Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Keterbatasan fisik merupakan suatu bagian dalam disabilitas yaitu pembatasan atau
ketidakmampuan untuk melakukan suatu kegiatan fisik dengan cara atau dalam rentang
dianggap normal bagi manusia yang sebagian besar karena penurunan kemampuan.
Keterbatasan fisik dapat diklasifikasikan menjadi keterbatasan pada Activities of Daily Living
(ADLs), seperti aktivitas makan, mandi, ke WC, membersihkan kamar dan Instrumental
Activities of Daily Living (IADLs) seperti mengangkat telepon, pergi berbelanja dan
menyiapkan makanan. Kejadian keterbatasan fisik ditemukan sangat meningkat pada lanjut
usia khususnya pada kelompok lanjut usia lebih dari 75 tahun. Menurut World Health
Organization (WHO) perkiraan jumlah lanjut usia di seluruh dunia mencapai 8% dari seluruh
populasi dunia dan diprediksikan akan meningkat tiga kali lipat pada tahun 2050 diamana
negara–negara berkembang merupakan penyumbang terbesar pada populasi lanjut usia
tersebut. WHO menilai persentase lanjut usia yang mengalami keterbatasan fisik ditemukan
lebih dari 10% pada kelompok usia 65-74 tahun dan lebih dari 30% pada kelompok usia ≥75
tahun. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia menetapkan,
bahwa batasan umur lanjut usia di Indonesia adalah 60 tahun ke atas. 1–3
Pada tahun 2012 menurut survei sosial ekonomi nasional (Susenas) badan pusat
statistik RI, jumlah lanjut usia tahun 2012 telah mencapai di atas 7% dari total seluruh
penduduk di Indonesia dengan persentase lanjut usia yang berjenis kelamin perempuan
sebanyak 8,2% dan laki–laki sebanyak 6,9% serta lanjut usia yang tinggal di daerah pedesaan
lebih tinggi dari pada yang tinggal di perkotaan.. Dengan bertambahnya umur, fungsi
fisiologis mengalami penurunan akibat proses degeneratif (penuaan) sehingga keterbatasan
fisik dan penyakit tidak menular banyak muncul pada usia lanjut. Persentase kejadian
disabilitas fisik pada lanjut usia di Indonesia menurut Susenas pada tahun 2012 ditemukan
sebanyak 14,86% dari seluruh lanjut usia di Indonesia. Berdasarkan penemuan tersebut
didapatkan peningkatan persentase kejadian disabilitas sebanyak 2,98% dari hasil sensus oleh
badan pusat statistik RI pada tahun 2010 sebanyak 11,88%. Menurut Susenas 2012 masalah
disabilitas sering ditemukan pada lanjut usia. Selain itu masalah degeneratif menurunkan
daya tahan tubuh sehingga rentan terkena infeksi penyakit menular. Angka kesakitan lanjut
usia pada tahun 2012 didapatkan sebesar 26,93%. Penyakit pada lanjut usia sering berbeda
dengan dewasa muda, karena penyakit pada lanjut usia merupakan gabungan dari kelainan-
kelainan yang timbul akibat penyakit dan proses menua, yaitu proses menghilangnya secara
perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri serta
mempertahankan struktur dan fungsi normalnya, sehingga tidak dapat bertahan terhadap
penyakit (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita.4,5
Tingginya angka kejadian disabilitas pada lanjut usia dapat disebabkan berbagai
faktor seperti usia, jenis kelamin, kondisi sosial ekonomi, status gizi, penyakit kronis,
aktivitas fisik, serta dukungan keluarga. Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti
melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keterbatasan fisik pada lanjut
usia di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Duri Kepa, Jakarta Barat pada bulan November
2017.
1.3 Hipotesis
Terdapat hubungan antara usia, jenis kelamin, status kawin, kondisi sosial ekonomi,
status gizi, dukungan keluarga, penyakit kronis dan aktivitas fisik dengan keterbatasan fisik
pada lanjut usia di wilayah kerja Puskesmas kelurahan Duri Kepa, Jakarta Barat pada bulan
November 2017.
1.4 Tujuan
1.4.1 Tujuan Umum :
Mengetahui faktor - faktor yang berhubungan dengan keterbatasan fisik pada lanjut
usia di Puskesmas Keluharan Duri Kepa pada bulan November 2017.
1.4.2 Tujuan Khusus :
a) Diketahuinya sebaran kejadian keterbatasan fisik pada lanjut usia di wilayah
kerja Puskesmas kelurahan Duri Kepa pada lanjut usia bulan November 2017.
b) Diketahuinya sebaran usia, jenis kelamin, status kawin, kondisi sosial
ekonomi, status gizi, dukungan keluarga, penyakit kronis dan aktivitas fisik
pada lanjut usia di wilayah kerja Puskesmas kelurahan Duri Kepa pada lanjut
usia bulan November 2017.
c) Diketahuinya hubungan usia, jenis kelamin, status kawin, kondisi sosial
ekonomi, status gizi, dukungan keluarga, penyakit kronis dan aktivitas fisik
pada lanjut usia di wilayah kerja Puskesmas kelurahan Duri Kepa pada lanjut
usia bulan November 2017.
Tinjauan Pustaka
2.1.1 Definisi
Manusia adalah makhluk yang bergerak, karena proses hidup seseorang tidak akan
terjadi tanpa adanya gerakkan. Ketidakmampuan seseorang untuk menggerakkan tubuhnya
merupakan masalah yang berat karena mengganggu aktivitas sehari-hari. Keterbatasan fisik
dapat terjadi pada siapa saja, kapan saja, dimana saja dan dengan cara apa saja. Kehilangan
fungsi salah satu anggota tubuh dapat disebabkan karena penyakit, kecelakaan, ataupun
faktor genetik.6,7
Lanjut usia merupakan kejadian yang pasti akan dialami oleh semua orang yang
dikaruniai usia panjang dan terjadinya tidak bisa dihindari oleh siapapun. Menurut Undang–
Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia menyebutkan bahwa
lanjut usia adalah seseorang berusia 60 tahun keatas. Lansia akan mengalami berbagai
kemunduran pada organ tubuh yang berpengaruh terhadap kondisi fisik. Kondisi fisik
seseorang yang sudah memasuki masa lansia mengalami penurunan yang dapat menimbulkan
gangguan dan kelainan fungsi fisik, psikologik maupun sosial, yang selanjutnya dapat
menyebabkan suatu keadaan ketergantungan kepada orang lain. Menurut WHO dalam Padila,
lansia dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu: Usia pertengahan (middle age) : usia 45-59
tahun,lanjut usia (elderly) : usia 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) : usia 75-90 tahun, usia
sangat tua (very old) : usia di atas 90 tahun.3,8,9
Keterbatasan fisik pada lanjut usia adalah kesulitan-kesulitan pada satu atau lebih
kegiatan dasar untuk merawat diri sendiri, hal ini sering kali disebut dengan istilah physical
activities of daily living atau PADL (mandi, berpakaian, kebersihan diri, pengawasan diri,
makan, berpindah dari kursi ke tempat tidur) atau satu atau lebih instrumental activities of
daily living atau IADL (menggunakan telepon, belanja, menyiapkan makanan, melakukan
pekerjaan rumah, mencuci pakaian, menggunakan transportasi umum, menggunakan obat,
mengatur keuangan). Keterbatasan fisik mobilitas seringkali digunakan sebagai hasil yang
dinilai dalam suatu studi epidemiologi karena kemampuan untuk bergerak sangat penting
untuk setiap aktifitas mandiri. Sekitar 20% dari orang-orang berusia 70 tahun atau lebih dan
50% orang-orang berusia 85 tahun atau lebih dilaporkan memiliki kesulitan dengan PADL.
Prevalensi dari beragam keterbatasan fisik semakin meningkat seiring dengan meningkatnya
usia, angka kejadian ini lebih tampak setelah mencapai usia 70 tahun dan menyebabkan
adanya kebutuhan untuk pertolongan, terutama setelah usia 80 tahun.9,10
Keterbatasan fisik yang dapat ditemukan dirangkum menjadi ADL (Activities of Daily
Living) feeding, bathing, dressing, grooming, toileting, bladder control, bowel control,
transferring from bed to chair, walking, and stair climbing. Faktor yang menyebabkan
keterbatasan fisik pada lanjut usia di Indonesia adalah tempat tinggal, umur, status
perkawinan, pendidikan, penyakit jantung, diabetes, gangguan sendi, hipertensi, merokok,
status ekonomi dan aktivitas fisik. Untuk menilai keterbatasan fisik pada seseorang,
digunakan suatu alat yang dapat menilai keterbatasan fisik secara kuatitatif, salah satunya
adalah indeks Barthel. Indeks ini mengukur fungsi seseorang dalam hal merawat diri dan
mobilisasi. Total nilai yang mungkin berkisar dari 0 – 100, dengan nilai rendah
mengindikasikan adanya keterbatasan fisik yang berat. Interpretasi jumlah indeks Barthel
dikelompokkan menjadi dependen total (0-20), dependen berat (21-60), dependen sedang
(61-90), dependen ringan (91-99), dan independen / mandiri (100).8,10–12
Kondisi komorbid yang berhubungan dengan keterbatasan fisik yaitu adanya penyakit
muskuloskeletal, neurodegenatif, dan psikologik sebagai dasarnya dimana banyak ditemui
pada wanita daripada pria. Dengan penghasilan konsumsi alkohol dan BMI yang rendah juga
berhubungan dengan keterbatasan fisik pada wanita. Osteoartritis merupakan penyakit kronik
pada usia tua dimana proporsi terbesar pada wanita dan menyebabkan keterbatasan fisik pada
wanita dan pria.20,21
Penelitian yang dilakukan oleh Wei Chen di China mengatakan bahwa pengembangan
manajemen kesehatan dan perawatan lansia memiliki peran penting untuk mengurangi angka
keterbatasan fisik pada lansia secara individual. Pada Chinese Longitudinal Healthy
Longevity Survey (CLHLS) dapat dilihat mandiri sempurna ketika mandi didefinisikan jika
lansia baik pria maupun wanita dapat menggosok beberapa bagian tubuhnya sendiri dan
membutuhkan bantuan lebih dari satu untuk bagian yang lain. Pada Studi y Ralph yang
dilakukan di Amerika juga menggunakan beberapa penilaian untuk menilai keterbatasan fisik
pada lansia, yang mengatakan bahwa keterbatasan fisik merupakan ketidakmampuan
seseorang untuk melakukan satu atau dua aktivitas sehari-hari (ADL). Hasil penelitian dari
14292 orang di china yang terdiri dari 6888 pria dan wanita 7404 dimana yang mengalami
keterbatasan fisik 228 (3,35%) pria dan 382 (5,16%) wanita. Berdasarkan penelitian ini
secara statistik menunjukan bahwa adanya hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian
keterbatasan fisik (p = 0,05).23
Pada penelitian yang dilakukan oleh Sheena dengan melakukan kohort pada pria di
Inggris berusia 60-70 tahun dengan melakukan pemeriksaan hubungan antara indeks lemak
tubuh,indeks massa tubuh dan lemak tubuh terhadap keterbatasan fisik. Dimana indeks lemak
tubuh dan, indeks massa tubuh memiliki hubungan terhadap keterbatasan fisik dan penyakit
kronis seperti penyakit jantung, diabetes, penyakit sendi, hipertensi dan resistensi insulin.
Hasil dari penelitian ini yaitu bahwa 30% pria memiliki keterbatasan fisik dimana indeks
masa tubuh memperlihatkan hubungan dengan keterbatasan fisik (p = 0,03). Berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh Timo ia melakukan penelitian prospektif jangka Panjang
dengan indikasi prognosis kesehatan yang baik dengan menjaga berat badan yang normal.
Dimana hasilnya tidak ada hubungan yang signifikan secara statistic diantara jenis kelamin
dengan kejadian keterbatasan fisik (p = 0.70).24,25
Suatu penelitian yang dilakukan Doug dan Dwayne ingin membuktikan bahwa jenis
kelamin tidak berhubungan dengan kejadian keterbatasan fisik. Hasil dari penelitian mereka
memperlihatkan prevalensi terjadinya faktor risiko terjadinya keterbatasan fisik, dimana
perempuan memiliki hasil yang lebih rendah untuk obesitas dan konsumsi alcohol dan
memiliki aktifitas sosial yang lebih tinggi. Pria secara umum memiliki rerata yang tinggi
untuk aktivitas dan aktivitas di luar rumah secara signifikan menurunkan rerata penyakit
kronik dan gangguan penglihatan dan menurunkan angka depresi. Dalam keadaan latihan
yang rendah,sedikit aktifitas sosial, obesitas dan memori yang buruk itu semua akan
meningkatkan kejadian keterbatasan fisik secara signifikan. Di lain hal aktivitas di luar dan
konsumsi alcohol berhubungan dengan pemulihan. Tidak ada variabel yang secara signifikan
berhubungan dengan jenis kelamin (p = 0,01). Sejalan dengan penelitian yang dilakukan
Dwayne, Anne juga menemukan bahwa jenis kelamin tidak berhubungan dengan
keterbatasan fisik (p > 0,05).26,27
Hal yang serupa juga dibuktikan pada penelitian Schone dkk. bahwa ditemukan
hubungan antara keterbatasan aktivitas fisik dan dengan status perkawinan pada lansia hal ini
di lihat pada lansia laki-laki dan perempuan yang berpasangan didapatkan perbedaan. Pada
laki-laki yang berpasangan didapatkan lebih dari 70% untuk melakukan aktivitas fisik dan
lansia laki-laki lebih cenderung melakukan aktivitas fisik 1,72 kali dari pada lansia laki-laki
yang tidak berpasangan (OR = 1,72; CI = 1,16 - 2,57). Namun pada lansia wanita baik yang
berpasangan dan tidak berpasangan tidak ditemukan perbedaan yang signifikan secara
statistik dalam aktivitas fisik.33
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tami Saitu di Jepang hasilnya didapatkan
hasil yang signifikan yang diukur menggunakan Instrumental Activity Daily Living (IADL)
mereka yang hidup sendiri jumlah yang keterbatasan fisik lebih sedikit dibandingkan dengan
yang hidup berpasangan. Penelitian ini menyatakan tidak ada hubungan antara status kawin
dengan keterbatasan fisik.34
Pada penelitian yang dilakukan oleh Joshua Kiregu di Boston meneliti tentang
hubungan antara keterbatasan fisik dengan pendapatan yang bervarasi, dimana tidak
ditemukan penurunan angka disabilitas dengan peningkatan pendapatan. Penelitian yang lain
mengatakan memperkerjakan orang dengan keterbatasan fisik akan meningkatkan pendapatan
secara signifikan disbanding memperkerjakan pegawai tanpa keterbatasan fisik. Pada analisis
bivariat dari faktor-faktor yang mempengaruhi ekonomi,pendapatan bulanan,tipe pekerjaan
dan status kemiskinan berhubungan dengan keterbatasan fisik . Angka keterbatasan fisik
rendah pada mereka dengan penghasilan 1-120,000 (US$0,01– 209) RwF tidak didapatkan
hubungan antara penghasilan dengan keterbatasan fisik (OR = 0,57 , p < 0,05) , ), RwF
120,000–250,000 (US$209–435) tidak didapatkan hubungan antara penghasilan dengan
keterbatasan fisik (OR = 0,61; p < 0,005), 250,000 – 1,000,000 (US$435 – 1,740) (OR =
0,59; p < 0,005) ) tidak didapatkan hubungan antara penghasilan dengan keterbatasan fisik
dan RwF 1,000,000 + (US$1,741+) tidak didapatkan hubungan antara penghasilan dengan
keterbatasan fisik (OR = 0,66; p = 0,028). Individu yang berpenghasilan cukup memiliki odss
ratio 0,77 untuk keterbatasan fisik dibanding mereka yang berpenghasilan rendah atau tidak
mampu (p = 0,001). Untuk status pada penelitian ini didapatkan prevalensi 4.2% untuk
keterbatasan fisik sejalan dengan data yang dikumpulkan di Zambia dan Afrika Selatan yang
dapat dibandingkan. Pada penelitian ini tidak ditemukan hubungan antarapenurunan angka
keterbatasan fisik dengan pendapatan yang tinggi. Pada status kemiskinan sangat miskin
memiliki (OR = 1.00) , miskin (OR = 0,88; p = 0,194) dimana tidak memiliki hubungan
antara sosial ekonomi dengan keterbatasan fisik, tidak miskin (OR = 0,77; p = 0,001) dimana
tidak memiliki hubungan antara sosial ekonomi dengan keterbatasan fisik.35
Besarnya jumlah penduduk berusia lanjut akan menimbulkan beban dan masalah, baik
dari aspek sosial budaya, ekonomi, psikososial, dan kesehatan. Kehidupan modern yang
dinamis menimbulkan pertimbangan-pertimbangan dalam hal perhatian, kepedulian, dan
perawatan terhadap kelompok lanjut usia. Berdasarkan laporan Riskesdas 2007, enam
penyakit utama pada penduduk berusia 65-74 tahun di Indonesia sebanyak (72,4%)
mengalami keterbatasan fisik, penyakit sendi (62,9%), katarak (41,9%), diare (39%), stroke
(31,9%), ISPA ( 28,3%) dan gangguan mental emosional (23,2%). Pada usia yang lebih tua,
enam penyakit utama yang diderita adalah keterbatasan fisik (85,2%), penyakit sendi
(65,4%), katarak (51,6%), stroke (41,7%), ganggunan mental emosional (33,7%) serta diare
(30,2%). Kemudian sebanyak 22,6% lansia mengalami underweight dan 15,6% overweight,
kedua masalah gizi tersebut memiliki konsekuensi terhadap menurunnya daya tahan tubuh
sehingga dapat meningkatkan prevalensi penyakit menular dan tidak menular disamping
penyakit degeneratif. Tingginya prevalensi berbagai penyakit yang menjadi determinan
terhadap keterbatasan fisik pada lansia dan masih tingginya prevalensi masalah gangguan gizi
pada lansia, selain memerlukan biaya tinggi untuk pemeliharaan kesehatan yang ditanggung
keluarga dan pemerintah, juga akan mempengaruhi kualitas hidup lansia yang diharapkan
dapat menikmati hidup dalam kondisi tetap sehat, aktif dan produktif.12,21
Proses menua akan berjalan searah dengan menurunnya kapasitas fungsional, baik
pada tingkat seluler maupun tingkat organ. Menurunnya kapasitas untuk berespon terhadap
lingkungan internal yang berubah cenderung membuat lanjut usia sulit untuk memelihara
kestabilan status fisik. Sangat penting bagi lansia dalam menjaga pola makan dan status
kesehatan, banyak faktor pada lansia yang dapat menghambat penyerapan makanan antara
lain metabolisme dalam tubuh sudah menurun, gigi geligi banyak yang sudah tanggal
sehingga tidak dapat mengunyah dengan sempurna akibatnya memberatkan kerja saluran
pencernaan dintaranya organ lambung. Maka variasi makanan yang dikonsumsi relatif
terbatas karena pilihan makanan akan disesuaikan dengan kemampuan mengunyah dan daya
cerna oleh sebahagian lansia sehingga mengakibatkan lansia memiliki status gizi kurus, berat
badan lebih, obesitas dan anemia.12
Pada penelitian yang dilakukan oleh Zoico menyatakan bahwa indeks masa tubuh
>30kg/m2 dan pada kuartil tertinggi dari masa lemak tubuh 3 - 4 kali meningkatan risiko
untuk terjadinya keterbatasna fisik. Lanjut usia terutama wanita dengan masa lemak tubuh
yang tinggi dan masa lemak tubuh yang normal meningkatkan faktor risiko secara signifikan
dari keterbatasan fisik dibandingkan wanita dengan yang kehilangan massa tubuh dan
bertambahnya massa lemak tubuh atau obesitas dimana memiliki faktor risiko 3,8 kali lebih
tinggi dibandingkan wanita dengan berat badan normal. Dimana terdapat hubungan antara
status gizi dengan keterbatasan fisik (p < 0,05).39
Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Kirsten menyatakan bahwa terdapat
hubungan antara komposisi tubuh dengan keterbatasan fisik, dimana komposisi lemak tubuh
dan indeks massa tubuh yang tinggi berhubungan sangat kuat dengan keterbatasan fisik baik
wanita dan pria (p < 0,05).40
Penelitian di Mexico ingin memberikan gambaran bahwa usia lanjut yang mengalami
penurunan indeks massa tubuh akan mengalami kesulitan untuk melakukan aktivitas sehari-
hari karena kelemahan dari otot ekstremitas atas dan bawah dan ada kemungkinan untuk
menjadi keterbatasan fisik, risiko ini 1,5 kali lebih besar pada wanita daripada pria (p > 0,05).
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Richard indeks massa tubuh yang kurang atau
<18,5 kg/m2 memiliki hubungan dengan keterbatasan fisik pada usia lanjut terutama pada
wanita dibandingkan dengan pria (p > 0,05) karena mereka yang memiliki waktu luang yang
cukup banyak melakukan aktivitas untuk berolahraga seperti jogging, senam, dansa ataupun
pergi ke aktivitas sosial dibandingkan mereka yang tidak memiliki waktu luang.41,42
Suatu penelitian di China pada tahun 2015 menyatakan bahwa tidak terdapat
hubungan antara indeks massa tubuh kurang 18,5 kg/m2 ataupun lebih dari 20 kg/m2 dengan
keterbatasan fisik untuk melakukan aktivitas sehari-hari baik itu yang terjadi pada laki-laki
ataupun perempuan (p > 0,05).43
Semakin lanjut usia tentu memiliki keterbatasan yang semakin tinggi, baik dalam
aktivitas, konsumsi dan kemampuan mengingat sehingga lanjut usia termasuk kelompok yang
rentan salah satu diantaranya rentan terhadap penyakit. Kekurangan gizi memiliki peran
penting dalam gangguan kognitif pada lansia. Penyebab keterbatasan fisik di antaranya
perdarahan otak, arthritis dan penyakit tulang lain, amputasi, penyakit paru severe atau
penyakit jantung dan proses penuaan. Stroke merupakan penyakit yang paling banyak
menyebabkan keterbatasan fisik pada kelompok usia lebih dari 45 tahun. Keterbatasan fisik
yang diderita dapat mengakibatkan penderitanya tidak mampu melakukan banyak hal seperti:
tidak mampu berkomunikasi, tidak dapat berjalan sendiri, harus dibantu buang air besar,
harus dibantu makan, masih ngompol, harus dibantu pindah dari tempat tidur ke kursi, harus
dibantu berpakaian, mandi dan mencuci. Penderita stroke tidak mungkin kembali bekerja
seperti keadaan sebelum serangan terjadi. Stroke menjadi penyebab keadaan keterbatasan
fisik yang paling sering dijumpai di antara orang-orang usia menengah dan usia lanjut.
Perawatan jangka panjang untuk penderita keterbatasan fisik merupakan tantangan berat bagi
masyarakat dan keluarganya. proporsi kejadian penyakit jantung, asma, rematik/persendian
dan gangguan emosional banyak terdapat di daerah perdesaan dibanding perkotaan,
sedangkan Diabetes Mellitus, hipertensi yang kejadiannya banyak di perkotaan.12,35
Puasa 2 jam PP
2.2.3.2 Osteoartritis
Merupakan penyakit degeneratif pada sendi yang ditandai dengan kehilangan
bertahap kartilago sendi secara progresif dalam waktu yang lama.Penyakit kronis ini terutama
menyerang pada sendi lutut, tangan, kaki, dan tulang belakang. Hal tersebut menyebabkan
kedua tulang pada persendian menjadi bersentuhan sehingga menyebabkan kekakuan, nyeri
pada sendi, dan keterbatasan pada ruang gerak. Faktor predisposisi pada osteoartritis terutama
dari usia namun terdapat juga faktor modified dan unmodified terdiri dari obesitas, kurangnya
aktivitas fisik, faktor keturunan, trauma/cidera, jenis kelamin. Berdasarkan data penelitian
kejadian tertinggi osteoartritis pada lansia ditemukan pada usia >55 tahun (59,17%) di daerah
RSU Dokter Soedarso Pontianak pada data tersebut sesuai dengan salah satu kriteria klinis
dalam mendiagnosis osteoartritis berdasarkan kriteria American College of Rheumatology
yaitu usia di atas 50 tahun.58,59
Osteoarthritis merupakan penyakit yang sering terjadi dan bersifat kronis, sehingga
dapat menyebabkan keterbatasan fisik, terutama pada orang dengan usia lanjut, 80% pasien
dengan osteoarthritis mengalami kesulitan untuk bergerak dan 25% diantaranya mengalami
kecacatan. Berdasarkan penelitian Muraki di Jepang menunjukkan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara pasien dengan osteoarthritis dengan adanya keterbatasan fisik baik pada
pasien laki-laki ataupun perempuan dengan nilai p = 0,0023.. Penelitian Janiece juga
mendukung bahwa ada hubungan antara osteoarthritis dengan keterbatasan fisik (p < 0,05).
Hasil penelitian Benjamin menunjukkan bahwa osteoarthritis berhubungan dengan adanya
keterbatasan fisik pada seseorang dilihat dari faktor kekakuan otot, nyeri, dan kekuatan otot
pada pasien dengan osteoarthritis, pada penelitian ini didapatkan adanya korelasi antara
osteoarthritis dengan keterbatasan fisik dengan p < 0,001.60–62
Hal ini sejalan dengan konsep teori yang menyatakan bahwa secara keseluruhan pada
usia di atas 50 tahun, frekuensi osteoartritis lebih banyak terjadi pada wanita (setelah
menopause) yang menunjukkan faktor hormonal yang turut berperan pada kejadian
osteoartritis. Hal ini ditemukan pada penelitian di Kecamatan Kartasura angka kejadian
osteoartritis didapatkan laki-laki 28,6% dan perempuan 71,4%.38 Hasil tersebutjuga sejalan
dengan penelitian di RSU dr. Soedarso Pontianak dimana proporsi kasus osteoartritis
terbanyak terjadi pada wanita (68.67%).Melihat tingginya kejadian osteoartritis pada wanita
maka perlu dilakukan suatu penyuluhan kepada kelompok wanita di Desa Susut misalnya
melalui program KIA KB/ penyuluhan terhadap ibu-ibu PKK mengenai bahaya osteoartritis
terhadap perempuan pasca menopause dan faktor risiko lainnya.Selain itu penderita
osteoartritis memiliki kecenderungan untuk mengalami disabilitas dan hal ini dibuktikan pada
penelitian yang dilakukan oleh Fajar didapatkan hasil bahwa dari 34 responden diperoleh
nilai signifikan 0,002 (p < 0,05) yang menunjukan bahwa korelasi antara kualitas nyeri
penderita osteoartritis dengan kemampuan aktivitas fungsional adalah bermakna. Dimana
nilai korelasinya 0,510 (r = 0,510) menunjukan bahwa arah korelasi positif dengan kekuatan
korelasi yang kuat.58,63
Pada penelitian yang dilakukan oleh peter didapatkan bahwa beberapa partisipan
dengan osteoarthritis mengalami kemunduran dari aktivitas sehari-hari seperti mereka tidak
dapa mandi sendiri,menggunakan baju sendiri dan menggunakan toilet. Semua pasien
memiliki kesulitan yang cukup untuk mengurus dirinya sendiri,tidur, membersihkan rumah.
Setelah merasakan nyeri dan kriteria mayor keterbatasan fisik pada osteoarthritis
mempengaruhi kehidupan sehari-hari yang terpenting adalah kemampuan dasar untuk hidup
apakah dipengaruhi atau tidak. Pada penelitian ini didapatkan hubungan antara osteoarthritis
dengan keterbatasan fisik (p < 0,05).64
Pada penelitian yang dilakukan oleh Steuljten dengan menggunakan 2 metode untuk
menentukan keterbatasan fisik pertama dengan observasional yang kedua dengan kuesioner.
Observasi keterbatasan fisik ditentukan dengan melihat performa dari pasien apakah ada
keterbatasan untuk melakukan aktivitas fisik sehari-hari. Untuk melihat hubungan digunakan
korealasi pearson diantara Range of motion dari pergerakan sendi tangan. Secara umum
didapatkan hubungan negative antara ROM dan keterbatasan fisik contohnya penurunan
ROM berhubungan dengan peningkatan keterbatasan fisik tetapi secara umum tidak semua
jari tidak dapat digerakan. Hambatan pergerakan ekstensi,abduksi dan eksternal rotasi dari
kedua panggul dan lutut pada pasien berhubungan dengan osteoarthritis pada pinggul dan
lutut. Pada penelitian ini didapatkan hubungan antara osteoarthritis dengan keterbatasan fisik
pada lanjut usia (p < 0,05).65
2.2.3.3 Hipertensi
Hipertensi yang biasa disebut sebagai peningkatan tekanan darah merupakan suatu
kondisi diamana pembuluh darah mengalami peningkatan tekanan secara persisten. Tekanan
darah timbul dari komponen darah yang di pompa jantung mendorong dinding dari pembuluh
darah. Klasifikasi hipertensi menurut gejala dibedakan menjadi dua yaitu hipertensi benigna
dan hipertensi maligna. Hipertensi benigna merupakan keadaan hipertensi yang tidak
menimbulkan gejala-gejala, biasanya ditemukan saat penderita check up. Hipertensi maligna
merupakan keadaan hipertensi yang membahayakan biasanya disertai keadaan kegawatan
sebagai akibat komplikasi pada organ-organ seperti otak, jantung dan ginjal.66,67
2.2.3.4 Stroke
Menurut WHO, stroke adalah terjadinya gangguan fungsional otak fokal maupun
global secara mendadak dan akut yang berlangsung lebih dari 24 jam akibat gangguan aliran
darah otak.79 Banyak aspek yang dipertimbangkan dalam menetapkan pembagian stroke. Dari
kausanya:
1. Jenis perdarahan (stroke hemoragik), disebabkan pecahnya pembuluh darah otak,
baik intrakranial maupun subaraknoid. Pada perdarahan intrakranial, pecahnya
pembuluh darah otak dapat karena berry aneurysm akibat hiprtensi tak terkontrol
yang mengubah morfologi arteriol otak atau pecahnya pembuluh darah otak
karena kelainan kongenital pada pembuluh darah otak tersebut. Perdarahan
subaraknoid disebabkan pecahnya aneurysma kongenital pembuluh darah arteri
otak diruang subaraknoidal.
2. Jenis oklusif (stroke iskemik), dapat terjadi karena emboli yang lepas dari
sumbernya, biasanya berasal dari jantung atau pembuluh arteri otak baik
intrakranial maupun ekstrakranial atau trombotik/arteriosklerotik fokal pada
pembuluh arteri otak yang beransur-ansur menyempit dan akhirnya tersumbat.
Langkah sederhana untuk mengevaluasi mengenai tanda-tanda awal gejala stroke
yakni dengan penilaian sederhana yaitu Ada suatu penilaian sederhana yang dikenal dengan
singkatan FAST (Face, Arms drive, Speech, dan Three of signs). Wajah tampak tidak
simetris. Salah satu sudut mulut tertarik ke bawah dan lekukan antara hidung dan sudut mulut
atas tampak mendatar. Angkat tangan lurus sejajar kedepan (90˚) dengan telapak tangan
terbuka ke atas selama 30 detik. Apabila terdapat kelumpuhan lengan yang ringan dan tidak
disadari penderita, maka lengan yang lumpuh tersebut akan turun (menjadi tidak sejajar lagi).
Pada kelumpuhan yang berat, lengan yang lumpuh tersebut sudah tidak bisa diangkat lagi
bahkan sampai tidak bisa digerakkan sama sekali. Bicara menjadi pelo (artikulasi terganggu)
atau tidak bisa berkata-kata (gagu) atau bisa bicara akan tetapi tidak mengerti pertanyaan
orang sehingga komunikasi verbal tidak nyambung. Ada tiga gejala yaitu perubahan wajah,
kelumpuhan, dan bicara. Gejala tanda lainnya adalah orang tiba-tiba terlihat mengantuk berat
atau kehilangan kesadaran atau pingsan, pusing berputar, rasa baal atau kesemutan separuh
badan, gangguan penglihatan secara tiba-tiba pada satu atau dua mata.69,72
Pada penelitian yang dilakukan Raymod dari Universitas Oxford didapatkan 748
pasien stroke dimana 47% (n = 351) diantaranya meninggal kurang dari 5 tahun lalu untuk
pasien TIA didapatkan 44o dimana 27% (n = 119) meninggal juga pada akhir tahun ke 5
follow up. Pada bulan pertama follow up, setengah lebih dari pasien stroke (n = 380)
diantaranta meninggal ataupun mengalami keterbatasan fisik, proporsi yang sama juga
didapatkan pada bulan keenam 51% (730) dan pada satu tahun didapatkan sebesar 53%.
Bagaimanapun selama 2 tahun proporsi pasien stroke yang meninggal ataupun mengalami
keterbatasan fisik meningkat menjadi 64% dalam 6 bulan (n = 356). Dari penelitian
didapatkan bahwa riwayat penyakit sebelumnya seperti atrial fibrillation dan diabetes
merupakan prediktor yang signifikan pasien stroke menjadi keterbatasan fisik bahkan
meninggal. Penelitian ini didapatkan hubungan antara penyakit kronis hipertensi dengan
keterbatasan fisik (p < 0,05).80
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh James meneliti 806 pasien stroke dimana
diantaranya 581 adalah kulit putih dan 2.228 adalah kulit hitam dimana tidak ada perbedaan
yang signifikan antara usia,jenis kelamin diantara kedua grup ras tersebut. Orang berkulit
hitam memiliki Pendidikan dan penghasilan yang rendah, penyakit kronis seperti penyakit
koroner akut, kanker dan osteoporosis lebih sering terjadi pada orang berkulit putih.
Kapasitas fisik seperti mengucapkan kata-kata,menggambar jam lebih banyak ditemukan
pada orang berkulit putih dibandingkan orang berkulit hitam. Dimana terdapat hubungan
antara stroke dengan keterbatasan fisik (p = 0,01).81
Pada penelitian yang dilakukan oleh Marco (2006) meneliti tentang kapasitas latihan
dan respon kardiovaskular terutama detak jantung rata-rata. Usia lanjut pada suatu komunitas
dilaporkan tidak memiliki kesulitan untuk berjalan dalam jarak yang cukup jauh dalam satu
tes. Kemampuan untuk melakukan tes dan perfoma yang diberikan sangat penting untuk
faktor prognosis keterbatasan fisik terutama pada dekade kedelapan kehidupan. Hasil dari tes
yang dilakukan bagi yang sering berjalan dan berjalan lebih cepat didapatkan mereka yang
lebih muda, lebih banyak pada laki-laki,ras kulit putih didapatkan angka prevalensi yang
rendah terhadap faktor risiko untuk penyakit jantung. Keterbatasan fisik yang menetap terjadi
pada 1.360 atau 44% partisipan. Mereka adalah yang diberhentikan dari jalan 400 m karena
denyut jantung yang meningkat lalu tidak dapat melanjutkan tes. Pada penelitian ini
menyatakan bahwa terdapat hubungan antara penyakit kronis dengan keterbatasan fisik pada
usia lanjut (p < 0,001).87
Pada penelitian yang dilakukan oleh Patrick dimana ia melakukan penelitian tentang
pasien gagal jantung kronik dengan keterbatasan fisik yang dilakukan uji resistensi dimana
belum ada penelitian yang secara langsung meneliti tentang aktifitas sehari-hari dimana
pasien gagal jantung kronik dapat mencapai batas dari keterbatasan fisik mereka. Lebih jauh
kontribusi otot skeletal yang lemah pada pasien gagal jantung kronik belum jelas. Lalu pada
penelitian ini mengukur tentang aktifitas sehari-hari mereka dan hubungannya dengan
kapasitas aerobik dan kekuatan otot dan efek latihan resistensi untuk meningkatkan kekuatan
otot dan melatih keterbatasan fisik mereka. Dari penelitian didapatkan bahwa usia,distribusi
jenis kelamin, indeks massa tubuh dan aktifitas fisik didapatkan hubungan terhadap
keterbatasan fisik dimana pada pasien gagal jantung kronik memiliki ejection fraction dan
VO2 yang lebih rendah dan left ventricular end systolic volume yang lebih besar. Performa
untuk melakukan aktifitas sehari-hari 30% lebih rendah pada pasien dengan gagal jantung
kronik dibandingkan control dan berhubungan dengan kapsitas aerobik dan kekuatan otot (p
< 0,05).88
Pada penelitian yang dilakukan oleh Walmer ini menunjukkan bahwa faktor risiko
kardiovaskular berhubungan dengan keterbatasan fisik pada orang-orang yang lebih tua.(p <
0,001). Dari penelitian yang dilakukan Sugiharti ditemukan bahwa hubungan antara penyakit
jantung dan disabilitas sangat bermakna dengan p value 0,000 dan disimpulkan bahwa lansia
dengan penyakit jantung lebih berisiko 1.590 kali untuk mengalami disabilitas.78,89
2.2.4 Perilaku
2.2.4.1 Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik adalah gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka dimana
membutuhkan energi untuk melakukannya. Tidak mampu dalam melakukan aktivitas fisik
menjadi faktor risiko terbesar ke empat pada permasalahan global telah diketahui dari 3,2 juta
kematian penduduk di seluruh dunia. Rekomendasi dari American Heart Association untuk
kegiatan aktifitas fisik orang dewasa (18-65 tahun) dan lansia (65 tahun keatas) adalah
minimal dapat melakukan kegiatan aktifitas fisik dengan kategori cukup. Kegiatan aktifitas
fisik dikategorikan cukup apabila kegiatan dilakukan terus-menerus sekurangnya 10 menit
dalam satu kegiatan tanpa henti dan secara kumulatif 150 menit selama lima hari dalam satu
minggu. Kategori aktifitas fisik cukup untuk orang dewasa (18-65 tahun) dan lansia (65 tahun
keatas) menurut Global Physical Activity Question (GPAQ), WHO adalah :90
1. Melakukan aktifitas fisik berat minimal 20 menit selama tiga hari dalam satu minggu.
2. Melakukan aktifitas fisik sedang minimal 30 menit selama lima hari dalam satu minggu.
3. Berjalan minimal 30 menit selama lima hari dalam satu minggu.
Orang yang tidak melakukan olah raga maupun melakukan olah raga tidak teratur
akan mengalami keterbatasan fisik 2,5 kali dibanding orang yang melakukan olahraga
teratur.Prevalensi lansia tidak aktif 37,6% dan prevalensi lansia aktif 62,4%, prevalensi
keterbatasan fisik pada lansia yang tidak beraktivitas lebih besar dari yang beraktivitas.
Olahraga juga dikaitkan dengan peran obesitas pada hipertensi.91,92
Aktifitas fisik regular meliputi aktifitas aerobik dan aktifitas meningkatkan kekuatan
otot merupakan hal dasar yang diperlukan untuk usia lanjut. Pencegahan yang dilakukan ini
spesifik sesuai usia dengan membagi aktifitas yang direkomendasikan dimana dapat
menurunkan risiko untuk terjadi penyakit kronik, kematian tiba-tiba dan keterbatasan fisik.
Untuk aktifitas aerobik untuk menjaga kesehatan, untuk lanjut usia dengan usia lebih tua
membutuhkan aktifitas fisik yang sedang dengan waktu minimal 30 menit dan dilakukan
selama 5 hari dalam seminggu atau dapat juga dilakukan aktifitas aerobik yang cukup berat
dengan intensitas minimal 20 menit dalam 3 hari setiap minggunya. Dapat juga dilakukan
aktifitas fisik kombinasi antara sedang-cukup berat. Untuk aktifitas meningkatkan kekuatan
otot untuk menjaga kesehatan. Para lanjut usia yang melakukan aktifitas fisik disarankan
menjaga kesehatan. Untuk fleksibilitas direkomendasikan untuk menjaga ROM (range of
motion) dalam kegiatan sehari-hari, tidak seperti kegiatan aerobik dan memperkuat otot
keuntungan kegiatan fleksibilitas belum jelas. Walaupun seperti itu latihan fleksibilitas telah
terlihat keuntungannya dalam satu penelitian yang bersifat uji coba dan direkomendasikan
dalam manajemen beberapa penyakit yang sering terjadi pada usia lanjut. Latihan fleksibilitas
minimal dilakukan selama 10 menit yang meliputi otot utama dan tendon dengan durasa 10-
30 detik statis dengan 3 - 4 repetisi dalam setiap set.93
Pada penelitian yang dilakukan oleh Brenda memberikan gambaran tentang aktifitas
fisik berdasarkan seberapa sering usia lanjut mengikuti sesi latihan. Analisisnya
menggambarkan bahwa mereka yang memiliki tingkat latihan lebih tinggi memiliki risiko
lebih rendah untuk kejadian keterbatasan fisik pada aktifitas sehari-hari. Efek dari latihan
pada usia lanjut yang mengalami keterbatasan fisik tidak dapat dimodifikasi secara signifikan
oleh usia, jenis kelamin, indeks massa tubuh.94
Penelitian ini menyatakan bahwa ada hubungan antara aktifitas fisik dengan kejadian
keterbatasan fisik (p = 0,004). Penelitian yang dilakukan oleh Ambrosius sejalan dengan
penelitian yang lain dimana ia menggunakan akselerator dan didapatkan bahwa aktifitas fisik
yang sedang berhubungan dengan keterbatasan fisik dimana para lanjut usia status
kesehatannya meningkat (p = 0,001).94,95
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sugiharti tentang hubungan aktivitas fisik
dengan disabilitas diperoleh nilai p = 0,000, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan
yang bermakna antara aktifitas fisik dengan disabilitas. Dari hasil analisis diperoleh pula nilai
OR = 4,717, yang artinya responden yang kurang melakukan aktifitas fisik mempunyai
peluang 4,717 kali untuk mengalami disabilitas dibandingkan dengan responden yang cukup
melakukan aktifitas fisik.78
Pada penelitian yang dilakukan oleh Bean mendapatkan bahwa usia lanjut dengan
keterbatasan fisik sedang hingga berat kekuatan pada kaki merupakan predictor yang
signifikan untuk aktifitas fisik. Kekuatan dan ketahanan kaki berhubungan dengan aktifitas
fisik. Guralnik telah mendemonstasikan bahwa lanjut usia yang tidak beraktifitas memiliki
risiko untuk menjadi keterbatasan fisik. Pada penelitian ini menyatakan bahwa aktifitas fisik
berhubungan dengan keterbatasan fisik (p = 0,007).96
Pada penelitian yang telah dilakukan Liu dkk. di Kanada terdapat perbedaan antara
merokok dan konsumsi alkohol dalam hubungannya terhadap keterbatasan fisik pada lansia.
Dan ternyata didapatkan tidak ada hubungan yang signifikan antara beratnya suatu
keterbatasan fisik dan merokok (OR = 0,90 95%; CI = 0,75 - 1,08) begitu juga dengan
konsumsi alkohol (OR = 0,76 95%; CI = 0,65 - 0,89) dalam analisis multivariatnya. Hal-hal
yang mempengaruhi perokok dan konsumsi alkohol yaitu berkaitan dengan pendapatan yang
tinggi, meningkatnya usia, aktif dalam pergaulan sosial perokok dan peminum alkohol.97
Pada penelitian yang dilakukan oleh Arun membandingkan antara konsumsi alcohol
dengan keterbatasan fisik yang dilakukan secara prospektif selama 5 tahun. Pada tahun
pertama tidak ditemukan perbedaan yang cukup signifikan anatar perempuan dan laki-laki.
Pada tahun kelima didapatkan bahwa perempuan (18%) lebih berpeluang untuk terjadi
keterbatasan fisik dibandingkan dengan laki-laki (14%) (p = 0,0002)98
Pada lansia, alkohol akan diproses lebih lambat sehingga efek alkohol akan lebih
mudah bermanifestasi. Alkohol akan menurunkan kendali dari otot yang akan meningkatkan
risiko lansia untuk jatuh dan dapat menyebabkan eksaserbasi penyakit-penyakit tertentu
seperti gangguan ingatan, gangguan hati, diabetes, dan gangguan jantung.97
Tidak ada hubungan langsung antara alkohol dengan keterbatasan fisik. Tetapi
penyalahgunaan alkohol dapat menyebabkan gangguan somatik seperti sirosis hepatis,
gangguan emosi, rasa cemas hingga gangguan berbicara dan mendengar yang menyebabkan
adanya keterbatasan fisik pada seseorang.99
WHO menyatakan, rokok membunuh lebih dari lima juta orang per tahun, dan
diproyeksikan akan membunuh sepuluh juta orang sampai tahun 2020, 70% angka tersebut
berasal dari negara berkembang. Lembaga demografi Universitas Indonesia mencatat, angka
kematian akibat penyakit disebabkan rokok tahun 2004 adalah 427.948 jiwa, berarti 1.172
jiwa per hari atau sekitar 2,25% dari total kematian di Indonesia.100
Perokok dikategorikan menjadi tiga, perokok ringan yaitu orang yang menghisap
kurang dari 10 batang rokok per hari, perokok sedang yaitu orang yang menghisap 10 - 20
batang rokok per hari, sedangkan perokok berat yaitu orang yang menghisap lebih dari 20
batang rokok per hari. Menghisap sebatang rokok berpengaruh besar terhadap kenaikan
tekanan darah karena pada dasarnya perokok menghisap CO (karbon monoksida) yang
berakibat berkurangnya pasokan O2 (oksigen) ke dalam jaringan tubuh. Gas CO mengikat
hemoglobin (Hb) yang terdapat dalam sel darah merah lebih kuat dibandingkan dengan
oksigen. Sel tubuh yang menderita kekurangan oksigen akan berusaha meningkatkan melalui
kompensasi pembuluh darah dengan jalan menciut atau spasme dan mengakibatkan
meningkatnya tekanan darah dan terjadinya proses aterosklerosis (penyempitan). Berdasarkan
penelitian Handajani, responden yang merokok ≥ 10 batang/hari akan mengalami disabilitas 2
kali lebih besar dibanding responden yang tidak merokok atau merokok < 10 batang/hari.44,101
Pada penelitian yang dilakukan oleh menunjukkan bahwa di antara orang dewasa
yang lebih tua di Prancis menunjukkan bahwa gaya hidup yang tidak sehat, yang ditandai
dengan ketidakaktifan fisik, makanan yang tidak sehat, dan merokok, dikaitkan dengan
bahaya keterbatasan fisik yang lebih besar, yang meningkat secara progresif dengan jumlah
perilaku tidak sehat (p < 0,001).13
Penelitian yang dilakukan oleh Tea di Finland dengan kohort selama 12 tahun
menyatakan bahwa merokok dan keterbatasan fisik berkontribusi cukup kuat terhadap
keterbatasan fisik. Diantara perokok pasif hanya 1 dari 20 yang berakhir dengan keterbatasan
fisik dibandingkan dengan 50 perokok berat yang sudah tidak aktif ataupun hanya kadang-
kadang saja. Dimana didapatkan perbedaan kurva yang cukup beda antara perokok pasif dan
perokok aktif ketika dilakukan follow up untuk dilihat apakah terjadi keterbatasan fisik atau
tidak. Dimana perokok berat memiliki keterbatasan fisik ketika di follow up. Pada penelitian
ini menyatakan bahwa didapatkan hubungan antara merokok dengan keterbatasan fisik (p =
0,0001).102
Pekerjaan
Sosiodemografi
Pendapatan Proses
Menua
Status gizi
Daya beli Kondisi sosial
ekonomi
Keterbatasan fisik pada
Status
lansia Status
Hipertensi
Aktivitas Diabetes
fisik Perilaku Mellitus
Sosiodemografi:
-Usia
-Jenis Kelamin
-Kondisi Sosial Ekonomi
Status Gizi
PenyakitKronis:
-Status Diabetes Mellitus
Keterbatasan
-Status Penyakit Jantung Fisik
-Status Hipertensi
-Status Osteoartritis
-Aktivitas Fisik
Bab III
Metodologi Penelitian
Lansia yang berkunjung ke Puskesmas Kelurahan Duri Kepa, Jakarta Barat yang
tidak bisa membaca dan menulis.
Lansia yang berkunjung ke Puskesmas Kelurahan Duri Kepa, Jakarta Barat yang
tidak mengisi kuesioner dengan lengkap.
3.5 Sampel
3.5.1 Besar Sampel
Perhitungan besar sampel berdasarkan rumus :
Keterangan :
n1 : Besar sampel
p : Proporsi variabel yang ingin diteliti.
q : 1-p
Z(α) : Tingkat batas kepercayaan, dengan α = 5 %
Didapat Z(α) pada kurva normal = 1,96
d2 : Kesalahan yang dapat ditolerir (10%)
n2 : Jumlah sampel ditambah substitusi 10% (substitusi adalah persen
responden yang mungkin drop out)
Kategori Koding
Ketergantungan penuh 1
Ketergantungan berat 2
Ketergantungan moderate 3
Ketergantungan ringan 4
Mandiri 5
3.10.2 Usia
Definisi : Lama waktu hidup seseorang sejak dilahirkan hingga
penelitian dilakukan.
Alat Ukur : Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan kuisioner
Cara Ukur : Mengurangi tahun penelitian dengan tahun yang ada Kartu
Tanda Penduduk. Berdasarkan pada batasan usia menurut
Depkes RI, jika usianya 60 – 69 tahun dikategorikan sebagai
usia lanjut dengan risiko rendah, sedangkan jika usianya diatas
69 tahun maka dikategorikan sebagai usia lanjut dengan risiko
tinggi. Mencatat data yang didapat dari rekam medik pada
lembar pendataan.
Hasil Ukur : Kode 1. ≥ 70 tahun
Kode 2. 60 - 69 tahun
Skala Ukur : Kategorik –nominal
Kategori Koding
≥70 tahun 1
60 – 69 tahun 2
Cara Ukur : Melihat kuesioner yang telah diisi pada kolom jenis kelamin
yang tertulis atau mencatat data yang didapat dari Kartu Tanpa
Penduduk.
Kategori Koding
Perempuan 1
Laki-laki 2
3.10.4 Status Kawin
Definisi : Status responden yang datang berkunjung ke puskesmas
Kelurahan Duri Kepa berdasarkan riwayat pernikahan, sesuai
yang tercatat pada Kartu Tanpa Penduduk dan kuisioner.
Alat Ukur : Kuesioner dan KTP
Cara Ukur : Variabel ini diukur dengan wawancara melalui kuesioner dan
mencocokannya dengan KTP yang berlaku.
Hasil Ukur : Kode 1. Sendiri
Kode 2. Berpasangan
Kategori Koding
Sendiri 1
Berpasangan 2
Tidak normal 1
Normal 2
Sangat berat 1
Berat 2
Sedang 3
Ringan 4
Tidak sakit 5
Tidak ada 1
Kurang 2
Cukup 3
4
Baik
Bab IV
Hasil Penelitian
Dari penelitian yang dilakukan di Puskesmas Kelurahan Duri Kepa, Jakarta Barat
periode November 2017 didapatkan sampel sebanyak 114 orang usia lanjut. Hasil penelitian
ini kami sajikan dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 4.1. Sebaran Kejadian Keterbatasan Fisik pada Lansia di Puskesmas Kelurahan
Duri Kepa pada Bulan November 2017
49
Tabel 4.2. Sebaran Usia, Jenis Kelamin, Status Kawin,Status Gizi, Penyakit Kronis, dan
Aktifitas Fisik pada Lansia di Puskesmas Kelurahan Duri Kepa pada Bulan November
2017
50
Tabel 4.3. Hubungan antara Usia, Jenis Kelamin, Status Kawin,Status Gizi, Penyakit
Kronis, dan Aktifitas Fisik pada Lansia di Puskesmas Kelurahan Duri Kepa pada
Bulan November 2017
Variabel Keterbatasan Fisik Lansia Total Uji Nilai H0
Keterbatasan Mandiri p
Fisik
Usia
≥70 tahun 17 24 41 Uji Chi- 0,000 Ditolak
square
60 – 69 tahun 8 65 73
Jenis Kelamin
Perempuan 23 52 75 Uji Chi- 0,004 Ditolak
square
Laki-laki 2 37 39
Status Gizi
Berisiko 5 21 26 Uji Chi- 0,913 Gagal
square ditolak
Tidak berisiko 20 68 88
Status Kawin
Sendiri 3 14 17 Uji 0,761 Gagal
Fisher ditolak
Berpasangan 22 75 97
Penyakit Kronis
Ada 24 71 95 Uji 0,069 Gagal
Fisher ditolak
Tidak ada 1 18 19
Aktivitas Fisik
Tidak ada 24 35 59 Uji Chi- 0,000 Ditolak
square
Ada 1 54 55
51
BAB V
Pembahasan
5.1 Analisis Univariat Distribusi Sebaran dari Kejadian Keterbatasan fisik pada Usia
Lanjut di Puskesmas Kelurahan Duri Kepa Bulan November 2017
Berdasarkan pada tabel 4.1 didapatkan bahwa sebaran kejadian keterbatasan fisik
pada Usia lanjut sebanyak 25 orang dari 114 sampel atau 21.9% usia lanjut menderita
keterbatasan fisik dan 89 orang dari 114 sampel atau 78.1% usia lanjut tidak menderita
keterbatasan fisik. Hasil dari penelitian ini didapatkan prevalensi keterbatasan fisik pada usia
lanjut di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Duri Kepa sebesar 21.9% dimana jika
dibandingkan dengan data Departemen Kesehatan tahun 2012 tentang keterbatasan fisik pada
lansia di Indonesia sebesar 14.86%, angka kejadian keterbatasan fisik pada penelitian ini
lebih kecil mungkin disebabkan oleh karena batasan yang dilakukan pada penelitian ini yaitu
wilayah kerja yang lebih kecil. Terlepas dari penyebab yang mendasarinya, angka kejadian
keterbatasan fisik pada usia lanjut di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Duri Kepa Bulan
November 2017 tergolong rendah.
5.2 Analisis Univariat Distribusi Sebaran usia, jenis kelamin, status kawin, status gizi,
penyakit kronis dan aktivitas fisik pada Usia lanjut di Puskesmas Kelurahan Duri Kepa
pada Periode November 2017
Berdasarkan pada tabel 4.2 didapatkan bahwa usia lanjut yang tergolong dalam usia
yang berisiko tinggi yaitu usia lanjut yang berusia ≥ 70 tahun jumlahnya lebih rendah
dibandingkan usia lanjut risiko rendah dalam kelompok umur 60 sampai 69. Jumlah usia
lanjut yang umurnya >69 tahun sebanyak 41 orang dengan persentase 36.0%, sedangkan usia
lanjut yang umurnya 60 sampai 69 tahun sebanyak 73 orang dengan persentase 64.0%.
Berdasarkan tabel 4.2 didapatkan bahwa usia lanjut dengan jenis kelamin perempuan
berjumlah lebih banyak dibandingkan dengan usia lanjut dengan jenis kelamin laki-laki.
Jumlah usia lanjut dengan jenis kelamin perempuan sebanyak 75 orang dengan persentase
65.8%, sedangkan usia lanjut dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 39 orang dengan
persentase 34.2% orang.
52
Berdasarkan tabel 4.2 didapatkan bahwa lebih banyak usia lanjut yang yang
berpasangan, jumlah usia lanjut yang berpasangan sebanyak 97 orang dengan persentase
85.1% dan yang dengan status kawin sendiri tanpa pasangan sebanyak 17 orang dengan
persentase 14.9%.
Beradasarkan dengan tabel 4.2 didapatkan bahwa lebih banyak usia lanjut yang
memiliki status gizi yang tergolong normal. Jumlah usia lanjut yang memiliki status gizi yang
tergolong berisiko sebanyak 22 orang dengan persentase 19,3%, jumlah usia lanjut yang
memiliki status gizi yang tergolong normal sebanyak 88 orang dengan persentase 77,2%, dan
jumlah usia lanjut yang memiliki status gizi yang tergolong lebih sebanyak 4 orang dengan
persentase 3,5%.
Berdasarkan pada tabel 4.2 didapatkan bahwa usia lanjut yang memiliki penyakit
kronik jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan usia lanjut yang tidak memiliki
penyakit kronik. Jumlah usia lanjut yang memiliki penyakit kronik sebanyak 95 orang dengan
persentase 83,3%, sedangkan usia lanjut yang tidak memiliki penyakit kronik sebanyak 19
orang dengan persentase 16,7%.
Berdasarkan pada tabel 4.2 didapatkan bahwa usia lanjut yang tidak memiliki aktifitas
fisik jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan usia lanjut yang ada aktifitas fisik. Jumlah
usia lanjut yang tidak ada aktifitas fisik sebanyak 59 orang dengan persentase 51,8%,
sedangkan usia lanjut yang ada aktifitas fisik sebanyak 55 orang dengan persentase 48,2%.
5.3 Analisis Bivariat antara Usia dengan Kejadian Keterbatasan Fisik pada Usia Lanjut
di Puskesmas Kelurahan Duri Kepa Periode November 2017
Sebaran usia pada penelitian ini dibagi menjadi 2 kategori yaitu usia 60 tahun atau
lebih dikategorikan sebagai Usia lanjut dengan risiko rendah, sedangkan usia 70 tahun atau
lebih dikategorikan sebagai usia lanjut dengan risiko tinggi. Pada penelitian ini dari 73 orang
pada kelompok kategori usia lanjut risiko rendah (usia 60 - 69 tahun) didapatkan orang
menderita keterbatasan fisik 8 orang dan 65 orang tidak menderita keterbatasan fisik.
Sedangkan dari 41 orang pada kelompok kategori usia lanjut dengan risiko tinggi (usia ≥ 70
tahun) didapatkan 17 orang menderita keterbatasan fisik dan 24 orang tidak menderita
keterbatasan fisik.
53
Hubungan usia dengan kejadian keterbatasan fisik pada usia lanjut berdasarkan tabel,
digabung dan diuji dengan uji Chi Square antara variabel usia dengan variabel keterbatasan
fisik didapatkan nilai p = 0.000 (p < 0.05) yang berarti H0 ditolak, ada hubungan yang
bermakna antara usia dengan kejadian keterbatasan fisik pada usia lanjut. Hal ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Alan menyatakan bahwa meningkatnya usia
berhubungan dengan peningkatan keterbatasan fisik (p < 0,05) dimana usia sangat tua
meningkatkan keadaan untuk terjadinya keterbatasan fisik. Sejalan dengan penelitian yang
dilakukan di US oleh Manini didapatkan populasi lanjut usia cenderung mengalami kejadian
keterbatasan aktivitas fisik yang terus meningkat dari hingga usia lebih dari 70 tahun tidak
dapat melakukan pekerjaan seperti berjalan, berlutut, menulis dan mengangkat beban.
Keterbatasan fisik jika dilihat dari gambaran usia maka memberikan gambaran tren yang makin
meningkat seiring dengan peningkatan umur. Hal ini menunjukkan keadaan secara alami terjadi
bahwa semakin meningkat usia, kecenderungan terjadi keterbatasan fisik juga makin
meningkat.16,18
5.4 Analisis Bivariat antara Jenis Kelamin dengan Kejadian Keterbatasan Fisik pada
Usia Lanjut di Puskesmas Kelurahan Duri Kepa Periode November 2017
Sebaran jenis kelamin pada usia lanjut pada penelitian ini dibagi menjadi 2 kategori,
yaitu perempuan dan laki-laki. Pada penelitian ini didapatkan dari 70 orang usia lanjut pada
kelompok perempuan 23 orang menderita keterbatasan fisik dan 52 orang tidak menderita
keterbatasan fisik. Sedangkan kelompok laki-laki usia lanjut didapatkan 39 orang dimana 2
orang menderita keterbatasan fisik dan 37 orang tidak menderita keterbatasan fisik.
Hubungan jenis kelamin pada usia lanjut dengan kejadian keterbatasan fisik pada usia
lanjut berdasarkan tabel, digabung dan diuji menggunakan chi square antara variabel jenis
kelamin dengan variabel keterbatasan fisik didapatkan nilai p = 0.004 (p < 0.05) yang berarti
H0 ditolak, ada hubungan jenis kelamin dengan keterbatasan fisik pada usia lanjut. Hal ini
dikarenakan perubahan kemampuan otot yang dipengaruhi oleh Pengeroposan tulang. Sistem
muskuloskeletal semakin menurun dan aktivitas sedang maupun berat akan sulit dilakukan.
Hal ini menyebabkan pergerakan terbatas dan kurang mandiri karena sulit berdiri, risiko jatuh
besar dan gerakan tubuh lambat. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Wei Chen
dimana terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan keterbatasan fisik (p = 0.05).23
54
5.5 Analisis Bivariat antara Status Kawin dengan Kejadian Keterbatasan Fisik pada
Usia Lanjut di Puskesmas Kelurahan Duri Kepa Periode November 2017
Sebaran status kawin pada usia lanjut pada penelitian ini dibagi menjadi 2 kategori,
yaitu sendiri dan berpasangan. Pada penelitian ini didapatkan dari 17 orang usia lanjut pada
kelompok sendiri 3 orang menderita keterbatasan fisik dan 14 orang tidak menderita
keterbatasan fisik. Sedangkan kelompok berpasangan usia lanjut didapatkan berpasangan 97
orang orang dengan 22 orang menderita keterbatasan fisik dan 75 orang tidak menderita
keterbatasan fisik.
Hubungan status kawin pada usia lanjut dengan kejadian keterbatasan fisik pada usia
lanjut berdasarkan tabel, digabung dan diuji menggunakan chi square antara variabel jenis
kelamin dengan variabel keterbatasan fisik didapatkan nilai p = 0.761 (p > 0.05) yang berarti
H0 gagal ditolak, tidak ada hubungan status kawin dengan kejadian keterbatasan fisik pada
usia lanjut. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Tami Saito yaitu tidak terdapat
hubungan status kawin berpasangan dengan keterbatasan fisik mereka yang hidup sendiri
jumlah yang keterbatasan fisik lebih sedikit dibandingkan dengan yang hidup berpasangan.
Penelitian ini menyatakan tidak ada hubungan antara status kawin dengan keterbatasan
fisik.34
5.6 Analisis Bivariat antara Status Gizi dengan Kejadian Keterbatasan Fisik pada Usia
Lanjut di Puskesmas Kelurahan Duri Kepa Periode November 2017
Sebaran status gizi pada usia lanjut pada penelitian ini dibagi menjadi 2 kategori,
yaitu berisiko dan tidak berisiko. Pada penelitian ini didapatkan dari 26 orang usia lanjut pada
kelompok berisiko 5 orang menderita keterbatasan fisik dan 21 orang tidak menderita
keterbatasan fisik. Sedangkan kelompok tidak berisiko didapatkan 88 orang dengan 20 orang
menderita keterbatasan fisik dan 88 orang tidak menderita keterbatasan fisik.
55
Hubungan status gizi pada dengan kejadian keterbatasan fisik pada usia lanjut
berdasarkan tabel, digabung dan diuji menggunakan chi square square antara variabel Status
gizi dengan variabel keterbatasan fisik didapatkan nilai p = 0.913 (p > 0.05) yang berarti H0
gagal ditolak, tidak ada hubungan status gizi dengan keterbatasan fisik pada usia lanjut. Hal
ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Yin Zhaoxue bahwa tidak ada hubungan antara
status gizi dengan keterbatasan fisik dimana indeks massa tubuh kurang 18,5 kg/m2 ataupun
lebih dari 20 kg/m2 dengan keterbatasan fisik untuk melakukan aktivitas sehari-hari baik itu
yang terjadi pada laki-laki ataupun perempuan (p > 0,05).43
5.7 Analisis Bivariat antara Penyakit Kronik dengan Kejadian Keterbatasan Fisik pada
Usia Lanjut di Puskesmas Kelurahan Duri Kepa Periode November 2017
Sebaran penyakit kronik pada usia lanjut pada penelitian ini dibagi menjadi 2
kategori, yaitu memiliki penyakit kronik atau tidak memiliki penyakit kronik. Pada penelitian
ini didapatkan dari 95 orang usia lanjut pada kelompok memiliki penyakit kronik 24 orang
menderita keterbatasan fisik dan 71 orang tidak menderita keterbatasan fisik. Sedangkan dari
19 orang usia lanjut pada kelompok tidak memiliki penyakit kronik 1 orang menderita
keterbatasan fisik dan 18 orang tidak menderita keterbatasan fisik.
Hubungan penyakit kronik dengan keterbatasan fisik pada usia lanjut berdasarkan
tabel, digabung dan diuji menggunakan fisher square antara variabel penyakit kronik dengan
variabel keterbatasan fisik didapatkan didapatkan nilai p = 0.069 (p > 0.05) yang berarti H0
gagal ditolak, tidak ada hubungan penyakit kronik dengan kejadian keterbatasan fisik pada
usia lanjut. Hal ini sama dengan penelitian Yenny yang mengatakan tidak ada hubungan
penyakit kronik dengan kejadian keterbatasan fisik.46
5.8 Analisis Bivariat antara Aktifitas Fisik dengan Kejadian Keterbatasan Fisik pada
Usia Lanjut di Puskesmas Kelurahan Duri Kepa Periode November 2017
Sebaran aktifitas fisik pada penelitian ini dibagi menjadi 2 kategori yaitu Ya untuk
usia yang melakukan aktifitas fisik dan Tidak ada untuk usia lanjut yang tidak melakukan
aktifitas fisik baik harian ataupun mingguan. Pada penelitian ini dari 59 orang pada kelompok
kategori yang tidak melakukan aktifitas fisik didapatkan 24 orang menderita keterbatasan
fisik dan 35 orang mandiri. Sedangkan dari 55 orang pada kelompok kategori usia dengan
aktifitas fisik didapatkan 1 orang menderita keterbatasan fisik dan 54 orang mandiri tanpa
keterbatasan fisik.
56
Hubungan aktifitas fisik dengan kejadian keterbatasan fisik pada usia lanjut
berdasarkan tabel, digabung dan diuji dengan uji Chi Square square antara variabel aktifitas
fisik dengan variabel keterbatasan fisik didapatkan didapatkan nilai p = 0.000 (p < 0.05) yang
berarti H0 ditolak maka ada hubungan yang bermakna antara keterbatasan fisik dengan
kejadian keterbatasan fisik pada usia lanjut. Hal ini dikarenakan mereka yang memiliki
tingkat latihan lebih tinggi memiliki risiko lebih rendah untuk kejadian keterbatasan fisik
pada aktifitas sehari-hari. Hal ini sejalan dengan penelitian Sugiharti dimana orang yang tidak
melakukan olah raga maupun melakukan olah raga tidak teratur akan mengalami keterbatasan
fisik 2,5 kali dibanding orang yang melakukan olahraga teratur.78
Penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Pennix (2015) yang
menyatakan bahwa ada hubungan antara aktifitas fisik dengan kejadian keterbatasan fisik (p
= 0,004). Penelitian yang dilakukan oleh Marco sejalan dengan penelitian yang lain dimana ia
menggunakan akselerator dan didapatkan bahwa aktifitas fisik yang sedang berhubungan
dengan keterbatasan fisik dimana para lanjut usia status kesehatannya meningkat (p =
0,001).87,94
57
Bab VI
58
6.2.3 Saran untuk peneliti selanjutnya
Diharapkan peneliti selanjutnya agar dapat melanjutkan penelitian dengan kajian
variabel-variabel lain yang berbeda terkait dengan keterbatasan fisik pada lansia
Diharapkan peneliti selanjutnya agar dapat melanjutkan penelitian dengan metode
desain penelitian yang lainnya.
Diharapkan peneliti selanjutnya dapat melanjutkan penelitian ini sebagai data dasar
maupun sumbangan ide penelitian berikutnya.
6.3 Kelemahan peneliti
Dalam menyusun peneliti ini, masih banyak kelemahan dam kekurangan dari penulis
yaitu peneliti hanya mengungkapkan faktor tingkat usia, jenis kelamin, status
perkawinan, status gizi, adanya penyakit kronis dan aktivitas fisik yang berhubungan
dengan keterbatasan fisik pada lansia. Disatu sisi masih ada faktor lain seperti faktor
kondisi sosial ekonomi, dukungan keluarga, perilaku buruk seperti merokok dan
mengkonsumsi alkohol. Penelitian ini hanya mengungkap responden yang berada di
wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Duri Kepa, Jakarta Barat sehingga belum
digeneralisasikan secara luas.
59
Daftar Pustaka
1. Barbotte E, Guillemin F, Chau N, Group L. Prevalence of impairments , disabilities ,
handicaps and quality of life in the general population : a review of recent literature.
Bul World Heal Organ. 2001;79(11):1047–55.
2. WHO. World report on disability. WHO Libr catalouging Publ data. 2011;19–46.
4. Gambaran kesehatan lanjut usia di Indonesia. Pus Data dan Inf Kemenkes RI. Jakarta;
2013;27.
5. Diono A. Situasi penyandang disabilitas. Bul Jendela Data dan Inf Kesehat. 2014;1–
18.
7. Astriwi N. Pengaruh pemberian latihan beban dengan metode de lorme dan metode
oxford terhadap peningkatan kekuatan otot biceps brachii. 2014;1–19.
8. WHO. What are the main risk factors for disability in old age and how can disability
be prevented ? Heal Evid Netw. 2003;(September).
9. Abdulraheem IS, Oladipo AR, Amodu MO. Prevalence and Correlates of Physical
Disability and Functional Limitation among Elderly Rural Population in Nigeria. J
Aging Res. 2011;2011:1–13.
10. Suparyanto. Konsep ADL (activity daily living) [Internet]. STIKES. 2012. Diambil
dari: http://dr-suparyanto.blogspot.co.id/2012/02/kionsep-adl-activity-daily-living.html
11. Collin C, Wade D, Davies S, Horne V. The Barthel index of activities of daily living :
a reliability study. Int Disabil Stud. 1988;10(2):1–2.
12. Muljati S, Triwinarto A, Kristanto Y. Disabilitas pada lanjut usia menurut status gizi,
anemia, dan karakteristik sosiodemografi. J Pus Teknol Terap Kesehat dan Epidemiol
Klin. 2014;37(2):87–100.
13. Artaud, Dugravot, Sabia, Singh-Manoux, Tzourio, Elbaz. Unhealthy behaviours and
disability in older adults: three-city dijon cohort study. Br Med J. 2013;
60
14. Gupta P, Mani K, Rai SK, Nongkynrih B, Gupta SK. Functional Disability Among
Elderly Persons in a Rural Area of Haryana. Indian J Public Health. 2014;58(1).
15. Prizer LP, Gay JL, Gerst-emerson K, Froehlich-grobe K. The role of age in moderating
the association between disability and light-intensity physical activity. Am J Heal
Promot. 2016;30(3):101–10.
16. Manini T. Development of physical disability in older adults. Curr Aging Sci
[Internet]. Desember 2011;4(3):184–91. Diambil dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3868456/
18. Jette AM, Branch LG. The Framingham disability study : physical disabliity among
the aging. Am J Public Health. 1981;71(11):1211–6.
19. Wang H, Chen K, Pan Y, Jing F, Liu H. Associations and impact factors between
living arrangements and functional disability among older chinese adults. PLoS One.
2013;8(1):1–7.
21. Wardhani, Fauzia Y. Analisis hubungan gaya hidup dengan disabilitas dan kesehatan
mental. Lap Anal Lanjut Riskesdas Badan Litbang Kesehat. 2007;2(1):1–5.
22. Astuti, Didik B. Tingkat disabilitas fisik berdasarkan penyakit degeneratif yang
diderita menurut faktor sosial dan demografi. Kasjian Isu Publik dalam Formulasi
Kebijak Kesehat Puslitbang Sist dan Kebijak Kesehat. 2009;12(4):378–92.
23. Chen W, Fang Y, Mao F, Hao S, Chen J. Assessment of disability among the elderly in
Xiamen of China : a representative sample survey of 14 , 292 older adults. J Xiamen
state key Lab Mol Vaccinol Mol diagnostic. 2015;1–12.
24. Strandberg TE, Stenholm S, Strandberg AY, Salomaa V V, Pitkälä KH, Tilvis RS. The
“obesity paradox, ” frailty, disability, and mortality in older men : a prospective,
61
longitudinal cohort study. Am J Epidemiol. 2013;178(9):1452–60.
25. Ramsay SE, Whincup PH, Shaper AG, Wannamethee SG. The relations of body
composition and adiposity measures to III health and physical disability in elderly
men. Am J Epidemiol. 2017;164(5):459–69.
26. Oman D, Reed D, Ferrara A. Do elderly women have more physical disability than
men do ? Am J Epidemiol. 1999;150(8):834–42.
27. Kim DH, Newman AB, Lipsitz LA. Prediction of severe, persistent activity of daily
living disability in older adults. Am J Epidemiol. 2013;178(7):1085–93.
28. Clarke P, Ailshire JA, Bader M, Morenoff JD, House JS. Mobility disability and the
urban built environment. Am J Epidemiol. 2008;168(5):506–13.
31. Tanjani PT, Akbarpour S, Ainy E, Soori H. Socio-demographic risk factors of mobility
dysfunction and limitations in physical functioning disability among the elderly in
Iran : a nationwide cross sectional survey. J Pak Med Assoc. 2013;1060–4.
32. Cobb LK, Godino JG, Selvin E, Kucharska-newton A, Coresh J, Koton S. Spousal
influence on physical activity in middle-aged and older adults the ARIC study. Am J
Epidemiol. 2016;183(5):444–51.
33. Schone BS, Weinick RM. Health-related behaviors and the benefits of marriage for
elderly persons. Gerontologist. 1998;38(5):618–27.
34. Saito T, Murata C, Aida J, Kondo K. Cohort study on living arrangements of older
men and women and risk for basic activities of daily living disability : findings from
the AGES project. BMC Geriatr. BMC Geriatrics; 2017;17:1–14.
35. Kiregu J, Murindahabi NK, Tumusiime D, Thomson DR. Socioeconomics and major
62
disabilities : characteristics of working-age adults in Rwanda. PLoS One. 2016;0–1.
36. Schmitz N, Nitka D, Gariepy G, Malla A, Wang JL, Boyer R, et al. Association
between neighborhood-level deprivation and disability in a community sample of
people with diabetes. Diabetes Care. 2009;32(11):1998–2004.
37. Coppin AK, Ferrucci L, Lauretani F, Phillips C, Chang M, Bandinelli S, et al. Low
socioeconomic status and disability in old age : evidence from the in Chianti study for
the mediating role of physiological impairments. J Gerontol. 2006;61A(1):86–91.
41. Baumgartner RN, Koehler KM, Gallagher D, Romero L, Heymstleld SB, Ross RR, et
al. Epidemiology of sarcopenia among the elderly in New Mexico. Am J Epidemiol.
1998;147(8):755–63.
43. Yin Z, Shi X, Kraus VB, Brasher MS, Liu Y, Lv Y, et al. Gender-dependent
association of body mass index and waist circumference with disability in the Chinese
oldest old. HHS Public Access. 2015;22(155):1918–25.
63
45. Darmojo B, Martono H. Ilmu kesehatan usia lanjut. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. 364-9 p.
46. Yenny H, Erly. Prevalensi penyakit kronis dan kualitas hidup pada lanjut usia di
Jakarta Selatan. Universa Med. 2006;25(4):164–71.
49. Consultation IDF. Definition and diagnosis of diabetes mellitus and intermediate
hyperglycaemia.
53. Hubungan faktor risiko umur, jenis kelamin, kegemukan dan hipertensi dengan
kejadian diabetes mellitus tipe I di wilayah kerja puskesmas Mataram. Bina Ilm.
2014;8(1):39–44.
54. Seok Won P, Bret G, Elsa S, Nathalie R, Tamara H, Ann S. Decreased muscle strength
and quality in older adults with type 2 diabetes. 2006;55:1813–8.
55. Chiu C-J, Wray LA, Ofstedal MB. Diabetes-related change in physical disability from
midlife to older adulthood: evidence from 1996-2003 survey of health and living status
of the elderly in Taiwan. NIH Public Access. 2012;91(3):413–23.
56. Gregg EW, Beckles G LA, Williamson DF, Leveille SG, Langlois JA, Engelgau MM,
et al. Diabetes and physical disability among older US adults. Diabetes Care.
2000;23(9):1272–7.
57. Songer TJ. Disability in Diabetes. Diabetes Am. Washington DC; 1995;261–80.
64
58. Arissa MI. Pola distribusi kasus osteoartritis di RSU Dokter Soedarso Pontianak
periode 1 januari 2008 - 31 desember 2009. Pontianak; 2012.
60. Walker JL, Harrison TC, Brown A, Szanton SL. Factors associated with disability
among middle-aged and older African American women with osteoarthritis. HHS
Public Access. 2017;9(3):510–7.
62. Steinhilber B, Haupt G, Miller R, Grau S, Janssen P, Krauss I. Stiffness, pain, and hip
muscle strength are factors associated with self-reported physical disability in hip
osteoarthritis. J Geriatr Phys Ther. 2014;37:99–105.
63. Kurniawan F. Hubungan antara kualitas nyeri dengan kemampuan aktivitas fungsional
penderita osteoartritis lutut naskah publikasi. Muhammadiyah Surakarta; 2016.
64. Brooks PM. Impact of osteoarthritis on individuals and society: how much disability ?
social consequences and health economic implications. Curr Opin Rheumatol.
2002;14(5):573–7.
65. Steultjens MPM, Dekker J, Baar ME Van, Oostendorp RAB, Bijlsma JWJ. Range of
joint motion and disability in patients with osteoarthritis of the knee or hip.
Rheumatology. 2000;39:955–61.
66. Pradipta EA, Arifputera A, Calistania C, Klarisa C, Priantono D, Wardhani DP, et al.
Kapita Selekta Kedokteran. IV. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA, editor.
Jakarta: Media Aesculapsius; 2014. 388-389 p.
67. Sari MAP, Kristiana IW, Ayu K NLPM. Gambaran faktor-faktor determinan pada
pasien hipertensi di desa Sudimara kecamatan Tabanan, kabupaten Tabanan mei 2010.
2010;8.
68. Brookes L. The updated WHO/ISH hypertension guidelines. Medscape Cardiol. 2004;
65
69. Stroke [Internet]. WHO. 2013. Diambil dari: http://www.who.int/topics/stroke/en/
71. Seng L, Seow E, Subramaniam M, Abdin E, Vaingankar JA, Chong SA. Hypertension
and its associated risks among Singapore elderly residential population. J Clin
Gerontol Geriatr. Elsevier Taiwan LLC; 2015;6:125–32.
72. Damping, CE HD. Implikasi klinis depresi pada lanjut usia : teori terkini. Kongr Nas
Gerontol. 2003;
73. Darmojo B, Parsudi, Imam A. Ginjal dan hipertensi. Buku ajar geriatri (ilmu kesehatan
usia lanjut). Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1999.
75. Qian J, Ren X. Association between comorbid conditions and BADL/IADL disability
in hypertension patients over age 45. Qian Ren Med. 2016;95(31):1–7.
77. Hajjar I, Lackland D, Cupples LA, Lipsitz LA. The association between concurrent
and remote blood pressure and disability in older adults. NIH Public Access.
2008;50(6):1026–32.
78. Sugiharti, Lestary H. Keterbatasan fisik pada lanjut usia di Indonesia tahun 2007.
2011;2(1):39–48.
79. Sidharta P. Neurologi klinis dalam praktek umum. Jakarta: Dian Rakyat; 2012. 260-94
p.
80. Luengo-fernandez R, Paul NLM, Gray AM, Sarah T, Bull LM, Welch SJ V, et al. A
population-based study of disability and institutionalisation after TIA and stroke : 10-
year results of the Oxford Vascular Study. Eur PMC Funders Gr. 2016;44(10):2854–
66
61.
81. Burke JF, Freedman VA, Lisabeth LD, Brown DL. Racial differences in disability
after stroke Results from a nationwide study. Am Acad Neurol. 2014;83(5):390–7.
83. Poltawski L, Allison R, Briscoe S, Freeman J, Kilbride C, Neal D, et al. Assessing the
impact of upper limb disability following stroke : a qualitative enquiry using internet-
based personal accounts of stroke survivors. Disabil Rehabil an Int Multidiscip J.
2016;38(10):945–51.
84. Nurhayati S. Analisis faktor risiko kejadian disabilitas fisik pada lansia di kecamatan
punung kabupaten pacitan tahun 2014. [Semarang]: Universitas Negeri Semarang;
2014.
85. Harrington D, Anker SD, Chua TP, Webb-peploe KM, Ponikowski PP, Poole-wilson
PA, et al. Skeletal muscle function and its relation to exercise tolerance in chronic
heart failure. J Am Coll Cardiol [Internet]. Elsevier Masson SAS; 1997;30(7):1758–
64. Diambil dari: http://dx.doi.org/10.1016/S0735-1097(97)00381-1
86. Mithal M, Mann WC, Stone JH. Functional limitation and disability associated with
congestive heart failure. Phys Occup Ther Geriatr [Internet]. Taylor & Francis; 1
Januari 2001;18(3):45–56. Diambil dari: http://dx.doi.org/10.1080/J148v18n03_03
87. Newman AB, Simonsick EM, Naydeck BL, Boudreau RM, Kritchevsky SB, Nevitt
MC, et al. Association of long-distance corridor walk performance with mortality,
cardiovascular disease, mobility limitation, and disability. J Am Med Assoc.
2006;295(17):2018–26.
88. Brochu M, Savage P, Lee M, Dee J, Cress ME, Poehlman ET, et al. Effects of
resistance training on physical function in older disabled women with coronary heart
disease. J Appl Physiol. 2002;92:672–8.
67
based study. PLoS One. 2013;8(5):1–7.
91. Sianturi E. Strategi pencegahan hipertensi esensial melalui pendekatan faktor risiko di
RSU dr. Pirngadi kota Medan [Internet]. 2004. hal. 10–64,91. Diambil dari:
http://repository.usu.ac.id/
92. Handajani, Suzy Y. Indeks pengukuran keterbatasan fisik dan prediksi kualitas hidup
pada masyarakat lanjut usia di DKI Jakarta (suatu upaya memperkirakan kemandirian
lanjut usia). [Depok]: Universitas Indonesia; 2006.
93. Nelson ME, Rejeski WJ, Blair SN, Duncan PW, Judge JO, King AC, et al. Physical
activity and public health in older adults: recommendation from the American College
of Sports Medicine and the American Heart Association. Am Coll Sport Med.
1995;1435–45.
94. Penninx BW, Messier SP, Rejeski WJ, Williamson JD, DiBari M, Cavazzini C, et al.
Physical exercise and the prevention of disability in activities of daily living in older
persons with osteoarthritis. J Am Med Assoc Intern Med. 2015;161(19):2309–16.
95. Bonds DE, Church TS, Espeland MA, Fielding RA, Gill TM, Groessl EJ, et al. Effect
of structured physical activity on prevention of major mobility disability in older adults
the LIFE study randomized clinical trial. J Am Med Assoc. 2014;311(23):2387–96.
96. Bean JF, Kiely DK, Herman S, Leveille SG. The relationship between leg power and
physical performance in mobility-limited older people. J Am Geriatr Soc.
2002;50:461–7.
97. Liu F, Woodrow J, Loucks-atkinson A, Buehler S, West R, Wang PP. Smoking and
alcohol consumption patterns among elderly Canadians with mobility disabilities.
BMC Res Notes [Internet]. BMC Research Notes; 2013;6(1):1. Diambil dari: BMC
Research Notes
98. Karlamangla AS, Sarkisian CA, Kado DM, Dedes H, Liao DH, Kim S, et al. Light to
moderate alcohol consumption and disability : variable benefits by health status. Am J
Epidemiol. 2009;169(1):96–104.
68
99. Samokhvalov A V, Popova S, Room R, Ramonas M, Rehm J. Disability associated
with alcohol abue and dependence. NIH Public Access. 2011;34(11):1871–8.
100. Haryono, Laras. Studi deskriptif penyakit kronis, faktor perilaku dan lingkungan pada
keterbatasan fisik dan kualitas hidup lansia peserta posbindu puskesmas Pancoran Mas
kota Depok. [Depok]: Universitas Indonesia; 2008.
101. Sugiarto A. Faktor-faktor risiko hipertensi grade II pada masyarakat (studi kasus di
kabupaten Karanganyar). 2007;29–50, 90–126. Diambil dari:
http://eprints.undip.ac.id/,20
103. Russell D. Living Arrangements, Social Integration, and Loneliness in Later Life: The
Case of Physical Disability. J Health Soc Behav [Internet]. SAGE Publications; 1
Desember 2009;50(4):460–75. Diambil dari:
https://doi.org/10.1177/002214650905000406
104. Pelayanan kesehatan mental dalam hubungannya dengan disabilitas dan gaya hidup
masyarakat Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Humaniora dan
Manajemen Kesehatan. 2016.
107. SJ K, Kabeto M, KM L. Gender disparities in the receipt of home care for elderly
people with disability in the united states. JAMA [Internet]. 20 Desember
2000;284(23):3022–7. Diambil dari: http://dx.doi.org/10.1001/jama.284.23.3022
108. Situmorang A, Sudaryati E, Siregar MA. Hubungan karakteristik, gaya hidup, dan
69
asupan gizi dengan status gizi pada lansia di wilayah kerja puskesmas aek habil kota
Sibolga. J Gizi Kesehat Reproduksi dan Epidemiol. 2014;1(3):1–8.
70