Anda di halaman 1dari 70

Bab I

Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Keterbatasan fisik merupakan suatu bagian dalam disabilitas yaitu pembatasan atau
ketidakmampuan untuk melakukan suatu kegiatan fisik dengan cara atau dalam rentang
dianggap normal bagi manusia yang sebagian besar karena penurunan kemampuan.
Keterbatasan fisik dapat diklasifikasikan menjadi keterbatasan pada Activities of Daily Living
(ADLs), seperti aktivitas makan, mandi, ke WC, membersihkan kamar dan Instrumental
Activities of Daily Living (IADLs) seperti mengangkat telepon, pergi berbelanja dan
menyiapkan makanan. Kejadian keterbatasan fisik ditemukan sangat meningkat pada lanjut
usia khususnya pada kelompok lanjut usia lebih dari 75 tahun. Menurut World Health
Organization (WHO) perkiraan jumlah lanjut usia di seluruh dunia mencapai 8% dari seluruh
populasi dunia dan diprediksikan akan meningkat tiga kali lipat pada tahun 2050 diamana
negara–negara berkembang merupakan penyumbang terbesar pada populasi lanjut usia
tersebut. WHO menilai persentase lanjut usia yang mengalami keterbatasan fisik ditemukan
lebih dari 10% pada kelompok usia 65-74 tahun dan lebih dari 30% pada kelompok usia ≥75
tahun. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia menetapkan,
bahwa batasan umur lanjut usia di Indonesia adalah 60 tahun ke atas. 1–3
Pada tahun 2012 menurut survei sosial ekonomi nasional (Susenas) badan pusat
statistik RI, jumlah lanjut usia tahun 2012 telah mencapai di atas 7% dari total seluruh
penduduk di Indonesia dengan persentase lanjut usia yang berjenis kelamin perempuan
sebanyak 8,2% dan laki–laki sebanyak 6,9% serta lanjut usia yang tinggal di daerah pedesaan
lebih tinggi dari pada yang tinggal di perkotaan.. Dengan bertambahnya umur, fungsi
fisiologis mengalami penurunan akibat proses degeneratif (penuaan) sehingga keterbatasan
fisik dan penyakit tidak menular banyak muncul pada usia lanjut. Persentase kejadian
disabilitas fisik pada lanjut usia di Indonesia menurut Susenas pada tahun 2012 ditemukan
sebanyak 14,86% dari seluruh lanjut usia di Indonesia. Berdasarkan penemuan tersebut
didapatkan peningkatan persentase kejadian disabilitas sebanyak 2,98% dari hasil sensus oleh
badan pusat statistik RI pada tahun 2010 sebanyak 11,88%. Menurut Susenas 2012 masalah
disabilitas sering ditemukan pada lanjut usia. Selain itu masalah degeneratif menurunkan
daya tahan tubuh sehingga rentan terkena infeksi penyakit menular. Angka kesakitan lanjut
usia pada tahun 2012 didapatkan sebesar 26,93%. Penyakit pada lanjut usia sering berbeda
dengan dewasa muda, karena penyakit pada lanjut usia merupakan gabungan dari kelainan-
kelainan yang timbul akibat penyakit dan proses menua, yaitu proses menghilangnya secara
perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri serta
mempertahankan struktur dan fungsi normalnya, sehingga tidak dapat bertahan terhadap
penyakit (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita.4,5
Tingginya angka kejadian disabilitas pada lanjut usia dapat disebabkan berbagai
faktor seperti usia, jenis kelamin, kondisi sosial ekonomi, status gizi, penyakit kronis,
aktivitas fisik, serta dukungan keluarga. Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti
melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keterbatasan fisik pada lanjut
usia di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Duri Kepa, Jakarta Barat pada bulan November
2017.

1.2 Rumusan masalah


1.2.1 Keterbatasan fisik merupakan hal yang sering ditemukan pada lanjut usia.
1.2.2 Bertambahnya persentase kejadian keterbatasan fisik di Indonesia berdasarkan
survei ekonomi dan sosial nasional (susenas) pada tahun 2012, lanjut usia yang
menyandang disabilitas tahun 2012 sebesar 14,86%.
1.2.3 Peningkatan angka kejadian disabilitas pada lanjut usia di Indonesia sebanyak
2,98% selama 2 tahun.
1.2.4 Adanya faktor-faktor yang berhubungan dengan keterbatasan fisik pada lanjut
usia seperti usia, jenis kelamin, kondisi sosial ekonomi, status gizi, penyakit
kronis, aktivitas fisik, serta dukungan keluarga.
1.2.5 Belum ada penelitian yang lebih lanjut megenai faktor-faktor yang
mempengaruhi keterbatasan fisik pada lanjut usia di wilayah kerja Puskesmas
Kelurahan Duri Kepa, Jakarta Barat.

1.3 Hipotesis
Terdapat hubungan antara usia, jenis kelamin, status kawin, kondisi sosial ekonomi,
status gizi, dukungan keluarga, penyakit kronis dan aktivitas fisik dengan keterbatasan fisik
pada lanjut usia di wilayah kerja Puskesmas kelurahan Duri Kepa, Jakarta Barat pada bulan
November 2017.
1.4 Tujuan
1.4.1 Tujuan Umum :
Mengetahui faktor - faktor yang berhubungan dengan keterbatasan fisik pada lanjut
usia di Puskesmas Keluharan Duri Kepa pada bulan November 2017.
1.4.2 Tujuan Khusus :
a) Diketahuinya sebaran kejadian keterbatasan fisik pada lanjut usia di wilayah
kerja Puskesmas kelurahan Duri Kepa pada lanjut usia bulan November 2017.
b) Diketahuinya sebaran usia, jenis kelamin, status kawin, kondisi sosial
ekonomi, status gizi, dukungan keluarga, penyakit kronis dan aktivitas fisik
pada lanjut usia di wilayah kerja Puskesmas kelurahan Duri Kepa pada lanjut
usia bulan November 2017.
c) Diketahuinya hubungan usia, jenis kelamin, status kawin, kondisi sosial
ekonomi, status gizi, dukungan keluarga, penyakit kronis dan aktivitas fisik
pada lanjut usia di wilayah kerja Puskesmas kelurahan Duri Kepa pada lanjut
usia bulan November 2017.

1.5 Manfaat penelitian


1.5.1. Bagi Peneliti
a) Menerapkan dan mengembangkan ilmu yang telah didapatkan saat kuliah dan
membandingkannya dengan keadaan sebenarnya dalam masyarakat
b) Penelitian ini dapat memberikan pengalaman peneliti terutama dalam bidang
penelitian klinik.
c) Meningkatkan kemampuan berkomunikasi langsung dengan masyarakat.
d) Meningkatkan kemampuan berpikir ananalitis dan sistematis dalam
mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah kesehatan yang ada di masyarakat.
e) Penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan peneliti terutama
mengenai gambaran antara kejadian keterbatasan fisik pada lanjut usia dengan
usia, jenis kelamin, status kawin, kondisi sosial ekonomi, status gizi, dukungan
keluarga, penyakit kronis dan aktivitas fisik pada lanjut usia.
1.5.2. Bagi Perguruan Tinggi
a) Mengamalkan Tridarma perguruan tinggi dalam melaksanakan fungsi atau
tugas perguruan tinggi sebagai lembaga yang menyelenggarakan pendidikan,
penelitian, dan pengabdian bagi masyarakat.
b) Mewujudkan UKRIDA sebagai masyarakat ilmiah dalam peran sertanya di
bidang kesehatan.
c) Meningkatkan rasa saling mengerti dan kerjasama antara mahasiswa/i dan
staf pengajar.
1.5.3. Bagi Puskesmas Kelurahan Duri Kepa, Jakarta Barat
a) Sebagai salah satu bahan informasi bagi petugas kesehatan khususnya dokter
Puskesmas serta dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat khususnya
para lanjut usia di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Duri Kepa, Jakarta
Barat.
1.5.5. Bagi Masyarakat
a) Sebagai sumber informasi dalam meningkatkan pengetahuan masyarakat
mengenai keterbatasan fisik pada lanjut usia dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya.
Bab II

Tinjauan Pustaka

2.1 Keterbatasan Fisik

2.1.1 Definisi

Manusia adalah makhluk yang bergerak, karena proses hidup seseorang tidak akan
terjadi tanpa adanya gerakkan. Ketidakmampuan seseorang untuk menggerakkan tubuhnya
merupakan masalah yang berat karena mengganggu aktivitas sehari-hari. Keterbatasan fisik
dapat terjadi pada siapa saja, kapan saja, dimana saja dan dengan cara apa saja. Kehilangan
fungsi salah satu anggota tubuh dapat disebabkan karena penyakit, kecelakaan, ataupun
faktor genetik.6,7

Lanjut usia merupakan kejadian yang pasti akan dialami oleh semua orang yang
dikaruniai usia panjang dan terjadinya tidak bisa dihindari oleh siapapun. Menurut Undang–
Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia menyebutkan bahwa
lanjut usia adalah seseorang berusia 60 tahun keatas. Lansia akan mengalami berbagai
kemunduran pada organ tubuh yang berpengaruh terhadap kondisi fisik. Kondisi fisik
seseorang yang sudah memasuki masa lansia mengalami penurunan yang dapat menimbulkan
gangguan dan kelainan fungsi fisik, psikologik maupun sosial, yang selanjutnya dapat
menyebabkan suatu keadaan ketergantungan kepada orang lain. Menurut WHO dalam Padila,
lansia dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu: Usia pertengahan (middle age) : usia 45-59
tahun,lanjut usia (elderly) : usia 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) : usia 75-90 tahun, usia
sangat tua (very old) : usia di atas 90 tahun.3,8,9

Keterbatasan fisik pada lanjut usia adalah kesulitan-kesulitan pada satu atau lebih
kegiatan dasar untuk merawat diri sendiri, hal ini sering kali disebut dengan istilah physical
activities of daily living atau PADL (mandi, berpakaian, kebersihan diri, pengawasan diri,
makan, berpindah dari kursi ke tempat tidur) atau satu atau lebih instrumental activities of
daily living atau IADL (menggunakan telepon, belanja, menyiapkan makanan, melakukan
pekerjaan rumah, mencuci pakaian, menggunakan transportasi umum, menggunakan obat,
mengatur keuangan). Keterbatasan fisik mobilitas seringkali digunakan sebagai hasil yang
dinilai dalam suatu studi epidemiologi karena kemampuan untuk bergerak sangat penting
untuk setiap aktifitas mandiri. Sekitar 20% dari orang-orang berusia 70 tahun atau lebih dan
50% orang-orang berusia 85 tahun atau lebih dilaporkan memiliki kesulitan dengan PADL.
Prevalensi dari beragam keterbatasan fisik semakin meningkat seiring dengan meningkatnya
usia, angka kejadian ini lebih tampak setelah mencapai usia 70 tahun dan menyebabkan
adanya kebutuhan untuk pertolongan, terutama setelah usia 80 tahun.9,10

Keterbatasan fisik yang dapat ditemukan dirangkum menjadi ADL (Activities of Daily
Living) feeding, bathing, dressing, grooming, toileting, bladder control, bowel control,
transferring from bed to chair, walking, and stair climbing. Faktor yang menyebabkan
keterbatasan fisik pada lanjut usia di Indonesia adalah tempat tinggal, umur, status
perkawinan, pendidikan, penyakit jantung, diabetes, gangguan sendi, hipertensi, merokok,
status ekonomi dan aktivitas fisik. Untuk menilai keterbatasan fisik pada seseorang,
digunakan suatu alat yang dapat menilai keterbatasan fisik secara kuatitatif, salah satunya
adalah indeks Barthel. Indeks ini mengukur fungsi seseorang dalam hal merawat diri dan
mobilisasi. Total nilai yang mungkin berkisar dari 0 – 100, dengan nilai rendah
mengindikasikan adanya keterbatasan fisik yang berat. Interpretasi jumlah indeks Barthel
dikelompokkan menjadi dependen total (0-20), dependen berat (21-60), dependen sedang
(61-90), dependen ringan (91-99), dan independen / mandiri (100).8,10–12

2.2 Faktor Risiko yang Mempengaruhi Keterbatasan Fisik pada Lansia


2.2.1 Sosiodemografi
2.2.1.1 Usia

Kejadian keterbatasan fisik meningkat seiring berjalannya usia. Berdasarkan hasil


survei dilaporkan bahwa seiring bertambahnya usia, insidensi keterbatasan fisik pada lansia
mengalami peningkatan yang cukup signifikan). Pada penelitian Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) 2007 menunjukkan bahwa semakin bertambahnya umur, persentase kejadian
keterbatasan fisik semakin meningkat, yaitu kelompok usia ≥ 75 tahun merupakan kelompok
dengan indikator keterbatasan fisik tertinggi, 23,8% untuk status keterbatasan fisik sangat
bermasalah, dan 61,4% untuk status keterbatasan fisik bermasalah. Hal yang sama
ditunjukkan pada penelitian Riskesdas 2013 yaitu pada kelompok umur ≥75 tahun angka
prevalensi menunjukkan 55,9%. Keterbatasan fisik jika dilihat dari gambaran usia maka
memberikan gambaran tren yang makin meningkat seiring dengan peningkatan umur. Hal ini
menunjukkan keadaan secara alami terjadi bahwa semakin meningkat usia, kecenderungan terjadi
keterbatasan fisik juga makin meningkat. Namun kecenderungan peningkatan tersebut lebih
banyak terjadi di perdesaan. Hal inilah yang perlu dicermati karena terlihat risiko
keterbatasan fisik dan psikososial hampir merata di semua kelompok usia dan lebih banyak di
perdesaan. Dari penelitian yang dilakukan di india didapatkan peningkatan angka prevalensi
umur untuk kejadian keterbatasan fisik, dari 23.7 % pada grup usia 60-64 tahun menjadi
63.8% pada grup usia lebih dari 75 tahun. Hasil yang didapatkan adalah terdapat hubungan
antara usia dan keterbatasan fisik pada usia 60-64 (p = 1) , didapatkan hubungan antara usia
dan keterbatasan fisik pada usia 65-69 tahun (p < 0,006), didapatkan hubungan antara usia
dan keterbatasan fisik pada usia 70-74 tahun (p < 0,001), didapatkan hubungan antara usia
dan keterbatasan fisik pada usia lebih dari 75 tahun (p < 0,001). Pada penelitian Lindsay dari
University of Georgia yang dilakukan selama tahun 2003-2004 ingin membuktikan bahwa
usia merupakan faktor yang mempengaruhi keterbatasan fisik pada lansia, dimana terdapat
hubungan yang kuat antara usia lebih dari 60 tahun dengan keterbatasan fisik (p < 0,001)
Prevalensi keterbatasan fisik meningkat sejalan dengan meningkatnya usia. Pada penelitian
dikatakan keterbataan fisik adalah jika score ADL ≤19 dan paling sedikit hanya satu
keterbatasan fisik yang terlihat atau lebih baik visus mata <6/60 ,kelainan pada kedua telinga
atau kombinasi keduanya.13–15
Di US populasi lanjut usia 65 tahun, mengalami kejadian keterbatasan aktivitas fisik
yang terus meningkat dari 26,9% sampat 45,3% saat usia 75 tahun. Sekitar 55% perempuan
dan 38% laki-laki pada usia lebih dari 85 tahun dilaporkan tidak dapat melakukan pekerjaan
seperti berjalan, berlutut, menulis dan mengangkat beban. Dari penelitian yang dilakukan
Manini daidapatkan bahwa terdapat hubungan antara usia dengan keterbatasan aktivitas fisik
(p < 0,05).16
Hasil penelitian yang dilakukan menyimpulkan bahwa pengurangan dari aktivitas
fisik yang ditemukan pada lansia laki-laki dan perempuan dikarena kan dari proses penuaan
ditambah dengan peningkatan lemak tubuh, pengurangan kekuatan otot pada anggota gerak
dan pengurangan fleksibilitas, kecepatan dan ketahanan. Pada penelitian tersebut dibagi
menjadi dua kelompok yaitu usia 60-69 (young elderly) tahun dan 70-80 (old elderly) tahun.
Pada lansia laki-laki dan perempuan didapatkan adanya perbedaan signifikan (P < 0,05) pada
aktivitas fisik seperti bekerja dan berjalan.17
Pada penelitian yang dilakukan oleh alan menyatakan bahwa meningkatnya usia
berhubungan dengan peningkatan keterbatasan fisik (p < 0,05) dimana usia sangat tua
meningkatkan keadaan untuk terjadinya keterbatasan fisik dan timbul penyakit kronis. Shanas
mengestimasi bahwa 12 dari 100 usia lanjut yang telah berusia lebih dari 60 tahun atau lebih
tua di Amerika Serikat tidak memberikan nilai yang baik dalam indeks kapasitas. Untuk
perbandingan 7% dari responden yang telah diteliti terbukti dibantu oleh orang lain atau
asisten untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Perbandingan ini menyarankan studi kohort
Framingham lebih sedikit usia lanjut yang mengalami keterbatasan fisik disbanding populasi
usia lanjut di US. Pada dua penelitian diatas memberikan kemiripan dari berbagai
keterbatasan fisik dari berbagai populasi usia lanjut yang di pengaruhi tempat tinggal, daerah,
kota tempat tinggal dan negara tetapi kohort Framingham memperlihatkan hasil yang lebih
sedikit keterbatasan fisik dimana usia maksimumnya yaitu 84 tahun ketika dilakukan
penelitian usia responden telah 85 tahun dan lebih tua.18
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hui Wang di China bahwa usia tidak
berhubungan dengan kejadian keterbatasan fisik. Bagaimanapun tidak didapatkan hubungan
keterbatasan fisik,status fungsionnal dengan umur, yang dapat diterima adalah Activity Daily
Living yang baikk dengan hasil yang positif dari status fungsional (p > 0,05).19

2.2.1.2 Jenis kelamin

Kondisi komorbid yang berhubungan dengan keterbatasan fisik yaitu adanya penyakit
muskuloskeletal, neurodegenatif, dan psikologik sebagai dasarnya dimana banyak ditemui
pada wanita daripada pria. Dengan penghasilan konsumsi alkohol dan BMI yang rendah juga
berhubungan dengan keterbatasan fisik pada wanita. Osteoartritis merupakan penyakit kronik
pada usia tua dimana proporsi terbesar pada wanita dan menyebabkan keterbatasan fisik pada
wanita dan pria.20,21

Perbandingan antara wanita dan pria menggunakan skala ADL memperlihatkan


bahwa prevalensi tersering terjadinya keterbatasan fisik adalah pada wanita. Lansia
merupakan usia wanita mengalami fase terakhir menopause yang disebut pascamenopause.
Menopause umumnya dialami dalam rentang usia 50-51 tahun. Wanita memasuki masa ini
dengan usia berbeda-beda. Menopause dikonfirmasi jika menstruasi telah berhenti 1 tahun,
karena ovarium tidak lagi menghasilkan esterogen. Berkurangnya hormon ini menyebabkan
perubahan pada organ dan endokrin yang berimplikasi pada gangguan fisik maupun psikis
yang dialami wanita menopause. Jumlah wanita menopause di Indonesia sekitar 25,32 juta
orang tahun 2008, 7 tahun kemudian diperkirakan meningkat 14% dan berjumlah 30,3 juta
orang tahun 2020.7 Pada tahun 2015, terdapat sekitar 344.846 orang wanita menopause di
provinsi Riau dengan rentang usia 50 – 74 tahun.15 Berdasarkan penelitian, 42,1 - 49,5 tahun
merupakan rata-rata usia menopause wanita Asia, di Indonesia usia rata-rata menopause
adalah 49,98 tahun. Penduduk wanita yang tinggal di kota besar cenderung memasuki masa
menopause diakhir usia 40-an tahun dan awal usia 50 tahun. Penelitian tahun 2011
menyatakan bahwa 1 dari 16 orang wanita akan mengalami menopause dini. Hal ini
menyebabkan wanita mengalami gejala menopause lebih lama. Menopause premature
memiliki 1,83 kali mengalami osteoporosis usia 77 tahun dan kejadian patah tulang menjadi
1,68 kali lebih berisiko. Kejadian osteoporosis di Indonesia tahun 2012 sebesar 32,3% pada
wanita, sedangkan pria 28,8% pada penduduk usia >50 tahun. Lansia wanita akan mengalami
penurunan aktivitas fisik 30 - 50%. Densitas tulang perlahan berkurang per unit volum
(gram/cm2) akibat penurunan estrogen. Pengeroposan tulang diperburuk dengan aktivitas
fisik yang minimal. Sistem muskuloskeletal semakin menurun dan aktivitas sedang maupun
berat akan sulit dilakukan. Wanita menopause sebaiknya rutin berolahraga setidaknya 2 kali
dalam seminggu. Ketika berolahraga kekuatan, kelenturan dan ketahanan otot meningkat
karena ukuran serabut dan energi pada otot akan semakin besar. Kemampuan otot yang baik
akan memperbaiki pergerakkan tubuh karena dapat menopang tubuh agar tidak mudah jatuh.
Wanita pascamenopause yang kurang aktif akan mengalami atrofi otot (pengecilan). Hal ini
menyebabkan pergerakan terbatas dan kurang mandiri karena sulit berdiri, risiko jatuh besar
dan gerakan tubuh lambat.20,22

Suatu hasil penelitian menggambarkan, sebagian besar wanita pascamenopause


memiliki aktivitas fisik dalam kategori aktivitas fisik sedang, diikuti oleh wanita
pascamenopause dengan aktivitas fisik ringan, dan aktivitas berat. Selain dipengaruhi oleh
hormon estrogen yang memiliki banyak peran untuk menyokong fisiologis tubuh, pergerakan
tubuh yang kurang juga akan mempengaruhi kemampuan aktivitas fisik sehari-hari, hal ini
juga berhubungan dengan lansia wanita yang memiliki risiko tinggi mengalami osteoporosis
dan pengaruh tingkat kecukupan kalsium.13,20,22

Penelitian yang dilakukan oleh Wei Chen di China mengatakan bahwa pengembangan
manajemen kesehatan dan perawatan lansia memiliki peran penting untuk mengurangi angka
keterbatasan fisik pada lansia secara individual. Pada Chinese Longitudinal Healthy
Longevity Survey (CLHLS) dapat dilihat mandiri sempurna ketika mandi didefinisikan jika
lansia baik pria maupun wanita dapat menggosok beberapa bagian tubuhnya sendiri dan
membutuhkan bantuan lebih dari satu untuk bagian yang lain. Pada Studi y Ralph yang
dilakukan di Amerika juga menggunakan beberapa penilaian untuk menilai keterbatasan fisik
pada lansia, yang mengatakan bahwa keterbatasan fisik merupakan ketidakmampuan
seseorang untuk melakukan satu atau dua aktivitas sehari-hari (ADL). Hasil penelitian dari
14292 orang di china yang terdiri dari 6888 pria dan wanita 7404 dimana yang mengalami
keterbatasan fisik 228 (3,35%) pria dan 382 (5,16%) wanita. Berdasarkan penelitian ini
secara statistik menunjukan bahwa adanya hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian
keterbatasan fisik (p = 0,05).23

Pada penelitian yang dilakukan oleh Sheena dengan melakukan kohort pada pria di
Inggris berusia 60-70 tahun dengan melakukan pemeriksaan hubungan antara indeks lemak
tubuh,indeks massa tubuh dan lemak tubuh terhadap keterbatasan fisik. Dimana indeks lemak
tubuh dan, indeks massa tubuh memiliki hubungan terhadap keterbatasan fisik dan penyakit
kronis seperti penyakit jantung, diabetes, penyakit sendi, hipertensi dan resistensi insulin.
Hasil dari penelitian ini yaitu bahwa 30% pria memiliki keterbatasan fisik dimana indeks
masa tubuh memperlihatkan hubungan dengan keterbatasan fisik (p = 0,03). Berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh Timo ia melakukan penelitian prospektif jangka Panjang
dengan indikasi prognosis kesehatan yang baik dengan menjaga berat badan yang normal.
Dimana hasilnya tidak ada hubungan yang signifikan secara statistic diantara jenis kelamin
dengan kejadian keterbatasan fisik (p = 0.70).24,25

Suatu penelitian yang dilakukan Doug dan Dwayne ingin membuktikan bahwa jenis
kelamin tidak berhubungan dengan kejadian keterbatasan fisik. Hasil dari penelitian mereka
memperlihatkan prevalensi terjadinya faktor risiko terjadinya keterbatasan fisik, dimana
perempuan memiliki hasil yang lebih rendah untuk obesitas dan konsumsi alcohol dan
memiliki aktifitas sosial yang lebih tinggi. Pria secara umum memiliki rerata yang tinggi
untuk aktivitas dan aktivitas di luar rumah secara signifikan menurunkan rerata penyakit
kronik dan gangguan penglihatan dan menurunkan angka depresi. Dalam keadaan latihan
yang rendah,sedikit aktifitas sosial, obesitas dan memori yang buruk itu semua akan
meningkatkan kejadian keterbatasan fisik secara signifikan. Di lain hal aktivitas di luar dan
konsumsi alcohol berhubungan dengan pemulihan. Tidak ada variabel yang secara signifikan
berhubungan dengan jenis kelamin (p = 0,01). Sejalan dengan penelitian yang dilakukan
Dwayne, Anne juga menemukan bahwa jenis kelamin tidak berhubungan dengan
keterbatasan fisik (p > 0,05).26,27

2.2.1.2 Tipe Daerah


Lokasi tempat tinggal atau tipe daerah penduduk lansia mencerminkan perbedaan
lingkungan sosial, ekonomi, dan budaya dari kehidupan masyarakatnya. Perbedaan ini
tentunya menyebabkan pola perilaku masyarakat yang berbeda termasuk cara pandang
terhadap kehadiran penduduk lansia. Penduduk lansia di pedesaan mempunyai ruang gerak
yang relatif lebih bebas untuk beraktivitas dibanding rekannya di perkotaan. Disabilitas fisik
lebih banyak terjadi di pedesaan daripada di perkotaan. Selain itu penyakit jantung lebih
banyak terjadi di pedesaaan (2,8%) daripada di perkotaan (2,4%) dan penyakit diabetes
melitus dan tumor lebih banyak terjadi di perkotaan daripada di pedesaan.22
Philipa mengatakan bahwa ada perbedaan dari odds ratio untuk keterbatasan fisik
sebagai hasil dari kelemahan pada ekstremitas bawah pada lanjut usia yang tinggal di daerah
perkotaan, ketika jalanan perumahan yang digunakan sedikit menggunakan blok akan
meningkatkan kondisi yang optimal. Banyak yang melaporkan bahwa hal ini menyebabkan
kesulitan untuk berjalan ketika perumahan dengan blok. Dilaporkan juga mereka yang tinggal
di depan jalan besar memiliki kondisi yang bagus. Penelitian ini mengatakan bahwa terdapat
hubungan antara tipe daerah dengan keterbatasan fisik (p < 0,01). Jika kualitas jalan untuk
lanjut usia dapat ditingkatkan untuk mereka lanjut usia keterbatasan fisik dapat dicegah
karena memudahkan untuk rekreasi,interaksi sosial, akses ke fasilitas kesehatan atau pergi
berbelanja untuk kebutuhan sehari-hari.28
Pada penelitian yang dilakukan oleh penggunaan layanan perawatan lansia di daerah
pedesaan memberikan beban yang cukup besar pada keluarga mereka. Penelitian ini juga
mengungkapkan bahwa perawatan oleh pengasuh melibatkan kesempatan besar bagi
pengasuh. Dan di Cina perlu mempromosikan kepedulian masyarakat dan asuransi untuk
meringankan beban keluarga dari perhatian cacat tua, dan khusus harus diberikan kepada
orang tua pedesaan.29
Berdasarkan tipe daerah dari penelitian di Jepang yang dilakukan Sampaio dkk.
mereka meneliti tentang penilaian aktivitas fisik lanjut usia berjenis kelamin perempuan pada
daerah kota dan desa. Dari hasil penelitian didapatkan perbedaan antara lansia yang hidup di
perkotaan dan pedesaan. Pada lansia hidup di desa mereka lebih baik pada performa handgrip
strength (p = 0,01), sedangkan pada daerah kota lansia perempuan lebih baik pada performa
chair stand (p < 0,001). Hal ini juga dipengaruhi pada indeks masa tubuh, lingkar pinggang,
dan persentase lemak tubuh. Sehingga dapat disimpulkan performa aktivitas fisik dan status
kesehatan bervariasi di masing-masing daerah.30

2.2.1.4 Status Kawin


Status perkawinan adalah faktor sosial penting untuk kematian lansia. Status masih
pasangan lengkap atau sudah hidup menjanda atau duda akan mempengaruhi keadaan
kesehatan lansia baik fisik maupun psikologisnya. Berdasarkan penelitian, lansia yang
menikah dapat mempertahankan aktifitas fisik dasar sebesar 1,25 kali dibanding dengan
lansia yang tidak menikah dan lansia yang tidak menikah mempunyai risiko disabilitas 2 kali
lebih besar dibandingkan dengan lansia yang menikah.31
Parisa dari Iran melakukan penelitian dari 553 (87%) pria dan 641 (93%) wanita
dimana terdapat hubungan yang siginifikan antara status kawin dengan keterbatasan fisik
pada pria dan wanita (p = 0,005).31

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Cobb dkk. didapatkan kesimpulan bahwa


aktivitas fisik pada lansia yang berpasangan mempunyai tingkat aktivitas fisik yang setara
dengan pasangannya baik dari aktivitas fisik seperti olahraga ataupun aktivitas fisik pada saat
waktu luang. Peningkatan aktivitas fisik pada pasangan lansia dapat dilihat secara positif
maupun negatif tergantung dari motivasi kedua belah pihak (Standar Deviasi 0,15 - 0,21)
sehingga ditemukan adanya hubungan antara status perkawinan dengan aktivitas fisik (p <
0,001). Dalam hal ini, promosi kesehatan dalam melakukan pencegahan terhadap
keterbatasan fisik menjadi lebih efektif ditujukan kepada pasangan dari pada individual.32

Hal yang serupa juga dibuktikan pada penelitian Schone dkk. bahwa ditemukan
hubungan antara keterbatasan aktivitas fisik dan dengan status perkawinan pada lansia hal ini
di lihat pada lansia laki-laki dan perempuan yang berpasangan didapatkan perbedaan. Pada
laki-laki yang berpasangan didapatkan lebih dari 70% untuk melakukan aktivitas fisik dan
lansia laki-laki lebih cenderung melakukan aktivitas fisik 1,72 kali dari pada lansia laki-laki
yang tidak berpasangan (OR = 1,72; CI = 1,16 - 2,57). Namun pada lansia wanita baik yang
berpasangan dan tidak berpasangan tidak ditemukan perbedaan yang signifikan secara
statistik dalam aktivitas fisik.33
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tami Saitu di Jepang hasilnya didapatkan
hasil yang signifikan yang diukur menggunakan Instrumental Activity Daily Living (IADL)
mereka yang hidup sendiri jumlah yang keterbatasan fisik lebih sedikit dibandingkan dengan
yang hidup berpasangan. Penelitian ini menyatakan tidak ada hubungan antara status kawin
dengan keterbatasan fisik.34

2.2.1.5 Kondisi Sosial Ekonomi


Tiga aspek pada determinan ekonomi ini sangat mempengaruhi lansia aktif, yaitu
pendapatan, pekerjaan, dan perlindungan sosial. Lansia yang miskin meningkatkan risiko
untuk menjadi sakit dan disabilitas. Lansia yang memiliki penghasilan rata-rata di atas
median dapat mempertahankan aktifitas fisik dasar 1,2 kali dibanding dengan lansia yang
memiliki penghasilan rata-rata di bawah atau sama dengan median.13,22
Banyak lansia wanita yang tinggal sendiri dan tidak punya cukup uang untuk membeli
makanan yang bergizi, rumah yang layak, dan pelayanan kesehatan. Lansia yang sangat
rentan adalah yang tidak mempunyai aset, sedikit, atau tidak ada tabungan, tidak ada pensiun,
dan tidak dapat membayar keamanan atau merupakan bagian dari keluarga yang sedikit atau
pendapatan yang rendah.22

Pada penelitian yang dilakukan oleh Joshua Kiregu di Boston meneliti tentang
hubungan antara keterbatasan fisik dengan pendapatan yang bervarasi, dimana tidak
ditemukan penurunan angka disabilitas dengan peningkatan pendapatan. Penelitian yang lain
mengatakan memperkerjakan orang dengan keterbatasan fisik akan meningkatkan pendapatan
secara signifikan disbanding memperkerjakan pegawai tanpa keterbatasan fisik. Pada analisis
bivariat dari faktor-faktor yang mempengaruhi ekonomi,pendapatan bulanan,tipe pekerjaan
dan status kemiskinan berhubungan dengan keterbatasan fisik . Angka keterbatasan fisik
rendah pada mereka dengan penghasilan 1-120,000 (US$0,01– 209) RwF tidak didapatkan
hubungan antara penghasilan dengan keterbatasan fisik (OR = 0,57 , p < 0,05) , ), RwF
120,000–250,000 (US$209–435) tidak didapatkan hubungan antara penghasilan dengan
keterbatasan fisik (OR = 0,61; p < 0,005), 250,000 – 1,000,000 (US$435 – 1,740) (OR =
0,59; p < 0,005) ) tidak didapatkan hubungan antara penghasilan dengan keterbatasan fisik
dan RwF 1,000,000 + (US$1,741+) tidak didapatkan hubungan antara penghasilan dengan
keterbatasan fisik (OR = 0,66; p = 0,028). Individu yang berpenghasilan cukup memiliki odss
ratio 0,77 untuk keterbatasan fisik dibanding mereka yang berpenghasilan rendah atau tidak
mampu (p = 0,001). Untuk status pada penelitian ini didapatkan prevalensi 4.2% untuk
keterbatasan fisik sejalan dengan data yang dikumpulkan di Zambia dan Afrika Selatan yang
dapat dibandingkan. Pada penelitian ini tidak ditemukan hubungan antarapenurunan angka
keterbatasan fisik dengan pendapatan yang tinggi. Pada status kemiskinan sangat miskin
memiliki (OR = 1.00) , miskin (OR = 0,88; p = 0,194) dimana tidak memiliki hubungan
antara sosial ekonomi dengan keterbatasan fisik, tidak miskin (OR = 0,77; p = 0,001) dimana
tidak memiliki hubungan antara sosial ekonomi dengan keterbatasan fisik.35

Pada penelitian yang dilakukan Norbert di doughlas Mental Health membandingkan


antara faktor independen dan dependen dari subjek yang melaporkan penghasilan ataupun
yang tidak melaporkan penghasilan dimana hasilnya tidak ditemukan adanya perbedaan
untuk semua variabel (p = 0,001).36
Pada penelitian ditemukan hubungan antara tingkat pendidikan rendah (< 5 tahun)
yang mewakili tingkat sosial ekonomi dan keterbatasan aktivitas fisik yang dinilai
berdasarkan kecepatan berjalan (p < 0,01) dan sistem skoring Short Physical Performance
Battery (p < 0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa status sosial ekonomi rendah
berhubungan terhadap penurunan fungsi fisiologis seperti kecepatan berjalan.37

Berdasarkan penelitian yang dilakukan pengukuran status sosial ekonomi dan


hubungan sosial, kelompok dengan status sosial ekonomi tinggi mempunyai risiko yang lebih
rendah terhadap keterbatasan aktivitas fisik dan gerakan ekstremitas bagian atas. Dengan kata
lain status sosial ekonomi rendah memiliki risiko 2,15 kali lebih besar mengalami
keterbatasan fisik (OR = 2.15; CI = 1.24-3.73).38

2.2.2 Status Gizi

Besarnya jumlah penduduk berusia lanjut akan menimbulkan beban dan masalah, baik
dari aspek sosial budaya, ekonomi, psikososial, dan kesehatan. Kehidupan modern yang
dinamis menimbulkan pertimbangan-pertimbangan dalam hal perhatian, kepedulian, dan
perawatan terhadap kelompok lanjut usia. Berdasarkan laporan Riskesdas 2007, enam
penyakit utama pada penduduk berusia 65-74 tahun di Indonesia sebanyak (72,4%)
mengalami keterbatasan fisik, penyakit sendi (62,9%), katarak (41,9%), diare (39%), stroke
(31,9%), ISPA ( 28,3%) dan gangguan mental emosional (23,2%). Pada usia yang lebih tua,
enam penyakit utama yang diderita adalah keterbatasan fisik (85,2%), penyakit sendi
(65,4%), katarak (51,6%), stroke (41,7%), ganggunan mental emosional (33,7%) serta diare
(30,2%). Kemudian sebanyak 22,6% lansia mengalami underweight dan 15,6% overweight,
kedua masalah gizi tersebut memiliki konsekuensi terhadap menurunnya daya tahan tubuh
sehingga dapat meningkatkan prevalensi penyakit menular dan tidak menular disamping
penyakit degeneratif. Tingginya prevalensi berbagai penyakit yang menjadi determinan
terhadap keterbatasan fisik pada lansia dan masih tingginya prevalensi masalah gangguan gizi
pada lansia, selain memerlukan biaya tinggi untuk pemeliharaan kesehatan yang ditanggung
keluarga dan pemerintah, juga akan mempengaruhi kualitas hidup lansia yang diharapkan
dapat menikmati hidup dalam kondisi tetap sehat, aktif dan produktif.12,21
Proses menua akan berjalan searah dengan menurunnya kapasitas fungsional, baik
pada tingkat seluler maupun tingkat organ. Menurunnya kapasitas untuk berespon terhadap
lingkungan internal yang berubah cenderung membuat lanjut usia sulit untuk memelihara
kestabilan status fisik. Sangat penting bagi lansia dalam menjaga pola makan dan status
kesehatan, banyak faktor pada lansia yang dapat menghambat penyerapan makanan antara
lain metabolisme dalam tubuh sudah menurun, gigi geligi banyak yang sudah tanggal
sehingga tidak dapat mengunyah dengan sempurna akibatnya memberatkan kerja saluran
pencernaan dintaranya organ lambung. Maka variasi makanan yang dikonsumsi relatif
terbatas karena pilihan makanan akan disesuaikan dengan kemampuan mengunyah dan daya
cerna oleh sebahagian lansia sehingga mengakibatkan lansia memiliki status gizi kurus, berat
badan lebih, obesitas dan anemia.12
Pada penelitian yang dilakukan oleh Zoico menyatakan bahwa indeks masa tubuh
>30kg/m2 dan pada kuartil tertinggi dari masa lemak tubuh 3 - 4 kali meningkatan risiko
untuk terjadinya keterbatasna fisik. Lanjut usia terutama wanita dengan masa lemak tubuh
yang tinggi dan masa lemak tubuh yang normal meningkatkan faktor risiko secara signifikan
dari keterbatasan fisik dibandingkan wanita dengan yang kehilangan massa tubuh dan
bertambahnya massa lemak tubuh atau obesitas dimana memiliki faktor risiko 3,8 kali lebih
tinggi dibandingkan wanita dengan berat badan normal. Dimana terdapat hubungan antara
status gizi dengan keterbatasan fisik (p < 0,05).39
Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Kirsten menyatakan bahwa terdapat
hubungan antara komposisi tubuh dengan keterbatasan fisik, dimana komposisi lemak tubuh
dan indeks massa tubuh yang tinggi berhubungan sangat kuat dengan keterbatasan fisik baik
wanita dan pria (p < 0,05).40
Penelitian di Mexico ingin memberikan gambaran bahwa usia lanjut yang mengalami
penurunan indeks massa tubuh akan mengalami kesulitan untuk melakukan aktivitas sehari-
hari karena kelemahan dari otot ekstremitas atas dan bawah dan ada kemungkinan untuk
menjadi keterbatasan fisik, risiko ini 1,5 kali lebih besar pada wanita daripada pria (p > 0,05).
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Richard indeks massa tubuh yang kurang atau
<18,5 kg/m2 memiliki hubungan dengan keterbatasan fisik pada usia lanjut terutama pada
wanita dibandingkan dengan pria (p > 0,05) karena mereka yang memiliki waktu luang yang
cukup banyak melakukan aktivitas untuk berolahraga seperti jogging, senam, dansa ataupun
pergi ke aktivitas sosial dibandingkan mereka yang tidak memiliki waktu luang.41,42
Suatu penelitian di China pada tahun 2015 menyatakan bahwa tidak terdapat
hubungan antara indeks massa tubuh kurang 18,5 kg/m2 ataupun lebih dari 20 kg/m2 dengan
keterbatasan fisik untuk melakukan aktivitas sehari-hari baik itu yang terjadi pada laki-laki
ataupun perempuan (p > 0,05).43
Semakin lanjut usia tentu memiliki keterbatasan yang semakin tinggi, baik dalam
aktivitas, konsumsi dan kemampuan mengingat sehingga lanjut usia termasuk kelompok yang
rentan salah satu diantaranya rentan terhadap penyakit. Kekurangan gizi memiliki peran
penting dalam gangguan kognitif pada lansia. Penyebab keterbatasan fisik di antaranya
perdarahan otak, arthritis dan penyakit tulang lain, amputasi, penyakit paru severe atau
penyakit jantung dan proses penuaan. Stroke merupakan penyakit yang paling banyak
menyebabkan keterbatasan fisik pada kelompok usia lebih dari 45 tahun. Keterbatasan fisik
yang diderita dapat mengakibatkan penderitanya tidak mampu melakukan banyak hal seperti:
tidak mampu berkomunikasi, tidak dapat berjalan sendiri, harus dibantu buang air besar,
harus dibantu makan, masih ngompol, harus dibantu pindah dari tempat tidur ke kursi, harus
dibantu berpakaian, mandi dan mencuci. Penderita stroke tidak mungkin kembali bekerja
seperti keadaan sebelum serangan terjadi. Stroke menjadi penyebab keadaan keterbatasan
fisik yang paling sering dijumpai di antara orang-orang usia menengah dan usia lanjut.
Perawatan jangka panjang untuk penderita keterbatasan fisik merupakan tantangan berat bagi
masyarakat dan keluarganya. proporsi kejadian penyakit jantung, asma, rematik/persendian
dan gangguan emosional banyak terdapat di daerah perdesaan dibanding perkotaan,
sedangkan Diabetes Mellitus, hipertensi yang kejadiannya banyak di perkotaan.12,35

2.2.3 Penyakit Kronis


WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2020 akan terdapat 5 kelompok penyakit
penyebab keterbatasan fisik di Negara berkembang seperti Indonesia yaitu: penyakit jantung
iskemik, serebrovaskular, gangguan kejiwaan (depresi, stress dan lain-lain), kanker dan
kecelakaan lalu lintas.Setelah terserang stroke, pasien akan mengalami 2 pilihan yaitu
kecacatan (keterbatasan fisik) seumur hidup atau meninggal dunia. Setiap hari terdapat 4
pasien terkena serangan stroke sehingga dalam setahun akan bertambah 1000 penderita.
Pengaruh setelah suami stroke dapat menciptakan stres dan merubah pola kehidupan keluarga
(istri dan anggota keluarga lainnya). Sehingga dapat mengakibatkan beban psikologis
keluarga dan akhirnya juga beban ekonomi dari keluarga tersebut.22
Sulitnya pemahaman masyarakat tentang faktor risiko gangguan jantung berkaitan
dengan pendidikan seseorang. Sebagian besar pasien dengan gangguan jantung berpendidikan
rendah. Semakin tingginya kecerdasan makin mampu seseorang menggambarkan dirinya
sendiri dan makin baik konsep diri yang dipunyai sehingga makin kecil gangguan kesehatan
yang dihadapinya.44
Secara umum, risiko terjadinya keterbatasan fisik akibat gangguan persendian di
perkotaan lebih besar dibandingkan dengan pedesaan, akan tetapi jika gangguan persendian
dikaitkan dengan tingkat ekonomi seseorang maka terlihat hanya di perkotaan saja yang
menunjukan gangguan persendiaan pada seseorang sedangkan di perdesaan tidak. Hal ini
berkaitan dengan kesempatan seseorang untuk mengkonsumsi makanan berisiko terjadi
gangguan persendiaan seperti makanan yang banyak mengandung asam urat. Di perkotaan
dengan tingkat ekonomi yang cukup mapan maka peluang untuk mengkonsumsi makanan
berisiko tersebut lebih besar dibandingkan di perdesaan.45
Pada penelitian yang dilakukan Yenny di Jakarta Selatan dari 316 orang lansia yang
terdiri dari 88 laki-laki dan 218 wanita, dari penelitian tersebut penyakit kronis mempunyai
hubungan terhadap keterbatasan aktivitas pada lansia terutama dari segi fisik (p = 0,036) dan
lingkungan (p = 0,049).46
Penyakit kronis disebut juga non-communicable disease merupakan penyakit yang
tidak dapat berpindah dari seseorang ke orang lain. Perjalanan penyakit kronis berlangsung
lambat dan biasanya dalam periode waktu yang lama. Menurut WHO ada empat penyakit
kronis di dunia yang menjadi perhatian yaitu penyakit kardiovaskular (seperti serangan
jantung dan stroke), keganasan, penyakit pernapasan kronis (penyakit paru obstruktif kronis
dan asma) dan diabetes. Pada lansia, penyakit kronis menjadi pusat perhatian sehingga dalam
praktek kedokteran dikenal istilah geriatri yaitu bagian ilmu penyakit dalam yang melakukan
penatalaksanaan individu berusia 60 tahun ke atas dengan multi-patologi penyakit kronis
seperti hipertensi, diabetes, jantung, stroke, osteoartritis, demensia. Hal tersebut mempunyai
hubungan yang kuat terhadap keterbatasan aktivitas pada lansia terutama dari segi fisik
namun tidak memungkinkan juga terhadap segi sosial dan psikologis.4,46,47 Pada penelitian ini
akan dibahas berbagai penyakit kronis yang mempunyai kaitan yang erat terhadap
keterbatasan aktivitas fisik pada lansia yang meliputi diabetes, osteoartritis, hipertensi, stroke
dan penyakit kardiovaskular.

2.2.3.1 Diabetes melitus


Diabetes melitus merupakan penyakit metabolik kronik yang ditandai dengan
peningkatan gula darah yang disebabkan oleh defisiensi insulin atau oleh defisiensi kerjanya
dan mengakibatkan metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak tidak normal. Individu yang
menderita diabetes tergantung-insulin menghadapi beban serius yang meliputi kebutuhan
mutlak insulin eksogen setiap harinya, kebutuhan untuk memonitor pengendalian metabolik
dirinya dan kebutuhan untuk memperhatikan terus-menerus pada masukan diet. Morbiditas
dan mortalitas yang berasal dari kekacauan metabolik dan dari komplikasi jangka panjang
yang memepengaruhi pembuluh kecil dan besar serta menyebabkan retinopati, nefropati,
penyakit jantung iskemik, dan obstruksi arteri dengan gangren tungkai.48
Tabel 1. Kriteria diabetes mellitus menurut WHO.49

Glukosa Plasma Vena (mg/dL)

Puasa 2 jam PP

Normal <100 <140

Diabetes mellitus ≥140 ≥200

TGT 100-139 140-199

DM diklasifikasikan berdasarkan proses patogenesis yang menyebabkan


hiperglikemik, dulunya pernah dikriteriakan berdasarkan onset atau tipe terapi yang
diberikan. Dua kategori utama dari DM adalah tipe 1 dan tipe 2. DM tipe 1 merupakan hasil
dari komplit atau ‘near-total’ insulin defisiensi. Sedangkan DM tipe 2 merupakan campuran
kelainan yang heterogen seperti derajat resistensi insulin, kelainan sekresi insulin dan
peningkatan produksi glukosa. Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara. Pertama,
jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL
sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Kedua, dengan pemeriksaan glukosa plasma
puasa yang lebih mudah dilakukan, mudah diterima oleh pasien serta murah, sehingga
pemeriksaan ini dianjurkan untuk diagnosis DM. Ketiga dengan TTGO. Meskipun TTGO
dengan beban 75 g glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa
plasma puasa, namun memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan
berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan. Apabila hasil pemeriksaan tidak
memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok TGT atau
GDPT tergantung dari hasil yang diperoleh.50
Prevalensi DM pada lansia memang diketahui cukup tinggi karena salah satu faktor
risiko DM adalah usia terutama pada kelompok usia lebih dari 45 tahun. Hal ini dibuktikan
dari penelitian bahwa terdapat adanya hubungan antara seseorang yang berusia di atas 40
tahun dengan prevalensi terjadinya DM selain itu kegemukan dan hipertensi juga memiliki
hubungan dengan prevalensi terjadinya DM. Pada Kelompok lansia yang menderita DM terutama
DM tipe 2 ditemukan terdapat hubungannya dengan pengurangan dari kekuatan dan kualitas dari
masa otot sehingga erat kaitannya terhadap keterbatasan aktivitas fisik.51–53
Pada penelitian yang dilakukan Maty dkk, ditemukan pada kelompok wanita lansia
yang menderita DM dengan usia 65-74 tahun sebanyak 54,2 % (n = 483) dibandingkan
dengan wanita yang tidak DM (n = 3087), lansia yang menderita DM didapatkan mengalami
disabilitas pada kegiatan sehari-harinya meliputi berjalan 2-3 blok, mengangkat beban seberat
10 pound, menggunakan telepon, dan mandi. Sehingga dapat disimpulkan terdapat adanya
hubungan antara penderita DM dengan disabilitas fisik dan lansia penderita DM lebih
memiliki risiko 1,5-2,8 kali mengalami disabilitas fisik dengan lansia tanpa penyakit DM
(interval OR 1,5-2,8; p < 0,01).54
Sebuah penelitian dari Ching-Ju Chiu mengatakan bahwa diabetes berhubungan serius
dengan komplikasi yang serius seperti penyakit microvaskular dan makrovaskular jadi
diagnosis diabetes dapat meningkatkan risiko untuk terjadinya keterbatasan fisik. Hasil dari
penelitian ini bahwa perubahan usia dan kejadian diabetes berhubungan kuat dan
meningkatkan kejadian keterbatasan fisik disbanding lanjut usia tanpa penyakit diabetes.
Sehingga terdapat hubungan antara diabetes dengan keterbatasan fisik (p = 0,001).55
Penelitian yang dilakukan oleh Gregg menyatakan bahwa diabetes sangat terkait erat
dengan tingkat keterbatasan fisik. Prevalensi keterbatasan fisik yang dilaporkan jauh lebih
tinggi wanita dibandingkan pria dengan diabetes ataupun tanpa diabetes (p < 0,05).56

Penelitian yang dilakukan oleh Songer menyatakan bahwa diabetes kemungkinan


terkait dengan keterbatasan fisik melalui sejumlah proses. Dan yang paling umum adalah
bahwa keterbatasan fisik akan dihasilkan dari perkembangan komplikasi dari
diabetes itu sendiri (p < 0,05).57
Penelitian yang dilakukan oleh menunjukkan bahwa keterbatasan fisik yang terkait
dengan diabetes. Dan prevalensi yang dilaporkan dari penelitian ini, diabetes berhubungan
dengan bertambahnya penyakit jantung dan masalah penglihatan (p < 0,01).52

2.2.3.2 Osteoartritis
Merupakan penyakit degeneratif pada sendi yang ditandai dengan kehilangan
bertahap kartilago sendi secara progresif dalam waktu yang lama.Penyakit kronis ini terutama
menyerang pada sendi lutut, tangan, kaki, dan tulang belakang. Hal tersebut menyebabkan
kedua tulang pada persendian menjadi bersentuhan sehingga menyebabkan kekakuan, nyeri
pada sendi, dan keterbatasan pada ruang gerak. Faktor predisposisi pada osteoartritis terutama
dari usia namun terdapat juga faktor modified dan unmodified terdiri dari obesitas, kurangnya
aktivitas fisik, faktor keturunan, trauma/cidera, jenis kelamin. Berdasarkan data penelitian
kejadian tertinggi osteoartritis pada lansia ditemukan pada usia >55 tahun (59,17%) di daerah
RSU Dokter Soedarso Pontianak pada data tersebut sesuai dengan salah satu kriteria klinis
dalam mendiagnosis osteoartritis berdasarkan kriteria American College of Rheumatology
yaitu usia di atas 50 tahun.58,59
Osteoarthritis merupakan penyakit yang sering terjadi dan bersifat kronis, sehingga
dapat menyebabkan keterbatasan fisik, terutama pada orang dengan usia lanjut, 80% pasien
dengan osteoarthritis mengalami kesulitan untuk bergerak dan 25% diantaranya mengalami
kecacatan. Berdasarkan penelitian Muraki di Jepang menunjukkan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara pasien dengan osteoarthritis dengan adanya keterbatasan fisik baik pada
pasien laki-laki ataupun perempuan dengan nilai p = 0,0023.. Penelitian Janiece juga
mendukung bahwa ada hubungan antara osteoarthritis dengan keterbatasan fisik (p < 0,05).
Hasil penelitian Benjamin menunjukkan bahwa osteoarthritis berhubungan dengan adanya
keterbatasan fisik pada seseorang dilihat dari faktor kekakuan otot, nyeri, dan kekuatan otot
pada pasien dengan osteoarthritis, pada penelitian ini didapatkan adanya korelasi antara
osteoarthritis dengan keterbatasan fisik dengan p < 0,001.60–62

Hal ini sejalan dengan konsep teori yang menyatakan bahwa secara keseluruhan pada
usia di atas 50 tahun, frekuensi osteoartritis lebih banyak terjadi pada wanita (setelah
menopause) yang menunjukkan faktor hormonal yang turut berperan pada kejadian
osteoartritis. Hal ini ditemukan pada penelitian di Kecamatan Kartasura angka kejadian
osteoartritis didapatkan laki-laki 28,6% dan perempuan 71,4%.38 Hasil tersebutjuga sejalan
dengan penelitian di RSU dr. Soedarso Pontianak dimana proporsi kasus osteoartritis
terbanyak terjadi pada wanita (68.67%).Melihat tingginya kejadian osteoartritis pada wanita
maka perlu dilakukan suatu penyuluhan kepada kelompok wanita di Desa Susut misalnya
melalui program KIA KB/ penyuluhan terhadap ibu-ibu PKK mengenai bahaya osteoartritis
terhadap perempuan pasca menopause dan faktor risiko lainnya.Selain itu penderita
osteoartritis memiliki kecenderungan untuk mengalami disabilitas dan hal ini dibuktikan pada
penelitian yang dilakukan oleh Fajar didapatkan hasil bahwa dari 34 responden diperoleh
nilai signifikan 0,002 (p < 0,05) yang menunjukan bahwa korelasi antara kualitas nyeri
penderita osteoartritis dengan kemampuan aktivitas fungsional adalah bermakna. Dimana
nilai korelasinya 0,510 (r = 0,510) menunjukan bahwa arah korelasi positif dengan kekuatan
korelasi yang kuat.58,63
Pada penelitian yang dilakukan oleh peter didapatkan bahwa beberapa partisipan
dengan osteoarthritis mengalami kemunduran dari aktivitas sehari-hari seperti mereka tidak
dapa mandi sendiri,menggunakan baju sendiri dan menggunakan toilet. Semua pasien
memiliki kesulitan yang cukup untuk mengurus dirinya sendiri,tidur, membersihkan rumah.
Setelah merasakan nyeri dan kriteria mayor keterbatasan fisik pada osteoarthritis
mempengaruhi kehidupan sehari-hari yang terpenting adalah kemampuan dasar untuk hidup
apakah dipengaruhi atau tidak. Pada penelitian ini didapatkan hubungan antara osteoarthritis
dengan keterbatasan fisik (p < 0,05).64
Pada penelitian yang dilakukan oleh Steuljten dengan menggunakan 2 metode untuk
menentukan keterbatasan fisik pertama dengan observasional yang kedua dengan kuesioner.
Observasi keterbatasan fisik ditentukan dengan melihat performa dari pasien apakah ada
keterbatasan untuk melakukan aktivitas fisik sehari-hari. Untuk melihat hubungan digunakan
korealasi pearson diantara Range of motion dari pergerakan sendi tangan. Secara umum
didapatkan hubungan negative antara ROM dan keterbatasan fisik contohnya penurunan
ROM berhubungan dengan peningkatan keterbatasan fisik tetapi secara umum tidak semua
jari tidak dapat digerakan. Hambatan pergerakan ekstensi,abduksi dan eksternal rotasi dari
kedua panggul dan lutut pada pasien berhubungan dengan osteoarthritis pada pinggul dan
lutut. Pada penelitian ini didapatkan hubungan antara osteoarthritis dengan keterbatasan fisik
pada lanjut usia (p < 0,05).65

2.2.3.3 Hipertensi
Hipertensi yang biasa disebut sebagai peningkatan tekanan darah merupakan suatu
kondisi diamana pembuluh darah mengalami peningkatan tekanan secara persisten. Tekanan
darah timbul dari komponen darah yang di pompa jantung mendorong dinding dari pembuluh
darah. Klasifikasi hipertensi menurut gejala dibedakan menjadi dua yaitu hipertensi benigna
dan hipertensi maligna. Hipertensi benigna merupakan keadaan hipertensi yang tidak
menimbulkan gejala-gejala, biasanya ditemukan saat penderita check up. Hipertensi maligna
merupakan keadaan hipertensi yang membahayakan biasanya disertai keadaan kegawatan
sebagai akibat komplikasi pada organ-organ seperti otak, jantung dan ginjal.66,67

Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention,


Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC VII), klasifikasi
hipertensi pada orang dewasa dapat dibagi menjadi kelompok normal, prehipertensi,
hipertensi derajat I dan derajat II. (Tabel 2.)68
Tabel 2. Klasifikasi tekanan darah menurut JNC VII
Di Indonesia berdasarkan konsensus yang dihasilkan Sebagian besar penderita
hipertensi termasuk dalam kelompok hipertensi ringan. Perubahan pola hidup merupakan
pilihan pertama penatalaksanaannya, tetapi juga dibutuhkan pengobatan untuk
mengendalikan tekanan darah. Pada kelompok hipertensi sedang dan berat memiliki
kemungkinan terkena serangan jantung, stroke, dan kerusakan organ target lainnya. Risiko ini
akan diperberat dengan adanya lebih dari tiga faktor risiko penyebab hipertensi yang
menyertai hipertensi pada kedua kelompok tersebut.68
Di Indonesia, masalah hipertensi cukup banyak dan selalu ada di setiap provinsi
berdasarkan data epidemiologi ditemukan kasus hipertensi oleh tenaga kesehatan dengan
rata-rata 24,2% pada setiap provinsinya dan dari data penelitian didapatkan semakin tiggi
usia semakin tinggi risikoorang tersebut menderita hipertensi diketahui pada usia > 75 tahun
lebih berisiko 11,53 kali. Selain usia juga ditemukan juga tingkat pendidikan, pekerjaan,
obesitas dan kebiasaan merokok ditemukan insiden hipertensi yang lebih tinggi daripada
kelompok kontrol (responden yang mempunyai tekanan darah sistolik < 140 mmHg dan
diastolik < 90 mmHg dan belum pernah di diagnosis tenaga kesehatan. Hipertensi pada lansia
mempunyai risiko komplikasi yang lebih besar daripada hipertensi kelompok usia lain.
Penurunan fungsi kognitif dan demensia serta stroke banyak terdapat pada hipertensi kronik.
Hipertensi pada lansia sering bersamaan dengan kelainan kardiovaskular yang lain.
Prevalensi hipertensi meningkat dengan bertambahnya usia dan pada usia 65 tahun tekanan
darah merupakan faktor risiko yang menonjol untuk terjadinya komplikasi kardiovaskular.
Lansia dengan hipertensi mempunyai peluang 1.327 kali untuk mengalami 102 keterbatasan
fisik dibandingkan dengan lansia yang tidak dengan hipertensi. Dalam implikasi klinis
hipertensi pada lansia, hipertensi mengakibatkan peningkatan keterbatasan fisik pasien
sekaligus menyebabkan penurunan status fungsional. Pada penelitian yang dilakukan di
Singapura dari 2.488 responden di dapatkan sebesar 13,4% yang memiliki tekanan darah
normal.69–73
Di US angka prevalensi pada lansia sebesar 30 % (95% confidence interval [CI];
29.2% – 30.8%).Prevalensi yang mengalami keterbatasan fisik adalah sebesar 37.9% (95%
CI; 36.9% – 38.9%). Dimana pasien hipertensi dengan kejadian keterbatasan fisik jauh lebih
tinggi yaitu 34.2% dan 26.9%. dimana pada penelitian ini didapatkan hubungan antara
hipertensi dengan kejadian keterbatsan fisik pada lanjut usia.74
Penelitian yang dilakukan oleh Jiahui dari China mendapatkan angka prevalensi
pasien hipertensi dengan keterbatasan fisik sebesar 27.0%. Dimana didapatkan pasien
hipertensi dengan 1 kondisi komorbid sebesar 16,1%, 2 komorbid sebesar 28.7% dan
didapatkan hasil yang lebih besar pada pasien hipertensi tanpa komorbid. Menggunakan
toilet, naik dan turun tempat tidur,menggunakan baju adalah hal yang paling sering
dikeluhkan yang dimana merupakan hal serius. Hasil dari penelitian ini didapatkan basic
activity daily living (BADL) atau instrumental daily activity living (IADL) meningkat sesuai
usia, jenis kelamin perempuan, seseorang dengan pendidikan rendah, tinggal di desa. Pasien
hipertensi yang tidak pernah menikah, telah bercerai dan pasangannya meninggal memiliki
posibilitas tinggi untuk terjadi keterbatasan fisik.75
Penelitian yang dilakukan oleh Gang Hu terhadap beberapa orang dengan aktifitas
fisik yang berbeda-beda. Pada penelitian ini didapatkan hubungan antara aktifitas fisik,jenis
kelamin baik laki-laki atau perempuan, merokok, konsumsi alkohol, riwayat diabetes, IMT
normal, buruk ataupun lebih dan tekanan darah sistolik terhadap kejadian hipertensi dan
keterbatasan fisik (p < 0,05).76
Pada penelitian yang dilakukan oleh Ihab Ajjar membandingkan partisipan yang
normotensi dan pasien hipertensi tanpa dasar keterbatasan fisik meningkatkan dalam risiko
memiliki keterbatasan fisik ketika dilakukan follow up. Persentase atribut risk (AR%) dari
hipertensi yang mengalami keterbatasan fisik sebesar 15% untuk skala Nagi, 36% untuk skala
Rosow-Breslaw sebesar 36% dan untuk skala Activity Daily Living (ADL) sebesar 22%.
Pasien hipertensi yang tidak terkontrol memiliki risiko yang lebih tinggi untuk keterbatasan
fisik dibandingkan pasien dengan normotensi. Dimana pasien hipertensi yang terkontrol
dengan pengobatan adalah < 140/90 mmHg dimana tidak memiliki perbedaan yang signifikan
dibandingkan dengan pasien normotensi dan pasien hipertensi yang tidak terkontrol untuk
kejadian keterbatasan fisik. Pada penelitian ini didapatkan hubungan antara hipertensi dengan
keterbatsan fisik.77
Menurut penelitian yang dilakukan Sugiharti dan Heny bahwa lansia dengan
hipertensi mempunyai peluang 1.327 kali untuk mengalami disabilitas dibandingkan dengan
lansia yang tidak dengan hipertensi dengan p value 0,000. Hal yang sama dikemukakan
Damping dan Hervita (2003) bahwa dalam implikasi klinis hipertensi pada lansia, hipertensi
mengakibatkan peningkatan disabilitas pasien sekaligus menyebabkan penurunan status
fungsional.72,78

2.2.3.4 Stroke
Menurut WHO, stroke adalah terjadinya gangguan fungsional otak fokal maupun
global secara mendadak dan akut yang berlangsung lebih dari 24 jam akibat gangguan aliran
darah otak.79 Banyak aspek yang dipertimbangkan dalam menetapkan pembagian stroke. Dari
kausanya:
1. Jenis perdarahan (stroke hemoragik), disebabkan pecahnya pembuluh darah otak,
baik intrakranial maupun subaraknoid. Pada perdarahan intrakranial, pecahnya
pembuluh darah otak dapat karena berry aneurysm akibat hiprtensi tak terkontrol
yang mengubah morfologi arteriol otak atau pecahnya pembuluh darah otak
karena kelainan kongenital pada pembuluh darah otak tersebut. Perdarahan
subaraknoid disebabkan pecahnya aneurysma kongenital pembuluh darah arteri
otak diruang subaraknoidal.
2. Jenis oklusif (stroke iskemik), dapat terjadi karena emboli yang lepas dari
sumbernya, biasanya berasal dari jantung atau pembuluh arteri otak baik
intrakranial maupun ekstrakranial atau trombotik/arteriosklerotik fokal pada
pembuluh arteri otak yang beransur-ansur menyempit dan akhirnya tersumbat.
Langkah sederhana untuk mengevaluasi mengenai tanda-tanda awal gejala stroke
yakni dengan penilaian sederhana yaitu Ada suatu penilaian sederhana yang dikenal dengan
singkatan FAST (Face, Arms drive, Speech, dan Three of signs). Wajah tampak tidak
simetris. Salah satu sudut mulut tertarik ke bawah dan lekukan antara hidung dan sudut mulut
atas tampak mendatar. Angkat tangan lurus sejajar kedepan (90˚) dengan telapak tangan
terbuka ke atas selama 30 detik. Apabila terdapat kelumpuhan lengan yang ringan dan tidak
disadari penderita, maka lengan yang lumpuh tersebut akan turun (menjadi tidak sejajar lagi).
Pada kelumpuhan yang berat, lengan yang lumpuh tersebut sudah tidak bisa diangkat lagi
bahkan sampai tidak bisa digerakkan sama sekali. Bicara menjadi pelo (artikulasi terganggu)
atau tidak bisa berkata-kata (gagu) atau bisa bicara akan tetapi tidak mengerti pertanyaan
orang sehingga komunikasi verbal tidak nyambung. Ada tiga gejala yaitu perubahan wajah,
kelumpuhan, dan bicara. Gejala tanda lainnya adalah orang tiba-tiba terlihat mengantuk berat
atau kehilangan kesadaran atau pingsan, pusing berputar, rasa baal atau kesemutan separuh
badan, gangguan penglihatan secara tiba-tiba pada satu atau dua mata.69,72

Pada penelitian yang dilakukan Raymod dari Universitas Oxford didapatkan 748
pasien stroke dimana 47% (n = 351) diantaranya meninggal kurang dari 5 tahun lalu untuk
pasien TIA didapatkan 44o dimana 27% (n = 119) meninggal juga pada akhir tahun ke 5
follow up. Pada bulan pertama follow up, setengah lebih dari pasien stroke (n = 380)
diantaranta meninggal ataupun mengalami keterbatasan fisik, proporsi yang sama juga
didapatkan pada bulan keenam 51% (730) dan pada satu tahun didapatkan sebesar 53%.
Bagaimanapun selama 2 tahun proporsi pasien stroke yang meninggal ataupun mengalami
keterbatasan fisik meningkat menjadi 64% dalam 6 bulan (n = 356). Dari penelitian
didapatkan bahwa riwayat penyakit sebelumnya seperti atrial fibrillation dan diabetes
merupakan prediktor yang signifikan pasien stroke menjadi keterbatasan fisik bahkan
meninggal. Penelitian ini didapatkan hubungan antara penyakit kronis hipertensi dengan
keterbatasan fisik (p < 0,05).80

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh James meneliti 806 pasien stroke dimana
diantaranya 581 adalah kulit putih dan 2.228 adalah kulit hitam dimana tidak ada perbedaan
yang signifikan antara usia,jenis kelamin diantara kedua grup ras tersebut. Orang berkulit
hitam memiliki Pendidikan dan penghasilan yang rendah, penyakit kronis seperti penyakit
koroner akut, kanker dan osteoporosis lebih sering terjadi pada orang berkulit putih.
Kapasitas fisik seperti mengucapkan kata-kata,menggambar jam lebih banyak ditemukan
pada orang berkulit putih dibandingkan orang berkulit hitam. Dimana terdapat hubungan
antara stroke dengan keterbatasan fisik (p = 0,01).81

Dalam penelitian yang dilakukan oleh menunjukkan bahwa stroke berhubungan


dengan penurunan fungsi motorik dan keseimbangan dan keterbatasan fisik. Tampaknya
pasien stroke yang lebih tua dengan rendah kepercayaan diri dalam kinerja tugas cenderung
memiliki hasil yang lebih buruk keterbatasan fisiknya (p < 0,001).82
Dalam penelitian yang dilakukan oleh menunjukkan bahwa selain beberapa
keterbatasan fungsional tertentu pada stroke, penelitian ini mengidentifikasi respon
emosional, kognisi dan perilaku yang berkaitan dengan pasca stroke atas kecacatan dan yang
mungkin menjadi faktor penting yang mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan (p <
0,05).83
Hal ini didasarkan pada analisis dengan uji chi-square diperoleh nilai p value = 0,003
yang berarti ada hubungan antara status stroke dengan kejadian disabilitas fisik dan dari hasil
analisis diperoleh nilai OR=8,585 artinya responden yang memiliki penyakit stroke memiliki
risiko 8,585 kali lebih tinggi untuk mengalami kejadian disabilitas fisik dibandingkan
responden yang tidak memiliki penyakit stroke.84

2.2.3.5 Penyakit jantung


Penyakit jantung koroner (PJK) identik dengan istilah IHD (Ischemic Heart Disease).
Menurut WHO, PJK merupakan gangguan kesehatan akibat ketidakmampuan jantung yang
bersifat akut maupun kronis, disebabkan oleh bekurangnya suplai darah ke miokardium dan
berkaitan dengan adanya kelainan pada sistem arteri koronaria. Penyakit jantung koroner
merupakan suatu kelainan yang disebabkan oleh penyempitan atau penghambatan pembuluh
arteri yang mengalirkan darah ke otot jantung. Pada lansia banyak dijumpai penyakit jantung
koroner, penderita kebanyakan berusia 45 tahun sampai lansia. Penyakit jantung
menyebabkan 80% kematian di dunia dan 87% menyebabkan keterbatasan fisik di negara
miskin dan berkembang.Pada lansia banyak dijumpai penyakit jantung koroner. Penderita
kebanyakan berusia di atas 45 tahun sampai lansia. Pada penilitan yang dilakukan di RSUP
didapatkan persentease 15,9 % yang tidak menderita penyakit jantung dari 107 responden
yang berusia lebih dari 45 tahun.47Perubahan-perubahan yang dapat dijumpai pada penderita
jantung koroner adalah pada pembuluh darah jantung akibat arteriosklerosis belum diketahui
secara pasti, tetapi faktor-faktor yang mempercepat timbulnya penyakit ini antara lain banyak
merokok, kadar kolesterol tinggi, penderita diabetes melitus, dan berat badan berlebih, serta
kurang olah raga. Lansia dengan penyakit jantung lebih berisiko 1,590 kali untuk mengalami
keterbatasan fisik.23,84
Berdasarkan penelitian Harrington, pasien dengan gangguan jantung kronis, memiliki
risiko terjadinya keterbatasan fisik (p < 0,005), hal ini disebabkan karena adanya kelemahan
otot yang ditimbulkan karena kurangnya perfusi darah ke jaringan otot, sehingga
menimbulkan kelemahan otot. Konsep dari keterbatasan fisik pada pasien dengan gangguan
jantung kronis adalah karena setiap aktivitas membutuhkan sejumlah energi tertentu yang
didapat dari hasil metabolisme. Hasil metabolisme ini didapat dari penggunaan oksigen dan
diperiksa dengan menggunakan stress test. Dengan berkurangnya kadar oksigen didalam
tubuh akibat aktivitas jantung yang menurun, menyebabkan penurunan hasil metabolisme
yang harus digunakan tubuh untuk melakukan aktivitas, sehingga pasien dengan gangguan
jantung kronis akan merasakan kelemahan dan kesulitan untuk melakukan aktivitas sehari-
hari.85,86

Pada penelitian yang dilakukan oleh Marco (2006) meneliti tentang kapasitas latihan
dan respon kardiovaskular terutama detak jantung rata-rata. Usia lanjut pada suatu komunitas
dilaporkan tidak memiliki kesulitan untuk berjalan dalam jarak yang cukup jauh dalam satu
tes. Kemampuan untuk melakukan tes dan perfoma yang diberikan sangat penting untuk
faktor prognosis keterbatasan fisik terutama pada dekade kedelapan kehidupan. Hasil dari tes
yang dilakukan bagi yang sering berjalan dan berjalan lebih cepat didapatkan mereka yang
lebih muda, lebih banyak pada laki-laki,ras kulit putih didapatkan angka prevalensi yang
rendah terhadap faktor risiko untuk penyakit jantung. Keterbatasan fisik yang menetap terjadi
pada 1.360 atau 44% partisipan. Mereka adalah yang diberhentikan dari jalan 400 m karena
denyut jantung yang meningkat lalu tidak dapat melanjutkan tes. Pada penelitian ini
menyatakan bahwa terdapat hubungan antara penyakit kronis dengan keterbatasan fisik pada
usia lanjut (p < 0,001).87
Pada penelitian yang dilakukan oleh Patrick dimana ia melakukan penelitian tentang
pasien gagal jantung kronik dengan keterbatasan fisik yang dilakukan uji resistensi dimana
belum ada penelitian yang secara langsung meneliti tentang aktifitas sehari-hari dimana
pasien gagal jantung kronik dapat mencapai batas dari keterbatasan fisik mereka. Lebih jauh
kontribusi otot skeletal yang lemah pada pasien gagal jantung kronik belum jelas. Lalu pada
penelitian ini mengukur tentang aktifitas sehari-hari mereka dan hubungannya dengan
kapasitas aerobik dan kekuatan otot dan efek latihan resistensi untuk meningkatkan kekuatan
otot dan melatih keterbatasan fisik mereka. Dari penelitian didapatkan bahwa usia,distribusi
jenis kelamin, indeks massa tubuh dan aktifitas fisik didapatkan hubungan terhadap
keterbatasan fisik dimana pada pasien gagal jantung kronik memiliki ejection fraction dan
VO2 yang lebih rendah dan left ventricular end systolic volume yang lebih besar. Performa
untuk melakukan aktifitas sehari-hari 30% lebih rendah pada pasien dengan gagal jantung
kronik dibandingkan control dan berhubungan dengan kapsitas aerobik dan kekuatan otot (p
< 0,05).88
Pada penelitian yang dilakukan oleh Walmer ini menunjukkan bahwa faktor risiko
kardiovaskular berhubungan dengan keterbatasan fisik pada orang-orang yang lebih tua.(p <
0,001). Dari penelitian yang dilakukan Sugiharti ditemukan bahwa hubungan antara penyakit
jantung dan disabilitas sangat bermakna dengan p value 0,000 dan disimpulkan bahwa lansia
dengan penyakit jantung lebih berisiko 1.590 kali untuk mengalami disabilitas.78,89

2.2.4 Perilaku
2.2.4.1 Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik adalah gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka dimana
membutuhkan energi untuk melakukannya. Tidak mampu dalam melakukan aktivitas fisik
menjadi faktor risiko terbesar ke empat pada permasalahan global telah diketahui dari 3,2 juta
kematian penduduk di seluruh dunia. Rekomendasi dari American Heart Association untuk
kegiatan aktifitas fisik orang dewasa (18-65 tahun) dan lansia (65 tahun keatas) adalah
minimal dapat melakukan kegiatan aktifitas fisik dengan kategori cukup. Kegiatan aktifitas
fisik dikategorikan cukup apabila kegiatan dilakukan terus-menerus sekurangnya 10 menit
dalam satu kegiatan tanpa henti dan secara kumulatif 150 menit selama lima hari dalam satu
minggu. Kategori aktifitas fisik cukup untuk orang dewasa (18-65 tahun) dan lansia (65 tahun
keatas) menurut Global Physical Activity Question (GPAQ), WHO adalah :90
1. Melakukan aktifitas fisik berat minimal 20 menit selama tiga hari dalam satu minggu.
2. Melakukan aktifitas fisik sedang minimal 30 menit selama lima hari dalam satu minggu.
3. Berjalan minimal 30 menit selama lima hari dalam satu minggu.
Orang yang tidak melakukan olah raga maupun melakukan olah raga tidak teratur
akan mengalami keterbatasan fisik 2,5 kali dibanding orang yang melakukan olahraga
teratur.Prevalensi lansia tidak aktif 37,6% dan prevalensi lansia aktif 62,4%, prevalensi
keterbatasan fisik pada lansia yang tidak beraktivitas lebih besar dari yang beraktivitas.
Olahraga juga dikaitkan dengan peran obesitas pada hipertensi.91,92

Aktifitas fisik regular meliputi aktifitas aerobik dan aktifitas meningkatkan kekuatan
otot merupakan hal dasar yang diperlukan untuk usia lanjut. Pencegahan yang dilakukan ini
spesifik sesuai usia dengan membagi aktifitas yang direkomendasikan dimana dapat
menurunkan risiko untuk terjadi penyakit kronik, kematian tiba-tiba dan keterbatasan fisik.
Untuk aktifitas aerobik untuk menjaga kesehatan, untuk lanjut usia dengan usia lebih tua
membutuhkan aktifitas fisik yang sedang dengan waktu minimal 30 menit dan dilakukan
selama 5 hari dalam seminggu atau dapat juga dilakukan aktifitas aerobik yang cukup berat
dengan intensitas minimal 20 menit dalam 3 hari setiap minggunya. Dapat juga dilakukan
aktifitas fisik kombinasi antara sedang-cukup berat. Untuk aktifitas meningkatkan kekuatan
otot untuk menjaga kesehatan. Para lanjut usia yang melakukan aktifitas fisik disarankan
menjaga kesehatan. Untuk fleksibilitas direkomendasikan untuk menjaga ROM (range of
motion) dalam kegiatan sehari-hari, tidak seperti kegiatan aerobik dan memperkuat otot
keuntungan kegiatan fleksibilitas belum jelas. Walaupun seperti itu latihan fleksibilitas telah
terlihat keuntungannya dalam satu penelitian yang bersifat uji coba dan direkomendasikan
dalam manajemen beberapa penyakit yang sering terjadi pada usia lanjut. Latihan fleksibilitas
minimal dilakukan selama 10 menit yang meliputi otot utama dan tendon dengan durasa 10-
30 detik statis dengan 3 - 4 repetisi dalam setiap set.93

Pada penelitian yang dilakukan oleh Brenda memberikan gambaran tentang aktifitas
fisik berdasarkan seberapa sering usia lanjut mengikuti sesi latihan. Analisisnya
menggambarkan bahwa mereka yang memiliki tingkat latihan lebih tinggi memiliki risiko
lebih rendah untuk kejadian keterbatasan fisik pada aktifitas sehari-hari. Efek dari latihan
pada usia lanjut yang mengalami keterbatasan fisik tidak dapat dimodifikasi secara signifikan
oleh usia, jenis kelamin, indeks massa tubuh.94

Penelitian ini menyatakan bahwa ada hubungan antara aktifitas fisik dengan kejadian
keterbatasan fisik (p = 0,004). Penelitian yang dilakukan oleh Ambrosius sejalan dengan
penelitian yang lain dimana ia menggunakan akselerator dan didapatkan bahwa aktifitas fisik
yang sedang berhubungan dengan keterbatasan fisik dimana para lanjut usia status
kesehatannya meningkat (p = 0,001).94,95

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sugiharti tentang hubungan aktivitas fisik
dengan disabilitas diperoleh nilai p = 0,000, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan
yang bermakna antara aktifitas fisik dengan disabilitas. Dari hasil analisis diperoleh pula nilai
OR = 4,717, yang artinya responden yang kurang melakukan aktifitas fisik mempunyai
peluang 4,717 kali untuk mengalami disabilitas dibandingkan dengan responden yang cukup
melakukan aktifitas fisik.78

Pada penelitian yang dilakukan oleh Bean mendapatkan bahwa usia lanjut dengan
keterbatasan fisik sedang hingga berat kekuatan pada kaki merupakan predictor yang
signifikan untuk aktifitas fisik. Kekuatan dan ketahanan kaki berhubungan dengan aktifitas
fisik. Guralnik telah mendemonstasikan bahwa lanjut usia yang tidak beraktifitas memiliki
risiko untuk menjadi keterbatasan fisik. Pada penelitian ini menyatakan bahwa aktifitas fisik
berhubungan dengan keterbatasan fisik (p = 0,007).96

2.2.4.2 Perilaku Tidak Sehat (Unhealhty Behaviours)


Kebiasaan hidup yang tidak sehat berkaitan dengan kejadian disabilitas meliputi
frekuensi makan sayur dan buah, merokok, dan konsumsi alkohol. Konsumsi sayur dan buah,
dan merokok berkaitan dengan peningkatan kejadian disabilitas dan tidak ada hubungan yang
signifikan antara konsumsi alkohol dengan peningkatan kejadian keterbatasan fisik.13

Pada penelitian yang telah dilakukan Liu dkk. di Kanada terdapat perbedaan antara
merokok dan konsumsi alkohol dalam hubungannya terhadap keterbatasan fisik pada lansia.
Dan ternyata didapatkan tidak ada hubungan yang signifikan antara beratnya suatu
keterbatasan fisik dan merokok (OR = 0,90 95%; CI = 0,75 - 1,08) begitu juga dengan
konsumsi alkohol (OR = 0,76 95%; CI = 0,65 - 0,89) dalam analisis multivariatnya. Hal-hal
yang mempengaruhi perokok dan konsumsi alkohol yaitu berkaitan dengan pendapatan yang
tinggi, meningkatnya usia, aktif dalam pergaulan sosial perokok dan peminum alkohol.97

Pada penelitian yang dilakukan oleh Arun membandingkan antara konsumsi alcohol
dengan keterbatasan fisik yang dilakukan secara prospektif selama 5 tahun. Pada tahun
pertama tidak ditemukan perbedaan yang cukup signifikan anatar perempuan dan laki-laki.
Pada tahun kelima didapatkan bahwa perempuan (18%) lebih berpeluang untuk terjadi
keterbatasan fisik dibandingkan dengan laki-laki (14%) (p = 0,0002)98
Pada lansia, alkohol akan diproses lebih lambat sehingga efek alkohol akan lebih
mudah bermanifestasi. Alkohol akan menurunkan kendali dari otot yang akan meningkatkan
risiko lansia untuk jatuh dan dapat menyebabkan eksaserbasi penyakit-penyakit tertentu
seperti gangguan ingatan, gangguan hati, diabetes, dan gangguan jantung.97

Tidak ada hubungan langsung antara alkohol dengan keterbatasan fisik. Tetapi
penyalahgunaan alkohol dapat menyebabkan gangguan somatik seperti sirosis hepatis,
gangguan emosi, rasa cemas hingga gangguan berbicara dan mendengar yang menyebabkan
adanya keterbatasan fisik pada seseorang.99

WHO menyatakan, rokok membunuh lebih dari lima juta orang per tahun, dan
diproyeksikan akan membunuh sepuluh juta orang sampai tahun 2020, 70% angka tersebut
berasal dari negara berkembang. Lembaga demografi Universitas Indonesia mencatat, angka
kematian akibat penyakit disebabkan rokok tahun 2004 adalah 427.948 jiwa, berarti 1.172
jiwa per hari atau sekitar 2,25% dari total kematian di Indonesia.100

Perokok dikategorikan menjadi tiga, perokok ringan yaitu orang yang menghisap
kurang dari 10 batang rokok per hari, perokok sedang yaitu orang yang menghisap 10 - 20
batang rokok per hari, sedangkan perokok berat yaitu orang yang menghisap lebih dari 20
batang rokok per hari. Menghisap sebatang rokok berpengaruh besar terhadap kenaikan
tekanan darah karena pada dasarnya perokok menghisap CO (karbon monoksida) yang
berakibat berkurangnya pasokan O2 (oksigen) ke dalam jaringan tubuh. Gas CO mengikat
hemoglobin (Hb) yang terdapat dalam sel darah merah lebih kuat dibandingkan dengan
oksigen. Sel tubuh yang menderita kekurangan oksigen akan berusaha meningkatkan melalui
kompensasi pembuluh darah dengan jalan menciut atau spasme dan mengakibatkan
meningkatnya tekanan darah dan terjadinya proses aterosklerosis (penyempitan). Berdasarkan
penelitian Handajani, responden yang merokok ≥ 10 batang/hari akan mengalami disabilitas 2
kali lebih besar dibanding responden yang tidak merokok atau merokok < 10 batang/hari.44,101
Pada penelitian yang dilakukan oleh menunjukkan bahwa di antara orang dewasa
yang lebih tua di Prancis menunjukkan bahwa gaya hidup yang tidak sehat, yang ditandai
dengan ketidakaktifan fisik, makanan yang tidak sehat, dan merokok, dikaitkan dengan
bahaya keterbatasan fisik yang lebih besar, yang meningkat secara progresif dengan jumlah
perilaku tidak sehat (p < 0,001).13

Penelitian yang dilakukan oleh Tea di Finland dengan kohort selama 12 tahun
menyatakan bahwa merokok dan keterbatasan fisik berkontribusi cukup kuat terhadap
keterbatasan fisik. Diantara perokok pasif hanya 1 dari 20 yang berakhir dengan keterbatasan
fisik dibandingkan dengan 50 perokok berat yang sudah tidak aktif ataupun hanya kadang-
kadang saja. Dimana didapatkan perbedaan kurva yang cukup beda antara perokok pasif dan
perokok aktif ketika dilakukan follow up untuk dilihat apakah terjadi keterbatasan fisik atau
tidak. Dimana perokok berat memiliki keterbatasan fisik ketika di follow up. Pada penelitian
ini menyatakan bahwa didapatkan hubungan antara merokok dengan keterbatasan fisik (p =
0,0001).102

2.2.5 Dukungan Keluarga


Dukungan keluarga yang paling banyak diberikan adalah rasa dihormati dan dihargai,
sedangkan dukungan yang paling sedikit diberikan adalah motivasi. Sebagian besar keluarga
dapat menghargai dan menghormati lansia sebagai orang tua mereka. Keluarga masih sangat
kurang sekali memberikan dorongan dan motivasi kepada lansia untuk melakukan aktivitas di
luar rumah, hal ini disebabkan karena sikap proteksi yang berlebihan dari keluarga terhadap
lansia, seperti rasa takut terjatuh di luar rumah dan kelelahan. Keluarga menganggap lansia
tidak mampu lagi untuk beraktifitas di luar rumah, sedangkan mereka tidak punya waktu
untuk mendampingi karena kondisi mereka yang sibuk dengan urusan masing-masing.
Disamping itu kondisi ekonomi juga menghalangi keluarga untuk memberikan dukungan.
Lansia yang tidak mendapat dukungan keluarga dapat juga disebabkan karena beberapa hal,
seperti status janda/duda yang tinggal sendiri, tinggal bersama pasangan dan sudah hidup
terpisah dengan anak-anak yang sudah pergi merantau, dan tinggal berdampingan dengan
anak-anak tetapi sudah tidak mendapat perhatian lagi atau ditelantarkan. Hubungan orang
muda dan orang tua semakin renggang, kebutuhan yang melanda kaum muda hampir menyita
seluruh waktunya, sehingga mereka hanya memiliki sedikit untuk memikirkan orang tua.
Kondisi seperti ini menyebabkan kurangnya komunikasi antara orang tua dan anak,
kurangnya perhatian dan pemberian perawatan terhadap terhadap orang tua. Untuk
memperbaiki kualitas sumber daya manusia lanjut usia perlu mengetahui kondisi lanjut usia
dimasa lalu dan masa sekarang sehingga orang lanjut usia dapat diarahkan menuju kondisi
kemandirian.103
Pada penelitian David Russel di New York ditemukan dua hal menarik terhadap
dukungan keluarga dan domain yang mendukung. Yang pertama konsep dukungan sosial dari
anggota keluarga rendah pada lansia tanpa keterbatasan fisik. Yang kedua lansia dengan
keterbatasan fisik yang hidup sendiri dan kontak yang sedikit dengan keluarga disbanding
dengan lansia disertai keterbatasan fisik yang hidup dengan pasangannya. Di lain sisi lansia
tanpa keterbatasan fisik di observasi tidak ada perbedaan statistic yang signifikan. Pada
individu yang hidup sendri memiliki angka kesepian yang tinggi disbanding pada mereka
yang hidup dengan pasangan. Bagaimanapun relative risk kesepian lebih tinggi pada lansia
dengan keterbatasan fisik (b = 1.939, p ≤ 0,001) dibandingkan pada mereka yang tanpa
disabilitas (b = 0,795, p ≤ 0,001). Dimana hasil dari uji test mengungkapkan besarnya hidup
sendiri dan kesepian memiliki hubungan yang cukup signifikan ( p ≤ 0,001) pada lansia
dengan keterbatasan fisik. Kedua, lansia dengan keterbatasan fisik yang hidup dengan orang
lain atau pasangannya memiliki odds ratio yang tinggi. Pada penemuan ini tidak diobservasi
seberapa besar sampelnya tanpa keterbatasan fisik (p ≤ 0,001) . Melihat hasil dari lansia
dengan keterbatasan fisik, didapatkan 38% (t = 3.18, p ≤ 0,01) dimana didapatkan hubungan
antara keterbatasan fisik dengan dukungan keluarga dan didapatkan juga peningkatan risiko
yang berhubungan dengan hidup sendiri dibandingkan dengan dukungan keluarga dan tidak
didapatkan hubungan antara keterbatasan fisik dengan hidup bersama pasangan 21 % (t =
2.42, p ≤ 0,05).103,104
Flanagan berpendapat bahwa dukungan keluarga tidak berhubungan dengan
keterbatasan fisik dan kualitas hidup dari lansia (p = 0,15) . Menurut hasil yang didapat itu
mungkin saja karena hubungan keluarga tidak mempengaruh dan kurang memuaskan dari
hasil penelitian yang di dapat dan hubungan interpersonal lebih berpengaruh.105
Penelitian yang dilakukan oleh Carlos didapatkan bahwa dukungan keluarga dan
interaksi sosial tidak berhubungan dengan terjadinya keterbatasan fisik pada lansia dimana
tidak dipengaruhi usia,jenis kelamin,ras. Dukungan instrumental didapatkan berhubungan
dengan kejadian keterbatasan fisik tetapi interaksi sosial dengan anak-anak atau sana saudara
tidak berhubungan dengan berkurangnya risiko untuk terjadinya keterbatsan fisik. Dukungan
emosional tidak berhubungan dengan keterbatasan fisik tetapi efek protektif efek terhadap
aktifitas sehari-hari (ADL) justru ditemukan setelah melakukan control terhadap hubungan
dengan dukungan instrumental (p = 0,06).106
2.3 KERANGKA TEORI

Jenis Kelamin Usia


Tipe Daerah

Pekerjaan

Tingkat Pola konsumsi


Pendidikan

Sosiodemografi
Pendapatan Proses
Menua
Status gizi
Daya beli Kondisi sosial
ekonomi
Keterbatasan fisik pada
Status
lansia Status
Hipertensi
Aktivitas Diabetes
fisik Perilaku Mellitus

Dukungan Penyakit kronis Status


Keluarga Gangguan Sendi
Perilaku tidak
sehat Status Stroke
Status
Merokok, Penyakit Status
minum Jantung Osteoporosis
alkohol
2.4 Kerangka Konsep

Sosiodemografi:
-Usia
-Jenis Kelamin
-Kondisi Sosial Ekonomi

Status Gizi

PenyakitKronis:
-Status Diabetes Mellitus
Keterbatasan
-Status Penyakit Jantung Fisik
-Status Hipertensi
-Status Osteoartritis

-Aktivitas Fisik
Bab III
Metodologi Penelitian

3.1 Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitik dengan


pendekatan cross-sectional mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan
keterbatasan fisik pada lanjut usia pengunjung ke Puskesmas Kelurahan Duri Kepa
periode November 2017. Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian deskriptif
analitik karena selain memaparkan faktor-faktor yang berhubungan dengan
keterbatasan fisik, dilakukan pula analisis mengenai ada tidaknya hubungan antara
faktor tersebut dengan keterbatasan fisik.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Kelurahan Duri Kepa, Jakarta Barat
periode November 2017.
3.3 Populasi
3.1.1 Populasi Target
Seluruh lansia di Puskesmas Kelurahan Duri Kepa, Jakarta Barat.
3.1.2 Populasi Terjangkau
Seluruh pengunjung lansia di Puskesmas Kelurahan Duri Kepa, Jakarta Barat
pada bulan November 2017.
3.4 Kriteria Penelitian
3.4.1 Kriteria Inklusi
Semua lansia yang berkunjung ke Puskesmas Kelurahan Duri Kepa, Jakarta
Barat pada bulan November 2017.
3.4.2 Kriteria Eksklusi
 Lansia yang berkunjung ke Puskesmas Kelurahan Duri Kepa, Jakarta Barat yang
tidak bersedia menjadi responden

 Lansia yang berkunjung ke Puskesmas Kelurahan Duri Kepa, Jakarta Barat yang
tidak bisa membaca dan menulis.

 Lansia yang berkunjung ke Puskesmas Kelurahan Duri Kepa, Jakarta Barat yang
tidak mengisi kuesioner dengan lengkap.
3.5 Sampel
3.5.1 Besar Sampel
Perhitungan besar sampel berdasarkan rumus :

Keterangan :
n1 : Besar sampel
p : Proporsi variabel yang ingin diteliti.
q : 1-p
Z(α) : Tingkat batas kepercayaan, dengan α = 5 %
Didapat Z(α) pada kurva normal = 1,96
d2 : Kesalahan yang dapat ditolerir (10%)
n2 : Jumlah sampel ditambah substitusi 10% (substitusi adalah persen
responden yang mungkin drop out)

Maka didapatkan hasil perhitungan, Berdasarkan rumus di atas didapatkan


angka sebagai berikut :
(Zα)2 . p. q (1,96)2 . 0,482 . 0,518
n1 = -------------------- = ----------------------------- = 95,88
d2 0,01
Untuk menjaga kemungkinan adanya subjek penelitian yang drop out, maka dihitung :
n2 = n1 + (10% . n1)
= 95,88 + (0,1 . 95,88)
= 105,47 Dibulatkan menjadi 106 subjek penelitian.
Jadi, jumlah sampel yang dibutuhkan adalah 106 orang.
Tabel 3.1 Perhitungan Sampling untuk Setiap Variabel
Judul Penelitian/Lokasi/Peneliti/Tahun Variabel P n1

Artaud, Dugravot, Sabia, Singh Manoux, Usia 0,690 82


Tzourio, Elbaz. Unhealthy behaviours and
disability in older adults: three-city dijon
cohort study. Br Med J. 201313

Katz SJ, Kabeto M, Langa KM. Gender Jenis 0,538 96


disparities in the receipt of home care for kelamin
elderly people with disability in the United
State.2000.107

Tanjani PT, Akbarpour S, Ainy E, Soori H. Status 0,709 79


Socio - demographic risk factors of mobility kawin
dysfunction and limitations in physical
functioning disability among the elderly in
Iran : a nationwide cross sectional survey. J
Pak Med Assoc. 201331

Situmorang A, Sudaryati E, Siregar A. Status gizi 0,602 92


Hubungan karakteristik, gaya hidup, dan
asupan gizi dengan status gizi pada lansia di
wilayah kerja puskesmas aek habil kota
sibolga.(108)

Yenny, Herwana E. Prevalensi penyakit Penyakit 0,422 94


kronis dan kualitas hidup pada lanjut usia di kronis
Jakarta Selatan.2006.46

Wijayanti R. Hubungan tingkat aktifitas Aktivitas 0,708 79


fisik dengan tingkat kemandirian dalam fisik
activity daily living (ADL) pada lansia di
desa warugunung RW 02
karangpilang.2015.109
3.5.2. Teknik Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dalam penelitian menggunakan metode non probability
sampling dengan cara purposive sampling di Puskesmas Kelurahan Duri Kepa,
Jakarta Barat periode November 2017.
3.6 Identifikasi Variabel
Dalam penelitian ini digunakan variabel dependen (terikat) dan variabel
independen (tidak terikat).
3.6.1 Variabel Dependen
Variabel dependen pada penelitian ini berupa keterbatasan fisik pada lansia di
Puskesmas Kelurahan Duri Kepa, Jakarta Barat.
3.6.2 Variabel Independen
Variabel independen pada penelitian ini berupa usia, jenis kelamin, status
kawin, status gizi, penyakit kronis dan aktifitas fisik.
3.7 Cara Kerja
3.7.1 Mengumpulkan bahan ilmiah dari jurnal, konsensus, dan text book serta
merencanakan desain penelitian.
3.7.2 Menentukan sampel dengan teknik purpossive sampling.
3.7.3 Membuat kuesioner sebagai instrument pengumpulan data.
3.7.4 Melakukan uji coba kuesioner pada lansia yang berkunjung ke Puskesmas
Kelurahan Duri Kepa, Jakarta Barat pada bulan November 2017.
3.7.5 Melakukan koreksi kuesioner.
3.7.6 Menentukan besar sampel minimal yaitu 106 orang dari semua lansia yang
berkunjung ke Puskesmas Kelurahan Duri Kepa, Jakarta Barat pada bulan
November 2017.
3.7.7 Peneliti memohon izin kepada Kepala Puskesmas Kelurahan Duri Kepa untuk
diperbolehkan melakukan penelitian terhadap lansia yang berkunjung ke
Puskesmas Kelurahan Duri Kepa, Jakarta Barat pada bulan November 2017.
3.7.8 Melakukan pengumpulan data primer yang didapat melalui pengisian kuesioner
yang diisi oleh lansia yang berkunjung ke Puskesmas Kelurahan Duri Kepa,
Jakarta Barat pada tanggal 13 November 2017 dan 14 November 2017
3.7.9 Melakukan editing, verifikasi, coding, dan tabulasi terhadap data primer milik
subjek yang sudah dikumpulkan.
3.7.10 Melakukan pengolahan analisis dan interpretasi data dengan program statistical
package for social science (SPSS).
3.7.11 Penulisan laporan penelitian.
3.7.12 Pelaporan penelitian.
3.8 Teknik Pengelolaan Data, Analisis dan Penyajian Data
3.8.1 Pengumpulan data
a Sumber data
Sumber data terdiri dari data primer yang diambil melalui kuesioner,
berat badan dan tinggi badan.
b Instrumen Penelitian
Alat yang diperlukan:
 Kuesioner
 Kartu Tanda Penduduk
 Stadiometer merek Seca 703
 Timbangan merek Seca 703
3.8.2 Pengolahan Data
Terhadap data-data yang sudah dikumpulkan dilakukan pengolahan berupa p
roses editing, verifikasi, koding, dan tabulasi.
3.8.3 Penyajian Data
Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk tekstular dan tabuler.
3.8.4 Analisis Data
Data yang diperoleh telah dikumpulkan, diolah, disajikan lalu dianalisis
menggunakan program SPSS v.24.
3.8.5 Interpretasi Data
Data dinterpretasikan secara analitik antar variabel-variabel yang telah
ditentukan.
3.8.6 Pelaporan Data
Data disusun dalam bentuk laporan penelitian. Selanjutnya akan
dipresentasikan di hadapan staf pengajar Program Pendidikan Ilmu Kesehatan
Komunitas, Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
(UKRIDA) dalam forum pendidikan Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas
Kedokteran UKRIDA.
3.8.7 Etika Penelitian
Pada penelitian ini, subjek penelitian diberikan jaminan bahwa data-data yang
mereka berikan dijamin kerahasiaannya dan berhak menolak untuk menjadi
sampel.

3.9 Sarana Penelitian


3.9.1 Tenaga
Penelitian dilakukan oleh 4 orang mahasiswa kepaniteraan Ilmu Kedokteran
Masyarakat, dengan dibantu oleh satu orang pembimbing yaitu dosen IKM.
3.9.2 Fasilitas
Fasilitas yang tersedia berupa ruang perpusatakaan, ruang diskusi, lembar
kuesioner, computer, printer, program SPSS, internet, dan alat tulis.

3.10 Definisi Operasional


Di bawah ini adalah definisi operasional dari berbagai variabel yang kami teliti.
3.10.1 Keterbatasan fisik
Definisi : Keterbatasan atau kemampuan seseorang untuk melakukan
suatu kegiatan fisik yang dalam rentang normal sebagai
manusia.
Alat ukur : Indeks Barthel (IB)

Indeks Barthel merupakan suatu instrumen pengkajian yang


berfungsi mengukur kemandirian fungsional dalam hal perawatan diri dan
mobilitas serta dapat juga digunakan sebagai kriteria dalam menilai
kemampuan fungsional. Menggunakan 10 indikator, yaitu :
Aktifitas Nilai
Menyiapkan makanan
0 = Tidak bisa
5 = Membutuhkan bantuan untuk memotong, mengoles mentega, dll
10 = Mandiri
Mandi
0 = Dependen / Bergantung
5 = Independen / Mandiri
Berdandan
0 = Harus dibantu
5 = Mandiri mengurus wajah/rambut/gigi/mencukur
Berpakaian
0 = Dependen / Bergantung
5 = Membutuhkan bantuan tetapi dapat melakukan sebagian
10 = Mandiri (mengancing, membetulkan resleting, dan mengikat tali, dll)
Saluran pencernaan
0 = Inkontinensia atau harus diberikan pencahar
5 = Sesekali tidak dapat menahan rasa ingin buang air
10 = Kontinen (dapat menahan)
Saluran berkemih
0 = Inkontinensia
5 = Sesekali tidak dapat menahan rasa ingin buang air
10 = Kontinen (dapat menahan)
Penggunaan toilet
0 = Dependen / Bergantung
5 = Membutuhkan bantuan , tetapi dapat melakukan sesuatu sendiri
10 = Independen / Mandiri
Berpindah (dari tempat tidur ke kursi dan sebaliknya)
0 = Tidak bisa, tidak dapat duduk
5 = Membutuhkan bantuan besar (satu atau dua orang), bisa duduk
10 = Membutuhkan bantuan kecil (secara verbal atau fisik)
15 = Mandiri
Mobilitas (di dataran)
0 = Tidak bisa bergerak atau bergerak <50 meter
5 = Mandiri dengan kursi roda, bergerak >50 meter
10 = Berjalan dengan bantuan satu orang (verbal atau fisik), bergerak >50 meter
15 = Mandiri (tetapi dapat menggunakan alat bantu apapun, contoh : tongkat),
bergerak >50 meter
Menggunakan tangga
0 = Tidak bisa
5 = Membutuhkan bantuan (verbal, fisik)
10 = Mandiri
Sumber :[Diterjemahkan] Mahoney FI, Barthel D. Functional evaluation: the Barthel Index. Maryland State Med Journal
1965;14:56-61
Intertpretasi hasil :
 Ketergantungan total (0-20)
 Ketergantungan berat (21-60)
 Ketergantungan sedang (61-90)
 Ketergantungan ringan (91-99)
 Independen / mandiri (100)
Cara ukur : Peneliti mengisi form Indeks Barthel berdasarkan hasil
anamnesis menggunakan parameter yang ada didalam Indeks
Barthel. Pengisian dilakukan berdasarkan tingkat kemampuan
responden saat ini, bukan berdasarkan potensi yang dapat
dilakukan responden

Hasil Ukur : Kode 1. Ketergantungan penuh/total


Kode 2. Ketergantungan berat
Kode 3. Ketergantungan moderate
Kode 4. Ketergantungan ringan
Kode 5. Mandiri
Skala ukur : Kategorik – ordinal

Kategori Koding

Ketergantungan penuh 1
Ketergantungan berat 2
Ketergantungan moderate 3
Ketergantungan ringan 4
Mandiri 5

3.10.2 Usia
Definisi : Lama waktu hidup seseorang sejak dilahirkan hingga
penelitian dilakukan.
Alat Ukur : Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan kuisioner
Cara Ukur : Mengurangi tahun penelitian dengan tahun yang ada Kartu
Tanda Penduduk. Berdasarkan pada batasan usia menurut
Depkes RI, jika usianya 60 – 69 tahun dikategorikan sebagai
usia lanjut dengan risiko rendah, sedangkan jika usianya diatas
69 tahun maka dikategorikan sebagai usia lanjut dengan risiko
tinggi. Mencatat data yang didapat dari rekam medik pada
lembar pendataan.
Hasil Ukur : Kode 1. ≥ 70 tahun
Kode 2. 60 - 69 tahun
Skala Ukur : Kategorik –nominal
Kategori Koding

≥70 tahun 1
60 – 69 tahun 2

3.10.3 Jenis Kelamin


Definisi : Perbedaan bentuk, sifat dan fungsi biologi laki-laki dan
perempuan pada lanjut usia yang menentukan perbedaan peran
mereka dalam menyelenggarakan upaya meneruskan garis
keturunan.

Alat Ukur : Observasi visual

Cara Ukur : Melihat kuesioner yang telah diisi pada kolom jenis kelamin
yang tertulis atau mencatat data yang didapat dari Kartu Tanpa
Penduduk.

Hasil Ukur : Kode 1. Perempuan


Kode 2. Laki-laki
Skala Ukur : Kategorik – nominal

Kategori Koding

Perempuan 1
Laki-laki 2
3.10.4 Status Kawin
Definisi : Status responden yang datang berkunjung ke puskesmas
Kelurahan Duri Kepa berdasarkan riwayat pernikahan, sesuai
yang tercatat pada Kartu Tanpa Penduduk dan kuisioner.
Alat Ukur : Kuesioner dan KTP
Cara Ukur : Variabel ini diukur dengan wawancara melalui kuesioner dan
mencocokannya dengan KTP yang berlaku.
Hasil Ukur : Kode 1. Sendiri
Kode 2. Berpasangan

Kategori Koding

Sendiri 1
Berpasangan 2

3.10.5 Status gizi


Definisi : Gambaran perbandingan berat badan dan tinggi badan, dinilai
dari indeks massa tubuh dalam satuan kilogram/meter2. Dibagi
berdasarkan IMT, kurus apabila IMT < 18,5 kg/m2, normal bila
IMT 18,5 - 24,9 kg/m2, gemuk bila IMT ≥ 25 kg/m2.
Alat ukur : Timbangan injak dengan ketelitian 0,1 kg terkalibrasi dan
turquoise dengan ketelitian 0,05 cm.
Cara ukur : Pengukuran dilakukan di ruang poli Balai Pengobatan Umum
(BPU) dengan cara pertama menginjak timbangan injak tanpa
menggunakan alas kaki, penutup kepala ataupun membawa
barang. Setelah itu dilakukan pengukuran tinggi badan dengan
individu berdiri tegak sejajar bidang Frankfurt punggung,
bokong, betis dan kaki menempel pada tembok dan individu
berdiri tegak setelah itu dilakukan pengukuran. Setelah
mendapat hasilnya maka kita akan memasukkan ke dalam
rumus Indeks Massa Tubuh (IMT) = BB (kg) / TB2 (cm2).
Maka dari penilaian tersebut didapatkan hasilnya dan kita akan
kategorikan sesuai dengan IMT.
Skala ukur : Kategorik - ordinal
Hasil ukur : Jika didapatkan hasil IMT < 18,50 kg/m2 kurus dan ≥ 25,00
kg/m2 dikatakan gemuk, maka dikatakan tidak normal dan jika
IMT 18,50 – 24,99 kg/m2 maka dikatakan normal.

Kode 1. Tidak normal


Kode 2. Normal
Kategori Koding

Tidak normal 1
Normal 2

3.10.6 Penyakit kronis


Definisi : Penyakit yang membutuhkan waktu yang cukup lama, tidak
terjadi secara tiba-tiba atau spontan, dan biasanya tidak dapat di
sembuhkan dengan sempurna. Penyakit kronis sangat erat
hubungannya terhadap kecacatan dan timbulnya kematian.
Jenis penyakit: Diabetes mellitus, hipertensi, osteoartritis, dan gagal jantung
kronik
Alat ukur : Kuesioner & Rekam Medik
Cara Ukur : Peneliti mengisi checklist pada kolom penyakit kronis yang
telah tersedia pada kuesioner sesuai dengan rekam medik dan
pernyataan responden.

Skala ukur: Kategorik - ordinal


Hasil ukur : Kode 1. Sangat Berat : apabila 4 penyakit kronis
Kode 2. Berat : apabila 3 penyakit kronis
Kode 3. Sedang : apabila 2 penyakit kronis
Ringan : apabila 1 penyakit kronis
Tidak Sakit : apabila tidak ada penyakit kronis
Kategori Koding

Sangat berat 1

Berat 2

Sedang 3

Ringan 4

Tidak sakit 5

3.10.7 Aktivitas fisik


Definisi : Gerakan tubuh yang dilakukan seseorang oleh otot rangka
dimana membutuhkan energi untuk melakukannya.
Alat ukur : Kuesioner
Cara ukur : Peneliti mengisi checklist pada kolom pola aktivitas yang
telah tersedia pada kuesioner sesuai dengan pernyataan
responden.

Skala ukur : Kategorik - ordinal


Hasil ukur : Baik : apabila skor 25
Cukup : apabila skor 15-20
Kurang : apabila skor 5-10
Tidak ada : apabila skor 0

Koding : Kode 1. Aktivitas fisik tidak ada


Kode 2. Aktivitas fisik kurang
Kode 3. Aktivitas fisik cukup
Kode 4. Aktifitas fisik baik
Skala ukur : Kategorik - ordinal
Kategori Koding

Tidak ada 1
Kurang 2
Cukup 3
4
Baik
Bab IV

Hasil Penelitian

Dari penelitian yang dilakukan di Puskesmas Kelurahan Duri Kepa, Jakarta Barat
periode November 2017 didapatkan sampel sebanyak 114 orang usia lanjut. Hasil penelitian
ini kami sajikan dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 4.1. Sebaran Kejadian Keterbatasan Fisik pada Lansia di Puskesmas Kelurahan
Duri Kepa pada Bulan November 2017

Variabel Dependen Frekuensi (n=114) Persentase (%)


Kejadian Kerterbatasan Fisik pada Lansia
Keterbatasan Fisik 25 21.9
Mandiri 89 78.1

49
Tabel 4.2. Sebaran Usia, Jenis Kelamin, Status Kawin,Status Gizi, Penyakit Kronis, dan
Aktifitas Fisik pada Lansia di Puskesmas Kelurahan Duri Kepa pada Bulan November
2017

Variabel Independen Frekuensi (n=114) Persentase (%)


Usia
≥70 tahun 41 36.0
60 – 69 tahun 73 64.0
Jenis Kelamin
Perempuan 75 65.8
Laki-laki 39 34.2
Status Gizi
Berisiko 26 22.8
Tidak berisiko 88 77.2
Status Kawin
Sendiri 17 14.9
Berpasangan 97 85.1
Penyakit Kronis
Ada 95 83.3
Tidak ada 19 16.7
Aktivitas Fisik
Tidak ada 59 51.8
Ada 55 48.2

50
Tabel 4.3. Hubungan antara Usia, Jenis Kelamin, Status Kawin,Status Gizi, Penyakit
Kronis, dan Aktifitas Fisik pada Lansia di Puskesmas Kelurahan Duri Kepa pada
Bulan November 2017
Variabel Keterbatasan Fisik Lansia Total Uji Nilai H0
Keterbatasan Mandiri p
Fisik
Usia
≥70 tahun 17 24 41 Uji Chi- 0,000 Ditolak
square
60 – 69 tahun 8 65 73
Jenis Kelamin
Perempuan 23 52 75 Uji Chi- 0,004 Ditolak
square
Laki-laki 2 37 39
Status Gizi
Berisiko 5 21 26 Uji Chi- 0,913 Gagal
square ditolak
Tidak berisiko 20 68 88
Status Kawin
Sendiri 3 14 17 Uji 0,761 Gagal
Fisher ditolak
Berpasangan 22 75 97
Penyakit Kronis
Ada 24 71 95 Uji 0,069 Gagal
Fisher ditolak
Tidak ada 1 18 19
Aktivitas Fisik
Tidak ada 24 35 59 Uji Chi- 0,000 Ditolak
square
Ada 1 54 55

51
BAB V

Pembahasan

5.1 Analisis Univariat Distribusi Sebaran dari Kejadian Keterbatasan fisik pada Usia
Lanjut di Puskesmas Kelurahan Duri Kepa Bulan November 2017

Berdasarkan pada tabel 4.1 didapatkan bahwa sebaran kejadian keterbatasan fisik
pada Usia lanjut sebanyak 25 orang dari 114 sampel atau 21.9% usia lanjut menderita
keterbatasan fisik dan 89 orang dari 114 sampel atau 78.1% usia lanjut tidak menderita
keterbatasan fisik. Hasil dari penelitian ini didapatkan prevalensi keterbatasan fisik pada usia
lanjut di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Duri Kepa sebesar 21.9% dimana jika
dibandingkan dengan data Departemen Kesehatan tahun 2012 tentang keterbatasan fisik pada
lansia di Indonesia sebesar 14.86%, angka kejadian keterbatasan fisik pada penelitian ini
lebih kecil mungkin disebabkan oleh karena batasan yang dilakukan pada penelitian ini yaitu
wilayah kerja yang lebih kecil. Terlepas dari penyebab yang mendasarinya, angka kejadian
keterbatasan fisik pada usia lanjut di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Duri Kepa Bulan
November 2017 tergolong rendah.

5.2 Analisis Univariat Distribusi Sebaran usia, jenis kelamin, status kawin, status gizi,
penyakit kronis dan aktivitas fisik pada Usia lanjut di Puskesmas Kelurahan Duri Kepa
pada Periode November 2017

Berdasarkan pada tabel 4.2 didapatkan bahwa usia lanjut yang tergolong dalam usia
yang berisiko tinggi yaitu usia lanjut yang berusia ≥ 70 tahun jumlahnya lebih rendah
dibandingkan usia lanjut risiko rendah dalam kelompok umur 60 sampai 69. Jumlah usia
lanjut yang umurnya >69 tahun sebanyak 41 orang dengan persentase 36.0%, sedangkan usia
lanjut yang umurnya 60 sampai 69 tahun sebanyak 73 orang dengan persentase 64.0%.

Berdasarkan tabel 4.2 didapatkan bahwa usia lanjut dengan jenis kelamin perempuan
berjumlah lebih banyak dibandingkan dengan usia lanjut dengan jenis kelamin laki-laki.
Jumlah usia lanjut dengan jenis kelamin perempuan sebanyak 75 orang dengan persentase
65.8%, sedangkan usia lanjut dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 39 orang dengan
persentase 34.2% orang.

52
Berdasarkan tabel 4.2 didapatkan bahwa lebih banyak usia lanjut yang yang
berpasangan, jumlah usia lanjut yang berpasangan sebanyak 97 orang dengan persentase
85.1% dan yang dengan status kawin sendiri tanpa pasangan sebanyak 17 orang dengan
persentase 14.9%.

Beradasarkan dengan tabel 4.2 didapatkan bahwa lebih banyak usia lanjut yang
memiliki status gizi yang tergolong normal. Jumlah usia lanjut yang memiliki status gizi yang
tergolong berisiko sebanyak 22 orang dengan persentase 19,3%, jumlah usia lanjut yang
memiliki status gizi yang tergolong normal sebanyak 88 orang dengan persentase 77,2%, dan
jumlah usia lanjut yang memiliki status gizi yang tergolong lebih sebanyak 4 orang dengan
persentase 3,5%.

Berdasarkan pada tabel 4.2 didapatkan bahwa usia lanjut yang memiliki penyakit
kronik jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan usia lanjut yang tidak memiliki
penyakit kronik. Jumlah usia lanjut yang memiliki penyakit kronik sebanyak 95 orang dengan
persentase 83,3%, sedangkan usia lanjut yang tidak memiliki penyakit kronik sebanyak 19
orang dengan persentase 16,7%.

Berdasarkan pada tabel 4.2 didapatkan bahwa usia lanjut yang tidak memiliki aktifitas
fisik jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan usia lanjut yang ada aktifitas fisik. Jumlah
usia lanjut yang tidak ada aktifitas fisik sebanyak 59 orang dengan persentase 51,8%,
sedangkan usia lanjut yang ada aktifitas fisik sebanyak 55 orang dengan persentase 48,2%.

5.3 Analisis Bivariat antara Usia dengan Kejadian Keterbatasan Fisik pada Usia Lanjut
di Puskesmas Kelurahan Duri Kepa Periode November 2017

Sebaran usia pada penelitian ini dibagi menjadi 2 kategori yaitu usia 60 tahun atau
lebih dikategorikan sebagai Usia lanjut dengan risiko rendah, sedangkan usia 70 tahun atau
lebih dikategorikan sebagai usia lanjut dengan risiko tinggi. Pada penelitian ini dari 73 orang
pada kelompok kategori usia lanjut risiko rendah (usia 60 - 69 tahun) didapatkan orang
menderita keterbatasan fisik 8 orang dan 65 orang tidak menderita keterbatasan fisik.
Sedangkan dari 41 orang pada kelompok kategori usia lanjut dengan risiko tinggi (usia ≥ 70
tahun) didapatkan 17 orang menderita keterbatasan fisik dan 24 orang tidak menderita
keterbatasan fisik.

53
Hubungan usia dengan kejadian keterbatasan fisik pada usia lanjut berdasarkan tabel,
digabung dan diuji dengan uji Chi Square antara variabel usia dengan variabel keterbatasan
fisik didapatkan nilai p = 0.000 (p < 0.05) yang berarti H0 ditolak, ada hubungan yang
bermakna antara usia dengan kejadian keterbatasan fisik pada usia lanjut. Hal ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Alan menyatakan bahwa meningkatnya usia
berhubungan dengan peningkatan keterbatasan fisik (p < 0,05) dimana usia sangat tua
meningkatkan keadaan untuk terjadinya keterbatasan fisik. Sejalan dengan penelitian yang
dilakukan di US oleh Manini didapatkan populasi lanjut usia cenderung mengalami kejadian
keterbatasan aktivitas fisik yang terus meningkat dari hingga usia lebih dari 70 tahun tidak
dapat melakukan pekerjaan seperti berjalan, berlutut, menulis dan mengangkat beban.
Keterbatasan fisik jika dilihat dari gambaran usia maka memberikan gambaran tren yang makin
meningkat seiring dengan peningkatan umur. Hal ini menunjukkan keadaan secara alami terjadi
bahwa semakin meningkat usia, kecenderungan terjadi keterbatasan fisik juga makin
meningkat.16,18

5.4 Analisis Bivariat antara Jenis Kelamin dengan Kejadian Keterbatasan Fisik pada
Usia Lanjut di Puskesmas Kelurahan Duri Kepa Periode November 2017

Sebaran jenis kelamin pada usia lanjut pada penelitian ini dibagi menjadi 2 kategori,
yaitu perempuan dan laki-laki. Pada penelitian ini didapatkan dari 70 orang usia lanjut pada
kelompok perempuan 23 orang menderita keterbatasan fisik dan 52 orang tidak menderita
keterbatasan fisik. Sedangkan kelompok laki-laki usia lanjut didapatkan 39 orang dimana 2
orang menderita keterbatasan fisik dan 37 orang tidak menderita keterbatasan fisik.

Hubungan jenis kelamin pada usia lanjut dengan kejadian keterbatasan fisik pada usia
lanjut berdasarkan tabel, digabung dan diuji menggunakan chi square antara variabel jenis
kelamin dengan variabel keterbatasan fisik didapatkan nilai p = 0.004 (p < 0.05) yang berarti
H0 ditolak, ada hubungan jenis kelamin dengan keterbatasan fisik pada usia lanjut. Hal ini
dikarenakan perubahan kemampuan otot yang dipengaruhi oleh Pengeroposan tulang. Sistem
muskuloskeletal semakin menurun dan aktivitas sedang maupun berat akan sulit dilakukan.
Hal ini menyebabkan pergerakan terbatas dan kurang mandiri karena sulit berdiri, risiko jatuh
besar dan gerakan tubuh lambat. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Wei Chen
dimana terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan keterbatasan fisik (p = 0.05).23

54
5.5 Analisis Bivariat antara Status Kawin dengan Kejadian Keterbatasan Fisik pada
Usia Lanjut di Puskesmas Kelurahan Duri Kepa Periode November 2017

Sebaran status kawin pada usia lanjut pada penelitian ini dibagi menjadi 2 kategori,
yaitu sendiri dan berpasangan. Pada penelitian ini didapatkan dari 17 orang usia lanjut pada
kelompok sendiri 3 orang menderita keterbatasan fisik dan 14 orang tidak menderita
keterbatasan fisik. Sedangkan kelompok berpasangan usia lanjut didapatkan berpasangan 97
orang orang dengan 22 orang menderita keterbatasan fisik dan 75 orang tidak menderita
keterbatasan fisik.

Hubungan status kawin pada usia lanjut dengan kejadian keterbatasan fisik pada usia
lanjut berdasarkan tabel, digabung dan diuji menggunakan chi square antara variabel jenis
kelamin dengan variabel keterbatasan fisik didapatkan nilai p = 0.761 (p > 0.05) yang berarti
H0 gagal ditolak, tidak ada hubungan status kawin dengan kejadian keterbatasan fisik pada
usia lanjut. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Tami Saito yaitu tidak terdapat
hubungan status kawin berpasangan dengan keterbatasan fisik mereka yang hidup sendiri
jumlah yang keterbatasan fisik lebih sedikit dibandingkan dengan yang hidup berpasangan.
Penelitian ini menyatakan tidak ada hubungan antara status kawin dengan keterbatasan
fisik.34

5.6 Analisis Bivariat antara Status Gizi dengan Kejadian Keterbatasan Fisik pada Usia
Lanjut di Puskesmas Kelurahan Duri Kepa Periode November 2017

Sebaran status gizi pada usia lanjut pada penelitian ini dibagi menjadi 2 kategori,
yaitu berisiko dan tidak berisiko. Pada penelitian ini didapatkan dari 26 orang usia lanjut pada
kelompok berisiko 5 orang menderita keterbatasan fisik dan 21 orang tidak menderita
keterbatasan fisik. Sedangkan kelompok tidak berisiko didapatkan 88 orang dengan 20 orang
menderita keterbatasan fisik dan 88 orang tidak menderita keterbatasan fisik.

55
Hubungan status gizi pada dengan kejadian keterbatasan fisik pada usia lanjut
berdasarkan tabel, digabung dan diuji menggunakan chi square square antara variabel Status
gizi dengan variabel keterbatasan fisik didapatkan nilai p = 0.913 (p > 0.05) yang berarti H0
gagal ditolak, tidak ada hubungan status gizi dengan keterbatasan fisik pada usia lanjut. Hal
ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Yin Zhaoxue bahwa tidak ada hubungan antara
status gizi dengan keterbatasan fisik dimana indeks massa tubuh kurang 18,5 kg/m2 ataupun
lebih dari 20 kg/m2 dengan keterbatasan fisik untuk melakukan aktivitas sehari-hari baik itu
yang terjadi pada laki-laki ataupun perempuan (p > 0,05).43

5.7 Analisis Bivariat antara Penyakit Kronik dengan Kejadian Keterbatasan Fisik pada
Usia Lanjut di Puskesmas Kelurahan Duri Kepa Periode November 2017

Sebaran penyakit kronik pada usia lanjut pada penelitian ini dibagi menjadi 2
kategori, yaitu memiliki penyakit kronik atau tidak memiliki penyakit kronik. Pada penelitian
ini didapatkan dari 95 orang usia lanjut pada kelompok memiliki penyakit kronik 24 orang
menderita keterbatasan fisik dan 71 orang tidak menderita keterbatasan fisik. Sedangkan dari
19 orang usia lanjut pada kelompok tidak memiliki penyakit kronik 1 orang menderita
keterbatasan fisik dan 18 orang tidak menderita keterbatasan fisik.

Hubungan penyakit kronik dengan keterbatasan fisik pada usia lanjut berdasarkan
tabel, digabung dan diuji menggunakan fisher square antara variabel penyakit kronik dengan
variabel keterbatasan fisik didapatkan didapatkan nilai p = 0.069 (p > 0.05) yang berarti H0
gagal ditolak, tidak ada hubungan penyakit kronik dengan kejadian keterbatasan fisik pada
usia lanjut. Hal ini sama dengan penelitian Yenny yang mengatakan tidak ada hubungan
penyakit kronik dengan kejadian keterbatasan fisik.46

5.8 Analisis Bivariat antara Aktifitas Fisik dengan Kejadian Keterbatasan Fisik pada
Usia Lanjut di Puskesmas Kelurahan Duri Kepa Periode November 2017

Sebaran aktifitas fisik pada penelitian ini dibagi menjadi 2 kategori yaitu Ya untuk
usia yang melakukan aktifitas fisik dan Tidak ada untuk usia lanjut yang tidak melakukan
aktifitas fisik baik harian ataupun mingguan. Pada penelitian ini dari 59 orang pada kelompok
kategori yang tidak melakukan aktifitas fisik didapatkan 24 orang menderita keterbatasan
fisik dan 35 orang mandiri. Sedangkan dari 55 orang pada kelompok kategori usia dengan
aktifitas fisik didapatkan 1 orang menderita keterbatasan fisik dan 54 orang mandiri tanpa
keterbatasan fisik.

56
Hubungan aktifitas fisik dengan kejadian keterbatasan fisik pada usia lanjut
berdasarkan tabel, digabung dan diuji dengan uji Chi Square square antara variabel aktifitas
fisik dengan variabel keterbatasan fisik didapatkan didapatkan nilai p = 0.000 (p < 0.05) yang
berarti H0 ditolak maka ada hubungan yang bermakna antara keterbatasan fisik dengan
kejadian keterbatasan fisik pada usia lanjut. Hal ini dikarenakan mereka yang memiliki
tingkat latihan lebih tinggi memiliki risiko lebih rendah untuk kejadian keterbatasan fisik
pada aktifitas sehari-hari. Hal ini sejalan dengan penelitian Sugiharti dimana orang yang tidak
melakukan olah raga maupun melakukan olah raga tidak teratur akan mengalami keterbatasan
fisik 2,5 kali dibanding orang yang melakukan olahraga teratur.78

Penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Pennix (2015) yang
menyatakan bahwa ada hubungan antara aktifitas fisik dengan kejadian keterbatasan fisik (p
= 0,004). Penelitian yang dilakukan oleh Marco sejalan dengan penelitian yang lain dimana ia
menggunakan akselerator dan didapatkan bahwa aktifitas fisik yang sedang berhubungan
dengan keterbatasan fisik dimana para lanjut usia status kesehatannya meningkat (p =
0,001).87,94

57
Bab VI

Kesimpulan dan Saran


6.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan keterbatasan
fisik pada lansia di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Duri Kepa, Jakarta Barat dari hasil
statistik didapatkan bahwa usia mempunyai hubungan yang signifikan dengan keterbatasan
fisik pada lanisa (p value = 0.000), terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin
dengan keterbatasan aktivitas fisik (p value = 0.004) serta aktivitas fisik mempunyai
hubungan dengan keterbatasan fisik pada lansia (p value = 0.000). Sedangkan faktor-faktor
lain yang diteliti tidak mempunyai hubungan yang signifkan antara status gizi (p value =
0,913), status perkawinan (p value = 0,761), penyakit kronik (p value = 0,069) pada
pengunjung lansia di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Duri Kepa, Jakarta Barat.
6.2 Saran
6.2.1 Saran untuk institusi terkait
Perlunya peningkatan frekuensi penyuluhan dan pemberian informasi tentang
keterbatasan fisik pada lansia yang tepat oleh tenaga kesehatan Puskesmas maupun
kader posyandu setempat sebagai usaha pencegahan keterbatasan fisik pada lansia
Mengadakan publikasi tentang faktor-faktor apa yang dapat mempengaruhi
keterbatasan aktivitas fisik untuk masyarakat seperti membuat poster yang
ditempatkan di tempat-tempat strategis sehingga dapat dibaca
Mengkoordinasi dan menjalin kerjasama antara dokter, kader serta tenaga kesehatan
lainnya untuk dapat meningkatkan kesejahteraan lansia
6.2.2 Saran untuk pengunjung
Bagi seluruh pengunjung diharapkan dapat lebih meningkatkan pengetehuan akan
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keterbatasan fisik pada lansia sehingga
masyarakat dapat mengetahui risiko terjadinya keterbatasan fisik pada lansia agar
tercapai kesehatan yang memadai pada kelompok lansia.
Bagi masyarakat juga hendaknya tetap menyadari akan pentingnya keterbatasan fisik
pada lansia dan selalu mengkonsultasikan masalah keterbatasan fisik pada lanjut usia
kepada petugas kesehatan di puskesmas maupun posyandu, selain itu partisipasi
keluarga juga perlu ditingkatkan.

58
6.2.3 Saran untuk peneliti selanjutnya
Diharapkan peneliti selanjutnya agar dapat melanjutkan penelitian dengan kajian
variabel-variabel lain yang berbeda terkait dengan keterbatasan fisik pada lansia
Diharapkan peneliti selanjutnya agar dapat melanjutkan penelitian dengan metode
desain penelitian yang lainnya.
Diharapkan peneliti selanjutnya dapat melanjutkan penelitian ini sebagai data dasar
maupun sumbangan ide penelitian berikutnya.
6.3 Kelemahan peneliti
Dalam menyusun peneliti ini, masih banyak kelemahan dam kekurangan dari penulis
yaitu peneliti hanya mengungkapkan faktor tingkat usia, jenis kelamin, status
perkawinan, status gizi, adanya penyakit kronis dan aktivitas fisik yang berhubungan
dengan keterbatasan fisik pada lansia. Disatu sisi masih ada faktor lain seperti faktor
kondisi sosial ekonomi, dukungan keluarga, perilaku buruk seperti merokok dan
mengkonsumsi alkohol. Penelitian ini hanya mengungkap responden yang berada di
wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Duri Kepa, Jakarta Barat sehingga belum
digeneralisasikan secara luas.

59
Daftar Pustaka
1. Barbotte E, Guillemin F, Chau N, Group L. Prevalence of impairments , disabilities ,
handicaps and quality of life in the general population : a review of recent literature.
Bul World Heal Organ. 2001;79(11):1047–55.

2. WHO. World report on disability. WHO Libr catalouging Publ data. 2011;19–46.

3. Undang-undang no.13 tahun 1998. Indonesia; 1998.

4. Gambaran kesehatan lanjut usia di Indonesia. Pus Data dan Inf Kemenkes RI. Jakarta;
2013;27.

5. Diono A. Situasi penyandang disabilitas. Bul Jendela Data dan Inf Kesehat. 2014;1–
18.

6. Merdiasi D. Gambaran tuna daksa yang bekerja. J NOETIC Psychol. 2013;3:163–84.

7. Astriwi N. Pengaruh pemberian latihan beban dengan metode de lorme dan metode
oxford terhadap peningkatan kekuatan otot biceps brachii. 2014;1–19.

8. WHO. What are the main risk factors for disability in old age and how can disability
be prevented ? Heal Evid Netw. 2003;(September).

9. Abdulraheem IS, Oladipo AR, Amodu MO. Prevalence and Correlates of Physical
Disability and Functional Limitation among Elderly Rural Population in Nigeria. J
Aging Res. 2011;2011:1–13.

10. Suparyanto. Konsep ADL (activity daily living) [Internet]. STIKES. 2012. Diambil
dari: http://dr-suparyanto.blogspot.co.id/2012/02/kionsep-adl-activity-daily-living.html

11. Collin C, Wade D, Davies S, Horne V. The Barthel index of activities of daily living :
a reliability study. Int Disabil Stud. 1988;10(2):1–2.

12. Muljati S, Triwinarto A, Kristanto Y. Disabilitas pada lanjut usia menurut status gizi,
anemia, dan karakteristik sosiodemografi. J Pus Teknol Terap Kesehat dan Epidemiol
Klin. 2014;37(2):87–100.

13. Artaud, Dugravot, Sabia, Singh-Manoux, Tzourio, Elbaz. Unhealthy behaviours and
disability in older adults: three-city dijon cohort study. Br Med J. 2013;

60
14. Gupta P, Mani K, Rai SK, Nongkynrih B, Gupta SK. Functional Disability Among
Elderly Persons in a Rural Area of Haryana. Indian J Public Health. 2014;58(1).

15. Prizer LP, Gay JL, Gerst-emerson K, Froehlich-grobe K. The role of age in moderating
the association between disability and light-intensity physical activity. Am J Heal
Promot. 2016;30(3):101–10.

16. Manini T. Development of physical disability in older adults. Curr Aging Sci
[Internet]. Desember 2011;4(3):184–91. Diambil dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3868456/

17. Milanovic Z, Pantelic S, Trajkovic N, Sporis G, Kostic R, James N. Age-related


decrease in physical activity and functional fitness among elderly men and women.
Dove Press J Clin Interv Aging. 2013;(8):549–56.

18. Jette AM, Branch LG. The Framingham disability study : physical disabliity among
the aging. Am J Public Health. 1981;71(11):1211–6.

19. Wang H, Chen K, Pan Y, Jing F, Liu H. Associations and impact factors between
living arrangements and functional disability among older chinese adults. PLoS One.
2013;8(1):1–7.

20. Sipayung H, Babasari E. Gambaran aktivitas fisik pada wanita pascamenopause di


panti sosial tresna werdha khusnul khotimah Pekanbaru. E-Journal FK Riau.
2017;4(2):1–9.

21. Wardhani, Fauzia Y. Analisis hubungan gaya hidup dengan disabilitas dan kesehatan
mental. Lap Anal Lanjut Riskesdas Badan Litbang Kesehat. 2007;2(1):1–5.

22. Astuti, Didik B. Tingkat disabilitas fisik berdasarkan penyakit degeneratif yang
diderita menurut faktor sosial dan demografi. Kasjian Isu Publik dalam Formulasi
Kebijak Kesehat Puslitbang Sist dan Kebijak Kesehat. 2009;12(4):378–92.

23. Chen W, Fang Y, Mao F, Hao S, Chen J. Assessment of disability among the elderly in
Xiamen of China : a representative sample survey of 14 , 292 older adults. J Xiamen
state key Lab Mol Vaccinol Mol diagnostic. 2015;1–12.

24. Strandberg TE, Stenholm S, Strandberg AY, Salomaa V V, Pitkälä KH, Tilvis RS. The
“obesity paradox, ” frailty, disability, and mortality in older men : a prospective,

61
longitudinal cohort study. Am J Epidemiol. 2013;178(9):1452–60.

25. Ramsay SE, Whincup PH, Shaper AG, Wannamethee SG. The relations of body
composition and adiposity measures to III health and physical disability in elderly
men. Am J Epidemiol. 2017;164(5):459–69.

26. Oman D, Reed D, Ferrara A. Do elderly women have more physical disability than
men do ? Am J Epidemiol. 1999;150(8):834–42.

27. Kim DH, Newman AB, Lipsitz LA. Prediction of severe, persistent activity of daily
living disability in older adults. Am J Epidemiol. 2013;178(7):1085–93.

28. Clarke P, Ailshire JA, Bader M, Morenoff JD, House JS. Mobility disability and the
urban built environment. Am J Epidemiol. 2008;168(5):506–13.

29. Li M, Zhang Y, Zhang Z, Zhang Y, Zhou L, Chen K. Rural-urban differences in the


long-term care of the disabled elderly in China. PLoS One. 2013;8(11):1–7.

30. Aurélio R, Sampaio C, Yukari P, Sampaio S, Yamada M, Ogita M, et al. Urban-rural


differences in physical performance and health status among older Japanese
community-dwelling women. J Cliinical Gerontol Geriatr. Elsevier Taiwan LLC;
2012;3:127–31.

31. Tanjani PT, Akbarpour S, Ainy E, Soori H. Socio-demographic risk factors of mobility
dysfunction and limitations in physical functioning disability among the elderly in
Iran : a nationwide cross sectional survey. J Pak Med Assoc. 2013;1060–4.

32. Cobb LK, Godino JG, Selvin E, Kucharska-newton A, Coresh J, Koton S. Spousal
influence on physical activity in middle-aged and older adults the ARIC study. Am J
Epidemiol. 2016;183(5):444–51.

33. Schone BS, Weinick RM. Health-related behaviors and the benefits of marriage for
elderly persons. Gerontologist. 1998;38(5):618–27.

34. Saito T, Murata C, Aida J, Kondo K. Cohort study on living arrangements of older
men and women and risk for basic activities of daily living disability : findings from
the AGES project. BMC Geriatr. BMC Geriatrics; 2017;17:1–14.

35. Kiregu J, Murindahabi NK, Tumusiime D, Thomson DR. Socioeconomics and major

62
disabilities : characteristics of working-age adults in Rwanda. PLoS One. 2016;0–1.

36. Schmitz N, Nitka D, Gariepy G, Malla A, Wang JL, Boyer R, et al. Association
between neighborhood-level deprivation and disability in a community sample of
people with diabetes. Diabetes Care. 2009;32(11):1998–2004.

37. Coppin AK, Ferrucci L, Lauretani F, Phillips C, Chang M, Bandinelli S, et al. Low
socioeconomic status and disability in old age : evidence from the in Chianti study for
the mediating role of physiological impairments. J Gerontol. 2006;61A(1):86–91.

38. Khadr Z, Yount K. Differences in self-reported physical limitation among older


women and men in Ismailia, Egypt. J Gerontol. 2017;67(November):605–17.

39. Zoico E, Di Francesco V, M Guralnik J, Mazzali G, Bortolani A, Guariento S, et al.


Physical disability and muscular strength in relation to obesity and different body
composition indexes in a sample of healthy elderly women. International journal of
obesity and related metabolic disorders : journal of the International Association for
the Study of Obesity. 2004. 234-241 p.

40. S. Ford MD E, E. Cogswell DrPH M, William H. Dietz MD P, Davison K, S. Ford E,


E. Cogswell M, et al. Percentage of body fat and body mass index are associated with
mobility limitations in people aged 70 and older from NHANES III. Journal of the
American Geriatrics Society. 2002. 1802-1809 p.

41. Baumgartner RN, Koehler KM, Gallagher D, Romero L, Heymstleld SB, Ross RR, et
al. Epidemiology of sarcopenia among the elderly in New Mexico. Am J Epidemiol.
1998;147(8):755–63.

42. Matsunaga T, Naito M, Wakai K, Ukawa S, Zhao W, Okabayashi S, et al. Leisure-time


physical activity and risk of disability incidence : a 12-year prospective cohort study
among young elderly of the same age at baseline. J Epidemiol [Internet]. Elsevier Ltd;
2017;27(11):538–45. Diambil dari: http://dx.doi.org/10.1016/j.je.2016.11.004

43. Yin Z, Shi X, Kraus VB, Brasher MS, Liu Y, Lv Y, et al. Gender-dependent
association of body mass index and waist circumference with disability in the Chinese
oldest old. HHS Public Access. 2015;22(155):1918–25.

44. Handajani Y. Determinan disabilitas pada masyarakat lansia. 2006;13(2):83–98.

63
45. Darmojo B, Martono H. Ilmu kesehatan usia lanjut. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. 364-9 p.

46. Yenny H, Erly. Prevalensi penyakit kronis dan kualitas hidup pada lanjut usia di
Jakarta Selatan. Universa Med. 2006;25(4):164–71.

47. Noncommunicable disease [Internet]. WHO. 2014. Diambil dari:


http://www.who.int/topics/noncommunicable_diseases/en/

48. Sminkey L. Diabetes [Internet]. WHO. 2016. Diambil dari:


http://www.who.int/diabetes/en/

49. Consultation IDF. Definition and diagnosis of diabetes mellitus and intermediate
hyperglycaemia.

50. Achmad R, Agus Y, Alwi S, Asman M, Bowo P, Dharma L. Konsensus pengelolaan


dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia 2015. PB PERKENI. Jakarta;
2015;

51. Depkes. Pengertian diabetes melitus. Jakarta; 2008.

52. Maty S, Fried L, Volpato S, Williamson J, Brancati F, Blaum C. Patterns of disability


related to diabetes mellitus in older women. J Gerontol. 2004;59(2):148–53.

53. Hubungan faktor risiko umur, jenis kelamin, kegemukan dan hipertensi dengan
kejadian diabetes mellitus tipe I di wilayah kerja puskesmas Mataram. Bina Ilm.
2014;8(1):39–44.

54. Seok Won P, Bret G, Elsa S, Nathalie R, Tamara H, Ann S. Decreased muscle strength
and quality in older adults with type 2 diabetes. 2006;55:1813–8.

55. Chiu C-J, Wray LA, Ofstedal MB. Diabetes-related change in physical disability from
midlife to older adulthood: evidence from 1996-2003 survey of health and living status
of the elderly in Taiwan. NIH Public Access. 2012;91(3):413–23.

56. Gregg EW, Beckles G LA, Williamson DF, Leveille SG, Langlois JA, Engelgau MM,
et al. Diabetes and physical disability among older US adults. Diabetes Care.
2000;23(9):1272–7.

57. Songer TJ. Disability in Diabetes. Diabetes Am. Washington DC; 1995;261–80.

64
58. Arissa MI. Pola distribusi kasus osteoartritis di RSU Dokter Soedarso Pontianak
periode 1 januari 2008 - 31 desember 2009. Pontianak; 2012.

59. Haq I, Murphy E, Dacre J. Osteoarthritis. Postgard Med J. 2003;79:377–82.

60. Walker JL, Harrison TC, Brown A, Szanton SL. Factors associated with disability
among middle-aged and older African American women with osteoarthritis. HHS
Public Access. 2017;9(3):510–7.

61. Muraki S, Akune T, Nagata K, Ishimoto Y, Yoshida M, Tokimura F, et al. Association


of knee osteoarthritis with onset and resolution of pain and physical functional
disability: the ROAD study. Mod Rheumatol [Internet]. Taylor & Francis; 1 November
2014;24(6):966–73. Diambil dari: http://dx.doi.org/10.3109/14397595.2014.883055

62. Steinhilber B, Haupt G, Miller R, Grau S, Janssen P, Krauss I. Stiffness, pain, and hip
muscle strength are factors associated with self-reported physical disability in hip
osteoarthritis. J Geriatr Phys Ther. 2014;37:99–105.

63. Kurniawan F. Hubungan antara kualitas nyeri dengan kemampuan aktivitas fungsional
penderita osteoartritis lutut naskah publikasi. Muhammadiyah Surakarta; 2016.

64. Brooks PM. Impact of osteoarthritis on individuals and society: how much disability ?
social consequences and health economic implications. Curr Opin Rheumatol.
2002;14(5):573–7.

65. Steultjens MPM, Dekker J, Baar ME Van, Oostendorp RAB, Bijlsma JWJ. Range of
joint motion and disability in patients with osteoarthritis of the knee or hip.
Rheumatology. 2000;39:955–61.

66. Pradipta EA, Arifputera A, Calistania C, Klarisa C, Priantono D, Wardhani DP, et al.
Kapita Selekta Kedokteran. IV. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA, editor.
Jakarta: Media Aesculapsius; 2014. 388-389 p.

67. Sari MAP, Kristiana IW, Ayu K NLPM. Gambaran faktor-faktor determinan pada
pasien hipertensi di desa Sudimara kecamatan Tabanan, kabupaten Tabanan mei 2010.
2010;8.

68. Brookes L. The updated WHO/ISH hypertension guidelines. Medscape Cardiol. 2004;

65
69. Stroke [Internet]. WHO. 2013. Diambil dari: http://www.who.int/topics/stroke/en/

70. Ekowati R, Sulistyowati T. Prevalensi hipertensi dan determinannya di Indonesia.


Badan Maj Kedokt Indones. 2009;59(12):580–7.

71. Seng L, Seow E, Subramaniam M, Abdin E, Vaingankar JA, Chong SA. Hypertension
and its associated risks among Singapore elderly residential population. J Clin
Gerontol Geriatr. Elsevier Taiwan LLC; 2015;6:125–32.

72. Damping, CE HD. Implikasi klinis depresi pada lanjut usia : teori terkini. Kongr Nas
Gerontol. 2003;

73. Darmojo B, Parsudi, Imam A. Ginjal dan hipertensi. Buku ajar geriatri (ilmu kesehatan
usia lanjut). Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1999.

74. Stevens A, Courtney-long E, Gillespie C, Armour BS. Hypertension among US adults


by disability status and type, national health and nutrition examination survey, 2001-
2010. Public Heal Res Pract Policy. 2014;11(3):1–6.

75. Qian J, Ren X. Association between comorbid conditions and BADL/IADL disability
in hypertension patients over age 45. Qian Ren Med. 2016;95(31):1–7.

76. Hu G, Barengo C, Tuomilehto J, Lakka TA, Nissinen A, Jousilahti P. Relationship of


physical activity and body mass index to the risk of hypertension : a prospective study
in Finland. J Am Hear Assoc. 2003;43:25–30.

77. Hajjar I, Lackland D, Cupples LA, Lipsitz LA. The association between concurrent
and remote blood pressure and disability in older adults. NIH Public Access.
2008;50(6):1026–32.

78. Sugiharti, Lestary H. Keterbatasan fisik pada lanjut usia di Indonesia tahun 2007.
2011;2(1):39–48.

79. Sidharta P. Neurologi klinis dalam praktek umum. Jakarta: Dian Rakyat; 2012. 260-94
p.

80. Luengo-fernandez R, Paul NLM, Gray AM, Sarah T, Bull LM, Welch SJ V, et al. A
population-based study of disability and institutionalisation after TIA and stroke : 10-
year results of the Oxford Vascular Study. Eur PMC Funders Gr. 2016;44(10):2854–

66
61.

81. Burke JF, Freedman VA, Lisabeth LD, Brown DL. Racial differences in disability
after stroke Results from a nationwide study. Am Acad Neurol. 2014;83(5):390–7.

82. Hellstrom K, Lindmark B, Wahlberg B, Fugl-meyer AR. Self-efficacy in relation to


impairments and activities of daily living disability in elderly patients with stroke : a
prospective investigation. J Rehabil Med. 2003;35:202–7.

83. Poltawski L, Allison R, Briscoe S, Freeman J, Kilbride C, Neal D, et al. Assessing the
impact of upper limb disability following stroke : a qualitative enquiry using internet-
based personal accounts of stroke survivors. Disabil Rehabil an Int Multidiscip J.
2016;38(10):945–51.

84. Nurhayati S. Analisis faktor risiko kejadian disabilitas fisik pada lansia di kecamatan
punung kabupaten pacitan tahun 2014. [Semarang]: Universitas Negeri Semarang;
2014.

85. Harrington D, Anker SD, Chua TP, Webb-peploe KM, Ponikowski PP, Poole-wilson
PA, et al. Skeletal muscle function and its relation to exercise tolerance in chronic
heart failure. J Am Coll Cardiol [Internet]. Elsevier Masson SAS; 1997;30(7):1758–
64. Diambil dari: http://dx.doi.org/10.1016/S0735-1097(97)00381-1

86. Mithal M, Mann WC, Stone JH. Functional limitation and disability associated with
congestive heart failure. Phys Occup Ther Geriatr [Internet]. Taylor & Francis; 1
Januari 2001;18(3):45–56. Diambil dari: http://dx.doi.org/10.1080/J148v18n03_03

87. Newman AB, Simonsick EM, Naydeck BL, Boudreau RM, Kritchevsky SB, Nevitt
MC, et al. Association of long-distance corridor walk performance with mortality,
cardiovascular disease, mobility limitation, and disability. J Am Med Assoc.
2006;295(17):2018–26.

88. Brochu M, Savage P, Lee M, Dee J, Cress ME, Poehlman ET, et al. Effects of
resistance training on physical function in older disabled women with coronary heart
disease. J Appl Physiol. 2002;92:672–8.

89. Welmer A, Angleman S, Rydwik E, Fratiglioni L, Qiu C. Association of


cardiovascular burden with mobility limitation among elderly people : a population-

67
based study. PLoS One. 2013;8(5):1–7.

90. Physical activity [Internet]. WHO. 2013. Diambil dari:


http://www.who.int/topics/physical_activity/en/

91. Sianturi E. Strategi pencegahan hipertensi esensial melalui pendekatan faktor risiko di
RSU dr. Pirngadi kota Medan [Internet]. 2004. hal. 10–64,91. Diambil dari:
http://repository.usu.ac.id/

92. Handajani, Suzy Y. Indeks pengukuran keterbatasan fisik dan prediksi kualitas hidup
pada masyarakat lanjut usia di DKI Jakarta (suatu upaya memperkirakan kemandirian
lanjut usia). [Depok]: Universitas Indonesia; 2006.

93. Nelson ME, Rejeski WJ, Blair SN, Duncan PW, Judge JO, King AC, et al. Physical
activity and public health in older adults: recommendation from the American College
of Sports Medicine and the American Heart Association. Am Coll Sport Med.
1995;1435–45.

94. Penninx BW, Messier SP, Rejeski WJ, Williamson JD, DiBari M, Cavazzini C, et al.
Physical exercise and the prevention of disability in activities of daily living in older
persons with osteoarthritis. J Am Med Assoc Intern Med. 2015;161(19):2309–16.

95. Bonds DE, Church TS, Espeland MA, Fielding RA, Gill TM, Groessl EJ, et al. Effect
of structured physical activity on prevention of major mobility disability in older adults
the LIFE study randomized clinical trial. J Am Med Assoc. 2014;311(23):2387–96.

96. Bean JF, Kiely DK, Herman S, Leveille SG. The relationship between leg power and
physical performance in mobility-limited older people. J Am Geriatr Soc.
2002;50:461–7.

97. Liu F, Woodrow J, Loucks-atkinson A, Buehler S, West R, Wang PP. Smoking and
alcohol consumption patterns among elderly Canadians with mobility disabilities.
BMC Res Notes [Internet]. BMC Research Notes; 2013;6(1):1. Diambil dari: BMC
Research Notes

98. Karlamangla AS, Sarkisian CA, Kado DM, Dedes H, Liao DH, Kim S, et al. Light to
moderate alcohol consumption and disability : variable benefits by health status. Am J
Epidemiol. 2009;169(1):96–104.

68
99. Samokhvalov A V, Popova S, Room R, Ramonas M, Rehm J. Disability associated
with alcohol abue and dependence. NIH Public Access. 2011;34(11):1871–8.

100. Haryono, Laras. Studi deskriptif penyakit kronis, faktor perilaku dan lingkungan pada
keterbatasan fisik dan kualitas hidup lansia peserta posbindu puskesmas Pancoran Mas
kota Depok. [Depok]: Universitas Indonesia; 2008.

101. Sugiarto A. Faktor-faktor risiko hipertensi grade II pada masyarakat (studi kasus di
kabupaten Karanganyar). 2007;29–50, 90–126. Diambil dari:
http://eprints.undip.ac.id/,20

102. Lallukka T, Rahkonen O, Lahelma E, Lahti J. Joint associations of smoking and


physical activity with disability retirement : a register-linked cohort study. Br Med J.
2015;1–10.

103. Russell D. Living Arrangements, Social Integration, and Loneliness in Later Life: The
Case of Physical Disability. J Health Soc Behav [Internet]. SAGE Publications; 1
Desember 2009;50(4):460–75. Diambil dari:
https://doi.org/10.1177/002214650905000406

104. Pelayanan kesehatan mental dalam hubungannya dengan disabilitas dan gaya hidup
masyarakat Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Humaniora dan
Manajemen Kesehatan. 2016.

105. Levasseur M, Desrosiers J, Noreau L. Is social participation associated with quality of


life of older adults with physical disabilities? Disabil Rehabil [Internet]. Taylor &
Francis; 21 Oktober 2004;26(20):1206–13. Diambil dari:
http://dx.doi.org/10.1080/09638280412331270371

106. Mendes de L, Gold D, Glass T, Kaplan L, George L. Disability as a function of social


networks and support in elderly Africans Americans Whites. J Gerontol.
2001;56(3):179–90.

107. SJ K, Kabeto M, KM L. Gender disparities in the receipt of home care for elderly
people with disability in the united states. JAMA [Internet]. 20 Desember
2000;284(23):3022–7. Diambil dari: http://dx.doi.org/10.1001/jama.284.23.3022

108. Situmorang A, Sudaryati E, Siregar MA. Hubungan karakteristik, gaya hidup, dan

69
asupan gizi dengan status gizi pada lansia di wilayah kerja puskesmas aek habil kota
Sibolga. J Gizi Kesehat Reproduksi dan Epidemiol. 2014;1(3):1–8.

109. Wijayanti R, Satya D, Suhardiningsih S, Nurlela L. Hubungan tingkat aktivitas fisik


dengan tingkat kemandirian dalam activity of daily living (ADL) pada lansia di desa
Warugunung RW 02 Karangpilang Surabaya. STIKES Hang Tuah; 2015.

70

Anda mungkin juga menyukai