samping dari pemberian besi feroral tergantung dosis yang
diberikan dan dapat diatasi dengan mengurangi dosis dan meminum tablet segera
setelah makan atau bersamaan dengan makanan.
Gejala yang timbul dapat berupa :
a. Mual dan nyeri lambung (+ 7-20%)
b. Konsipasi (+ 10%)
c. Diare (+ 5%)
d. Kolik
Gangguan ini biasanya ringan dan dapat dikurangi dengan mengurangi
dosis atau dengan pemberian sesudah makan, walaupun dengan cara ini absorpsi

11
dapat berkurang. Perlu diterangkan kemungkinan timbulnya feses yang berwarna
hitam kepada penderita.
Intoksikasi akut sangat jarang terjadi pada orang dewasa, kebanyakan terjadi
pada anak akibat menelan terlalu banyak table FeSO4 yang mirip gula-gula.
Intoksikasi akut ini dapat terjadi setelah menelan Fe sebanyak 1 g.
Kelainan utama terdapat pada saluran cerna, mulai dari iritasi, korosi,
sampai terjadi nekrosis.
Gejala yang timbul pada Intoksikasi Fe seringkali berupa : mual, muntah,
diare, hematemesis, feses berwarna hitam karena perdarahan pada saluran cerna,
syok dan akhirnya kolaps kardiovaskular dengan bahaya kematian. Efek korosif
dapat menyebabkan stenosis pylorus dan terbentuknya jaringan parut berlebihan di
kemudian hari. Gejala keracunan tersebut di atas dapat timbul dalam waktu 30
menit atau setelah beberapa jam meminum obat.
3. Fortifikasi zat besi
Fortifikasi adalah penambahan suatu jenis zat gizi ke dalam bahan pangan
untuk meningkatkan kualitas pangan . Kesulitan untuk fortifikasi zat besi adalah
sifat zat besi yang reaktif dan cenderung mengubah penampilanm bahan yang di
fortifikasi. Sebaliknya fortifikasi zat besi tidak mengubah rasa, warna, penampakan
dan daya simpan bahan pangan. Selain itu pangan yang difortifikasi adalah yang
banyak dikonsumsi masyarakat seperti tepung gandum untuk pembuatan roti.
4. Penanggulangan penyakit infeksi dan parasit
Penyakt infeksi dan parasit merupakan salah satu penyebab anemia gizi
besi. Dengan menanggulangi penyakit infeksi dan memberantas parasit diharapkan
bisa meningkatkan status besi tubuh.
5. Obat-obatan lain
a. Riboflavin (vitamin B2) dalam bentuk flavin mononukleotida (FMN) dan
falavin-adenin dinukleotida (FAD) berfungsi sebagai koenzim dalam
metabolisme flavo-protein dalam pernapasan sel. Sehubungan dengan anemia,
ternyata riboflavin dapat memperbaiki anemia normokromik normositik (pure
red-cell aplasia). Anemia defisiensi riboflavin banyak terdapat pada malnutirisi
protein kalori, dimana ternyata faktor derisiensi Fe dan penyakit infeksi
memegang peranan pula. Dosis yang digunakan cukup 10 mg sehari per oral
atau IM.

12
b. Piridoksin, vitamin B6 ini mungkin berfungsi sebagai koenzim yang merangsang
pertumbuhan heme. Defisiensi piridoksin akan menimbulkan anemia mikrositik
hipokromik. Pada sebagian besar penderita akan terjadi anemia normoblastik
sideroakrestik dengan jumlah Fe non hemoglobin yang banyak dalam prekursor
eritrosit, dan pada beberapa penderita terdapat anemia megaloblastik. Pada
keadaan ini absorpsi Fe meningkat, Fe-binding protein menjadi jenuh dan terjadi
hiperferemia, sedangkan daya regenerasi darah menurun. Akhirnya akan
didapatkan gejala hemosiderosis.
c. Kobal. Defisiensi kobal sebelum pernah dilaporkan pada manusia. Kobal dapat
meningkatkan jumlah hematokrit, hemoglobin dan dapat meningkatkan jumlah
hematokrit, hemoglobin dan eritrosit pada beberapa penderita dengan anemia
refrakter, seperti yang terdapat pada penderita talasemia, infeksi kronik atau
penyakit ginjal, tetapi mekanisme yang pasti tidak diketahui. Kobal merangsag
pembentukan eritropeoitin yang berguna untuk meningkatkan ambilan Fe oleh
sumsum tulang, tetapi ternyata pada penderita anemia refrakter biasanya kadar
eritropoietin sudah tinggi. Penyelidikan lain mendapatkan bahwa kobal
menyebabkan eritropoietin sudah tinggi. Penyelidikan lain mendapatkan bahwa
kobal menyebabkan hipoksia intrasel sehingga dapat merangsang pembentukan
eritrosit. Kobal sering terdapat dalam campuran sediaan Fe, karena ternyata
kobal dapat menigkatkan absorpsi Fe melalui usus. Akan tetapi, harus diingat
bahwa kobal dapat menimbulkan efek toksik berupa erupsi kulit, struma, angina,
tinnitus, tuli, payah jantung, sianosis, koma, malaise, anoreksia, mual, muntah.
d. Tembaga. Seperti telah diketahui kedua unsur ini terdapat dalam sitokrom
oksidase, maka ada sangkut paut metabolisme tembaga (Cu) dan Fe. Hingga
sekarang belum ada kenyataan yang menunjukkan pentingnya penambahan Cu
baik dalam makanan ataupun sebagai obat, dan defisiensi Cu pada manusia
sangat jarang terjadi. Pada hewan percobaan, pengobatan anemia defisiensi Fe
yang disertai hipokupremia dengan sediaan Fe, bersama atau tanpa Cu,
memberikan hasil yang sama. Sebaliknya, pada anemia dengan defisiensi Cu
(yang sukar dibedakan dari defisiensi Fe) diperlukan kedua unsur tersebut
karena pada hewan dengan defisiensi Cu absorpsi Fe akan berkurang.

J. PEMANTAUAN TERAPI

13
1. Periksa kadar hemoglobin setiap 2 minggu
2. Kepatuhan dalam memberikan obat
3. Gejala sampingan pemberian zat besi yang bisa berupa gejala gangguan
gastrointestinal misalnya konstipasi, diare, rasa terbakar diulu hati, nyeri abdomen
dan mual. Gejala lain dapat berupa pewarnaan gigi yang bersifat sementara.
4. Penimbangan berat badan setiap bulan
5. Perubahan tingkah laku
6. Daya konsentrasi dan kemampuan belajar pada anak usia sekolah dengan konsultasi
ke ahli psikologi
7. Aktifitas motorik

14
BAB III
PENUTUP

Anemia dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan


penunjang. Dari anamnesis didapatkan gejala-gejala anemia pada umumnya seperti lemah,
lesu, lelah, pusing, sakit kepala, sulit tidur, gelisah, kurang konsentrasi dan ada riwayat
perdarahan, trauma atau penyakit kronik. Pada pemeriksaan fisik didpaat pucat pada
konjungtiva mata. Pemeriksaan laboratorium didapat nilai Hb dan Ht yang kurang dari
normal. Pemeriksaan penunjang dapat membantu kita untuk membedakan jenis anemia.
Gambaran darah tepi pada anemia defisiensi besi menunjukkan mikrositik hipokrom.
Terapi anemia sebaiknya dilakukan dengan cepat dan tepat. Secara umum kita
mengobati penyebab anemianya. Tetapi pada keadaan tertentu kita harus mengobati
anemianya walapun penyebabnya belum diketahui. Tidak setiap anemia harus ditransfusi,
oleh karena bahaya tranfusi cukup banyak. Tetapi pada pasien-pasien yang terancam
jiwanya transfusi harus dilakukan secepat mungkin untuk mencegah terjadinya gagal
jantung yang mengancam.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Harrison’s; Anemia; Principles of Internal Medicine, 16th edition; International edition;


1998; page 335-339.
2. Soeparman, Sarwono Waspadji; Ilmu Penyakit Dlaam Jilid II, Balai Penerbit FKUI
Jakarta; 2009.
3. Prie S.A, dkk. Hematologi. Patofisiologi buku 2 Konsep Klinis Proses Proses Penyakit.
Jakarta : EGC. Cetakan VI.

16

Anda mungkin juga menyukai