Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

Diare akut masih merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas


anak di negara berkembang. Terdapat banyak penyebab diare akut pada anak. Pada
sebagian besar kasus penyebabnya adalah infeksi akut intestinum yang disebabkan
oleh virus, bakteri atau parasit, akan tetapi berbagai penyakit lain juga dapat
menyebabkan diare akut, termasuk sindroma malabsorpsi. Diare karena virus
umumnya bersifat self limiting, sehingga aspek terpenting yang harus diperhatikan
adalah mencegah terjadinya dehidrasi yang menjadi penyebab utama kematian dan
menjamin asupan nutrisi untuk mencegah gangguan pertumbuhan akibat diare.
Diare menyebabkan hilangnya sejumlah besar air dan elektrolit dan sering disertai
dengan asisdosis metabolik karena kehilangan basa. 1

Di Indonesia penyakit diare menjadi beban ekonomi yang tinggi di sektor


kesehatan oleh karena rata – rata sekitar 30% dari jumlah tempat tidur yang ada di
rumah sakit di tempati oleh bayi dan anak dengan penyakit diare selain itu juga di
pelayanan kesehatan primer, diare masih menempati urutan kedua dalam urutan 10
penyakit terbanyak di populasi. 1

Lima provinsi dengan insiden dan peride prevalen diare tertinggi adalah
Papua (6,3% dan 14,7%) Sulawesi Selatan (5,2% dan 10,2%), Aceh (5,0% dan
9,3%), Sulawesi Barat (4,7% dan 10,1%) dan Sulawesi Tengah4,4 % dan 8,8%)
Berdasarkan karekateristik pendidik kelompok umur balita adalah kelompok yang
paling tinggi menderita diare. Insiden diare balita di Indonesia adalah 6,7 persen.
Lima provinsi dengan insiden diare tertinggi adalah Aceh (10,2%), Papua (9,6%),
DKI Jakarta (8,9%), Sulawesi Selatan (8,1%), dan Banten (8,0%). Karakteristik
diare balita tertinggi terjadi pada kelompok umur 12 – 23 bulan (7,6%), laki – laki
(5,5%), tinggal di daerah pedesaan (5,3%), dan kelompok kuintil indeks
kepemilikan terbawah (6,2%).2
Diare juga erat hubungannya dengan kejadian kurang gizi. Setiap episode
diare dapat menyebabkan kekurangan gizi oleh karena adanya anoreksia dan
berkurangnya kemampuan menyerap sari makanan, sehingga apabila episodenya
berkepanjangan akan berdampak terhadap pertumbuhan dan kesehatan anak.1

17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Diare akut adalah buang air besar pada bayi atau anak lebih dari 3
kali perhari, disertai perubahan konsistensi tinja menjadi cair dengan atau
tanpa lendir dan darah yang berlangsung kurang dari satu minggu. Pada
bayi yang minum ASI sering frekuensi buang air besarnya lebih dari 3 – 4
kali per hari, keadaan ini tidak dapat disebut diare, tetapi masih bersifat
fisiologis atau normal. Selama berat badan bayi meningkat normal, hal
tersebut tidak tergolong diare, tetapi merupakan intoleransi laktosa
sementara akibat belum sempurnanya perkembangan saluran cerna. Untuk
bayi yang minum ASI secara eksklusif definisi diare yang praktis adalah
meningkatnya frekuensi buang air besar atau konsistensinya menjadi cair
yang menurut ibunya abnormal atau tidak seperti biasanya. Kadang –
kadang pada seorang anak buang air besar kurang dari 3 kali perhari, tetapi
konsistensinya cair, keadaan ini sudah dapat disebut diare.1

2.2. Epidemiologi
Diare masih mejadi masalah kesehatan masyarakat di negara
berkembang termasuk di Indonesia dan merupakan salah satu penyebab
kematian dan kesakitan tertinggi pada anak, terutama usia di bawah 5
tahun. Di dunia, sebanyak 6 juta anak meninggal tiap tahunnya karena diare
dan sebagian besar kejadian tersebut terjadi di negara berkembang, sebagai
gambaran 17% kematian anak di dunia disebabkan oleh diare sedangkan di
Indonesia, hasil Riskesdas 2013, lima provinsi dengan insiden dan peride
prevalen diare tertinggi adalah Papua (6,3% dan 14,7%) Sulawesi Selatan
(5,2% dan 10,2%), Aceh (5,0% dan 9,3%), Sulawesi Barat (4,7% dan
10,1%) dan Sulawesi Tengah4,4 % dan 8,8%).
Berdasarkan karekateristik pendidik kelompok umur balita adalah
kelompok yang paling tinggi menderita diare. Insiden diare balita di
Indonesia adalah 6,7 persen. Lima provinsi dengan insiden diare tertinggi
adalah Aceh (10,2%), Papua (9,6%), DKI Jakarta (8,9%), Sulawesi Selatan
(8,1%), dan Banten (8,0%). Karakteristik diare balita tertinggi terjadi pada
kelompok umur 12 – 23 bulan (7,6%), laki – laki (5,5%), tinggal di daerah
pedesaan (5,3%), dan kelompok kuintil indeks kepemilikan terbawah
(6,2%). 1,2

2.3. Cara Penularan dan Faktor Risiko


Cara penularan diare pada umumnya melalui fekal – oral yaitu
makan atau minuman yang tercemar oleh enteropatogen, atau kontak
langsung tangan dengan penderita atau barang – barang yang telah tercamar

18
tinja penderita atau tidak langsung melalui lalat (melalui 4 F = finger, flies,
fluid, field). 1
Faktor risiko yang dapat meningkatkan penularan enteropatogen
antara lain: tidak memberikan ASI secara penuh utuk 4 – 6 bulan pertama
kehidupan bayi, tidak memadainya penyediaan air bersih, pencemaran air
oleh tinja, kurangnya sarana kebersihan (MCK), kebersihan lingkungan
dan pribadi yang buruk penyiapan dan penyimpanan makanan yang tidak
higienis dan cara penyapihan yang tidak baik. Selain hal – hal tersebut,
beberapa faktor pada penderita dapat meningkatkan kecenderungan untuk
dijangkiti diare antara lain: gizi buruk, imunodefisiensi, berkurangnya
keasaman lambung, menurunnya motilitas usus, menderita campak dalam
4 minggu dan faktor genetik.1
a. Faktor Umur
Sebagian besar episode diare terjadi pada 2 tahun pertama
kehidupan. Insidensi tertinggi terjadi pada kelompok umur 6 – 11
bulan pada saat diberikan makanan pendamping ASI. Pola ini
menggambarkan kombinasi efek penurunan kadar antibodi ibu,
kurangnya kekebalan aktif bayi, pengenalan makanan yang
mungkin terkontaminasi bakteri tinja dan kontak langsung dengan
tinja manusia atau binatang pada saat bayi mulai merangkak.
Kebanyakan enteropatogen merangsanag paling tidak sebagian
kekebalan melawan infeksi atau penyakit yang berulang, yang
membantu menjelaskan menurunnya insiden penyakit pada anak
yang lebih besar dan pada orang dewasa.
b. Infeksi asimptomatik
Sebagian besar infeksi usus bersifat asimtomatik dan proporsi
asimtomatik ini meningkat setelah umur 2 tahun dikarenakan
pembentukan imunitas aktif. Pada infeksi asimtomatik yang
mungkin berlangsung beberapa hari atau minggu, tinja penderita
mengandung virus, bakteri atau kista protozoa yang infeksius.
Orang dengan infeksi asimtomatik berperan penting dalam
penyebaran banyak enteropatogen terutama bila mereka tidak
menyadari adanya infeksi, tidak menjada kebersihan dan berpindah
– pindah dari satu tempat ke tempat yang lain.
c. Faktor Musim
Variasi pola musiman diare dapat terjadi menurut letak geografis.
Di daerah sub tropik diare karena bakteri lebih sering terjadi pada
musim panas, sedangkan diare karena virus terutama rotavirus
puncaknya terjadi pada musim dingin. Di daerah tropik (termasuk
Indonesia), diare yang disebabkan oleh rotavirus dapat terjadi
sepanjang tahun dengan peningkatan sepanjang musim kemarau,

19
sedangkan diare karena bakteri cenderung meningkat pada musim
hujan.
d. Epidemi dan pandemi
Vibrio cholera 0.1 dan Shigella dysentriae 1 dapat menyebabkan
epidemi dan pandemi yang mengakibatkan tingginya angka
kesakitan dan kematian pada semua golongan usia. Sejak tahun
1961, kolera yang disebabkan oleh V.Cholera 0.1 biotipe Eltor telah
menyebar ke negara – negara di Afrika, Amerika Latin, Asia, Timur
Tengah dan di beberapa daerah di Amerika utara dan Eropa. Dalam
kurung waktu yang sama Shigella dysentriae tipe 1 menjadi
penyebab wabah yang besar di Amerika Tengah dan terakhir di
Afrika Tengah dan Asia Selatan. Pada akhir tahun 1992, di kenal
strain baru Vibrio choleraI 0139 yang menyebabkan epidemi di
Asia dan lebih dari 11 negara mengalami wabah.

2.4. Etiologi
Pada saat ini, dengan kemajuan di bidang teknik labolatorium
kuman – kuman patogen telah dapat diidentifikasikan dari penderita diare
sekitar 80% pada kasus yang datang di sarana kesehatan dan sekitar 50%
kasus ringan di masyarakat. Pada saat ini telah dapat diidentifikasi tidak
kurang dari 25 jenis mikroorganisme yang dapat menyebabkan diare pada
anak dan bayi. Penyebab infeksi utama timbulnya diare umunya adalah
golongan virus, bakteri dan parasit. Dua tipe dasar dari diare akut oleh
karena infeksi adalah non inflammatory dan inflammatory.1
Enteropatogen menimbulkan non inflammatory diare melalui
produksi enterotoksin oleh bakteri, destruksi sel permukaan villi oleh virus,
perlekatan oleh parasit, perlekatan dan / atau translokasi dari bakteri.
Sebaliknya inflammatory diare biasanya disebabkan oleh bakteri yang
menginvasi usus secara langsung atau memproduksi sitotoksin. 1,4
Beberapa penyebab diare akut yang dapat menyebabkan diare pada
manusia adalah sebagai berikut:

Golongan Bakteri:
1. Aeromonas 7. Plesiomonas shigeloides
2. Bacillus cereus 8. Salmonella
3. Campylobacter jejuni 9. Shigella
4. Clostridium perfringens 10. Staphylococcus aureus
5. Clostridium defficile 11. Vibrio cholera
6. Eschericia coli 12. Vibrio parahaemoloticus

Golongan Virus:

20
1. Astivirus 5. Rotavirus
2. Calcivirus (Norovirus, 6. Norwalk virus
Sapovirus) 7. Herpes simplex virus*
3. Enteric adenovirus 8. Cytomegalovirus*
4. Coronavirus
*umumnya berhubungan dengan diare hanya pada penderita imunocompromised

Golongan Parasit:
1. Balantidium coli 5. Giardia lamblia
2. Blastocystis homonis 6. Isospora belli
3. Crytosporidium parvum 7. Strongiloides stercoralis
4. Entamoeba hystolitica 8. Trichuris trichiura

Di negara berkembang kuman patogen penyebab penting diare akut


pada anak – anak yaitu: Rotavirus, Escherichia coli enterotoksigenik,
Shigella, Campylobacter jejuni dan Cryptosporidium. Patogenesis
terjadinya diare yang disebabkan virus yaitu virus yang menyebabkan diare
pada manusia secara selektif menginfeksi dan menghancurkan sel – sel
ujung – ujung villus pada usus halus, biopsi usus halus menunjukkan
berbagai tingkat penumpulan villus dan infiltrasi sel bundar pada lamina
propria. Perubahan – perubahan patologis yang diamati tidak berkorelasi
dengan keparahan gejala – gejala klinis dan biasanya sembuh sebelum
penyembuhan diare. Mukosa lambung tidak terkena walaupun biasanya
digunakan istilah “gastroenteritis”. Walaupun pengosongan lambung
tertunda telah didokumentasi selama infeksi virus Norwalk.
Penyebab diare non infeksi yang dapat menimbulkan diare pada
anak antara lain Kesulitan makan, defek anatomis (Malrotasi, Penyakit
Hirchsprung, Short Bowel Syndrome, Atrofi mikrovilli, Sticture),
malabsorbsi (defisiensi disakarida, malabsorbsi glukosa – galaktosa, cystic
fibrosis, cholestosis, penyakit celiac), endokronopati (thyrotoksikosis,
penyakit addison, sindroma adrenogenital), keracunan makanan (logam
berat, mushrooms), neoplasma (neuroblastoma, pharochromacocytoma,
sindroma Zollinger Ellison), alergi susu sapi, penyakit Crohn, defisiensi
imun, colitis ulserosa, gangguan motilitas usus, pellagra. 1,4

2.5. Patofisiologi Diare dan Gangguan Elektrolit


2.5.1. Patofisiologi Diare 1,
Virus akan menginfeksi lapisan epithelium di usus halus dan
menyerang villus di usus halus. Hal ini menyebabkan fungsi
absorbsi usus halus terganggu. Sel – sel epitel usus halus yang rusak
diganti oleh enterosit yang baru, berbentuk kuboid yang belum
matang sehingga fungsinya belum baik. Villus mengalami atrofi dan

22
tidak dapat mengabsorbsi cairan dan makanan dengan baik.
Selanjutnya, cairan dan makanan yang tidak terserap / tercerna akan
meningkatkan tekanan koloid osmotik usus dan terjadi
hiperperistaltik usus sehingga cairan beserta makanan yang tidak
terserap terdorong keluar usus melalui anus, menimbulkan diare
osmotik dari penyerapan air dan nutrien yang tidak sempurna.
Pada usus halus, enterosit villus sebelah atas adalah sel – sel
yang terdiferensiasi, yang mempunyai fungsi pencernaan seperti
hidrolisis dishakarida dan fungsi penyerapan seperti transport air
dan elektrolit melalui pengangkutan bersama (kotransporter)
glukosa dan asam amino. Enterosit kripta merupakan sel yang tidak
terdiferensiasi, yang tidak mempunyai enzim hidrofilik tepi bersilia
dan merupakan pensekresi (sekretor) air dan elektrilit. Dengan
demikian ingeksi virus selektif sel – sel ujung villus usus
menyebabkan (1) ketidakseumbangan rasio penyerapan cairan usus
terhadap sekresi, dan (2) malabsorbsi karbohidrat kompleks,
terutama laktosa.
Pada hospes normal, infeksi ekstra – intestinal sangat jarang,
walaupun penderita terganggu imun dapat mengalami keterlibatan
hati dan ginjal. Kenaikan kerentanan bayi (dibanding dengan anak
yang lebih tua dan orang dewasa) sampai morbiditas berat dan
mortalitas gastroenteritis virus dapat berkaiatan dengan sejumlah
faktor termasuk penurunan fungsi cadangan usus, tidak ada imunitas
spesifik, dan penurunan mekanisme pertahanan hospes nonspesifik
seperti asam lambung dan mukus. Enteritis virus sangat
memperbesar permeabilitas usus terhadap makromolekul lumen dan
telah dirumuskan menaikkan risiko alergi makanan.
Diare karena bakteri terjadi melalui salah satu mekanisme
yang behubungan dengan pengaturan transpor ion dalam sel – sel
usus cAMP, cGMP, dan Ca dependen. Patogenesis terjadainya diare
oleh Salmonella, Shigella, E. coli, agak berbeda dengan patogenesis
diare oleh virus, tetapi prinsipnya hampir sama. Bedanya bakteri ini
dapat menembus (invasi) sel mukosa usus halus sehingga dapat
menyebabkan reaksi sistemik. Toksin Shigella juga dapat masuk ke
dalam serabut saraf otak sehingga menimbulkan kejang. Diare oleh
kedua bakteri ini dapat menyebabkan adanya darah dalam tinja yang
disebut disentri.

2.5.2. Patofisiologi Gangguan Elektrolit

22
Perpindahan larutan tubuh antara CES dan CIS terjadi pada
membran sel dan tergantung pada pengaturan air dan natrium. Air
merupakan 90 % sampai 93% dari pelarut CES. Dalam keadaan
normal perubahan keseimbangan natrium dan air sering terjadi, dan
volume serta keadaan normal perubahan keseimbangan natrium dan
air sering terjadi, dan volume serta osmolalitasnya dipertahankan
normal. Konsentrasi Na+ yang mengatur osmolalitas CES
perubahan Na+ biasanya diikuti oleh perubahan secara proporsional
volume air.1,4
Gangguan keseimbangan Na+ dan air dibagi menjadi 2
kategori : 1) kontaksi isotonis atau ekspansi volume CES dan 2)
dilusi hipotonis (hiponatremia) atau konsentrasi hipertonis
(hipernatremia) dari natrium yang membawa perubahan pada CES.
Kelaianan isotonis biasanya dimaksudkan kontraksi produksi
kompartemen CES (defisit volume larutan) atau ekspansi (kelebihan
volume larutan) dari larutan vaskular dan interstirisial. Kelainan
konsentrasi natrium menyebabka perubahan osmolalitas CES
dengan gerakan air dari kompartemen CES ke dalam kompartemen
CIS (hiponatrium) atau dari kompartemen CIS ke dalam
kompartemen CES (hipernatremia).1,4
Na+ adalah kation yang paling rumit dalam tubuh, rata – rata
kurang lebih 60meq/kgBB. Kebanyakan dari Na+ tubuh ada dalam
CES (135-145 mEw/l) dan hanya sedikit dan CIS (10 – 14mEq/l).
Fungsi Na+ terutama mengatur volume CES termasuk kompartemen
vaskular. Sebagai kation yang paling banyak dalam CES, Na+ dan
anion pasangannya (Cl- dan HCO3-) mengatur sebagian besar
aktifitas osmotik dalam CES. Karena Na+ adalah bagian dari
molekul NaHCO3 maka penting dalam pengaturan kesimbangan
asam basa.
Na+ secara normal masuk ke dalam tubuh melalui saluran
pencernaan. Pemasukan Na+ didapatkan dari makanan, atau infus
natrium atau infus yang lain, Na+ keluar dari tubuh melalui ginjal,
saluran cerna dan kulit. Sebagian besar Na+ keluar lewat ginjal.
Dengan fungsi ekskresi dan reabsorpsi Na+ maka kadar Na+ dala
tubuh dipertahankan. Hanya 10% Na+ keluar lewat saluran
pencernaan dan kulit.
Ginjal adalah regulator utama Na+. Ginjal akan
menyesuaikan terhadap tekanan arteri; jika tekanan arteri turun
maka Na+ akan ditingkatkan, jika tekanan arteri naik maka Na+
akan dibuang. Pengaturannya dibawah kendali saraf simpatis dan
sistem renin – angiotensin-aldosteron. Saraf simpatis bertanggung
jawab terhadap tekanan arteri dan volume darah dengan cara

23
mengatur filtrasi glomerulus dan Na+. Saraf simpatis juga mengatur
reabsorsi tubular dari Na+ dan pelepasan renin. Sedangkan sistem
renin – angiotensin – aldosteron beraksi melalui angiotensisn II dan
aldosteron. Angiotensin II menyebabkan meningkatnya reabsorpsi
Na+ dan pembuangan K+.
Total larutan tubuh bervariasi tergantung jenis kelamin dan
berat badan. Perbedaan ini disebabkan karena perbedaan lemak
tubuh. Pada laki – laki larutan tubuh sekitar 60% berat badan pada
dewasa muda dan akan turun menjadi 50% setelah dewasa. Pada
wanita muda jumlah larutan tubuh 50% berat badan dan akan turun
menjadi 40% setelah dewasa. Pada orang gemuk akan terjadi
penurunan jumlah larutan tubuh sampai 30% - 40% berat badan.
Pada bayi larutan tubuh 75%-80% berat badan. Pada bayi prematur
lebh besar lagi. Jumlah larutan CES pada bayi relatif lebih banyak
dibanding dewasa. Lebih dari separuh larutan tubuh bayi berada di
CES. CES yang lebih benyak ini disebabkan metabolisme yang lebih
tinggi, area permukaan tubuh yang lebih luas dan struktur ginjal
yang belum matur. Karena CES lebih mudah hilang maka bayi lebih
mudah hilang larutannya dibanding dewasa.
Tanpa melihat umur, semua orang sehat membutuhkan
100cc air setiap 100 kalori untuk proses metabolisme dan
membuang sisa – sisa metabolisme. Dengan kata lain jika seseorang
mengeluarkan kaori 1800 maka dibutuhkan 1800 cc air untuk
keperluan metabolisme. Laju metaboisema (metabolic rate) akan
meningkat jika terjadi peningkatan suhu. Setiap kenaikan suhu
sebesar 1˚C, laju metabolisme akan meingkat sebesar 12%.
Sumber air tubuh yang utama adalah dari pemasukan lewat
oral dan metabolisme nutrien. Air ( termasuk dari larutan dan
makanan solid) diabsorbsi dari saluran cerna. Proses metabolisme
juga menghasilkan air. Jumlah air dari proses ini bervariasi antara
150 cc – 300 cc. Pada umumnya kehilangan larutan paling banyak
adalah lewat ginjal, kemudian lewat kulit, lewat paru – paru, dan
saluran pencernaan. Walaupun pemasukan oral atau parentetral
sedikit, ginjal tetap memproduksi urin sebagai hasil metabolisme
tubuh. Urin yang bertujuan membuang zat sisa metabolisme ini
disebut output urin obligatori. Kehilangan larutan lewat urin
obligatori ini sekitar 300 – 500 cc/hari. Kehilangan larutan lewat
kulit dan paru – paru disebut kehilangan larutan insensibel.1,4
Terdapat 2 mekanisme fisiologis yang mengatur larutan
tubuh: haus dan hormon antidiuretik (ADH). Rasa haus terutama
mengatur pemasukan larutan, sedangkan ADH mengatur larutan

24
keluar. Kedua mekanisme ino bertanggung jawab terhadap
perubahan osmolalitas ekstraselular dan volume.
Rasa haus dikendalikan oleh pusat rasa haus di hipotalamus.
Terdapat 2 stimuli untuk rasa haus karena benar – benar
membutuhkan larutan: 1) dehidrasi selular yang disebabkan oleh
kenaikan osmolalitas ekstraselular dan 2) penurunan volume darah
yang bisa atau tidak ada hubungannya dengan penurunan serum
osmolalitas. Neuron pensensor yang disebut osmoreseptor
bertempat di atau dekat pusat haus di hipotalamus. Osmoreseptor
berespon terhadap perubahan pada osmolalitas ekstraselular dengan
cara memacu sensasi haus. Rasa haus normal muncul jika ada sedikit
saja perubahan 1% atau memacu sensasi haus. Rasa haus normal
muncul jika ada sedikit saja perubahan 1% atau 2% pada osmolalitas
serum. Reseptor pada kapiler sangat sensitif terhadap perubahan
tekanan darah arteri dan volume darah sentral juga membanti dalam
pengaturan rasa haus. Stimulu yang penting ketiga untuk rasa haus
adalah angiontensin II, yang mana menigkat karena respon terhadap
volume aliran darah dan tekanan aliran darah.
Mulut kering menyebabkan sensasi rasa haus. Sensasi rasa
haus harus terjadi juga pada orang – orang yang bernafas dengan
mulut misalnya perokok dan penderita dengan penyakit saluran
pernagasan kronis atau sindrom hiperventilasi.
Hipodipsia menggambarkan penurunan kemampuan rasa
haus. Terdapat bukti bahwa haus adalah penurunan pemasukan air,
selain kadar osmolalitas dan Na+ yang tinggi. Ketidakmampuan
menerima dan berespon terhadap rasa haus biasanya terjadi pada
pasien stroke atau gangguan sensorik.
Polidipsia dibagi dalam 3 jenis yaitu: 1) simptomatik atau
rasa haus sejati, 2) rasa hais yang tidak tepat atau rasa haus yang
salah yang terjadi dimana jumlah larutan tubuh dan osmolalitas
serum normal, 3) minum larutan kompulsif.
Simptomatik haus muncul jika ada kehilangan larutan tubuh.
Diantara penyebab rasa haus yang paling banyak adalaha kehilangan
larutan akibat diare, muntah, diabetes melitus, dan diabetes
insipidus. Haus yang tidak tepat terjadi jika ada gagal ginjal, dan
gagal jantung kongestif. Walaupun penyabab rasa haus pada
kelompok ini tak jelas tetapi kemungkinan karena peningkatan kadar
angiotensin. Hus dirasakan juga pada orang yang mengalami
penurunan aktivitas kelenjar air ludah karena pengaruh obat – obatan
misalnya antikolinergik (termasuk atropin).
Reabsorpsi air oleh ginjal diatur oleh ADH yang juga dikenal
dengan vasopressin. ADH disintesis oleh sel di nukleus supraoptikus

25
dan nukleus para ventrikularis hipotalamus. ADH diangkut di
sepanjang akson saraf ke neurohipofisis kemudaian dilepas ke
sirkulasi. Dengan rasa haus, kadar ADH terkontrol oleh volume dan
osmolalitas ekstraselular. Osmoreseptor di hipotalamus merasakan
perubahan osmolalitas ekstraselular dan merangsang produksi serta
melepas ADH. Sedikit kenaikan osmolalitas serum 1%) sudah
cukup untuk melepas ADH. Baroreseptor sensitif terhadap
perubahan tekanan darah dan volume darah setral untuk membantu
pengaturan pelepasan ADH. Penurunan volume darah 5% - 10%
akan menyebabkan kadar ADH maksimal. Seperti terhadap kadar
ADH dibanding keadaan yang kronis. Perubahan dalam waktu yang
lama tidak akan mempengaruhi kadar ADH. Keadaan tidak normal
akan meningkatkan sintesis dan pelepasan ADH seperti pada nyeri
yang hebat, mual, trauma, operasi, zat anestesi dan beberapa
narkotik (morfin dan meperidin). Mual dalah rangsangan yang poten
untuk sekresi ADH, sehingga menyebabkan kanaikan kadar ADH
10 – 1000 kali. Nikotin merangsang pelepasan ADH sedangkan
alkohol menghambatnya. Dua keadaan yang mengganggu kadar
ADH yaitu diabetes insipidus dan sekresi ADH yang tidak tepat.
Diabetes insipidus adalah keadaan dimana terjadi defisiensi atau
penurunan respon terhdap ADH.
Defisit volume lartan isotonik ditandai dengan penurunan
CES, termasuk volume darag sirkulasi. Istilah ini dipakai untuk
membedakan defisit larutan dengan perubahan perbandingan air dan
NA+ yang tidak peroporsional. Keadaan dimana terjadi penurunan
volume darah sirkulasi maka diebut hipovolemia. Penyebab defisit
volume larutan isotonik apabila air dan elektrolit hilang dengan
proporsi isotonik. Keadaan ini hampir selalu terjadi pada keadaan
kehilangan larutan tubuh yang disertai penurunan pemasukan
larutan. Biasanya terjadi pada kehilangan lwat saluran cerna,
poliuria, berkeringat karena panas dan aktifitas fisik.
Setiap hari 8 – 10 liter CES dikeluarkan ke saluran cerna.
Sebagian besar diserap kembali di ileum dna kolon proksimal, hanya
150 – 200 cc setiap hari dikeluarkan bersama feses. Muntah dan
diare menganngu proses reabsorbsi adn pada beberapa keadan
menyebabkan kenikan sekresi larutan ke dalam saluran cerna.
Kulit sebagau permukaan tempat perubahan panas dan
barrier evaporasi mencegah air hilang dari tubuh. Kehilangan air dan
Na+ dari permukaan tubuh meningkat pada saat keringat berlebihan
atau sebagian besar permukaan kulit rusak. Udara panas dan badan
panas meningkatkan pengeluaran keringat, kebakaran juga

26
menyebabkan kehilangan larutan. Defisit volume larutan berdampak
pada penurunan volume CES.
Manifestasi defisit volume larutan adalah sebagai berikut.
Kehilangan berat badan (% berat badan); defisit volume larutan
ringan (2%); defisit volume larutan sedang (5%); defisit volume
berat (>8%). Tanda – tanda mekanisme kompensasinya adlaah:
meingkatknya rasa haus, meningkatnya ADH: oligouri dan
tingginya berat jenis urin. Volume larutan interstisial turun: Turgor
jaringan dan kulit turun, membran mukosa kering, mata cekung dan
lembek, pada bayi ubun – ubunya cekung. Volume vaskulat turun:
hipotensi postural, nadi lemah dan cepat, isi darah vena menurun,
hipotensi dan syok.
Dalam keadaan normal konsentrasi Na+ berkisar antara 135
sampai 145 mEq/l (135 – 145mmol/l). Nilai Na+ serum ditentukan
dengan mEq/l yang berarti konsentrasi atau dilusi dari Na+ dalam
air. Karena Na+ adalah anion CES (90% - 95%) maka perubahan
konsentrasi Na+ serum umumnya diikuti oleh perubahan
osmolalitas serum.
Hiponatremia terjadi apabila konsentrasi NA+ kurang dri
135mEq/l karena efek partikel aktif lainnya terhadap osmolalitas
CES seperti glukosa, maka hiponatremia berhubungan dengan tinggi
rendahnya tonisitas.
Hiponatremia hipertonik (translokasional) adalah keadaan
sebagai akibat suatu peralihan osmotik air dari CIS ke CES seperti
yang terjadi pada hipeglikemia. Pada keadaan ini Na+ di CES
menjadi lebih encer karena air pindah keluat dari sel sebagai respon
terhadap tekanan osmotik karena hiperglikemia.
Hipotonik sejaih ini merupakan keadaan yang sering pada
hiponatremia. Ini terjadi karena retensi air dan dirandai dengan
penuruanan osmolalitas serum. Hiponatremia dilusi bisa terjadi pada
keadaan hipervolemik, euovolemik atau hipovolemik.
Hiponatremia hipervolemik terjadi jikaCES meningkat dan
ini terjadi jika diikuti dengan edema seperti pada gagal jantung,
sirosis, dan penyakit ginjal berat.
Hiponatremia euvolemik terjadi apabila ada retensi air
sehingga konsentrasi Na+ turun tetapi tidak disertai peningkatan
volume CES. Ini terjadi pada keadaan rasa haus yang tak tepat.
.(SIADH)
Hipenatremia hipovolemik terjadi jika air hilang disertai Na
tetapi jumlah Na+ lebih banyak yang hilang, ini terjadi pada keadaan
banyak berkeringat pada cuaca panas, muntah, dan diare.

27
Penyebab hiponatremia dilusi, pada dewasa adalah karena
obat – obatan (diuretika, sehingga kadar ADH naik), penggantian
larutan yang tak tepat setelah latihan dan cuaca panas, SIADH,
polidipsi pada pasien skizofrenia.
Terdapat tiga penyebab utama kelebihan kalium, yaitu: (1)
penurunan pengeluaran dari ginjal, (2) pemberian kalium yang
cepat, dan (3) pergeseran kalium dari CIS ke CES. Penyebab
hiperkalemia yang paling sering adalah turunnya fungsi ginjal.
Biasanya glomerular filtration rate (GFR) turun sampai kurang dari
10ml/menit sebelum terjadi hiperkalemia. Beberapa kelainan ginjal
seperti sickle cell nephropathy, nefropati karena logam, nefritis
lupus sistemis dapat merusak sekresi kalium di tubulus tanpa
menyebabkan gagal ginjal. Asidosis juga menyebabkan
berkurangnya pengeluaran kalium oleh ginjal, sehingga gagal ginjal
akut akan disertai dengan asidosis laktat atau keroasidosis akan
meningkatkan risiko hiperkalemia. Koreksi asidosis biasnaya akan
memperbaiki hiperkalemia.

2.6. Manifestasi klinis


2.6.1. Diare1,6,7
Infeksi usus menimbulkan tanda dan gejala gastroinestinal
serta gejala lainnya bila terjadi komplikasi ekstra intestinal termasuk
manifestasi neurologik. Gejala gastrointestinal bisa berupa diare,
kram perut dan muntah. Sedangkan manifestasi sistemik bervariasi
tergantung pada penyebabnya.
Penderita dengan diare cair mengeluarkan tinja yang
mengandung sejumlah ion natrium, klorida, dan bikarbonat.
Kehilangan air dan elektrolit ini bertambah bila ada muntah dan
kehilangan air juga meningkat bila ada panas. Hal ini dapat
menyebabkan dehidrasi, asidosis metabolik dan hipokalemia
dehidrasi merupakan keadaan yang paling berbagaya karena dapat
menyebabkan hipovelemia, kolaps kardiovaskuler dan kematian bila
tidak diobati dengan tepat. Dehidrasi yang terjadi menurut tonisitas
plasma dapat berupa dehidrasi isotonik, dehidrasi hipertonik
(hipernatremik) atau dehidrasi hipotonik. Menurut derajat
dehidrasinya bisa tanpa dehidrasi, dehidrasi ringan, dehidrasi sedang
atau dehidrasi berat.
Bila terdapat panas dimungkinkan karena karena proses
peradangan atau akibat dehidrasi. Panas badan umum terjadi pada
penderita dengan inflammatory diare. Nyeri perut yang lebih hebat
dan tenesmus yang terjadi pada perut bagian bawah serta rektum
menunkukkan terkenanya usus besar.

28
Mual dan muntah adalah simptom yang non spesifik akan
tetapi muntah mungkin disebabkan oleh karena organisme yang
menginfeksi saluran cerna bagian atas seperti: enterik virus, bakteri
yang meproduksi enterotoksin, Giardia, dan Cryptosporidium.
Muntah juga sering terjadi pada non inflammatory diare.
Biasanya penderita tidak panas atau hanya subfebris, nyeri perut
periumbilikal tidak berat, watery diare, menunjukkan bahwa saluran
cerna bagian atas yang terkena. Oleh karena pasien
immunnocompromise memerlukan perhatian khusus, informasi
tentang adanya imunodefisiensi atau penyakit kronis sangat penting.

Tabel 2.1. Gejala Khas diare akut oleh berbagai penyebab

Gejala Rotavirus Shigella Salmonella ETEC EIEC Kolera


klinik
Masa tunas 17 – 24 24 – 48 6 – 27 jam 6 – 27 jam 6- 72 jam 48 – 72
jam jam jam
Panas + ++ ++ - ++ -
Mual Sering Jarang Sering + - Sering
muntah
Nyeri perut Tenesmus Tenesmus Tenesmus - Tenesmus Kramp
kramp kolik kramp
Nyeri - + + - - -
kepala
Lamanya 5 – 7 hari > 7 hari 3 – 7 hari 2 – 3 hari Variasi 3 hari
sakit
Volume Sedang Sedikit Sedikit Banyak Sedikit Banyak
Frekuensi 5 – 10 x / 10x/hari Sering Sering Sering Terus –
hari menerus
Konsistensi Cair Lembek Lembek Cair Lembek Cair
Darah - Sering Kadang - + -
Bau Langu ± Busuk + Tidak Amis
khas
Warna Kuning Merah – Kehijauan Tidak Merah – Seperti
hijau hijau berwarna hijau air cucian
beras
Leukosit - + + - - -
Lain – lain Anorexia Kejang ± Sepsis ± Meteorismus Infeksi ±
sistemik

2.6.2. Gangguan Elektrolit


Manifestasi dari hiponatremia hipotonik yaitu: hasil
laboratorium Na+ < 135mEq/l, osmolalitas serum turun, hematokrit
turun, nitrogen urea juga turun. Larutan intraselular meningkat;
edema pad aujung jari. Hipoosmolalitas dan perpindahan ait ke otot,
saraf, dan jaringan saluran pencernaan; otot kejang dan lemah, sakit
kepala, penurunan perhatian, perubahan sikapm letargi, stupor

29
samap ikoma, saluran cerna terganggu, nafsu makan turun, mual,
muntah, sakit perut, diare.1
Tanda dan gejala dari kekurangan kalium jarang terjadi jika
kadar serum kalium kurang dari 3,0mEq/l. Biasanya gejala datang
pelan – pelan sehingga sulit dideteksi. Akibat dari hipokalemua yang
paling serius adalah gangguan fungsi kardiovaskulat. Hipotensi
postural sering terjadi. Kebanyakan orang dengan kadar kalium
serum kurang dari 3,0 mEq/l mengalami perubahan
elektrokardiografi (EKG), ini sangat spesifik untuk hipokalemia.
Perubahan ini meliputi pemanjangan gelombang PR, depresi dari
segmen EKG ini biasanya tidak serius, tetapi ini menyebabkan sinus
bradikardi dan disritmia ektopik ventrikular. Keracunan digitalis
dapat terjadi pada orang yang sedang memakai obat ini dan akan
menaikkan risiko disritmia ventrikular, khususnya pada orang
dengan dasar penyakit jantung. 1
Tanda dan gejala kelebihan kalium sangat berhubungan
dengan gangguan pada eksitabilitas neuromuskulat. Manifestasi
neuromuskular dari kelebihan kalium biasanya tidak tampak, sampai
kadar kalium serum melebihi 6mEq/l. Gejala pertama tang
berhubungan dengan hiperkalemia biasa adalah paestesia.
Kemungkinanan besar nantinya akan ada keluhan kelemahan otot
secara menyeluruh atau dispnea sekunder karena kelemahan otot
pernapasan. 1,4
Akibat paling serius dari hiperkalemia ada pada jantung.
Saat kadar kalium meningkat, maka gangguan pada konsukdi
jantung akan terjadi. Perubahan yang cepat, mungkin terjadi pada
gelombang T yang menyempit, dan pelebaran kompleks QRS. Jika
kadar kalium serum terus naik, interval PR menjadi memanjang dan
diikuti oleh hilangnya gelombang P. Detak jantung kemungkinan
turun. Fibrilasi ventrikular dan cardiac arrest akan terjadi.1

2.7. Diagnosis
2.7.1. Anamnesis1
Pada anamnesis perlu ditanyakan hal – hal sebagai berikut:
lama diare, frekuaensi, volume, konsistensi tinja, warna, bau, ada /
tidak lendir dan darah. Bila disertai muntah: volume dan frekuensinya.
Kencing: biasa, berkurang, jarangatau tidak kencing dalam 6 – 8 jam
terakhir. Makanan dan minuman yang diberikan selama diare. Adakah
panas atau penyakit lain yang menyertai: seperti batuk, pilek, otitis
media, campak. Tindakan yang telah dilakukan ibu selama anak diare:
memberi oralit, membawa berobat ke Puskesmas atau ke Rumah Sakit
dan obat – obatan yang diberikan serta riwayat imunisasinya.

30
2.7.2. Pemeriksaan Fisik1
Pada pemeriksaan fisik perlu diperiksa: berat badan, suhu
tubuh, frekuensi denyut jantung, dan pernapasan serta tekanan darah.
Selanjutnya perlu dicari tanda – tanda utama dehidrasi: kesadaran, rasa
haus, dan turgor kulit abdomen dan tanda – tanda tambahan lainnya:
ubun – ubung besar cekung atau tidak, mata: cowong atau tidak, ada
atau tidak air mata, bibir mukosa mulut dan lidah kering atau basah.
Pernapasan yang cepat dan dalam indikasi adanya asidosis
metabolik. Bising usus yang lemah atau tidak ada bila terdapat
hipokalemia. Pemeriksaan ekstremitas perlu karena perfusi dan
capillary refill dapat menentukan derajat dehidrasi yang terjadi.

Tabel 2.2. Penentuan derajat dehidrasi menurut MMWR7


Simptom Minimal atau Dehidrasi Ringan – Dehidrasi Berat,
tanpa dehidrasi Sedang, kehilangan kehilangan BB >
kehilangan BB < 3 BB 3% - 9% 9%
%
Kesadaran Baik Normal, lelah, Apatis, letargi, tidak sadar
gelisah, iritable

Denyut jantung Normal Normal – meningkat Takikardi, bradikardia pada


kasus berat
Kualitas nadi Normal Normal – melemah Lemah, kecil, tidak teraba

Pernapasan Normal Normal – cepat Dalam

Mata Normal Sedikit cowong Sangat cowong

Air Mata Ada Berkurang Tidak ada

Mulut dan Lidah Basah Kering Sangat kering

Cubitan kulit Segera kembali Kembali < 2 detik Kembali > 2 detik

Capillary refill Normal Memanjang Memanjang, minimal

Extremitas Hangat Dingin Dingin, mottled, sianotik

Kencing Normal Berkurang Minimal

Tabel 2.3. Penentuan derajat dehidrasi menurut WHO1


Penilaian A B C
Lihat:
Keadaan umum Baik, sadar *Gelisah, rewel *Lesu, lunglai
atai tidak sadar

31
Mata Normal Cekung Sangat cekung
dan kering
Air mata Ada Tidak ada Sangat kering
Mulut dan lidah Basah Kering *Malas minum
Rasa haus Minum biasa *Haus, ingin atau tidak bisa
tidak haus minum banyak minum
Periksa: turgor Kembali cepat *kembali lambat *kembali sangat
kulit lambat
Hasil pemeriksaan: Tanpa dehidrasi Dehidrasi ringan / Dehidrasi berat
sedang
Bila ada 1 tanda * Bila ada 1 tanda *
ditambah 1 atau ditambah 1 atau
lebih tanda lain lebih tanda lain
Terapi Rencana Terapi Rencana Terapi B Rencana Terapi C
A

Tabel 2.4. Penentuan derajat dehidrasi menurut sistim pengangkaan –


Maurice King 1
Bagian tubuh yang Nilai untuk gejala yang ditemukan
diperiksa 0 1 2
Keadaan umum Sehat Gelisah, cengeng, Mengigau, koma
apatis, ngantuk atau syok
Kekenyalan kulit Normal Sedikit kurang Sangat kurang
Mata Normal Sedikit cekung Sangat cekung
Ubun – ubun besar Normal Sedikit cekung Sangat cekung
Mulut Normal Kering Kerin & sianosis
Denyut nadi/menit Kuat < 120 Sedang (120-140) Lemah > 140

Hasil yang didapt pada penderita diberi angka 0, 1 atau 2 sesuai dengan
tabel kemudian dijumlahkan
Nilai: 0 – 2 = ringan 3 – 6 = Sedang 7 – 12 = Berat

2.7.3. Laboratorium1
Pemeriksaan laboratorium lengkap pada diare akut pada
umumnya tidak diperlukan, hanya pada keadaan tertentu mungkin
diperlukan misalnya penyebab dasarnya tidak diketahui atau ada
sebab – sebab lain selain diare akut atau pada penderita dengan
dehidrasi berat. Contoh: pemeriksaan darah lengkap, kultur urine
dan tinja pada sepsis atau infeksi saluran kemih.
Pemeriksaan laboratorium yang kadang – kadang diperlukan pada
diare akut:
Darah: darah lengkap, serum elektrolit, analisa gas darah, glukosa
darah, kultur dan tes kepekaan terhadap antibiotika.
Urine: urine lengkap, kultur dan test kepekaan terhadap antibiotika.
Tinja:
Pemeriksaan Makroskopik:

32
Pemeriksaan makroskopik tinja perlu dilakukan pada semua
penderita dengan diare meskipun pemeriksaan laboratorium tidak
dilakukan. Tinja yang watery dan tanpa mukus atau arah biasa
disebabkan oleh enterotoksin virus, protozoa atau disebabkan oleh
infeksi diluar saluran gastrointestinal. Tinja yang mengandung darah
atau mukus bisa disebabkan infeksi bakteri yang menghasulkan
sitotoksin, bakteri enteroinvasif yang menyebabkan peradangan
mukosa atau parasit usus seperti: E. hystolitica, B. coli, dan T.
Trichiura. Apabila terdapat darah biasanya bercampur dalam tinja
kecuali pada infeksi dengan E. hystolitica darah sering terdapat pada
permukaan tinja dan pada infeksi EHEC terdapat garis – garis darah
pada tinja. Tinja yang berbau busuk didapatkan pada infeksi dengan
Salmonella, Giardia, Cryptosporidium dan Strongyloides.

Tabel 2.5. Test Laboratorium tinja yang digunakan untuk


mendeteksi enteropatogen
Test laboratorium Organisme diduga / identifikasi
Mikroskopik : lekosit pada tinja Invasive atau bakteri yang memproduksi
sitotoksin
Trophozoit, kista, oocysts, spora G. lamblia, E.hystolytica, Cryptosporidium,
I.belli, Cyclospora
Rhabditiform lava Strongiloides
Spiral atau basil gram (-) berbentuk S Camphylobacter jejuni
Kutur tinja: Standard E.coli, Shigella, Salmonella, Campulobacter
jejuni
Spesial Y.eneterocolitica, V. Cholerae, V.
Parahaemolyticus, C. difficile, E.coli, )157 :
H7
Enzym imunoassay atau latex aglutinasi Rotavirus, G.lamblia, enteric adenovirus,
Serotyping C.difficile
Latex aglutinasi setelah broth E.coli, O 157 : H7, EHEC, EPEC
enrichment Salmonella, Shigella
Test yang dilakukan di laboratorium
riset Bakteri yang memproduksi toksin, EIEC,
EAEC, PCR untuk genus yang virulen

2.8. Tatalaksana
2.8.1. Lima Pilar Penatalaksanaan Diare1,8
Departemen Kesehatan mulai melakukan sosialisasi
Panduan Tata Laksana Pengobatan Diare pada balita yang baru
didukung oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia, ditetapkan lima pilar
penatalaksanaan diare bagi semua kasus diare yang diderita anak

33
balita baik yang dirawat di rumah maupun sedang dirawat di rumah
sakit, yaitu:
1. Rehidrasi dengan menggunakan oralit baru 1,8,9
Beriksan segera bila anak diare, untuk mencegah dan
mengatasi dehidrasi. Oralit formula lama dikembangkan dari
kejadian luar biasa diare di Asia Selatan yang terutama
disebabkan karena disentri, yang menyebabkan
berkurangnya lebih banyak elektrolit tubuh, terutama
natrium. Sedangkan diare yang lebih banyak terjadi akhir –
akhir ini dengan dengan tingkat sanitasi yang lebih banyak
terjadi akhir – akhir ini dengan tingkat sanitasi yang lebi baik
adalah disebabkan oleh virus. Diare karena virus tersebut
tidak menyebabkan kekurangan elektrolit seberat pada
disentri. Karena itu para ahli diare mengembangkan formula
baru oralit dengan tingkat osmolaritas plasma, sehingga
kurang menyebabkan risiko terjadinya hipernatremia. Oralit
baru ini aadalah oralit dengan osmolaritas yang rendah.
Keamanan oralit ini sama dengan oralit yang selama ini
digunakan, namun efektivitasnya lebih baik daripada oralit
formula lama. Oralit baru dengan low osmolaritas ini juga
menurunkan kebutuhan suplementasi intravena dan mampu
mengurangi pengeluaran tinja gingga 20% serta mengurangi
kejadian muntah hingga 30%. Selain itu, oralit baru ini juga
telah direkomendasikan oleh WHO dan UNICEF untuk diare
akut non-kolera pada anak.

Tabel 2.6. Komposisi Oralit Baru1,8


Oralit Baru Osmolaritas Rendah Mmol/liter
Natrium 75
Klorida 65
Glucose, anhydrosus 75
Kalium 20
Sitrat 10
Total Osmolaritas 245
Sumber: WHO 2006

Ketentuan pemberian oralit formula baru:


a. Beri ibu 2 bungkus oralit baru formula
b. Larutkan 1 bungkus oralit formula baru dalam 1 liter
air matang, untuk persediaan 24 jam.
c. Berikan larutan oralit pada anak setiap kali buang air
besar, dengan ketentuan sebagai berikut:

34
Untuk anak berumur < 2 tahun: berikan 50 – 100ml
tiap kali BAB
Untuk anak 2 tahun atau lebih: berikan 100 – 200 ml
tiap kali BAB
d. Jika dalam waktu 24 jam persediaan larutan oralit
masih tersisa, maka sisa lanrutan harus dibuang.

2. Zinc diberikan selama 10 hari berturut – turut 1,8,10


Zinc mengurangi lama dan beratnya diare. Zinc juga dapat
mengembalikan nafsu makan anak. Penggunaan zinc ini
memang populer beberapa tahun terakhir karena memiliki
evidence based yang bagus. Beberapa penelitian telah
membuktikannya. Zinc termasuk mikronutrien yang mutlak
dibutuhkan untuk memelihara kehidupan yang oprimal.
Meski dalam jumlah yang sangat kecil, dari segi fisiologis,
zinc berperan untuk pertumbuhan dan pembelahan sel,
antioksidan, perkembangan seksual, kekebalan seluler,
adaptasi gelap, pengecapan, serta nafsu makan. Zinc juga
berperan dalam sistem kekebalan tubuh dan merupakan
mediator potensial pertahanan tubuh terhadap infeksi.
Dasar pemikiran penggunaan zinc dalam pengobatan diare
akut didasakan pada efeknya terhadap fungsi imun atau
terhadap struktur dan fungsi saluran cerna dan terhadap
proses perbaikan epitel saluran cerna selama diare.
Pemberian zinc pada diare dapat meningkatkan absorpsi aor
dan elektrolit oleh usus halus, meningkatkan kecepatan
regenerasi epitel usus, meningkatkan jumlah brush border
apical, dan meningkatkan respon imun yang mempercepat
pembersihan patogen dari usus. Pengobatan dengan zinc
cocok diterapkan di negara – negara berkembang seperti
Indonesia yang memiliki banyak masalah terjadinya
kekurangan zinc di dalam tubuh karena tingkat kesejahteraan
yang rendah dan daya imunitas yang kurang memadai.
Pemberian zinc dapat menurunkan frekuensi dan volume
buang air besar sehingga dapat menurunkan risiko terjadinya
dehidrasi pada anak.

Dosis zinc untuk anak – anak:


Anak di bawah umur 6 bulan : 10mg (1/2 tablet) per hari
Anak di atas umur 6 bulan : 20mg (1tablet) per hari

35
Zinc diberikan selama 10 – 14 hari berturut – turut meskipun
anak telah sembuh dari diare. Untuk bayi, tablet zinc dapat
dilarutkan dengan air matang, ASI, atau oralit. Untuk anak –
anak yang lebih besar, zinc dapat dikunyah atau dilarutkan
dalam air matang atau oralit.

3. ASI dan makanan tetap diteruskan 1,8,11


ASI dan makanan tetap diteruskan sesuai umur anak dengan
menu yang sama pada waktu anak sehat untuk mencegah
kehilangan berat badan serta penggantu nutrisi yang hilang.
Pada diare berdarah nafsu makan akan berkurang. Adanya
perbaikan nafsu makan menandakan fase kesembuhan.

4. Antibiotik selektif 1,8,11


Antibiotik jangan diberikan kecuali ada indikasi misalnya
diare berdarah atau kolera. Pemberian antibiotik yang tidak
rasional justru akan memperpanjang lamanya diare karena
akan mengganggu keseimbangan flora usus dan Clostridium
difficile yang akan tumbuh dan menyebabkan diare sulit
disembuhkan. Selain itu, pemberian antibiotik yang tidak
rasional akan mempercepat resistensi kuman terhadap
antibiotik, serta menambah bianya pengibatan yang tidak
perlu. Pada penelitian multipel ditemukan, bahwa telah
terjadi peningkatan resistensi terhadap antibiotik yang sering
dipakai seperti ampisilin, tetrasiklin, kloramfenikol, dan
trimetoprim sulfametoksazole dalam 15 tahun ini. Resistensi
terhadap antibiotik terjadi melalui mekanisme berikut:
inaktivasi obat melalui degradasi enzimatik oleh bakteri,
perubahan struktur bakteri yang menjadi target antibiotik
dan perubahan permeabilitas membrane terhadap antibiotik.

5. Nasihat kepada orang tua


Kembali segera jika demam, tinja berdarah, berulang makan
atau minum sedikit, sangat halus, diare makin sering, atau
belum membaik dalam 3 hari.

2.8.2. Pengobatan diare tanpa dehidrasi1,8,9,10


Terapi Rehidrasi Oral (TRO)
Penderita diare tanpa dehidrasi harus diberi cairan rumah tangga
untuk mencegah dehidrasi, seperti: air tajin, larutan gula garam,
kuah sayur – sayuran dan sebagainya. Pengobatan dapat dilakukan
di rumah oleh keluarga penderita. Jumlah cairan yang diberikan

36
adalah 10 ml / kg BB atau untuk anak usia < 1 tahun adalah 50 – 100
ml, 1 – 5 tahun adalah 100 – 200 ml, 5 – 12 tahun adalah 200 – 300
ml dan dewasa adalah 300 – 400 ml setiap BAB.Untuk anak di
bawah umur 2 tahun cairan harus diberikan dengan sendok dengan
cara 1 sendok setiap 1 sampai 2 menit. Pemberian dengan botol tidak
boleh dilakukan. Anak yang lebih besar dapat minum langsung dari
cangkit atau gelas dengan tegukkan yang sering. Bila terjadi muntah
hentikan dulu selama 10 menit kemudian mulai lagi perlahan – lahan
misalnya 1 sendok setiap 2 – 3 menit. Pemberian cairan ini
dilanjutkan sampai dengan diare berhenti. Selain cairan rumah
tangga ASI dan makanan yang biasa dimakan tetap harus diberikan.
Makanan diberikan sedikit – sedikit tetapi sering (bisa kurang 6 kali
sehari) serta rendah serat. Buah – buahan diberikan terutama pisang.
Makanan yang merangsang (pedas, asam, terlalu banyak lemak)
jangan diberikan dulu karena dapat menyebabkan diare bertambah
berat. Bila dengan cara pengobatan ini diare tetap berlangsung atau
bertambah hebat dan keadaan anak bertambah berat serta jatuh
dalam keadaan dehidrasi ringan – sedang, obati dengan cara
pengobatan dehidrasi ringan – sedang.

2.8.3. Pengobatan diare dehidrasi ringan – sedang 1,8,11


Terapi Rehidrasi Oral (TRO)
Penderita diare dengan dehidrasi ringan – sedang harus dirawat di
sarana kesehatan dan segera diberikan terapi rehidrasi oral dengan
oralit. Jumlah oralit yang diberikan 3 jam pertama 75 cc/kgBB. Bila
berat badan tidak diketahui, meskipun cara ini kurang tepat,
perkiraan kekurangan cairan dapat ditentikan dengan menggunakan
umur penderita, yaitu: untuk umur < 1tahun adalah 300ml, 1 – 5
tahun adalah 600ml, > 5 tahun adalah 1200ml dan dewasa adalah
2400ml. rentang nilai volume cairan ini adalah perkiraan, volume
yang sesungguhnya diberikan ditentukan dengan menilai rasa haus
penderita dan memantau tanda – tanda dehidrasi.
Bila penderita masih haus dan masih ingin minum harus diberi lagi.
Sebaliknya bila dengan volume diatas kelopak mata menjadi
bengkak, pemberian oralit harus dihentikan sementara dan diberikan
minum air putih atau air tawat. Bila oedem kelopak mata sudah
hilang dapat diberikan lagi.
Apabila oleh karena suatu hal pemberian oralit tidak dapat diberikan
secara per-oral, oralit dapat diberikan melalui nasogastrik dengan
volume yang sama dengan kecepatan 20ml/kgBB/jam. Setelah 3 jam
keadaan penderita dievaluasi, apakah membaik, tetap atau
memburuk. Bila keadaan penderita membaik dan dehidrasi teratasi

37
pengobatan dapat dilanjutkan di rumah dengan memberikan oralit
dan makanan dengan cara seperti pada pengobatan diare tanpa
dehidrasi. Bila memburuk dan penderita jatuh dalam keadaan
dehidrasi berat, penderita tetap dirawat di sarana kesehatan dan
pengobatan yang terbaik adalah pemberian cairan parenteral.

2.8.4. Pengobatan diare dehidrasi berat 1,8,11


Terapi Rehidrasi Parenteral (TRP)
Penderita diare dehidrasi berat harus dirawat di puskesmas atau
Rumah Sakit.
Pasien yang masih dapat minum meskipun hanya sedikit harus
diberi oralit sampai cairan infus terpasang. Disamping itu, semua
anak harus diberi oralit selama pemberian cairan intravena (±
5ml/kgBB/jam), apabila dapat minum dengan baik, biasanya dalam
3 – 4 jam (untuk bayi) atau 1 – 2 jam (untuk anak yang lebih besar).
Pemberian tersebut dilakukan untuk memberi tambahan basa dan
kalium yang mungkin tidak dapat disuplai dengan cukup dengan
pemberian cairan intravena. Untuk rehidrasi parenteral digunakan
cairan Ringer Laktat dengan dosis 100ml/kgBB. Cara pemberiannya
untuk < 1 tahun 1 jam pertama 30cc/kgBB, dilanjutkan 5 jam
berikutnya 70cc/kgBB. Diatas 1 tahun ½ jam pertama 30cc/kgBB
dilanjutkan 2 ½ jam berikutnya 70cc/kgBB. Lakukan evaluasi tiap
jam. Bila hidrasi tidak membaik, tetesan I.V. dapat dipercepat.
Setelah 6 jam bayi atau 3 jam pada anak lebih besar, lakukan
evaluasi, pilih pengobatan selanjutnya sesuai yaitu: pengobatan
diare dengan dehidrasi ringan sedang atau pengobatan diare tanpa
dehidrasi.

2.8.5. Terapi Medikamentosa1


Berbagai macam obat telah digunakan untuk pengobatan diare :
1. Antibiotik
Antibiotik pada umunya tidak diperlukan pada semua diare
akut oleh karena sebagian besar diare infeksi adalah
rotavirus yang sifatnya self limited dan tidak dapat dibunuh
dengan antibiotika. Hanya sebagian kecil (10-20%) yang
disebabkan oleh bakteri patogen.

Tabel 2.7. Antibiotik pada diare1


Penyebab Antibiotik Pilihan Alternatif
Kolera Tetracycline Erythromycin
12,5 mg/kgBB 12,5 mg/kgBB
4 x sehari selama 3 4 x sehari selama 3
hari hari

38
Shigella dysentry Ciprofloxacin Pivmecillinam
15 mg/kgBB 2omg.kgBB
2x sehari selama 3 4x sehari selama 5
hari hari
Caftriaxone
50 – 100mg/ kgBB
1x sehari IM selama
2-5 hari
Amoebiasis Metronidazole
10 mg/kgBB
3xsehari sealam 5
hari (10 hari pada
kasus berat)
Giardiasis Metronidazole
5mg/kgBB
3x sehari selama 5
hari
Sumber: WHO 2006

2. Antidiare
a. Adsorben
Contoh: kaolin, attapulgite, smectite, activated
charcoal, cholestyramine. Obat – obat ini
dipromosikan untuk pengobatan diare atas dasar
kemampuannya untuk mengikat dan menginaktifasi
toksin bakteri atau bahan lain yang meyebabkan
diare serta dikatan memiliki kemampuan melindungi
mukosa usus. Walaupun demikian, tidak ada bukti
keuntungan praktis dari penggunaan obat ini untuk
pengobatan rutin diare akut pada anak.
b. Antimotilitas
Contoh: loperamide hydrochloride, diphenoxylate
dengan atropine, tinctura opii, paregoric, codein).
Obat – obatan ini adapat mengurangi frekuensi diare
pada orang dewasa akan tetapi tidak mengurangi
volume tinja pada anak. Lebih dari itu dapat
menyebabkan ileus paralitik yang berat yang dapat
fatal atau dapat memperpanjang infeksi dengan
memperlambat eliminasi dari organisme penyebab.
Dapat terjadi efek sedatif pada dosis normal. Tidak
satu pun dari obat – obatan ini boleh diberikan pada
bayi dan anak dengan diare.
c. Bismuth subsalicylate

39
Bila diberikan setiap 4 jam dilaporkan dapat
mengurangi tinja pada anak dengan diare akut
sebanyak 30% akan tetapi, cara ini jarang digunakan.

3. Antiemetik
Termasuk obat ini seperti prochlorperazine dan
chlorpromazine yang dapat menyebabkan mengantuk
sehingga mengganggu pemberian terapi rehidrsi oral. Oleh
karena itu obat anti muntah tidak digunakan pada anak
dengan diare, muntah karena biasanya berhenti bila
penderita telah terehidrasi.

2.9. Komplikasi
2.9.1. Gangguan Elektrolit
1. Hipernatremia1
Penderita diare dengan natrium plasma > 150mmol/L
memerlukan pemantauan berkala yang ketat. Tujuannya adalah
menurunkan kadar natrium secara perlahan – lahan. Penurunan
kadar natrium plasma yang cepat sangat berbahaya oleh karena
dapat menimbulkan edema otak. Rehidrasi oral atau nasogastrik
menggukan oralit adalah cara terbaik dan paling aman.
Koreksi dengan rehidrasi intravena dapat dilakukan dengan
menggunakan caian 0,45% saline – 5% dextrose selama 8 jam.
Hitung kebutuhan cairan menggunakan berat badan tanpa
koreksi. Periksa kadar natrium plasma setelah 8 jam. Bila normal
lanjutkan dengan rumatan, bila sebaliknya lanjutkan 8 jam lagi
dan periksa kembali natrium plasma setelah 8 jam. Untuk
rumatan gunakan 0,18% saline – 5% dextrose, perhitungan untuk
24 jam. Tambahkan 10 mmol KCL pada setiap 500ml cairan infus
setelah pasien dapat kencing. Selanjutnya pemberian diet normal
dapat mulai diberikan. Lanjutkan pemberian oralit 10ml/kgBB
setiap BAB, sampai diare berhenti.

2. Hiponatremia1
Anak dengan diare yang hanya minum air putih atau cairan yang
hanya mengandung sedikit garam, dapat terjadi hiponatremia (Na
< 130mol/L). Hiponatremi sering terjadi pada anak dengan
Shigellosis dan pada anak malnutrisi berat dengan oedema. Oralit
aman dan efektif untuk terapi dari hampir semua anak dengan
hiponatremi. Bila tidak berhasil, koreksi Na dilakukan bersamaan
dengan koreksi cairan rehidrasi yaitu: memakai Ringer Laktat
atau Normal Saline. Kadar Na koreksi (mEq/L) = 125 – kadar Na

40
serum yang diperiksa dikalikan 0,6 dan dikalikan berat badan.
Separuh diberikan dalam 8 jam, sisanya diberikan dalam 16 jam.
Peningkatan serum Na tidak boleh melebihi 2 mEq/L/jam

3. Hiperkalemia1
Disebut hiperkalemia jika K>5mEq/L, koreksi dilakukan dengan
pemberian kalsium glukonas 10% 0,5 – 1 ml/kgBB i.v pelan –
pelan dalam 5 – 10 menit dengan monitor detak jantung.

4. Hipokalemia1
Dikatakan hipokalemia bila K < 3,5mEq/L, koreksi dilakukan
menurut kadar K, jika Kalium 2,5 – 3,5 mEq/L maka diberikan
per-oral 75mcg/kgBB/hari dibagi 3 dosis. Bila < 2,5 mEq/L maka
diberikan secara intravena drip (tidak boleh bolus) diberikan
dalam 4 jam. Dosisnya: (3,5 – kadar K terukur x BB x 0,4 +
2mEwq/kgBB/24jam) diberikan dalam 4 jam, kemudian 20 jam
berikutnya adalah (3,5 – kadar K terukut x BB x 0,4 + 1/6 x 2
mEq x BB)
Hipokalemia dapat menyebabkan kelemahan otot, paralitik ileus,
gangguan fungsi ginjal dan aritmia jantung. Hipokalemia dapat
dicegah dan kekurangan kalium dapat dikoreksi dengan
menggunakan oralit dan memberikan makanan yang kaya kalium
selama diare dan sesudah diare berhenti.

2.9.2. Kejang1
Pada anak yang mengalami dehidrasi, walaupun tidak selalu, dapat
terjadi kejang sebelum atau selama pengobatan rehidrasi. Kejang
tersebut dapat disebabkan oleh karena hipoglikemia, kebanyakan
terjadi pada bayi atau anak yang gizinya buruk, hiperpireksia, kejang
terjadi bila panasnya tiggi, misalnya melebihi 40˚C, hipernatremia,
atau hiponatremia.
Kelangsungan hidup sel otak memerlukan energi yang didapat dari
metabolisme glukosa melalui suati peroses oksidasi. Dimana dalam
proses oksidasi tersebut diperlukan okesigen yang disediakan
dengan perantaraan paru – paru. Oksigen dari paru – paru ini
diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskular. Suatu sel,
khususna sel otak atau neuron dalam hal ini, dikelilingi oleh suatu
membran yang terdiri dari membran permukaan dalam dan
mempran permukaan luar. Membran permukaan dalam bersifat
lipoid, sedangkan membran permukaan luar bersifat ionik. Dalam
keadaan normal membran sel neuron dapat dengan mudah dilalui
ion Kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion Natrium (NA+)

41
dan elektrolit lainnya, kecuali oleh ion Klorida (Cl-_. Akibatnya
konsentrasi K+ dalam neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah,
sedangkan di luar neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena
perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar neuron,
maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran
neuron. Untuk menjaga keseimbagan potensial ini diperluka energi
dan bantuan enzim Na-K ATPase yang terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran tadi dapat berubah oleh adanya
perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraselular, rangsangan yang
datang mendadak seperti rangsangan mekanis, kimiawi atau aliran
listrik dari sekitarnya, perubahan patofisiologi dari membran sendiri
karena penyakit atau keturunan. Pada keadaan demam, kenaikan
suhu 1˚C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10 –
15% dan meningkatna kebutuhan oksigen sebesar 20%. Pada
seorang anak usia 3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh
sirkulasi tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya
15%. Jadi kenaikan suhu tubuh pada seorang anak dapat
mengakibatkan adanya perubahan keseimbangan membran neuron
dan dalam waktu singkat terjadi difusi ion Kalium dan ion Natrium
melalui membran tadi, dengan akibtanya terjadi lepas muatan listrik.
Lepasnya muatan listruk ini demikian besar sehingga dapat meluas
ke seluruh sel maupun ke membran sel tetangga dengan perantaraan
neurotransmiter sehingga terjadilah kejang. Tiap anak memiliki
ambang kejang yang berbeda, dan tergantung dari ringgi rendahnya
nilai ambang kejang, seorang anak menderita kejang pada kenaikan
suu tubuh tertentu. Pada anak dengan ambang kejang rendah,
serangan kejang telah terjadi pada suhu 38˚C, sedangkan pada anak
dengan ambang kejang tinggi, serangan kejang baru terjadi pada
suhu 40˚C atau lebih.

2.10. Pencegahan1
 Mencegah penyebaran kuman patogen penyebab diare
Kuman – kuman patogen penyebab diare umumnya
disebarkan secara fekal – oral. Pemutusan penyebaran kuman
penyebab diare perlu difokuskan pada cara penyebaran ini.
Upaya pencegahan diare yang terbukti efektif meliputi:
a) Pemberian ASI yang benar
b) Memperbaiki penyiapan dan penyimpanan makanan
pendamping ASI
c) Penggunaan air bersih yang cukup
d) Membudayakan kebiasaan mencuci tangan dengan
sabun sehabis BAB dan sebelum makan

42
e) Penggunaan jamban yang bersih dan higienis oleh
seluruh anggota keluarga
f) Membuang tinja bayi yang benar

 Memperbaiki daya tahan tubuh pejamu (host)


a) Memberi ASI paling tidak sampai usia 2 th
b) Meningkatkan nilai gizi makanan pendamping ASI
dan memberi makan dalam jumlah yang cukup untuk
memperbaiki status gizi anak
c) Imunisasi campak

43
ANALISIS KASUS

Pada pasien ini, diagnosis diare akut dengan dehidrasi ringan sedang
ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis yaitu pasien mengalami BAB cair
sebanyak > 10 kali/hari sejak 3 hari SMRS, BAB berwarna kuning kehijauan, air
(+), lendir (-), darah (-), ampas sedikit, bau busuk (-), bau asam (-), BAK sedikit,
mual (+), dan muntah > 3 kali/hari. Setelah kejang pasien lemas, tidak ada kontak.
Pasien tidak mau makan dan minum. Pasien sudah meminum obat neo-entrostop sirup
dan Lacto-B namun keluhan tidak berkurang. Pasien tidak mau makan dan minum.
Pasien tidak mengalami demam, batuk, dan pilek. Riwayat kebiasaan Ibu pasien
yaitu menyediakan satu buah botol susu untuk konsumsi susu formula pasien sehari
– hari.

Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan pada tanggal 31 Juli 2017,


didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran composmentis,
GCS: E4M6V5, nadi 136 x/menit (regular, kuat angkat), respirasi 40 x/menit, suhu
37˚C, berat badan 10 kg, status gizi baik. Status generalis didapatkan tanda – tanda
dehidrasi, yaitu: pada pemeriksaan kepala didapatkan mukosa bibir kering, lidah
agak kering, pada pemeriksaan kulit didapatkan turgor kembali sangat lambat
namun pada ekstremitas CRT ≤ 2 detik, akral masih hangat dan tidak terdapat
sianosis.
Penatalaksanaan yang diberikan untuk mengatasi dehidrasi ringan sedang
yaitu terapi rehidrasi oral dan oralit. Jumlah oralit yang diberikan 3 jam pertama
75 cc/kgBB (225/3jam=75ml/jam). Kemudian diberikan zink untuk meningkatkan
absorpsi air dan elektrolit oleh usus halus, meningkatkan kecepatan regenerasi
epitel usus, meningkatkan brush border apical, dan meningkatan respon imun yang
mempercepat pembersihan patogen dari usus. Dosis zink untuk anak usia diatas 6
bulan yaitu 20 mg (1 tablet) per hari dan pasien mendapatkan zink kid 1x20 mg
tablet per hari. Pemberian Paracetamol 4x120 mg tablet digunakan apabila
didapatkan indikasi demam dari pengukuran suhu (axilla) diatas 38 derajat celcius.
Berdasarkan pemeriksaan status gizi didapatkan hasil sebagai berikut
BB/U= 80,64% (berat badan baik), PB/U= 87,71% (panjang badan normal),

44
BB/PB= 98,8% ( gizi normal ). Sehingga pasien mendapatkan RL 100 cc 16 tetes
per menit (makro).
Dapat disimpulkan telah ditegakkan diagnosis Diare akut dengan dehidrasi
ringan sedang ec intake sulit pada pasien An. I usia 1 tahun 10 bulan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan serta
telah ditatalaksana dengan pemberian terapi non medikamentosa dan
medikamentosa sesuai dengan evidence base medicine.

45
DAFTAR PUSTAKA

1. Juffrie M, Soeparto P, Ranuh R, Sayoeti Y, Sudigbua I, Ismail R, et al. 2015.


Buku Ajar Gastroenterologi – Hepatologi Jilid I . Jakata: IDAI

2. Badang Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.


Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013
sumber:http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskes
das%202013.pdf

3. Parashar UD, Hummelman EG, Breese JS, Miller MA, Glass RI. Global illnes
and death caused by rotavirus disease in children. Emerging Infection Disease.
2003

4. Pickering LK, Snyder JD. Gastroenteritis in Behrman, Kliegman, Jenson eds


Nelson Textbook of Pediatrics 17 ed. Saunders. 2011

5. Tolia V. Acute Infection diarrhea in children. Current treatment option in


infections diseases. 2002;4:183-94

6. Hoekstra JH. Acute Gastroenteritis in industrialiazed countries: compliance


with giudelines for treatment/ J. Pediatr Gastroenterol Nutr. 2001

7. King CK, Glass R, Bresee JS, Duggan C. Managing acute gastroenteritis among
child: oral rehydration, maintenence and nutritional therapy. MMWR 2003

8. Kementrian Kesehatan RI. 2011. Situasi Diare di Indonesia.


http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/buletin/buleti
n-diare.pdf.

9. WHO, UNICEF. Oral Rehydration Salt Production of the new ORS. Geneva.
2006

46
10. Amin, LM. 2015. Tatalaksana Diare Akut. Diakses dari:
sumber:http://www.kalbemed.com/Portals/6/08_230CME-
Tatalaksana%20Diare%20Akut.pdf

11. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2011.


Buku Saku Petugas Kesehatan Lintas Diare Lima Langkah Tuntaskan Diare.
Departermen Kesehatan RI.

47

Anda mungkin juga menyukai