Anda di halaman 1dari 25

EPILEPSI

I. PENDAHULUAN

Epilepsi sudah dikenal sejak 2000 tahun SM, dahulu dianggap bukan penyakit
melainkan disebabkan sesuatu yang berasal dari luar penderita atau kutukan roh jahat.
Epilepsi pertama kali diungkapkan sebagai penyakit oleh Hippocrates, diduga akibat
suatu penyakit di otak, bukan akibat kekuatan gaib. Di Indonesia, epilepsi telah lama
dikenal masyarakat dengan berbagai nama, misalnya “sawan celeng”, “ayan” dan
sebagainya.
Epilepsi merupakan keadaan dimana seseorang mengalamI kejang berulang
karena suatu proses penyakit kronis yang mendasarinya. Epilepsi lebih merujuk pada
fenomena klinis daripada diagnosis tunggal suatu penyakit. Penelitian-penelitian
mengenai berbagai aspek epilepsi termasuk dasar neurokimia dan neurofisiologi serangan
epilepsi, gambaran klinis, diagnosis, terapi, aspek psikososial dan sebagainya telah
banyak memberi sumbangan dalam meningkatkan pengertian tentang epilepsi dan
penanggulangannya.
Menggunakan definisi epilepsi sebagai kejang lebih dari dua kali tanpa provokasi,
insidens epilepsi diperkirakan 0,3 – 0,5% di seluruh dunia, sedangkan prevalensi epilepsi
diperkirakan 5-10 per 1000 orang. Di Indonesia belum pernah dilakukan penelitian
epidemiologi tentang epilepsi, bila merujuk pada perkiraan di atas, dengan penduduk
lebih dari 200 juta di Indonesia kira-kira ada 1-2 juta orang penyandang epilepsi.

II. DEFINISI

Epilepsi adalah manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai etiologi,


namun dengan gejala tunggal yang khas yaitu serangan berkala yang disebabkan lepas-
muatan listrik neuron-neuron otak secara berlebihan dan paroksismal.
Definisi tersebut menunjukkan bahwa dasar serangan epilepsi ialah kelainan pada
lepas-muatan (eksitasi; excitation) listrik sejumlah besar neuron otak. Gangguan lepas-
muatan tersebut dapat disebabkan oleh berbagai keadaan yang mempengaruhi
metabolisme neuron-neuron otak. Gambaran klinis suatu serangan epilepsi bergantung
pada fungsi daerah otak yang mencetuskan lepas muatan listrik abnormal serta jalur-jalur
yang dilampaui oleh lepas muatan tersebut, sehingga serangan epilepsi dapat menjelma
menjadi serangan beraneka ragam dan kompleks.

III. ETIOLOGI

Ditinjau dari penyebabnya, epilepsi dibagi menjadi 2 golongan yakni (1) epilepsi
primer atau epilepsi idiopatik, (2) epilepsi sekunder, yaitu yang diketahui penyebabnya.
Pada epilepsi primer tidak terdapat kelainan organik pada jaringan otak; kelainan diduga
terdapat pada keseimbangan zat kimiawi neuron-neuron otak yang kemudian
mencetuskan lepas-muatan listrik yang berlebihan sehingga menimbulkan gejala. Pada
epilepsi sekunder, terdapat kelainan organik pada jaringan otak. Dengan pemeriksaan
otak misalnya CT scan atau otopsi dapat dilihat kelainan struktural. Kelainan ini dapat
merupakan bawaan lahir (kongenital) atau didapat.

Penyebab epilepsi antara lain :


1. Idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, umumnya mempunyai predisposisi
genetik misalnya tuberous sclerosis, sindrom cincin kromosom 20,
neurofibromatosis ensefalotrigeminal, fenilketonuria, dan hipoparatiroidisme.
2. Kriptogenik : sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut dan epilepsi mioklonik.
Gambaran klinik sesuai dengan enselopati difus
3. Simtomatik : disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf pusat, misalnya
trauma kepala, infeksi susunan saraf pusat (SSP), kelainan kongenital, lesi desak
ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat), metabolik, kelainan
neurodegenaratif..

Selain itu diketahui juga adanya faktor presipitasi, yaitu faktor yang mempermudah
terjadinya serangan, antara lain :
1. Faktor sensoris: cahaya yang berkedip-kedip, bunyi-bunyi yang mengejutkan, air
panas.
2. Faktor sistemis: demam, penyakit infeksi, obat-obat tertentu golongan fenotiazin,
klorpropamid, hipoglikemia, kelelahan fisik.
3. Faktor mental: stress, gangguan emosi.

IV. KLASIFIKASI

Tahun 1981 International League Against Epilepsy (ILAE) membuat suatu


klasifikasi internasional mengenai kejang dan epilepsi yang membagi kejang menjadi 2
golongan utama : serangan parsial (partial onset seizures) dan serangan umum
(generalized-onset seizures). Serangan parsial dimulai pada satu area fokal di korteks
serebri, sedangkan serangan umum dimulai secara simultan di kedua hemisfer. Serangan
lain yang sulit digolongkan dalam satu kelompok dimasukkan dalam golongan tak
terklasifikasikan (unclassified). ILAE kemudian membuat klasifikasi yang diperbaharui
menggunakan diagnosis multiaksial pada tahun 1989, kemudian disempurnakan lagi pada
tahun 2001, namun klasifikasi tahun 1981 tetap masih sering digunakan.

Klasifikasi ILAE 1981

Tabel 1. Klasifikasi menurut ILAE


Epilepsi Umum
1. Grand mal (tonik-klonik)
Disebut juga bangkitan tonik-klonik atau bangkitan mayor. Penderita gran mal
sudah sejak kecil mendapat serangan, tetapi dapat juga terjadi pada umur 20-30 tahun.
Tetapi jika timbul pada usia 30 tahun ke atas, maka harus dicurigai adanya tumor
serebri. ‘Cerebrovascular disease’ dapat juga menimbulkan konvulsi umum pada
orang berusia tua.
Suatu aura tipikal dapat menjadi petanda serangan akan terjadi, seperti perasaan
baal, nausea, bau, visual image, irritable, atau suatu kilasan ingatan. Aura ini sangat
penting, karena biasanya dapat menjadi petunjuk lokasi dari fokus yang terganggu
atau lesi. Bisa juga bangkitan terjadi tanpa aura. Penderita secara mendadak
kehilangan kesadarannya, bila penderita sedang berdiri sewaktu serangan mulai, ia
akan jatuh seperti benda mati.
Bangkitan berupa kejang tonik kemudian diikuti oleh kejang klonik. Pada fase
tonik, badan menjadi kaku, bila kejang tonik ini kuat, udara dikeluarkan dengan kuat
melalui pita suara sehingga terjadi bunyi, disebut jeritan epilepsi (epileptic crime).
Otot-otot respirasi berada spasme tonik, sehingga pernapasan terganggu, setelah
beberapa detik kulit dan membran mukosa menjadi sianotik, pupil dilatasi dan tidak
bereaksi terhadap refleks cahaya. Fase tonik ini berlangsung selama 20-60 detik.
Kontrol usus besar dan kandung kemih sering menghilang dan umumnya lidah
tergigit.
Kemudian disusul oleh fase klonik, semua anggota gerak berkejang klonik, juga
otot-otot pernapasan dan otot rahang. Pernapasan menjadi tidak teratur, tersendat-
sendat, dari mulut keluar busa, dan lidah dapat tergigit. Biasanya fase klonik
berlangsung 40 detik, tetapi dapat lebih lama.
Setelah fase klonik, penderita terbaring dalam koma, biasa berlangsung kira-kira 1
menit. Setelah itu penderita tertidur, yang lamanya bervariasi, dari beberapa menit
sampai 1-3 jam. Ketika terbangun, ia mengeluh sakit kepala dan ada yang tampak
terbengong. Kelemahan umum, mual, muntah, pegal di otot, gelisah dan berbagai
perubahan tingkah laku merupakan gejala pasca serangan yang sering dijumpai.
Serangan grand mal dapat berlangsung singkat (<1 menit), namun dapat
berlangsung lama (>1 jam). Frekwensi serangan dapat timbul beberapa kali sehari, 1
kali seminggu, 1 kali setahun, 1 kali beberapa tahun.
Sesekali dijumpai keadaan dimana serangan grand mal timbul secara berturut-
turut, sebelum penderita pulih dari serangan sebelumnya, serangan berikut telah
mulai. Hal ini merupakan keadaan gawat darurat disebut Status Epileptikus yang
harus segera mendapatkan perawatan intensif.
Pola EEG Grand mal tidak patognomonik. Letupan-letupan “spike” (multiple
spikes) yang gencar, bangkit secara difus dan paroksimal atau sekali-sekali letupan-
letupan “spike” atau gelombang tajam bangkit secara difus dan paroksimal.

2. Petit mal/lena khas (absence)


Adalah serangan epileptik yang berupa hilang kesadaran sejenak dan mendadak.
Serangan petit mal berlangsung singkat (5-15 detik). Pada waktu kesadaran hilang
untuk beberapa detik, tonus otot-otot skeletal tidak hilang, sehingga penderita tidak
jatuh.
Pada serangan petit mal terlihat hal-hal berikut :
1. Penderita tiba-tiba berhenti melakukan apa yang sedang ia lakukan.
2. Ia memandang kosong (staring), tidak bereaksi bila diajak bicara, karena
tidak sadar.
3. Setelah beberapa detik kemudian sadar melanjutkan aktivitasnya sebelum
serangan terjadi, penderita biasanya lupa dengan apa yang telah terjadi
dengan dirinya.
Jenis epilepsi ini agak jarang dijumpai. Dari 116 penderita, hanya 2 yang
menderita epilepsi jenis petit mal. Serangan biasanya timbul pada anak-anak berumur
antara 4-12 tahun. Pada usia 20 tahun, kira-kira 75% dari penderita petit mal, tidak
lagi mengalami bangkitan petit mal. Namun lebih dari 50% penderita petit mal
berubah menjadi grand mal yaitu mulai usia 10-13 tahun. Pada sebagian kecil
penderita, bangkitan petit mal dapat melanjut sampai dewasa, namun frekwensi
serangan berkurang. Faktor hereditas berperan besar dalam petit mal.
Trias petit mal menurut Lannox yaitu kejang mioklonus, serangan akinetik, dan
menghilangnya kesadaran. Adakalanya timbul facial twitching, lip smacking.
EEG petit mal adalah khas. Satu-satunya pola EEG yang mempunyai arti
diagnostik mutlak. EEG memperlihatkan kompleks ‘spike-wave’ yang berfrekwensi 3
siklus per detik yang bangkit secara menyeluruh.

3. Epilepsi mioklonik
Mioklonus adalah gerakan involunter sekelompok otot skeletal yang timbul
sekonyong-konyong dan berlangsung sejenak. Mioklonus merupakan manifestasi
bermacam penyakit baik bersifat neurologik (degenarasi ponto serebral, mielitis)
maupun non neurologik (uremia, ‘hepatic failure’). Antara mioklonus dan mioklonus
memperlihatkan perbedaan pokok, yaitu mioklonus dengan EEG memperlihatkan
‘spike’ dikenal sebagai manifestasi epilepsi idiopatik (spasme infantile dan epilepsi
mioklonik anak-anak) serta mioklonus berasosiasi dengan EEG normal.

a. Epilepsi mioklonik anak-anak


Dikenal juga dengan ‘Lannox-Gastaut Syndrome’, ‘Akinetic drop
attack’, ‘Petit mal myoclonus’. Merupakan epilepsi mioklonik yang mulai
timbulnya pada umur 2-5 tahun. Pada jenis ini, sewaktu serangan terjadi,
penderita tiba-tiba mendadak terjatuh. Didapatkan menghilangnya secara
mendadak tenaga otot-otot yang mempertahankan sikap. Jenis petit mal
inilah yang tidak hilang, melainkan menetap hingga anak menjadi dewasa.
Pada perkembangan selanjutnya sesuai dengan sindroma ‘Lennox-
Gestaut’. Pada umumnya prognosis sindroma Lennox Gestaut adalah
buruk.
Pada EEGnya semua pola abnormal dapat ditemukan. ‘Spike’ yang
timbul secara tersendiri dapat berdampingan dengan letupan ‘spike’
(‘polyspike’), kompleks ‘spike-wave’ yang tak khas dan gelombang
lambat.
Epilepsi mioklonik idiopatik ialah yang mulai timbul pada umur 1-3
tahun dengan konvulsi umum, dimana diantaranya bersifat serangan
mioklonus spasmus infantile dan hilang kesadaran sejenak yang
menyerupai petit mal. Epilepsi mioklonik anak-anak simtomatik ialah
jenis serangan epileptik yang serupa, namun para penderitanya
mmeperlihatkan manifestasi penyakit lain, misalnya lipisdosis, sklerosis
TBC dan lain-lain.

Epilepsi Parsial
Merupakan serangan epileptik yang dibangkitkan akibat lepasan muatan listrik di
suatu daerah korteks serebri. Lepas muatan regional ini dapat :
Tetap bersifat fokal
Menggerakkan daerah yang berdampingan, sehingga lepas muatan meluas
Seluruh korteks serebri melepaskan muatan listrik secara menyeluruh.
Pada jenis yang ke-3 ini lepas muatan listrik regional merupakan aura konvulsi
umum. Setelah serangan konvulsi fokal berlalu, dapat timbul paralisis yang
dikenal sebagai paralisis Todd. Paralisis ini bersifat sementara.

1. Epilepsi fokal (epilepsi Jackson)/Epilepsi parsial sederhana


Merupakan epilepsi dengan manifestasi sederhana/dasar yaitu adanya gerakan
otot yang tonik-klonik, gangguan bicara.
Gejala tersebut dapat timbul sebagai manifestasi epilepsi fokal sendiri atau
sebagai aura konvulsi umum. Adapun gejala-gejala yang sering dijumpai ialah :
Motorik : Gerakan involuntar otot-otot salah satu anggota gerak,
wajah, rahang bawah (mengunyah), pita suara (vokalis) dan kolumna
vertebralis (badan berputar, torsi leher atau kepala).

Sensorik : Merasakan nyeri, panas / dingin, hiperestesia / parestesia


pada daerah kulit setempat, skotoma, tinitus, vertigo, afasia, mual,
muntah.

Autonom :Mual muntah, hiperhidrosis setempat, dapat dianggap


manifestasi susunan saraf autonom.
2. Epilepsi psikomotor (epilepsi lobus temporalis)/Epilepsi parsial kompleks
Merupakan epilepsi dengan manifestasi kompleks yaitu gejala sensorik,
motorik dan autonom yang memperlihatkan ciri yang tampaknya bertujuan dan
terintegrasi. Adapun gejala kompleks yang dimaksud ialah :
Halusinasi
Ilusi, yang dinamakan de javu, jamais vu, deja/jamais entendu.
Gejala-gejala ini dikenal sebagai “dreamy stage”
Perasaan curiga, rage
Automatisme

Manifestasi kompleks tersebut di atas merupakan gejala sindroma epilepsi


lobus temporalis / epilepsi psikomotorik. Sindroma ini dapat terdiri dari :
 Manifestasi kompleks diatas yang langsung disusul dengan konvulsi umum.
Disini automatisme, dreamy stage, rage dan ilusi merupakan aura konvulsi
umum epilepsi lobus temporalis  Gejala pre iktal
 Hanya manifestasi kompleks saja. Dalam hal ini halusinasi automatisme, rage
atau dreamy stage, bangkit sebagai serangan utama  Gejala iktal
 Konvulsi umum yang setelah berhenti, langsung disusul dengan timbulnya
dreamy stage, automatisme, rage atau ilusi  Gejala post iktal

Oleh karena epilepsi fokal merupakan suatu simptom dari gangguan serebral,
maka penyakit primernya harus ditentukan terlebih dahulu sebelum pengobatan
ditentukan.
Pemeriksaan yang akan dilakukan mencakup :
Pemeriksaan neurologik umum
EEG
LP
Ro toraks dan Ro tengkorak
Elektrolit serum, berikut kalsium dan fosfat, serum, glukosa
CT Scan bila diperlukan
Epilepsi yang tidak terklarifikasi
1. Epilepsi Neonatal
Ialah konvulsi pada neonatus yang secara berkala bangkit sampai bayi berusia 30
hari. Serangan pada neonatus tidak mudah dikenal, sebab sifatnya ringan dan
mudah dianggap sebagai kejadian biasa.
Serangan neonatal ini dapat berupa :
Deviasi tonik kedua bola mata atau gerakan kedua bola mata yang cepat
yang sekali-kali diselingi dengan deviasi klonik
Kelopak mata berkedip-kedip untuk beberapa puluh detik
Wajah meringis-ringis
Sekali-kali timbul kejang klonik sejenak pada salah satu anggota gerak
Serangan apnoe yang dapat disertai dengan kejang klonik seluruh tubuh
selama beberapa puluh detik
Konvulsi umum
Gejala-gejala tersebut diatas merupakan manifestasi berbagai kelainan
diantaranya :
Trauma lahir : Hipoksia, hematoma subdural
Gangguan metabolik : Hipokalsemia, hipoglikemia.

2. Spasmus Infantile
Ialah fleksi spastik anggota gerak dan badan yang timbul sebagai serangan
pada bayi yang berusia antara 4-9 tahun dengan pola EEG hiparitmia. Ditandai
dengan serangan berbentuk gerak kejut dari otot-otot badan dan anggota gerak
yang berlangsung singkat.
Serangan kejut bayi lebih sering dijumpai pada waktu penderita bangun tidur
atau hendak tertidur. Pada penderita biasanya didapatkan kerusakan otak yang
luas yang dapat diakibatkan oleh cedera waktu dikandungan atau dilahirkan,
penyakit metabolik, radang otak, cacat bawaan. Sering juga dijumpai pada mereka
yang mempunyai riwayat kelahiran dan masa dikandungan yang abnormal.
Tetapi setelah timbul serangan-serangan spasmus infantile, bayi-bayi tersebut
dapat mengalami retardasi mental dan jasmani (prognosisnya buruk di bidang
mental).
Obat yang merupakan pilihan utama untuk spasmus infantile ialah ACTH,
dosis 30 unit/hari dibagi dalam 1 atau 2 kali suntikan IM selama 4-6 minggu.
Kriteria untuk mendapatkan hasil yang baik ialah diagnosis dini, mulai timbulnya
pada usia di atas 4 bulan dan serangan spasmus tidak berlangsung lama.

Klasifikasi ILAE 1989 untuk sindrom epilepsy


1. Berkaitan dengan lokasi kelainan (localized related)
- Idiopatik
 Epilepsi benigna dengan gelombang paku di daerah
sentrotemporal (childhood epilepsy with centrotemporal spikes)
 Epilepsi benigna dengan gelombang paroksismal pada daerah
oksipital
 Epilepsi membaca primer (primary reading epilepsy)
- Simtomatik
 Epilepsi parsial kontinua yang kronik pada anak-anak (sindrom
Kojenikow)
 Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu
rangsangan (kurang tidur, alkohol, obat-obatan, hiperventilasi,
epilepsi refleks, stimulasi fungsi kortikal tinggi, membaca)
 Epilepsi lobus temporal
 Epilepsi lobus frontal
 Epilepsi lobus parietal
 Epilepsi lobus oksipital
Gambar 1 : kelainan berdasarkan lobus

2. Epilepsi umum dan berbagai sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan


peningkatan umur
- Idiopatik (primer)
 Kejang neonatus familial benigna
 Kejang neonatus benigna
 Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
 Epilepsi lena pada anak
 Epilepsi lena pada remaja
 Epilepsi mioklonik pada remaja
 Epilepsi dengan bangkitan tonik-klonik pada saat terjaga
 Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk di atas
 Epilepsi tonik-klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi tertentu
- Kriptogenik atau simtomatik berurutan sesuai dengan peningkatan usia
 Sindrom West (spasme infantil )
 Sindrom Lennox-Gastaut
 Epilepsi mioklonik astatik
 Epilepsi lena mioklonik
- Simtomatik
 Etiologi non spesifik
a. Ensefalopati mioklonik dini
b. Ensefalopati infantil dini dengan burst supression
c. Epilepsi simtomatik umum lainnya yang tidak termasuk di
atas
 Etiologi spesifik
a. Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain
3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
- Bangkitan umum dan fokal
 Bangkitan neonatal
 Epilepsi mioklonik berat pada bayi
 Epilepsi dengan gelombang paku (spike wave) kontinue selama
selama tidur dalam
 Epilepsi afasia yang didapat (Sindrom Landau-Kleffner)
 Epilepsi yang tidak terklasifikasikan selain yang di atas
- Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
4. Sindrom khusus
Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu
- Kejang demam
- Bangkitan kejang/status epileptikus yang timbul hanya sekali (isolated)
- Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolik akut, atau
toksis, alkohol, obat-obatan, eklamsia, hiperglikemi non ketotik
- Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsi reflektorik)
V. PATOFISIOLOGI
Mutasi pada gen-gen tertentu telah dikaitkan pada beberapa tipe epilepsi.
Beberapa gen yang mengkode sub-unit protein kanal-kanal ion yang diperantarai voltase
dan ligand (voltage-gated dan ligand-gated ion channels) dikaitkan dengan bentuk-bentuk
serangan umum dan sindrom kejang infantil. Beberapa kanal ion diperantarai ligand
dihubungkan dengan tipe-tipe epilepsi frontal dan umum. Mutasi berkaitan epilepsi pada
gen yang tidak berhubungan dengan kanal ion juga telah diidentifikasi.
Salah satu temuan menarik pada hewan percobaan ialah bahwa perangsangan
listrik tingkat rendah yang berulang pada beberapa tempat di otak dapat menyebabkan
peningkatan suseptibilitas pada epilepsi secara permanen. Dengan kata lain, terjadinya
penurunan ambang kejang secara permanen. Fenomena ini dikenal sebagai kindling
(dianalogikan seperti membakar ranting-ranting kecil untuk membuat api besar),
ditemukan oleh Dr. Graham Goddard tahun 1967. Perangsangan kimiawi juga dapat
mencetuskan kejang; pemaparan berulang terhadap beberapa jenis pestisida dapat
mencetuskan kejang baik pada hewan maupun manusia. Mekanisme yang diusulkan
untuk hal ini dinamakan eksitotoksisitas (excitotoxicity). Peran kindling dan
eksitotoksisitas pada epilepsi masih panas diperdebatkan.
Secara umum diketahui bahwa dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-
neuron otak dan transmisi sinaps. Aktivitas listrik neuron tergantung pada adanya
potensial membran sel yang tergantung pada permeabilitas selektif membran terhadap
ion-ion K, Ca, Na dan Cl. Di ekstrasel konsentrasi K + tinggi sedangkan Ca2+, Na+ dan Cl-
rendah, demikian sebaliknya di intrasel. Perbedaan konsentrasi inilah yang menimbulkan
potensial membran. Membran sel normalnya dalam keadaan polarisasi yang
dipertahankan oleh adanya proses metabolik aktif (pompa Na) yang mengeluarkan Ca
dan Na dari dalam sel. Arsitektur neuron dengan ujung terminal yang berhubungan
dengan dendrit dan badan neuron-neuron lain membentuk sinaps sehingga dapat
mengubah potensial membran neuron yang berdekatan melalui perantaraan
neurotransmiter. Neurotransmiter yang memudahkan depolarisasi yakni neurotransmiter
eksitasi antara lain glutamat, aspartat dan ACh, sedangkan neurotransmiter yang
menimbulkan hiperpolarisasi atau neurotransmiter inhibisi antara lain gamma-amino
butiric acid (GABA) dan glisin. Bila kedua jenis neurotransmiter dalam keadaan
seimbang dalam fungsi maupun konsentrasi, akan timbul potensial aksi yang fisiologis
pada keadaan tertentu yang membutuhkan transmisi sinaps. Merupakan zat yang
berperan sebagai fasilitator impuls di sinaps macam-macam Neurotransmitter:
Asetilkolin, Amina (mis: dopamin, norepinefrin,epinefrin, serotonin, histamin), Asam
amino eksitasi (mis: glutamat,aspartat), Asam amino inhibisi (mis: GABA & glisin),
Polipeptida (mis: senyawa P, vasopresin, oksitosin, CRH, TRH, GRH,somatostatin,
GnRH,endotelin, enkefalin, -endorfin, endomorfin, dinorfin, kolesistokinin, VIP,
neurotensin, GRP, gastrin, glukagon, moti-lin, sekretin, peptida , neuropeptida Y,
aktivin, inhibin, angiotensin II, amida FMRF, galanin, ANP, BNP), Purin (mis: adenosin,
ATP), Gas (mis: NO, CO), Lipid (mis: anandamid)

Berbagai proses patologik yang dapat mengubah fungsi normal membran neuron
dapat mengakibatkan gangguan permeabilitas sehingga mudah dilampaui ion Ca2+ dan
Na+ dari ruangan ekstra ke intrasel. Influks Ca2+ akan mencetuskan letupan depolarisasi
membran dan lepas muatan listrik yang berlebihan, tidak teratur dan tak terkendali. Lepas
muatan listrik yang demikian oleh sejumlah besar neuron merupakan dasar dari serangan
epilepsi. Sifat khas epilepsi yaitu setelah beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh
inhibisi. Diduga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar fokus epileptik.
Gambar 2 : patofisiologi epilepsi
VI. DIAGNOSIS
Untuk menentukan apakah seorang menderita bangkitan kejang atau epilepsi
biasanya tidak sukar, asal kita dapat menyaksikan sendiri serangan tersebut atau dapat
memperoleh anamnesis yang dapat dipercaya.
Kesukarannya ialah menentukan penyakit atau kelainan yang menyebabkan
terjadinya bangkitan kejang atau epilepsi. Tiap penderita harus diperiksa secara teliti
dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani, dan pemeriksaan penunjang yang
dibutuhkan.

ANAMNESIS
Mengenai bangkitan kejang yang timbul perlu diketahui mengenai pola serangan,
keadaan sebelum, selama dan sesudah serangan, lama serangan, frekuensi serangan,
waktu serangan terjadi atau keadaan yang dapat memprovokasi atau menimbulkan
serangan. Perlu diusahakan agar diperoleh gambaran lengakp mengenai pola serangan,
agar dapat diketahui fokus serta klasifikasinya. Ditanyakan apakah ada gejala prodromal,
aura, keadaan selama serangan (dimana atau bagaimana kejang mulai, bagaimana
perjalanannya) dan keadaan sesudah kejang (parase Todd, nyeri kepala, segera sadar,
mengacau, keadaan menurun).
Ditanyakan pula lama (duration) masing-masing keadaan tersebut, waktu
serangan (pagi, siang, malam, waktu mau tidur, sedang tidur, mau bangun, sedang
bangun). Apakah ada rangsang tertentu yang dapat menimbulkan (provokasi) serangan,
misalnya melihat televisi, bernafas dalam, lapar, letih, menstruasi, obat-obat tertentu dan
sebagainya.
Riwayat keluarga. Ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita kejang,
penyakit saraf dan penyakit lainnya. Hal ini misalnya perlu untuk mencari adanya faktor
hereditas.
Riwayat masa lalu (past history). Ditanyakan mengenai keadaan ibu waktu hamil
(riwayat kehamilan), misalnya penyakit yang dideritanya, perdarahan pervaginam, obat
yang dimakan. Secara teliti ditanyakan pula mengenai riwayat kelahiran penderita,
apakah lekuk kepala, letak sungsang mudah atau sukar, apakah digunakan cunam atau
vakum ekstraksi atau sectio caeseria, apakah terdapat perdarahan anterpertum, ketuban
pecah dini, asfiksia. Penyakit apa saja yang pernah diderita (trauma kapatis, radang
selaput otak atau radang otak, ikterus, reaksi terhadap imunisasi, kejang demam).
Bagaimana perkembangan (milestones) kecakapan mental dan motorik.

PEMERIKSAAN JASMANI
Pemeriksaan yang meliputi pemeriksaan secara pediatris dan neurologis.
Diperiksa keadaan umum, tanda-tanda vital, kepala, jantung, paru, perut, hati dan limpa,
anggota gerak dan sebagainya. Pemeriksaan neurologis kesadaran, motorik dan mental,
tingkah laku, penglihatan, pendengaran, sistem motorik (kelumpuhan, trofik, tonus,
gerakan tidak terkendali, koordinasi), sistem sensorik (parastesia, hipotesia, anestesia),
refleks fisiologis dan patologis.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG)
Rekaman EEG sebaiknya dilakukan saat bangunm tidur, dengan stimulasi
fotik, hiperventilasi, stimulasi tertentu sesuai pencetus bangkitan (pada epilepsi
refleks). Kelainan epileptiform EEG interiktal (di luar bangkitan) pada orang
dewasa dapat ditemukan sebesar 29-38%; pada pemeriksaan ulang gambaran
epileptiform dapat meningkat menjadi 59-77%. Bila EEG pertama menunjukkan
hasil normal sedangkan persangkaan epilepsi sangat tingg, maka dapat dilakukan
EEG ulangan dalam 24-48 jam setelah bangkitan atau dilakukan dengan
persyaratan khusus, misalnya dengan mengurangi tidur (sleep deprivation) atau
dengan menghentikan obat anti epilepsi (OAE).
Indikasi pemeriksaan EEG :
- Membantu menegakkan diagnosis epilepsi
- Menentukan prognosis pada kasus tertentu
- Pertimbangan dalam penghentian OAE
- Membantu dalam menentukan letak fokus
- Bila ada perubahan bentuk bangkitan (berbeda dengan bangkitan
sebelumnya)
Elektroensefalogram (EEG) merupakan pemeriksaan penunjang yang
informatif yang dapat memasukkan diagnosis epilepsi bila ditemukan pola EEG
yang bersifat khas epileptik baik terekam saat serangan maupun di luar serangan
berupa gelombang runcing, gelombang paku, runcing lambat, paku lambat.
Walaupun EEG dapat menyumbangkan informasi untuk menegakkan
diagnosis namun EEG tidak dijadikan alat yang menyodorkan diagnosis dan juga
tidak dapat digunakan untuk menyingkirkan diagnosis epilepsi. Apabila ada
keragu-raguan berdasarkan pertimbangan klinis, keragu-raguan itu tidak dapat
diselesaikan oleh EEG secara mutlak.

2. Pemeriksaan pencitraan otak (brain imaging)


Indikasi :
- Semua kasus bangkitan pertama yang diduga ada kelainan struktural
- Adanya perubahan bentuk bangkitan
- Terdapat defisit neurologik fokal
- Epilepsi dengan bangkitan parsial
- Bangkitan pertama di atas usia 25 tahun
- Untuk persiapan tindakan pembedahan
Magnetic Resonance Imaging (MRI) : merupakan prosedur pencitraan pilihan
untuk epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibandingkan dengan
Computed Tomography Scan (CT-Scan). MRI dapat mendeteksi sklerosis
hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa. Pemeriksaan
MRI diindikasikan untuk epilepsi yang sangat mungkin memerlukan terapi
pembedahan
3. Pemeriksan laboratorium
Pemeriksaan darah. Dilakukan pemeriksaan darah tepi rutin. Pemeriksaan
lain sesuai dengan indikasi (misal kadar gula dalam darah, elektrolit).
Pemeriksaan cairan serebrospinalis (bila perlu untuk mengetahui tekanan, warna,
kejernihan, jumlah sel, hitung jenis sel, kadar protein, gula, NaCl dan
pemeriksaan lain atas indikasi.

VII. DIAGNOSIS BANDING


1. Kejadian paroksismal
2. Epilepsi parsial sederhana
3. Epilepsi parsial kompleks
4. Bangkitan tonik – klonik dan atonik
5. Sinkop
6. BHS ( breath holding spells )
7. Hiperventilasi
8. Epilesi abdominal
9. Narkolepsi
10. Bangkitan psikogenik

VIII. PENATALAKSANAAN

Tujuan utama terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk
pasien, sesuai dengan perjalanan penyakit epilepsi dan disabilitas fisik maupun mental
yang dimilikinya. Untuk tercapainya tujuan tadi diperlukan beberapa upaya, antara lain
menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan, mencegah timbulnya efek
samping, menurunkan angka kesakitan dan kematian, mencegah timbulnya efek samping
OAE.
Pengobatan Medikamentoasa
Pada epilepsi simtomatis dimana epilepsi yang timbul adalah manifesatasi penyebabnya
seperti tumor otak, maka disamping pemberian obat anti epilepsi diperlukan juga terapi
kausal. Beberapa prinsip dasar yang perlu dipertimbangkan:
1. Pada epilepsi yang sangat jarang dan dapat dihilangkan faktor pencetusnya.
2. Pengobatan diberikan setelah diagnosis ditegakkan.
3. Obat yang diberikan disesuaikan dengan jenis epilepsi.
4. Sebagiknya menggunakan monoterapi
5. Dosis obat disesuaikan secara individual
6. Evaluasi hasilnya.
Bila gagal dalam pengobatan, cari penyebabnya:
1. Salah etiologi : kelainan metabolisme, neoplasma yang tidak terdeteksi, adanya
pengobatan degeneratis susunan saraf pusat.
2. Pemberian obat anti epilepsi yang kurang tepat.
3. Kurang penerangan: menelan obat tidak teratur.
4. Faktor emosional sebagai pencetus.
5. Termasuk intractable epilepsy.
6. Pengobatan dihentikan setelah epilepsi hilang selama 2-3 tahun. Pengobatan
dihentikan secara berangsur dengan menurunkan dosisnya.
• Obat lini pertama

– Asam valproat 10-40 mg/kgBB/hr, 2-3 dosis

– Phenobarbital 4-5 mg/kgBB/hr, 2 dosis

– Carbamazepine 10-30 mg/kgBB/hr, 2-3 dosis

– Fenitoin 5-7 mg/kgBB/hr, 3 dosis

• Obat lini ke dua

– Topiramate (Topamax)

– Lamotrigine (Lamictal)

– Levetiracetam (Keppra)

– ACTH, steroid

Mekanisme kerja obat OAE :


Sodi Calciu GABA Glutamat Carboni
um m potentiati e c
cha chann on antagonis anhydra
nnel el m se
bloc blocka inhibitio
kad de n
e
PHB 
CBZ 
PHT 
VPA  √ 
GBT 
LTG   
VGB 
TPM     
KET: PHB (phenobarbital),CBZ (carbamazepin),PHT (phenitoin),VPA(asam
valproat) ,GBT(gabapentin), LTG (lamotrigine),VGB(vigabatrin) ,TPM (topiramate)
• Efek samping Feitoin adalah Hiperplasi gingiva, Carbamazepine adalah Ssj,
Asam Valproat adalah Gangguan fungsi hati dan darah

STATUS EPILEPTIKUS

Status epileptikus adalah aktivitas kejang yang berlangsung terus-menerus lebih dari 30
menit tanpa pulihnya kesadaran.
Status mengancam adalah serangan yang kedua yang terjadi dalam waktu 30 menit tanpa
pulihnya kesadaran di antara serangan.

IX. PROGNOSIS
Pasien epilepsi yang berobat teratur, 1/3 akan bebas serangan paling sedikit 2
tahun, dan bila lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir obat dihentikan, pasien tidak
mengalami epilepsi lagi, dikatakan telah mengalami remisi. Diperkirakan 30% pasien
tidak akan mengalami remisi meskipun minum obat dengan teratur.
Sesudah remisi kemungkinan munculnya seranga ulang paling sering didapat
pada epilepsi tonik-klonik dan epilepsi parsial kompleks. Demikian pula lebih mudah
mengalami relaps sesudah remisi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kelompok Studi Epilepsi (PERDOSSI). 2006. Pedoman Tatalaksana


Epilepsi. Bagian Neurologi FKUI/RSCM. Jakarta : 2 – 9.
2. Lumbantobing SM. 2002. Epilepsi. Balai penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta : 1 – 18.
3. Mauser, Stephen L. 2006. Harrison’s Neurology in Clinical Medicine. p
187 – 212.
4. Aminov, Michael G. 2005. Clinical Neurology Lange. p 263 – 283.
5. Adam’s Raymond D. 1997. Principles of Neurology 6th Ed. p 313 – 341.
6. Wood, Alastair J.J. 1996. The New England Journal of Medicine :
Antiepileptic Drugs. Massachusetts Medical Society. p 168 – 174.
7. National Institute of Neurological Disorders and Stroke. Epilepsy
Information. http://www.ninds.nih.gov/disorders/epilepsy/epilepsy.htm
8. Society for Neuroscience. Epilepsy and GABA.
http://www.sfn/epilepsyandgaba.htm
9. http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi17.pdf
10. http://www.emedicinehealth.com/epilepsy/article_em.htm
REFERAT

EPILEPSI

Disusun Oleh :
Nadya Fachfudyana ( 12.163)

Pembimbing :
dr Marijanty Learny , SpS

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


PERIODE 28 AGUSTUS – 30 SEPTEMBER 2017
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
2017

Anda mungkin juga menyukai