Epilepsi
Epilepsi
I. PENDAHULUAN
Epilepsi sudah dikenal sejak 2000 tahun SM, dahulu dianggap bukan penyakit
melainkan disebabkan sesuatu yang berasal dari luar penderita atau kutukan roh jahat.
Epilepsi pertama kali diungkapkan sebagai penyakit oleh Hippocrates, diduga akibat
suatu penyakit di otak, bukan akibat kekuatan gaib. Di Indonesia, epilepsi telah lama
dikenal masyarakat dengan berbagai nama, misalnya “sawan celeng”, “ayan” dan
sebagainya.
Epilepsi merupakan keadaan dimana seseorang mengalamI kejang berulang
karena suatu proses penyakit kronis yang mendasarinya. Epilepsi lebih merujuk pada
fenomena klinis daripada diagnosis tunggal suatu penyakit. Penelitian-penelitian
mengenai berbagai aspek epilepsi termasuk dasar neurokimia dan neurofisiologi serangan
epilepsi, gambaran klinis, diagnosis, terapi, aspek psikososial dan sebagainya telah
banyak memberi sumbangan dalam meningkatkan pengertian tentang epilepsi dan
penanggulangannya.
Menggunakan definisi epilepsi sebagai kejang lebih dari dua kali tanpa provokasi,
insidens epilepsi diperkirakan 0,3 – 0,5% di seluruh dunia, sedangkan prevalensi epilepsi
diperkirakan 5-10 per 1000 orang. Di Indonesia belum pernah dilakukan penelitian
epidemiologi tentang epilepsi, bila merujuk pada perkiraan di atas, dengan penduduk
lebih dari 200 juta di Indonesia kira-kira ada 1-2 juta orang penyandang epilepsi.
II. DEFINISI
III. ETIOLOGI
Ditinjau dari penyebabnya, epilepsi dibagi menjadi 2 golongan yakni (1) epilepsi
primer atau epilepsi idiopatik, (2) epilepsi sekunder, yaitu yang diketahui penyebabnya.
Pada epilepsi primer tidak terdapat kelainan organik pada jaringan otak; kelainan diduga
terdapat pada keseimbangan zat kimiawi neuron-neuron otak yang kemudian
mencetuskan lepas-muatan listrik yang berlebihan sehingga menimbulkan gejala. Pada
epilepsi sekunder, terdapat kelainan organik pada jaringan otak. Dengan pemeriksaan
otak misalnya CT scan atau otopsi dapat dilihat kelainan struktural. Kelainan ini dapat
merupakan bawaan lahir (kongenital) atau didapat.
Selain itu diketahui juga adanya faktor presipitasi, yaitu faktor yang mempermudah
terjadinya serangan, antara lain :
1. Faktor sensoris: cahaya yang berkedip-kedip, bunyi-bunyi yang mengejutkan, air
panas.
2. Faktor sistemis: demam, penyakit infeksi, obat-obat tertentu golongan fenotiazin,
klorpropamid, hipoglikemia, kelelahan fisik.
3. Faktor mental: stress, gangguan emosi.
IV. KLASIFIKASI
3. Epilepsi mioklonik
Mioklonus adalah gerakan involunter sekelompok otot skeletal yang timbul
sekonyong-konyong dan berlangsung sejenak. Mioklonus merupakan manifestasi
bermacam penyakit baik bersifat neurologik (degenarasi ponto serebral, mielitis)
maupun non neurologik (uremia, ‘hepatic failure’). Antara mioklonus dan mioklonus
memperlihatkan perbedaan pokok, yaitu mioklonus dengan EEG memperlihatkan
‘spike’ dikenal sebagai manifestasi epilepsi idiopatik (spasme infantile dan epilepsi
mioklonik anak-anak) serta mioklonus berasosiasi dengan EEG normal.
Epilepsi Parsial
Merupakan serangan epileptik yang dibangkitkan akibat lepasan muatan listrik di
suatu daerah korteks serebri. Lepas muatan regional ini dapat :
Tetap bersifat fokal
Menggerakkan daerah yang berdampingan, sehingga lepas muatan meluas
Seluruh korteks serebri melepaskan muatan listrik secara menyeluruh.
Pada jenis yang ke-3 ini lepas muatan listrik regional merupakan aura konvulsi
umum. Setelah serangan konvulsi fokal berlalu, dapat timbul paralisis yang
dikenal sebagai paralisis Todd. Paralisis ini bersifat sementara.
Oleh karena epilepsi fokal merupakan suatu simptom dari gangguan serebral,
maka penyakit primernya harus ditentukan terlebih dahulu sebelum pengobatan
ditentukan.
Pemeriksaan yang akan dilakukan mencakup :
Pemeriksaan neurologik umum
EEG
LP
Ro toraks dan Ro tengkorak
Elektrolit serum, berikut kalsium dan fosfat, serum, glukosa
CT Scan bila diperlukan
Epilepsi yang tidak terklarifikasi
1. Epilepsi Neonatal
Ialah konvulsi pada neonatus yang secara berkala bangkit sampai bayi berusia 30
hari. Serangan pada neonatus tidak mudah dikenal, sebab sifatnya ringan dan
mudah dianggap sebagai kejadian biasa.
Serangan neonatal ini dapat berupa :
Deviasi tonik kedua bola mata atau gerakan kedua bola mata yang cepat
yang sekali-kali diselingi dengan deviasi klonik
Kelopak mata berkedip-kedip untuk beberapa puluh detik
Wajah meringis-ringis
Sekali-kali timbul kejang klonik sejenak pada salah satu anggota gerak
Serangan apnoe yang dapat disertai dengan kejang klonik seluruh tubuh
selama beberapa puluh detik
Konvulsi umum
Gejala-gejala tersebut diatas merupakan manifestasi berbagai kelainan
diantaranya :
Trauma lahir : Hipoksia, hematoma subdural
Gangguan metabolik : Hipokalsemia, hipoglikemia.
2. Spasmus Infantile
Ialah fleksi spastik anggota gerak dan badan yang timbul sebagai serangan
pada bayi yang berusia antara 4-9 tahun dengan pola EEG hiparitmia. Ditandai
dengan serangan berbentuk gerak kejut dari otot-otot badan dan anggota gerak
yang berlangsung singkat.
Serangan kejut bayi lebih sering dijumpai pada waktu penderita bangun tidur
atau hendak tertidur. Pada penderita biasanya didapatkan kerusakan otak yang
luas yang dapat diakibatkan oleh cedera waktu dikandungan atau dilahirkan,
penyakit metabolik, radang otak, cacat bawaan. Sering juga dijumpai pada mereka
yang mempunyai riwayat kelahiran dan masa dikandungan yang abnormal.
Tetapi setelah timbul serangan-serangan spasmus infantile, bayi-bayi tersebut
dapat mengalami retardasi mental dan jasmani (prognosisnya buruk di bidang
mental).
Obat yang merupakan pilihan utama untuk spasmus infantile ialah ACTH,
dosis 30 unit/hari dibagi dalam 1 atau 2 kali suntikan IM selama 4-6 minggu.
Kriteria untuk mendapatkan hasil yang baik ialah diagnosis dini, mulai timbulnya
pada usia di atas 4 bulan dan serangan spasmus tidak berlangsung lama.
Berbagai proses patologik yang dapat mengubah fungsi normal membran neuron
dapat mengakibatkan gangguan permeabilitas sehingga mudah dilampaui ion Ca2+ dan
Na+ dari ruangan ekstra ke intrasel. Influks Ca2+ akan mencetuskan letupan depolarisasi
membran dan lepas muatan listrik yang berlebihan, tidak teratur dan tak terkendali. Lepas
muatan listrik yang demikian oleh sejumlah besar neuron merupakan dasar dari serangan
epilepsi. Sifat khas epilepsi yaitu setelah beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh
inhibisi. Diduga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar fokus epileptik.
Gambar 2 : patofisiologi epilepsi
VI. DIAGNOSIS
Untuk menentukan apakah seorang menderita bangkitan kejang atau epilepsi
biasanya tidak sukar, asal kita dapat menyaksikan sendiri serangan tersebut atau dapat
memperoleh anamnesis yang dapat dipercaya.
Kesukarannya ialah menentukan penyakit atau kelainan yang menyebabkan
terjadinya bangkitan kejang atau epilepsi. Tiap penderita harus diperiksa secara teliti
dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani, dan pemeriksaan penunjang yang
dibutuhkan.
ANAMNESIS
Mengenai bangkitan kejang yang timbul perlu diketahui mengenai pola serangan,
keadaan sebelum, selama dan sesudah serangan, lama serangan, frekuensi serangan,
waktu serangan terjadi atau keadaan yang dapat memprovokasi atau menimbulkan
serangan. Perlu diusahakan agar diperoleh gambaran lengakp mengenai pola serangan,
agar dapat diketahui fokus serta klasifikasinya. Ditanyakan apakah ada gejala prodromal,
aura, keadaan selama serangan (dimana atau bagaimana kejang mulai, bagaimana
perjalanannya) dan keadaan sesudah kejang (parase Todd, nyeri kepala, segera sadar,
mengacau, keadaan menurun).
Ditanyakan pula lama (duration) masing-masing keadaan tersebut, waktu
serangan (pagi, siang, malam, waktu mau tidur, sedang tidur, mau bangun, sedang
bangun). Apakah ada rangsang tertentu yang dapat menimbulkan (provokasi) serangan,
misalnya melihat televisi, bernafas dalam, lapar, letih, menstruasi, obat-obat tertentu dan
sebagainya.
Riwayat keluarga. Ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita kejang,
penyakit saraf dan penyakit lainnya. Hal ini misalnya perlu untuk mencari adanya faktor
hereditas.
Riwayat masa lalu (past history). Ditanyakan mengenai keadaan ibu waktu hamil
(riwayat kehamilan), misalnya penyakit yang dideritanya, perdarahan pervaginam, obat
yang dimakan. Secara teliti ditanyakan pula mengenai riwayat kelahiran penderita,
apakah lekuk kepala, letak sungsang mudah atau sukar, apakah digunakan cunam atau
vakum ekstraksi atau sectio caeseria, apakah terdapat perdarahan anterpertum, ketuban
pecah dini, asfiksia. Penyakit apa saja yang pernah diderita (trauma kapatis, radang
selaput otak atau radang otak, ikterus, reaksi terhadap imunisasi, kejang demam).
Bagaimana perkembangan (milestones) kecakapan mental dan motorik.
PEMERIKSAAN JASMANI
Pemeriksaan yang meliputi pemeriksaan secara pediatris dan neurologis.
Diperiksa keadaan umum, tanda-tanda vital, kepala, jantung, paru, perut, hati dan limpa,
anggota gerak dan sebagainya. Pemeriksaan neurologis kesadaran, motorik dan mental,
tingkah laku, penglihatan, pendengaran, sistem motorik (kelumpuhan, trofik, tonus,
gerakan tidak terkendali, koordinasi), sistem sensorik (parastesia, hipotesia, anestesia),
refleks fisiologis dan patologis.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG)
Rekaman EEG sebaiknya dilakukan saat bangunm tidur, dengan stimulasi
fotik, hiperventilasi, stimulasi tertentu sesuai pencetus bangkitan (pada epilepsi
refleks). Kelainan epileptiform EEG interiktal (di luar bangkitan) pada orang
dewasa dapat ditemukan sebesar 29-38%; pada pemeriksaan ulang gambaran
epileptiform dapat meningkat menjadi 59-77%. Bila EEG pertama menunjukkan
hasil normal sedangkan persangkaan epilepsi sangat tingg, maka dapat dilakukan
EEG ulangan dalam 24-48 jam setelah bangkitan atau dilakukan dengan
persyaratan khusus, misalnya dengan mengurangi tidur (sleep deprivation) atau
dengan menghentikan obat anti epilepsi (OAE).
Indikasi pemeriksaan EEG :
- Membantu menegakkan diagnosis epilepsi
- Menentukan prognosis pada kasus tertentu
- Pertimbangan dalam penghentian OAE
- Membantu dalam menentukan letak fokus
- Bila ada perubahan bentuk bangkitan (berbeda dengan bangkitan
sebelumnya)
Elektroensefalogram (EEG) merupakan pemeriksaan penunjang yang
informatif yang dapat memasukkan diagnosis epilepsi bila ditemukan pola EEG
yang bersifat khas epileptik baik terekam saat serangan maupun di luar serangan
berupa gelombang runcing, gelombang paku, runcing lambat, paku lambat.
Walaupun EEG dapat menyumbangkan informasi untuk menegakkan
diagnosis namun EEG tidak dijadikan alat yang menyodorkan diagnosis dan juga
tidak dapat digunakan untuk menyingkirkan diagnosis epilepsi. Apabila ada
keragu-raguan berdasarkan pertimbangan klinis, keragu-raguan itu tidak dapat
diselesaikan oleh EEG secara mutlak.
VIII. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk
pasien, sesuai dengan perjalanan penyakit epilepsi dan disabilitas fisik maupun mental
yang dimilikinya. Untuk tercapainya tujuan tadi diperlukan beberapa upaya, antara lain
menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan, mencegah timbulnya efek
samping, menurunkan angka kesakitan dan kematian, mencegah timbulnya efek samping
OAE.
Pengobatan Medikamentoasa
Pada epilepsi simtomatis dimana epilepsi yang timbul adalah manifesatasi penyebabnya
seperti tumor otak, maka disamping pemberian obat anti epilepsi diperlukan juga terapi
kausal. Beberapa prinsip dasar yang perlu dipertimbangkan:
1. Pada epilepsi yang sangat jarang dan dapat dihilangkan faktor pencetusnya.
2. Pengobatan diberikan setelah diagnosis ditegakkan.
3. Obat yang diberikan disesuaikan dengan jenis epilepsi.
4. Sebagiknya menggunakan monoterapi
5. Dosis obat disesuaikan secara individual
6. Evaluasi hasilnya.
Bila gagal dalam pengobatan, cari penyebabnya:
1. Salah etiologi : kelainan metabolisme, neoplasma yang tidak terdeteksi, adanya
pengobatan degeneratis susunan saraf pusat.
2. Pemberian obat anti epilepsi yang kurang tepat.
3. Kurang penerangan: menelan obat tidak teratur.
4. Faktor emosional sebagai pencetus.
5. Termasuk intractable epilepsy.
6. Pengobatan dihentikan setelah epilepsi hilang selama 2-3 tahun. Pengobatan
dihentikan secara berangsur dengan menurunkan dosisnya.
• Obat lini pertama
– Topiramate (Topamax)
– Lamotrigine (Lamictal)
– Levetiracetam (Keppra)
– ACTH, steroid
STATUS EPILEPTIKUS
Status epileptikus adalah aktivitas kejang yang berlangsung terus-menerus lebih dari 30
menit tanpa pulihnya kesadaran.
Status mengancam adalah serangan yang kedua yang terjadi dalam waktu 30 menit tanpa
pulihnya kesadaran di antara serangan.
IX. PROGNOSIS
Pasien epilepsi yang berobat teratur, 1/3 akan bebas serangan paling sedikit 2
tahun, dan bila lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir obat dihentikan, pasien tidak
mengalami epilepsi lagi, dikatakan telah mengalami remisi. Diperkirakan 30% pasien
tidak akan mengalami remisi meskipun minum obat dengan teratur.
Sesudah remisi kemungkinan munculnya seranga ulang paling sering didapat
pada epilepsi tonik-klonik dan epilepsi parsial kompleks. Demikian pula lebih mudah
mengalami relaps sesudah remisi.
DAFTAR PUSTAKA
EPILEPSI
Disusun Oleh :
Nadya Fachfudyana ( 12.163)
Pembimbing :
dr Marijanty Learny , SpS