Anda di halaman 1dari 17

1.

Tkp

Fase TKP Fase pertama ini dilaksanakan setelah para korban yang terluka
telah dipindahkan dari area TKP dan area tersebut telah diamankan. Fase
TKP dilaksanakan oleh tim DVI unit TKP yang terdiri dari pemeriksa
tempat kejadian perkara, fotografer, dan pencatat kejadian. Ahli patologi
dan odontologi forensik mendukung setiap tim. Tim ini melakukan
pemilahan antara korban hidup dan korban mati selain juga mengamankan
barang bukti yang dapat mengarahkan pada pelaku apabila bencana yang
terjadi merupakan bencana yang diduga akibat ulah manusia.

Aturan umum yang berlaku di TKP adalah sebagai berikut:

1. Tidak diperkenankan seorang pun korban meninggal yang dapat


dipindahkan dari lokasi, sebelum dilakukan olah TKP aspek DVI;

2. Pada kesempatan pertama label anti air dan anti robek harus diikat pada
setiap tubuh korban atau korban yang tidak dikenal untuk mencegah
kemungkinan tercampur atau hilang;

3. Semua perlengkapan pribadi yang melekat di tubuh korban tidak boleh


dipisahkan;

4. Untuk barang‐barang kepemilikan lainnya yang tidak melekat pada


tubuh korban yang ditemukan di TKP, dikumpulkan dan dicatat;

5. Identifikasi tidak dilakukan di TKP, namun ada proses kelanjutan yakni


masuk dalam fase kedua dan seterusnya.

Rincian yang harus dilakukan pada saat di TKP adalah sebagai berikut:
1. Membuat sektor‐sektor atau zona pada TKP;

2. Memberikan tanda pada setiap sektor;

3. Memberikan label orange (human remains label) pada jenazah dan


potongan jenazah, label diikatkan pada bagian tubuh / ibu jari kiri jenazah.
Label ini harus memuat informasi tim pemeriksa, lokasi penemuan, dan
nomor tubuh/mayat.

4. Memberikan label hijau (property label) pada barang‐barang pemilik


yang tercecer; 5. Membuat sketsa dan foto setiap sektor;

6. Foto mayat dari jarak jauh, sedang dan dekat beserta label jenasahnya;

7. Isi dan lengkapi pada formulir Interpol DVI PM halaman B dengan


keterangan sebagai berikut : Pada setiap jenazah yang ditemukan, maka
tentukan perkiraan umur, tanggal dan tempat tubuh ditemukan, akan lebih
baik apabila difoto pada lokasi dengan referensi koordinat dan sektor TKP;
Selanjutnya tentukan apakah jenazah lengkap/tidak lengkap, dapat
dikenali atau tidak, atau hanya bagian tubuh saja yang ditemukan;
Deskripsikan keadaannya apakah rusak, terbelah, dekomposisi/membusuk,
menulang, hilang atau terlepas; Keterangan informasi lainnya sesuai
dengan isi dari formulir Interpol DVI PM halaman B.

8. Masukkan jenazah dalam kantung jenazah dan atau potongan jenazah di


dalam karung plastik dan diberi label sesuai jenazah;

9. Formulir interpol DVI PM turut dimasukkan ke dalam kantong jenasah


dengan sebelumnya masukkan plastik agar terlindung dari basah dan
robek;

10. Masukkan barang‐barang yang terlepas dari tubuh korban ke dalam


kantung plastik dan diberi label sesuai nomor properti;
11. Evakuasi jenasah dan barang kepemilikan ke tempat pemeriksaan dan
penyimpanan jenazah kemudian dibuatkan berita acara penyerahan
kolektif.

?
Merupakan tindakan awal yang dilakukan di tempat kejadian peristiwa
(TKP) bencana. Ketika suatu bencana terjadi, prioritas yang paling utama
adalah untuk mengetahui seberapa luas jangkauan bencana. Sebuah
organisasi resmi harus mengasumsikan komando operasi secara
keseluruhan untuk memastikan koordinasi personil dan sumber daya
material yang efektif dalam penanganan bencana. Dalam kebanyakan
kasus, polisi memikul tanggung jawab komando untuk operasi secara
keseluruhan. Sebuah tim pendahulu (kepala tim DVI, ahli patologi
forensik dan petugas polisi) harus sedini mungkin dikirim ke TKP untuk
mengevaluasi situasi berikut :

 Keluasan TKP : pemetaan jangkauan bencana dan pemberian


koordinat untuk area bencana.
 Perkiraan jumlah korban.
 Keadaan mayat.
 Evaluasi durasi yang dibutuhkan untuk melakukan DVI.
 Institusi medikolegal yang mampu merespon dan membantu proses
DVI.
 Metode untuk menangani mayat.
 Transportasi mayat.
 Penyimpanan mayat.
 Kerusakan properti yang terjadi.

Pada prinsipnya untuk fase tindakan awal yang dilakukan di situs bencana,
ada tiga langkah utama. Langkah pertama adalah to secure atau untuk
mengamankan, langkah kedua adalah to collect atau untuk
mengumpulkan dan langkah ketiga adalah documentation atau pelabelan.

Pada langkah to secure organisasi yang memimpin komando DVI harus


mengambil langkah untuk mengamankan TKP agar TKP tidak menjadi
rusak. Langkah – langkah tersebut antara lain adalah :
 Memblokir pandangan situs bencana untuk orang yang tidak
berkepentingan (penonton yang penasaran, wakil – wakil pers, dll),
misalnya dengan memasang police line.
 Menandai gerbang untuk masuk ke lokasi bencana.
 Menyediakan jalur akses yang terlihat dan mudah bagi yang
berkepentingan.
 Menyediakan petugas yang bertanggung jawab untuk mengontrol
siapa saja yang memiliki akses untuk masuk ke lokasi bencana.
 Periksa semua individu yang hadir di lokasi untuk menentukan
tujuan kehaditan dan otorisasi.
 Data terkait harus dicatat dan orang yang tidak berwenang harus
meninggalkan area bencana.

Pada langkah to collect organisasi yang memimpin komando DVI harus


mengumpulkan korban – korban bencana dan mengumpulkan properti
yang terkait dengan korban yang mungkin dapat digunakan untuk
kepentingan identifikasi korban.

Pada langkah documentation organisasi yang memimpin komando DVI


mendokumentasikan kejadian bencana dengan cara memfoto area
bencana dan korban kemudian memberikan nomor dan label pada korban.

Setelah ketiga langkah tersebut dilakukan maka korban yang sudah diberi
nomor dan label dimasukkan ke dalam kantung mayat untuk kemudian
dievakuasi.

1. To Collect
Pada langkah to collect organisasi yang memimpin komando DVI
harus mengumpulkan korban – korban bencana dan mengumpulkan
properti yang terkait dengan korban yang mungkin dapat digunakan
untuk kepentingan identifikasi korban.

3. Documentation
Pada langkah documentation organisasi yang memimpin komando
DVI mendokumentasikan kejadian bencana dengan cara memfoto area
bencana dan korban kemudian memberikan nomor dan label pada korban.
Setelah ketiga langkah tersebut dilakukan maka korban yang sudah
diberi nomor dan label dimasukkan ke dalam kantung mayat untuk
kemudian dievakuasi.
Personal di TKP

1. DVI scan coordinator – Kanit TKP DVI


1. Koordinasi dg DVI Commander
2. Wasdalkat tim
2. SEARCHER- Pencari
1. Dapat banyak, tergantung situasi dan kondisi
2. Keahlian, pengetahuan, keterampilan dan pengalaman
3. Tim ahli sebagai pengontrol

3. BODY RECOVERY TEAMS


- Dapat anggota tim pencari
- Pakaian pelindung diri
- Sehat jasmani dan mental
4. Tempat penampungan sementara di TKP
- Menerima, mendokumentasikan BB DVI
- Koordinasi evakuasi ke mortuary
- Koordinasi dengan koordinator kamar jenazah
5. Tim property
bertanggung jawab thd semua temuan property di TKP
TIM PENCARI
 Minimal 3 anggota
1. Searcher/examiner
1. Pemeriksaan awal BB yang ditemukan
2. Dapat membantu evakuasi BB
2. Photografer
1. Foto TKP dan BB
3. Recorder
1. Catat di formulir DVI PM
2. Post mortem

Pada fase ini, para ahli identifikasi, dokter forensik dan dokter gigi
forensik melakukan pemeriksaan untuk mencari data postmortem
sebanyak-banyaknya. Sidik jari, pemeriksaan terhadap gigi, seluruh tubuh,
dan barang bawaan yang melekat pada mayat. Dilakukan pula
pengambilan sampel jaringan untuk pemeriksaan DNA. Data ini
dimasukkan ke dalam pink form berdasarkan standar Interpol.

Kegiatan pada fase kedua dapat dijabarkan sebagai berikut:

1) Menerima jenazah/potongan jenazah dan barang bukti dari unit TKP;

2) Mengelompokkan kiriman tersebut berdasarkan jenazah utuh, tidak


utuh, potongan jenazah dan barang‐barang;

3) Membuat foto jenazah;

4) Mengambil sidik jari korban dan golongan darah;

5) Melakukan pemeriksaan korban sesuai formulir interpol DVI PM yang


tersedia; \

6) Melakukan pemeriksaan terhadap properti yang melekat pada mayat;

7) Melakukan pemeriksaan gigi‐geligi korban;


8) Membuat rontgen foto jika perlu;

9) Mengambil sampel DNA;

10) Menyimpan jenasah yang sudah diperiksa;

11) Melakukan pemeriksaan barang‐barang kepemilikan yang tidak


melekat di mayat yang ditemukan di TKP;

12) Mengirimkan data‐data yang telah diperoleh ke unit pembanding data.


Data‐data post mortem diperoleh dari tubuh jenazah berdasarkan
pemeriksaan dari berbagai keahlian antara lain dokter ahli forensik,
dokter umum, dokter gigi forensik, sidik jari, fotografi, DNA dan ahli
antropologi forensik.

Urutan pemeriksaan pada jenazah adalah sebagai berikut :

1) Mayat diletakkan pada meja otopsi atau meja lain;

2) Dicatat nomor jenazah;

3) Foto keseluruhan sesuai apa adanya;

4) Ambil sidik jari (bila dimungkinkan keadaannya); Contoh


pengambilan sidik jari

5) Deskripsi pakaian satu persatu mulai dari luar, kemudian dilepas dan
dikumpulkan serta diberi nomor sesuai nomor jenazah (bila diperlukan
untuk mengambil foto jika dianggap penting dan khusus);

6) Barang milik pribadi dan perhiasan difoto dan didiskripsi kemudian


dikumpulkan dan diberi nomor sesuai nomor jenazah; Contoh barang
milik pribadi
7) Periksa secara teliti mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki yang
meliputi : Identifikasi umum (jenis kelamin‐umur‐BB‐TB,
dll); Identifikasi khusus (tato, jaringan parut, cacat, dll).

8) Lakukan bedah jenazah dan diskripsikan temuan, prinsipnya mencari


kelainan yang khas, penyakit/patologis, bekas patah tulang, bekas operasi
dan lain‐lain;

9) Ambil sampel untuk pemeriksaan serologi, DNA atau lain‐lain;

10) Foto akhir keseluruhan sesuai kondisi korban;

11) Buat kesimpulan berdasarkan pemeriksaan patologi forensik. Contoh


foto rontgen telapak tangan Urutan pemeriksaan gigi‐geligi :

1) Pemeriksaan dilakukan oleh dokter gigi atau dokter gigi forensik;

2) Jenazah diletakkan pada meja atau brankar;

3) Untuk memudahkan pemeriksaan jenazah, jenazah diberi bantalan


kayu pada punggung atas/bahu sehingga kepala jenazah menengadah ke
atas;

4) Pemeriksaan dilakukan mulai dari bibir, pipi, dan bagian‐bagian lain


yang dianggap perlu;

5) Guna memperoleh hasil pemeriksaan yang maksimal, maka rahang


bawah harus dilepaskan dan jaringan kulit atau otot pada rahang atas
dikupas ke atas agar gigi tampak jelas kemudian dibersihkan. Hal ini
untuk mempermudah melakukan pemeriksaan secara teliti baik pada
rahang atas maupun bawah;

6) Apabila rahang atas dan bawah tidak dapat dipisahkan dan rahang
kaku, maka dapat diatasi dengan membuka paksa menggunakan tangan
dan apabila tidak bisa dapat menggunakan `T chissel’ yang dimasukkan
pada region gigi molar atas dan bawah kiri atau kanan atau dapat
dilakukan pemotongan musculus masetter dari dalam sepanjang tepi
mandibula sesudah itu condylus dilepaskan dari sendi;

7) Catat kelainan‐kelainan sesuai formulir yang ada;

8) Lakukan rontgen gigi;

9) Bila perlu rontgen tengkorak jenazah; Contoh foto Rontgen kepala

10) Selanjutnya bila perlu dibuat cetakan gigi jenazah untuk analisa lebih
lanjut.

3. Antemortem

Fase ketiga adalah fase pengumpulan data antemortem dimana ada tim
kecil yang menerima laporan orang yang diduga menjadi korban. Tim ini
meminta masukan data sebanyak-banyaknya dari keluarga korban. Data
yang diminta mulai dari pakaian yang terakhir dikenakan, ciri-ciri khusus
(tanda lahir, tato, tahi lalat, bekas operasi, dan lain-lain), data rekam
medis dari dokter keluarga dan dokter gigi korban, data sidik jari dari
pihak berwenang (kelurahan atau kepolisian), serta sidik DNA apabila
keluarga memilikinya. Apabila tidak ada data sidik DNA korban maka
dilakukan pengambilan sampel darah dari keluarga korban. Data Ante
Mortem diisikan ke dalam yellow form berdasarkan standar Interpol.

Kegiatan pada fase ketiga dapat dijabarkan sebagai berikut :

1) Menerima keluarga korban;


2) Mengumpulkan data‐data korban semasa hidup seperti foto dan
lainnya yang dikumpulkan dari keluarga terdekat yang kehilangan
anggota keluarganya dalam bencana tersebut;

3) Mengumpulkan data‐data korban dari instansi tempat korban bekerja,


rs/puskesmas/klinik, dokter pribadi, dokter yang merawat, dokter‐dokter
gigi pribadi, polisi (sidik jari), catatan sipil, dll;

4) Data‐data antemortem gigi‐geligi; Data‐data antemortem gigi‐geligi


adalah keterangan tertulis atau gambaran dalam kartu perawatan gigi atau
keterangan dari keluarga atau orang yang terdekat. Sumber data‐data
antemortem tentang kesehatan gigi diperoleh dari : Klinik gigi RS
Pemerintah, TNI/Polri dan Swasta; Lembaga‐lembaga pendidikan
Pemerintah/TNI/Polri/Swasta; Praktek pribadi dokter gigi.

5) Mengambil sampel DNA pembanding;

6) Apabila diantara korban ada warga negara asing maka data‐data


antemortem dapat diperoleh melalui perantara Set NCB Interpol
Indonesia dan perwakilan negara asing (kedutaan/konsulat);

7) Memasukkan data‐data yang ada dalam formulir Interpol DVI AM;

8) Mengirimkan data‐data yang telah diperoleh ke Unit Pembanding


Data.

Tugas Penghubung Keluarga

- Mengembangkan informasi serta mengatur pertemuan untuk


mendapatkan informasi

- Mengadakan komunikasi timbal balik degan kelurga korban

- Memberikan dukungan pelayanan kepada keluarga dan teman korban

- Mengunjungi TKP
- Mengahadiri tempat yang berhubungan dengan keluarga korban

Tugas Tim Orang Hilang

- Membentuk pusat informasi telepon

-Mengumpulkan dan mencatat informasi orang hilang

-Menemukan informasi dini tentang orang hilang

-Mengumpulkan data orang hilang dan menyiapkan laporan orang hilang


untuk Kanit AM

-Menyiapkan dan memperbaharui registrasi orang hilang

Informasi yang dibutuhkan


-Deskripsi fisik

-Deskripsi pakaian dan perhiasan

-Detil catatan gigi dan sinar X

-Catatan dokter dan sinar X

-Sampel Biologis dari korban orang hilang (sikat gigi, sikat rambut)
-Photos

-Sidik jari

-DNA dari orang tua biologis korban

Pertimbangan yang diperhatikan

- Lakukan ditempat yang nyaman bagi sanak keluarga dan keluarga


korban
- Wawancara bukanlah interogasi

- Petugas wawancara harus peka terhadap masalah budaya dan agama.

- Tahap wawancara diatur oleh sanak keluarga atau keluarga korban

- Perlu lakukan istirahat / jeda bila wawancara nya panjang

4. Rekonsiliasi

Form data antemortem dan postmortem yang telah selesai selama fase
pertama dan kedua dibandingkan selama fase rekonsiliasi. Perbandingan
ini dicapai secara sistematis menggunakan bagan rekonsiliasi dan masing-
masing dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, warna kulit, dan umur.
Seseorang dinyatakan teridentifikasi pada fase rekonsiliasi apabila
terdapat kecocokan antara data antemortem dan postmortem dengan
kriteria minimal 1 macam Primary Identifiers atau 2 macam Secondary
Identifiers.

Kegiatan pada fase rekonsiliasi dapat dijabarkan sebagai berikut :

1) Mengkoordinasikan rapat‐rapat penentuan identitas korban mati antara


Unit TKP, Unit Postmortem dan Unit Antemortem;

2) Mengumpulkan data‐data korban yang dikenal untuk dikirim ke Rapat


Rekonsiliasi;

3) Mengumpulkan data‐data tambahan dari Unit TKP, Unit Postmortem


dan Unit Antemortem untuk korban yang belum dikenal;

4) Membandingkan data antemortem dan postmortem;

5) Check and Recheck hasil Unit Pembanding Data;


6) Mengumpulkan hasil identifikasi korban;

7) Membuat sertifikat identifikasi, surat keterangan kematian untuk


korban yang dikenal dan surat‐surat lainnya yang diperlukan;

8) Publikasi yang benar dan terarah oleh Unit Rekonsiliasi sangat


membantu masyarakat untuk mendapatkan informasi yang terbaru dan
akurat.

5. DVI

Disaster Victim Identification (DVI) adalah istilah yang telah disepakati


secara internasional untuk menggambarkan proses dan prosedur
penemuan dan identifikasi korban mati akibat suatu bencana. Proses dan
prosedur DVI atau identifikasi korban mati pada bencana massal
mengacu pada prosedur DVI Interpol yang disesuaikan dengan kebijakan
nasional.
Penanggung jawab DVI adalah kepolisian yang dalam pelaksanaan
operasinya dapat bekerjasama dengan berbagai pihak lintas institusi,
sektoral dan fungsi. Ketua tim dan koordinator fase berasal pihak
kepolisian.

DVI adah Organisasi secara berjenjang dan berkoordinasi dengan Badan


Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan di Provinsi dengan
Badan Daerah Penanggulangan Bencana (BDPB)

Tim DVI bersifat profesional, lintas sektoral dan lintas disiplin yang
meliputi unsur-unsur :
1. Kesehatan (Depkes, Dinkes, Rumah sakit)

2. Kepolisian (Dokpol, Puslabor, NCB Interpol dll)

3. TNI (Kes TNI)

4. Perguruan tinggi

5. Profesi Profesi (Dokter, dokter gigi )

6. Pemerintah Daerah (Dinsos, kependudukan dll)

7. Pencarian dan penyelamatan (SAR)

8. Pemadam kebakaran

10. Volunter dll

SIAPA YANG BERTANGGUNG JAWAB TERHADAP PROSES


DVI ?

POLISI

DIDUKUNG PARA AHLI

- FORENSIC PATHOLOGY

- FORENSIC ODONTOLOGY

- FINGERPRINTS EXPERT

- DNA EXPERT

- PHOTOGRAPHERS , etc

UNSUR TIM BANTUAN LAIN

Disaster Victim Identification (DVI) adalah suatu prosedur untuk


mengidentifikasi korban meninggal akibat bencana yang dapat
dipertanggungjawabkan secara sah oleh hukum dan ilmiah serta mengacu
pada INTERPOL DVI GUIDELINE. DVI diperlukan untuk menegakkan
Hak Asasi Manusia, sebagai bagian dari proses penyidikan, jika
identifikasi visual diragukan, sebagai penunjang kepentingan hukum
(asuransi, warisan, status perkawinan) dan dapat dipertanggungjawabkan.
2.2 TUGAS UTAMA DVI
Tugas Utama DVI secara umum adalah sebagai berikut:

1. Melakukan koordinasi dengan tim medis dan aparat keamanan


untuk melakukan evakuasi korban meninggal dari tempat kejadian
2. Melakukan koordinasi dengan rumah sakit setempat/rumah sakit
tempat rujukan korban meniinggal
3. Melakukan identifikasi terhadap korban meninggal dengan sumber
daya yang ada
4. Membuat kesimpulan sementara terhadap hasil pemeriksaan
5. Melaporkan hasil identifikasi kepada badan pemerintah terkait

++

METODE DAN TEKNIK IDENTIFIKASI

Dahulu dikenal 2 metode pokok identifikasi yaitu :

a) Metode Sederhana : Visual,kepemilikan (perhiasan dan pakaian)


Dokumentasi

b) Metode Ilmiah : Sidik jari ,Serologi,


Odontologi ,Antropologi, Biologi molekuler.

Saat ini berdasarkan standar Interpol untuk proses identifikasi pada


DVI telah ditentukan metode identifikasi yang dipakai yaitu :

a) Metode Identifikasi Primer: Sidik jari Gigi geligi DNA.


b) Metode Identifikasi Sekunder: Medik, Properti.

Metode visual tidak dipakai di dalam metode identifikasi untuk DVI


saat ini karena metode ini tidak dapat diterapkan bila mayat telah busuk,
terbakar, mutilasi serta tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
oleh karena melibatkan faktor psikologi keluarga yang melakukannya
(sedang berduka, stress, sedih dll).

TATA LAKSANA KORBAN YANG TERIDENTIFIKASI

Setelah korban teridentifikasi sedapat mungkin dilakukan perawatan


jenazah yang meliputi antara lain:

1) Perbaikan atau rekonstruksi tubuh jenazah

2) Pengawetan jenazah (bila memungkinkan)

3) Perawatan sesuai agama korban

4) Memasukkan dalam peti jenazah. Kemudian jenazah diserahkan


kepada keluarganya oleh petugas khusus dari Tim Unit Rekonsiliasi
berikut surat‐surat yang diperlukan pencatatan yang penting pada proses
serah terima jenazah antara lain: 1) Tanggal (hari, bulan, tahun) dan
jamnya 2) Nomor registrasi jenazah 3) Diserahkan kepada siapa, alamat
lengkap penerima, hubungan keluarga dengan korban 4) Dibawa kemana
atau akan dimakamkan di mana. Perawatan jenazah setelah teridentifikasi
dapat dilaksanakan oleh unsure Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas
Sosial dan Dinas Pemakaman dengan dibantu seorang dokter spesialis
forensik dalam teknis pelaksanaannya.

Anda mungkin juga menyukai