Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN PROBLEM BASED LEARNING

BLOK DERMATO-MUSKULOSKELETAL (DMS)


PBL KASUS 3

Tutor :
dr. Retno Widiastuti, MS

Kelompok 2
Mala Sabinta Riani G1A013012
Anisa Nur Fitria G1A013013
Arifah Mabruroh Prilia G1A013015
Nur Amalia Fauziah G1A013016
Sri Nurhayati G1A013017
Tressa Sugiharti G1A013018
Dias Guita Alantus G1A013019
Moh. Rezza Rizaldi G1A013020
Khairunnisa Rahadatul A G1A013021
Meghantari Putri G1A013022
Rizki Baiti Oktaviyani G1A013023

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO
2014
BAB I

PENDAHULUAN

A. SKENARIO

Sdr Tono, pasien Laki-laki umur 31 tahun datang ke IGD di rumah sakit
anda bekerja, 2 jam yang lalu Sdr Tono mengalami kecelakaan lalu lintas,
motornya menabrak motor lain sehingga dia terjatuh, proses terjatuh nya
dia tidak ingat karena berlangsung cepat, selama 2 jam yang lalu sampai
sekarang Sdr Tono selalu sadar,dan tidak mual atau muntah, helm nya
tidak terlepas dan tetap terpasang. Dia datang mengeluhkan nyeri di
tungkai bawah kaki kanan, terlihat bengkok, sampai tidak bisa berjalan.
Riwayat bekas dipijat tidak ada.

INFORMASI 2

A : Clear
B : Spontan
C : Perdarahan (-), Syok (-)
D : GCS : E4 M6 V5 = 15
Pemeriksaan Fisik :
KU/Kes : Sedang / CM
TD : 120/90
N : 80x/menit
Rr : 20x/menit
S : 37oC
Status Internus : dalam batas normal
Status Lokalis Regio cruris:
L : swelling (+), deformitas (+), hematom (+), VL –
F : nyeri ++
M : terbatas, nyeri
INFORMASI 3

Foto Rontgen

Laboratorium

Hb : 10,7 g/ dl

Ht : 32 %

Leukosit : 15.800/uL

Trombosit : 260.000/uL

MCV : 73 fl

MCH : 25 pg

MCHC : 34 g/dl

Bleeding Time : 03’00’’

Clothing Time : 12’00’’

Ureum : 22 mg/dL

Cretinin : 1,2 mg/dL

GDS : 152 mg/dL

Na : 141 meq/L

K : 4,5 meq/L

Cl : 102 meq/L

INFORMASI 4

Beberapa menit kemudian pasien tetap mengeluh kesakitan, walaupun


telah diberikan anti nyeri, dan nyerinya semakin menjadi-jadi, tungkai
bawahnya terasa Parastesia, Pallor, dan ketika di tekan pada tungkai
bagian bawah terasa kencang.
Diagnosis Kerja : Fraktur tertutup os tibia dextra, komplikasi sindroma
kompartemen.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Klarifikasi Istilah
Bagian kaki dari lutut ke bawah,
terdiri dari os tibia dan os fibula,
Tungkai bawah ada bagian epifisis dan diafisis. Ada
condyles lateral et medial (Price dan
Wilson, 2005).
Keadaan disintegritas tulang,
penyebabnya karena trauma, faktor
Terlihat bengkok
lain seperti generative, osteoporosis,
atau fraktur (Anonim, 2012)
Spasme otot akibat reflek involunter
pada otot, trauma langsung pada
jaringan, peningkatan tekanan pada
Nyeri
saraf sendori, pergerakan pada
daerah fraktur (Price dan Wilson,
2005).
Instalasi gawat darurat  salah satu
unit di Rumah Sakit yang harus
dapat memberikan pelayanan
IGD darurat kepada masyarakat yang
menderita penyakit akut dan
mengalami kecelakaan, sesuai
dengan standar (Anonim, 2012)
B. Batasan Masalah
1. Data Umum
a. Nama : Sdr. Tono
b. Usia : 31 th
c. Jenis Kelamin : Laki-laki
2. RPS :
a. Onset : 2 jam
b. Keluhan utama : nyeri tungkai bawah kaki kanan
c. Letak : tungkai bawah kaki kanan
d. Kualitas : gerakan terbatas
e. Kuantitas : nyeri ++
f. Keluhan yang menyertai
g. Faktor memperberat : bengkak, deformitas, hematom
h. Faktor memperingan : selalu sadar,dan tidak mual atau muntah,
helm nya tidak terlepas dan tetap terpasang
i. Kronologi : naik kendaraan bermotor  kecelakaan  2 jam
kemudian dibawa ke RS
3. RPD : -
4. RPK : -
5. RSE : -

C. Analisis Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan GCS?
2. Jelaskan anatomis tungkai bawah?
3. Biomekanika fraktur ?
4. Bagaimana cara pemeriksaan trauma skeletal?
5. Bagaimana cara pembidaian?
6. Bagaimana cara penyembuhan luka dan kelainan dalam proses
penyembuhan ?
D. Meyusun Berbagai Penjelasan Mengenai Permasalahan yang Ada
1. Apa yang dimaksud dengan GCS?
Glasgow Coma Scale (GCS) adalah skala yang dipakai untuk
menentukan/menilai tingkat kesadaran pasien, mulai dari sadar
sepenuhnya sampai keadaan koma. Teknik penilaian dengan ini terdiri
dari tiga penilaian terhadap respon yang ditunjukkan oleh pasien
setelah diberi stimulus tertentu, yakni respon buka mata, respon
motorik terbaik, dan respon verbal. Setiap penilaian mencakup poin-
poin, di mana total poin tertinggi bernilai 15.

Jenis Pemeriksaan Nilai


Respon buka mata (Eye Opening, E)
· Respon spontan (tanpa stimulus/rangsang) 4
· Respon terhadap suara (suruh buka mata) 3
· Respon terhadap nyeri (dicubit) 2
· Tida ada respon (meski dicubit) 1
Respon verbal (V)
· Berorientasi baik 5
· Berbicara mengacau (bingung) 4
· Kata-kata tidak teratur (kata-kata jelas dengan 3
substansi tidak jelas dan non-kalimat, misalnya, “aduh…
bapak..”)
· Suara tidak jelas (tanpa arti, mengerang) 2
· Tidak ada suara 1
Respon motorik terbaik (M)
· Ikut perintah 6
· Melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus 5
saat diberi rangsang nyeri)
· Fleksi normal (menarik anggota yang dirangsang) 4
· Fleksi abnormal (dekortikasi: tangan satu atau
keduanya posisi kaku diatas dada & kaki extensi saat diberi 3
rangsang nyeri)
· Ekstensi abnormal (deserebrasi: tangan satu atau
keduanya extensi di sisi tubuh, dengan jari mengepal & 2
kaki extensi saat diberi rangsang nyeri)
· Tidak ada (flasid)
1

Interpretasi atau hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan


GCS disajikan dalam simbol E, V, dan M. Selanutnya nilai tiap-tiap
pemeriksaan dijumlahkan, nilai GCS yang tertinggi adalah 15 yaitu E4
V5 M6 dan terendah adalah 3 yaitu E1 V1 M1. Biasanya, pasien
dengan nilai GCS dibawah 5 ialah pasien emergensi yang sulit
dipertahankan keselamatannya. Berdasarkan buku Advanced Trauma
Life Support, GCS berguna untuk menentukan derajat trauma/cedera
kepala (trauma capitis).

Derajat cedera kepala berdasarkan GCS:


GCS : 14-15 = CKR (cedera kepala ringan)
GCS : 9-13 = CKS (cedera kepala sedang)
GCS : 3-8 = CKB (cedera kepala berat)

2. Jelaskan anatomis tungkai bawah?


Terdiri dari 4 kompartemen:
a. Kompartemen anterior : otot tibialis anterior, ekstensor jari kaki
b. Kompartemen Lateral : otot peroneus longus et brevis
c. Kompartemen Posterior superficial : otot gastrocnemius dan soleus
d. Kompartemen Posterior profunda : otot tibialis posterior dan flexor
ibu jari kaki
Anatomi tungkai bawah
3. Biomekanika fraktur
Proses atau mekanisme kejadian kecelakaan saat sebelum, saat
kejadian dan sesudah kejadian (Ananggadipta, 2012) :
Fungsinya :
a. Mengetahui bagaimana proses kejadian berlangsung
b. Memprediksi kemungkinan bagian tubuh atau organ yang terkena
cidera
c. Memebantub dalam mengerti akibat yang ditimbulkan trauma
d. Lebih waspada terhadap perlakuan tertentu
e. Sarana melakukan triange

Fase sebelum kejadian :

a. Minum alkohol
b. Pemakaian obat
c. Kejang
d. Sakit dada
e. Kehilangan kesadaran

Fase saat kejadian :

a. Adanya penekanan berlebih


b. Adanya rotasi berlebih
c. Terimpa kendaraan
d. Terlempar jauh

Fase setelah kejadian :

a. Fraktur terbuka
b. Fraktur tertutup
c. Perdarahan
d. Dislokasi
e. Lecet-lecet
4. Bagaimana cara pemeriksaan trauma skeletal?
a. Pemeriksaan status lokasi
Tanda-tanda klinis pada fraktur tulang panjang (Rasjad, 2007) :
1) Look, mencari apakah terdapat :
a) Deformitas, terdiri dari penonjolan yang abnormal seperti
fraktur kondilus lateralis humerus, adanya angulasi, rotasi,
dan pemendekan
b) Functio laesa (hilangnya fungsi, misalnya pada fraktur
kruris sehingga tidak bisa berjalan
c) Melihat ukuran panjang tulang, membandingkan kiri dan
kanan, misalnya pada tungkai bawah melipuwi apparent
length (jarak antara ubilikus dengan maleolus medialis)
dan true length (jarak antara SIAS dengan maleolus
medialis)
2) Feel, mencari apakah terdapat :
a) Nyeri tekan
b) Krepitasi
c) Pemeriksaan status neurologis dan vaskuler di bagian
distal fraktur
d) Palpasi daerah ekstremitas tempat fraktur tersebut, di
bagian distal cedera meliputi pulsasi arteri, warna kulit,
capillary refill test
e) Suhu kulit, denyutan arteri
f) Jaringan lunak, mengetahui adanya spasme otot, atrofi otot
g) Pada pemeriksaan nyeri sumbu tidak dilakukan lagi karena
akan menambah trauma
3) Move, mencari :
a) Krepitasi, terasa bila fraktur digerakkan. Tetapi pada
tulang spongiosa atau tulang rawan epifisis tidak terasa
krepitasi. Pemeriksaan ini sebaiknya tidak dilakukan
karena akan menambah trauma
b) Nyeri bila digerakkan, baik pada gerakan aktif maupun
pasif
c) Seberapa jauh gangguan-gangguan fungsi, gerakan-
gerakan yang tidak mampu digerakkan, range of motion
(derajat dari ruang lingkup gerakan sendi), dan kekuatan
d) Evaluasi gerakan sendi secara aktif dan pasif, apakah
gerakan menimbulkan sakit dan disertai krepitasi
e) Stabilitas sendi
f) ROM, abduksi, adduksi, ekstensi, fleksi, rotasi eksterna,
rotasi interna, pronasi, supinasi, fleksi lateral, dorsofleksi,
plantar fleksi, inverse, eversi
b. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan radiologis
a) Mencakup dua gambaran anteroposterior dan lateral
b) Memuat dua sendi antara fraktur yaitu bagian proksimal
dan distal
c) Memuat dua ekstremitas baik yang cidera maupun yang
tidak terkena cidera
d) Dilakukan dua kali, sebelum tindakan dan sesudah
tindakan
2) Pemeriksaan laboratorium
a) Darah rutin, untuk hematokrit dan leukosit
b) Faktor pembekuan darah
c) Golongan darah
d) Urinalisa
e) Kreatinin (trauma otot dapat meningkatkan beban
kreatinin untuk kliren ginjal)

5. Bagaimana cara pembidaian?


Bidai atau spalk adalah alat dari kayu, anyaman kawat, atau bahan
lain yang kuat tetapi ringan yang digunakan untuk menahan atau
menjaga agar bagian tulang yang patah tidak bergerak (immobilisasi)
memberikan istirahat, dan mengurangi rasa sakit (Sjamsuhidajat,
2004).
Pinsip pembidaian adalah (Sjamsuhidajat, 2004) :
a. Lakukan pembidaian di tempat dimana anggota badan mengalami
cidera
b. Lakukan juga pembidaian pada persangkaan patah tulang, jadi
tidak perlu harus dipastikan dulu ada tidaknya patah tulang
c. Melewati minimal dua sendi yang berbatasan
Syarat-syarat pembidaian:
a. Siapkan alat-alat selengkapnya
b. Bidai harus meliputi dua sendi dari tulang yang patah. Sebelum
dipasang diukur lebih dulu pada anggota badan korban yang tidak
sakit
c. Ikatan jangan terlalu keras dan terlalu kendor
d. Bidai dibalut dengan pembalut sebelum digunakan
e. Ikatan harus cukup jumlahnya, dimulai dari sebelah atas dan bawah
tempat yang patah
f. Kalau memungkinkan, anggota gerak tersebut ditinggikan setelah
dibidai
g. Sepatu, gelang, jam tangan, dan alat pengikat perlu dilepas
(Sjamsuhidajat, 2004).
Cara Pembidaian Tungkai Bawah:
a. Imobilisasikan tungkai yang mengalami cedera untuk mengurangi
nyeri dan mencegah timbulnya kerusakan yang lebih berat
b. Carilah bahan kaku yang cukup panjang sehingga mencapai jarak
antara telapak tangan sampai dengan diatas lutut.
c. Carilah bahan yang bisa digunakan sebagai tali untuk mengikat
bidai
d. Pastikan bahwa tungkai berada dalam posisi lurus
e. Letakkan bidai di sepanjang sisi bawah tungkai, sehingga bidai
dalam posisi memanjang antara sisi bawah lutut sampai dengan
dibawah telapak kaki
f. Pasanglah bidai pasangan di sisi atas tungkai bawah sejajar dengan
bidai yang dipasang di sisi bawah tungkai
g. Ikatlah bidai pada posisi diatas dan di bawah lokasi fraktur.
Pastikan bahwa lutut dan pergelangan kaki sudah terimobilisasi
dengan baik
h. Pasanglah bantalan pada ruang kosong antara bidai dan lengan
yang dibidai
i. Periksalah sirkulasi, sensasi dan pergerakan pada region distal dari
lokasi pembidaian, untuk memastikan bahwa pemasangan bidai
tidak terlalu ketat (Sjamsuhidajat, 2004).

6. Bagaimana cara penyembuhan luka dan kelainan dalam proses


penyembuhan ?
Fase penyembuhan luka dibagi menjadi 3 fase (Price dan wilson,
2005) :
a. Fase Inflamasi : terjadi luka pada hari ke5. Tanda inflamasi jelas,
rubor, kalor, dolor, tumor, fungsio lesa. Disebut fase lamban,
kolagen terbentuk sedikit, fibrin lemah.
b. Fase Proliferasi : fase fibroplasia, regangan luka mencapai 25%
normal, luka dipenuhi fibroblast dan kolagen, membentuk jaringan
kemerahan  granulasi
c. Fase Remodeling : proses pematangan, penyerapan jaringan
berlebih, jaringan baru terbentuk, fase berlangsung hingga
berbulan-bulan.
E. Merumuskan Sasaran Belajar
1. Definisi fraktur
2. Etiologi fraktur
3. Macam-macam fraktur
4. Klasifikasi fraktur
5. Patofisiologi fraktur
6. Penatalaksanaan fraktur
7. Komplikasi fraktur
8. Prognosis

F. Belajar Mandiri
Sudah dilakukan

G. Menarik Mengambil Informasi yang Dibutuhkan


1. Definisi fraktur
Fraktur adalah kerusakan struktur di dalam tulang, lapisan epifisis,
atau permukaan sendi tulang rawan dan disertai dengan gejala klasik
fraktur berupa adanya riwayat trauma, rasa nyeri dan bengkak di
bagian tulang yang patah, deformitas, nyeri tekan, krepitasi, gangguan
fungsi musculoskeletal akibat nyeri, putusnya kontinuitas tulang, dan
dapat terjadi gangguan neuromuscular (Garrison, 2001 ;
Sjamsuhidayat, 2011).
2. Etiologi fraktur
Etiologi fraktur yang dimaksud adalah peristiwa yang dapat
menyebabkan terjadinya fraktur diantaranya peristiwa
trauma(kekerasan) dan peristiwa patologis (Ananggadipta, 2012).

a. Peristiwa Trauma (kekerasan)


1) Kekerasan langsung
Kekerasan langsung dapat menyebabkan tulang patah pada
titik terjadinya kekerasan itu, misalnya tulang kaki terbentur
bumper mobil, maka tulang akan patah tepat di tempat
terjadinya benturan. Patah tulang demikian sering bersifat
terbuka, dengan garis patah melintang atau miring
(Ananggadipta, 2012).
2) Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang di
tempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah
biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam hantaran
vektor kekerasan. Contoh patah tulang karena kekerasan tidak
langsung adalah bila seorang jatuh dari ketinggian dengan tumit
kaki terlebih dahulu. Yang patah selain tulang tumit, terjadi pula
patah tulang pada tibia dan kemungkinan pula patah tulang paha
dan tulang belakang. Demikian pula bila jatuh dengan telapak
tangan sebagai penyangga, dapat menyebabkan patah pada
pergelangan tangan dan tulang lengan bawah (Ananggadipta,
2012).
3) Kekerasan akibat tarikan otot
Kekerasan tarikan otot dapat menyebabkan dislokasi dan
patah tulang. Patah tulang akibat tarikan otot biasanya jarang
terjadi. Contohnya patah tulang akibat tarikan otot adalah patah
tulang patella dan olekranom, karena otot triseps dan biseps
mendadak berkontraksi (Ananggadipta, 2012).
b. Peristiwa Patologis
1) Kelelahan atau stres fraktur
Fraktur ini terjadi pada orang yang yang melakukan
aktivitas berulang – ulang pada suatu daerah tulang atau
menambah tingkat aktivitas yang lebih berat dari biasanya.
Tulang akan mengalami perubahan struktural akibat
pengulangan tekanan pada tempat yang sama, atau peningkatan
beban secara tiba – tiba pada suatu daerah tulang maka akan
terjadi retak tulang (Ananggadipta, 2012).
2) Kelemahan Tulang
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal karena
lemahnya suatu tulang akibat penyakit infeksi, penyakit
metabolisme tulang misalnya osteoporosis, dan tumor pada
tulang. Sedikit saja tekanan pada daerah tulang yang rapuh maka
akan terjadi fraktur (Ananggadipta, 2012).

3. Macam-macam fraktur
Macam-macam fraktur menurut Ananggadipta (2012) adalah sebagai
berikut :

a. Fraktur Tertutup (Simple Fracture).

Fraktur tertutup adalah fraktur yang fragmen tulangnya tidak


menembus kulit sehingga tempat fraktur tidak tercemar oleh
lingkungan/tidak mempunyai hubungan dengan dunia luar.

b. Fraktur Terbuka (Compound Fracture).

Fraktur terbuka adalah fraktur yang mempunyai hubungan


dengan dunia luar melalui luka pada kulit dan jaringan lunak, dapat
berbentuk from within (dari dalam), atau from without (dar iluar).

c. Fraktur dengan komplikasi (Complicated Fracture).

Fraktur dengan komplikasi adalah fraktur yang disertai dengan


komplikasi, misalnya mal-union, delayed union, non-union, dan
infeksi tulang.

4. Klasifikasi fraktur
a. Berdasarkan garis fraktur (Sjamsuhidayat, 2011):
1) Tranversa
2) Oblik
3) Spiral
4) Kominutif
5) Segmental
6) Kupu-kupu
7) Impaksi
8) Greenstick
b. Berdasarkan hubungan antar fragmen :
1) Fraktur undisplaced (tidak bergeser) : garis patah komplit tetapi
kedua fragmen tidak bergeser, periosteum masih utuh.
2) Fraktur displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen-
fragmen fraktur yang disebut juga dislokasi fragmen.
Klasifikasi derajat fraktur yang dianut menurut Gustilo
menurut Ananggadipta (2012) :

Derajat Keadaan Klinis


I Luka kecil kurang dari 1 cm panjangnya, biasanya karena luka
tusukan dari fragmen tulang yang menembus keluar kulit.
Terdapat sedikit kerusakan jaringan dan tidak terdapat tanda-tanda
trauma yang hebat pada jaringan lunak. Fraktur yang terjadi
biasanya bersifat simple, transversal, oblik pendek atau sedikit
komunitif.

II Laserasi kult melebihi 1 cm tetapi tidak ada kerusakan jaringan


yang hebat atau avulse kulit. Terdapat kerusakan sedang dari
jaringan dengan sedikit kontaminasi fraktur.

III Terdapat kerusakan yang hebat dari jaringan lunak termasuk otot,
kulit dan struktur neurovaskuler dengan kontaminasi yang hebat.

IIIA Tipe ini biasanya disebabkan oleh karena trauma dengan


kecepatan tinggi. Jaringan lunak cukup menutup tulang yang patah
walaupun terdapat laserasi yang hebat ataupun adanya flap.
Fraktur bersifat segmental atau komunitif yang hebat.

IIIB Fraktur disertai dengan trauma hebat dengan kerusakan dan


kehilangan jaringan, terdapat pendorongan (stripping) periost,
tulang terbuka, kontaminasi yang hebat serta fraktur komunitif
yang hebat.
IIIC Fraktur terbuka yang disertai dengan kerusakan arteri yang
memerlukan perbaikan tanpa memperhatikan tingkat kerusakan
jaringan.
5. Patofisiologi fraktur
Fraktur merupakan bentuk lesi tulang yang umum di definisikan
sebagai putusnya kontinuitas tulang atau bagian struktur tulang yang
termineralisasi disebabkan oleh kekuatan fisik traumatic. Dapat
merupakan fraktur spontan (karena tekanan, putaran, bengkok
berlebihan atau aksi kekuatan mekanik lainnya pada tulang yang
sebelumnya normal) dan fraktur patologik (sebagai akibat jejas pada
tulang yang sebelumnya mengalami kelainan) (Tjahjono, et al., 2011).
Dampak segera fraktur simple adalah putusnya korteks dan
trabekula tulang, mengangkat dan menyobek periosteum, dan
memutuskan periosteal, endosteal, dan pembuluh darah haversian,
menghasilkan ekstra vasasi dan pengumpulan darah dan jendalan darah
diantara segmen tulang, dibawah periosteum yang terangkat dan di
dalam otot yang berdekatan serta jaringan lunak lainnya. Respon
radang akut terjadi di region tempat jaringan alami jelas dan nekrosis
(Tjahjono, et al., 2011).
Segera setelah terjadi jejas, hematoma di dinding kortikal mulai
menjadi jendalan, jarring-jaring benang-benang fibrin mulai dibentuk,
sel-sel jaringan pengikat di sekelilingi jaringan migrasi sepanjang
jarring-jaring tunas endotel kapiler memasuki masa jendalan dan
hematoma menjadi terorganisasi dan berubah menjadi jaringan
granulasi (Tjahjono, et al., 2011).
Osteoblas mulai menimbun osteoid pada trabekula dan korteks atau
dasar jaringan padat. Osteoid menjadi termineralisasi dan membentuk
tulang (anyaman) primitif disekeliling fraktur, jembatan celah fraktur,
menyumbat kavitas medular dan mengimobilisasi fragmen tulang.
Pulau-pulau kecil kartilago dapat terbentuk pada proses perbaikan,
tampaknya oleh karena kurangnya vaskularisasi atau imobilisasi yang
jelek di daerah fraktur (Tjahjono, et al., 2011).
Selanjutnya, kalus interna dan eksterna dari tulang anyaman (non
lamellar) perlahan-lahan berkurang diganti dengan tulang lamellar
yang kuat dan menjadikan sambungan tulang yang kokoh. Proses
remodeling tulang oleh osteoklas dan osteoblas membutuhkan waktu
mingguan atau bulanan. Hasil akhir penyembuhan fraktur dalam posisi
kerusakan yang baik, posisi tertutup dan imobilisasi kokoh fragmen
tulang untuk mencapai penyusunan korteks dan medulla tulang secara
anatomic dan fungsional normal (Tjahjono, et al., 2011).

6. Penatalaksanaan fraktur
a. Medikamentosa
Dengan fiksasi interna ( open reduction internal fixation,
ORIF) dengan menggunakan pelat atau sekrup. Keuntungannya
adalah tercapainya reposisis yang sempurna dan fiksasi yang kokoh
sehingga pasca operasi tidak perlu dipasang gips dan mobilisasi
segera bisa dilakukan. Kerugiannya dapat terjadi infeksi tulang
(Sjamsuhidayat, 2011).

Prinsip terapi luka pada fraktur, antara lain:


1) Debridemen :
Debridement dilakukan untuk membersihkan luka dari
jaringan asing dan jaringan mati. Luka dibersihkan dengan
cairan garam fisiologis dan dapat dibersihkan dengan kasa
sampai setidaknya keluar darah segar dari luka dan tidak
ada pus.
2) Penutupan luka :
Luka dapat ditutup kasa steril dan dibalut bidai sebagai
pertolongan pertama sebelum dimobilisasi kepelayanan
kesehatan.
Prinsip menangani fraktur menurut Apley (1995) meliputi :
1) Reduksi yaitu memperbaiki posisi fragmen yang terdiri dari
reduksi tertutup (tanpa operasi) dan reduksi terbuka
(dengan operasi).
2) Mempertahankan reduksi yaitu tindakan untuk mencegah
pergeseran dengan traksi terus-menerus, pembebatan
dengan gips, fiksasi internal dan eksternal.
3) Memulihkan fungsi yang bertujuan mengurangi oedem,
mempertahankan gerakan sendi.
Selain itu juga bisa dilakukan stabilisasi faktur. Hal ini
dilakukan untuk mengurangi infeksi dan imobilisasi tulang yang
fraktur.Untuk tipe I dan II yang kecil dan fraktur stabil, dapat
menggunakan gips, dan untuk femur dapat digunakan traksi pada
bebat. Stabilisasi fraktur dapat dengan fiksasi eksternal dan internal
(Appley, 1995).
Fiksasi internal menahan fraktur secara aman sehingga gerakan
lebih awal penyakit fraktur (kaku dan edema) dapat dihilangkan.
Fiksasi ini diindikasikan untuk (Appley, 1995):
1) Fraktur tidak dapat direduksi selain dengan operasi
2) fraktur yang tidak stabil dan kembali setelah reduksi awal
3) fraktur yang penyatuannya kurang baik dan perlahan-lahan
4) fraktur patologik dimana penyakit tulang dapat mencegah
penyembuhan
5) fraktur multiple
6) fraktur pada pasien yang sulit perawatannya (penderita
paraplegia, pasien dengan cedera multiple dan sangat lanjut
usia)
Beberapa hal yang dilakukan dalam penanggulangan fraktur
terbuka adalah operasi yang dilakukan dengan segera secara hati-
hati, debridemen yang berulang-ulang, stabilisasi fraktur,
penutupan kulit dan bone grafting yang dini serta pemberian
antibiotik yang adekuat.
Prinsip pengobatan fraktur:
1) Pertolongan pertama; membersihkan jalan napas, menutup
luka dengan perban bersih, dan imobilisasi fraktur anggota
gerak yang terkena sehingga penderita merasa nyaman dan
mengurangi rasa nyeri sebelum dilakukan perawatan
selanjutnya.
2) Penilaian klinis; perlu dilakukan apakah luka itu tembus
tulang, ada trauma pembuluh darah/syaraf atau trauma alat-
alat dalam yang lain.
3) Resusitasi; biasanya syok untuk fraktur multiple, sehingga
diperlukan resusitasi sebelum diberikan terapi pada
frakturnya berupa pemberian transfusi darah dan analgesik.

Sebagian besar manajemen farmakologi yang dilakukan pada


pasien fraktur bertujuan untuk meredakan nyeri yang dialami oleh
pasien. Nyeri pada fraktur disebabkan oleh perdarahan,
pembengkakan, pergerakan abnormal pada jaringan lunak di
sekitarnya, dan pelepasan mediator-mediator inflamasi. Nyeri yang
dialami oleh pasien fraktur biasanya merupakan nyeri yang sangat
hebat, sehingga analgesik opioid, seperti morfin menjadi sebuah
pilihan terakhir jika analgesik lainnya tidak berhasil mengurangi
nyeri. Obat anti-inflamasi nonsteroid tidak dianjurkan untuk
digunakan karena sifatnya yang menghambat COX-1 dan COX-2
akan menghambat proses penyembuhan (Weinstein, 2005; Brown,
2012).
a) Ketorolak
Termasuk anti inflamasi non-steroid dengan sifat
analgesik yang kuat dan efek antiinflamasi sedang.
Ketorolak bekerja secara selektif menghambat COX-1.
Absorpsi ketorolak berlangsung cepat, baik itu melalui oral,
maupun intramuskular. Ketorolak dapat dipakai sebagai
pengganti morfin dan penggunaannya dengan analgesik
opioid dapat mengurangi kebutuhan opioid sebesar 20-
50%. Dosis intramuskular ketorolak sebesar 30-60 mg,
secara intravena sebesar 15-30 mg, dan secara oral sebesar
5-30 mg. Ketorolak bersifat toksik pada beberapa organ,
seperti hati, lambung, dan ginjal jika digunakan dalam
jangka waktu lebih dari 5 hari (Bhati, 2012; Wilmana,
2007; Furst, 2007).
b) Morfin
Morfin bekerja secara agonis pada reseptor µ. Morfin
menimbulkan analgesia dengan cara berikatan pada
reseptor opioid pada SSP dan medula spinalis yang
berperan pada transmisi dan modulasi nyeri. Reseptor
opioid terdapat pada saraf yang mentransmisi nyeri di
medulaspinalis dan aferen primer yang merelai nyeri.
Reseptor opioid membentuk g-protein coupled receptor .
Morfin yang ditangkap reseptor aferen primer akan
mengurangi pelepasan neurotransmitter yang selanjutnya
akan menghambat saraf yang mentransmisi nyeri di kornu dorsalis
medula spinalis. Selain itu, morfin juga menghasilkan
efek inhibisi pascasinaps melalui reseptor µ di otak.
Analgesi pada penggunaan morfin dapat timbul sebelum
pasien tidurdan kadang tanpa disertai tidur. Pemberian
morfin dalam dosis kecil (5-10 mg) akanmenyebabkan
euforia pada pasien yang sedang nyeri. Namun, pemberian
morfin dengan dosis 15-20 mg, pasien akan tertidur cepat
dan nyenyak. Efek analgetik morfin dan opioid lain sangat
selektif dan tidak disertai hilangnya fungsi sensorik lain.
Yang terjadi adalah perubahan reaksi terhadap stimulus
nyeri, jadi stimulus nyeri tetap ada namun reaksinya
berbeda (Bhati, 2012; Wilmana, 2007; Furst, 2007).
Pada umumnya, morfin diberikan secara oral maupun
parenteral dengan efek analgetik yang ditimbulkan
pemberian oral jauh lebih rendah daripada pemberian
parenteral. Kemudian, morfin akan mengalami konyugasi
dengan asam glukoronat di hati. Ekskresi morfin terutama
dilakukan oleh ginjal dan sebagian kecil morfin bebas
terdapat di tinja dan keringat (Bhati, 2012; Wilmana, 2007;
Furst, 2007).
Morfin dan opioid lain terutama diindikasikan untuk
meredakan nyeri hebat yang tidak dapatdiobati dengan
analgesik non-opioid. Morfin sering digunakan untuk nyeri
yang menyertai (Bhati, 2012; Wilmana, 2007; Furst, 2007):
i. infark miokard
ii. neoplasma
iii. kolik renal atau kolik empedu
iv. oklusio akut pembuluh darah perifer, pulmonal, atau
coroner
v. perikarditis akut, pleuritis, dan pneumotoraks
spontan, dan
vi. trauma misalnya luka bakar,
vii. fraktur,
viii. dan nyeri pasca bedah
c) Metadon
Efek analgetik 7,5-10 mg metadon sama kuat dengan
efek 10 mg morfin. Metadon dapatdiberikan secara oral dan
parenteral. Setelah masuk ke darah, biotransformasi
metadon terutama akan berlangsung di hati. Setelah itu,
sebagian besar metadon akan diekskresikan melalui urin
dan tinja. Metadon diberikan untuk meredakan jenis nyeri
yang dapat dipengaruhi morfin. Pada dosis yang
ekuianalgetik, metadon sedikit lebih kuat daripada morfin.
Efek analgetik mulai timbul 10-20 menit setelah pemberian
parenteral dan 30-60 menit setelah pemberian oral. Metadon
biasanya digunakan sebagai pengganti morfin untuk mencegah
timbulnya gejalaputus. Gejala putus obat yang ditimbulkan
oleh metadon tidak sekuat yang ditimbulkan olehmorfin,
tetapi berlangsung lebih lama. Dosis pemberian metadon
secara oral adalah 2,5-15 mg dan 2,5-10 mg untuk
pemberian secara parenteral (Wilmana, 2007; Furst, 2007).
d) Buprenorphine 0,4 mg sublingual sama efektif dan aman
dengan morfin 5 mg yang diberikan secara intravena
(Medscape Cardiology, 2011).
Selain sebagai penghilang rasa nyeri yang ada, manajemen
farmakologi pada fraktur juga bersifat profilaksis. Hal ini
dilakukannya khususnya pada fraktur terbuka dan fraktur yang
akan segera dilakukan fiksasi interna. Umumnya, diberikan
antibiotik cephalosporin generasi 1dengan dosis 1 gram pada
fraktur yang akan segera difiksasi interna. Untuk fraktur
terbuka,antibiotik yang diberikan disesuaikan besar luka yang
terbentuk. Jika lukanya bersih dan luasnya kurang dari 1 cm,
cephalosporin generasi pertama dengan dosis 1 gram sudah
cukup.Jika lukanya lebih luas, harus ditambahkan pemberian
antibiotik khusus gram negatif. Jika lukanya tampak agak kotor,
pemberian 1,5 mg gentamicin juga harus dilakukan dan jika
lukanya tampak sangat kotor harus dilakukan pemberian penicillin
untuk mencegah infeksi clostridium. Berikan vaksinasi tetanus dan
juga antibiotik sebagai profilaksis infeksi. Antibiotik yang dapat
diberikan adalah: (Lee, 2005; American College of Surgeons
Comittee on Trauma, 2008)
a) Generasi pertama cephalosporin (cephalotin 1 – 2 g dibagi
dosis 3 -4 kali sehari) dapat digunakan untuk fraktur tipe I
Gustilo
b) Aminoglikosid (antibiotik untuk gram negatif) seperti
gentamicin (120 mg dosis 2x/hari) dapat ditambahkan
untuk tipe II dan tipe III klasifikasi Gustilo.
c) Metronidazole (500 mg dosis 2x/hari) dapat ditambahkan
untuk mengatasi kuman anaerob.
Terapi lanjutan:
Latihan lanjutan dilakukan untuk memulihkan fungsi secara
keseluruhan. Tujuannya untuk mengurangi edema,
mempertahankan gerakan sendi, memulihkan tenaga otot, dan
memandu pasien kembali ke aktivitas normal (Appley, 1995).
Edema merupakan hal yang lazim terjadi setelah terjadinya
fraktur.Edema yang menetap adalah penyebab kekakuan sendi
sehingga perlu diatasi. Pada beberapa fraktur tertutup dan fraktur
terbuka yang dianggap akan terjadi edema, bagian yang fraktur
dapat ditinggikan dan latih anaktif dapat dilakukan untuk
mengeluarkan cairan dan edema, merangsang sirkulasi, mencegah
perlekatan jaringan lunak, dan membantu penyembuhan fraktur.
Dalam latihan ini, yang terpenting adalah jangan lakukan paksaan
pada pasien (Appley, 1995).
b. Non medikamentosa
1) Konsumsi makanan yang tinggi kalsium dan protein untuk
mempercepat proses remodelling tulang dan pembentukan
kolagen pada tulang.
2) Menjaga mobilisasi khususnya pada fase terapi pasca
operasi karena bisa menimbulkan komplikasi salah satunya
yaitu malunion akibat pergeseran posisi tulang.
3) Lakukan terapi yang rutin agar fungsi otot dan tulang dapat
kembali normal seperti sebelumnya.
4) Hindari kegiatan-kegiatan yang dapat menyebabkan trauma
kembali atau memperburuk keadaan trauma seperti
olahraga berat dan mengangkat benda-benda berat.
7. Komplikasi fraktur
Komplikasi fraktur dibagi menjadi komplikasi segera, komplikasi
dini, dan komplikasi lambat. Komplikasi segera terjadi pada saat
terjadinya fraktur atau segera setelahnya; komplikasi dini terjadi dalam
beberapa hari setelah kejadian; dan komplikasi lambat terjadi lama
setelah fraktur (Sjamsuhidayat, 2011).
Komplikasi segera dan setempat merupakan krusakan yang
berlangsung disebabkan oleh trauma, selain patah tulang atau
dislokasi. Trauma kulit dapat berupa kontusio, abrasi, laserasi, atau
luka tembus. Kulit yang terkontusi walaupun masih kelihatan utuh,
mudah sekali mengalami infeksi dan gangguan pendarahan. Perawatan
kontusio kulit tidak boleh menimbulkan tekanan atau tegangan.
Balutan harus longgar dan pada pemasangan gips harus diberikan
bantalan yang pas. Selain itu trauma kulit, komplikasi segera dari
fraktur dapat berupa kerusakan vaskular, syok hipovolemik, infeksi,
avaskular nekrosis, dan kerusakan saraf perifer (Sjamsuhidayat,
2011).
Komplikasi dini pada fraktur antara lain bisa terjadi sindrom
kompartemen, emboli lemak, tetanus, tromboembolic complication,
dan distrofi refleks simpatik. Sindrom kompartemen ditandai oleh
kerusakan atau desktruksi saraf dan pembuluh darah yang disebabkan
oleh pembengkakan dan edema di daerah fraktur. Dengan
pembengkakan interstisial yang intens, tekanan pada pembuluh darah
yang menyuplai daerah tersebut dapat menyebabkan pembuluh darah
tersebut kolaps. Hal ini menimbulkan hipoksia jaringan dan dapat
menyebabkan kematian saraf yang mempersarafi daerah tersebut.
Emboli lemak dapat timbul terutama pada fraktur tulang panjang.
Emboli lemak dapat timbul akibat pajanan sumsum tulang, atau dapat
terjadi akibat aktivitas sistem saraf simpatis yang menimbulkan
stimulasi mobilisasi asam lemak bebas setelah trauma. Emboli lemak
yang timbul setelah patah tulang panjang sering tersangkut di sirkulasi
paru dan dapat menimbulkan gawat napas dan gagal napas
(Sjamsuhidayat, 2011; Corwin, 2009).
Tromboembolic complication terjadi akibat terlalu lama berbaring
dan terjadi pemecahan-pemecahan trombosit sehingga menjadi
trombus pada pembuluh darah. Sedangkan distrofi refleks simpatik
merupakan komplikasi yang sering ditemukan pada ekstremitas atas,
tetapi dapat juga [ada tungkai. Sindrom ini tanda khasnya ialah nyeri
hebat kontinu, nyeri tekan difus, bengkak, hipereremia, indurasi
tangan, dan kekauan mulai dari jari yang akhirnya dapat berkembang
menjadi hipotrofi otit, dan kontraktur dengan tak berpulih. Nyeri,
bengkak, dan kekakuan yang berlebihan dan menetap merupakan trias
dasar distrofi refleks ini (Sjamsuhidayat, 2011).
Komplikasi lama dapat terjadi kegagalan pertautan (non-union),
salah taut (malunion), terlambat bertaut (delayed union), ankilosis,
kontraktur, miositis osifikans, kekauan sendi, dan atrofi otot. Miositis
osifikans merupakan proses penulangan otot yang merupakan
kalsifikasi hematom yang disertai fibrosis (jarang terjadi). Bila
kelainan ini tersebar luas di otot, yang jarang didapatkan, mungkin
timbul keluhan dan gangguan. Kaku sendi dan atrofi otot dapat terjadi
akibat jarang digunakan karena ketakutan sakit efek dari fraktur
(Sjamsuhidayat, 2011)
Sindroma kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi
peningkatan tekanan intertisial di dalam ruangan yang terbatas, yaitu di
dalam kompartemen osteofasial yang tertutup. Ruangan tersebut berisi
otot, saraf dan pembuluh darah. Ketika tekanan intrakompartemen
meningkat, perfusi darah ke jaringan akan berkurang dan otot di dalam
kompartemen akan menjadi iskemik. Tanda klinis yang umum adalah
nyeri, parestesia, paresis, disertai denyut nadi yang hilang (Frederick,
2003).
Sindroma kompartemen dapat diklasifikasikan menjadi akut dan
kronik, tergantung dari penyebab peningkatan tekanan kompartemen
dan lamanya gejala. Penyebab umum terjadinya sindroma
kompartemen akut adalah fraktur, trauma jaringan lunak, kerusakan
arteri, dan luka bakar. Sedangkan sindroma kompartemen kronik dapat
disebabkan oleh aktivitas yang berulang misalnya lari (Frederick,
2003).
8. Prognosis
Penyembuhan fraktur merupakan suatu proses biologis yang
menakjubkan. Tidak seperti jaringan lainnya, tulang yang mengalami
fraktur dapat sembuh tanpa jaringan parut. Pengertian tentang reaksi
tulang yang hidup dan periosteum pada penyembuhan fraktur mulai
terjadi segera setelah tulang mengalami kerusakan apabila lingkungan
untuk penyembuhan memadai sampai terjadi konsolidasi. Faktor
mekanis yang penting seperti imobilisasi fragmen tulang secara fisik
sangat penting dalam penyembuhan, selain factor biologis yang juga
merupakan suatu factor yang sangat esensial dalam penyembuhan
fraktur (Rasyad, 2009).
DAFTAR PUSTAKA
American College of Surgeons Comittee on Trauma. 2008. Advanced Trauma Life
Support for Doctors (ATLS) Student Course Manual. 8th ed. Chicago, IL :
American College of Surgeons.
Ananggadipta, Muhammad. 2012. Fraktur Terbuka danTertutup. Stikes Hang
Tuah Surabaya.
Anonim. 2012. Dalam:
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21427/.../Chapter%20II.pdf
Applet, A. Graham. 1995. Buku Ajar Orthopedi dan Fraktur Sistem. Jakarta:
WidyaMedika.

Azar, Frederick. Compartment syndrome in Campbell`s operative orthopaedics.


Ed 10th. Vol 3. Mosby. USA. 2009. p : 2449-57

Bhati NS. 2012. Hip Fracture Medication. Available at:


http://emedicine.medscape.com/article/87043medication#showall4
(diakses pada 16 November 2014)
Furst DE, Ulrich RW. 2007. Nonsteroidal Anti-inflammatory Drugs, Disease
Modifying Antirheumatic Drugs, Nonopioid Analgesics, & Drugs Used in
Gout. In: Katzung BG, editor. 2007. Basic and Clinical Pharmacology.
10th ed. Boston: McGraw-HillGuyton, Arthur C. 2007. Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. Jakarta : EGC

Garrison, S.J. 2001. Dasar-dasar Terapi dan Rehabilitasi Fisik. Jakarta :


Hipokrates

Lee C, Porter KM. 2005. Prehospital Management of Lower Limb Fracture.


Emerg Med J 2005;22:660–663
Medscape Cardiology. 2011. Sublingual Buprenorphine Effective for Acute
Fracture Pain. Available at:
http://www.medscape.com/viewarticle/754847 (diakses pada 16 November
2014)
Price, Sylvia A, Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC.
Sjamsuhidayat, R. 2011. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC

Tjahjono, dkk. 2011. Patologi Anatomi 2. Semarang: Badan Penerbit Universitas


Diponegoro.

Weinstein SL, Buckwalter JA. 2005. Turek’s Orthopaedics Principles and Their
Application. 6th ed. Iowa: Lippincott Williams & Wilkins.
Wilmana PF, Gan S. 2007. Analgesik-Antipiretik, Analgesik Anti-inflamasi
Nonsteroid, dan Obat Gangguan Sendi Lainnya. In: Gan S, editor. 2007.
Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.

Anda mungkin juga menyukai