Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Wanggalem merupakan daerah yang berlokasi di Distrik Merauke yang berada di


dalam Taman Nasional Wasur, Papua yang didominasi oleh tumbuhan penghasil kayu
putih. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman jenis tumbuhan
penghasil kayu putih yang berada di daerah tersebut. Minyak kayu putih yang berasal dari
jenis pohon Melaleuca leucadendron atau Melaleuca cajuputi itu banyak tumbuh liar di
pulau Buru. Iklim pulau Buru yang panas dan rendah curah hujannya membuat pohon ini
mampu tumbuh subur. Kawasan Taman Nasional Wasur yang terletak di Kabupaten.

Merauke merupakan salah satu taman nasional di Indonesia yang memiliki potensi
tipe vegetasi yang beragam dan didominasi oleh jenis tumbuhan yang berasal dari famili
Myrtaceae. Menurut Purba (1999), terdapat 4 formasi vegetasi di kawasan TN Wasur
yang menyimpan potensi minyak kayu putih antara lain vegetasi hutan dominan
Meulaleuca (33.535 ha), vegetasi hutan Codominan Melaeuca-Eucalyptus (33.874 Ha),
hutan jarang 34.539 ha) dan hutan savana campuran (169.809 Ha). Jenis kayu putih yang
mendominasi beberapa tipe vegetasi di TN Wasur adalah jenis Melaleuca cajuputi
(Winara, dkk, 2008; Winara, dkk, 2009). Sementara itu menurut Raharyo (1996), terdapat
sembilan jenis Meulaleuca di kawasan TN Wasur antara lain Melaleuca delbata, M.
magnifica, M. cornucopiae, M.argentea, M.cuninghamii, M.leptospermum, M.cajuputi,
M. leucadendra dan M. sympiocarpa. Wilayah Wanggalem merupakan daerah di wilayah
Taman Nasional Wasur yang didominasi oleh Melaleuca (Balai Taman Nasional Wasur,
1999). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman jenis tumbuhan
penghasil kayu putih di daerah Wanggalem, kawasan TN Wasur di Papua

Potensi tanaman kayu putih di Indonesia cukup besar mencangkup antara lain daerah
Maluku, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Bali dan Papua yang berupa hutan
alam kayu putih. Sementara itu yang berada di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat
berupa hutan tanaman kayu putih (Mulyadi 2005). Papua memiliki sumberdaya hayati
yang sangat beragam. Keragaman sumberdaya hayati tersebut dijumpai di berbagai tipe

1
ekosistem yang menyebar mulai dari terumbu karang, daerah estuaria, rawa, danau,
daerah savana, dataran rendah, dataran tinggi sampai ke daerah alpin. Dari sebaran tipe
ekosistem tersebut membuat sumberdaya hayatinya menjadi spesifik dan unik. Dari sisi
pengelolaan keunikan sumberdaya hayati tersebut menuntut adanya pendekatan khusus
ditinjau dari sisi keberlanjutan lingkungan, keberlanjutan sumberdaya hayati,
keberlanjutan ekonomi dan keberlanjutan sosial.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa saja keanekaragaman jenis tumbuhan penghasil kayu putih di daerah
Wanggalem?
2. Metode apa yang di gunakan untuk meneliti keanekaragaman jenis tumbuhan
penghasil kayu putih di daerah Wanggalem?

1.3 Tujuan Penulisan

Untuk mengetahui keanekaragaman jenis tumbuhan penghasil kayu putih yang berada di

daerah Wanggalem dan agar mahasiswa dapat menjaga kelestarian alam yang ada di

Indonesia.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sejarah Singkat Konsep Biodiveresity

Terminologi Keanekaragaman Hayati atau biodiversity merupakan istilah baru yang


dimuncul dan dipopulerkan tahun 1986 pada Forum Nasional Keanekaragaman Hayati
(National Forum on Biodiversity) di Amerika Seikat. Forum ini diadakan atas prakarsa
National Academy of Science dan Smithsonian Institute. Istilah biodiversity sebenarnya
bermula dari penggunaan istilah biological diversity. Kata biodiversity berasal dari
bahasa Yunani bios yang berarti hidup dan bahasa Latin diversitas yang berarti aneka
ragam. Gabungan kedua kata tersebut memunculkan pemaknaan baru, yaitu kehidupan
yang beraneka ragam. Terminologi ini dikemudian hari menjadi suatu konsep dalam
konteks perlindungan dan lestarian alam. Perhatian terhadap persoalan biodiversity
muncul karena ledakan populasi manusia yang berimplikasi pada penurunan kondisi
lingkungan alam. Pertumbuhan manusia di muka bumi ini menuntut ruang untuk hidup
dan juga berbagai sumberdaya alam lain untuk menunjang hidup. Segala aktivitas terkait
pemenuhan kebutuhan hidup manusia dapat dianggap sebagai suatu “persaingan” dengan
mahluk hidup lain. Sekitar 12% species burung dan 23 % species mamalia berada dalam
kondisi terancam punah (Sponsel, 2008). Keadaan ini tentu mengancam kehidupan
manusia di masa mendatang.

Pada KTT Bumi tahun 1992 yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa-
Bangsa, di Rio De Jainero – Brasil, dilakukan penandatanganan Konvensi Mengenai
Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity) oleh 150 negara yang
menghadirinya. Indonesia sebagai salah satu negara yang ikut menandatangani konvensi
tersebut kemudian menegaskan pengakuannya dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on
Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman
Hayati).

Penetapan UU ini merepresentasikan pengakuan sekaligus kesadaran pemerintah


atas sumber daya alam Indonesia yang beraneka ragam dan ancaman ketersediaannya

3
akibat dari kegiatan manusia. UU No.5 Tahun 1994 mendefinisikan keanekaragaman
hayati sebagai keanekaragaman diantara mahluk hidup dari semua sumber termasuk
diantaranya: daratan, lautan dan ekosistem akuatik lain serta kompleks-kompleks ekologi
yang merupakan bagian dari keanekaragamannya, mencakup keanekaragaman di dalam
species, antara species dan ekosistem. Definisi tersebut merupakan terjemahan dari
definisi biological diversity yang tercantum dalam Convention on Biological Diversity.
Keanekaragaman hayati mencakup keragaman gen, species, dan proses ekologi yang
membentuk sistem kehidupan di darat, perairan air tawar, dan laut yang saling
mendukung dan membentuk keragaman di muka bumi. Implikasi konsep biodiversity
adalah kesadaran dan kesepahaman antar negara akan nilai penting dan tanggung jawab
bersama dalam menjaga dan melestarikan keanekaragama hayati tersebut.

2.2 Nilai Penting Keanekaragaman Hayati

Sumber daya alam merupakan suatu kekayaan yang tiada nilainya bagi kehidupan
manusia. Kebutuhan manusia pada masa kini tidak hanya terbatas pada kebutuhan
sandang, pangan, dan papan. Kebutuhan akan kesehatan juga menjadi hal penting dalam
hidup manusia. Semua kebutuhan manusia tersebut disediakan oleh alam. Dengan kata
lain, manusia tergantung pada alam. Sementara alam itu sendiri terbentuk dari susunan
hubungan saling ketergantungan antara elemen satu dengan lainnya yang sangat
kompleks. Ditinjau dari sudut pandang ilmu ekologi, Odum dalam bukunya
Fundamentals of Ecology (1996) menyebutkan saling ketergantungan antara organisme
hidup dan lingkungnnya. Hubungan yang terjalin antar elemen adalah saling
mempengaruhi sehingga arus energi mengarah pada struktur makanan, keanekaragaman
biotik, dan daur material. Kehilangan atau ketidakseimbangan salah satu elemen pada
mata rantai arus energi tersebut sudah tentu akan menyebabkan gangguan pada yang lain
pada sistem tersebut.

2.3 Keanekaragaman Hayati sebagai Konsep Konservasi Universal

Keanekaragaman hayati sebagai suatu konsep universal dalam perspektif konservasi


telah menjadi salah satu tujuan utama dalam Millennium Development Goals (MDGs)
dan menjadi fondasi bagi beberapa poin MDGs yang lain. Perhatian negara-negara di
dunia pada konservasi keanekaragaman hayati tentunya tidak berlebihan. Konsep
konservasi biodiversity tidak mengenal batas-batas administrasi negara, Mahluk hidup

4
seperti burung tidak mengenal teritori negara seperti yang dikenal umat manusia. Sebagai
contoh, burung blackburnian wabler dan scarlet tanager di benua amerika utara akan
berimigrasi ke hutan-hutan tropis selama musim dingin (Wilson & Peter, 1988). Hutan-
hutan tropis tersebut tentunya tidak berada di Amerika tetapi di negara Brasil,Venezuela,
Peru dan lima negara lain yang dibentengi oleh kawasan hutan trois tersebut. Setiap
penghuni bumi sama-sama memiliki kepentingan untuk bertahan hidup. Masing-masing
negara dan bahkan kelompok komunitas masyarakat memiliki cara-cara tersendiri untuk
melindungi sumber daya yang mereka miliki. Sehingga dapat disimpulkan bahwa konsep
keanekaragaman hayati merupakan hal yang bersifat universal.

2.4 Keunikan Sumberdaya Hayati Papua

Secara khusus tampak bahwa keeratan kaitan dengan proses biogeografi masa
lampau membuat sumberdaya hayati Papua menjadi unik. Dikatakan unik karena
memiliki sejumlah spesies sumberdaya hayati yang tergolong dalam kelompok subdivisi
timur dari pembagian flora Indo-Malesia dan flora Australis yang sangat kaya.
Diungkapkan bahwa keragaman sumberdaya hayati tersebut juga merupakan sumber
keragaman plasmanutfah yang belum banyak diketahui, namun sangat bermanfaat bagi
umat manusia dan pengembangan ilmu pengetahuan (van Balgooy, 1971). Tentunya
kondisi lingkungan Papua dengan variasi topografi, mulai dari pulau, estuaria dan
mangrove, rawa, datar, bergelombang, bergunung yang menyebar sampai ketinggian
4.884 m di atas permukaan laut, membuat Papua mengandung pemusatan kehidupan flora
yang kaya dan lengkap di seluruh Indonesia (Womersly, 1978).

Namun tidak seperti hutan hujan di Kalimantan, terutama anggota


Dipterocarpaceae, di Papua hanya dijumpai 3 marga (8 spesies) tumbuh pada ketinggian
600 – 1.400 m di atas permukaan laut jika dibandingkan dengan 9 marga (350 spesies) di
Kalimantan. Keunikan Ekosistem Hutan. Kawasan hutan Papua (termasuk Papua Barat,
menurut Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 891/Kpts-II/1999 tentang
Peta Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi Papua) seluas 42.224.840 ha yang terdiri dari:
hutan lindung 10.619.090 ha; hutan pelestarian dan perlindungan alam/hutan konservasi
8.025.820 ha; hutan produksi terbatas 2.054.110 ha, hutan produksi tetap 10.585.210 ha,
hutan produksi konversi 9.262.130 ha dan kawasan perairan yang terdiri dari danau,
sungai dan estuaria 1.678.480 ha. Hutan produksi tetap terdiri dari: hutan primer
7.833.055 ha (74 %), hutan bekas tebangan 952.669 ha (9 %), hutan rusak dan tanah

5
kosong 1.799.486 ha (17 %). Kawasan hutan Papua tersebut sangat unik karena secara
geografis menyebar dari daerah pulau dan pantai hingga daerah alpin membuat Papua
memiliki tipe-tipe ekosistem yang lengkap di Indonesia. Dikatakan memiliki tipe-tipe
ekosistem yang lengkap dan unik karena terdiri dari: ekosistem pulau dan terumbu
karang, ekosistem pantai, ekosistem estuaria dan mangrove, hutan rawa dan gambut,
hutan sagu, hutan hujan dataran rendah, hutan savanna dan padang rumput, hutan hujan
dataran tinggi dan ekosistem alpin. Tiap tipe ekosistem memberikan layanan yang sangat
unik pada lingkungan seperti: menjaga keseimbangan unsur-unsur biokimia dalam alam,
mengatur keseimbangan suhu atmosfer bumi yang erat kaitannya dengan perubahan iklim
global, menjaga keseimbangan garis pantai dari abrasi akibat deburan ombak,
menyediakan sejuta plasma nutfah sebagai sumber keragaman hayati dan sejumlah
layanan lainnya. Di sisi lain, akumulasi dampak pemanfaatan hutan dan sumberdaya
hayati lainnya secara berlebihan menyebabkan terganggunya fungsi ekosistem alam turut
member sumbangan pada perubahan iklim global.

Flora pegunungan yang khas di Papua seperti Nothofagus spp., jenis-jenis daun
jarum yang endemik antara lain Podocarpus sp., Agathis sp., dan Araucaria sp.,
semuanya merupakan jenis kayu yang berharga. Namun keragaman flora yang besar
dengan kelangkaan Dipterocarpaceae membuat pengusahaan hutan di Papua memerlukan
pertimbangan yang matang agar pengusahaan tersebut menguntungkan, hutannya tetap
lestari. Jenis-jenis kayu berharga lain adalah Dracontomelum sp., Diospyros sp., Intsia
sp., Pometia sp., Octomeles sp., Canarium sp., Calophyllum sp., dan lain-lain. Jenis-jenis
tumbuhan lain sangat beragam seperti mangrove (bakau), cemara, nipah, pandan, rotan
dan sagu, mempunyai arti tersendiri bagi kehidupan masyarakat Papua.

Terdapat sejumlah jenis tumbuh-tumbuhan yang dimanfaatkan oleh penduduk


setempat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti: obat-obatan, narkotik, bangunan
rumah, perahu, ukir-ukiran, pakaian upacara adat dan lain-lain. Dari sisi tumbuhan
ephifit, maka anggrek merupakan kelompok tumbuhan tidak berkayu yang sangat
menarik dari pulau Papua. Miller (1978) mengungkapkan bahwa terdapat 130 marga
dengan lebih dari 2.770 jenis yang telah terdokumentasi dan sebagian besar adalah
Dendrobium dan Bulbophyllum. Dikemukakan bahwa kelompok ini meliputi hampir
sepertiga dari seluruh jenis tumbuhan berbunga di pulau Papua. Daerah penyebarannya
luas sekali, dan beberapa anggrek tanah yang dapat tumbuh sampai ketinggian 3.750 m di
atas permukaan laut. Di samping anggrek, terdapat pula Rhododendron dengan bunga

6
yang cantik dan menarik. Berbagai tumbuhan merambat dengan bunga yang menawan
seperti flame of Papua (Mucuna novaguinensis) merupakan jenis tumbuhan endemik
pulau Papua menghiasi tajuk-tajuk pohon hutan dataran rendah. Selain itu terdapat
sejumlah jenis jahe hutan dengan warna jingga dan merah jambu yang sangat indah,
paling tidak dapat dikoleksi dan dikembangkan sebagai tanaman hias. Demikian pula
selain jahe-jahean terdapat sejenis tumbuhan perambat yang disebut kantong semar
(Nepenthes). Kantong semar umumnya dijumpai pada tanah-tanah yang miskin hara
nitrogen. Pada bibir kantong berwarna-warni terdapat lapisan cairan manis yang menarik
semut dan serangga lain yang sedang menikmati manisan tersebut, dapat jatuh ke dalam
kantong yang berisi larutan enzim, kemudian dicerna dan diserap oleh jaringan tubuh
tanaman. Di atas lantai hutan terutama pada batang pohon yang telah lama mati dan
sedang mengalami proses pelapukan terdapat berbagai jenis jamur yang belum banyak
diketahui orang. Hanya beberapa jenis yang baru diketahui manfaatnya sehingga
dibudidayakan untuk keperluan konsumsi maupun untuk diperdagangkan.

Secara umum fauna Papua dapat dikelompokkan dalam kelompok mamalia, burung,
reptil dan amfibia, ikan, serangga dan binatang invertebrata. Fauna Papua berkaitan erat
dengan daerah zoogeografi Australia dan Asia serta pertemuan kehidupan yang terjadi
antara dua daerah zoogeografi besar tersebut yang saat ini memberikan gambaran tentang
sejarah geologi masa lalu, perubahan iklim serta perpindahan faunanya. Petocz (1987)
mengungkapkan bahwa terdapat 93 bentuk endemis mamalia dengan rincian 41 jenis dari
kalangan monotremata dan marsupilalia dan 52 jenis dari kalangan kelelawar serta
binatang pengerat.

Dari gambaran singkat tersebut di atas, baik di Papua maupun Indonesia secara
keseluruhan, tampak bahwa semua keragaman sumberdaya hayati tersebut merupakan
sumber plasma nutfah yang perlu diteliti, terutama bagi: para taksanomis, para
etnobotanis, para ekopharmakologis, para pencinta tanaman hias, para pencinta ternak
dan lain-lain.

2.5 Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Hayati

Hutan di Papua dengan kekhasannya yang tersendiri memiliki peluang-peluang


dalam pemanfaatan dan pengembangannya. Walaupun dari segi potensi kayu komersil
yang dikandungnya hanya termasuk berpotensi rendah sampai sedang, namun sampai saat
ini kenyataannya, minat pengusaha hutan untuk memanen hasil hutan berupa kayu masih

7
menjadi incaran para investor (HPH). Hal ini membuktikan bahwa selama ini
pengusahaan kayu di hutan Papua masih menguntungkan. Pada beberapa kasus,
berhentinya suatu perusahaan HPH lebih banyak disebabkan oleh adanya benturan
kepentingan dengan masyarakat pemilik hak ulayat di sekitar hutan dan peraturan
pengelolaan hutan di Indonesia. Dengan kondisi potensi dan penyebaran tegakan
komersil demikian, tentunya dalam pencapaian prinsip kelestarian dalam pengelolaan
hutan sangat diperlukan adanya perencanaan yang matang. Pembuatan blok dan petak
tebangan, penyiapan peta yang memadai mencakup keadaan sebaran pohon komersial
layak tebang, topografi, penyiapan jaringan jalan angkut dan sarad, sehingga dalam
proses pengeluaran hasil tebangan dari dalam hutan dapat dilakukan seefiesien mungkin
sekaligus dapat menekan sekecil mungkin kerusakan yang akan ditimbulkan merupakan
kegiatan-kegiatan pokok dalam proses eksploitasi hutan. Namun dalam kenyataannya
perencanaan demikian belum sepenuhnya dilakukan oleh para pemegang HPH.Di sisi lain
hasil hutan non kayu seperti sagu merupakan salah satu sumberdaya hayati yang tersebar
luas di daerah rawa Papua. Sagu merupakan salah satu makanan pokok masyarakat
Papua, tumbuh di daerah rawa dengan produksi pati per batang berkisar antara 40 sampai
90 kg. Hutan sagu di Papua secara alami tersebar di daerah Sentani dan sekitarnya, Sarmi,
Waropen, Wasior, Inanwatan, Bintuni, Mimika sampai Merauke.

Kekayaan dalam keragaman hayati dan keindahan alam Papua merupakan modal
yang sangat besar untuk memperoleh keuntungan darinya tanpa meninggalkan prinsip
kelestarian sunberdaya hutan. Banyaknya kawasan lindung di Papua jelas merupakan
strategi yang baik untuk menjaga kelestarian sumberdaya alam/hutan yang ada. Namun
dalam pengelolaannya belum dilaksanakan secara maksimal sehingga manfaat lain yang
seharusnya dirasakan dengan adanya kawasan lindung tersebut belum dapat dirasakan
sepenuhnya.

Peluang ekowisata ke depan juga menjanjikan selama lokasi ekowisata yang


ditawarkan dapat dijangkau dengan mudah. Demikian pula sarana dan prasarana di lokasi
tersebut tersedia dengan memadai. Erat kaitan dengan pemanfaatan, maka hendaknya
diperhatikan prinsip keberlanjutan dari sumberdaya alam yang dimanfaatkan. Prinsip
pemanfaatan yang berkelanjutan didasarkan pada pandangan bahwa sumberdaya alam
memiliki batas kemampuan untuk menerima dampak dari kegiatan manusia.

8
Batas ekosistem dan sumberdaya untuk mendukung peri kehidupan yang ada disebut
sebagai Daya Dukung Alami (Soemarwoto, 1992). Daya dukung Alami Ekosistem
Sumberdaya alam memiliki ambang batas tertentu, apabila dalam proses pembangunan
atau kegiatan manusia yang memanfaatkan ekosistem dan sumberdaya alam melebihi
ambang batas daya dukung alami, maka proses kehidupan tidak dapat berlanjut. Wanggai
(2007), mengemukakan bahwa prinsip dasar dari pembangunan berkelanjutan hendaknya
mengakomodasikan aspekaspek: lingkungan, keanekaragaman hayati, kepentingan
ekonomi serta rasionalisasi dan kepentingan sosial budaya (komunitas) dalam proses
pengelolaan.

9
BAB III

PEMBAHASAN

Terdapat beberapa tipe vegetasi di wilayah Wanggalem meliputi hutan savana, hutan
monsoon dan padang rumput. Jenis kayu putih tersebar secara luas pada tipe hutan savana
baik savana campuran maupun savana dominan jenis tertentu. Jenis Melaleuca cajuputi
banyak dijumpai pada kondisi lahan yang terbuka, yang banyak tergenang air, baik pada
musim hujan maupun musim kering. Kedua jenis tersebut ditemukan membentuk
vegetasi dominan tersendiri dan vegetasi campuran. Hasil analisis vegetasi pada lokasi
hutan dominan genus Melaleuca di wilayah Wanggalem secara umum dijumpai sebanyak
4 (empat) jenis tumbuhan berkayu yang berasal dari 2 (dua) genus. Sebaran jumlah jenis
pada setiap tingkat pertumbuhan disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Jumlah jenis dan genus pada setiap tingkat pertumbuhan pada hutan
dominan kayu putih di wilayah Wanggalem, TN Wasur.

Gambar 1. Menunjukan bahwa jumlah jenis dan genus pada tingkat pertumbuhan
semai, pancang dan tiang sama jumlahnya, yaitu dua jenis dan satu genus. Variasi hanya
dijumpai pada tingkat pohon yang terdiri dari empat jenis dari dua genus. Meskipun
jumlah jenis dan genus terbanyak dijumpai pada tingkat pertumbuhan pohon, namun
secara keseluruhan tipe vegetasi ini termasuk miskin keanekaragaman jenis.
Keanekaragaman jenis dalam satu areal hutan dominan.

Asteromyrtus symphiocarpa dan Melaleuca viridiflora bisa dilihat pada Gambar 2.

10
Gambar 2. Tipe hutan dominan Melaleuca cajuputi di wilayah Wanggalem, TN
Wasur, Papua

Tingkat semai

Potensi keanekaragaman hayati hutan kayu putih dominan Melaleuca cajuputi pada
tingkat semai disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Keanekaragaman jenis tumbuhan tingkat semai di wilayah Wanggalem, TN


Wasur.
Tabel 1 menunjukan bahwa jenis Melaleuca cajuputi mendominasi tingkat
pertumbuhan semai dengan kerapatan individu sebesar 3.269,25 ind/ha atau mencapai
73,23% dari total kerapatan. Hal ini menunjukan bahwa pada tingkat semai regenerasi
jenis M. cajuputi sangat baik. Demikian juga dari nilai frekuensi jenis M. cajuputi
memiliki nilai frekuensi yang lebih tinggi karena jenis ini ditemukan pada 12 petak
contoh, sedangkan Melaleuca sp. (atau dikenal oleh masyarakat lokal sebagai sunggi)
hanya ditemukan pada 2 petak contoh dari total 25 petak contoh. Pada tingkat semai

11
terlihat bahwa keanekaragaman jenis sangat miskin karena hanya ada dua jenis saja yang
ditemukan.

Tingkat pancang

Hasil analisis vegetasi tingkat pertumbuhan pancang disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Keanekaragaman jenis tumbuhan tingkat pancang di wilayah Wanggalem,


TN Wasur

Pada tingkat pancang terlihat bahwa keanekaragaman jenis sama dibanding tingkat
semai, yaitu hanya ditemukan dua jenis tumbuhan dan keduanya penghasil kayu putih,
yaitu Melaleuca cajuputi dan Melaleuca sp. (sunggi). Tabel 2 menunjukan bahwa jenis
M. cajuputi juga mendominasi tingkat pertumbuhan pancang dengan kerapatan individu
sebesar 2.523,08 ind/ha atau sebesar 88,17 % dari total kerapatan. Sedangkan jenis
pengasil kayu putih lainnya, yaitu Melaleuca sp. (sunggi) memiliki nilai kerapatan
sebesar 338,46 ind/ha(11.83 %)

Pada nilai frekuensi, M. cajuputi juga memiliki yang lebih tinggi karena jenis ini
ditemukan pada 20 petak contoh dari total 25 petak contoh, sedangkan Melaleuca sp.
(sunggi) hanya ditemukan pada 8 petak contoh saja. Meskipun M.cajuputi memiliki nilai
INP sebesar 159,60 % yang lebih besar dibandingkan dengan nilai INP Melaleuca sp
40,40 %, tetapi Melaleuca sp. memiliki tingkat indeks keanekaragaman hayati yang lebih
tinggi.

Tingkat Tiang

Hasil analisis vegetasi tingkat pertumbuhan tiang disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Keanekaragaman jenis tumbuhan tingkat tiang di wilayah Wanggalem, TN


Wasur

12
Sama hal pada tingkat semai dan pancang, ada dua jenis yang merupakan penghasil
minyak kayu putih, yaitu Melaleuca cajuputi dan Melaleuca sp. (sunggi). Tabel 3
menunjukan bahwa jenis M.viridiflora mendominasi tingkat pertumbuhan tiang dengan
nilai kerapatan dan INP yang besar jika dibandingkan dengan jenis penghasil kayu putih
lainnya, yaitu sebesar 184,62 ind/ha untuk kerapatan individu dan INP sebesar 252,52
%.Hal ini menunjukan bahwa potensi jenis M.viridiflora sebagai bahan baku minyak
kayu putih sangat besar dari aspek ketersediaan dan kemudahan panen. Karena umumnya
daun kayu putih sebagai bahan baku kayu putih diambil dari tingkat pertumbuhan tiang.

Sama halnya dengan nilai frekuensi, M.Viridiflora juga memiliki yang paling tinggi
karena jenis ini ditemukan pada 16 petak contoh dari total 25 petak contoh, sedangkan
A.symphiocarpa hanya ditemukan pada 4 petak contoh.

Tingkat pohon

Hasil analisis vegetasi pada tingkat pertumbuhan pohon disajikan pada Tabel 4 di
bawah ini.

Tabel 4. Keanekaragaman jenis tumbuhan tingkat pohon di wilayah Wanggalem, TN


Wasur

Tabel 4. menunjukkan bahwa jenis yang mendominasi tingkat pertumbuhan pohon


adalah jenis M. cajuputi dengan nilai kerapatan individu 101,92 ind/ha dan nilai INP

13
sebesar 184,86%, tertinggi dibandingkan dengan jenis tumbuhan penghasil minyak kayu
putih lain. Pada tingkat pertumbuhan pohon, ditemukan jenis penghasil kayu putih yang
tidak ditemukan pada tingkat pertumbuhan semai, pancang dan tiang yaitu M.
leucadendron. Ditemukan juga tumbuhan atsiri lainnya yaitu Eucaliptus pelita, meskipun
bukan pengasil kayu putih.
M. cajuputi juga memiliki nilai frekuensi tertinggi, karena ditemukan pada pada
semua petak contoh. Sedangkan jenis lain, yaitu M.sp, M. leucadendron dan Eucaliptus
pelita masing-masing. Hanya ditemukan pada 16, 2 dan 2 petak dari total 25 petak
contoh.
Pola sebaran jenis M. cajuputi dan M.sp. di daerah Wanggalem, TN Wasur
didominasi oleh tingkat pohon, dengan diameter diatas 20 cm. Bahkan beberapa diantara
diketahui memiliki diameter diatas 40 cm. Untuk tinggi pohon jenis M. cajuputi dan jenis
M. sp.(sunggi) hampir sama yaitu berkisar antara 14 – 23 m. hal ini cukup menyulitkan
dalam pengambilan (pengunduhan) daun yang akan digunakan sebagai bahan baku
pembuatan kayu putih.
Sebaran diameter pohon penghasil minyak kayu putih bisa dilihat pada Gambar 3 di
bawah ini.

Gambar 3. Sebaran diameter tumbuhan kayu putih

Gambar 3 menunjukkan bahwa pohon jenis Melaleuca cajuputi dan Melaleuca


sp.(sunggi) sangat dominan pada kelas diameter antara 20,1 – 30 cm, dan sangat sedikit
ditemukan pada tingkatan tiang (diameter antara 10,1 - 20 cm)

Secara umum kenakeanekaragaman jenis tumbuhan penghasil minyak kayu putih di


wilayah Wanggalem, Taman Nasional Wasur tergolong rendah. Hal ini ditunjukan
dengan nilai indek keanekaragaman hayati shannon_wienner (H’) yang berada pada
rentang 0,0333– 0,1403 serta hanya terdapat 4 (empat) jenis dari 2 (dua) genus. Kondisi

14
keanekaragaman jenis yang rendah pada hutan dominan Melaleuca cajuputi belum
diketahui penyebabnya. Namun diperkirakan aspek tempat tumbuh (jenis tanah) dan
iklim mikro sangat berpengaruh. Meskipun hutan dominan Melaleuca cajuputi memiliki
nilai keanekaragaman jenis yang rendah, namun dari sudut produksi minyak kayu putih
tidak menjadi pertimbangan penting, justru akan memudahkan dalam pengambilan daun,
karena lokasinya yang mengumpul.

15
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

 Jenis Melaleuca cajuputi mendominasi semua tingkat pertumbuhan tanaman (semai,


pancang tiang dan pohon).
 Ada tiga jenis tanaman penghasil minyak kayu putih yang ditemukan pada daerah
Wanggalem, yaitu Melaleuca sp (sunggi), M,cajuputi dan M.leucadendron.
 Hutan di wilayah Wanggalem sangat rendah keanekaragaman jenisnya karena belum
diketahui penyebabnya. Namun diperkirakan aspek tempat tumbuh (jenis tanah) dan
iklim mikro sangat berpengaruh pada pertumbuhan tanaman tersebut.

4.2 Saran

 Agar kita semua bisa menjaga kelestarian sumberdaya alam/hutan yang ada.
 Serta mengelolanya secara maksimal sehingga manfaat lain bisa seharusnya dirasakan
oleh generasi yang akan datang.

16
DAFTAR PUSTAKA

 Ary Widiyanto. “Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Kayu Putih Di Daerah


Wanggalem, Taman Nasional Wasur, Papua”. Jurnal Hutan Tropis Volume 2 No. 3.
2014
 Kohdrata Nanniek. Konversi Keanekaragaman Hayati dengan Kearifan Lokal.
Denpasar, 2011.

17

Anda mungkin juga menyukai